Anda di halaman 1dari 7

TEMBANG

ESTETIKA, ETIKA DAN FILSAFAT


oleh: Suwarmin
Staf Pengajar Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya
Disajikan pada Sarasehan Sastra Tutur 21 Des.2010
Yang Diselenggarakan Komunitas Sastra Tutur Surabaya

Pendahuluan
Tulisan yang berjudul Tembang, Estetika, Etika dan Filsafat ini akan membahas
sekilas tentang tembang serta kandungan nilai etika, estetika serta filsafat di
dalamnya. Meskipun tembang merupakan unsur budaya yang dimiliki oleh semua
masyarakat di Indonesia (baca: Jawa), namun dalam pembahasan dibawah
mengambil contoh-contoh tembang Jawa Tengah (baca:Surakarta). Hal tersebut
semata-mata karena terbatasnya referensi yang ada membatasi permasalahan.
Pembahasan tentang unsur tersebut merupakan penekanan (stressing), karena
tembang sebagai budaya masyarakat sangat kompleks, dapat dipandang dari
berbagai aspek dalam kehidupan. Tulisan ini digunakan sebagai bahan ancangan
dan pancatan dalam diskusi agar mendapat tanggapan dan pembahasan lebih luas.

Tembang
Istilah Tembang juga disebut sekar atau kembang yang mengandung artinya
ungkapan atau kata yang dilagukan (Jawa: laguning tembung) (lihat, Warsena, 2006). Pada
dasarnya semua ungkapan lesan, percakapan, membaca, menjajakan dagangan, berdendang
riang, berdengang sambil bekerja maupun menangis terdapat (menggunakan) lagu. Namun
sacara umum yang disebut tembang adalah lagu swara lisan atau musik vokal. Dari
pengertian terakhir maka timbul penggolongan Tembang atau Sekar Dolanan, Sekar Alit
atau Sekar Macapat, Sekar Tengahan dan Sekar Ageng.
Merunut kata laguning tembung maka tembang dapat dipandang dari dua segi yaitu
segi bahasa dan segi lagu atau seni swara (musikal).
1

a. Tembang dipandang dari segi bahasa, dalam bahasa Jawa tembang merupakan basa
pinathok dalam bahasa Indonesia puisi yaitu bentuk bahasa yang menggunakan aturanaturan tertentu yang lawankan dengan basa gancaran dalam bahasa Indonesia prosa.
Misalnya Tembang Dolanan bersifat tunggal atau satu padha, garu gatra, guru lagu dan
guru wilangan bebas mengikuti tema atau judul tembang, contoh Ilir-ilir, Jaranan,
Jamuran, Cublak-cublak Suweng, E Dayohe Teka dan sebagainya. Tembang Macapat
bersifat jamak, satuannya disebut pupuh dengan jumlah padha, garu gatra, guru lagu
dan guru wilangan tertentu, seperti Dandang-gula, Pangkur, Mijil, Sinom ; dan
Tembang Tengahan dan Tembang Gede (Sekar Ageng) bersifat tunggal dengan lampah
dan pedotan tertentu.
Karya sastra Jawa dari para Pujangga dan Raja kebanyakan tidak dalam bentuk gancaran
tetapi dalam bentuk tembang seperti Serat Wedatama krya K.G.P.A.A. Mangkunegara
IV, Serat Wulang Reh karya Ingkang Sinuwun Kanjeng Sri Pakubuwuna IV, Serat
Kidung karya Sunan Kalijaga, Serat Joko Lodang karya R. Ng. Ronggowarsita, Serat
Centhini karya Pujangga Yasadipura II dan sebagainya semua dalam bentuk Sekar
Macapat.

Maka dari itu dalam pelajaran di sekolah Tembang masuk dalam mata

pelajaran Bahasa Daerah.


b. Tembang sebagai seni swara, masyarakat pada umumnya mengenal tembang sebagai seni
swara. Orang nembang berarti menyanyi, ditembangake berarti dinyanyikan. Lagu inilah
yang memberi karakter, swasana, daya tarik sebuah kata,sastra maupun percakapan.
Karya satra yang berbentuk tembang, membacanya dilagukan sehingga menimbulkan
swasana dan daya tarik bagi pendengarnya.
Sebelum dikenal tulisan karya sastra yang berisi petuah atau ajaran orang tua, agar selalu
didengar dan diwariskan secara turun temurun diungkapkan lewat lagu. Suatu misal lagu
anak atau Tembang Dolanan selain sebagai sarana media bermain anak-anak, bagi orang
dewasa yang mendengarkan mendapatkan pelajaran dari isi syair lagu tersebut.

Tembang dan Estetika


Dipandang dari segi kandungan nilai estetik tembang memiliki dua unsur yaitu estetika
sastra dari syairnya dan estetika lagu atau musikal. Kalimat dan kata-kata syair sebuah
tembang kadang-kadang sulit dipahami maknanya. Hal tersebut karena struktur dan kata-kata
2

dalam tembang sering menggunakan kata yang mengandung makna simbolik dan
perlambangtertentu. Susunan kalimat (reroncening tembung) sering keluar (menyalahi)
kaidah yang berlaku, hal demikian karena lebih mengutamakan kindahan sastra. Untuk
memperindah sastranya juga menggunakan wangsalan, purwakanthi`dan sebagainya.

Berikut sebagai contoh:


Sekar Gambuh:
Samengko ingsun turur,
sembah catur supaya lumuntur,
dingin raga cipta jiwa rasa kaki,
ing kono lamun ketemu,
tanda nugrahaning Manon (Serat Wedatama)

Sekar Pucong:

Nora weruh
Rosing rasa kang rinuruh
Lumeket neng angga
Anggere pada marsudi
Kana kene kahanane nora beda (Serat Wedatama)

Dari keindahan sastra serta muatan isi yang mengandung ajaran yang baik (pitutur luhur)
bersifat religius, maka dapat dikatakan sebagai karya seni sastra yang adi luhung, juga
merupakan estetika religius.
Keindahan Tembang, selain keindahan sastra, yang lebih utama adalah keindahan
musikal yaitu wileting cengkok yang sesuai dengan watak Tembang (jumbuh kaliyan
raosing sekar). Pada umumnya orang mendengarkan tembang lebih menikmati keindahan
musikalnya dari pada memahami makna sastranya. Nilai estetik tiap tembang sudah banyak
dikenal secara konvesnsional sebagai watak, karakter atau swasana tembang seperti Sekar
Pucong memiliki watak nggenah-nggenahake cocok untuk bercerita dan tutur-tutur. Sekar
Pangkur mempunyai watak marah, Sekar Kinanthi mempunyai watak, Sekar Dandang-gula
mempunyai watak ngresepake dan seterusnya. Dalam perkembangannya masing-masing
tembang diperkaya watak dan karakternya seperti Dandang-gula Banjet, Dandang-gula
Turulare, Dandang-gula Maskentar, Dandang-gula Uran-uran dan sebagainya (lihat:
Warsena, 2006:8-9).

Tembang dan Etika


Pengertian etika disini diartika sebagai kesadaran (conciousness) dalam mengatur
tingkah laku diri serta hubungannya dengan alam sekitarnya. Meskipun tidak ada aturan
secara formal namung terdapat norma-norma ada terdapat dalam masyasarakat. Tiap individu
akan bersikap dan tingkah laku sesuai dengan ruang dan waktu dimana berada.
Etika juga disebut budi perkerti yang berarti pekerti (perbuatan) yang dilandasan
dengan budi (pertimbangan). Tingkat pertimbangan inilah yang membentuk manusia
berbudi, berbudaya, beradap seperti yang tercantum dalam butir Pancasila yaitu
Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tingkat pertimbangan atau budi menunjukkan apakah
manusia itu baik berbudi luhur atai jelek berbudi asor atau rendah.
Bagi masyarakat Jawa dan Indonesia pada umumnya dalam menjaga ketentraman hidup
selalu menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Pandangan terhadap bumi sebagai
Ibu Pertiwi merupakan sember kehidupan. Sikap terhadap alam dan bumi, diperlakukan
dengan penuh hormat seperti yang terkandung dalam syair atau Sekar Ibu Pertiwi berikut:
Ibu Pertiwi paring boga lan sandang kang murakabi, peparing rejeki manungsa kang
bekti .ayo sungkem mring Ibu Pertiwi (Ibu Pertiwi memberi pangan dan sandang yang
berguna, memberi rejeki kepada manusia berbhakti ayo hormat kepada Ibu Pertiwi). Sikap
hormat dilakukan dalam melakukan upacara adat ritual bersih Desa, manganan Desa,
manganan Banyu, petik laut, wiwit pada panen padi dan sebagainya sebagai ungkapan rasa
syukur.
Sikap hidup hubungan antar manusia di dalam Serat Wulang Reh karya Pakubuwana
IV terkandung ajaran tentang bagaimana hidup bermasyarakat yang baik. Menjauhkan sikap
yang jelek adigang-adigung dan adiguna yaitu sikap yang sombong dengan membagakan
diri atas kepandaian, kekayaan dan kekuasaannya. Sikap jelek lain yang perlu dijauhi dalam
hidup bermasyarakat adalah drengi-srehi, iren-meren-dahwen-panasten-open, serta jahilmethakil yang merupakan sikap jelek. Istilah-istilah yang menunjukan sikap jelek dirangkai
menjadi unen-unen sehingga mudah diingat sebagai pengingat (pepeling).
Sikap dan perilaku yang disarankan adalah sikap yang baik dan terpuji (laku utama)
bertingkah laku yang sopan dan santun (nglungguhi tatakrama) antara lain duga-prayoga,
tepa-slira. Sikap duga-prayoga dalam melakukan sesuatu, berpikir cermat dan hati-hati
4

sebelum melakukan sesuatu, dan melakukan dengan sebaik-baiknya agar menghasilkan yang
baik. Dalam pergaulan harus mengetengahkan sikap tepa-slira yaitu dalam melakukan
sesuatu kepada orang lain harus berdasarkan pemikiran bila dikenakan diri sendiri, seperti
pada ungkapan yen gak gelem dijiwit aja njiwit (kalau tidak mau dicubit jangan mencubit
orang). Selain sikap menghormati orang lain, juga menjunjung tinggi keadilan.
Pelajaran tentang sembah lima yaitu sembah atau hormat kepada orang tua, mertua,
saudara tua, guru, dan Tuhan. Mengapa orang harus melakukan sembah lima, karena lima
itulah yang paling penting di dalam kehidupan manusia di dunia. Sembah pertama kepada
orang tua (Ayah dan Ibu), karena orang tua sebagai perantara kelahiran manusia di dunia.
Sikap hormat kepada orang tua dengan sebutan sebagai Pangeran katon yaitu yang
menciptakan

manusia di dunia. Sembah kedua adalah sembah kepada mertua, karena

mertualah yang memberi kenikmatan (istri/suami) dan ketentraman di dunia. Ketiga sembah
kepada saudara tua, karen saudara sebagai pengganti orang bila sudah tiada seperti memberi
petuah dan pertimbangan. Keempat sembah kepada guru, karena guru memberi ilmu
pengetahuan yang berguna dalam kehidupan dan kelima sembah kepada Tuhan, Sang
Pencipta dan Maha Kuasa (tak disangkal).

Tembang dan Filasfat


Tembang-tembang karya satra lama yang sekarang masih dikenal dengan baik oleh
masyarakat, karena kandungan nilai filosofis yang tinggi. Pemahaman tentang Pribadi
manusia, bagaimana berpikir dan bertingkah laku hingga pencapaian kesempurnaan hidup.

Sekar Dolanan: E Dayohe Teka


E dayohe teka, E jerengna klasa, E klane bedah, E tambalen jadah, E jadahe mambu, E pakakna
asu, E asune mati, E kelekna kali, E kaline banjir, E kelekna pinggir, E pinggire santer, E
centhelna pager, E pagere ruboh, E guwaken sing adoh

Bila direnungkan Sekar Dolanan E Dayohe Teka di atas merupakan gambaran kerja
pikir yang kemana-mana tanpa batas (ngambra-ambra), dan hasilnyapun sering belum tentu
(tidak) bermanfaat (guwaken sing adoh). Sudah tidak lagi mengiraukan tamunya (dayohe),

sedang tamu perlu disambut dan dihormati. Maka dari itu pikir harus dikendalikan oleh budi
(pertimbangan).
Tujuan hidup untuk mencapai hidup yang sempur yang dalam agama Budha disebut
Budisatwa (Budi Luhur). Ada tiga tingkatan manusia dalam menggunakan budi sebagai
pertimbangan bertingkah laku yaitu tamma, raja dan satwa. Budi tamma tingkah laku yang
menggunakan nilai duniawi sebagai pertimbangan, Budi raja, lebih dari duniawi mengetahui
alasan dibalik alasan dan Budi satwa, mampu melihat penyebab setiap alasan, yang terdapat
pada kedalaman yang amat jelas dari seluruh diri itulah alasan Tuhan. Sebagai simbol dan
orang yang dapat mencapai kesempurnaan hidup dalam agama Budha adalah Budha
Gautama yang berarti pertimbangan paling sempurna yang ada di langit (Inayat Khan,
2002:177-280)
Dalam Sekar Gambuh di atas mampu meniti dalam sembah (Hyang) dari sembah raga,
sembah cipta, sembah jiwa hingga tingkat sembah rasa baru akan mendapat Nugrahaning
Manon. Untuk dapat melakukan sembah rasa harus tahu rosing rasa terlebih dahulu. Dalam
sekar Pucong di atas menunjukkan rosing rasa lumeket ing angganing saben manungsa
(pusat rasa melekat pada diri setiap manusia). Asalkan mau mencari dengan sungguhsungguh akan mendapatkanNYA, dan itu merupakan pertanda sudah mendapat kemuliaan
Tuhan.

Penutup
Uraian di atas menunjukkan bahwa Tembang merupakan budaya sastra lisan maupun
tulis warisan leluhur yang sekarang masih hidup lestari diminati banyak orang. Hal tersebut
karena di dalam Tembang terkandung nilai-nilai Etika, Estetika dan Filosofi yang tinggi yang
pantas disebut sebagai seni adi luhung. Kandungan nilai etika, dalam Tembang mengajar
manusia hidup tenteram dan damai dengan menjaga keseimbang hubungan manusia dengan
alam, manusia dengan manusia serta manusia denga Sang Pencipta. Semua diatur dengan
norma-norma dalam bentuk tatakrama saling menghormati dan saling mengahargai.
Kandungan nilai estetik dalam tembang terdapat pada keindahan sastranya serta
musikalitasnya. Namun demikian pada umumnya sajian Tembang sekarang lebih dinikmati
sebagai musik vokal dari pada memahami makna sastranya. Pengkayaan nilai estetik pada
Tembang dengan menciptakan gaya-gaya musikal (cengkok) baru. Tembang dimasa-masa
6

yang akan datang tetap menjadi bahan ancangan dalam penciptaan-penciptaan karya baru
bagi generasi mendatang.

Kandungan nilai filosofi dalam tembang menunjukkan kedalaman budaya bangsa


Indonesia (khususnya Jawa). Pandangan hidup yang luhur tentang manusia, alam, tujuan
hidup yang sempurna. Tentang bagaimana laku utama menuju kedekatan penyatuan dengan
Yang Maha Ada.
Semoga bermanfaat adanya.

Kepustakaan
Endraswara, Suwardi
2003 Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spiritual
Jawa
Inayat Khan, Hazrat
2002 Dimensi Mistik Musik dan Bunyi. Penerbit:Pustaka Sufi, Yogyakarta.
Pakubuwana IV, Sri
1982 Serat Wul;ang Reh (Garapanipun: Drs. Darusuprapta). Peenerbit: CV Citra Jaya,
Surabaya.
Purbocaroko, Prof. Dr. R. M. Ng.
1957 Kapustaka Jawi, Penerbit: Jambatan, Jakarta.
Purwadi, Dr.
2002 Penghayatan Keagamaan Orang Jawa: Refleksi atas Religiusitas Serat Bima
Suci. Penerbit: Media Pressindo, Yogyakarta
Satyopranowo, R. Ng.
1994 Wedaran Serat Wedatama (Anggitanipun K.G.P.A.A. Mankunegoro IV).
Kawedalake: K.R.T. Sarjono Darmosarkoro.
Warsena, Ki Tentrem LC
2006 Tuntunan Sekar Macapat. Penerbit:CV Cenderawasih, Sukoharjo

Buduran, 21 Desember 2010


7

Anda mungkin juga menyukai