Anda di halaman 1dari 15

Estetika dan Fungsi Musik

Estetika Musik

Instrumen yang terbuat dari bambu, misalnya, tidak hanya ditemukan di Indonesia,

tetapi digunakan pula di banyak negara lain, seperti Filipina (marimba, angklung,

tumpong), Thailand (khene), Vietnam (Dan Bau), Arab (nay atau serunai Arab),

Jepang (shakuhachi), dan Cina (dizi). Mengapa para pelaku musik di banyak negara

menggunakan bambu untuk membuat instrumen musik? Apakah karena bambu

dipandang dapat menghasilkan bunyi yang indah? Mengapa bunyi yang dihasilkan

dari instrumen bambu dipandang indah oleh masyarakat pendukungnya?

Bunyi instrumen yang terbuat dari bambu seringkali dipandang menghasilkan bunyi

yang indah oleh masyarakat pendukungnya. Masyarakat Sunda, misalnya. Penilaian

indah terhadap bunyi yang dihasilkan oleh angklung tersebut tidak dapat dilepaskan

dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Sunda. Masyarakat Sunda dikenal

sebagai masyarakat yang akrab atau dekat dengan lingkungan alam. Mereka

memandang lingkungan hidupnya sebagai sesuatu yang indah, yang harus

dihormati, diakrabi, dipelihara, dan dirawat. Kedekatan masyarakat Sunda dengan

lingkungan alam tampak pada tindakan mereka untuk menjadikan bahan-bahan dari

lingkungan sekitar, misalnya bambu, sebagai bagian dari kebutuhan untuk

mengekspresikan keindahan.
Ditinjau dari aspek musikal, bunyi yang dihasilkan dari instrumen dari bambu

dipandang dapat lebih mengekspresikan gagasan mereka untuk berinteraksi dalam

masyarakat. Dengar dan perhatikan potongan lagu Sampurasun yang diaransemen

oleh Tedi Nur Rochmat berikut (bar 31 42) dengan menggunakan angklung

Sunda/Indonesia.

Kesan apa yang kamu peroleh setelah mendengarkan potongan lagu itu? Apabila

kesan tersebut memperlihatkan nilai-nilai keindahan dalam masyarakat Sunda, yang

dapat kamu peroleh. Diskusikan hasil temuan kamu dengan beberapa temanmu

Simbol tidak hanya tampak pada instrumen, tetapi juga pada suara manusia.

Sekarang, mari kita dengarkan melodi awal dalam lagu Keroncong Kemayoran yang
digolongkan ke dalam genre musik keroncong. Secara teoretis, melodi awal lagu

Keroncong Kemayoran dapat dituliskan sebagai berikut:

Keroncong Kemayoran

Lagu keroncong itu umumnya akan dinyanyikan secara berbeda oleh penyanyinya.

Dengarkan contoh bagaimana potongan lagu itu dinyanyikan oleh umumnya

penyanyi keroncong (contoh audio).

Apakah cara penyanyi keroncong menyanyikan lagu itu dan penampilan visualnya

mengingatkan kamu pada suatu kelompok masyarakat tertentu? Elemen-elemen

musikal apa saja yang dapat dimaknai berhubungan dengan nilai-nilai keindahan

dalam masyarakat pendukung musik keroncong?

Ditinjau dari aspek nonmusikalnya, penampilan visual para penyanyi, khususnya

wanita, dalam pertunjukan musik keroncong pun berbeda dari penyanyi dalam

jenis/genre musik lainnya.


Apa yang kamu rasakan ketika mendengarkan lagu Keroncong Kemayoran tersebut?

Bagaimana nada dan keteraturan irama/ metrumnya? Bagaimana penampilan visual

penyanyinya? Diskusikan temuan-temuan kamu dengan beberapa temanmu.

Sekarang, cari satu contoh musik yang dapat dipandang memiliki simbol musikal dan

non-musikal bagi lingkungan masyarakat kamu atau masyarakat lain. Kemudian,

hubungkan simbol tersebut dengan nilai-nilai estetik dalam budaya masyarakat

tersebut. Diskusikan temuan-temuan kamu dengan beberapa temanmu.

Fungsi Musik

Sebelum membahas tentang fungsi musik secara lebih mendalam, sebelumnya kita

harus memahami konsep guna dan fungsi. Menurut kamu, apakah ada perbedaan

di antara kedua konsep tersebut? Untuk menjawab pertanyaan itu, coba jawab

pertanyaan ini:

1. Apa tujuan kamu mendengarkan musik?. Kamu mungkin akan menjawab

agar tidak terasa sepi atau sebagai hiburan. Jawaban itu kemudian menimbulkan

pertanyaan selanjutnya.

2. Mengapa kamu memandang musik sebagai hiburan ketika sedang belajar?

Jawaban dari pertanyaan pertama bertujuan untuk memahami arti kata guna,
sedangkan jawaban dari pertanyaan kedua bertujuan untuk memahami arti kata

fungsi.

Konsep fungsi mengundang pandangan subjektif seseorang tentang suatu

pengalaman yang pernah ia peroleh dalam kehidupannya. Sekarang, mari kita coba

terapkan penggunaan dua istilah itu dalam kehidupan kita sehari- hari. Pernahkah

kamu mengamati proses upacara yang selalu dilakukan pada setiap Senin di sekolah?

Apakah seluruh peserta upacara diminta untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya?

Apa gunanya seluruh peserta upacara menyanyikan lagu tersebut? Kamu mungkin

akan menjawab bahwa Indonesia Raya dinyanyikan dalam upacara bendera karena

lagu itu adalah lagu kebangsaan negara kita. Mengapa dalam upacara itu seluruh

siswa harus menyanyikan lagu tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kamu harus dapat mengenal dengan baik atau

mengidentifikasi peristiwa (konteks) yang terjadi ketika lagu itu dinyanyikan.

Sekarang, pernahkah kamu menyaksikan siaran televisi yang memperlihatkan acara

penyerahan piala ketika tim Indonesia memperoleh penghargaan sebagai juara umum

dalam kejuaraan bulu tangkis tingkat Internasional di luar negeri? Kamu pasti akan

mendengar lagu Indonesia Raya secara instrumental yang seringkali juga ikut

dinyanyikan oleh anggota tim Indonesia dan seluruh masyarakat Indonesia yang
menyaksikan kejuaraan internasional tersebut secara langsung di sana. Apa fungsi

lagu Indonesia Raya dalam peristiwa itu? Diskusikan pendapat kamu dengan teman-

temanmu.
Angklung Menangis di Negeri Sendiri

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan

ke Pinterest

Angklung merupakan budaya asli dari kesenian Jawa Barat yang sudah berumur

ratusan tahun. Kesenian yang benar-benar mempunyai nilai estetika yang tinggi.

Bahkan kesenian angklung ini sudah merambah pada pasar internasional. Bahkan

sudah banyak Negara asing yang mendirikan sekolah khusus untuk kesenian

tardisional yang dianggap kampungan oleh sebagian besar remaja Indonesia.

Animo ketertarikan turis mancanegara, baik negara tetanggga maupun negara

Barat terhadap kesenian Sunda, khususnya musik angklung memang terus meningkat.

Seperti dituturkan Taufik yang merupakan salah seorang senima ranah Sunda, animo
itu tampak tidak hanya dari frekuensi kunjungan turis yang hendak menonton

pagelaran seni Sunda, namun juga dari tingginya permintaan pesanan alat musik

angklung dari mancanegara.

Namun animo ketertarikan yang besar dari mancanegara tentang kesenian ini

belum mampu untuk mengubah perspektif remaja terhadap kesenian ini. Sungguh

kenyataan yang ironis. Ketika budaya yang begitu dihormati oleh bangsa lain harus

menangis di negerinya sendiri.

Angklung, Instrumen Bambu Dari Jawa Barat

Alat musik Angklung terbuat dari bambu dan dimainkan oleh 12-14 pemain

dengan cara digoyang-goyangkan atau diguncang-guncangkan, masing-masing dari

angklung tersebut menghasilkan bunyi yang berbeda. Bambu tersebut memiliki

tabung yang berbeda dan dipotong-potong dengan kepanjangan yang berbeda pula

sehingga memiliki nada oktaf yang berbeda dan 2, 3 atau 4 tabung dilindungi oleh

frame atau bingkai.

Ketika bingkai diguncangkan, dua proyeksi di dasar dari tiap tabung sehingga

berbunyi dengan serasi. Para pemain angklung dalam suatu kelompok harus

mempunyai kekompakan, konsentrasi dan keserasian irama sehingga mereka dituntun

untuk mengetahui kapan harus menggoyangkan angklung dan kapan goyangan atau

guncangan itu harus dihentikan agar tercipta suatu keharmonisan irama dan nada.
Ada juga instrumen musik lain yang mengiringi pagelaran angklung antara

lain terdiri dari Saron, Kendang dan Gong. Namun tetap saja sebagian besar peralatan

yang digunakan berasal dari bambu. Angklung memiliki beberapa macam, yaitu:

Angklung Caruk, Angklung Tetak, Angklung Paglak, Angklung Dwilaras, dan

Angklung Blambangan.

Pada masa sekarang angklung biasanya ditampilkan dalam pagelaran-

pagelaran kesenian, mulai tingkat nasional bahkan hingga tingkat Internasional.

Namun nama angklung yang begitu tersohor di manca negara belum mampu juga

untuk memutar imej kampungan yang melekat di mata para remaja.

Angklung, Musik Alam Serta Kegundahannya

Angklung, merupakan budaya kesenian khas dari jawa barat yang sudah

berusia ratusan tahun, suatu kesenian yang mempunyai nilai estetika yang tinggi.

Yang memadukan antara nilai keindahan dan keterampilan serta suatu maha karya

dari nenek moyang bangsa Pasundan. Kesenian ini merupakan kesenian yang begitu

mengangumi alam. Bila kita mendengarkan permainan angklung maka yang ada

dalam pikiran kita adalah alam dengan gunung hijau serta gemericik aliran sungai

yang berkelok. Begitu indah dan damai.

Pesona ini pulalah yang membuat angklung digemari di Negara asing dimana

mereka membutuhkan kesenian yang memberikan suatu kedamaian di hati dan

pikiran mereka.
Ketertarikan kalangan mancanegara, baik negara tetangga maupun negara

Barat terhadap kesenian angklung, memang terus meningkat. Hal itu dilihat dari tidak

hanya dari frekuensi kunjungan turis yang hendak menonton pergelaran seni Sunda,

namun juga dari tingginya permintaan pesanan alat musik angklung dari

mancanegara.

Meski pesanan angklung tinggi, Saung Angklung Mang Udjo (salah satu

sanggar kesenian angklung) yang telah berdiri sejak tahun 1966 hingga kini tetap

memproduksi angklung dalam lingkup industri rumahan (home industry). Angklung

diproduksi terbatas sesuai dengan jumlah pesanan. Belakangan, permintaan yang

paling sering dan tinggi, menurut Taufik, datang dari Korea Selatan (Korsel) dan

Malaysia.

Yang mengejutkan banyak dari pesanan angklung-angklung itu diperuntukkan

bagi sekolah-sekolah dasar dan menengah di Korsel. Di sekolah- sekolah itu

permainan musik angklung menjadi salah satu kegiatan ekstrakurikuler. Malaysia

bahkan sengaja mengimport bambu hitam dari Indonesia hanya untuk di jadikan

bahan pembuat angklung. Bahkan dalam slogan The Truly Asia mengambil

angklung sebagai salah satu backgroundnya.

Di satu sisi, kita bisa merasa bahagia karena permainan musik angklung

diminati oleh berbagai bangsa di dunia. Namun, di sisi lain ada seberkas keresahan

yang sebaiknya kita resapi. Seharusnya, musik angklung merupakan alat musik

orisinal khas Indonesia. Tetapi, ada pertanyaan yang belum terjawab atau sulit untuk

dijawab tentang mengapa berbagai pihak dan kalangan masyarakat di Tanah Air
kurang menganggap angklung sebagai aset pariwisata yang perlu diperhatikan

eksistensinya, bahkan hanya dianggap suatu kesenian yang kampungan ketika harus

memainkannya.

Sungguh kenyataan yang ironis serta tragis bagi kesenian luhur hasil

kebanggan budaya sunda. Ketika kesenian yang begitu indah justru dicemooh dan

dianggap suatu hal yang kampungan di negeri lahirnya sendiri sedangkan dianggap

suatu hal yang hebat dan diterima dengan baik di negeri lain. Suatu hal yang bisa

sangat menyayat hati si pencipta kesenian angklung tersebut.


Keunikan Angklung , Alat Musik INDONESIA yang telah mendunia

angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional

berkembang dalam masyarakat berbahasa sunda di pulau jawa bagian barat. Alat

musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan

oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam

susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil.
Keunikan dari Kesenian Angklung

Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy) digunakan

terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan

orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di

huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan

bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang

dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa
ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh

ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak

ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak

boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya.

Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung,

yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.

Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan.

Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil

menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi,

Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong

Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung

Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna,

Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang,

Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung sebanyak delapan orang

dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam

formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan

gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh

laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat

dengan berbagai aturan pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan hal-hal

kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk

keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung,

dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2

buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang

adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan,

yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di

Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk.

Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.

Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy

Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di

ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya

keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat

ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di

Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga

kampung tersebut.

Anda mungkin juga menyukai