1. Suku Sunda
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian
Suku Sunda
Urang Sunda
ᮅᮅᮅ ᮅᮅᮅᮅᮅ
Koesoema V Nata
Kusumah
Legawa Ningrat
Total populasi
Setidaknya 36.701.670 jiwa[1] di Indonesia
Banten 2.411.937
Lampung 675.270
Riau 93.598
Jambi 89.394
Bengkulu 59.363
Papua 28.597
Bahasa
Melayu
Agama
Suku Sunda (Urang Sunda, aksara Sunda: ᮅᮅᮅ ᮅᮅᮅᮅᮅ) adalah kelompok etnis yang berasal
dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, dengan istilah Tatar Pasundan yang mencakup wilayah
administrasi provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta, dan wilayah barat Jawa
Tengah (Banyumasan). Orang Sunda tersebar diberbagai wilayah Indonesia, dengan
provinsi Banten dan Jawa Barat sebagai wilayah utamanya.
Jati diri yang mempersatukan orang Sunda adalah bahasanya dan budayanya. Orang Sunda
dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, riang dan bersahaja.[2] Orang Portugis mencatat
dalam Suma Oriental bahwa orang sunda bersifat jujur dan pemberani. Orang Sunda juga
adalah yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik secara sejajar dengan bangsa lain.
Sang Hyang Surawisesa atau Raja Samian adalah raja pertama di Nusantara yang melakukan
hubungan diplomatik dengan bangsa lain pada abad ke-15 dengan orang Portugis di Malaka.
Hasil dari diplomasinya dituangkan dalam Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal. Beberapa tokoh
Sunda juga menjabat Menteri dan pernah menjadi Wakil Presiden pada kabinet RI.
Di samping prestasi dalam bidang politik (khususnya pada awal masa kemerdekaan Indonesia)
dan ekonomi, prestasi yang cukup membanggakan adalah pada bidang budaya yaitu banyaknya
penyanyi, musisi, aktor dan aktris dari etnis Sunda, yang memiliki prestasi di tingkat nasional,
maupun internasional.[3]
Daftar isi
1Etimologi
2Pandangan Hidup
o 2.1Hubungan antara sesama manusia
o 2.2Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya
3Kepercayaan
4Bahasa
5Kesenian
o 5.1Seni tari
o 5.2Wayang Golek
o 5.3Seni musik
6Rumah Adat
7Sistem Kekerabatan
8Masakan Khas
9Profesi
10Referensi
11Lihat pula
Etimologi[sunting | sunting sumber]
Menurut Rouffaer (1905: 16) menyatakan bahwa kata Sunda berasal dari akar kata sund atau
kata suddha dalam bahasa Sansekerta yang mempunyai pengertian bersinar, terang, berkilau,
putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289). Dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan bahasa
Bali pun terdapat kata Sunda, dengan pengertian: bersih, suci, murni, tak tercela/bernoda, air,
tumpukan, pangkat, waspada (Anandakusuma, 1986: 185-186; Mardiwarsito, 1990: 569-570;
Winter, 1928: 219). Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter Kasundaan,
sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Karakter orang Sunda yang dimaksud
adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), wanter (berani)
dan pinter (cerdas). Karakter ini telah dijalankan oleh masyarakat Sunda sejak zaman Kerajaan
Salakanagara, Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda-Galuh, Kerajaan Pajajaran hingga
sekarang.
Nama Sunda mulai digunakan oleh raja Purnawarman pada tahun 397 untuk menyebut ibu
kota Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya. Untuk mengembalikan pamor Tarumanagara
yang semakin menurun, pada tahun 670, Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13,
mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Kemudian peristiwa ini dijadikan
alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa. Dalam
posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan raja
Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan
Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.
Kawas gula eujeung peueut yang artinya hidup harus rukun saling menyayangi, tidak pernah
berselisih.
Ulah marebutkeun balung tanpa eusi yang artinya jangan memperebutkan perkara yang
tidak ada gunanya.
Ulah ngaliarkeun taleus ateul yang artinya jangan menyebarkan perkara yang dapat
menimbulkan keburukan atau keresahan.
Ulah nyolok panon buncelik yang artinya jangan berbuat sesuatu di hadapan orang lain
dengan maksud mempermalukan.
Buruk-buruk papan jati yang artinya berapapun besar kesalahan saudara atau sahabat,
mereka tetap saudara kita, orang tua tentu dapat mengampuninya.
Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya [sunting | sunting
sumber]
Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, menurut pandangan hidup orang
Sunda, hendaknya didasari oleh sikap yang menjunjung tinggi hukum, membela negara, dan
menyuarakan hati nurani rakyat. Pada dasarnya, tujuan hukum yang berupa hasrat untuk
mengembalikan rasa keadilan, yang bersifat menjaga keadaan, dan menjaga solidaritas sosial
dalam masyarakat. Masalah ini dalam masyarakat Sunda terpancar dalam ungkapan-ungkapan:
Bubuy Bulan
Es Lilin
Manuk Dadali
Tokecang
Mojang Priangan
Selain itu, ada alat musik khas Sunda di antaranya adalah:
Angklung
Calung
Degung
Kacapi
Karinding
Suling
Secara tradisional rumah orang Sunda berbentuk panggung dengan ketinggian 0,5 m – 0,8 m
atau 1 meter di atas permukaan tanah. Pada rumah-rumah yang sudah tua usianya, tinggi
kolong ada yang mencapai 1,8 meter. Kolong ini sendiri umumnya digunakan untuk tempat
mengikat binatang-binatang peliharaan seperti sapi, kuda, atau untuk menyimpan alat-alat
pertanian seperti cangkul, bajak, garu dan sebagainya. Untuk naik ke rumah disediakan tangga
yang disebut Golodog yang terbuat dari kayu atau bambu, yang biasanya terdiri tidak lebih dari
tiga anak tangga. Golodog berfungsi juga untuk membersihkan kaki sebelum naik ke dalam
rumah.
Rumah adat Sunda sebenarnya memiliki nama yang berbeda-beda bergantung pada bentuk
atap dan pintu rumahnya. Secara tradisional ada atap yang bernama suhunan Jolopong, Tagong
Anjing, Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg Nangkub, Capit Gunting, dan Buka Pongpok.
Dari kesemuanya itu, Jolopong adalah bentuk yang paling sederhana dan banyak dijumpai di
daerah-daerah cagar budaya atau di desa-desa.
Jolopong memiliki dua bidang atap yang dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan
rumah. Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar dengan kedua sisi bawah bidang atap
yang sebelah menyebelah, sedangkan lainnya lebih pendek dibanding dengan suhunan dan
memotong tegak lurus di kedua ujung suhunan itu.
Interior yang dimiliki Jolopong pun sangat efisien. Ruang Jolopong terdiri atas ruang depan yang
disebut emper atau tepas; ruangan tengah disebut tengah imah atau patengahan; ruangan
samping disebut pangkeng (kamar); dan ruangan belakang yang terdiri atas dapur yang disebut
pawon dan tempat menyimpan beras yang disebut padaringan. Ruangan yang disebut emper
berfungsi untuk menerima tamu. Dulu, ruangan ini dibiarkan kosong tanpa perkakas atau
perabot rumah tangga seperti meja, kursi, ataupun bale-bale tempat duduk. Jika tamu datang
barulah yang empunya rumah menggelarkan tikar untuk duduk tamu. Seiring waktu, kini sudah
disediakan meja dan kursi bahkan peralatan lainnya. Ruang balandongan berfungsi untuk
menambah kesejukan bagi penghuni rumah. Untuk ruang tidur, digunakan Pangkeng. Ruangan
sejenis pangkeng ialah jobong atau gudang yang digunakan untuk menyimpan barang atau alat-
alat rumah tangga. Ruangan tengah digunakan sebagai tempat berkumpulnya keluarga dan
sering digunakan untuk melaksanakan upacara atau selamatan dan ruang belakang (dapur)
digunakan untuk memasak.
Ditilik dari segi filosofis, rumah tradisional milik masyarakat Jawa Barat ini memiliki pemahaman
yang sangat mengagumkan. Secara umum, nama suhunan rumah adat orang Sunda ditujukan
untuk menghormati alam sekelilingnya. Hampir di setiap bangunan rumah adat Sunda sangat
jarang ditemukan paku besi maupun alat bangunan modern lainnya. Untuk penguat antar tiang
digunakan paseuk (dari bambu) atau tali dari ijuk ataupun sabut kelapa, sedangkan bagian atap
sebagai penutup rumah menggunakan ijuk, daun kelapa, atau daun rumia, karena rumah adat
Sunda sangat jarang menggunakan genting. Hal menarik lainnya adalah mengenai material yang
digunakan oleh rumah itu sendiri. Pemakaian material bilik yang tipis dan lantai panggung dari
papan kayu atau palupuh tentu tidak mungkin dipakai untuk tempat perlindungan di komunitas
dengan peradaban barbar. Rumah untuk komunitas orang Sunda bukan sebagai benteng
perlindungan dari musuh manusia, tetapi semata dari alam berupa hujan, angin, terik matahari
dan binatang.
Sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat bilateral, garis keturunan ditarik dari pihak bapak
dan ibu. Dalam keluarga Sunda, bapak yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan
kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat
mewarnai seluruh sendi kehidupan suku Sunda. Dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki
yaitu sebagai istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan. Dicontohkannya,
pertama, saudara yang berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu
anak, euncu (cucu), piut (buyut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-
udeg, kaitsiwur atau gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan
horizontal seperti anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak
saudara piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal
seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya. Dalam bahasa Sunda
dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah atau silsilah) yang maknanya kurang lebih
sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa Indonesia. Makna sajarah adalah
susun galur/garis keturunan.
Masakan Khas[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Masakan Sunda
Beberapa jenis makanan jajanan tradisional Indonesia yang berasal dari tanah sunda, seperti
sayur asem, sayur lodeh, pepes, tutug oncom, lalaban, dll.
Suku Betawi adalah sebuah suku bangsa di Indonesia yang penduduknya umumnya
bertempat tinggal di Jakarta.[2] Mereka adalah keturunan penduduk yang bermukim di
Batavia (nama kolonial dari Jakarta) dari sejak abad ke-17.[3][4]
Sejumlah pihak berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil perkawinan antar etnis
dan bangsa pada masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi
adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh
Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung
pendatang baru di Jakarta.[5] Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis
lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti Sunda, Melayu, Jawa, Bali, Bugis,
Makassar, Ambon, Arab, Tionghoa, dan India.
2. Suku betawi
Etimologi
Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta[4] dan bahasa
Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Mengenai asal mula
kata Betawi, menurut para ahli dan sejarahwan, seperti Ridwan Saidi ada beberapa acuan:
Pitawi (bahasa Melayu Polinesia Purba) yang artinya larangan. Perkataan ini mengacu
pada komplek bangunan yang dihormati di Candi Batu Jaya. Sejarahwan Ridwan
Saidi mengaitkan bahwa Kompleks Bangunan di Candi Batu Jaya, Tatar Pasundan,
Karawang merupakan sebuah Kota Suci yang tertutup, sementara Karawang,
merupakan Kota yang terbuka.[6]
Betawi (Bahasa Melayu Brunei) digunakan untuk menyebut giwang[7]. Nama ini
mengacu pada ekskavasi di Babelan, Kabupaten Bekasi[8], yang banyak ditemukan
giwang dari abad ke-11 M.
Flora Guling Betawi (cassia glauca), famili papilionaceae yang merupakan jenis
tanaman perdu yang kayunya bulat seperti guling dan mudah diraut serta kukuh[9]
Dahulu kala jenis batang pohon Betawi banyak digunakan untuk pembuatan gagang
senjata keris atau gagang pisau. Tanaman guling Betawi banyak tumbuh di Nusa
Kelapa dan beberapa daerah di pulau Jawa dan Kalimantan. Sementara di Kapuas
Hulu, Kalimantan Barat, guling Betawi disebut Kayu Bekawi. Ada perbedaan
pengucapan kata "Betawi" dan "Bekawi" pada penggunaan kosakata "k" dan "t"
antara Kapuas Hulu dan Betawi Melayu, pergeseran huruf tersebut biasa terjadi dalam
bahasa Melayu.
Kemungkinan nama Betawi yang berasal dari jenis tanaman pepohonan ada kemungkinan
benar. Menurut sejarahwan Ridwan Saidi pasalnya, beberapa nama jenis flora selama ini
memang digunakan pada pemberian nama tempat atau daerah yang ada di Jakarta, seperti
Gambir, Krekot, Bintaro, Grogol dan banyak lagi. "Seperti Kecamatan Makasar, nama ini tak
ada hubungannya dengan orang Makassar, melainkan diambil dari jenis rerumputan"[10]
Sehingga kata "Betawi" bukanlah berasal dari kata "Batavia" (nama lama kota Jakarta pada
masa Hindia Belanda), dikarenakan nama Batavia lebih merujuk kepada wilayah asal nenek
moyang orang Belanda, terlebih lagi naskah-naskah yang ditulis pada tahun 1700 - 1800-an
menuliskan nama Batavia sebagai Batafia dan menyebut nama suku Betawi sebagai
Batawi[11] yang menerangkan posisi suku Betawi yang bukanlah sebuah suku yang terbentuk
karena adanya kota Batavia yang dibangun Belanda.
“
Batavia is the Latin name for the land of the Batavians during Roman times. This
was roughly the area around the city of Nijmegen, Netherlands, within the
Roman Empire. The remainder of this land is nowadays known as Betuwe.
During the Renaissance, Dutch historians tried to promote these Batavians to the
status of "forefathers" of the Dutch people. They started to call themselves
Batavians, later resulting in the Batavian Republic, and took the name "Batavia"
to their colonies such as the Dutch East Indies, where they renamed the city of
Jayakarta to become Batavia from 1619 until about 1942, when its name was
changed to Djakarta (this is the short for the former name Jayakarta, later
respelt Jakarta; see: History of Jakarta). The name was also used in Suriname,
where they founded Batavia, Suriname, and in the United States where they
founded the city and the town of Batavia, New York. This name spread further
west in the United States to such places as Batavia, Illinois, near Chicago, and
Batavia, Ohio. ”
Kemudian penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku yang pada masa hindia belanda,
diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama Pemoeda Kaoem Betawi yang
lahir pada tahun 1923.[12]
Sejarah
Berikut merupakan pemaparan para ahli tentang sejarah Betawi.
Sejarah Betawi diawali pada masa zaman batu yang menurut Sejarawan Sagiman MD sudah
ada sejak zaman neolitikum. Arkeolog Uka Tjandarasasmita dalam monografinya "Jakarta
Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran" (1977) secara
arkeologis telah memberikan bukti-bukti yang kuat dan ilmiah tentang sejarah penghuni
Jakarta dan sekitarnya dari masa sebelum Tarumanagara pada abad ke-5. Dikemukakan
bahwa paling tidak sejak zaman neolitikum atau batu baru (3500–3000 tahun yang lalu)
daerah Jakarta dan sekitarnya di mana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung,
Cisadane, Kali Bekasi, Citarum pada tempat-tempat tertentu sudah didiami oleh masyarakat
manusia yang menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta. Dari alat-alat yang ditemukan di
situs-situs itu, seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah diumpam halus dan memakai
gagang dari kayu, disimpulkan bahwa masyarakat manusia itu sudah mengenal pertanian
(mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan juga mungkin telah mengenal
struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur. [13]
Penduduk asli Betawi berbahasa Kawi (Jawa kuno). Di antara penduduk juga mengenal huruf
hanacaraka (abjad bahasa Jawa dan Sunda). Jadi, penduduk asli Betawi telah berdiam di
Jakarta dan sekitarnya sejak zaman dahulu.[14]
Periode awal
Abad ke-2
Pada abad ke-2, Menurut Yahya Andi Saputra Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah
kekuasaan Kerajaan Salakanagara atau Holoan yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor.
Penduduk asli Betawi adalah rakyat Kerajaan Salakanagara. Pada zaman itu perdagangan
dengan Cina telah maju. Bahkan, pada tahun 432 M Salakanagara telah mengirim utusan
dagang ke Tiongkok.
Abad ke-5
Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi sungai Citarum. Menurut
Yahya, ada yang menganggap Tarumanagara merupakan kelanjutan Kerajaan Salakanagara.
Hanya saja ibu kota kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke tepi sungai Citarum.
Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara. Tepatnya letak ibu kota
kerajaan di tepi sungai Candrabhaga, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai
Bekasi. Candra berarti bulan atau sasih, jadi ucapan lengkapnya Bhagasasi atau Bekasi, yang
terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak
istana kerajaan Tarumanengara yang termasyhur itu. Raja Hindu ini ternyata seorang ahli
pengairan. Raja mendirikan bendungan di tepi kali Bekasi dan Kalimati. Maka sejak saat itu
rakyat Tarumanagara mengenal persawahan menetap. Pada zaman Tarumagara kesenian
mulai berkembang. Petani Betawi membuat orang-orangan sawah untuk mengusir burung.
Orang-orangan ini diberi baju dan bertopi, yang hingga kini masih dapat kita saksikan di
sawah-sawah menjelang panen. Petani Betawi menyanyikan lagu sambil menggerak-
gerakkan tangan orang-orangan sawah itu. Jika panen tiba petani bergembira. Sawah subur,
karena diyakini Dewi Sri menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut mitologi Hindu, adalah
dewi kemakmuran. Penduduk mengarak barongan yang dinamakan ondel-ondel untuk
menyatakan mereka punya kagumbiraan. Ondel-ondel pun diarak dengan membunyikan
gamelan. Nelayan juga bergembira menyambut panen laut. Ikan segar merupakan rezeki yang
mereka dapatkan dari laut. Karenanya mereka mengadakan upacara nyadran. Ratusan perahu
nelayan melaut mengarak kepala kerbau yang dilarungkan ke laut.
Abad ke-7
Pada abad ke-7 Kerajaan Tarumanagara ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang beragama
Buddha. Di zaman kekuasaan Sriwijaya berdatangan penduduk Melayu dari Sumatra. Mereka
mendirikan permukiman di pesisir Jakarta. Kemudian bahasa Melayu menggantikan
kedudukan bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan. Ini disebabkan terjadinya perkawinan
antara penduduk asli dengan pendatang Melayu. Bahasa Melayu mula-mula hanya dipakai di
daerah pesisir saja kemudian meluas sehingga ke daerah kaki Gunung Salak dan Gunung
Gede. Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting. Kehidupan berkeluarga
dipandang suci. Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi martabat keluarga. Dalam
keluarga Betawi ayah disebut baba. Tetapi ada juga yang menyebutnya babe, mba, abi atau
abah — pengaruh para pendatang dari Hadramaut, Yaman. Ibu disebut mak. Tetapi tidak
kurang banyaknya yang menyebut umi atau enya' dari kata nyonya. Anak pertama dinamakan
anak bongsor dan anak bungsu dinamakan anak bontot.
Abad ke-10
Pada sekitar abad ke-10. Saat terjadi persaingan antara orang Melayu yaitu Kerajaan
Sriwijaya dengan orang Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri. Persaingan ini kemudian
menjadi perang dan membawa Tiongkok ikut campur sebagai penengah karena perniagaan
mereka terganggu. Perdamaian tercapai, kendali lautan dibagi dua, sebelah Barat mulai dari
Cimanuk dikendalikan Sriwijaya, sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kerajaan
Kediri. Artinya pelabuhan Kalapa termasuk kendali Sriwijaya.
Sriwijaya kemudian meminta mitranya yaitu Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu
mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa bagian barat. Tetapi ternyata Syailendara
abai maka Sriwijaya mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa.
Pada periode itulah terjadi persebaran bahasa Melayu di Kerajaan Kalapa yang pada
gilirannya – karena gelombang imigrasi itu lebih besar ketimbang pemukin awal – bahasa
Melayu yang mereka bawa mengalahkan bahasa Sunda Kawi sebagai lingua franca di
Kerajaan Kalapa. Sejarahwan Ridwan Saidi mencontohkan, orang “pulo”, yaitu orang yang
berdiam di Kepulauan Seribu, menyebut musim di mana angin bertiup sangat kencang dan
membahayakan nelayan dengan “musim barat” (bahasa Melayu), bukan “musim kulon”
(bahasa Sunda), orang-orang di desa pinggiran Jakarta mengatakan “milir”, “ke hilir” dan
“orang hilir” (bahasa Melayu Kalimantan bagian barat) untuk mengatakan “ke kota” dan
“orang kota”.
Abad ke-16
Perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Pajajaran) dengan bangsa Portugis pada tahun
1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa
mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang
menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong atau dikenal
sebagai Keroncong Tugu.
Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya, Belanda memerlukan
banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian dan membangun roda perekonomian
kota ini. Ketika itu VOC banyak membeli budak dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali
masih berlangsung praktik perbudakan.[15] Itulah penyebab masih tersisanya kosakata dan tata
bahasa Bali dalam bahasa Betawi kini. Kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai
suku bangsa dari penjuru Nusantara hingga Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota
ini. Pengaruh suku bangsa pendatang asing tampak jelas dalam busana pengantin Betawi
yang banyak dipengaruhi unsur Arab dan Tiongkok. Berbagai nama tempat di Jakarta juga
menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke Batavia,
Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar
dan Kampung Bugis. Rumah Bugis di bagian utara Jalan Mangga Dua di daerah kampung
Bugis yang dimulai pada tahun 1690.
Abad ke-19
Pada April 1967 di majalah Indonesia terbitan Cornell University, Amerika, sejarahwan
Australia, Lance Castles mengumumkan penelitiannya menyangkut asal usul orang Betawi.
Hasil penelitian yang berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” menyebutkan bahwa orang
Betawi terbentuk pada sekitar pertengahan abad ke-19 sebagai hasil proses peleburan dari
berbagai kelompok etnis yang menjadi budak di Batavia.
Secara singkat sketsa sejarah terjadinya orang Betawi menurut Castles dapat ditelusuri dari:
Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di
dalam kota benteng Batavia.
Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Oleh karena klasifikasi penduduk dalam keempat catatan itu relatif sama, maka ketiganya
dapat diperbandingkan, untuk memberikan gambaran perubahan komposisi etnis di Jakarta
sejak awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Sebagai hasil rekonstruksi, angka-angka
tersebut mungkin tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya, namun menurut Castles
hanya itulah data sejarah yang tersedia yang relatif meyakinkan walaupun hasil kajian yang
dilakukan Castles mendapatkan banyak kritikan karena hanya menitikberatkan kepada skesta
sejarah yang baru ditulis tahun 1673.
Mengikuti kajian Castles, antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, M.A.
memperkirakan etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Di
zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan
bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815,
terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan
etnis Betawi. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang
sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Melayu, orang Bali, Jawa,
Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda. Kemungkinan
kesemua suku bangsa Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan
penduduk pribumi (bahasa Belanda: inlander) di Batavia yang kemudian terserap ke dalam
kelompok etnis Betawi.
Abad ke-20
Ondel-Ondel menghiasi jalan selama festival selamatan saat peresmian sayap baru Hotel Des
Indes, 1923.
Pada zaman kolonial Belanda tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak
pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah
orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Namun menurut Uka Tjandarasasmita penduduk asli Jakarta telah ada sejak 3500-3000 tahun
sebelum masehi. Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof. Dr. Parsudi Suparlan
menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu
juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri
berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau
orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan
sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada
tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Pemoeda Kaoem
Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah
golongan, yakni golongan orang Betawi.
Dr. Yasmine Zaki Shahab, M.A. berpendapat bahwa hingga beberapa waktu yang lalu
penduduk asli Jakarta mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Melayu atau menurut lokasi
tempat tinggal mereka, seperti orang Kwitang; orang Kemayoran; orang Tanah Abang dan
seterusnya. Setelah tahun 1970-an yang merupakan titik balik kebangkitan kebetawian di
Jakarta telah terjadi pergeseran lebel dari Melayu ke Betawi. Orang yang dulu menyebut
kelompoknya sebagai Melayu telah menyebut dirinya sebagai orang Betawi.
Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat
campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk
di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar
benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu yang umum digunakan di
Sumatra, Kalimantan, Semenanjung Malaka, Brunei dan Thailand Selatan yang kemudian
dijadikan sebagai bahasa Indonesia.
Setelah kemerdekaan
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri
imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal
sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari
antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran,
bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Proses asimilasi dari berbagai suku
yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah
salah satu caranya ’suku’ Betawi hadir.
Suku-suku yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, Jawa, Sunda, Melayu, Minang,
Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap
dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang.
Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat
dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia
maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ
Babakan.
Bahasa
Sifat campur-aduk dalam bahasa Betawi atau Melayu Dialek Jakarta atau Melayu Batavia
adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil dari asimilasi
kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan
asing.[16]
Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar "Kalapa"
(sekarang Jakarta) juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto-Betawi). Menurut
sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura, pernah diserang dan
ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatra. Oleh karena itu, tidak heran kalau
penduduk asli Betawi yang pada awalnya berbahasa Kawi dan mendiami daerah sekitar
pelabuhan Sunda Kalapa (jauh sebelum Sumpah Pemuda) sudah menggunakan bahasa
Melayu, bahkan ada juga yang mengatakan suku lainnya semisal suku Sunda yang mendiami
wilayah inipun juga ikut menggunakan Bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatra
dan Kalimantan Barat, penggunaan bahasa ini dikarenakan semakin banyaknya pendatang
dari wilayah Melayu lainnya semisal Kalimantan Barat dikarenakan dianggap abainya
Syailendra ketika dimintai tolong oleh Sriwijaya untuk menjaga wilayah perairan laut sebelah
barat Sungai Cimanuk sebagai hasil Perjanjian Damai Sriwijaya-Kediri yang dimediasi oleh
Tiongkok yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena perbedaan bahasa yang digunakan antara suku Betawi dengan suku Sunda di wilayah
lainnya tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di
sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai
etnis Betawi. Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap
dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng
(yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi
Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah
kuno Bujangga Manik[17] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa
informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek
Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir.
Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a".
Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena
berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar
Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling
selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke selatan,
Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa
Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin Sueb, Ida Royani dan Aminah
Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong.
Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh
paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi
tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati seperti "ain"
mati dalam cara baca mengaji Al Quran.
Musik
Gambang Kromong.
Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang
berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik
Arab, orkes Samrah berasal dari Melayu, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-
Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal
dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga
memiliki lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".
Ondel-Ondel Betawi.
Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di
dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi,[18] Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong
Sunda,[19] Cokek, tari silat dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh
Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing.
Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga
muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.
Drama tradisional Betawi antara lain lenong dan tonil. Pementasan lakon tradisional ini
biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu,
pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi
langsung dengan penonton.[20]
Cerita rakyat
Silat Betawi.
Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si
Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau Si Jampang yang
mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang
dikenal "keras".[21] Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal
cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. Cerita lainnya ialah
Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.
Senjata tradisional
Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan dari kayu.
Rumah tradisional
Rumah tradisional/adat Betawi adalah rumah kebaya. Terdapat pula rumah tradisional lain
seperti rumah panggung Betawi.
Kepercayaan
Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen;
Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang
beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara
penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16,
Surawisesa, raja Pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan
Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk
komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan
menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.[22]
Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam
segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil.
Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo,
Gubernur DKI Jakarta periode 2007-2012.
Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi,
walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius.
Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orang tua
(terutama yang beragama Islam) kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat
menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi
dengan pendatang dari luar Jakarta.
Orang Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku
kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa
ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Memang tidak bisa dimungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa
kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri. Namun tetap ada
optimisme dari masyarakat Betawi terhadap generasi mendatang yang justru akan menopang
modernisasi tersebut.
Profesi
Di Jakarta, orang Betawi sekarang sebagai hasil asimilasi antar suku bangsa, sebelum era
Orde Baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka
masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak
dijumpai para petani kembang (anggrek, kamboja Jepang, dan lain-lain) dan secara umum
banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik. Profesi pedagang, pembatik juga banyak
dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga
Kemanggisan.
Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi
perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek,
jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Si Pitung dari
Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman
Belanda, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustaz,
dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu program
Ganefo yang dicetuskan oleh Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan
sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno
yang dikenal sekarang ini. Karena salah satu asal-muasal berkembangnya suku Betawi adalah
dari asimilasi (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain),
profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang etnis dan bauran etnis dasar
masing-masing.
3. Suku Madura
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Suku Madura
مدورا سوكو
Jumlah populasi
Bahasa
Madura, Jawa dan Indonesia.
Agama
Islam
Suku Madura (Bhs Madura: Orèng Mâdurâ) merupakan etnis dengan populasi besar di
Indonesia, jumlahnya sekitar 7.179.356 juta jiwa (sensus 2010). Mereka berasal dari Pulau
Madura dan pulau-pulau sekitarnya
Daftar isi
1 Sejarah
2 Demografis
3 Kepercayaan
4 Karakter
5 Budaya Sosial
6 Lain - Lain Tentang Madura
7 Referensi
8 Pranala Luar
Sejarah
Seperti Gili Raja, Sapudi, Raas, dan Kangean. Selain itu, orang Madura tinggal di bagian
timur Jawa Timur biasa disebut wilayah Tapal Kuda, dari Pasuruan sampai utara
Banyuwangi. Orang Madura yang berada di Situbondo, Bondowoso, sebelah timur
Probolinggo, utara Lumajang, dan utara Jember, jumlahnya paling banyak dan jarang yang
bisa berbahasa Jawa, juga Surabaya utara, serta sebagian Malang. ada juga yang menetap di
Bawean, di negeri jiran Malaysia, Timor Leste, Brunei Darussalam misalnya juga ada,
mereka ada yang menjadi penduduk tetap (sudah dapat IC/ surat tinggal selamanya.), Bahkan
ada juga di negara negara Timur Tengah.
Demografis
Penari dari Madura (1890–1917)
Di samping suku Jawa dan Sunda, orang Madura juga banyak yang bertransmigrasi ke
wilayah lain terutama ke Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, serta ke Jakarta,
Tangerang, Depok, Bogor, Bekasi, dan sekitarnya, juga Negara Timur Tengah khususnya
Saudi Arabia. Beberapa kota di Kalimantan seperti Sampit dan Sambas, pernah terjadi
kerusuhan etnis yang melibatkan orang Madura disebabkan oleh kesenjangan sosial, tetapi
sekarang kesenjangan itu sudah mereda dan etnis Madura dan penduduk setempat sudah
rukun kembali.
Orang Madura pada dasarnya adalah orang yang mempunyai etos kerja yang tinggi, ramah,
giat bekerja dan ulet, mereka suka merantau karena keadaan wilayahnya yang tidak baik
untuk bertani. Orang perantauan asal Madura umumnya berprofesi sebagai pedagang,
misalnya: berjual-beli besi tua, pedagang asongan, dan pedagang pasar. Namun, tidak sedikit
pula di antara mereka yang menjadi tokoh nasional seperti:
Selain itu banyak juga terdapat tokoh pejuang kemerdekaan yang layak menjadi Pahlawan
nasional Indonesia Seperti:
Kepercayaan
Mayoritas masyarakat suku Madura hampir 100 % beragama Islam, bahkan suku Madura
yang tinggal di Madura bisa dikatakan 100 % muslim. suku Madura terkenal sangat taat
dalam beragama Islam, seperti halnya suku Melayu atau suku Bugis yang juga sangat
menjunjung agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu sebabnya dengan adanya
Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh pulau madura. Misalnya Pondok Pondok
pesantren miftahul ulum panyepen, Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, pondok pesantren
Al hamidiy banyuanyar Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar di Kabupaten
Pamekasan, Pondok pesantren Annuqayah disingkat PPA pesantren yang terletak di desa
Guluk-Guluk, Pondok Pesantren Al-Amin di Sumenep dan, Pondok Pesantren Syaikhona
Kholil Bangkalan, Pondok Pesantren Attaraqqi Sampang, dan pesantren-pesantren lainnya
dari yang memiliki santri ribuan, ratusan, dan puluhan yang tersebar di Pulau Madura.
Pesantren-pesantren begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat Madura karena pesantren
tidak sekadar mengajar ilmu agama tetapi juga mempunyai kiprah dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan dan peduli pada nasib rakyat kecil.
Karakter
Suku Madura dikenal dengan intonasi bicaranya yang keras dan terdengar kasar. Walaupung
begitu mereka juga dikenal hemat, disiplin, dan rajin bekerja. Selain itu orang Madura
dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat, sekalipun kadang melakukan ritual Pethik Laut
atau Rokat Tasse (sama dengan larung sesaji).[butuh rujukan] Sekali pun berpendapatan kecil pasti
menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan naik haji.
Budaya Sosial
Harga diri, juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah
peribahasa lebbi bagus pote tollang, atembang pote mata. Artinya, lebih baik mati (putih
tulang) daripada malu (putih mata). Sifat yang seperti ini melahirkan tradisi carok pada
masyarakat Madura, tetapi tradisi lambat laun melemah seiring dengan terdidiknya kaum
muda di pelosok desa, dahulu mereka memakai kekuatan emosional dan tenaga saja, tetapi
kini mereka lebih arif dalam menyikapi berbagai persoalan yang ada.
Ada perbedaan antara Madura Timur (Sumenep dan Pamekasan) dengan Madura Barat
(Sampang dan Bangkalan). Orang Madura Timur dikenal lebih halus baik dari sikap, bahasa,
dan tatakrama daripada orang Madura Barat.[butuh rujukan] Orang Madura Barat lebih banyak
merantau daripada Madura Timur.[butuh rujukan] Hal ini, disebabkan Madura Barat lebih gersang
daripada Madura Timur yang dikenal lebih subur.[butuh rujukan]