Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

Pendidikan Agama
Islam Sunda

Disusun oleh :
Hanif Zulfani (225030025)
M.Hanief Al-fikri(225030029)

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


2022/2023
Kata Pengantar

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang sudah melimpahkan rahmat
dan hidayah- Nya sehingga kami bisa menyusun tugas mata kuliah Pengantar Pendidikan
Agama dengan materi “Islam Sunda” secara tepat waktu. Tugas ini kami buat untuk
memperjelas materi mengenai Islam Sunda yang mudah-mudahan bisa menambah
pengetahuan kita semua mengenai materi tersebut. Kami menyadari jika masih banyak
kekurangan dalam menyusun makalah ini. Oleh karena itu, kritik serta saran kami harapkan
demi menyempurnakan makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu
dosen dalam mata kuliah Pendidikan Agama. Atas perhatian serta waktunya, kami sampaikan
banyak terima kasih.
Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
A. Islam dan Sunda
Para ahli sejarah berpendapat bahwa kata Sunda berasal dari akar kata sund atau kata
suddha dalam bahasa Sansekerta yang mempunyai pengertian bersinar, terang, berkilau,
putih. Dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata Sunda, dengan
pengertian: bersih, suci, murni, tak tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada. Orang
Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter kasundaan, sebagai jalan menuju
keutamaan hidup. Karakter orang Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik),
bener (benar), singer (mawas diri), wanter (berani) dan pinter (cerdas). Karakter ini telah
dijalankan oleh masyarakat Sunda sejak zaman Kerajaan Salakanagara, Kerajaan
Tarumanagara, Kerajaan Sunda-Galuh, Kerajaan Pajajaran hingga sekarang.
Nama Sunda mulai digunakan oleh raja Purnawarman pada tahun 397 untuk
menyebut ibu kota kerajaan Tarumanagara yang didirikannya. Untuk mengembalikan pamor
Tarumanagara yang semakin menurun, pada tahun 670, Tarusbawa, penguasa Tarumanagara
yang ke-13, mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Kemudian peristiwa ini
dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan
Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa
menerima tuntutan raja Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua
kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya
Selain agama yang dijadikan pandangan hidup, orang Sunda juga mempunyai
pandangan hidup yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Pandangan hidup tersebut tidak
bertentangan dengan agama yang dianutnya karena secara tersurat dan tersirat dikandung
juga dalam ajaran agamanya, khususnya ajaran agama Islam. Pandangan hidup orang Sunda
yang diwariskan dari nenek moyangnya dapat diamati pada ungkapan tradisional seperti yang
banyak tercantum di dalam buku-buku kesundaan atau sejarah kebudayaan Sunda.
Hingga sekarang, masyarakat Sunda merupakan etnik terbesar kedua di Indonesia
setelah etnik Jawa. Secara geografis, ia mendiami Pulau Jawa tepatnya Jawa Barat. Secara
antroplogis, merupakan orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa Ibu
yakni Bahasa Sunda dan dialek Sunda. Bahasa ini merupakan salah satu pembeda etnik
Sunda dengan etnik lainnya (Harsojo, dalam Koentajaraningrat, 1983: 300).
Sunda dihubungkan pula dengan kebudayaan. Dinamakan kebudayaan Sunda karena
budaya itu hidup, tumbuh dan berkembang di kalangan orang Sunda yang pada umumnya
berdomisili di tatar Sunda. Sebagai bagian dari khazanah kebudayaan nasional, kebudayaan
Sunda memiliki ciri-ciri khas yang membedakannya dengan kebudayaan lain (Edi S.
Ekadjati, 1995: 9). Dalam tata kehidupan nasional, sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar 1945, terutama dalam penjelasan pasal 32 dan pasal 36, kebudayaan Sunda
digolongkan dalam kebudayaan daerah.
Sekalipun masyarakat Sunda merupakan etnik dengan kebudayaannya yang khas,
pada realitasnya di tengah masyarakat Sunda berkembang berbagai kebudayaan lainnya baik
dalam skala internasional, nasional maupun regional. Realitas ini menggambarkan bahwa
masyarakat Sunda dan kebudayaannya sangat terbuka untuk menerima dan mendapat
pengaruh dari budaya dan agama-agama yang tumbuh di Indonesia maupun yang
berkembang di dunia.
Islam merupakan agama yang cukup berpengaruh dan mempengaruhi kebudayaan
daerah, termasuk daerah-daerah di tatar Sunda. Menurut Koentjaraningrat (1983: 25) salah
satu pengaruh Islam yang paling menonjol terjadi di daerah Banten dan pesisir utara Jawa,
seperti daerah Indramayu, Subang, Karawang, Purwakarta dan Cirebon.
Pengaruh ajaran agama Islam itu juga menyebar kemudian di daerah-daerah
masyarakat Sunda lainnya, sehingga secara kuantitatif daerah Sunda yang sekarang lebih
dikenal Propinsi Jawa Barat mayoritas penduduknya secara formal dan sosiologis menganut
agama Islam. Dengan demikian, perilaku sosial dan budaya masyarakat Sunda tidak terlepas
dari aktualisasi dan implementasi ajaran Islam. Bahkan, karena begitu kuatnya ajaran Islam
mempengaruhi kehidupan masyarakat Sunda, Ahmad Sadali menyatakan bahwa “orang
Sunda itu identik dengan Islam”.
Gejala adanya kesadaran manunggalnya Sunda dengan Islam pernah mengemuka
dalam Musyawarah Masyarakat Sunda II di Bandung tahun 1967. Ungkapan “Islam-Sunda
dan Sunda Islam” bukan semata mengandung perdebatan mana yang paling ideal, sekalipun
pengertian “Sunda-Islam” dipandang lebih tepat untuk mengungkapkan Islam sebagai jati diri
masyarakat Sunda secara mayoritas. Sekaligus istilah itu dapat menjadi pembeda dengan “
Sunda Nasrani, Sunda Hindu” dan sebagainya; sebagai bagian masyarakat minoritas di tatar
Sunda.
“Islam Sunda” dapat diartikan bahwa yang menjadi pokok adalah Islam sebagai identitas
etnik, yang sepadan dengan Islam Jawa, Islam Cina, Islam Arab, dan Islam lainnya
(Ayatrohaedi, 1988: 10). Karena umat Islam menjadi masyarakat mayoritas Sunda, maka
dapat dipastikan dalam berbagai wujud interaksi, sikap, perilaku dan nilai-nilai budaya
masyarakat Sunda sangat menonjolkan karakter keislaman.
Karakteristik keislaman pada masyarakat Sunda dapat dilihat di antaranya dalam pakaian
wanita. Sekalipun tidak terlalu tertutup seperti wanita Arab, namun pakaian kebaya dengan
kerudungnya memperlihatkan kesadaran berpakaian yang islami, hal ini berbeda dengan
pakaian adat Jawa yang masih memperlihatkan dada . Kemudian dalam bentuk teradisi-tradisi
lain seperti sunatan, mauludan, rajaban, marhaba-an dan upacara perkawinan. Begitu juga
dalam karya-karya sastra seperti karya-karya Haji Hasan Mustapa, banyak menggambarkan
dakwah Islam atau nafas-nafas keislaman (Ajip Rosidi, 1995: 337).
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa ajaran Islam bukan hanya menyuguhkan gugusan
norma yang abstrak, namun mampu membentuk tatanan masyarakat dalam bentuk tradisi.
Islam sebagai tradisi, menurut Seyyed Hossein Nasr (1994: 3) merupakan kristalisasi ajaran
Islam dalam wujud kebudayaan yang dijalankan secara turun-temurun. Gerak kebudayaan
yang bersumber dari wahyu dapat menyiratkan kebenaran dan kebaikan perilaku sosial yang
abadi dalam rentang duniawi dan punya pengharapan keselamatan di akhirat.
Gerak kebudayaan masyarakat Sunda, karena masyarakatnya mayoritas beragama Islam,
secara jelas menggambarkan tradisi Islam. Tradisi ini pada sisi lain dapat dilihat dari upacara-
upacara dan simbol-simbol yang diyakini sebagai kepatuhan terhadap ajaran Islam yang
secara rutin dan konsisten dijalankan khususnya oleh masyarakat Sunda di pedesaan; seperti
upacara Muludan dan Rajaban atau ada semacam perasaan malu pada sebagian masyarakat
Sunda apabila waktu shalat maghrib tidak beramai-ramai pergi ke tajug.
Kesadaran menjalankan ajaran Islam pada masyarakat Sunda itulah yang melahirkan tatanan
sosial dan budaya yang dipenuhi tanda-tanda kekuasaan Allah atau tanda-tanda kehidupan
yang islami. Hal ini sebagaimana firman-Nya bahwa, “Kami akan memperlihatkan kepada
mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri,
sehingga jelaslah bagi mereka tentang kebenaran. Dia menyaksikan segala sesuatu” (Q.S.
Fushilat, 41: 53).
Tanda-tanda kekuasaan Allah di tatar Sunda dalam wujud budaya islami dapat menjadi
indikator adanya etnik yang keberadaannya sebagai sunnatullah namun berupaya menuju
jalan taqwa. Hal ini sesuai dengan firman Allah bahwa, “:Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Waspada” (Q.S. 49: 13).
Pada sisi lain, Allah menyebut perbedaan budaya (bahasa dan warna kulit) sebagai tanda-
tanda bagi orang yang berilmu untuk diselidiki (lihat, Q.S. 30: 22). Hal ini menjadi penting
untuk meneliti masyarakat Sunda sebagai realitas budaya etnik yang secara sosiologis adalah
masyarakat yang secara mayoitas beragama Islam.
Etnik Sunda yang memperlihatkan gerak kebudayaannya yang islami sekaligus
menggambarkan realitas etnik yang sesuai dengan kehendak Allah; yakni suatu suku yang
diciptakan untuk mencapai predikat takwa. Gambaran ini secara teoritik dapat disebut bahwa
nilai-nilai sosial budaya masyarakat Sunda bersandar pada aktualisasi teologi Islam. Nilai-
nilai sosial budaya yang islami tersebut diduga telah mempengaruhi bahkan membentuk
pandangan hidup orang Sunda.
Fenomena sosial budaya masyarakat Sunda yang islami yang tercermin dalam pandangan
hidupnya itu yang mendorong pemahaman dasar bahwa teologi selalu niscaya dalam setiap
umat beragama, terlebih apabila umat beragama itu secara sosiologis memiliki ciri-ciri
aktualisasi ajaran agama itu secara kuat dalam kehidupan sehari-harinya. Dari sini akan
mungkin terlacak dari mana sumber nilai sosial budaya masyarakat Sunda yang islami itu
terbentuk yang kemudian membentuk pandangan hidupnya sebagaimana tercermin dalam
tradisi lisan, diantaranya seperti yang diungkapkan oleh Suwarsih Warnaen dkk., dalam buku
“Pandangan Hidup Orang Sunda seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda”.
Gambaran ini menunjukkan bahwa sastra yang mengandung da’wah Islamiyah bukan hanya
membangun kesadaran akan kekayaan karya sastra pada masyarakat Sunda yang bernuansa
Islami, namun karya sastra itu juga mampu menjadi bagian norma sosial dan pandangan
hidup masyarakat Sunda.
B. Islam dan Universitas Pasundan
Gambaran tentang Islam dengan etnik Sunda di atas menunjukkan bahwa tradisi-
tradisi Sunda yang mengandung da’wah Islamiyah bukan hanya membangun kesadaran akan
kekayaan tradisi pada masyarakat Sunda yang bernuansa islami, namun tradisi-tradisi Sunda
tersebut, juga mampu menjadi bagian norma sosial dan pandangan hidup masyarakat Sunda.
Gambaran ini terlihat jelas di tengah kehidupan masyarakat sunda secara umum yang salah
satunya di lembaga pendidikan yang dimiliki oleh etnik Sunda, yakni Universitas Pasundan.
Universitas Pasundan atau yang dikenal dan disingkat dengan Unpas adalah sebuah
universitas swasta yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat Indonesia. Kini telah memiliki
Kampus di lima lokasi, yaitu di Jalan Lengkong Besar No. 68 (Kampus I), Jalan Tamansari
No. 6-8 (Kampus II), Jalan Wartawan IV No. 22 (Kampus III), Jalan Dr. Setiabudhi No. 193
(Kampus IV), dan Jalan Sumatera No. 41 (Kampus V).
Universitas Pasundan ini berdiri tanggal 14 November 1960, keberadaan dan
pengembangannya tidak lepas dari tujuan dan cita-cita Paguyuban Pasundan, sebagai
organisasi induk yang lahir tahun 1913, sehingga esensi dan eksistensinya tidak terlepas dari
garapan pengabdian Paguyuban Pasundan, terutama dalam turut mencerdaskan kehidupan
dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Unpas telah tumbuh dan berkembang menjadi sebuah
universitas terkemuka dan kebanggaan masyarakat, terbukti dari jumlah mahasiswa yang saat
ini terbesar di lingkungan Kopertis Wilayah IV Jabar dan Banten.
Seperti yang dijelaskan dalam statuta Universitas Pasundan, di samping misi
Perguruan Tinggi secara umum, yaitu Tri Darma Perguruan Tinggi, Universitas Pasundan
mengemban misi khusus yaitu mengembangkan Syi’ar Islam dan melestarikan Budaya
Sunda. Dalam pelaksanaannya kedua misi khusus tersebut harus dijalankan bersama-sama
secara utuh atau gumulung (kaffah), sehingga tidak terjadi kesenjangan antara keduanya.
Misi khusus tersebut merupakan ciri atau identitas Universitas Pasundan yang
digambarkan dalam “Tri Jati Diri”. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan insan-insan
akademis yang bernafaskan Islam dan mampu menghadapi persaingan hidup di era serba
global. Gambaran Tri Jati Diri Universitas Pasundan tersebut adalah:
1. Luhung Elmuna (al-Ilmiah), sehingga terbentuk insan-insan yang:
a. Arrasikhuna Fi al-Ilmi: Orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang dalam dan luas
serta mampu mengamalkan ilmunya sesuai dengan tuntutan zaman (QS. Ali Imran, 3: 7 dan
Al-Nisa, 4: 162).
b. Ulu al-Nuha: Orang yang mampu (aktif) menggunakan akalnya terhadap realitas
ciptaan dan kekuasaan Allah di muka bumi (QS. Thaha, 20: 54 dan 128).
c. Ulu al-‘Ilmi: Orang yang menguasai bidang ilmu yang dipelajarinya (berilmu tinggi)
dan mengamalkannya secara profesional (QS. Ali Imran, 3: 18).
d. Ulu al-Abshar: Orang yang tajam dan cermat dalam melihat realitas kehidupan atau
suatu kejadian, kemudian memprediksikannya dengan cepat dan tepat (QS. Al-Nuur, 24: 44).
e. Ulul al-Bab: Orang yang akftif dalam memerankan rasa dan rasionya dengan
seimbang (QS. Ali Imran, 3: 190-191).
2. Pengkuh Agamana (al-Diniyah), sehingga terbentuk insan-insan yang:
a. Muslim: Orang yang menyerahkan dirinya secara total hanya kepada Allah (QS. Al-
An’am, 6: 162-163).
b. Mu’min: Orang yang percaya dan menyandarkan segala persoalan hidup sepenuhnya
(gemleng) hanya kepada Allah (QS. Al-Anfal, 8: 2-3).
3. Jembar Budayana (al-Tsaqafiyah), sehingga terbentuk insan-insan:
a. Shalih: Orang yang tidak pernah menyusahkan orang lain dan dapat menyesuaikan
dirinya (perilakunya) dengan lingkungannya (QS. Al-Anbiya, 21: 105 dan Al-Taubah, 9: 75).
b. Muhsin: Orang yang senantiasa berbuat kebaiakan dan memebri manfa’at kepada
orang banyak (QS. Al-Baqarah, 2: 112 dan Al-Nahl, 16: 128).
c. Mukhlish: Orang yang memiliki sikap lapang dada, berbuat tanpa mengharapkan
pujian atau pamrih, kompetitif dan penuh konsentrasi; tulus hanya karena Allah (QS. Al-
Bayyinah, 98: 5).
Berbekal Tri Jati Diri Universitas Pasundan tersebut dengan budaya Sundanya yang islami,
diharapkan para lulusannya mampu berperan aktif pada era yang sedang dihadapinya
(mampu ngigelan jeung ngigelkeun zaman). Untuk mencapai kualitas Tri Jati Diri Universitas
Pasundan ini diperlukan proses berkehidupan yang resiprokal, dan dilandasi oleh perilaku
kasilihwangian.
Istilah Kasilihwangian ini berasal dari kata silihwangi, yaitu gelar atau sebutan Raja Tatar
Sunda Jaya Dewata setelah meninggal dunia. Gelar ini diberikan karena Prabu Jaya Dewata
semasa hidupnya memiliki sifat asih-asah-asuh yang mengharapkan rakyatnya agar hidup
Silih Asih, Silih Asah dan Silih Asuh (Silas). Silas ini dijadikan falsafah hidup bagi
masyarakat Sunda, namun hingga kini belum banyak dikaji orang secara mendalam, baik oleh
orang Sunda sendiri ataupun oleh orang/suku lainnya, yang hasil kajiannya dapat diterima
oleh masyarakat secara umum. Dalam kalimat SILAS terdapat kata silih yang mengandung
arti saling. Kata ini menunjukan kepada suatu pekerjaan yang bersifat resiprokal, artinya ada
dua orang yang keduanya berperan sebagai subjek sekaligus sebagai objek.
Silas merupakan satu sistem, di dalamnya terdapat unsur-unsur yang antara satu dengan
lainnya saling beruhubungan. Unsur-unsur tersebut berupa petunjuk perilaku manusia dalam
menjalankan hubungannya antar sesama manusia (hablum minannas), atau lebih tegasnya
lagi bahwa SILAS merupakan etika pergaulan. Unsur-unsur yang terkandung dalam falsafah
etika SILAS tersebut meliputi:
Pertama, Silih Asih. Secara harfiah Silih Asih berarti tingkah laku yang saling
mengasihi dan saling menyayangi. Sikap ini paling tidak diterapkan dalam:
a. Gawe (bekerja atau amal), termasuk di dalamnya kerjasama (Rukun Gawe atau
Ta’awwun) dan tanggungjawab bersama (Ngabagikeun Tanggung Jawab atau Tadlammun).
Maksudnya adalah bahwa rasa “Asih” atau kasih sayang diwujudkan dalam bentuk suatu
pekerjaan, baik pekerjaan yang sifatnya lahiriah ataupun bathiniah. Rasa asih ini akan lebih
kuat bila dilaksanakan secara bergotong royong (Ta’awwun) dan bertanggung jawab bersama
(Tadlammun). Firman Allah:
ِ ‫ َوتَ َعا َونُوْ ا َعلَى ْالبِ ِّر َو التَّ ْق َوى َوالَ تَ َعا َونُوْ ا َعلَى ْاِإل ْث ِم َو ْال ُع ْد َو‬.
‫ان‬
“Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan ketakwaan, dan jangan
tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al-Ma-idah, 5: 2).
b. Tanpa Pamrih (Ihsan, Ikhlash dan Ridla). Asih mendorong seseorang untuk berbuat
tanpa pamrih, sungguh-sungguh dan kompetitif (ikhlash) serta merasakan dirinya selalu
dilihat Allah (Ihsan). Kedua sikap ini pada akhirnya akan melahirkan sikap menerima apa
adanya terhadap segala apa yang menimpa pada dirinya (Ridla). Gambaran hadits Rasul:
َ‫د هللاَ َكَأنَّكَ تَ َراهُ فَِإ ْن لَّ ْم تَ ُك ْن ت ََراهُ فَِإنَّهُ يَ َراك‬qَ ُ‫اَ ْن تَ ْعب‬
“Hendaklah kamu beribadah kepada Allah, seolah-olah kamu melihat-Nya, sekalipun kamu
tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa melihatmu” (HR. Imam
Tirmidzi). Firman Allah:

ِ ‫ح ْسبُنَا هللاُ َسيُْؤ تِ ْينَا هللاُ ِم ْن فَضْ لِ ِه َو َرسُوْ لُهُ ِإنَّا اِلَى هللاِ َر‬.
َ‫اغبُوْ ن‬ َ
“Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya
dan demikian juga Rasul-Nya. Sesungguhnya kami hanya berharap kepada Allah, tentulah
yang demikian itu lebih baik bagi mereka” (QS. Al-Taubah, 9: 59).
c. Rasa Memiliki (Rasa Miboga atau Tarohum). Wujud sikap asih terdapat pula dalam
sikap Tarohum. Sikap ini merupakan fitrah atau pembawaan manusia semenjak lahir yang
selalu ingin dikasihi dan mengasihi. Sikap ini dapat menuntun seseorang untuk memiliki rasa
miboga, memelihara dan mengembangkan almamater seperti miliknya sendiri. Hadits Rasul:
‫ َمثَ ُل ْال ُمْؤ ِمنِ ْينَ فِى تَ َوا ِّد ِه ْم َوتَ َرا ُح ِم ِه ْم َك ْال َج َس ِد ْال َوا ِح ِد اِ َذا ا ْشتَ َكى ِم ْنهُ عُضْ ٌو تَدَاعَى لَهُ َساِئ ُر َج َس ِد ِه بِالسَّحْ ِر َو ْال ُح َمى‬.

“Perumpamaan orang mu’min itu dalam sayang menyayangi, santun menyantuni dan kasih
mengasihi adalah bagaikan satu tubuh yang apabila menderita salah satu anggotanya, ikut
menderita pula seluruh tubuh merasa demam dan tidak bisa tidur” (HR. Muslim).

Kedua, Silih Asah. Secara harfiah Silih Asah berarti membuat sesuatu menjadi tajam,
termasuk pikiran manusia. Silih Asah yang dimaksud adalah saling memberi ilmu
pengetahuan, meningkatkan dan mengembangkannya. Sikap ini dapat diterapkan dalam
wujud:
a. Ada Kemauan (boga sumanget jeung kahayang atau ijtihad) termasuk di dalamnya
berfikir, dzikir dan sabar. Untuk menambah ilmu pengetahuan dengan sendirinya harus
didasari oleh semangat dan kemauan serta berusaha keras. Sikap ini akan membangkitkan
rasa percaya diri bagi seseorang; bahwa dirinya mampu untuk berbuat. Upaya seperti ini
dalam literatur Islam disebut “Ijtihad”. Ijtihad merupakan anugrah Allah yang diberikan
kepada seseorang untuk mengungkapkan rahasiah-rahasiah alam yang tidak bertentangan
dengan al-Qur’an dan Hadits. Banyak ayat al-Qur’an yang menyuruh kita untuk berijtihad, di
antaranya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi “Ulu al-Albab”, yaitu orang-orang yang selalu mengingat
Allah dalam keadaan duduk, berdiri dan berbaring serta mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi, seraya berkata: ‘Ya Tuhan kami! Tiadalah Engkau jadikan ini
semua dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka“ (QS.
Ali Imran, 3: 190-191).
b. Musyawarah. Silih Asah bisa terjadi dengan melakukan musyawarah. Dalam
musyawarah terdapat nilai take and give; saling mengisi kekurangan, saling mengingatkan
kesalahan dan saling memperdalam pengetahuan. Allah berfirman:
َ‫ َو َأ ْم ُرهُ ْم ُشوْ َرا بَ ْينَهُ ْم َو ِم َّما َرزَ ْقنَاهُ ْم يُ ْنفِقُوْ ن‬.
“….. segala urusan mereka senantiasa dipecahkan dengan jalan musyawarah antar mereka
dan mereka membelanjakan sebagian dari harta yang kami karuniakan kepadanya” (QS. Al-
Syura, 42: 38).
Hadits rasul yang bunyinya sebagai berikut: “Tiadalah suatu kaum bermusyawarah melainkan
akan mendapat petunjuk yang sebanar-benarnya untuk urusan mereka” (HR. Hasan).
c. Berlomba-lomba dalam kebajikan (Paheula-heula muru kana kahadean atau Fastabiq
al-Khairat). Dalam Alquran diungkapkan dengan istilah Fastabiqu al-Khairat. Berlomba-
lomba dalam kebajikan sangat dilandasi oleh sikap kreativitas, atau lebih jauhnya
membutuhkan daya kreatif-interaktif, baik orang yang mengasah ataupun orang yang diasah.
Daya kreativitas ini dalam budaya Sunda disebut dengan “Rancage”. Sikap ini sangat
dibutuhkan bagi orang yang ingin meningkatkan sumber daya pribadinya. Firman Allah:

ِ ‫ار ُعوْ نَ فِى ْال َخي َْرا‬


َ‫ت َواُولِئكَ ِمنَ الصَّالِ ِح ْين‬ ِ ْ‫يُْؤ ِمنُوْ نَ بِاهللِ َو ْاليَوْ ِم ْاآل ِخ ِر َويَْأ ُمرُوْ نَ بِ ْال َم ْعرُو‬.
ِ ‫ف َويَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْال ُم ْن َك ِر َويُ َس‬
“Mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka menyuruh berbuat kebajikan dan
melarang perbuatan munkar dan mereka berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan, mereka
itulah termasuk orang-orang yang baik (shaleh)” (QS. Ali Imran, 3: 114).

Ketiga, Silih Asuh. Kata Silih Asuh berarti membimbing, mendidik, membantu dan
membantu menyelesaikan persoalan orang lain serta mengingatkannya tentang perbuatan
yang tidak atau seharusnya dilakukan. Sikap ini harus disertai dengan rasa kasih sayang,
artinya Silih Asuh akan terjadi secara harmoni dan interaktif bila kedua belah pihak
memberikan asuh dengan penuh kasih sayang. Unsur yang terdapat dalam Silih Asuh ini
antara lain:
a. Kesederajatan (Kasadarajatan atau Musawah) dan menghargai (Ngahargaan atau
Tasamuh). Kesederajatan (Musawah) mengandung arti adanya persamaan antara dirinya
dengan orang lain di hadapan Allah, yang membedakannya adalah siap yang paling bertakwa
kepada-Nya. Tasamuh mengajarkan seseorang untuk tidak memiliki rasa unggul dari orang
lain (superior) atau menekan orang lain apalagi menjajahnya. Kedua belah pihak berusaha
agar ada keseimbangan yang sesuai dengan tatakrama atau etika sosial. Dengan sikap ini,
interaksi dapat berjalan dengan baik dimana masing-masing saling menghargai hak asasi
pribadinya. Firman Allah:
‫يَآاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن َذ َك ٍر َّواُ ْنثَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُشعُوْ بًا َّوقَبَاِئ َل لِتَ َع َرفُوْ ا ِإنَّا َأ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هللاِ َأ ْتقَا ُك ْم ِإ َّن هللاَ َعلِ ْي ٌم خَ بِ ْي ٌر‬.
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu semua dari jenis laki-laki dan
perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah
orang yang paling bertaqwa, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
(QS. Al-Hujurat, 49: 13).
b. Beresih Hati (Kawening Hate atau iffah). Silih Asuh akan terlaksana secara akrab dan
harmonis bila kedua belah pihak memiliki hati yang beresih. Sikap ini (Beresih
Hati/Kawening Hate/Iffah) bagaikan air jernih yang memberikan kesejukan kepada setiap
makhluk. Pujian Allah dalam al-Qur’an:
ٍ ‫ اُوْ لِئكَ فِ ْى َجنَّا‬. َ‫ َوالَّ ِذ ْينَ هُ ْم لِفُرُوْ ِج ِه ْم َحافِظُوْ ن‬.
َ‫ت ُّم ْك َر ُموْ ن‬
“Dan orang-orang yang menjaga kesuciannya (tiada mengikuti hawa nafsunya), mereka
adalah orang-orang yang berada di taman surga dan mendapatkan kehormatan (diutamakan)”
(QS. Al-Ma’arij, 70: 29 dan 35).
c. Reformasi (ngajak kana kahadean atau Amar Ma’ruf Nahi Munkar). Silih Asuh dapat
memotivasi seseorang untuk memiliki sikap postif thinking. Sikap ini mengarahkan
seseorang kepada hidup yang lebih maju yang didasari oleh Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Reformasi seperti inilah yang dapat memperbaiki kembali sistem atau falsafah hidup, baik
secara individual ataupun sosial. Firman-Nya:
َ‫ك هُ ُم ْال ُم ْفلِحُوْ ن‬ ِ ْ‫َو ْلتَ ُك ْن اُ َّمةٌ يَّ ْد ُعوْ نَ ِالَى ْال َخي ِْر َويَْأ ُمرُوْ نَ بِ ْال َم ْعرُو‬
َ ‫ف َويَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْال ُم ْن َك ِر اُولِئ‬
“Harus ada dari kamu segolongan orang-orang yang mengajak kepada perbaikan, mencegah
dari kemunkaran dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali Imran, 3: 104).
d. Tauladan (Contoh anu hade atau Uswatun hasanah). Perilaku yang baik merupakan
cara atau metode pendidikan yang paling sukses. Kesuksesan Nabi Muhammad dalam
menjalankan misinya, baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan lainnya, terletak pada
perilakunya yang dapat dijadikan contoh oleh para sahabatnya atau umatnya. Firman Allah:
‫ لَقَ ْد َكانَ لَ ُك ْم فِى َرسُوْ ِل هللاِ اُ ْس َوةٌ َح َسنَةٌ ِل َم ْن َكانَ يَرْ جُوْ اهللاَ َو ْاليَوْ َم ْاآل ِخ َر َو َذ َك َر هللاَ َكثِ ْيرًا‬.
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik, bagi orang yang
mengharap rahmat Allah dan hari akhir, serta mereka banyak mengingat Allah” (QS. Al-
Ahzab, 33: 21).
Penjelasan di atas menggambarkan bahwa Silih Asih, Silih Asah dan Silih Asuh
merupakan motto dari misi Universitas Pasundan yang kaya dan sarat akan nilai-nilai sosial
kegamaan. Bila semua masyarakat khususnya masyarakat Sunda menerapkan falsafah
tersebut dalam kehidupan sehari-hari, maka tidak mustahil masyarakat Sunda akan menjadi
panutan bagi etnis-etnis lainnya, bahkan masyarakat internasionalpun akan berkiblat dan
berpedoman kepada falsafah hidup orang Sunda.
Kesimpulan
Islam merupakan agama yang cukup berpengaruh dan mempengaruhi kebudayaan
daerah, termasuk daerah-daerah di tatar Sunda. Menurut Koentjaraningrat (1983: 25) salah
satu pengaruh Islam yang paling menonjol terjadi di daerah Banten dan pesisir utara Jawa,
seperti daerah Indramayu, Subang, Karawang, Purwakarta dan Cirebon. Dan juga Universitas
Pasundan, di samping misi Perguruan Tinggi secara umum, yaitu Tri Darma Perguruan
Tinggi, Universitas Pasundan mengemban misi khusus yaitu mengembangkan Syi’ar Islam
dan melestarikan Budaya Sunda. Dalam pelaksanaannya kedua misi khusus tersebut harus
dijalankan bersama-sama secara utuh atau gumulung (kaffah), sehingga tidak terjadi
kesenjangan antara keduanya.

Anda mungkin juga menyukai