Anda di halaman 1dari 28

Budaya Sunda Ramlan

APRESIASI KESENIAN SUNDA


( Bagian Satu )

Bacalah tulisan dibawah ini dan laksanakan tugasnya

A. Tembang Sunda ‘Cianjuran’


Sejarah dan Perkembangannya
‘Cianjuran’ adalah salah satu jenis tembang sunda yang sangat
terkenal di Jawa Barat. Pada awalnya seni ini merupakan kalangenan bagi
kaum bangsawan di lingkungan pendopo kabupaten Cianjur. Tokoh
penciptanya dikenal dengan julukan ‘ Kangjeng Dalem Pancaniti’ yang
sebenarnya nama aslinya RAA Kusumaningrat. Kangjeng Pancaniti merupakan
Bupati Cianjur ke-7 yang memerintah pada 1834-1864.

RAA KUSUMANINGRAT

Selanjutnya kesenian ini menyebar ke seluruh wilayah Jawa Barat,


yang disebarkan oleh Rd.Ece Majid (Keluarga dekat Bupati Cianjur). Ketika itu
Cianjur diperintah oleh putra Dalem Pancaniti, yaitu bernama RAA Prawiradirja
II, 1864-1910.
Dalam perkembangannya sampai sekarang kesenian ini lazim disebut
hanya Cianjuran saja. Kadang-kadang disebut secara lengkap Tembang
Sunda Cianjuran, atau hanya disebut Tembang Sunda saja. Sebenarnya akan
lebih tepat jika disebut secara lengkap, yaitu Tembang Sunda Cianjuran.
Sebutan lengkap diperlukan agar dapat membedakan dengan jenis tembang-
tembang lainnya, yaitu Tembang Sunda Cigawiran dan Tembang Ciawian
(Pagerageungan).
Berdasarkan istilah ilmu karawitan, kesenian ini termasuk karawitan
sekar gending. Yang dimaksud sekar gending adalah karawitan yang
merupakan perpaduan antara sekaran dan gendingan. Yang dimaksud
sekaran adalah seni suara yang berasal dari suara manusia. Dalam tembang
sunda cianjuran yang membawakan sekaran lazim disebut ‘juru mamaos’.
Gendingan atau karawitan gendingnya berupa alat-alat gending(musik) yang
lazim disebut waditra.

1
Budaya Sunda Ramlan

Waditra pengiring dalam cianjuran berupa dua buah kacapi dan sebuah
suling atau rebab. Orang atau seniman yang memainkan waditra untuk
cianjuran disebut juru pirig, atau pamirig. Kacapi untuk cianjuran ada dua
macam. Yang pertama disebut kacapi indung atau disebut juga kacapi parahu.
Yang kedua disebut kacapi rincik. Disebut kacapi indung karena fungsinya
sebagai musik inti atau induk, yaitu musik yang paling dominan dalam
mengiringi juru mamaos. Disebut kacapi parahu, karena bentuk dari kacapi
ini seperti perahu. Sedangkan kacapi yang kedua yaitu kacapi rincik fungsinya
tidak begitu dominan. Kacapi ini hanya digunakan untuk mengiringi lagu-lagu
tertentu saja, yaitu untuk melengkapi iringan lagu-lagu panambih (lagu-lagu
ekstra). Bentuknya lebih kecil dari kacapi indung.
Selain kacapi, waditra lainnya adalah suling. Suling untuk iringan
cianjuran berlubang 6(enam). Panjangnya antara 59-63 cm. Fungsi suling
dalam cianjuran terutama untuk memberi hiasan lagu. Selain suling kadang-
kadang digunakan juga rebab. Penggunaan rebab untuk iringan cianjuran
hanya untuk mengiringi lagu-lagu panambih yang bersurupan salendro saja.

Waditra Suling

Waditra Kacapi

2
Budaya Sunda Ramlan

Lagu Tembang Sunda Cianjuran


Selain adanya juru mamaos dan para pamirig dengan waditra-
waditranya, materi pokok dalam penampilan seni cianjuran yaitu adanya lagu-
lagu yang disajikan. Lagu tersebut adalah lagu tembang sunda cianjuran.
Lagu-lagu dalam seni cianjuran terdiri atas dua jenis yaitu lagu-lagu mamaos
dan lagu-lagu panambih.
Yang disebut lagu-lagu mamaos yaitu lagu-lagu khas cianjuran yang
disebut sekar irama merdika. Dinamakan sekar irama merdika itu karena
dalam penyajiannya seolah-olah merdika, atau bebas. Lagu mamaos tidak
terikat oleh birama atau ketukan. Tidak terikat oleh aturan gending tradisi
seperti wiletan atau goongan. Si penyanyi seolah-olah bebas melantunkan
suaranya. Namun demikian, dasar nadanya tetap terikat oleh nada-nada
waditra pengiringnya baik nada kacapi maupun nada suling.
Lain halnya dalam melagukan lagu-lagu panambih. Cara melagukan
lagu panambih terikat oleh aturan gending tradisi yaitu tetap temponya
(biramanya), ketukannya, serta wiwitannya maupun goongnya. Dengan
demikian saat melagukan lagu mamaos juru pirignya yang harus mengikuti
suara juru mamaos, sedangkan dalam lagu panambih sebaliknya juru
mamaos (penembang) yang harus mengikuti irama dari juru pirignya.
Lagu-lagu dalam tembang sunda cianjuran dapat dikelompokkan
kedalam 6 jenis yang lazim disebut wanda. Wanda-wanda tersebut adalah:
(1) Papantunan; (2) Jejemplangan; (3) Dedegungan; (4) rarancangan; (5)
kakawen (dadalangan); dan (6) Panambih.
Lagu-lagu dari papantunan dan jejemplangan merupakan lagu-lagu
yang asli cianjuran. Keseluruhan lagu yang telah hidup di masyarakat akan
tampak mudah diketahui jika dibandingkan dengan wanda-wanda lainnya
karena ada ciri yang khusus. Ciri tersebut yaitu (1) bentuk sajiannya
merupakan sekar gending lengkap, baik sekarnya maupun gendingnya sudah
diciptakan penuh, tiap lagu punya pirigan khusus; (2) lirik lagunya terambil
dari lirik carita pantun Mundinglaya di Kusumah sekalipun kini sudah banyak
juga yang menggunakan lirik berbentuk pupuh; (3) senggol-senggol atau
ornamen dari ke-dua wanda ini mewarnai atau mendasari wanda-wanda
lainnya dalam cianjuran; dan (4) disajikan hanya dalam laras pelog saja.
Wanda dedegungan jumlahnya tidak begitu banyak. Cirinya hanya
tampak dalam alunan lagunya saja, bahwa sebagai lagu-lagu Dedegungan
banyak menggunakaan ornamen (senggol) yang berasal dari lagu-lagu
Degung klasik yang berbentuk instrumentalia seperti misalnya ladrak, Palwa,
Sang Bango, Beber asmarandana, Dangdanggula, Wirangrong, Durma, dan
Magatru. Pirigannya hanya masieup saja tidak mempunyai pirigan secara
khusus seperti halnya Papantunan dan jejemplangan. Disajikannya hanya
dalam laras degung yang dalam prakteknya dengan laras pelog saja.

3
Budaya Sunda Ramlan

Lagu-lagu pada wanda Rarancagan ditampilkan dalam beberapa


surupan yaitu dalam laras Pelog, laras Salendro, dan Nyorog (Pelog Nyorog).
Lirik lagunya seluruhnya berbentuk pupuh yaitu dari pupuh kinanti, sinom,
asmarandana, dan dangdanggula(KSAD). Setiap lagu pada umumnya sudah
mempunyai nama tersendiri yang tidak disebutkan lagi pupuhnya. Contohnya
dari pupuh dangdanggula ada lagu bayubud, goyong, talutur, mangari,kentar
cisaat dll. Nama lagu-lagu tersebut mungkin banyak yang sama dengan
nama-nama lagu lagam tembang sunda lainnya seperti cigawiran, hal itu
terjadi karena banyak lagu-lagu yang asalnya dari cigawiran maupun ciawian
disempurnakan lagi dalam cianjuran. Lagu-lagu cianjuran dari wanda
rarancagan ini jumlahnya banyak sekali. Dari sekian banyak lagu-lagu
tersebut hanya sedikit sekali yang dalam penampilannya diiringi dengan
pirigan khusus seperti papantunan. Yang mempunyai pirigan khusus antara
lain hanya pamuragan, eros, udan mas, ceurik rahwana, goyong, liwung jaya
dll.
Lagu-lagu wanda Kakawen atau Dadalangan jumlahnya tidak begitu
banyak. Untuk lagu-lagu wanda ini mudah diketahui sebab seluruhnya
merupakan tradisi dalang Wayang golek purwa di priangan dalam melagukan
kakawen. Oleh sebab itu nama lagu-lagunya pun sama seperti Kayu Agung,
Waringin Sungsang, Toya Mijil, Sebrakan Sapuratina dll. Lirik lagunya pun
sama seperti lazimnya dalang wayang golek, yaitu lirik yang bergaya kekawi-
kawian atau bahasa Jawa yang khas. Kebanyakan disajikan dlam laras
Salendro dan sedikit sekali yang berlaras pelog. Piringan kacapinya pun
seperti halnya Rarancangan, tidak ada piringan khusus.
Keseluruhan wanda yang telah digambarkan tersebut itulah
sebenarnya yang disebut Tembang Sunda Cianjuran. Sedangkan wanda
Panambih sebenarnya hanya ekstra saja, yaitu lagu-lagu yang segar sebagai
penenang sehabis melagukan lagu-lagu mamaos (tembang). Namun dalam
penampilannya kadang-kadang lagu-lagu panambih mempunyai kedudukan
yang sama dengan lagu-lagu mamaos.
Lagu-lagu panambih dalam cianjuran tidak lagi menggunakan lirik
sastra pantun maupun pupuh. Lagu-lagu panambih banyak yang
menggunakan sisindiran dan puisi bebas atau balada. Tidak sedikit lagu-lagu
panambih yang merupakan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan juru sinden
kiliningan atau wayang golek seperti kulu-kulu bem. Tablo, sinyur, gunung
sari, banjar, sinom dll. Banyak pula lagu-lagu ciptaan baru yang sengaja
dibuat untuk lagu panambih seperti nyawang Bandung, Karanginan, Ayun
Ambing dll.

Seniman Tembang Sunda Cianjuran


Para seniman Cianjuran yang terkenal pada zamannya antara lain :
RAA Kusuma Ningrat (Dalem Pancaniti), tokoh legendaris pencipta Cianjuran,
menjabat bupati Cianjur ke-7, 1834-1864. Kemudian dilanjutkan periode
putranya, RAA Prawira Dirja, 1864-1910 dengan tokoh senimannya Rd.Ece

4
Budaya Sunda Ramlan

Majid, Jaya Lahiman dan Rd. Jaya Wireja. Rd.Ece Majid telah memperoleh
anugrah tertinggi dalam seni cianjuran dari pemerintah Indonesia tahun 1974.
Selanjutnya pada periode 1910-1945 seniman cianjuran yang terkenal
antara lain Rd.Ihot, Rd.Emung Purawinata, Rd.Sanusi, Rd.Anah Ruhanah, Rd.
Imong, Rd. Ipung Prawira Sudibja, Rd.Encang, Ahim, Dai dll.
Periode 1945-1965 terkenal diantaranya Nyi mas Saodah, Emeh
Salamah, Endu Sulaeman Apandi, Bakang Abubakar, Idi Rosadi, Mimin
Aminah Rosadi, Rd. Surmen Winata Dipraja, Rs.Entip Suara Kusumah dll.
Bakung Abubakar telah memperoleh hadiah seni tertinggi bidang seni
Cianjuran dari pemerintah RI tahun 1993.
Periode 1965-1975 terkenal seniman cianjuran Apung S Wiratmaja,
Drs. Dadang Sulaeman, Acicah, Didin S Bajuri, Enah Sukaenah, Euis Komariah
dll.
Periode 1975 – sekarang, terkenal seniman cianjuran Imas permas
Sutarno, Ida Widawati, Yus Wiradirja, Barman Cahyana, Burhan Sukarna
(suling), Rukruk dan Gangan G (kacapi).

Pertunjukkan
Cara penampilan seni Tembang Sunda Cianjuran biasanya ada dua
macam. Pertama dalam acara kalangenan, yaitu acara khusus penyajian
cianjuran secara kekeluargaan antar seniman dan pemerhati disebuah rumah
yang agak luas. Seniman dan pemerhati duduk melingkar. Siapa saja boleh
menyanyikan lagu. Tertib sajian lagu selalu dipertahankan, yaitu harus diawali
dengan bubuka instrumentalian kacapi-suling lalu dimulai dengan bubuka
gerendeng Papantunan dilanjutkan sebuah Papantunan – Papatet misalnya.
Lagu tersebut dilagukan bergantian oleh para seniman Mamaos yang ada.
Setiap selesai melagu pemerhati (penonton) bebas berkomentar, pujian atau
sanggahan dikemukakan secara langsung maupun melalui sindiran halus atau
pedas. Atau tanpa komentar sama sekali. Pujian akan spontan dilontarkan jika
teknik melagunya menarik. Misalnya untung dewek teu torek, atau pek mun
teu dua moal dibawa nguseup deui. Dua, maksudnya harus dua kali atau
diulang melagunya (bagi si seniman yang dikomentari). Namun sebaliknya
jika teknik melagunya tidak menarik, sindiran akan terlontar seperti parantos
ngalagu teh.
Penampilan lagu-lagu dimulai dari Papantunan lalu Dedegungan,
kemudian Jejemplangan dan terakhir Rarancagan sambil diselingi lagu-lagu
Panambih. Semua yang hadir benar-benar berada dalam suasana khas
Cianjuran, yaitu jika penyanyi, bernyanyi dengan sepenuh hati dan jika
penonton mendengarkan dengan penuh penghayatan.
Yang kedua dalam pergelaran khusus. Dalam pergelaran seperti ini
segalanya diatur. Waktu dibatasi, lagunya dibatasi dan antara seniman dan
penontonnya pun belum tentu memberikan perhatian penuh. Dalam
pergelaran semacam ini tak mungkin menampilkan Cianjuran secara utuh.
Namun harus disesuaikan dengan tuntutan penyajian seni pertunjukkan.

5
Budaya Sunda Ramlan

Baik pada penyajian dalam acara Kalangenan maupun pada pergelaran


khusus, kesenian ini tetap disajikan secara tradisional, yaitu seniman
semuanya duduk bersimpuh diatas permadani dengan busana khas Sunda.
Wanita memakai kebaya dan sanggul, laki-laki memakai udeng dan takwa.

Latihan Suling dan Tembang Sunda Cianjuran


Di Lembaga Budaya Sunda Universitas Pasundan

Nasihat dan Doa dalam Tembang Cianjuran

Membaca suatu pada teks menurut Derrida pembaca mengadakan


pemisahan antara membaca teks atau tulisan; dan membaca sang penulis
yang berdiri bersembunyi di balik teks atau tulisan yang disebut metafisika-
kehadiran atau atau kehadiran-metafisik, atau kehadiran –sang gaib… yang
harus dikritisi ialah kekerasan, intervensi, atau tendensi kehadiran sang-gaib
dan kawan-kawannya. Sejalan dengan pemikiran ini Kristeva berpendapat
bahwa ”every text take shape as a mosaic of citation,every text takes is the
absorption and transformation of other texts (Culler, 1975: 139).
Kajian intertekstualitas adalah penelusuran hipogram berupa teks-teks
terdahulu atau sezaman yang turut merekonstruksi sebuah karya sastra.
Makna teks Tembang Cianjuran dalam pertunjukan, selain unsur verbal,
secara inherent didukung oleh seni musik unsur non verbal yakni petikan
kecapi, tiupan suling atau gesekan rebab dan etika penyajian (kostum sikap
penyajian penembang termausuk pada siapa penembangnya) (Samson,
2006). Tembang Cianjuran yang termasuk unsur verbal tersebut pun lantunan
lagunya mendukung makna pula, apalagi Tembang Cianjuran sangat kaya
dengan ornamen lagunya (Ibid). Pembahasan selanjutnya melepas unsur
nonverbal dan lagu hanya seputar teks yang dimuat dalam tulisan.

Tatalegongan/Jemplang Bangkong
Bangkong dikongkorong kujang
ka cai kundang cameti, da kole
kole di buah hanggasa
ulah ngomong samemeh leumpang, da
hirup
hirup katungkul ku pati
paeh teu nyaho di mangsa

6
Budaya Sunda Ramlan

(Sobirin, 1987: 31)

Katak berkangkalung kujang


memasuki air bersandang cemeti, kole
kole pada buah hanggasa
jangan berbicara sebelum berjalan, dalam
hidup
hidup ditunggu maut
ajal tak tahu kapan

Rumpaka ini di-tembang-kan dalam surupan Pelog Jejemplangan, tidak


terikat oleh pupuh, penulis Anonim. Dilihat dari isinya kemungkinan digubah
oleh seorang sufi. “Teks diperoleh oleh R. Bakang Abubakar dari gurunya pada
tahun 1944 (Ischak, 1988: ).
Tatalegongan dipandang dari sudut arti sebagai satu rangkaian
informasi mengungkapkan tentang pengembaraan. ”Katak” pada teks-teks
naskah teosofi Tasawuf sebagai teks hipogram, simbol dari salik (pencari jalan
menuju Allah), yaitu orang yang senantiasa menghadirkan Allah dalam dirinya
atau yang lazim disebut Manunggaling kaula-Gusti dengan ungkapan
bangkong ngaheungheum liangna ‘katak mengulum lubangnya’ (Lihat
Wawacan Gandasari dan Wawacan Buana Wisesa). Katak dianalogi sebagai
simbol salik, karena selanjutnya muncul wejangan yang bersifat religius.
Katak pada teks dituturkan berkalung kujang. Kujang, yaitu sejata para
raja Sunda jaman kuna yang bersifat sakral dan religius. Kata ”Kujang” dalam
teks hipogram sebagai berikut:
wanci nyaring jeung caringcing, geus beurang geura bral miang, wangkingan
pusaka kujang, tamengna wawanen hate, pangraksana ku iatna’((Ischak,
1988: 13) artinya: ’masa terjaga dan bersiaga, sudah siang berangkatlah,
pegangan dengan pusaka kujang, dengan tameng keberanian hati, dilindungi
oleh kehati-hatian’
Kole adalah nama sejenis pisang. Kole dalam teks hipogram mantra
pengobatan, simbol dari kenyamanan: tiis alahbatan birit leuwi, comrek alah-
batan hate kole ’lebih dingin daripada lubuk sungai yang dalam, lebih dingin
daripada bagian dalam batang pisang kole’. Hanggasa semacam buah yang
enak dimakan.
Pada bagian-bagian akhir diungkapkan nasihat ”janganlah berbicara
sebelum menjalani sesuatu (tidak tekebur), dalam kehidupan. Hipogram
bagian ini terdapat pada teks Wawacan Buwana Wisesa tentang menutup
lubang mulut, maksudnya tidak berkata yang sia-sia supaya amal tidak
berceceran. Pengertian ’hidup’ itu memiliki makna ganda, pertama hidup
menjalani kehidupan, kedua dalam Ajaran Teosofi Tasawuf ’hidup’ diartikan
menghidupkan hati untuk selalu berdzikir kepada Allah (Lihat wawacan Jaka
Ula Jaka Uli dan Wawacan Pulan Palin).

7
Budaya Sunda Ramlan

Ungkapan terakhir, hidup dinanti oleh ajal, waktunya pun kapan, kita
tak tahu. Penerapan teks hipogram pada Tatalegongan dengan ekserp
’excerpt’ (pengintisarian) dan pada modifikasi ’modification’ (pengubahan) .
Fungsi semiotik penerapan hipogram memperdalam makna. Matriks dari teks
ini adalah, pengembaraan di jalan Allah. Tatalegongan meng-ungkapkan
kehati-hatian dalam menjalani hidup. Katak yang kehidupannya nyaman di air
yang disimbulkan oleh kole, namun selalu membekali diri dengan cemeti. Hal
ini memiliki makna bahwa subjek walau dalam ketenangan namun selalu
mencambuk dirinya supaya tak etrlena oleh kesenangan duniawi hanggasa,
yang mejerumuskan dirinya. Nasihat dari rumpaka ini, janganlah tekebur,
berdzikirlah di hati selalu, jangan terlena oleh dunia, hidup selalu ditunggu
ajal.

Pucung Degung
Lamun urang boga maksud kudu junun
kahayang jeung prakna
mun sakadar dina hate
eta mubah moal rek aya buktina.
(Sobirin, 1987)

Apabila bercita-cita sesuatu harus tabah


berkeinginan dengan bekerja
apabila sekadar niat di hati
sia-sia tak akan ada hasilnya

Pucung tergolong Pupuh Alit, karakter pupuh meng-ungkapkan wejangan


pemberitahuan, kaget, dan kesadaran, Laras Pelog dalam Dedegungan
(bernada tinggi). Pupuh Pucung banyak diajarkan di Sekolah Dasar, berisi
paedogogis. Rumpaka ini mengusung nasihat apabila memiliki cita-cita harus
berjuang dengan tekun supaya berhasil.

Cirebonan

Balebat pajar ti wetan


ciciran wanci geus ganti
poek kasilih ku caang
sinar surya ting karetip
tina arendat di langit
mega- mega hurung ruhruy
nyebar nyaangan buana
sarupi nu geus pasini
geus mangsana nyaring galih kasaean.
(Sobirin, 1987)

8
Budaya Sunda Ramlan

Cahaya fajar di ufuk timur


ciri masa berganti
gelap berganti terang
sinar surya berkelap-kelip
melukis garis di langit
mega menyala gemerlapan
menebar terang di bumi
sebagai tanda seolah ikatan janji
sudah waktunya berjaga, pikirkanlah kebaikan

Lagu Cirebonan Surupan Pelog menggunakan pupuh Sinom. Rumpaka


ini diterima R. Bakang Abubakar dari gurunya pada tahun 1949. ”Rumpaka ini
di-tembang-kan pula dalam lagu Kapati-pati ’Mengalami penderitaan batin
seolah-olah menjelang ajal’ dalam Surupan Sorog” (Ischak, 1988: 60). Yang
lebih tepat penggunaan rumpaka ini lagu Cirebonan karena sesuai dengan
karakter Sinom, yakni untuk mengungkapkan kebahagiaan keoptimisan
dalam pergantian malam ke siang. Teks lagu Cirebonan dipandang dari sudut
arti sebagai satu rangkaian informasi mengungkapkan tentang perjalanan
waktu Judul lagu ”Cirebonan” tidak serta merta tanpa memberikan muatan
makna, namun mendukung isi rumpaka bagian akhir, tentang perenungan
kehidupan. Cirebonan berasal dari kata Cirebon, sebuah kota di pantai utara
yang terkenal dengan seorang wali penyebar Agama Islam yang bergelar
Sunan Gunung Jati. Kearifan seorang tokoh yang berasal dari suatu daerah
biasanya dinamai menurut daerah masing-masing antara lain, Ajian
Sukawayana, Sumedangan, begitu pula Cirebonan.
Sejarah Asal-Usulnya Cirebon (Mutiah,1980) sebuah ’karya sastra
sejarah’/’sastra kitab.’ yang sangat sarat dengan pesan religius Islam.
Diperkirakan ajaran-ajaran tersebut berasal dari para penyebar Islam pada
awal Islamisasi di Cirebon. Menurut seorang kasepuhan di Talaga R. Adin
Yudakaria Almarhum penganut Ajian Kacirebonan, bahwa Ajian Kacirebonan
meliputi: pertama sabar, kedua tawakal, ketiga tidak menyebarkan aib orang
lain, keempat tidak menolak rizki yang sedikit, kelima apabila menikah tidak
segera menggaulinya namun ada tenggang waktu. Puasa Ratu (kemungkinan
berasal dari Sunan Gunung Jati karena beliau mendapat sebutan Pandita Ratu
yakni apabila sedang nikmat makan harus segera dihentikan.
Pada lagu-lagu lain yang mirip dengan Ajian Kacirebonan terdapat pada
lagu Kinanti Nunggeulis sebagai berikut: Hirup kumbuh nu saestu, poma jail
hiri dengki, pantrang ti ngupat sinuat, kiwari geus lain musim, nitenan laku
nu lian, saeutik teu ngandung harti.’
Dalam menjalani kehidupan yang benar, jangan sekali-kali menjahili
dan iri dengki, pantang men-ceriterakan keburukan orang, tak sesuai (dengan
ajaran kebaikan), meneliti perilaku orang lain, sedikit pun tak berfaedah’.
(lihat pula tentang pandangan kepada sikap orang lain dalam pembahasan
Naratas Jalan).

9
Budaya Sunda Ramlan

Penerapan teks hipogram pada Cirebonan dengan ekserp ’excerpt’


(pengintisarian) (Lihat Sardjono, 1986). Fungsi semiotik teks hipogram untuk
menyajikan makna maksud. Matriks teks: Pergantian waktu untuk melakukan
kebaikan. Yang dimaksud dengan kebaikan di dalam teks tidak dibahas secara
rinci, kemungkinan tatanan-tatanan itulah yang dimaksud. Nasihat dari lagu
Cirebonan: apabila malam berganti siang, segera bangun dan
kerjakanlah kebaikan.

Naratas jalan
Geura bral geura mariang
geura prak naratas jalan
teangan kasugemaan
enggoning keur kumelendang
kumelendang masing yakin
dibarengan kaimanan
yakin kana pamadegan
tangtungan wanda sorangan
tapi poma 2x lain laku kaangkuhan.
Kaangkuhan anu mawa
kana jalan kaambrukan
hirup teh lain sorangan
loba pisan nu marengan
keur urang silih tulungan
lain eukeur pacengkadan
nu taya hartina pisan
nimbulkeun pondok harepan
ilang akal keur ngudag-udagan urang
(Sobirin, 1987: 85)

Silakan berangkatlah
buka jalan
cari kepuasan
selama berkelana
dalam berkelana disertai keyakinan
disertai keimanan
yakin pada pendirian
keyakinan hati nurani
namun janganlah disertai keangkuhan
Keangkuhan membawa
ke jalan kebinasaan
(sadari) hidup tidak sendiri
banyak sekali sesama manusia
untuk saling tolong-menolong
bukan untuk berselisih

10
Budaya Sunda Ramlan

yang tak bermanfaat


yang menimbulkan pendek pikiran
kehilangan akal yang akan menyertai kita

Naratas Jalan Surupan Pelog, pupuh Sinom. Kedua bait merupakan


kesatuan yang mendukung pada judul Naratas Jalan ’Membuka Jalan’. Apabila
dikaitkan dengan penggunaan pupuh, ”membuka jalan” pada konteks ini,
memiliki makna membuat pijakan hidup dalam mencari kebahagiaan untuk
diteladani oleh orang-orang kemudian. Teks Naratas Jalan dipandang dari
sudut arti sebagai satu rangkaian informasi, tentang menjalani kehidupan.
Rumpaka ini mengemukakan bahwa hidup dengan sesama untuk saling
tolong-menolong bukan untuk berselisih. Teks hipogram dalam pupuh Pucung
seperti berikut: Utamana jalma kudu rea batur, keur silih tulungan, silih asih
silih bere, budi akal lantaran ti pada jalma. ’Yang paling utama orang harus
memiliki kawan banyak, untuk saling menolong, saling memberi, budi dan
akal melalui sesama manusia.’
Teks pada hipogram lainnya dari guguritan Asmarandana Lahir Batin
karya RA Bratawijaya sebagai berikut: Ulah sirik ka pangampih, ulah nyacad
ka nu lian, deungeun pikeun eunteung bae, nu lian pikeun tuladan, hade
goreng kasawang, ukur ku tangtung sakujur, sasaran di badan urang. ’Jangan
iri kepada yang lebih tinggi, jangan mencacat orang lain, orang lain untuk
cermin, orang lain untuk teladan, baik buruk (kita) dapat menilainya, ukur
dengan diri kita, telusuri diri kita sendiri.’ Teks hipogram ini lebih menekankan
untuk introspeksi diri.
Rasa kebersamaan dilantunkan pula pada bagian teks hipogram dari
lagu Campaka Kembar Surupan Sorog (Sobirin, 1987: 84) dalam bentuk
sampiran dan isi: ... Ayun-ayunan, dina tangkal waru doyong, sabilulungan,
runtut raut gotong royong, ayun-ayunan, dina tangkal kayu manis,
sabilulungan, sapapait samamanis ’Berayun-ayun, pada pohon waru doyong,
bersatu padu, bersama sama bergotong royong, berayun-ayun pada pohon
kayu manis, bersatu padu, bersama-sama dalam pahit dan manis.
Penerapan teks hipogram pada Naratas Jalan dengan ’excerpt’
(pengintisarian) dan modifikasi ’modification’(pengubahan). Fungsi semiotik
pada teks hipogram untuk penyajian makna maksud. Matriks teks: Jalan
kehidupan mulia adalah bersatu padu.
Pesan dari rumpaka Naratas Jalan yakni; dalam menjalani pada
kehidupan hendaknya yakin kepada pendirian diri dan hati nurani yang
disertai oleh keimanan, namun tidak disertai rasa sombong karena
kesombongan menuju kebinasaan. Harus pandai menghargai orang lain, dan
orang lain dijadikan teman dalam tolong-menolong, bukan untuk berselisih
karena perselisihan menimbulkan kehilangan akal sehat.
.

11
Budaya Sunda Ramlan

Salaka Domas

Kadiya banteng bayangan


sinatria pilih tanding
toh pati jiwa jeung raga
seja angkat mapag jurit
sanajan, di luhur langit
hamo burung rek disusul
sumujud ka ingkang rama
Prabu agung Siliwangi
didamel jimat nagara
Sinatria pajajaran
putra siwi Siliwangi
estu panteg mamanhan
seja moal waka mulih
najan nemahan pati
mun guriang tacan tumpur
ngesto ka ibu ka rama
sumambat ka Maha Suci
teguh pengkuh henteu unggut kalinduan.
(Sobirin, 1987: 94)

Seperti banteng mengamuk


satria terpilih yang susah tandingannya
merelakan ajal, jiwa, dan raga
berangkat ke medan perang
walau di atas langit
tak kan urung, akan ditempuh,
karena tunduk perintah ayahanda
Prabu Agung Siliwangi
(Salaka Domas) untuk dijadikan azimat
negara
Satria Pajajaran
keturunan Siliwangi
sungguh teguh tekad
berniat tak akan kembali
walau sampai ajal
apabila guriang belum hancur
(karena) patuh kepada ayah bunda
memohon kepada Yang Maha Suci
teguh keyakinan tak terpengahru
goncangan (lindu=gempa)

12
Budaya Sunda Ramlan

Salaka Domas Surupan Pelog dengan Pupuh Sinom, lagu dan rumpaka
kreasi R. Bakang Abubakar. Pendukungan teks dalam memenuhi karakter
pupuh ditunjukkan oleh rasa senang hati yang tersirat dari sikap optimis
tokoh, walau berat menjalankan amanat ayah bundanya. Bait ini sebuah
transformasi dari ceritera pantun Mundinglaya di Kusumah putra Prabu
Siliwangi yang harus mencari azimat Salaka Domas berupa layang-layang
yang harus direbut dengan perjuangan gigih melalui perlawanan terhadap
guriang tujuh yang sangat sakti. Teks Salaka Domas dipandang dari sudut arti
sebagai satu rangkaian informasi, yakni perjuangan
meraih Salaka Domas.
Tokoh dalam lirik tunduk dan hormat pada ibu dan ayah, dengan selalu
menyebut-nyebut Yang Maha Suci (sumambat ka Maha Suci), tidak tergoda
oleh apa pun. Sumambat ka Maha Suci mengingatkan kepada Dzikir Sir atau
yang lazim diungkapkan dengan Manunggaling kaula – Gusti, selalu
menghadirkan Allah dalam Badan Rohani. Sinkretisasi antara kepercayaan
Islam dengan pra-Islam di dalam kisah-kisah ke-susastraan lama merupakan
hal yang lazim baik dalam karya sastra Sunda maupun dalam karya sastra
Nusantara (Lihat Wawacan Batara Rama dan Hikayat Seri Rama).
Hipogram tunduk dan berbakti kepada ibu dan ayah antara lain, sebagai
berikut: Indung tunggul rahayu, bapa tangkal darajat, nya munjung kudu ka
Indung, nya muja kudu ka bapa’. Ibu pokok keselamatan, ayah pohon
kemuliaan, harus tunduk kepada ibu, hormat kepada ayah. Dalem Pancaniti
memberikan keteladanan menyatakan bakti kepada orang tua, dengan
perilaku yaitu apabila berderma beliau berkata: Tah kaula mere nyatu ka
maneh , ganjaranana disanggakeun ka indung bapa kaula. ’Aku memberimu
makanan, pahalanya diberikan kepada Ibu dan Ayahanda.’
Hipogram dalam pupuh Maskumambang sebagai berikut: Eh barudak
kudu mikir ti leuleutik, maneh kahutangan, ka kolot ti barang lahir, nepi ka
ayeuna pisan. ’Wahai anakanak kau semua harus menyadari sejak kecil, kau
berutang budi, kepada orang tua sejak lahir, sampai sekarang.’
”Pemerolehan Layang Salaka Domas yang bisa mengancam nyawa
Mundinglaya DiKusumah karena harus menempuh perjalanan berbahaya ke
sajabaning langit yang dijaga oleh 7 guriang sakti ini, sebenarnya untuk
kepentingan negara yakni sebagai penawar bencana yang melanda Negeri
Pajajaran (Su’eb, 1997: 18-19). Jadi pada ini menyaran secara tersirat pada
bela negara.
Hipogram dari bela negara banyak diungkapkan dalam Tembang
Cianjuran, antara lain lagu Talutur Surupan Salendro (Sobirin, 1987: 91)
Najan beurat bubuhan geus wajib, najan bangga da nyata tugasna, teu
meunang mungpang ngoleseh, kudu tanggoh jeung teguh, ludeung tandang
pinuh kawani, dina neu-leumanana, maksud nu samiuk, nuju kajembaran
bangsa, dina harti gemah ripah lohjinawi, jembar wibawa harja. ’Walau terasa
berat namun wajib, walau sulit bagaimanapun tugas, tak boleh menolak,
harus kuat dan teguh , tak-takut, gagah penuh dengan keberanian, dalam

13
Budaya Sunda Ramlan

melaksanakan - maksud bersatu, menuju kebesaran bangsa, menuju


kehidupan subur makmur, (negara) termashur berwibawa dan sejahtera.’
Perjuangan bela negara dalam teks lagu Kinayungan Surupan Salendro
(?) pupuh Dang-danggula (Sobirin, 1987: 106) sebagai berikut:
Kewes pantes satria pinilih, lugay yuda tegang lali jiwa, ampuhna lir pamor,
macan tinemu musuh, daweung ludeung teu gimir ku pati, ngabela pusaka
nagara, anu dipigandrung,lemah cai tanah endah, mo kaduhung lamunna
kasoran jurit, dapon keur balarea. ’Satria terpilih yang tampan, berangkat ke
medan perang dengan mengorbankan jiwa, kesaktiannya seperti pamor (garis
pada keris yang terbuat dari meteor), seperti macan dihadapkan pada musuh,
tegak, berani, tak gentar kehilangan nyawa, untuk memperoleh pusaka
negara. Yang menjadi angan-angan, tanah air yang indah (tentram-damai ?).
Tak akan menyesal walau kalah dalam peperangan, untuk masyarakat.
Penerapan teks hipogram pada teks lagu Salaka Domas dengan ekserp
’excerpt’ (pengintisarian) (Lihat Sardjono, 1986). Fungsi semiotik teks
hipogram untuk penyajian makna maksud. Matriks teks: Menjalankan
perbuatan mulia. Lagu Sasaka Domas ini me-nasihatkan berbakti kepada
orang tua, mengingat Tuhan selalu, dan bela negara untuk kesejahteraan
bangsa dengan penuh ketangguhan.

Ceurik abdi

Sok sering abdi ngalamun


mikiran usiking diri
ngumbara di pawenangan
nya ngancik di alam lahir.
anu pinuh kaanehan
tegesing sarwa ajaib 2x
Sok sering ngahurun balung
mun abdi nyawang kapusing
teu elat reumbay cimata
mun pareng teu genah ati
duka ngantosan suka
ceurik ngagantian seuri 2x
Sok sering abdi nunuhun
ka Gusti Nu Maha Suci
mun pareng aya kahayang
mikarep nu lain-lain
margi mung manten-Na pisan
nu Kagungan Welas Asih.
(Sobirin, 1987: 110)

14
Budaya Sunda Ramlan

Aku sering melamun


memikirkan pergerakan batin
(bahwa) mengembara di alam wenang
berdiam di alam lahir
yang penuh dengan keanehan
jelasnya banyak keajaiban
Aku sering susah
apabila merasa banyak kesusahan
terus bercucuran air mata
apabila mengalami ketidaksenangan
berduka menanti bahagia
menangis pengganti senyuman
Aku sering memohon
kepada Tuhan Yang Maha Suci
apabila memiliki cita-cita
macam-macam
karena Dia-lah
Pemilik Kasih Sayang
Ceurik abdi ‘Tangisanku’ Surupan Pelog pupuh Kinanti, lagu dan
rumpaka oleh R. Bakang Abubakar. Teks Ceurik Abdi dipandang dari sudut
arti sebagai satu rangkaian informasi, tentang menjalani kehidupan. Rumpaka
ini mengungkapkan aku lirik yang sangat aneh menghayati pergerakan batin
’usiking diri’. Dalam kehidupan ia merasakan dua suasana batin yang saling
menggantikan yakni susah dan bahagia, dengan ungkapan duka ngantosan
suka, ceurik ngaganti seuri. Ungkapan ini berpusat pada penantian sesuai
karakter pupuh, yakni dalam kesusahan menanti kebahagiaan dalam
kebahagiaan sebagai penantian kedukaan.
Hipogram konsep dikotomi, adalah teks guguritan Asmarandana Lahir
Batin karya RA Bratawijaya sebagai berikut:
Sugih papacangan miskin, beunghar papacangan lebar, hade papacangan
goreng, bagja pacangan cilaka, suka pacangan duka, ngariung bakal pahatu,
kasukan bakal midangdam. Isuk deui sore deui, ti peuting datang ka beurang,
wawangsalan gopes jawer, tansah di canggehgar karang, kokotak wayah
pajar, manuk huut anu jalu, ngirab jangjang di buruan. Nu tapis ngawih janari.
Tegesna bangsa kaula, salawasna ngadadago, ngadago lapar jeung dahar,
sare sartana hudang, ngadago bungah jeung mesum, samantara nunggu ajal.
Sawisik pasti kapanggih, nguntun tipung nambang beas, ngan kudu laksana
bae.
’Sugih berpasangan dengan miskin, kaya berpasangan dengan kekurangan,
baik berpasangan dengan buruk, keberuntungan pasangan musibah, suka
pasangan susah, kebersamaan (dengan ayah ibu) akan yatim piatu, senyum-
simpul akan tersedu sedan. Pagi lagi sore lagi, malam menuju siang,
wawangsalan ”jambul lebar,” selalu menjadi canggehgar (ayam hutan)
halaman rumah, burung jantan pemakan dedak, mengipas-kipas sayap di

15
Budaya Sunda Ramlan

halaman, yang pandai mengawih pada pagi buta (Isi terkaan/teka-teki


”ayam”). Artinya manusia sebagai makhluk, selalu menanti, menunggu lapar
dan makan, tidur serta berjaga, menunggu gembira dan bersedih, sementara
(ketika hidup) menunggu ajal. Semua (manusia) sama mengalami,
menguntun tepung membuat tambang dari beras (teka-teki wawangsalan),
pasti mengalami (isinya laksa)
Hipogram konsep dikotomi ditemukan pada cerita lisan Si Kabayan
(tokoh humoris) dia menangis ketika suasana gembrira karena tahu akan
menjelang musibah dan tersenyum apabila mengalami kesedihan karena
menjelang kebahagiaan.Hipogram konsep dikotomi yang ini acapkali
diungkapkan para sufi, hendaknya menjalani kehidupan secara rata, dalam
arti mengalami kebahagiaan jangan berlebih-lebihan begitu pun mengalami
penderitaan jangan
terlalu merasa sedih, karena susah dan bahagia dibagi rata kepada umat
manusia sebagai cobaan dari Allah yang diturunkan secara silih berganti.
Penerapan teks hipogram pada teks lagu Ceurik Abdi dengan ekserp
’exerpt’ (pengintisarian). Fungsi semiotik teks hipogram untuk penyajian
makna maksud. Matriks teks: Menjalani hidup yang benar yakni menerima
kebahagiaan dan penderitaan secara ikhlas. Rumpaka ini menyampaikan
nasihat bahwa, apabila memperoleh kesulitan jangan terlalu bersedih serta
mohon kepada Tuhan Pemilik Kasih Sayang yang menurunkan penderitaan
dan kebahagiaan.
Sinom Bungur

Tangkal bungur ngarangrangan


daunna perang gararing
kembangna nungtut ragragan
marurag katebak angin
tangkal bungur horeng silib
silokana nu rek ngantun
nya mulang ka Kalanggengan
papasten GustiYangWidi
poe eta horeng poe panungtungan.
(Sobirin, 1987: 34)

Pohon bungur berguguran


daunnya kering kerontang
bunganya satu-satu berguguran
berjatuhan dihembus angin
pohon bungur, simbol
seloka yang akan meninggal
pulang ke Keabadian
kepastian dari Tuhan Yang Maha Esa
hari itu hari terakhir

16
Budaya Sunda Ramlan

Sinom Bungur Surupan Sorog, lagu dan rumpaka oleh Maman. Teks lagu
Sinom Bungur dipandang dari sudut arti sebagai satu rangkaian informasi,
tentang perjalanan hidup. Rumpaka ini mengusung lima baris awal
mengungkapkan pohon bungur baik daun maupun bunganya yang
berguguran, sebagai pembuka pada ungkapan yang sesungguhnya tentang
ajal manusia, semua manusia akan mengalami hari terakhir, pulang ke Alam
Keabadian.
Hipogram tentang ajal antara lain pada teks lagu Tatalegongan (lihat
pembahasan sebelumnya, pada lagu Luminjing ‘Berkelana’ Surupan Sorog
(Sobirin, 1987: 52):
Luminjing di alam lahir, teu kongang sawenang-wenang, horeng ari
ngalalakon sagala teu sakahayang, sok aya bae halangan, teu weleh diukur
waktu, tebih ti karep sorangan.
‘Berkelana di alam dunia, tak bisa sewenang-wenang, ternyata menjalani
lelakon, semua tak menurut keinginan, ada pembatas, diukur waktu, sangat
jauh dari dugaan manusia’.
Menurut Haji Hasan Mustapa, dunia ini lembur saheulaanan, samemeh
balik ka jati ‘kampung sementara sebelum pulang ke Kehakikian’(dalam
Rosidi, 1989: 198) Penerapan teks hipogram pada teks lagu Sinom Bungur
dengan modifikasi ’modification’ (pengubahan) (Lihat Riffaterre, 1978).
Fungsi semiotik teks hipogram untuk penyajian makna maksud. Matriks teks:
Hidup akan diakhiri ajal. Rumpaka ini mengingatkan bahwa kehidupan dunia
fana, pada suatu hari terakhir akan didatangi oleh ajal.

Sinom

Hawar-hawar ti anggangna
sada anu ngahariring
ngagalindeng atra pisan
nongtoreng lir nu mepeling
sorana tatag rintih
halimpu lir nu misaur
basana sing waspada
hirup kudu ati-ati
cing toweksa sarengkak saparipolah.
(Sobirin, 1987: 129)

Samar-samar terdengar di kejauhan


bunyi orang bersenandung
merdu sangat jelas
suara orang yang menyampaikan nasihat
suaranya jelas
merdu seperti berkara-kata

17
Budaya Sunda Ramlan

katanya, hendaknya waspada


hati-hati menjalani hidup
periksa segala perbuatan diri.

Pupuh Sinom ini, pada teks tidak disebutkan lagunya, dikelompokkan


pada Surupan Sorog/ Salendro. Walaupun tidak disebutkan lagunya, bentuk
pupuh inherent menyandang tembang (lagu), dengan demikian teks ini
sebagai teks sandingan yang bisa dilagukan oleh sejumlah lagu Tembang
Cianjuran dengan dasar, pupuh Sinom. Teks ini dipandang dari sudut arti
sebagai satu rangkaian informasi, tentang perjalanan hidup.
Di dalam teks ini diungkapkan seolah-olah ada suara dari kejauhan yang
mengingatkan bahwa hidup harus berhati-hati menjaga seluruh perbuatan.
Hipogram dari bagian ini mengacu kepada suara hati dalam teks Teosofi
Tasawuf Wawacan Jaka Ula Jaka Uli bahwa Badan Rohani manusia disirati Sifat
Dua Puluh dari Allah, di antaranya sifat Samma ’mendengar’ dan Bashar
’melihat.’ Kehadiran sifat Samma inilah kiranya yang dimaksud oleh teks yang
mampu mendengar tentang kebenaran.
Hipogram - berhati-hati dalam menjalani hidup antara lain dalam teks
yang digubah oleh Haji Hasan Mustapa sebagai berikut:
Doraka jalma balaka, wungkul teu buda teu budi, teu rusia teu rusia, teu tata
titi paniti,teu surti ati-ati, mun parung-parung dirarud, mun catang-catang
dirumpak, eusina sato istuning, nu tilelep ti harga kamanusaan. ’Berdosa,
orang tanpa kendali, hidup tak beragama dan tak berbudi, di dalam batinnya
pun tak menghadirkan Tuhan (rusia dimaknai Dzikir Sir), (perbuatannya)
tanpa aturan, sungai berbahaya dilewati, dirinya sungguh-sungguh binatang,
jatuh dari nilai kemanusiaan.’
Hipogram lainnya teks lagu Ligar ’Mekar’ Surupan Pelog (Sobirin, 1987:
68):
Pasrahkeun ka Maha Agung, Nu pasti Asih jeung Adil, nu wenang nyiksa
ngaganjar, Anjeun teu pilih kasih, nu dosa tangtu disiksa, nu bersih tangtu
diasih. ’Serahkan kepada Yang Maha Agung, Pasti Dia Pengasih dan Adil,
mampu menyiksa dan memberi pahla, Dia tidak pilih kasih, orang berdosa
tentu disiksa, orang bersih tentu dikasihi.’
Penerapan teks hipogram pada teks lagu Sinom dengan modifikasi, dari teks
lagu Ligar dengan konversi ’conversion’ pemutarbalikan (Lihat Sardjono,
1986). Fungsi semiotik teks hipogram untuk penyajian makna maksud.
Matriks teks: Berhati-hati menjaga perbuatan karena ada pembalasan.
Rumpaka ini mengingatkan untuk berhati-hati dalam berbuat, membuka hijab
(alangan) hati supaya dapat menangkap suara hati nurani .

18
Budaya Sunda Ramlan

Asmarandana Erang

Eling-Eling mangka eling


ruminkang di bumi alam
darma wawayangan bae
raga taya pangawasa
lamun kasasar nya lampah
napsu nu matak kaduhung
badan anu katempuhan.
(Sobirin, 1987: 60)
Berimanlah
berkelana di bumi
sekadar menjalani lelakon
raga tak memiliki kekuatan
apabila perbuatan tersesat
(menuruti nafsu) akibatnya penyesalan
badanlah yang menderita

Rumpaka Asmarandana Erang, Surupan Sorog berasal dari


Asmarandana Lahir Batin karya RA Bratadiwijaya yang ditulis pada tahun
1892, semuanya berjumlah 35 pada. Rumpaka Asmarandana Erang ini
merupakan pada pertama, yang sangat dikenal baik oleh anak-anak maupun
orang dewasa, ditembangkan dalam sejumlah lagu, di antaranya Lagu Wani-
Wani ’Berani-berani’ Surupan Pelog (Sobirin, 1987: 65) dan Harempoy
’Berjalan Merendah’ Laras Salendro (?) (Sobirin, 1987: 133). Teks ini
dipandang dari sudut arti sebagai satu rangkaian informasi, tentang menjalani
kehidupan.
Eling memiliki arti iman, atau ingat. Makna eling dalam teks ini, eling
menurut Tasawuf yakni Manunggaling kaula-Gusti, menghadirkan Allah di
dalam Badan Rohani (bermakrifat). Allah ber-tajalli kepada manusia yang
dikehendaki-Nya yaitu manusia yang mampu menghilangkan hijab (alangan)
pada dirinya, manusia yang selalu berada pada jalan yang diridoi-Nya. Badan
Rohani ini disebut juga Nurullah/Rasa Rasulullah, ialah Nur yang diciptakan
Allah pada awal penciptaan manusia (Wawacan Jaka Ula Jaka Uli). Badan
Rohani/Nurullah/Rasa Rasulullah ini merupakan inti kedirian manusia,
kemudian manusia setelah mengembara di dunia fana, harus bisa kembali ke
Kesucian Awal (Lihat uraian selanjutnya). Para Sufi menyebut Kesucian Awal
ini sebagai “Lembur” ‘Kampung Halaman Sejati’ (Tentang pengembaraan
manusia di dunia fana, lihat hipogram lainnya pada pupuh Sinom Surupan
Sorog - Salendro (Sobirin, 1987: 127)
Wawayangan dari kata wayang, yaitu kesenian pergelaran wayang,
kesenian asli Nusantara. ”Beberapa ahli sepakat, wayang telah ada kurang
lebih seribu tahun SM” (Mulyono, 1978: 54). Hipogram wayang, terdapat
dalam “naskah Sunda Kuno Sewaka

19
Budaya Sunda Ramlan

Darma dari Kabuyutan Ciburuy yang diperkirakan ditulis ketika Agama


Hindu/Budha masih dianut masyarakat” (Sardjono., dkk, 1987: 4). Di dalam
teks naskah tersebut sudah ada kata giringsing wayang (sejenis kain), serta
kata wayang yang digunakan sebagai simbol dari kehidupan manusia, yang
dituturkan sebagai berikut:
Awaking ayeuna ini ai(ng) upama wayang, ra(m)pes beunang ngeureuti,
dijieunan suku tangan, ditata pano(n) pangreungeu, geus ma urang
dikudangkeun. Sakageui(ng) nu nyarita, mana leumpang dileumpangkeun, na
leungeun dipa(ng)nyokotkeun, na ceuli dipa(ng)reungeukeun, na mata
dipa(ng) nyeueungkeun, na irung dipa(ng)a(m)beukeun, mana nyarek
dicarek(k)eun.
‘Kami seumpama wayang, siap untuk dipotong-potong, kaki tangan dibuat,
penglihatan dan pen-dengaran diatur, sesudahnya kami dikotakkan,
dibangunkan oleh yang berceritera, bila berjalan dijalankan, lengan
diambilkan, telinga di bantu untuk mendengarkan, mata dilihatkan, hidung
diciumkan, bicara dibantu berbicara. (Ibid: 77 dan 62)
Hipogram lainnya pada pupuh Sinom Surupan Sorog - Salendro
(Sobirin, 1987: 127): Gelar kadya wawayangan, ngumbara di alam lahir, hurip
waras ku kersa-Na, usik malik kersa Gusti, marga anu utami, satia sarta
sumujud, ngesto ka ibu rama, sumembah ka Maha Suci, teguh pengkuh
ngajalankeun papagonna. ‘Gelar di dunia seperti bayangan, mengembara di
alam lahir, hurip sehat lahir batin oleh Kehendak-Nya, bergerak, membalik
Kehendak Tuhan, pijakan hidup yang utama, taat dan bersujud, taat kepada
ibu dan bapak, menyembah kepada Yang Maha Suci, teguh kuat pendirian
dalam menjalankan perbuatan yang diridoi-Nya.
Kata wawayangan, erat hubungannya dengan ngumbara ’mengembara’.
Hipogram “mengembara” antara lain teks lagu Talutur ‘Nasihat/Pijakan’ pupuh
Dangdanggula Surupan Salendro:
Lemah cai ngageuing ka eling, banjar karang ngahudang panyawang,
ngebrehkeun kereteg hate, Ngusikkeun daya kalbu, nungtun eling ka
Purwadaksi, sarengkak paripolah, ngageuing nu linglung, anu lewang
sumoreang, geus pinasti elingna engke di akhir, waktuna balitungan.
‘Tanah air mengingatkan untuk eling, kampung halaman
membangkitkan pandangan, (pandangan) memperlihatkan kepada gerak
hati, menggerakkan daya batin, membimbing untuk eling kepada Asal. Gerak
Hati, mengingatkan kepada yang linglung, yang diliputi kekhawatiran, sudah
pasti (ia) ingat di penghujung (umur ?/di Alam Nanti), dan ketika
penghitungan (baik buruk).’ Kata kunci eling terdapat tiga kali dengan makna
berbeda, eling pertama dan kedua mengacu pada eling bermakrifat. Eling
ketiga berarti ingat. Kata kunci lainnya lemah cai, banjar karang, dan
Purwadaksi, merupakan satu mata rantai dari rangkaian makna yang
mengacu pada Kampung Halaman Sejati dan Asal (Ina Lillahi Waina Ilaihi
Rojiun dari Allah dan harus kembali kepada Allah, lihat pembahasan
sebelumnya dan selanjutnya).

20
Budaya Sunda Ramlan

Apabila hidup hanya diliputi kekhawatiran (urusan dunia), sehingga lupa


kepada Asal, penyesalan di penghujung umur ketika akan menghadapi peng-
hitungan baik buruk. Hipogram pada naskah-naskah Tasawuf bahwa, manusia
diciptakan dalam ada hawadis/ada indrawi/ dan Ada Kekal yakni Badan Rohani
atau Nurullah. Karena manusia Laa Hawla Wala Kuwwata Ila Bilahi Aliyul
Adzim, tak memiliki daya apa pun maka hidupnya harus melalui jalan yang
diridoi Allah. Tujuan hidup manusia Ina Lillahi Waina Ilaihi Rojiun, Berasal dari
Allah (Yang Maha Suci) dan harus bisa kembali kepada Allah .
Apabila perbuatan tersesat, (menuruti nafsu) akibatnya penyesalan,
badanlah yang menderita. Dari teks sebelumnya, kemudian pada pernyataan
larik ini, terdapat titik-titik atau kerompangan. Pengisian kerompangan makna
ini terpenuhi dengan hipogram dari pemikiran Tasawuf tersebut bahwa,
manusia oleh Allah dianugrahi Badan Rohani yang diemanasi sifat dua puluh
Allah di antaranya mampu mendengar, melihat, berpikir, dan
mempertimbangkan buruk baik. Dengan demikian apabila tersesat badan
yang menderita. Badan pada kata ini kembali pada pengertian di atas yakni
manusia memiliki raga hawadis dan Badan Rohani.
Teks mengacu pada keduanya, apabila menjalani kesesatan maka
badan akan mengalami penderitaan di dunia dan akhirat. Tentang siksaan
dunia, di Desa Cimaja, Cikakak Sukabumi terungkap bahwa sorga dan neraka
dialami di dunia dengan istilah naraka dan sawarga majaji. ”Akibat dari
perbuatan sesat” dalam hipogram Sewaka Darma, diungkapkan:
I yu nekahkeun raga, mamolahkeun sarira, nga-lengkahkeun suku tangan,
suku milang awak urang, lamunna salah leumpangna, eta matak urang papa,
leungeun lamun salah cokot, eta matak urang papa, ceuli lamun salah denge,
eta matak urang papa, mata lamun salah jeueung, eta matak urang papa.
Sungut lamun salah hakan inum, manguni salahna sabda, lamun sabda tan
tahu, lamun hamo rahayu, lamun mo tiis babon, eta nu disalahkeun, nu
mangka papa kalesa, sanyarah na angen-angen, samilang pangeusi raga, dadi
piawak sarira, eta na mulut ngarurud, eta nu ngindit ngarampid, na maanan
ka ra kawah. ‘Itu mengolahkan raga, menggerakkan badan, me-langkahkan
kaki tangan, kaki menghitung badan kita, apabila salah langkah, itu
menyebabkan kita sengsara, apabila tangan salah ambil, itu menyebabkan
kita dosa, telinga bila salah mendengar, itu menyebabkan kita
sengsara,apabila mata salah lihat, itu me-nyebabkan kita celaka, hidung bila
salah cium, itu menyebabkan kita sengsara. Mulut bila salah makan minum,
berkata salah ucap, bila perkataan tidak jujur, maka tidak akan selamat, bila
sampai kurang pendapatan, itu yang disalahkan, itu yang menjadi sumber
dosa, hanyut oleh angan-angan, menghitung mengejar nafsu, hanya
memikirkan diri sendiri, itulah mulut yang mengurangi (pahala ?), yang
menyebabkan pergi, yang membawa ke kawah (neraka). (Sardjono., dkk,
1987: 21 dan 59).
Pada upacara tradisional kelahiran bayi sekitar tahun 50-60-an di
Kecamatan Talaga – Kabupaten Majalengka memelihara penciuman,

21
Budaya Sunda Ramlan

pendengaran, penglihatan, pengucap, disampaikan kepada bayi setelah


dimandikan dengan istilah ditirag. Untuk memelihara tangan dan kaki
dilakukan setelah seminggu pada upacara diradinan yakni mengikat
pergelangan kaki tangan dengan benang. Teks lagu Ceurik Rahwana ‘Tangisan
Rahwana’ Surupan Sorog (Sobirin, 1987: 103) merupakan transformasi dari
teks lagu Asmarandana Erang, sebagai berikut:
Kaduhung Akang kaduhung, kataji nu lain-lain, kaiwat goda rancana,
kagembang ku Sintawati, geuning kieu balukarna, malindes malik ka diri.
‘Menyesal kakanda menyesal, tertarik kepada perempuan lain, tergoda oleh
nafsu, tergoda oleh Sintawati, begini akibatnya, membalik ke badan sendiri.
Teks hipogram lain, teks lagu Kapilara Surupan Salendro (?) pupuh
Sinom (Sobirin, 1987: 114) sebagai berikut:
Ibun subuh nu maruntang, dina dangdaunan kai, bray beurang nyakclak
ragragan, kawas tangis nu prihatin, kaendag ku angin leutik, nyakclakna
munggah murubut, nyuat manah nu sungkawa, nu nuju nyaliksik diri, keur
nyasaran temahna laku lampah. ‘Embun subuh bergelantungan, pada
dedaunan kayu, begitu siang datang menetes jatuh, seperti tangisan orang
yang sedang prihatin, tertiup oleh sepoy-sepoy angin, tetesan embun semakin
cepat, semakin menambah kesedihan orang yang menyadari kesalahan
dirinya, menelusuri akibat dari perbuatan’
Penerapan teks hipogram pada teks lagu Asmarandana Erang dengan
’excerpt’ (pengintisarian) modifikasi ’modification’ (pengubahan), dan
konversi ‘conversion’ ‘pemutarbalikan (Lihat Sardjono, 1986). Fungsi semiotik
teks hipogram untuk penyajian makna maksud. Matriks teks: Manusia
dianugrahi kemampuan berpikir, jangan sampai tersesat.
Teks lagu Asmarandana Erang menasihatkan untuk menyadari bahwa
manusia tak mempunyai daya apa pun Laa Hawla Wala Kuwwata Ila Billahi
Aliyul Adzim. Harus disadari bahwa segala kemampuan diri baik lahir maupun
batin hanyalah sebagai titipan, harus digunakan pada jalan Kehendak Pemilik-
Nya. Oleh karena manusia dianugrahi kemampuan berfikir mampu
mempertimbangkan buruk baik, manusia jangan sampai melalui jalan sesat
yang berakibat penderitaan lahir dan batin, dunia dan akhirat.

Pangrawit
Ciherang cikahuripan
ngeclak deui ngeclak deui
lamun ninggang kana badan
tangtu karasana tiis
cep ngecep sanubari
nyulusup-nyusup jajantung
kitu ge mun milikna
tapi lamun lain waris
ting gorolong cara dina daun bolang
(Sobirin, 1987: 63)

22
Budaya Sunda Ramlan

Air jernih Cikahuripan


menetes lagi menetes lagi
apabila mengenai badan
tentu terasa dingin
dingin sampai ke hati
menyusup ke jantung
begitu apabila miliknya
namun apabila bukan miliknya
tak meresap seperti menimpa daun bolang

Teks lagu Pangrawit, pupuh Sinom, Surupan Sorog (?). Teks ini
dipandang dari sudut arti sebagai satu rangkaian informasi, tentang air yang
jatuh di badan. Air adalah air, namunlebih jauh ada keterangan air jernih
Cikahuripan. Cikahuripan berasal dari dua kata yakni cai ‘air’ dan hurip ‘hidup’.
Hurip memiliki makna yang lebih dalam dari ‘hidup’ yang bisa ditelusuri pada
hipogram berikut:
Guguritan Titis Tulis pupuh Asmarandana karya MAS (dalam Rusyana, 1980:
203): Jalma hirup hayang hurip, malar mulya jeung waluya, waras badan
jempe hate ’Orang hidup ingin bahagia lahir batin, supaya mulia di dunia dan
selamat di akhirat, raga sehat hati tenang’
Hipogram lain pada teks lagu Jembar Manah pupuh Sinom Surupan
Salendro (?) (Sobirin, 1987: 113) sebagai berikut:
Sok rajeun kememelangan, mikiran diri pribadi, ti mana jeung rek kamana,
cenah hirup kudu hurip, waluya lahir batin, mana nu bener nu palsu... ’
Sekali-kali merasa hawatir, memikirkan diri pribadi, dari mana dan akan ke
mana, katanya hidup harus hurip, selamat lahir dan batin, mana yang benar
mana yang salah. Dalam pemahaman Tasawuf, hurip ’selamat lahir dan batin’
dengan ngahirupkeun hate ‘menghidupkan hati’/berdzikir di dalam hati/selalu
menghadirkan Allah.’ pada Badan Rohani. Pada teks lagu Pangrawit, terdapat
kerompangan. Pemahaman Tasawuf ini merupakan hipogram untuk
menjembatani pemaknaan: ”Apabila (Cikahuripan) mengenai badan, tentu
terasa dingin, dingin sampai ke hati, menyusup ke jantung.”
Hipogram pada teks lagu Ciawiyan, pupuh Asmarandana Surupan
Salendro (? )(Sobirin, 1987: 113) sebagai berikut:
Tengtrem nyungsi nu kiwari, pibekalan ngudag jaga, tur teu poho ka bareto,
keur urang diwawadian, kudu jembar panalar, mun mikarep maksud luhung,
babaran kamanusaan.
‘Tentram menjalani masa kini, untuk bekal di alam nanti, tak lupa pula kepada
asal-usul, ketika kita dianugrahi Wadi (dianugrahi Nurullah di antaranya
Sajatining Elmu ‘Inti Ilmu’), harus luas pemikiran, apabila mencapai maksud
mulia, mengenai kamanusaan (orang yang mampu menerima Nurullah)
Kemudian pernyataan, “namun apabila bukan miliknya, tak meresap seperti
menimpa daun bolang.” Di dalam Teosofi Tasawuf dikatakan, apabila pada diri

23
Budaya Sunda Ramlan

manusia terlalu banyak hijab (alangan karena terlalu banyak menyimpang


dari jalan Allah) maka tidak tidak bias menyerap dan menyinarkan Nurullah
tersebut (menyinarkan dalam arti bermakrifat kepada Allah). Di dalam
hipogram Wawacan Buwana Wisesa, hijab dieksplisitkan, yaitu apabila lisan
tidak menyatu dengan hati.
Penerapan teks hipogram pada teks lagu Pangrawit dengan modifikasi
’modification’ (pengubahan) (Lihat Sardjono, 1986). Fungsi semiotik teks
hipogram untuk penyajian makna maksud. Matriks teks: Menerima dan tidak
menerima Nurullah. Teks lagu Pangrawit menasihatkan untuk menghilangkan
alangan (hijab) supaya mampu menerima Nurullah.

Tahajud

Tengah peuting sedeng jemplang-jempling


awang-awang keur ilang dangiang
tiis lirih rehe combrek
makhluk nuju menekung
nyambat-nyambat Ilahi Robbi
Gusti Nu Murbeng Alam
sim abdi sumujud
tur pinuh karumaosan
dosa abdi teu wasa ngawincik deui
tina ageung-ageungna
Gusti abdi seja tobat.
Mugi kitu maksad abdi Gusti
da Gusti mah sifat Maha Welas
mugi dihapunten bae
sareng abdi piunjuk
bade tumut pangersa Gusti
sumembah salamina
siang wengi sujud
mugi taufik hidayah, dilimpahkeun
ka abdi Gusti nu laip
hoyong husnul hotimah, Gusti ......
mugi ngaiijabah.
(Sobirin, 1987: 82)

Tengah malam sunyi senyap


angkasa kehilangan wibawa
dingin tenang sepi
(Seorang) makhluk sedang bersujud
memanggil-manggil Ilahi Robbi
Tuhan Penguasa Alam
hamba tunduk

24
Budaya Sunda Ramlan

dengan penuh kesadaran


dosa hamba tak bisa dirinci lagi
karena besarnya
Ya Tuhan, hamba tobat
Oleh karena itu hamba memohon
karena Engkau Maha Pengasih
semoga hamba diampuni
dan hamba menyatakan
akan tunduk pada Kehendak-Mu
menyembah selamanya
bersujud siang dan malam
hamba memohon taufik hidayah-Mu
dilimpahkan
kepada hamba yang hina
ingin husnul hotimah
semoga Engkau memenuhi permintan
hamba

Lagu dan rumpaka oleh R. Bakang Abubakar. Karya seni ini secara utuh
yang terdiri dari verbal dan nonverbal tergolong karya seni monumental
(Samson, 2006: 6). Pada kedua pada ini ada dua fokus narasi, pada pertama
padalisan 6 fokus narasi berada di luar teks yang menceriterakan alam dalam
keadaan sunyi senyap, langit sunyi, dingin, ada seorang makhluk yang
memanggil-manggil Ilahi Robbi - Tuhan Penguasa Alam. Selanjutnya fokus
narasi aku lirik yang memohon kepada Penguasa Alam. Adapun doa tersebut;
memohon ampunan dari dosa-dosa besar, akan tunduk kepada kehendak-
Nya, mendapat taufik hidayah, dan memohon husnul hotimah. Teks ini
dipandang dari sudut arti sebagai satu rangkaian informasi, tentang
permohonan kepada Tuhan.
Hipogram menyeru pada Penguasa Alam dari teks lagu Tahajud ini di
antaranya teks laguSumambat ’Menyeru’ dan Dangdanggula Madenda sebagai
berikut:
Horeng kitu sugri nu kumelip, nu lumampah di saampar jagat, butuh ku Gusti
Yang Manon, pada nyuhunkeun tulung, siang wengi mugi dijaring, diraksa
salamina, teu petot menekung, pada ear maridangdam, sumambatna mugia
hasil ngajadi, maksad teh tinekanan. ’Ternyata semua makhluk hidup, yang
berkeliaran di seluruh jagat, butuh oleh Gusti Yang Manon (Tuhan Yang Maha
Melihat), (mereka) sama-sama memohon, siang malam dilindungi, dijaga
selamanya, tak putus-putusnya tunduk, semuanya menyeru, seruannya
semoga, maksud terlaksana.
Hipogram teks Lumengis Surupan Sorog pupuh Asmarandana (Sobirin,
1987: 83):
Tina katunaan diri, najan hirup tanpa guna, cing atuh Gusti Yang Manon, mugi
abdi tangtayungan, saneskara nu tumiba, abdi neda sih pitulung, pitulung anu

25
Budaya Sunda Ramlan

utama ’Walau hidup tanpa ilmu, Wahai Gusti Yang Manon (Tuhan Yang Maha
Melihat), hamba memohon
pengasih dan pertolongan, terhadap segala-sesuatu yang menimpa hamba,
pertolongan yang utama.”
Hipogram teks lagu Kinanti Tunggara Surupan Sorog (Sobirin, 1987:
38):
Duh Gusti nu Maha Agung, Nu Luhur tur Welas Asih, Abdi nyuwun kaweningan,
Pangasihna Dampal Gusti, mugi kersa nangtayungan, mikawelas ka sim abdi.
’Duh Tuhan Yang Maha Agung, Yang Maha Mulia Pengasih dan Penyayang,
hamba mohon keridoan, Pengasih-Mu, semoga, berkenan melindungi,
mengasihi hamba.’
Hipogram teks lagu Kagagas Surupan Sorog (?) pupuh Kinanti (Sobirin,
1987: 16) Abdi nandangan paudur, lantaran kepegat asih, horeng kieu
karasana, ari anu sanes tanding, antosan abdi antosan, ngantosan pitulung
Gusti. abdi mo weleh panuhun, ka Gusti Robul Ijati, Mugi Gusti nangtayungan,
ka diri nu keur prihatin, duh tobat abdi teu kiat, tebihkuen tina berewit.
’Hamba mengalami kenyerian, karena terputus kasih, begini rasanya, (dengan
orang) yang lain martabatnya, hamba menunggu, menunggu pertolongan-
Mu, hamba tak kan berhenti memohon.
Hipogram ”Akan tunduk pada Kehendak-Mu” di antaranya teks berikut:
Teks lagu Tugenah Surupan Sorog pupuh Asmarandana (Sobirin, 1987: 79):
Takdir teu beunang dipungkir, kadar teu beunang disinglar, sihoreng ari
papasten, teu beunang dihalang-halang, tugenah taya kendatna, gurat kudrat
ti Lohmahpud, papasten ti Maha Wenang. ’Takdir tak dapat dicegah, kadar tak
tak dapat dihindar, ternyata kepastian (Tuhan), tak dapat dialang-alangi,
resah senantiasa, guratan kudrat dari Lohmahfud, kepastian dari Yang Maha
Kuasa’. Hipogram lainnya pada teks berikut:
Duh Gusti kumaha abdi, jait tnia kalaraan, abdi mah sumerah bae, da teu
wasa ngalangkungan, da Gusti mah nu Kawasa, sok asa bae piraku, Gusti
ikhlas ka makhlukna. Wahai Tuhan, bagaimana hamba ini, (mohon) angkat
dari penderitaan, hamba berserah diri, tak kuasa menolak Kehendak-Mu, tak
mungkin, Tuhan membiarkan makhluknya.’
Hipogram teks lagu Pegat Jodo Surupan Salendro pupuh Kinanti
(Sobirin, 1987: 115):
Hayang nanjung kawas batur, meureun kahalangan wisit, kulak canggeum
bagja awak, kapan cenah mungguh jalmi, kasengker ku tutulisan, meureun
kitu tulis kuring. ’Keinginan beruntung seperti orang lain, mungkin teralang
oleh nasib, (tentang) ukuran keberuntungan badan, bukankah manusia
terikat oleh tulisan diri, kiranya begitulah tulisan nasibku.’
Hipogram teks lagu Cinta Waas Surupan Sorog pupuh Asmarandana
karya RE Suarakusumah (Sobirin, 1987: 50), sebagai berikut:
Najan ceurik da geus takdir, najan aral da geus kadar,(Gusti ampun), rek
cerewed dapapasten, henteu beunang dihalangan (Aduh), sanajan meuntas

26
Budaya Sunda Ramlan

lautan, anging lamun nyukcruk hirup, nyasaran lampah sorangan. ”Walau


menangis sudah takdir, walau tak
menerima sudah kadar diri, akan cerewet sudah kepastian Tuhan, tak bisa
dialangi, walau menyebrangi lautan, hanya tinggal menjalani hidup, kemudian
menjaga perbuatan diri’
Hipogram pupuh Dangdanggula (Sobirin, 1987: 122) sebagai berikut:
Moal aya satungkebing langit, sakuriling jagat pramudita, gumelar hayang
diereh, kabeh bangsa samaksud, kedal lisan bari jumerit, wakca sabalakana,
pada nyebut embung, dijajah iwal ku Allah, nu ngersakeun ngagelarkeun bumi
langit, katut sapangeusina. ’Tak ada di seluruh langit, seluruh jagat, hidup
ingin dijajah, semua bangsa satu maksud, bertutur kata sambil memohon di
hati, berterus terang, sama mengatakan tak mau dijajah kecuali oleh Allah,
yang Menghendaki Menggelar bumi langit, beserta isinya.’
Penerapan teks hipogram pada teks lagu Tahajud dengan modifikasi
’modification’ (pengubahan) (Lihat Sardjono, 1986). Fungsi semiotik teks
hipogram untuk penyajian makna maksud. Matriks teks: Memohon dan
menyatakan kerendahan. Teks lagu Tahajud me-manjatkan doa agar
diampuni segala dosa, mem-peroleh taufik hidayah, husnul hotimah.

Kesimpulan
Persentase Rumpaka Nasihat dan Doa terdapat 14,5% dari jumlah lagu;
dilihat dari sejarah sastra maupun sejarah tembang, memiliki benang merah
yang jelas; terdapat rumpakarumpaka yang sangat dikenal di masyarakat,
lahir dalam bentuk pupuh, bukan pupuh, atau sisindiran; dalam jenis pupuh,
Pucung, Kinanti, Asmarandana, Sinom, dan Dangdanggula, dalam surupan
Pelog, Sorog, dan Madenda. Pemikiran yang menjadi ide teks baik dalam
nasihat (hablum minannas) maupun dalam doa (hablum minallah) merupakan
genre religius dengan religi Islam.
Setiap ide dalam teks memiliki hipogram yang banyak, dengan demikian
ide-ide yang terkandung dalam Rumpaka Tembang Cianjuran yang berisi
Nasihat dan Doa merupakan landasan dalam pandangan hidup masyarakat
Sunda serta di antaranya terdapat teks yang mengandung kebenaran
universal diterima pada zaman Islam dan pra-Islam.
Nasihat meliputi, berhati-hati dalam berbuat; apabila malam berganti
siang segera bangun dan mengerjakan kebaikan; harus berjuang dengan
tekun; janganlah tekebur; tidak sombong karena kesombongan menuju
kebinasaan; pandai menghargai orang lain, orang lain untuk dijadikan teman
dalam tolong-menolong, jangan berselisih karena perselisihan menimbulkan
kehilangan akal sehat; berdzikirlah di hati selalu, membuka hijab (alangan)
hati supaya dapat menangkap suara hati nurani/Nurullah; jangan terlena oleh
dunia karena hidup selalu ditunggu ajal; apabila menemui kesulitan jangan
terlalu bersedih, memohon kepada Tuhan Pemilik Kasih Sayang yang
menurunkan penderitaan dan kebahagiaan; harus disadari bahwa segala
kemampuan diri baik lahir maupun batin hanyalah titipan, harus digunakan

27
Budaya Sunda Ramlan

pada jalan Kehendak Pemilik-Nya; dan jangan melalui jalan sesat yang
berakibat penderitaan lahir dan batin. Doa yang dipanjatkan dalam Rumpaka
Tembang yaitu minta diampuni segala dosa, memperoleh taufik hidayah, dan
husnul khotimah.

TUGAS
Kepada anda agar mengapresiasi karya seni tembang cianjuran, melalui youtube dengan alamat
akun dibawah ini. Catatlah oleh anda lagu dan penembang siapa yang paling anda suka.

(1) https://www.youtube.com/watch?v=-3OaB6k9jiQ

(2) https://www.youtube.com/watch?v=Fzsi3_tE23Y

(3) https://www.youtube.com/watch?v=pkT9ixvc0jM

Berilah komentar pada alamat akun youtube tersebut, dengan menggunakan basa sunda

28

Anda mungkin juga menyukai