OLEH :
TEGUH PERMANA
NIM :
191121012
Campursari adalah musik tradisional masyarakat jawa. Musik ini diperkirakan lahir pada
dekade "60-an di daerah Jawa Tengah. Musik campursasri dimainkan dengan alat musik gamelan
yang terdiri dari: Slenthem, Peking, Kendang, Gong, Bonang/tidak semua bagian, di tambah
suling. Untuk melengkapi khasanah musiknya, gamelan tersebut dipadukan dengan alat musik
modern seperti: gitar dan keyboard.Pada awal kemunculan musik campursari sempat
menimbulkan pertentangan dengan pegiat kesenian yang lain. Hal ini dianggap menurunkan citra
keagungan kesenian tradisonal jawa yang terkenal dengan kebudayaan keratonnya yang
adiluhung.Musik campursari mulai terkenal seiring meroketnya nama Waldjinah dan Manthous (
Sumanto-red ) pada awal berkembangnya dulu. Manthous yang mengusung bendera CSGK (
Campur Sari Gunung Kidul ) merupakan musisi campursari yang terkenal. Pria yang lahir pada
tahun 1950 ini menelurkan sejumlah lagu, namun yang fenomenal adalah kutut manggung.
Sayang karir musiknya meredup setelah dia mengidap stroke.
Setelah Manthous mulai menurun pamornya, muncul beberapa musisi campursari yang
terkenal kemudian.Nama-nama Didi Kempot, Sonny Joss, Cak Diqin sampai penyanyi
campursari baru seperti Soimah bergantian menghiasi blantika musik campursari.Perkembangan
musik campursari sebagai musik rakyat kecil tak lepas dari pengangkatan tema yang simple dan
dekat dengan masyarakat kecil.Karena itu tak jarang Campursari diidentikkan dengan musiknya
kaum marjinal/rakyat jelata. Tema yang diangkat untuk lagu campursari mulai dari cinta dan
kesedihan, tentang wong cilik, tentang menikmati hidup. Tak heran kenapa musik ini begitu
merakyat dan hampir selalu hadir di acara-acara hajatan rakyat biasa.Dalam prakteknya musik
campursari cenderung menggunakan bahasa sehari-hari untuk bahasa lagunya.Tidak seperti
langgam jawa yang menggunakan bahasa kesusatraan jawa, Campursari menggunakan bahasa
umum di masyarakat atau istilahnya bahasa pasaran.Sehingga bagi kita yang mendengarkan lagu
campursari tidak harus berpikir terlalu dalam untuk mengetahui makna dari lagu tersebut.Selain
itu lagu campursari banyak sekali mengangkat kisah hidup wong cilik. Kisah bagaimana
susahnya rakyat kecil mencari kerjaan, memenuhi hajat hidupnya.Ataupun bagaimana dalam
sebuah lagu kita bisa menangkap kesan kesederhanaan yang terpancar di dalamnya.
Seiring berjalannya waktu banyak sekali kesenian campursari yang tumbuh di daerah Jawa
Timur dan tidak terlalu berbeda dengan kesenian Campursari yang ada di Jawa Tengah akan
tetapi juga memiliki ciri khas tersendiri. Beberapa kesenian Campursari yang ada di daerah
Nganjuk yang pertama yaitu kesenian campursari kantong bolong yang bertempat di desa Jati,
Kecamatan Loceret dan yang kedua ada di desa sengkut sendiri yaitu kesenian campursari
Klampis Ireng.
Campursari klampis ireng merupakan salah satu dari beberapa grup campursari yang ada di
nganjuk.Grup campursari tersebut dibentuk pada tahun 1998 oleh Bapak Wahyu Kartiko, atau
biasa dipanggil Pak Tiko, beliau sekaligus sebagai guru SMPN 1 Ngetos.Campursari klampis
ireng sendiri diambil dari nama pohon klampis yaitu salah satu jenis pohon yang sangat langka
dan memiliki daya spiritual yang luar biasa. Pada dasarnya alat musik yang dipakai adalah
gamelan berlaras selendro dan pelog yang digabungkan dengan alat musik etnis barat. Alat
musik yang dimainkan juga sama, antara lain yaitu : kendang ciblon, kendang jaipong, demung,
saron, gender, gong gede, gitar cak, gitar melody, gitar bass, keyboard, dan drum.
Kesenian campursari Klampis Ireng adalah kesenian yang bertahan hingga saat ini, dulu
sangat banyak sekali kesenian di daerah Nganjuk seperti jaranan atau reog, Karawitan, Ludruk,
Wayang kulit, dan kesenian lainnya, akan tetapi saat ini jarang sekali ditemukan kesenian yang
masih difungsikan sebagai media pertunjukan, mungkin hanya karena faktor waktu dan minat
masyarakat yang mulai menurun.Karenapopulernya musik campursari dulu yang membuat
kesenian Campursari Klampis Ireng ini ramai diperbincangkan oleh masyarakat Nganjuk dan
membuat kesenian tersebut masih tetap ada hingga saat ini.
II. Rumusan Masalah :
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah,
antara lain :
1. Apa yang menjadi faktor kebertahanan grup kesenian campursari klampis ireng ?
2. Apa yang menjadi faktor minat masyarakat yang cenderung menurun seiring berjalannya
waktu?
Lalu berikutnya adalah penelitian skripsi yang berjudul “Proses Kreatif Java Rock
Reggae dari Band SukirGenk di Wonogiri” ini berawal dari ketertarikan penulis ketika melihat
pementasannya dan medengarkan lagu-lagu dari SukirGenk. Ketertarikan tersebut muncul ketika
karya dari SukirGenk terlihat unik karena dari penggabungan unsur genre yaitu Java, Rock, dan
Reggae yang dimainkannya. Hal ini cukup menarik karena fenomena tersebut menjadi berbeda
jika dibandingkan dengan band Reggae pada umumnya. SukirGenk merupakan sebuah kelompok
musik yang masih berusia mudah pada waktu itu dalam kancah musik indie Indonesia, namun
SukirGenk dapat membentuk sebuah karakter musikalnya yang kuat dari musik-musik Reggae
pada umumnya. Kemudian karakter tersebut menjadi identitas kreativitas Rastaline hingga saat
ini. Penelitian ini menggunakan konsep Garap yang disusun oleh Rahayu Supanggah, dalam
kaitannya membahas tentang proses kreatif yang dilakukan SukirGenk. Kemudian digunakan
juga ilmu bentuk Musik yang disusun oleh Karl Edmund Prier, dengan konsep Aransemen dalam
kaitannya pembahasan mengenai analisis karaktr musikal SukirGenk. Sebagaimana mestinya,
penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan etnografis. Hal-hal yang dijelaskan
dalam tulisan ini adalah (1) perkembangan musik Reggae dalam konteks umum, kemudian
masuknya Reggae di Indonesia, dan menjelaskan mengenai seluk beluk SukirGenk dalam
pengalaman bermusiknya. (2) menjelaskan proses kreatif SukirGenk secara umum dalam
menciptakan karya lagu. Dijelaskan juga kaitannya tentang Java Rock Reggaenya SukirGenk
seperti apa dan proses kreatifnya menggabungkan genre tersebut. (3) menjelaskan bentuk
aransemen musik SukirGenk dengan sudut pandang analisis komparasi, yaitu dengan penjelasan
berdasarkan analisis musik dengan satu objek lagu sebagai objek objek analisis komparasi
tersebut. Hal ini memiliki kedudukn penting dalam kaitannya memperjelaskan karakter musikal
yang dimiliki oleh SukirGenk. Hasil penelitian ini merupakan pertanyaan bahwa, SukirGenk
mempunyai gagasan yang berbeda dalam menciptakan karya musikalnya. Melalui lagu dengan
genre Java Rock Reggae tersebut, mereka ingin mencerminkan karakter yang dibuat menjadi
kuat dalam musik yang dilahirkan dari konsep yang baik. Dengan karakter inilah, Sukirgenk
selalu diapresiasi dengan baik. (Putra, 2019)
Selanjutnya skripsi berjudul "Resistensi Kelompok Reog Bende Singo Budoyo Di Dukuh
Singosaren Desa Singosari Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali", bertujuan untuk
mengungkap hal-hal yang menyebabkan kelompok reog Singo Budoyo bertahan dan menolak
perubahan musik dalam reog. Tindakan yang resisten tersebut dipengaruh orientasi kelompok
terhadap perubahan karena pengaruh zaman yang semakin berkembang pesat khususnya di
bidang teknologi. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dari bentuk sajian yang ada
menghasilkan faktor-faktor yang dapat memunculkan resistensi pada kelompok reog bende serta
mendalam pada bentuk-bentuk resistensi yang terjadi guna melakukan perlawanan terhadap
keadaan yang dihadapinya. Resistensi mengacu pada teori Barnard dan Spencer serta dipadukan
dengan Zaltman dan Duncan yang bertindak pada prioritas mempertahankan status quo untuk
menggali faktor-faktor resistensi memakai teori Robbins dengan tujuan ditemukannya faktor-
faktor baru. Metode yang digunakan dalam penelitian ini akan menitikberatkan pada kualitatif.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara mendalam, serta studi
pustaka. Adapun temuan wujud dan sikap dari kelompok sebagai upaya dalam mempertahankan
kelompoknya memunculkan resistensi oleh para pendukung seni tradisi khusus-nya reog bende,
namun ada beberapa hal yang menarik yang di-manfaatkan oleh pelaku resistensi dijadikan
momentum untuk mem-perkuat identitasnya. (Supriyono, 2019)
Selanjutnya adalah Resistensi Musik Keroncong Di Era Disrupsi : Studi Kasus Pada O.K
Gita Puspita Di Kabupaten Tegal yang mmenjelaskan Perkembangan musik keroncong sedang
mengalami pasang surut di era disrupsi. Disrupsi sudah cukup mengubah tatanan musik baik
dalam aspek musikal, maupun produk. Hal ini menimbulkan sikap resistensi terutama pada
musik keroncong yang pendukungnya memiliki idealisme kuat terhadap keaslian musik
keroncong. Namun dalam masyarakat sosial, pembaharuan musik keroncong merupakan sebuah
inovasi untuk mempertahankan musik keroncong. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan
mengidentifikasi bagaimana bentuk resistensi musik keroncong di era disrupsi oleh Orkes
Keroncong Gita Puspita. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan
pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dokumentasi dan studi pustaka. Hasil
penelitian menunjukan bahwa Orkes Keroncong Gita Puspita melakukan sikap resistensi
terhadap era disrupsi dengan bentuk resistensi semi--‐terbuka dengan cara mempertahankan
instrumentasi asli keroncong walaupun menampilkan keroncong dengan gaya modern, serta hal
yang mendasari sikap resistensi tersebut adalah tujuan dibentuknya grup dan latarbelakang musik
keroncong di Kabupaten Tegal. (Ramadhani & Rachman, 2019)
V. Landasan Teori
Musik campursari berfungsi sebagai respon fisik antara pelaku musik (pemain musik) dengan
pendengar.Musik campursari yang yang dihadirkan dalam setiap pertunjukan menempati peran
untuk menentukkan waktu bagi pemain musik dala memberikan stimulasi auditif agar direspon
baik oleh pendengar maupun pemusik itu sendiri.Bentuk pola stimuli dan respon tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut.
Pendengar
C Pemusik
Pendengar
Gambar 1. Bentuk pola stimuli dan respon pemusik dan pendengar
Keterangan gambar :
C : Musik campursari
Pemusik : Regu pemain musik campursari
Pendengar : audien yang menyaksikan & mendengarkan pertunjukan musik campursari
Berdasarkan keterangan gambar diatas dapat dijelaskan bentuk pola stimuli dan respon peristiwa
musical di setiap pertunjukan campursari Klampis Ireng.ketika musik campursari dimainkan,
pemain musik satu regu mainkan pola musiknya kemudian diikuti dengan setiap pola-pola
permainan musik yang ditunjukkan kepada audien,untuk memulai sebuah lagu selesai 1 lagu
yang telah diaransemen ataupun di-cover dalam bentuk permainan musik campursari. Pada
permainan campursari tersebut dimainkan secara Live dan dan disaksikan langsung oleh seluruh
audien.
Musik campursari dapat mewakili ekspresi emosi para audien dan pemusik lewat lirik lagunya
yakni ketika menunjukkan aksi di panggung pertunjukan musik campursari juga setiap bentuk
pola permainannya nya dengan kata-kata maupun gojekan yang dimaksudkan untuk candaan
dengan para audien. Musik campursari berfungsi sebagai komunikasi yakni musik campursari
mengkomunikasikan pesan kepada khalayak atau masyarakat atau orang-orang pesan tersebut
bisa berupa lirik yang mewakili atau menggambarkan kondisi kaum masyarakat kecil, dan juga
mewakili perasaan hati seseorang.
Berdasarkan survey music yang telah dilakukan terhadap beberapa narasumber bahhwa
Berdasarkan logbook penelitian yang telah dikerjakan dengan hasil wawancara terhadap
beberapa sumber, antara lain adalah faktor menurunnya minat masyarakat mengenai pertunjukan
campursari adalah dari segi perubahan sosial meliputi generasi muda yang enggan untuk
menyaksikan ataupun menganggap bahwa campursari itu suatu hal yang kuno, dan banyak juga
yang menganggap bahwa music campursari hanya dimainkan dan dilihat oleh golongan orang
dewasa saja karena pertunjukan ini sering ditampilkan kebanyakan pada saat sore hari ataupun
malam hari saja, dan berikutnya adalah dari faktor segi ekonomi masyarakat setempat ataupun
masyarakat sekitar desa sengkut yang enggan untuk mengundang atau menanggap campursari
klampis ireng karena hal itu dapat mengeluarkan biaya yang besar tentunya, meskipun demikian
orang – orang beralih ke music organ tunggal yang dimana dapat menyajikan music campursari
secara instan dan juga terkesan ringkas dan lebih hemat biaya. Tak hanya itu hal lain yang
membuat minat masyarakat menurun karena jarang sekali ada pentas atau pertunjukan
campursari klampis ireng bahkan meskipun itu di wilayah desa sengkut sendiri, akan tetapi
biasanya dari pihak kepala desa biasanya menanggap kesenian campursari tersebut untuk acara
bersih desa setiap setahun sekali. Hal itu juga berkaitan dengan masa pandemi saat ini yang
mengakibatkan sejumlah besar kerumunan atau pertunjukan missal diberbagai wilayah dihimbau
untuk dikurangi guna mennghindari penyebaran virus corona.
Walaupun demikian banyak juga dalam hal wawancara, penulis menemukan berbagai fakta
faktor yang mempengaruhi atas sikap kebertahanan antara lain adalah dari pemilik atau
pemimpin grup kesenian campursari klampis ireng yang tetap aktif dalam memimpin organisasi
untuk tetap meberikan support pada seluruh anggota grup kesenian untuk tetap menjalankan
latihan entah itu 1 bulan sekali ataupun pada saat ada undangan untuk mengisi acara pentas.
Selain itu tak sedikit juga masyarakat atau orang – orang yang pernah menyaksikan kesenian
tersebut secara langsung kemudian mengabadikannya dalam bentuk video dan diupload pada
akun youtube mereka agar pertunjukan yang merka saksikan saat itu dapat dinikmati pula oleh
orang – orang yang ingin menyaksikan bagaimana pertunjukan campursari klampis ireng dan
juga para penikmat music campursari yang ada di Indonesia. Dan juga meskipun begitu tak
sedikit juga yang mengundang campursari klampis ireng untuk tampil dalam hajat beberapa
orang yang mengadakan pentas, dengan demikian setiap tahun pasti ada masyarakat sekitar atau
bahkan dari dinas atau instansi yang turut mengundang kesenian campursari klampis ireng.
Dalam masa pandemic saat ini tak hanya dengan campursari klampis ireng saja, namun
dari berbagai tempat yang ada di wilayah Indonesia semua merasakan hal yang sama terkait
dengan pentas seni yang kini semakin kecil peluangnya untuk ditampilkan secara langsung dan
disaksikan oleh banyak orang, dari hal ini banyak juga seniman ataupun musisi yang seolah
kehilangan kesempatan untuk tampil dipanggung pementasan dan juga kehilangan sumber mata
pencaharian mereka. Namun grup kesenian campursari klampis bukan begitu saja bubar atau
mengundurkan diri satu persatu karena menurut beberapa pemain musik campursari klampis
ireng, organisasi ini bukanlah tempat untuk mengeluh dan menyerah begitu saja, karena dalam
setiap pertemuan terdapat perbincangan hangat antara teman, tempat untuk berkumpul saudara-
saudara dari berbagai tempat dan juga berbagai macam perbedaan usia atau bisa dikatakan sebgai
keluarga besar , karena hal itu grup kesenian campursari klampis ireng ini tetap bertahan hingga
sekarang dan menjadi tempat untuk reuni teman ataupun keluarga yang sudah menjadi anggota
grup kesenian campursari klampis ireng.
BAB VI Pembahasan
Berisi tentang penjelasan dan juga jawaban dari rumusan masalah yang tertulis
berdasarkan hasil dari penulisan logbook mingguan
Praktik merupakan perilaku masyarakat subkultur campursari dan terjadi berbagai proses
modifikasi maupun non modifikasi dan disposisi yang beragam bentuk dan praktik maka
terbentuk gaya hidup . Gaya hidup tersebut kemudian dimaknai secara simbolik dalam tataran
unsur rangkaian proses social yaitu system tanda, melalui unsur ini kemudian terdapat
penghayatan pada nilai – nilai dan kualitas yang dianggap ideal sebagai penikmatan estetik.
Penikmatan estetik ini berada pada unsur rangkaian proses social yaitu selera.
VIII. Daftar Pustaka
Ramadhani, F. A., & Rachman, ; Abdul. (2019). RESISTENSI MUSIK KERONCONG DI ERA
DISRUPSI : STUDI KASUS PADA O.K GITA PUSPITA DI KABUPATEN TEGAL
RESISTANCE OF KERONCONG MUSIC IN DISRUPTION ERA: CASE STUDY ON O.K
GITA PUSPITA IN TEGAL DISTRICT. 1.