Pengaruh bahasa Sanskerta dalam tradisi tulis Jawa Kuna telah memberi
gambaran akulturasi yang kuat antara tradisi lokal dengan budaya yang
diserapnya, baik dalam prasasti maupun naskah. Jika melihat kembali prasasti-
prasasti Jawa yang dibuat sekitar abad ke-15 (masa akhir pemerintahan
Majapahit) dapat diperoleh gambaran yang unik terkait hubungan antara bahasa
Sanskerta dengan Jawa Kuna. Contohnya, prasasti Waringin Pitu yang terdiri dari
rangkaian 14 lempeng tembaga yang dibuat atas peresmian sima (tanah perdikan)
oleh Raja Majapahit Dyah Krtawijaya pada tahun 1447 M. Prasasti ini lebih dari
separuh isinya mengandung puji-pujian berbahasa Sanskerta kepada raja dan
anggota keluarga diraja yang berkuasa saat itu. Bagian awal prasasti seringkali
mencantumkan kata majemuk jenis bahuvrihi yang panjang sebagai bukti
kemahiran pengarang teks tersebut. Selain itu, pada bagian tengah rangkaian kata
Sanskerta diselipkan kata Jawa Kuna untuk menunjuk para anggota keluarga
diraja dan jajaran pemerintahan. Hal ini yang disebut Pollock sebagai
“pengestetikan politik”. (Hunter, 2009:34). Berikut kutipan bagian tengah prasasti
Waringin Pitu.
Ājnā pāduka Śri Mahārāja kumonakên sang hyang dharma ring Waringin
Pitu. Pagawayakên sang hyang haji praśasti Wijaya-parākrama-
warddhahana-lañcana Makarasāmratiśubaddha-nīrikang Waringin Pitu n
sinung rājadharma de pāduka Śri Rājasaduhiteśwari garbhotpatti-nāma
Dyah Nṛrajā.
Sira ta pitāmahi de pāduka Śri Bhaṭāra prabu. Kunêng pwa sambandha
nikang Waringin Pitu yan in-arambha rājadharma de pāduka Sri
Rājasaduhiteśwari Dyaḥ Nṛttajā makadon pamratiśṭhana-nira ri sira rama-
nira Śri pāduka Parameśwara Sang Mokta ring Śunyalaya.
Huwus inubhaya sanmata ngūni de nira sira raka ni Śri Bhaṭāra Hyang
Wêkas Ing Sukhanimitta ning prasiddhāpageh kasusukan sang hyang
dharma.
‘Telah dititahkan Sang Raja (Dyah Krtawijaya) agar dibuka sebuah tempat
rohani di Waringin Pitu. Sebuah puji-pujian harus dikarang untuk “beliau
2
yang berlencana kekuasaan dan kejayaan atas emua seterusnya”, dengan
tujuan mendirikan sebuah tanah perdikan di Waringin Pitu sebagai anugerah
Paduka Raja Sri Rajasaduhitaswari, yang bernama lahir Dyah Nrtaja, yaitu
nenek Sri Bhattara (Dyah Krtawijaya).
‘Alasan tempat rohani didirikan di Waringin Pitu oleh Sri
Rajasaduhiteswari Dyah Srttaja itu ialah untuk menetapkan sebuah tempat
penampungan (arwah) ayah anda Paduka Sri Parameswara Sang Mokta di
Sunyalaya (yang telah mencapai kelepasan di dunia niskala), (yaitu
Krtawarddhana, Raja Tumapel).’
‘Karena telah disetujui di masa lalu oleh kakanda Sri Bathara Hyang Wekas
ing Sukha (Raja Rajasanagara), maka mungkinlah tempat rohani tersebut
dapat dibuka tanpa hambatan.’
Kata-kata bertulis miring merupakan serapan bahasa Sanskerta. Pengaruh
bahasa Sanskerta dalam prasasti tersebut dapat ditelaah dari aspek kosakata,
morfologi, dan sintaksis. Aspek kosakata ditunjukan dengan adanya kata ajna,
sambandha, sanmata. Secara morfologis kata-kata Sanskerta mendapat afikasasi
Jawa Kuna, antara lain infiks pada kata in-arrambha dan inubhaya, serta afiks pa-
untuk kata pamratisthana. Dari aspek sintaksis, bentuk kalimat tetap
menggunakan kaidah Jawa Kuna. Contoh: Sri Maharaja, rajadharma, pitamahi
de paduka, rama-nira, wekas ing Sukhanimitta, ring Waringin Pitu.
Daftar Pustaka
Budi Utomo, Bambang. 2011. Atlas Sejarah Indonesia Masa Islam. Jakarta:
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Ras, J.J. 2014. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa (terj. Achadiati Ikram).
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
3
Susanti, Ninie dan Dyah Wijayanti. 2008. Pengaruh Bahasa Sanskerta dalam
Prasasti dan Naskah Jawa Kuna (dalam Kosakata Bahasa Indonesia
Mutakhir). Depok: Pusat Leksikologi dan Leksikografi FIB UI.