Anda di halaman 1dari 10

MENANGKAP PESAN-PESAN MORAL DAN FALSAFI DARI TEMA DAN LAGU-LAGU BANDUNGAN KARYA UBUN - DASENTRA Oleh: Zahir

Zachri Setelah ngabandungan untaian lagu lagu BANDUNGAN-nya Ubun Dasentra, penulis terg erak untuk menuliskan kesan ini sebagai apresiasi terhadap karya baru ini. Betap a tidak, selain lagu BANDUNGAN-nya Ubun Dasentra ini memberikan warna dan nuansa baru dalam khasanah tembang Sunda, dari segi tema lagu-lagu yang dipilihnyapun sungguh sangat sarat dengan pesan-pesan moral dan falsafi yang selain nyunda, ju ga universal dan sangat relevan dengan situasi dan permasalahan Urang Sunda saat ini. Pendekatan Harmoni dalam Trilogi Falsafah Sunda Dalam carita-carita dan dongeng-dongeng Karuhun Sunda dikenal adanya trilogi dal am pemahaman eksoteris falsafah mistis Sunda yaitu : Pertama adanya Buana Padang (dunia terang) yakni tempat bermukimnya Sunan Ambu dan para hyang yang terdiri dari para bujangga dan para apsari yaitu para lelembut yang bersifat bersih dan suci, pemberi petunjuk, pembimbing dalam kebaikan, pemelihara dan pelindung (pa ngaping jeung pangjaring) bagi manusia. Kedua, adanya Buana Panca Tengah yakni dunia nyata tempat bermukimnya manusia yang membawa dan harus memilih dua sifat, yakni baik dan buruk, benar dan salah, bersih dan kotor. Ketiga, adanya Buana L arang (dunia gelap) yaitu tempat berdiamnya para duruwiksa yakni lelembut yang b ersifat kotor, penuh nista, jahat dan pengrusak. Dalam perjalanan hidup manusia di buana panca tengah yang serba mendua itu, setiap manusia diwajibkan untuk sen antiasa mendekatkan diri kepada para penghuni Buana Padang agar mendapat petunju k, bimbingan ke arah kebaikan dan kesucian serta memperoleh perlindungan dari-NY A sehingga terhindar dari nista dan kerusakan. Dalam tema dan rumpaka lagu Parahyangan Kiwari pada BANDUNGAN-nya Ubun Dasentra, Parahyangan digambarkan sebagai sempalan endah sawarga (sekeping keindahan surg a), alam yang indah dan serasi dalam tatanan yang harmonis dengan peri kehidupan penghuninya. PARAHYANGAN KIWARI Parahyangan nu endah (Parahyangan nan indah) Panonoban para hyang (Tempat bermukimnya para hyang/dewa) Tungturunan para bujangga (Tempat turunnya para dewa maskulin) Nu lungsur ti kahyangan, duh (Yang turun dari kayangan) Lalayaran lalayaran di leuwi sipatahunan (Berlayar di sungai Sipatahunan) Napak kancang narimbang rasa (Berjalan mengapung di atas air mengolah rasa) Rumaksa reujeung ngariksa (Memelihara dan menjaga) Sarakan (duh sarakan), sempalan endah sawarga (Kampung halaman, kepingan indah s ang surga) Parahyangan nu asri (Parahyangan nan asri) Panonoban widadari (Tempat bermukim para bidadari feminin) Tungturunan para pohaci (Tempat turunnya para pohaci = padanan kata widadari) Nu lungsur ti kahyangan, duh (Yang turun dari kayangan) Icikibung-icikibung keur siram cikahuripan (Bersukaria bermandikan air kehidupan ) Mesuh diri mersihkeun pikir (Membersihkan diri dan pikir) Rek nitiskeun deudeuh asih (Berkenan menitiskan kasih dan cinta)

Galeuh tatali paranti (Inti dari adat dan kebiasaan/keharusan) Miasih (duh miasih), lemah pangbalikan diri (Mencintai ranah tempat kita berpula ng) Hanjakal silib teh leungiteun harti (Sayang, perumpamaan/simbol telah kehilangan makna) Bongan teu diudag ku pangarti (Lantaran tak diikuti oleh ilmu dan pengetahuan) Hanjakal siloka teu timu rasa (Sayang, perumpamaan/simbol tak bertemu rasa) Bongan teu boga rasa rumasa (Lantaran tak memiliki hati nurani) Dikamanakeun dongeng sore pamarende sare (Kemana, dongeng sore pengantar tidur) Naha ku simpe geus ilang tina lalambe (Mengapa telah menghilang di bibir/hilang dari pembicaraan) Dikamanakeun tali paranti bihari (Kemana adat dan kebiasaan/keharusan) Henteu ngajadi ilang leungiteun pamali (Tak berbuah, kehilangan ketaatan dan kep atuhan) Parahyangan kiwari geus ngarangrangan (Parahyangan kini kering menguning spt dau n) Ilang dangiang jati kasilih ku junti (Kehilangan pamor dan wibawanya, tersisih o leh yang lain) Pakusarakan ayeuna geus salin rupa (Kampung halaman kini telah beralih rupa) Nungtut muguran ilang tempat pangabetah (Perlahan berguguran, hilang kanyamanann ya) Bongan da bongan, siliwangi kasilih wawangi (Salah sendiri, mengapa Siliwangi ke hilangan keharumannya) Bongan Ki Sunda geus leungiteun ajen diri (Salah sendiri, mengapa Orang Sunda ke hilangan harga dirinya) Di waktu yang lalu karuhun urang Sunda meyakini sepenuhnya bahwa Parahyangan ada lah tempat tungturunan para bujangga dan para apsari dari Kahyangan. Mereka perc aya bahwa di bumi Parahyangan inilah para hyang akan turun ke dunia untuk member ikan pelajaran dengan perumpamaan, serta memberikan petunjuk dan bimbingan serta perlindungan-NYA kepada Urang Sunda. Petunjuk dan bimbingan itu diberikan dalam bentuk tali paranti reujeung pamali yang dikemas dalam silib jeung siloka. Untu k menjaga dan memelihara keyakinan itu, dalam tataran pragmatis para Karuhun Sun da mengajarkan tali paranti reujeung pamali tersebut, kepada anak cucunya melalu i dongeng sore pamarende sare yang disampaikan oleh sang ibu untuk mengantar tid ur anak-anaknya. Ungkapan gambaran peristiwa lumungsurna para bujangga dan para pohaci dalam dua bait pertama rumpaka di atas, adalah peristiwa yang banyak dice riterakan dalam dongeng-dongeng sasakala, carita pantun dan legenda-legenda Sund a yang pada jaman dulu dari waktu ke waktu secara turun temurun diceriterakan ol eh sang ibu kepada anak-anaknya melalui dongeng sore pamarende sare. Hal ini sej alan dengan kehidupan masyarakat Sunda bihari yang memang memiliki budaya tutur/ budaya verbal. Pada saat itu. budaya baca dan tulis belum berkembang seperti se karang ini. Mungkin hal ini pula yang melatar-belakangi adanya peribahasa Sunda hade ku omong, goreng ku omong. Lantas, pesan-pesan falsafi apa yang terkandung dalam tema rumpaka lagu di atas? Lagu ini secara implisit menyatakan bahwa HARMONI adalah paham idealisme falsaf ah Urang Sunda Bihari. Ungkapan yang menyatakan bahwa Parahyangan adalah sempala n endah sawarga sangat jelas menunjukkan bahwa harmoni menjadi dasar dan sekalig us tujuan idealisme Urang Sunda. Bukankah sawarga itu sendiri merupakan gambaran dari puncak keharmonisan yang paling sempurna? Bukankah sawarga juga merupakan pilihan dan tujuan manusia setelah ia mati? Tidak ada seorangpun Urang Sunda yan g berkeinginan menjadi penghuni neraka. Ungkapan lalayarannapak kancang narimbang rasa, rasa cinta jeung kanyaah, rumaksa reujeung ngariksa, sarakan,mesuh diri mer sihkeun pikir..nitiskeun deudeuh miasih,duh miasih lemah pangbalikan diri adalah u

ngkapan rasionalisme dari paham Harmoni. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa para pe laku yang berfungsi untuk menjaga dan memelihara alam ini adalah manusia itu sen diri, alam dengan segala isinya adalah sesuatu yang harus dijaga dan dirawat den gan penuh kecintaan agar terhindar dari kerusakan. Napak kancang artinya berjala n mengapung di atas air, dalam tataran realisme hal ini mengandung arti bahwa pa ra penghuni yang berdiri di atasnya harus senantiasa harmonis dengan tempat di m ana ia tinggal. Tidak membebani dan tidak menyebabkan kerusakan pada tempat ia b erdiri, pada tanah yang mereka pijak. Segala sesuatunya harus sesuai, selaras da n serasi dengan daya dukung lahan dan lingkungan tempat ia berpijak. Dalam berin teraksi dengan alamnya, manusia Sunda hendaknya senantiasa berorientasi dan penu h totalitas (sepenuh dan sebersih pikir dan rasa-nya) untuk dapat mencapai hirup panggih jeung huripna artinya hidup sejahtera, sehat jasmani dan rokhani melalu i hidup selaras dan serasi dengan alam dan lingkungannya dengan penuh kecintaan secara berkelanjutan. Dalam paham pragmatisme-nya, falsafah harmoni Urang Sunda ini diungkapkan dalam rumpaka lagu tersebut sebagai isi pesan yang dikemas dalam dongeng sore pamarende sare, yakni ungkapan : nitiskeun deudeuh jeung asih, na ga leuh tali paranti, miasih lemah pangbalikan diri. Karuhun Sunda meyakini sepenuhn ya bahwa tali paranti reujeung pamali yang dikemas dalam bentuk silib reujeung s iloka merupakan petunjuk dan bimbingan dari para bujangga bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup Urang Sunda. Isi pesan ini merupakan jejer atau galeuh, int i dari pendidikan dini Urang Sunda yang sejak masih kanak-kanak sudah harus diaj arkan bagaimana mencintai dan memelihara alam dengan segala isinya melalui donge ng sare pamarende sare. Selain trilogi eksoteris yang menggambarkan hubungan antara manusia, alam dan pe nciptanya, rumpaka dalam Parahyangan Kiwari inipun memberikan pesan idealisme ha rmoni trilogi esoteris, hal ini terungkap sebagai keserasian antara pikir, rasa dan rasa rumasa, melalui ungkapan mesuh diri mersihkeun pikir, narimbang rasa, mi boga rasa rumasa. Ketiga unsur intrinsik ini (pikir, rasa dan rasa rumasa), dala m diri manusia Sunda harus selalu diupayakan agar senantiasa berada dalam keseim bangan atau ada dalam harmoni. Dalam istilah ilmiah yang sekarang sangat populer adalah keserasian dan totalitas antara Intelegence Quotient (IQ) /Kecerdasan In telegensia, Emosional Qoetient (EQ) / Kecerdasan Emosional dan Spiritual Qoetien t (SQ) / Kecerdasan Spriritual. Mesuh diri mersihkeun pikir dapat diartikan seba gai mengembangkan kecerdasan akal / logika / intelegensia (IQ); mesuh diri narim bang rasa adalah mengembangkan kecerdasan emosional (EQ); Mesuh diri sangkan mib oga rasa rumasa adalah mengembangkan hati nurani / kalbu / kecerdasan spiritual (SQ). Sementara itu di dalam Islampun dikenal adanya trilogi esoteris yaitu Iman , Islam dan Ikhsan. Pada tataran rasionalisme esoteris paham falsafah Sunda ini mengungkapkan bahwa manusia didudukkan sebagai mahluk yang berakal dan berperasa an serta sebagai mahluk yang memiliki hati nurani atau mahluk yang memiliki kalb u dan sebagai mahluk devina (pencari Tuhan) yakni mahluk yang memiliki spiritual itas. Pada tataran pragmatisme-nya paham ini membungkusnya melalui tali paranti reujeung pamali yang umumnya dikemas dalam bentuk silib reujeung siloka. Di dala m rumpaka lagu ini, hal itu secara implisit diungkapkan dalam kalimat : hanjakal s ilib teh teu timu harti, bongan teu diudag ku pangarti, hanjakal siloka teu timu rasa, bongan teu boga rasa rumasa Inilah yang menjadi tema dan sekaligus menjadi pesan moral dalam lagu tersebut, Urang Sunda telah kehilangan kemampuan dalam ta taran pragmatisme untuk menjabarkan tali paranti reujeung pamali baik secara aks iologis maupun dalam mengimplementasikannya pada tindakan praktis dalam seluruh peri kehidupan masa kini. Urang Sunda terutama para Pemikir Sunda dan para Pemim pinnya telah gagal dan kehilangan kemampuannya dalam menerapkan falsafah luhur k aruhunnya sendiri terutama pada tataran penerapan operasionalnya. Falsafah-falsa fah luhur Sunda hanya dijadikan wacana untuk bernostalgia dan atau wacana pada s eminar dan dialog-dialog yang tidak pernah ada tindaklanjut dalam tindakan opera sionalnya, atau hanya menjadi wacana politik untuk kepentingan sesaat. Urang Sun da kiwari hanya agul ku payung butut, garede omong tapi haronghong kosong molong pong. Hilangnya kemampuan pada tataran pragmatisme dalam menjabarkan falsafah luhur S

unda telah menyebabkan Urang Sunda kehilangan jati dirinya yang berakibat pada k ehancuran dan kerusakan pada alam dan peri kehidupan masyarakatnya. Secara esote ris Urang Sunda leungiteun jati dirina, jati kasilih ku junti, siliwangi kasilih wawangi dan secara eksoteris mengakibatkan kerusakan alam Parahyangan yang tera mat parah dan sangat memprihatinkan serta terpinggirkannya masyarakat Sunda. Pendidikan dini dalam menanamkan nilai-nilai luhur budaya Sunda yakni pendidikan sejak masa kanak-kanak di dalam keluargapun telah semakin longgar. Budaya pendi dikan dini melalui dongeng sore pamarende sare yang pada jaman dulu menjadi bagi an yang paling intens dilakukan dalam lingkungan keluargapun telah pudar. Pada r umpaka lagu tersebut terungkap : geus ilang tina lalambe, peranan asuhan ibu kepada anak-anaknya kini telah tergantikan oleh baby sitter dan atau oleh Televisi, Vi deo Games dan Internet dengan isi ceritera dan isi pesan yang jauh panggang dari api dengan isi pesan moral dan falsafah budaya Sunda. Tidak heran apabila Urang Sunda telah kehilangan budayanya, leungiteun ajen diri jeung jati dirina. Hal senada terungkap pula dalam lagu MUSIBAT BANDUNG yang menggambarkan kerusaka n alam dan musibat yang menimpa masyarakat Sunda di tatar Bandung yang sangat tr agis :musibat tumiba datang, longsor teu bisa disinglar, loba nyawa nu perlaya, ha rta banda ilang musna, kuurugan runtah kota, caah rongkah, Citarum caina bedah, saha nu boga dosana, tega teuing. Sungguh sangat tragis, sebab pada hakekatnya mus ibat ini adalah hasil ulah manusia Sunda yang telah kehilangan KASUNDAANANA, hal ini secara jelas terungkap melalui ungkapan : Bandung nanjung malik liwung, Uran g Sunda nadangan tunggara,.Urang Sunda kamarana, ukur bisa ngusap dada, deudeuh t euing, namun masih bersyukur, urang Sunda masih punya optimisme dan belum kehilan gan harapan, hal ini terungkap melalui lantunan kalimat .muga Sunda tandang hudang , mapag mangsa bakal datang, panceg dina galur karuhun, ngadeg dina wanda ayeuna Ungkapan tersebut secara implisit menyatakan bahwa dalam idealisme & rasionalism e Urang Sunda masih tetap meyakini dan mengimani Galur Karuhun yakni menganut pa ham HARMONI, dan secara sadar meyakini pula bahwa dalam tataran pragmatisme-nya diperlukan upaya untuk dapat menyesesuaikan dan menyelaraskannya dengan situasi dan kondisi kekinian, wanda ayeuna. Tantangannya adalah bagaimana pragmatisme fa lsafah Sunda dapat mewujudkan situasi : miindung ka waktu, mibapa ka jaman, pind ah cai pindah tampian, tapi tetep anceg panceg dina tetekon galur karuhun, leule us jeujeur liat tali, landung kandungan laer aisan, dalam tindakan nyata dan sel uruh perilaku masyarakatnya. Tema dan Lagu BANDUNGAN Wahana Perenungan Urang Sunda Lagu Parahyangan Kiwari dan lagu Musibat Bandung menyajikan tema kerusakan alam dan lingkungan hidup Tatar Sunda dan masyarakatnya sebagai akibat dari hilangnya kemampuan masyarakat Sunda dalam mengimplementasikan pragmatisme falsafah luhur para karuhunnya seperti telah diuraikan di atas, merupakan salah satu simpulan atau temuan hasil perenungan yang didapat dari lagu-lagu tersebut. Dalam lagu Parahyangan Kiwari Ubun Dasentra dengan kejeniusannya telah dengan sa ngat indah menyajikan untaian nada yang sangat tepat dengan isi pesan yang disam paikannya. Nada yang melantunkan kata : Parahyanganpada awal lagu terasa agak asi ng di telinga kita, karena berbeda dengan nada-nada yang biasa kita dengar dalam tembang sunda, namun terdengar sungguh indah dan sangat tepat dengan isi pesan yang disampaikannya. Parahyangan adalah tempat bali geusan ngajadi bagi semua U rang Sunda, tapi kini sebahagian besar dari mereka sudah tidak mengenalnya lagi, segalanya terasa asing. Ketika dongeng sore pamarende sare dilantunkan dengan s egala keindahannya, banyak Urang Sunda yang sudah tidak mengenalnya lagi, teu wa wuheun, jajauheun kana wanoh, komo kana bogoh mah. Boro-boro miboga rasa rumasa, bisa ngarasakan Rasa Sunda-na oge biheung. Lagu-lagu BANDUNGAN-nya Ubun Dasentr a sekaligus dapat dijadikan sebagai sebuah parameter untuk mengukur derajat rasa Sunda atau tamperan rasa Sunda yang ada nyangkaruk dalam diri kita masing-masi ng. Bagi manusia Sunda yang memiliki Rasa Sunda, petikan kecapi pada intro lagu

dan iringan musik pada bait kesatu dan kedua lagu ini benar-benar mampu menganta rkan rasa dan pikir Urang Sunda untuk berimajinasi mengikuti isi rumpakanya. Na da dan irama petikan kecapi terasa seperti menggambarkan irama gerak encang-enca ng, serangga air yang selalu bergerak ringan mengapung di atas air. Suatu simbol isme nada dan irama yang sangat pas untuk penggambaran suasana dan makna yang di kandungnya. Semua itu berhasil dikemas oleh Ubun Dasentra dalam untaian nada-nad a yang sangat indah dan tepat dengan konteksnya. Dalam dua bait pertama lagu Parahyangan Kiwari yang menggambarkan lumungsurna pa ra bujangga lalayaran narapak kancang dan para pohaci mesuh diri siram cikahurip an di leuwi Sipatahunan, diungkapkan dalam untaian nada yang bernuansa tembang S unda klasik sungguh sangat indah dan tepat dengan situasi waktu atau masanya. Ke mudian bait : hanjakal silib teh leungiteun harti, bongan teu diudag ku pangarti, hanjakal siloka teu timu rasa, bongan teu boga rasa rumasa juga dengan sangat inda h dilantunkan melalui nada-nada yang ngageuri, memelas penuh penyesalan diri. Na mun demikian, Ubun Dasentra dengan sangat arif dan bijak tidak mengajak pendenga rnya untuk larut dalam kesedihan yang berlebihan. Pada dua bait berikutnya yang merupakan bait-bait penutup dan simpulan dari isi pesannya, Ubun Dasentra dengan sangat arif melantunkannya dengan untaian nada-na da yang terasa mengajak kita untuk menertawakan diri sendiri ngalelewe maneh, nga bongan-bongan ka sorangan. Bukankah salah satu ciri dari kearifan itu adalah apab ila kita sudah mampu menertawakan diri sendiri? Kumaha we Si Kabayan, teu naon-n aon ku naon-naon. Namun berbeda dengan si Kabayan, Ubun Dasentra memanifestasika n dan mengekspresikannya bukan dalam bentuk humor banyolan, tapi dalam untaian n ada-nada yang indah dan keuna kana mamarasna tanpa kehilangan rasa dan selera hu mornya. Menurut pandangan penulis, sebagai pencipta lagu Ubun Dasentra merupakan sosok p encipta lagu yang benar-benar telah memiliki penghayatan falsafah budaya sunda y ang mendalam. Dengan sangat sadar ia senantiasa berada dalam harmoni, dalam kese imbangan pikir, rasa jeung rasa rumasa-na Urang Sunda. Dia tidak mengekploitasi pendengarnya untuk menjadi lupa diri terbius oleh alunan dari untaian nada dan i rama, tapi mengajak pendengarnya untuk selalu sadar dan dengan cita rasanya yang tinggi Ubun senantiasa mengajak pendengarnya untuk dapat menjaga keseimbangan d irinya, keseimbangan pikir, rasa dan rasa rumasana. Setidaknya itulah yang dapat kita tangkap dari lagu Parahyangan Kiwari-nya Ubun Dasentra. Berbeda dengan lagu Parahyangan Kiwari yang cenderung bernuansa idealisme, pada lagu Musibat Bandung meski bertemakan hal yang sama bertutur tentang kerusakan a lam dan lingkungan Tatar Sunda, namun pola ungkapnya terasa lebih bernuansa real isme. Musibat Bandung mengungkapkan tragedi kerusakan Tatar Sunda khususnya di t atar Bandung yang sangat mengenaskan itu secara lebih faktual dan lebih realisti k sehingga lagu ini secara tidak langsung ikut mencatat sejarah kelam Tanah Pasu ndan. Sejarah hitam kealpaan Urang Sunda yang telah meninggalkan kasundaanana da n telah mengakibatkan tragedi tatar Bandung yang sangat tragis. Penggambaran sua sana tragis dalam tragedi ini diungkapkan oleh Ubun dengan alunan untaian nada n gageuri, midangdam : Urang Sunda nu nandangan tunggara dengan sangat manis dan i ndah. Namun, seperti halnya lagu Parahyangan Kiwari, ketika mengungkapkan musiba t di Tatar Bandung dalam bait kedua dan ketiga lagu Musibat Bandung inipun Ubun Dasentra masih dengan sangat arif menguntai alunan nada-nya dalam keseimbangan e mosi yang sangat terkontrol. Demikian pula dengan bait terakhir, ketika mengungk apkan harapan dan kerinduan akan kejayaan Sunda di masa datang, terasa sekali un gkapan semangat, patriotisme dan kerinduan itu, dilantunkan dalam melodi dan nad a-nada yang secara emosi sangat terkendali, tidak meledak-ledak dalam mengantark an isi pesannya tapi dengan sangat indah menyentuh rasa dan nurani pendengarnya. Kesan ini akan semakin terasa apabila kita membandingkannya dengan tiga lagu lai nnya yaitu lagu : Sakaratul Maot, Tanceb Kayon dan Citangis Aceh. Meski penulis awam di bidang musik, namun perbedaan ungkapan musikalitasnya masih dapat diras akan dan tertangkap oleh rasa orang awam seperti penulis ini. Pada ketiga lagu d

i atas terasa Ubun Dasentra benar-benar melepas rasa / emosi-nya secara total. T ema dari ketiga lagu tersebut menyentuh aspek spiritual, menyentuh sisi esoteris manusia yakni padungdengan antara pikir, rasa jeung rasa rumasa. Komposisi mus ik dan waditra yang digunakannya benar-benar dioptimalkan dengan penuh totalitas , gesekan biola, tiupan aneka suling, petikan ketiga jenis kecapi (kacapi indung , rincik dan kecapi mayung) dikomposisikan sedemikian rupa sehingga alunan nadan ya benar-benar mampu membangun suasana yang sangat menyentuh emosi dan relung ka lbu yang paling dalam. Penggunaan waditra yang tidak umum atau tidak biasa dipak ai dalam tembang Sunda, terasa asing, namun demikian menurut hemat penulis hal i ni justru sangat tepat dan sangat sesuai dengan tema dan konteks dari ketiga lag u tersebut. Untuk dapat menggugah rasa rumasa diperlukan tercapainya kebeningan pikir dan kedalaman rasa serta totalitas. Ketika sesosok makhluk berhadapan deng an ke-Maha Kuasaan Khaliknya, maka hanya rasa ketidak-berdayaan dan kepasrahan t otal itulah yang dapat menjadi jalan menuju tumbuhnya rasa rumasa. Adalah sangat tepat bila seorang Ubun Dasentra benar-benar mengoptimalisasikan sentuhan emosi onal dalam mengantarkan isi pesan dalam rumpaka lagu-lagu yang menyentuh aspek s piritual tersebut melalui komposisi musikal yang melibatkan berbagai waditra di dalamnya.

Ketika kita mendengarkan lagu Sakaratul Maot & Tanceb Kayon, kita tidak merasa a sing dan merasa familiar karena sepintas hampir sama dengan lagu-lagu tembang su nda Cianjuran yang sering kita dengar. Tapi bila kita menyimaknya dengan lebih s eksama ternyata kita bisa merasakan adanya perbedaan. Selain tiupan suling besar (..) dan suara gesekan biola yang mampu membangun suasana magis dan rasa keueung , ternyata alunan untaian nadanya terasa lebih sederhana, tidak terlalu banyak m enggunakan ornamen dalam melantunkannya. Ornamen hanya digunakan pada lantunan k ata : Gusti malah pada lagu Tanceb Kayon, kata Gusti itupun hanya menggunakan orname ang terasa sangat sederhana. Namun demikian ternyata dengan kesederhanaan itu, i a terasa mampu semakin dalam menyentuh rasa. Selain itu penyederhanaan dalam pen ggunaan ornamenpun telah menambah kejelasan artikulasi pengucapan kata-kata para panembangnya, dengan demikian pendengarpun dapat lebih intens menangkap dan men ghayati isi pesannya. Sebenarnya kesan kesederhanaan dalam penggunaan ornamen it u sangat terasa di hampir semua lantunan lagu-lagu Bandungan-nya Ubun Dasentra. Menurut hemat penulis, kesederhanaan dalam penggunaan ornamen dalam lagu-lagu Ba ndungan ini, ternyata tidak mengurangi keindahan dan intensitas sentuhan rasanya , malah terasa menjadi lebih intens dalam menangkap dan mengantarkan isi pesan k e dalam penghayatan terhadap lagu tersebut. Sungguh, sebuah penjelajahan untuk m enemukan bagaimana mencintai Sang Khalik dan segala ciptaan-NYA dalam kesahajaan , setidaknya dalam mengekspresikan kecintaan dan rasa rumasa serta rasa takluk d ari seorang makhluknya. Semoga. Sakaratul Maot & Tanceb Kayon merupakan lagu-lagu yang menggambarkan padungdenga n diri sorangan, padungdengan pikir jeung rasa sangkan bisa tepi kana rasa rumas a-na. Sebuah penjelajahan esoteris tentang upaya anak manusia mencari dan menemu kan rasa rumasa-na, menyadari kekerdilan diri dan ketidakberdayaannya di hadapan ke Maha-Kuasaan Sang Penciptanya. Lagu Citangis Aceh mengambil tema musibat tsu nami yang menimpa Ranah Aceh. Lagu ini merupakan perjalanan penjelajahan batin s eorang anak manusia dalam merenungkan ke Maha-Kuasaan Sang Khalik secara eksoter is. Kendatipun rumpaka lagu ini sama-sama menggambarkan kerusakan alam seperti d alam lagu Musibat Bandung, tetapi esensinya sangat berbeda. Secara kontekstual m usibat Bandung pada hakekatnya merupakan musibat karena ulah dan perbuatan alpa manusia, sedangkan musibat Aceh adalah murni merupakan fenomena eksoteris dari k emahakuasaan Sang Pencipta. Ubun Dasentra rupanya menangkap perbedaan ini dan me ngungkapannya dalam komposisi lagu dan musikal yang benar-benar beda. Nuansa lag u Citangis Aceh cenderung lebih dekat dengan lagu Sakaratul Maot & Tanceb Kayon yang bernuansa spritualistik ketimbang dengan nuansa lagu Musibat Bandung. Meny imak hal ini, tampak bahwa Ubun Dasentra sangat teliti dan tertib dalam mengolah untaian nada dalam lagu-lagunya. Derajat atau kadar kedalaman sentuhan emosiona l dari nada-nada yang dipilihnya selalu disesuaikan dengan konteks dan tema lagu -lagunya.

Hal lain yang menarik dalam lagu Citangis Aceh adalah penggunaan idiom musik be rnuansa melayu yang mewarnai komposisi musik dan lagu ini. Latar belakang perist iwa tragedi tsunami yang melanda ranah Aceh dan sekitarnya dengan sangat indah d iekspresikan lewat gesekan biola bernuansa melayu yang dipadukan dengan alunan s endu suling Sunda terasa sangat solid menyatu dalam kesatuan rasa. Sebuah gambar an bagaimana Urang Sunda berempati pada penderitaan dan musibat yang menimpa sau daranya di ranah Aceh, telah diungkapkan lewat lagu ini dengan komposisi musikal yang sangat indah dan sangat menyentuh. Ubun Dasentra telah berhasil mengekspre sikan bagaimana narimakeun Citangis Aceh ku rasa Sunda. Komposisi musikal seper ti ini tidak pernah kita temukan dalam tembang Sunda yang selama ini kita dengar . Sungguh, satu lagi pengayaan musik Sunda telah berhasil dikembangkan oleh Ubun Dasentra lewat lagu yang satu ini. Pada lagu Citangis Aceh ini pun sekali lagi pendengar diajak oleh Ubun untuk dapat merasakan betapa kesahajaan dalam penggun aan ornamentasi pada alunan nada tembang Sunda ternyata tidak mengurangi tampera n rasa, malah kesahajaan itu terasa mampu mengajak kita untuk dapat menukik lebi h dalam menembus rasa serta menyentuh rasa rumasa-na. Puncak penjelajahan musikalitas kontekstual Ubun Dasentra dalam rangkaian lagu-l agu Bandungan edisi kesatu ini tampaknya ada pada lagu Citraresmi. Tema lagu ini berisikan pujaan kepahlawanan (ode) patriotisme Citraresmi dalam mempertahankan ajen dirina, ajen diri Ki Sunda. Lagu inipun sekaligus merupakan ungkapan kerin duan terhadap kepemilikan jiwa kejuangan / patriotisme seperti yang dimiliki ole h Citraresmi ini nitis pada jiwa Urang Sunda kiwari. Dalam lagu Citraresmi, Ubun Dasentra menyajikan sebuah kontroversi yang sangat b erani dalam ungkapan musikalitas lagu sunda dengan tema serta isi rumpaka lagu t ersebut. Yang dimaksud kontroversi di sini adalah bila kita menghubungkannya den gan isi pesan, tema dan konteks dari rumpaka lagunya. Isi rumpaka mengungkapkan patriotisme sosok Citraresmi Putri Maha Raja Sunda bihari. Menilik isi dan katakata dalam rumpaka lagu Citraresmi mungkin kita akan menduga Ubun Dasentra akan menguntai nada-nada tembang Sunda klasik dalam melantunkannya untuk menyesuaikan dengan nuansa buhun atau jaman bihari, namun secara sangat kontroversial Ubun D asentra justru mengungkapkannya melalui untaian nada-nada yang tidak biasa dan t idak pernah dijumpai pada lagu dan musikalitas lagu-lagu Sunda sebelumnya. Kita dibuat tersentak sejenak ketika mendengar lantunan kata : Citraresmipada awal lag u yang dilantunkan dalam lengkingan nada tinggi seperti pada lagu-lagu seriosa, namun demikian kitapun masih merasakan bahwa nada itupun tidak sepenuhnya persis seperti nada yang biasa dipakai dalam lagu seriosa. Ketika kita masih mengerutk an kening mendengar keanehan ini, tiba-tiba kita terhenyak karena dibawa lagi pa da sentuhan-sentuhan nuansa tembang nyunda dengan sangat manisnya. Bila dalam l agu Citangis Aceh kita dibawa untuk mengkolaborasikan rasa nyunda dengan rasa be rnuansa lagu melayu, maka melalui lagu Citraresmi ini rasa nyunda kita diajak un tuk berkolaborasi dengan rasa yang bernuansa lagu seriosa. Sungguh suatu penjelajahan musikalitas lagu Sunda yang sangat berani telah dilak ukan oleh Ubun Dasentra dan sekaligus menunjukkan kepekaan dan kejelian serta ke piawaian Ubun dalam memilih nada untuk mengungkapkan derajat emosi yang harus te rekspresikan lewat lagunya. Sebagai sebuah ode, lagu pujaan terhadap kepahlawana n Citraresmi, lagu ini harus mampu mengungkapkan rasa kebanggaan, penghormatan, kekaguman, dan kerinduan kita kepada Citraresmi melalui sentuhan rasa dengan kad ar/derajat/maqam yang tinggi. Penggunaan nada-nada aneh yang tidak / belum terbias a dipakai dalam lalaguan Sunda pada lagu Citraresmi ini, ternyata terasa lebih e kspresif, dapat lebih total dan lebih mampu mengungkapkan emosi / rasa kebangga an, kekaguman, penghormatan dan rasa kerinduan itu dalam derajat/maqam yang ting gi. Satu lagi kiprah dan karya Ubun Dasentra ini telah memberikan pengayaan, set idak-tidaknya memberikan sebuah wacana baru dalam khasanah musik dan tembang Sun da. Apakah wacana baru ini akan dapat diterima oleh masyarakat Tembang Sunda khususn

ya dan masyarakat luas pada umumnya? Apakah lagu Citraresmi yang kontroversial i ni akan disukai oleh masyarakat Sunda? Pertanyaan yang sama juga dapat ditujukan untuk isi pesan yang dilantunkannya, apakah nilai-nilai luhur falsafah dan buda ya Sunda ini akan dapat nitis kapimilik oleh masyarakat Sunda kiwari yang tengah dilanda globalisasi multi dimensional ini? Menurut hemat penulis, ada misi lain yang diemban oleh lagu ini, yakni menjadi sebuah simbolisme dari ekspresi jiwa, tantangan dan pencaharian Urang Sunda Ayeuna, bagaimana caranya ngigelkeun galu r karuhun ku wanda kiwari. Dapatkah urang Sunda kiwari ngadawahan falsafah jeung budayana di tengah budaya carut marut globalisasi sekarang ini dan secara kontrov ersial muncul pula pertanyaan benarkah untuk pengayaan musik dan lalaguan Sunda k iwari memerlukan keterbukaan dan bisakah menerima keterbukaan itu? Bisakah masya rakat musik dan tembang Sunda serta masyarakat Sunda pada umumnya menerima hadir nya nada-nada aneh yang selama ini tidak lazim dipakai dalam khasanah musik dan la laguan Sunda malah oleh beberapa kalangan sangat ditabukan? Walahualam. Lagu Cikapundung Ciciren Bandung membawakan pesan simbolisme Cikapundung sebagai potret dan cermin peri kehidupan Urang Bandung. Bersih dan kotornya Cikapundung merupakan cerminan kualitas pengelolaan tata air dan tanah / lahan serta lingku ngan di tatar Bandung. Air sebagai sumber kehidupan secara falsafi disimbolkan i barat air susu ibu yang senantiasa memberi kehidupan kepada anaknya. Ketika peng elolaan air, tanah dan lingkungan di Tatar Bandung tertata dalam harmoni / kesei mbangan yang dicirikan oleh Cikapundung yang bersih asri, maka Bandung yang dike lilingi gunung-gunung menjadi tempat yang dipigandrung, dirindukan oleh semua or ang hingga mendapat julukan Paris van Java dan Bandung Kota Kembang. Sekarang se mua itu tinggal kenangan, sekarang Bandung heurin ku tangtung, sesak berdesak-de sakan, semerawut tak beraturan, kehilangan ketertiban dan kebersihannya. Ketika pengelolaan tata air, tanah/lahan dan lingkungan kota Bandung kehilangan harmoni -nya, maka Cikapundung malik pundung, Bandung liwung, lir meunang bebendon indun g. Pada dua bait terakhir lagu ini berisi ajakan kepada Urang Bandung untuk meme lihara dan menjaga kebersihan dan keasrian Cikapundung menjadi jajantung Bandung , karena hanya dengan meningkatan kualitas pengelolaan tata air, tanah/lahan dan lingkungan dimana kebersihan dan keasrian Cikapundung yang menjadi simbol dan c iciren-nya, maka Bandung bakal nanjung deui. Isi pesan dalam lagu ini dilantunkan dalam irama/beat yang ringan dan indah sehi ngga dapat dihariringkeun / disenandungkan dengan enak dan mudah oleh para pende ngarnya. Pemilihan nada dan irama yang diperkirakan akan dapat dilantunkan deng an enak dan mudah oleh siapapun ini, menurut hemat penulis, hal inipun merupakan pesan simbolis bahwa kesadaran akan keharmonisan penataan air, tanah/lahan dan lingkungan Bandung harus tumbuh dan berkembang dalam diri setiap orang yang mera sa dan rumasa menjadi Urang Bandung. Lagu Nyawang Bandung sebenarnya merupakan ungkapan keprihatinan yang mendalam da ri jiwa Urang Sunda yang telah kehilangan masa lalu dan tanah kelahirannya lanta ran terpinggirkan dan tersisih oleh para pendatang. Urang Sunda tidak lagi menja di tuan di rumahnya sendiri. Rasa keprihatinan yang mendalam dan kerinduan Urang Sunda terhadap masa lalu dan tanah kelahirannya dalam lagu ini dilantunkan mela lui ungkapan nada dan irama yang tidak mengumbar emosi kesedihannya secara berle bihan. Namun dengan sangat arif dan cantik Ubun Dasentra mengungkapkannya dengan rasa satire dan sinisme kepada diri sendiri, serta mengemasnya dalam untaian na da dan irama bernuansa kartunis. Di sini sekali lagi Ubun Dasentra mengajak pend engarnya untuk secara arif menggelitik nuraninya sendiri dalam nada ngalelewe ma neh, nyengseurikeun diri sorangan. MAQOM PENJELAJAHAN MUSIKALITAS UBUN DASENTRA

Salah satu fungsi lagu adalah untuk entertain atau menghibur. Lagu-lagu BANDUNGA N-nya Ubun Dasentra mengandung unsur entertain, yakni unsur untuk menghibur pend engarnya, namun menurut hemat penulis Ubun tidak terjebak untuk menjadikan lagu-

lagu ciptaannya itu hanya berfungsi sebagai entertainment/hiburan. Lebih dari it u, tampaknya sebagai seorang seniman sejati, secara sadar Ubun tidak mengekploit asi dan tidak memanjakan telinga pendengarnya hanya untuk terlena dalam lantunan nada-nada dan melodi indah semata namun tak bermakna. Nada-nada dan melodi pop atau popular akan sangat mudah akrab dengan telinga keb anyakan orang, karena ringan dan mudah untuk diikuti (diturutan), sederhana, ena k dan ringan serta mudah bagi pendengar untuk ikut bersenandung dan ikut bergoya ng. Sungguh sangat efektif untuk sebuah entertainment, efektif dalam memberikan sentuhan pada otak kanan pendengarnya. Mungkin hal ini pula yang mendorong banya k sekali seniman musik yang bergerak di dunia musik pop, karena akan lebih cepat populer dan popularitas itu akan sangat berarti secara komersial. Namun demikian, sifat kesederhanaan, ringan dan kemudahan dalam lalaguan pop pad a umumnya kurang dapat mengelaborasi atau menggali keluasan dan kedalaman musika litas dan atau ambahan rumpaka dalam khasanah lalaguan Sunda. Rupanya hal ini pu la yang melatarbelakangi Ubun Dasentra mengapa ia memilih iiditan dan titincaka nana dari musik dan lalaguan klasik tembang Sunda dalam karya cipta BANDUNGAN-ny a ini. Secara sadar Ubun Dasentra tidak mengegelindingkan dirinya (henteu ngageb ruskeun maneh) ke dalam dunia musik Pop Sunda, namun memilih untuk ngojayan reu jeung neuleuman musik klasik Sunda, meski disadari hal seperti ini sungguh sanga t menentang arus dalam masyarakat yang hedonistik dan masyarakat instant di jama n sekarang ini. Kesenimanan Ubun Dasentra mungkin merasa lebih tertantang untuk menggeluti seni musik dan lagu Sunda klasik yang lebih luas dan lebih dalam jang kauannya / ambahanana, meskipun hal itu pada saat sekarang ini sangat tidak popu lar dan tidak akan mendekatkan dia untuk dapat meraup keuntungan material karena dunia garapan ini untuk saat ini sangat tidak komersial. Karenanya, menurut hem at penulis Ubun Dasentra termasuk manusia langka, karena sangat sedikit sekali s eniman musik Sunda yang memiliki idealisme, integritas dan dedikasi tinggi terha dap profesinya secara konsekuen dan konsisten dan totalitas seperti ini. Dari uraian pada bab-bab sebelumnya di atas, tergambarkan seolah-olah lalaguan p ada BANDUNGAN-nya Ubun Dasentra merupakan musikalisasi dari puisi atau sajak. Ke san itu muncul karena kita merasakan betapa intensnya hubungan antara melodi dan nada-nada musikalitas yang dilantunkan itu dengan isi atau makna dari rumpakany a. Sebaliknya, kitapun bisa berpretensi bahwa lalaguan BANDUNGAN ini seakan-akan bentuk puitisasi dari musikalitasnya Ubun Dasentra. Kita tidak akan bisa menjaw abnya dengan benar bila kita tidak menulusuri proses penciptaan lalaguan BANDUNG AN ini dan penjelajahan yang dilakukan oleh Ubun baik dalam aspek puisi maupun d ari musikalitasnya serta pandangan-pandangannya terhadap musik dan tembang sunda yang mendasari proses kreatifnya. Dari aspek filosofis, tampaknya dalam penciptaan ini Ubun sedang berusaha untuk memanifestasikan proses penyatuan. Manusia sebagai makhluk devina (pencari Tuhan ) senantiasa memiliki kerinduan untuk dapat bertemu dan menyatu dengan Tuhan-nya dan seluruh ciptaan-NYA. Kerinduan seorang pencari Tuhan terhadap pertemuan dan penyatuan dengan Tuhan-nya merupakan wujud kecintaan tertinggi terhadap Tuhan-n ya dan segala ciptaan-NYA. Sebagai pencipta lagu, tampaknya Ubun memiliki kerind uan tertinggi pada seni musik dan tembang Sunda sebagai salah satu manifestasi w ujud kecintaan akan keber-ADA-anNYA yang senantiasa hadir dalam proses penciptaan yang tiada henti itu. Melalui BANDUNGAN-nya, Ubun sedang berkarya cipta untuk mempertemukan dan menyat ukan lirik/rumpaka, nada dan melodi-melodi musikal pada lagunya dalam ke-esa-ann ya yang utuh. Saya tidak menggunakan istilah mengawinkan, karena kalau kawin mas ih bisa cerai lagi, tapi dalam hal ini apa yang sedang dilakukan oleh Ubun adala h sebuah proses menyatukan, ngaHIJIkeun jeung nga-HAJI-keun nada-nada, melodi l agu dan lirik sangkan bisa tawaf museur kana mamarasna. Kata-kata dan kalimat dala m lirik melantunkan lagu, dan untaian nada, irama, serta melodi lagu secara soli d mengungkapkan makna dari kata-kata dan kalimat lirik. Ketika keduanya (lagu da

n lirik) berpadu dan menyatu dalam kesatuan makna, tawaf jeung gumulung, museur kana mamaras-na dalam kesatuan / keesaan harmoni-nya, maka sampailah ia pada kef itrahan-nya sebagai sebuah lagu dan jadilah ia sebuah nyanyian jiwa. Sebuah nyanyi an yang hidup dan memiliki ruh, karena ketika sang pencipta lagu mampu memadukan dan menyatukan nada, irama dan melodi lagu dengan liriknya dalam kesatuan makna , tawaf jeung gumulung, museur kana mamaras-na, maka ia telah meniupkan ruh-nya kepada lagu tersebut. Tampaknya dalam proses penciptaan ini Ubun Dasentra sangat menggandrungi dan berkiblat pada terwujudnya HARMONI tersebut di dalam lagu-lag u ciptaannya baik secara eksoteris maupun esoteris-nya. Hal ini saya yakini, karena selama proses penciptaan BANDUNGAN ini, secara aksio logis dan atau dalam penerapannya berulang kali, bolak balik saya diminta untuk melakukan perubahan dan perbaikan tema, rumpaka, kalimat dan atau kata demi kata agar nyurup dan manjing kana melodi. Sebaliknya Ubun akan merenung dan terus be reksperimen menjelajahi melodi berhari-hari malah bisa sampai berminggu-minggu b ila ada nada atau melodi dalam lagu yang menurutnya teu nyurup atawa teu manjing kana rumpaka lagu-na. Itulah yang terjadi pada proses penciptaan lagu-lagu BAN DUNGAN-nya Ubun Dasentra, dan kerja keras itu terus dilanjutkan secara konsisten dan konsekuen dalam proses-proses berikutnya, yakni dalam proses latihan bersam a para panembang dan para pemain musiknya. Lagu bukan hanya untuk enak dan indah didengar oleh telinga, tapi lebih dari itu , ketika kita mendengar lagu maka lagu itu harus mampu meresap merambah ke dalam hati untuk dapat menyentuh rasa rumasa. Ketika kita mendengar lagu, bukan hanya akan terbawa untuk menggerakkan mulut ikut bersenandung dan menggoyangkan kepal a serta badannya untuk ikut berdendang, namun dendang dan senandung itu harus ma mpu menggerakkan hati dan rasa-nya (rasa rumasa/ suara hati nurani) untuk mampu menangkap makna dari kata-kata dan kalimat dalam lirik lagu itu. Bila hati mampu menangkap makna dengan rasa keindahannya maka jiwanya akan mampu ikut bernyanyi , dan terjadilah proses penghayatan, pengayaan dan pencerahan dalam jiwanya, itu lah nyanyian jiwa. Tampaknya dalam proses penciptaan ini Ubun sangat menggandrungi terwujudnya HARM ONI baik di dalam lagu-lagu ciptaannya yang secara eksoteris diwujudkan dalam ha rmoni nada, irama, melodi dan liriknya dan secara esoteris lantunan lagu itu mam pu mengharmonikan pikir, rasa dan rasa rumasa pada pencipta, penggarap dan para pendengarnya. Tampaknya di tataran inilah atau pada maqom inilah penjelajahan mu sikalitas lalaguan tembang Sunda yang dilakukan oleh Ubun Dasentra. Itulah yang saya tangkap dari upaya Ubun Dasentra dalam proses penciptaan dan latihan lagu-l agu dalam BANDUNGAN-nya. Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa Ubun Dasentra dengan BANDUNGAN-nya bukan sedang melakukan musikalisasi puisi dan atau puitisasi musikal dari lagu-lagu c iptaannya, tapi lebih dari itu, ia sedang menciptakan dan menghidupkan senandung nyanyian jiwa, melalui musik dan lagu Sunda. Sebuah upaya untuk memanusiakan ma nusia melalui seni musik dan lagu Sunda kiwari. Dalam konteks lalaguan BANDUNGAN edisi pertama ini dapat pula diartikan sebagai upaya seniman Ubun Dasentra Nyun dakeun deui Urang Sunda dan Masundankeun deui Pasundan dalam wacana rasa musikal itas Sunda kiwari. SELAMAT, buat Ubun Dasentra dan rekan-rekannya. Semoga kiprah karya cipta ini me njadi bagian dari ibadah anda sekalian kepada Allah SWT lewat amparan sajadah sa leganing laku lampah dalam profesi yang kalian geluti dengan penuh dedikasi, int egritas dan totalitas yang tinggi. SELAMAT. Lembang, Juni 2005

Anda mungkin juga menyukai