Anda di halaman 1dari 13

1

BAB VIII
KAPITA SELEKTA
ISLAM DAN KESUNDAAN

Masyarakat Sunda merupakan etnik terbesar kedua di Indonesia

setelah etnik Jawa. Secara geografis, ia mendiami Pulau Jawa tepatnya Jawa

Barat. Secara antroplogis, merupakan orang-orang yang secara turun-temurun

menggunakan bahasa Ibu yakni Bahasa Sunda dan dialek Sunda. Bahasa ini

merupakan salah satu pembeda etnik Sunda dengan etnik lainnya (Harsojo,

dalam Koentajaraningrat, 1983: 300).

Sunda dihubungkan pula dengan kebudayaan. Dinamakan kebudayaan

Sunda karena budaya itu hidup, tumbuh dan berkembang di kalangan orang

Sunda yang pada umumnya berdomisili di tatar Sunda. Sebagai bagian dari

khazanah kebudayaan nasional, kebudayaan Sunda memiliki ciri-ciri khas

yang membedakannya dengan kebudayaan lain (Edi S. Ekadjati, 1995: 9).

Dalam tata kehidupan nasional, sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Dasar 1945, terutama dalam penjelasan pasal 32 dan pasal 36,

kebudayaan Sunda digolongkan dalam kebudayaan daerah.

Sekalipun masyarakat Sunda merupakan etnik dengan kebudayaannya

yang khas, pada realitasnya di tengah masyarakat Sunda berkembang berbagai

kebudayaan lainnya baik dalam skala internasional, nasional maupun regional.

Realitas ini menggambarkan bahwa masyarakat Sunda dan kebudayaannya


2

sangat terbuka untuk menerima dan mendapat pengaruh dari budaya dan

agama-agama yang tumbuh di Indonesia maupun yang berkembang di dunia.

Islam merupakan agama yang cukup berpengaruh dan mempengaruhi

kebudayaan daerah, termasuk daerah-daerah di tatar Sunda. Menurut

Koentjaraningrat (1983: 25) salah satu pengaruh Islam yang paling menonjol

terjadi di daerah Banten dan pesisir utara Jawa, seperti daerah Indramayu,

Subang, Karawang, Purwakarta dan Cirebon.

Pengaruh ajaran agama Islam itu juga menyebar kemudian di daerah-

daerah masyarakat Sunda lainnya, sehingga secara kuantitatif daerah Sunda

yang sekarang lebih dikenal Propinsi Jawa Barat mayoritas penduduknya

secara formal dan sosiologis menganut agama Islam. Dengan demikian,

perilaku sosial dan budaya masyarakat Sunda tidak terlepas dari aktualisasi

dan implementasi ajaran Islam. Bahkan, karena begitu kuatnya ajaran Islam

mempengaruhi kehidupan masyarakat Sunda, Ahmad Sadali menyatakan

bahwa “orang Sunda itu identik dengan Islam”.

Gejala adanya kesadaran manunggalnya Sunda dengan Islam pernah

mengemuka dalam Musyawarah Masyarakat Sunda II di Bandung tahun 1967.

Ungkapan “Islam-Sunda dan Sunda Islam” bukan semata mengandung

perdebatan mana yang paling ideal, sekalipun pengertian “Sunda-Islam”

dipandang lebih tepat untuk mengungkapkan Islam sebagai jati diri

masyarakat Sunda secara mayoritas. Sekaligus istilah itu dapat menjadi


3

pembeda dengan “ Sunda Nasrani, Sunda Hindu” dan sebagainya; sebagai

bagian masyarakat minoritas di tatar Sunda.

“Islam Sunda” dapat diartikan bahwa yang menjadi pokok adalah


Islam sebagai identitas etnik, yang sepadan dengan Islam Jawa, Islam Cina,
Islam Arab, dan Islam lainnya (Ayatrohaedi, 1988: 10). Karena umat Islam
menjadi masyarakat mayoritas Sunda, maka dapat dipastikan dalam berbagai
wujud interaksi, sikap, perilaku dan nilai-nilai budaya masyarakat Sunda
sangat menonjolkan karakter keislaman.
Karakteristik keislaman pada masyarakat Sunda dapat dilihat
diantaranya dalam pakaian wanita. Sekalipun tidak terlalu tertutup seperti
wanita Arab, namun pakaian kebaya dengan kerudungnya memperlihatkan
kesadaran berpakaian yang islami, hal ini berbeda dengan pakaian adat Jawa
yang masih memperlihatkan dada . Kemudian dalam bentuk teradisi-tradisi
lain seperti sunatan, mauludan, rajaban, marhaba-an dan upacara
perkawinan. Begitu juga dalam karya-karya sastra seperti karya-karya Haji
Hasan Mustapa, banyak menggambarkan dakwah Islam atau nafas-nafas
keislaman (Ajip Rosidi, 1995: 337).

A. Identitas Universitas Pasundan


Seperti yang dijelaskan dalam statuta Universitas Pasundan, di samping misi
Perguruan Tinggi secara umum, yaitu Tri Darma Perguruan Tinggi, Universitas
Pasundan mengemban misi khusus yaitu mengembangkan Syi’ar Islam dan
melestarikan Budaya Sunda. Dalam pelaksanaannya kedua misi khusus tersebut harus
dijalankan bersama-sama secara utuh atau gumulung (kaffah), sehingga tidak terjadi
kesenjangan antara keduanya.
4

Misi khusus tersebut merupakan ciri atau identitas Universitas Pasundan yang
digambarkan dalam “Tri Jati Diri”. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan
insan-insan akademis yang bernafaskan Islam dan mampu menghadapi persaingan
hidup di era serba global. Gambaran Tri Jati Diri Universitas Pasundan tersebut
adalah:
Luhung Elmuna (Basthah Fi al-‘Ilmi), sehingga terbentuk insan-insan yang:

1. Arrasikhuna Fi al-Ilmi: Orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang dalam dan

luas serta mampu mengamalkan ilmunya sesuai dengan tuntutan zaman (QS. Ali

Imran, 3: 7 dan Al-Nisa, 4: 162).

2. Ulu al-Nuha: Orang yang mampu (aktif) menggunakan akalnya terhadap

realitas ciptaan dan kekuasaan Allah di muka bumi (QS. Thaha, 20: 54 dan 128).

3. Ulu al-‘Ilmi: Orang yang menguasai bidang ilmu yang dipelajarinya (berilmu

tinggi) dan mengamalkannya secara profesional (QS. Ali Imran, 3: 18).

4. Ulu al-Abshar: Orang yang tajam dan cermat dalam melihat realitas kehidupan

atau suatu kejadian, kemudian memprediksikannya dengan cepat dan tepat (QS.

Al-Nuur, 24: 44).

5. Ulul al-Bab: Orang yang akftif dalam memerankan rasa dan rasionya dengan

seimbang (QS. Ali Imran, 3: 190-191).

Pengkuh Agamana (Al-Mutamassik Bi al-Diin), sehingga terbentuk insan-insan

yang:

1. Muslim: Orang yang menyerahkan dirinya secara total hanya kepada Allah (QS.

Al-An’am, 6: 162-163).

2. Mu’min: Orang yang percaya dan menyandarkan segala persoalan hidup

sepenuhnya (gemleng) hanya kepada Allah (QS. Al-Anfal, 8: 2-3).


5

Jembar Budayana (Al-‘Alim wa al-‘Amil), sehingga terbentuk insan-insan:

1. Shalih: Orang yang tidak pernah menyusahkan orang lain dan dapat

menyesuaikan dirinya (perilakunya) dengan lingkungannya (QS. Al-Anbiya, 21:

105 dan Al-Taubah, 9: 75).

2. Muhsin: Orang yang senantiasa berbuat kebaiakan dan memebri manfa’at

kepada orang banyak (QS. Al-Baqarah, 2: 112 dan Al-Nahl, 16: 128).

3. Mukhlish: Orang yang memiliki sikap lapang dada, berbuat tanpa mengharapkan

pujian atau pamrih, kompetitif dan penuh konsentrasi; tulus hanya karena Allah

(QS. Al-Bayyinah, 98: 5).

Berbekal Tri Jati Diri Universitas Pasundan tersebut dengan budaya Sundanya

yang islami, diharapkan para lulusannya mampu berperan aktif pada era yang sedang

dihadapinya (mampu ngigelan jeung ngigelkeun zaman). Untuk mencapai kualitas Tri

Jati Diri Universitas Pasundan ini diperlukan proses berkehidupan yang resiprokal,

dan dilandasi oleh perilaku kasilihwangian.

Kasilihwangian

Kasilihwangian berasal dari kata silihwangi, yaitu gelar atau sebutan Raja

Tatar Sunda Jaya Dewata setelah meninggal dunia. Gelar ini diberikan karena Prabu

Jaya Dewata semasa hidupnya memiliki sifat asih-asah-asuh yang mengharapkan

rakyatnya agar hidup Silih Asih, Silih Asah dan Silih Asuh (SILAS). SILAS ini

dijadikan falsafah hidup bagi masyarakat Sunda, namun hingga kini belum banyak

dikaji orang secara mendalam, baik oleh orang Sunda sendiri ataupun oleh
6

orang/suku lainnya, yang hasil kajiannya dapat diterima oleh masyarakat secara

umum.

Dalam kalimat SILAS terdapat kata silih yang mengandung arti saling. Kata

ini menunjukan kepada suatu pekerjaan yang bersifat resiprokal, artinya ada dua

orang yang keduanya berperan sebagai subjek sekaligus sebagai objek.

SILAS merupakan satu sistem, di dalamnya terdapat unsur-unsur yang antara

satu dengan lainnya saling beruhubungan. Unsur-unsur tersebut berupa petunjuk

perilaku manusia dalam menjalankan hubungannya antar sesama manusia (hablum

minannas), atau lebih tegasnya lagi bahwa SILAS merupakan etika pergaulan. Unsur-

unsur yang terkandung dalam falsafah etika SILAS tersebut meliputi:

1. Silih Asih

Secara harfiah Silih Asih berarti tingkah laku yang saling mengasihi dan

saling menyayangi. Sikap ini paling tidak diterapkan dalam:

a. Gawe (bekerja atau amal), termasuk di dalamnya kerjasama (Rukun Gawe atau

Ta’awwun) dan tanggungjawab bersama (Ngabagikeun Tanggung Jawab atau

Tadlammun). Maksudnya adalah bahwa rasa “Asih” atau kasih sayang

diwujudkan dalam bentuk suatu pekerjaan, baik pekerjaan yang sifatnya lahiriah

ataupun bathiniah. Rasa asih ini akan lebih kuat bila dilaksanakan secara

bergotong royong (Ta’awwun) dan bertanggung jawab bersama (Tadlammun).

Firman Allah:

.‫الت ْق َوى َوالَ َت َع َاونُ ْوا َعلَى اْ ِإلمْثِ َوالْعُ ْد َو ِان‬


َّ ‫َوَت َع َاونُ ْوا َعلَى الْرِب ِّ َو‬
7

“Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan

ketakwaan, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan

pelanggaran” (QS. Al-Ma-idah, 5: 2).

b. Tanpa Pamrih (Ihsan, Ikhlash dan Ridla). Asih mendorong seseorang untuk

berbuat tanpa pamrih, sungguh-sungguh dan kompetitif (ikhlash) serta

merasakan dirinya selalu dilihat Allah (Ihsan). Kedua sikap ini pada akhirnya

akan melahirkan sikap menerima apa adanya terhadap segala apa yang menimpa

pada dirinya (Ridla). Gambaran hadits Rasul:

َ ‫ك َت َراهُ فَِإ ْن لَّ ْم تَ ُك ْن َت َراهُ فَِإنَّهُ َي َر‬


. ‫اك‬ َ َّ‫اَ ْن َت ْعبُ َد اهللَ َكأَن‬
“Hendaklah kamu beribadah kepada Allah, seolah-olah kamu melihat-Nya,

sekalipun kamu tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa

melihatmu” (HR. Imam Tirmidzi).

Firman Allah:

ِ ِ
ِ ‫اهلل ر‬ ِ ِ ْ َ‫حسبنَا اهلل سي ْؤتِينَا اهلل ِمن ف‬
.‫اغُب ْو َن‬ َ ‫ضله َو َر ُس ْولُهُ إِنَّا الَى‬ ْ ُ ْ َُ ُ ُْ َ
“Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari

karunia-Nya dan demikian juga Rasul-Nya. Sesungguhnya kami hanya berharap

kepada Allah, tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka” (QS. Al-

Taubah, 9: 59).

c. Rasa Memiliki (Rasa Miboga atau Tarohum). Wujud sikap asih terdapat pula

dalam sikap Tarohum. Sikap ini merupakan fitrah atau pembawaan manusia

semenjak lahir yang selalu ingin dikasihi dan mengasihi. Sikap ini dapat
8

menuntun seseorang untuk memiliki rasa miboga, memelihara dan

mengembangkan almamater seperti miliknya sendiri. Hadits Rasul:

ُ‫اعى لَه‬ ْ ‫اح ِد اِ َذا ا ْشتَ َكى ِم ْنهُ ُع‬


َ ‫ض ٌو تَ َد‬
ِ ‫ِّهم وَتراح ِم ِهم َكالْجس ِد الْو‬
ِ ِ ِِ
َ َ َ ْ ُ َ َ ْ ‫َمثَ ُل ال ُْم ْؤمن ْي َن فى َت َواد‬

َّ ِ‫س ِد ِه ب‬
ُ ‫الس ْح ِر َوال‬
.‫ْح َمى‬ ِ
َ ‫َسائ ُر َج‬
“Perumpamaan orang mu’min itu dalam sayang menyayangi, santun

menyantuni dan kasih mengasihi adalah bagaikan satu tubuh yang apabila

menderita salah satu anggotanya, ikut menderita pula seluruh tubuh merasa

demam dan tidak bisa tidur (HR. Muslim).

2. Silih Asah

Secara harfiah Silih Asah berarti membuat sesuatu menjadi tajam, termasuk

pikiran manusia. Silih Asah yang dimaksud adalah saling memberi ilmu pengetahuan,

meningkatkan dan mengembangkannya. Sikap ini dapat diterapkan dalam wujud:

a. Ada Kemauan (boga sumanget jeung kahayang atau ijtihad) termasuk di

dalamnya berfikir, dzikir dan sabar. Untuk menambah ilmu pengetahuan dengan

sendirinya harus didasari oleh semangat dan kemauan serta berusaha keras.

Sikap ini akan membangkitkan rasa percaya diri bagi seseorang; bahwa dirinya

mampu untuk berbuat. Upaya seperti ini dalam literatur Islam disebut “Ijtihad”.

Ijtihad merupakan anugrah Allah yang diberikan kepada seseorang untuk

mengungkapkan rahasiah-rahasiah alam yang tidak bertentangan dengan al-

Qur’an dan Hadits. Banyak ayat al-Qur’an yang menyuruh kita untuk berijtihad,
9

di antaranya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih

bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi “Ulu al-Albab”, yaitu

orang-orang yang selalu mengingat Allah dalam keadaan duduk, berdiri dan

berbaring serta mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, seraya

berkata: ‘Ya Tuhan kami! Tiadalah Engkau jadikan ini semua dengan sia-sia,

Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka“ (QS. Ali

Imran, 3: 190-191).

b. Musyawarah. Silih Asah bisa terjadi dengan melakukan musyawarah. Dalam

musyawarah terdapat nilai take and give; saling mengisi kekurangan, saling

mengingatkan kesalahan dan saling memperdalam pengetahuan. Allah

berfirman:

.‫اه ْم ُي ْن ِف ُق ْو َن‬ ِ
ُ َ‫َو أ َْم ُر ُه ْم ُش ْو َرا َب ْيَن ُه ْم َوم َّما َر َزقْن‬
“….. segala urusan mereka senantiasa dipecahkan dengan jalan musyawarah

antar mereka dan mereka membelanjakan sebagian dari harta yang kami

karuniakan kepadanya” (QS. Al-Syura, 42: 38).

Hadits rasul yang bunyinya sebagai berikut: “Tiadalah suatu kaum

bermusyawarah melainkan akan mendapat petunjuk yang sebanar-benarnya

untuk urusan mereka” (HR. Hasan).

c. Berlomba-lomba dalam kebajikan (Paheula-heula muru kana kahadean atau

Sabiqun Bi al-Khairat). Dalam al-Qur’an diungkapkan dengan istilah Fastabiqu

al-Khairat. Berlomba-lomba dalam kebajikan sangat dilandasi oleh sikap


10

kreativitas, atau lebih jauhnya membutuhkan daya kreatif-interaktif, baik orang

yang mengasah ataupun orang yang diasah. Daya kreativitas ini dalam budaya

Sunda disebut dengan “Rancage”. Sikap ini sangat dibutuhkan bagi orang yang

ingin meningkatkan sumber daya pribadinya. Firman Allah:

‫سا ِرعُ ْو َن فِى‬ ِ ْ‫اهلل والْيوِم ا‬


ِ ‫آلخ ِر ويأْمرو َن بِالْمعرو‬ ِ ِ
ُ‫ي‬‫و‬
َ َ ُِ
‫ر‬ ‫ك‬
َ ‫ن‬
ْ ‫ْم‬
‫ل‬ ‫ا‬ ِ
‫ن‬ ‫ع‬
َ ‫ن‬
َ ‫و‬
ْ ‫ه‬
َ ‫ن‬
ْ ‫ي‬
َ ‫و‬
َ ‫ف‬ ْ ْ
ُ َ ْ ُ
ُ ََ ْ َ َ ِ‫ُي ْؤم ُن ْو َن ب‬

َّ ‫ك ِم َن‬
.‫الصالِ ِح ْي َن‬ ِ ‫الْ َخ ْير‬
َ ِ‫ات َواُولئ‬ َ
“Mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka menyuruh berbuat

kebajikan dan melarang perbuatan munkar dan mereka berlomba-lomba dalam

berbuat kebajikan, mereka itulah termasuk orang-orang yang baik (shaleh)”

(QS. Ali Imran, 3: 114).

3. Silih Asuh

Kata Asuh berarti membimbing, mendidik, membantu dan membantu

menyelesaikan persoalan orang lain serta mengingatkannya tentang perbuatan yang

tidak atau seharusnya dilakukan. Sikap ini harus disertai dengan rasa kasih sayang,

artinya Silih Asuh akan terjadi secara harmoni dan interaktif bila kedua belah pihak

memberikan asuh dengan penuh kasih sayang. Unsur yang terdapat dalam Silih Asuh

ini antara lain:

a. Kesederajatan (Kasadarajatan atau Musawah) dan menghargai (Ngahargaan

atau Tasamuh). Kesederajatan (Musawah) mengandung arti adanya persamaan

antara dirinya dengan orang lain di hadapan Allah, yang membedakannya adalah
11

siap yang paling bertakwa kepada-Nya. Tasamuh mengajarkan seseorang untuk

tidak memiliki rasa unggul dari orang lain (superior) atau menekan orang lain

apalagi menjajahnya. Kedua belah pihak berusaha agar ada keseimbangan yang

sesuai dengan tatakrama atau etika sosial. Dengan sikap ini, interaksi dapat

berjalan dengan baik dimana masing-masing saling menghargai hak asasi

pribadinya. Firman Allah:

‫َّاس اِنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن ذَ َك ٍر َّواُْنثَى َو َج َعلْنَا ُك ْم ُشعُ ْوبًا َّو َقبَائِ َل‬
ُ ‫يَآاَُّي َها الن‬
ِ ‫لَِتعر ُفوا إِنَّا أَ ْكرم ُكم ِع ْن َد‬
.‫اهلل أَْت َقا ُك ْم إِ َّن اهللَ َعلِ ْي ٌم َخبِْي ٌر‬ ْ ََ ْ ََ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu semua dari jenis

laki-laki dan perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan

bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang

paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa,

sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat,

49: 13).

b. Beresih Hati (Kawening Hate atau iffah). Silih Asuh akan terlaksana secara

akrab dan harmonis bila kedua belah pihak memiliki hati yang beresih. Sikap ini

(Beresih Hati/Kawening Hate/Iffah) bagaikan air jernih yang memberikan

kesejukan kepada setiap makhluk. Pujian Allah dalam al-Qur’an:

ٍ ‫ك فِى جن‬ ِ ِ ِ ِ ِ
. ‫َّات ُّم ْك َر ُم ْو َن‬ َ ْ َ ‫ اُ ْولئ‬. ‫َوالَّذيْ َن ُه ْم ل ُف ُر ْوج ِه ْم َحافظُْو َن‬
12

“Dan orang-orang yang menjaga kesuciannya (tiada mengikuti hawa nafsunya),

mereka adalah orang-orang yang berada di taman surga dan mendapatkan

kehormatan (diutamakan)” (QS. Al-Ma’arij, 70: 29 dan 35).

c. Reformasi (ngajak kana kahadean atau Amar Ma’ruf Nahi Munkar). Silih Asuh

dapat memotivasi seseorang untuk memiliki sikap postif thinking. Sikap ini

mengarahkan seseorang kepada hidup yang lebih maju yang didasari oleh Amar

Ma’ruf Nahi Munkar. Reformasi seperti inilah yang dapat memperbaiki kembali

sistem atau falsafah hidup, baik secara individual ataupun sosial. Firman-Nya:

ِ ‫ولْت ُكن اَُّمةٌ يَّ ْدعُو َن اِلَى الْ َخي ِر ويأْمرو َن بِالْمعرو‬
َ ِ‫ف َو َي ْن َه ْو َن َع ِن ال ُْم ْن َك ِر اُولئ‬
‫ك‬ ْ ُْ َ ْ ُُ َ َ ْ ْ ْ ََ

. ‫ُه ُم ال ُْم ْفلِ ُح ْو َن‬


“Harus ada dari kamu segolongan orang-orang yang mengajak kepada

perbaikan, mencegah dari kemunkaran dan mereka itulah orang-orang yang

beruntung” (QS. Ali Imran, 3: 104).

d. Tauladan (Contoh anu hade atau Uswatun hasanah). Perilaku yang baik

merupakan cara atau metode pendidikan yang paling sukses. Kesuksesan Nabi

Muhammad dalam menjalankan misinya, baik dalam bidang sosial, ekonomi,

politik dan lainnya, terletak pada perilakunya yang dapat dijadikan contoh oleh

para sahabatnya atau umatnya. Firman Allah:

ِ ْ‫اهلل اُسوةٌ حسنةٌ لِمن َكا َن يرجوااهلل والْيوم ا‬


‫آلخ َر‬ ِ ‫لََق ْد َكا َن لَ ُكم فِى رسو ِل‬
َ ْ َ َ َ ْ ُ َْ ْ َ ََ َ َ ْ ُْ َ ْ

. ‫َوذَ َك َر اهللَ َكثِْي ًرا‬


13

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik,

bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan hari akhir, serta mereka

banyak mengingat Allah” (QS. Al-Ahzab, 33: 21).

Penjelasan di atas menggambarkan bahwa Silih Asih, Silih Asah dan Silih

Asuh merupakan motto dari misi Universitas Pasundan yang kaya dan sarat akan

nilai-nilai sosial kegamaan. Bila semua masyarakat khususnya masyarakat Sunda

menerapkan falsafah tersebut dalam kehidupan sehari-hari, maka tidak mustahil

masyarakat Sunda akan menjadi panutan bagi etnis-etnis lainnya, bahkan masyarakat

internasionalpun akan berkiblat dan berpedoman kepada falsafah hidup orang Sunda.

Amin Ya Mujiba al-Sai-iliin.

Anda mungkin juga menyukai