Anda di halaman 1dari 3

Dasentra production (dasentra@gmail.

com) Kedudukan Sekar Anyar dalam Cianjuran Oleh Heri Herdini Tembang sunda cianjuran mulai diperbincangkan kembali terutama setelah munculnya Sekar Anyar dalam Pasanggiri Tembang Sunda Damas ke-19 yang berlangsung di gedung Graha Sanusi UNPAD Bandung beberapa bulan yang lalu. Wacana yang muncul dari fenomena tersebut terkait dengan masalah pro-kontra di a ntara para senimannya terhadap lagu-lagu Sekar Anyar, dan masalah ini sekaligus me njadi bagian yang tak terpisahkan dari dinamika perkembangan tembang sunda cianj uran itu sendiri. Hampir selama 4 bulan lebih, setelah berakhirnya kegiatan pasa nggiri Tembang Sunda Damas (25 Desember 2009), keberadaan lagu-lagu Sekar Anyar te rus diperdebatkan mulai dari peristilahannya itu sendiri, masalah ciri-ciri mand iri, issue pembunuhan karakter, sampai pada persoalan apakah laik Sekar Anyar dima sukkan ke dalam kategori genre tembang sunda cianjuran. Wacana ini muncul ke per mukaan bukan hanya dalam bentuk komentar secara lisan, melainkan juga dalam bent uk tulisan yang dimuat Mangle beberapa kali terbitan. Diawali oleh tulisan Dian Hendrayana pada Mangle No. 2253 (halaman 12-14) yang b erjudul: Pasanggiri Tembang Sunda Cianjuran Damas XIX Tahun 2009: Pasanggiri Euye ub ku Lalakon Anyar dan Mangle No. 2254 (halaman 10-12) yang berjudul: Sekar Anyar : Tetengger Cianjuran Mutahir. Tulisan tersebut merupakan liputan hasil kejuaran pasanggiri Tembang Sunda Damas ke-19, serta dilengkapi dengan penjelasan konsep pasanggiri yang dipandang sangat fenomenal, baik dari sisi penyelenggaraan (ad anya dua kategori sekar lawas dan sekar anyar), inovasi materi lagu pasanggiri, maupun adanya pro-kontra dari masyarakat seniman tembang sunda cianjuran dalam m enyikapi Sekar Anyar. Setelah itu, kemudian muncul peryataan sikap dari 23 seniman tembang sunda cianjuran yang pada prinsipnya mengkritisi terhadap penyelenggara an pasanggiri Tembang Sunda Damas Ke-19 dan sekaligus menolak terhadap keberada an Sekar Anyar. Pernyataan sikap ini tertulis pada Mangle No. 2256 (halaman 16) dengan judul: Kac indekan jeung Sikep Seniman Tembang Sunda Cianjuran Pikeun Pasanggiri Tembang Su nda Cianjuran Damas. Atas pernyataan sikap dari 23 seniman tembang sunda cianjura n ini, kemudian DAMAS pun sama-sama menyatakan pernyataan sikap yang intinya DAMA S tidak akan menyelenggarakan lagi pasanggiri tembang sunda cianjuran, dan akan menyerahkan Piala Sinilih Pancaniti dan Piala Saodah kepada yang berwenang. Dari tulisan-tulisan inilah kemudian muncul tulisan-tulisan lainnya yang juga dimuat Mangle secara berkesinambungan, yaitu tulisan Dedy Hernawan yang berjudul: Ulah Dikoreh Kagorenganana Wungkul (Mangle No. 2261, halaman 20-22); Tulisan Nano S. y ang berjudul Mairan Istilah Sekar Lawas & Sekar Anyar (Mangle No. 2263, halaman 26 -27); tulisan Yus Wiradiredja yang berjudul Tembang Sunda Anu Saha? (Mangle No. 2 264, halaman 8-9); tulisan H.D. Bastaman yang berjudul Sekar Lawas-Sekar Anyar-Se kar Duaan (Mangle No. 2268, halaman 7-9); dan dua terbitan terakhir yang ditulis oleh Dodo Suwondo yang berjudul Ukur Mairan Minangka Panyawang Kana Tembang Sund a Sekar Anyar (Mangle No. 2276, halaman 11) dan Mangle No 2277, halaman 23). Tulisan-tulisan di atas cukup membuktikan bahwa tembang sunda cianjuran masih me ndapat perhatian dari masyarakatnya, dan mereka (para penulis di Mangle), baik y ang mendukung maupun yang menolak terhadap Sekar Anyar pada dasarnya memiliki kepe dulian dan masih loyal terhadap tembang sunda cianjuran. Namun demikian, rasa ci nta dan kepedulian mereka terhadap tembang sunda cianjuran ini diekspresikan den gan cara yang berbeda, di satu sisi ada yang mencoba berpikir progresif, dan di sisi lain lebih mementingkan upaya protektif terhadap esensi tembang sunda cianj uran. Kekhawatiran memudarnya nilai-nilai dan esensi tembang sunda cianjuran den gan munculnya Sekar Anyar tampak mewarnai perbincangan di antara para seniman temb ang sunda cianjuran sebagai salah satu alasan untuk menyampaikan penolakannya te rhadap Sekar Anyar. Bahkan ada pula yang beranggapan bahwa dengan munculnya Sekar A nyar, maka hal itu secara tidak langsung akan membunuh lagu-lagu tembang sunda ci anjuran seperti: wanda papantunan, jejemplangan, rarancagan, dedegungan, dan wan

da kakawen. Sikap fanatisme dan sikap terbuka terhadap perkembangan seni tradisi merupakan d ua hal yang bersifat paradoks yang sesungguhnya dapat melahirkan keseimbangan an tara nilai-nilai dan gejala sosial yang terus berubah akibat perkembangan zaman. Hakikat seni bagi kehidupan umat manusia bukan terletak pada bentuk dan gaya, m elainkan terletak pada keberlangsungan fungsinya yang terus bergulir setiap zama n. Namun demikian, antara bentuk, gaya, dan fungsi ini satu sama lain saling ket ergantungan. Lahirnya bentuk dan gaya seni merupakan akibat logis dari fungsi se ni itu sendiri yang bersandar pada tatanan budaya secara lebih luas. Dengan demi kian, perubahan bentuk dan gaya seni sesungguhnya merupakan hal yang biasa, dan ini semata-mata untuk melanggengkan fungsinya, agar seni tersebut bisa hidup di setiap zaman. Kembali kepada persoalan semula, sekarang bagaimana kedudukan Sekar Anyar dalam te mbang sunda cianjuran? Apakah lagu-lagu Sekar Anyar akan dimasukkan ke dalam kateg ori tembang sunda cianjuran, atau dipisahkan dari genre tembang sunda cianjuran? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu ada tinjauan analisis terhadap lagu-lagu Se kar Anyar, baik berdasarkan ciri-ciri dominan maupun dilihat dari karakter lagu s ecara keseluruhan. Agar lebih jelas duduk persoalannya, terlebih dahulu perlu di sampaikan ciri-ciri dominan dari tembang sunda cianjuran. Para seniman tembang sunda cianjuran mengakui bahwa lagu-lagu tembang sunda cian juran memiliki estetika tersendiri yang berbeda dari kawih kepesindenan. Lalu ap a sebenarnya yang membedakan kedua jenis sekar tersebut? Perbedaan yang tampak m enonjol dari kedua jenis sekar tersebut yaitu terletak pada penggunaan ornamenta si (dongkari) dan cara membawakannya. Penggunaan ornamentasi pada tembang sunda cianjuran tampak lebih mengikat dan teratur dibandingkan dengan penggunaan ornam entasi pada sekar kepesindenan. Perbedaan ini bukan menyangkut persoalan mana yan g lebih baik atau mana yang lebih enak, melainkan terkait dengan bahasa estetik d ari masing-masing jenis sekar tersebut. Sementara itu, bentuk perwujudan ornamen tasi pada lagu-lagu tembang sunda cianjuran dibangun oleh keterampilan dan tekni k mengolah suara, bukan dihasilkan oleh jalinan dari beberapa nada seperti halny a sering ditemukan dalam sebagian senggol-senggol sekar kepesindenan. Oleh karen anya, cara membawakan ornamentasi dalam tembang sunda cianjuran sering menggunak an teknik tenaga perut (misalnya, dongkari jekluk), teknik suara dada (misalnya, dongkari gedag, gibeg, dan galasar) dan teknik suara tenggorokan (misalnya, don gkari beulit, riak, leot, dan golosor). Dari dongkari-dongkari tersebut, baik di lihat dari bentuk perwujudan maupun cara dan teknik membawakannya, dapat terbang un suasana dan karakter lagu-lagu tembang sunda cianjuran yang terasa gagah, teg as, sedih, dan romantis. Dengan demikian, keberadaan dongkari dalam tembang sund a cianjuran merupakan hal pokok yang menjadi ciri pembeda dari jenis-jenis sekar lainnya. Sekarang bagaimana dengan lagu-lagu Sekar Anyar, apakah dongkari-dongkari pada lag u-lagu Sekar Anyar berbeda dengan dongkari-dongkari pada lagu-lagu tembang sunda cianjuran? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat hasil pengamatan berik ut ini. Ada 18 buah lagu Sekar Anyar (9 lagu mamaos dan 9 lagu panambih) yang terd apat pada CD Sekar Anyar: Katresnan Kana Cianjuran. Lagu-lagu tersebut berjudul : (1) Kalindih-Ilang (Ciptaan Ubun Kubarsah dan Ganjar Kurnia); (2) Wegah-Sajero ning Sindang (ciptaan Ubun Kubarsah dan Yayat Hendayana); (3) Silih Asih-Nganten g (ciptaan Ubun Kubarsah dan Yayat Hendayana); (4) Amanah-Mustika Katulistiwa (c iptaan Ubun Kubarsah dan Zahir Zachri); (5) Bentang Kuring-Ukur Cimata (ciptaan Ubun Kubarsah dan Eddy D. Iskandar); (6) Srikandi Kiwari-Mayang Sunda (ciptaan E uis Komariah dan Etti RS); (7) Munara Sirna-Gupay Samoja (ciptaan Yus Wiradiredj a dan Dian Hendrayana); (8) Sagara-Katresna (Ciptaan Yus Wiradiredja dan Etti RS ); dan (9) Nyawang Tangtungan-Sangkuring (ciptaanYus Wiradiredja dan Dian Hendra yana). Setelah diamati, lagu-lagu yang terdapat pada CD tersebut pada prinsipnya masih

berada pada koridor tembang sunda cianjuran terutama bila dilihat dari penggunaa n dongkari-dongkari tembang sunda cianjuran. Untuk sementara ini, jenis-jenis do ngkari pada tembang sunda cianjuran baru teridentifikasi sebanyak 17 dongkari. B ila dilihat dari penggunaan dongkarinya, lagu-lagu Sekar Anyar pada umumnya tidak ada yang menyimpang dari ke-17 dongkari tersebut. Namun, untuk bisa dirasakan ap akah sebuah lagu tersebut masuk pada genre tembang sunda cianjuran atau bukan, t idak cukup hanya dilihat dari penggunaan dongkarinya saja, tetapi perlu juga dil ihat bagaimana hubungan antarsetiap dongkari yang digunakannya. Dalam lagu-lagu tembang sunda cianjuran (papantunan, jejemplangan, dedegungan, rarancagan, dan k akawen) selalu terdapat ornamen pokok. Yang dimaksud dengan ornamen pokok adalah gabungan dari dua atau lebih dongkari yang diterapkan pada satu suku kata (misa lnya, gabungan dari dongkari riak-beulit-inghak; gibeg-riak-beulit; riak-gedag-j ekluk; atau dua jenis dongkari yang digabungkan seperti: riak-beulit; gedag-jekl uk; dan beulit-kait). Perlu diingat bahwa ornamen pokok ini merupakan bagian dar i keindahan lagu-lagu tembang sunda cianjuran. Bila merujuk pada kaidah di atas, tidak ada alasan untuk menolak lagu-la gu Sekar Anyar masuk ke dalam koridor tembang sunda cianjuran, meskipun di antara sekian banyak lagu tersebut, ada satu lagu yang tampak menyimpang, yaitu lagu We gah. Penyimpangan ini bukan terletak pada penggunaan dongkari-dongkarinya, melai nkan terletak pada penggunaan ornamen pokok-nya. Secara keseluruhan, lagu Wegah menggunakan 7 jenis dongkari, yaitu: gedag, gibeg, golosor, ombak (istilah Yus Wiradiredja), beulit, riak, dan buntut. Namun, dongkari-dongkari tersebut kebany akan berdiri sendiri, kecuali pada baris ke-12 tepat pada suku kata mah yang diisi oleh gabungan dongkari riak dan buntut. Untuk lebih jelasnya, lihat rumpaka di bawah ini. Es1-tu1 saleres2-na3 kitu/Di dunya sakadar4 sindang/Nga1-don3 reu2reuh/Di3-na4 l alampahan u3-rang/Ngabu-jeng4 ka pangbalikan/Na1-nging mung-guh1 a-ri3 sindang /Henteu we-leh4 ho1-yong5 manjang/Di ditu di di1-eu3 be1-tah/Nu kitu nu ki1-eu3 en1-dah/Ka1-na wang-sul6 wuwuh we-gah6/Di1-na1 sajero-ning3 sindang/Kahoyong ma h7,6 kantenan/Henteu ngantunkeun catetan/Anu pinuh ka-le4pa-tan5. (Catatan: Suku kata yang digarisbawahi menunjukkan bagian yang ada dongkarinya; kemudian angka 1=dongkari gedag, 2=gibeg, 3=golosor, 4=ombak, 5=beulit, 6=buntut, dan 7=riak). Berdasarkan hasil analisis di atas, tampak jelas bahwa lagu Wegah sangat minim den gan dongkari, apalagi yang menyangkut ornamen pokok. Hal ini sangat berpengaruh terhadap pencapaian nuansa dan karakter yang biasa berlaku pada lagu-lagu temban g sunda cianjuran. Kembali kepada permasalahan pokok, apakah Sekar Anyar laik dimasukkan ke dalam gen re tembang sunda cianjuran? Menurut pendapat saya, Sekar Anyar sangat laik masuk p ada genre tembang sunda cianjuran. Hal ini didasari oleh alasan sebagai berikut: (1) lagu-lagu Sekar Anyar secara prinsip tidak melanggar kaidah estetika tembang sunda cianjuran khususnya dilihat dari penggunaan dongkari; (2) dilihat secara k eseluruhan, penyajian lagu-lagu Sekar Anyar masih merujuk pada etika dan estetika tembang sunda cianjuran, baik dilihat dari bentuk pirigan maupun penggunaan liri k lagunya; (3) dari 9 lagu mamaos Sekar Anyar hanya ada satu lagu yang dipandang sedikit menyimpang khususnya dilihat dari penggunaan ornamen pokok, namun sangat tidak bijaksana bila kasus ini digeneralisasikan untuk menilai keberadaan lagulagu Sekar Anyar; (4) Sekar Anyar dapat menambah kekayaan perbendaharaan lagu-lagu t embang sunda cianjuran demi kesinambungan tembang sunda cianjuran di masa mendat ang; dan (5) hidupnya tembang sunda cianjuran hingga saat ini, itu disebabkan ol eh adanya kreativitas dari para senimannya, dan Sekar Anyar merupakan salah satu p roduk kreativitas dari para seniman tembang sunda itu sendiri. Berdasarkan alasa n di atas, maka Sekar Anyar perlu diposisikan secara jelas, apakah keberadaannya t ergolong pada wanda rarancagan, atau diposisikan sebagai wanda baru dalam temban g sunda cianjuran yang diberi nama tersendiri? Penulis, dosen di STSI, seniman cianjuran, tengah menyelesaikan program doktoral di Universitas Padjadjaran

Anda mungkin juga menyukai