Anda di halaman 1dari 21

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/321155116

MUSIK MELAYU SEBAGAI PEREKAT KESERUMPUNAN TAMADUN: TINJAUAN


HISTORIS DAN STRUKTURAL

Conference Paper · November 2017

CITATIONS READS

0 5,318

1 author:

Muhammad Takari
University of Sumatera Utara
71 PUBLICATIONS   41 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

My current project is research about senam Melayu in Serdang culture area. View project

All content following this page was uploaded by Muhammad Takari on 19 November 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


MUSIK MELAYU SEBAGAI PEREKAT
KESERUMPUNAN TAMADUN:
TINJAUAN HISTORIS DAN STRUKTURAL

Muhammad Takari bin Jilin Syahrial


Prodi Etnomusikologi dan
Penciptaan dan Pengkajian Seni FIB USU serta
Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI)

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS SUMATera utara
MEDAN
2017
\

MUSIK MELAYU SEBAGAI PEREKAT


KESERUMPUNAN TAMADUN:
TINJAUAN HISTORIS DAN STRUKTURAL

Pengantar
Dalam konteks kebudayaan di seluruh dunia, seni musik yang hidup dan berkembang di
dalam masyarakat tertentu, menjadi identitas kebudayaan mereka secara umum. Musik
memegang peranan penting dalam konteks kontinuitas dan perubahan kebudayaan. Musik
mengandung aspek-aspek struktural, estetika, fungsional, kontekstual, yang biasa juga
berhubung erat dengan berbagai cabang seni lain seperti tari, sastra, teater, rupa, bahkan media.
Musik menjadi bahagian dari kehidupan sehari-hari, atau juga adat-istiadat, ritual, rahasia
kelompok, dan lain-lainnya.
Dalan konteks kebudayaan, musik adalah salah satu cabang kesenian. Di sisi lain, kesenian
adalah salah satu unsur kebudayaan. Kadangkala istilah kesenian selalu diidentikkan dengan
kebudayaan. Bahkan banyak orang mengartikan kesenian sinonim dengan kebudayaan. Namun
menurut kajian ilmu-ilmu budaya, kesenian hanya salah satu bagian dari kebudayaan yang
sangat luas. Kesenian ini dapat berwujud ide, kegiatan, atau benda-benda. Di antara benda-
benda seni musik, adalah alat-alat musik. Demikian pula yang terdapat dalam kebudayaan
musik Melayu.1
Pada prinsipnya, musik terdiri dari wujud gagasan, seperti konsep tentang ruang: tangga
nada, wilayah nada, nada dasar, interval, frekuensi nada, sebaran nada-nada, kontur, formula
melodi, dan lain-lainnya. Dimensi ruang dalam musik ini merupakan organisasi suara.
Sementara, di sisi lain, musik juga dibangun oleh dimensi waktu, yang terdiri dari: metrum atau
birama, nilai not (panjang pendeknya durasi not), kecepatan (seperti lambat, sedang, cepat,
sangat cepat), dan lainnya. Kedua dimensi pendukung musik ini, kadang juga berhubungan
dengan seni tari yang diiringinya. Dalam konteks budaya Melayu sendiri, integrasi antara musik
dengan tari terwujud dalam konsep begitu musik begitu pula tarinya. Dengan demikian, budaya
musik menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kebudayaan Melayu pada umumnya.
Secara fungsional, pertunjukan musik tradisional mengikuti aturan-aturan tradisional.
Pertunjukan ini, selalu berkaitan dengan penguasa alam, mantera (jampi) yang tujuan
menjauhkan bencana, mengusir hantu, atau setan. Musik tradisi Melayu berkembang secara
improvisasi, berdasarkan transmisi tradisi lisan. Setiap musik mempunyai nama tertentu dan
alat-alat musik mempunyai legenda asal-usulnya. Pertunjukan musik mengikuti aturan dan
menjaga etika permainan. Di lain sisi, terdapat pula berbagai jenis musik selain yang sifatnya
tradisi di dalam budaya Melayu, seperti musik populer Melayu, musik akulturatif modern, dan
lain-lainnya.
Musik didalam kebudayaan Melayu mengekspresikan kebersamaan daalam
keserumpunan dan sekaligus juga ciri-ciri tempatan. Beberapa jenis musik memperlihatkan
sebaran yang merata di seluruh dunia Melayu, seperti rentak: asli atau senandung, inang, kagu
dua atau joget, zapin, masri, dan lain-lain. Namun setiap daerah di dalam tamadun Melayu yang

1
Keadaan budaya musik Melayu di Semenanjung Malaysia, sebagai wilayah budaya yang sama dengan masyarakat Melayu
Sumatera Utara, menurut seorang pengamat seni dari Malaysia, Hamzah (1988), perkembangan musik Melayu di Malaysia dapat
diklasifikasikan kepada sembilan bentuk, yaitu: (1) musik tradisional Melayu; (2) musik pengaruh India, Persia, dan Thailand atau
Siam, seperti: nobat, menhora, makyong, dan rodat; (3) musik pengaruh Arab seperti: gambus, kasidah, ghazal, zapin, dan
hadrah; (4) nyanyian anak-anak; (5) musik vokal (lagu) yang berirama lembut seperti Tudung Periuk, Damak, Dondang Sayang,
dan ronggeng atau joget; (6) keroncong dan stambul yang tumbuh dan berkembang awalnya di Indonesia; (7) lagu-lagu langgam;
(8) lagu-lagu patriotik tentang tanah air, kegagahan, dan keberanian; (9) lagu-lagu ultramodern yang kuat dipengaruhi budaya
Barat.

1
\
luas ini, memiliki seni musik yang berciri daerah setempat. Misalnya di dalam kebudayaan
Melayu Asahan terdapat sinandong dan gubang. Di daerah lain seperti Perlis dan sebahagaian
Malaysia bahagian Utara terdapat musik ulit mayang. Di Labuhanbatu Sumatera Utara terdapat
senandung Kualuh, di Langkat terdapat Dedeng Siti Fatimah, dan masih banyak contoh yang
lainnya.
Melalui makalah ini, penulis akan meninjau fenomena musik Melayu di Dunia Melayu
berdasarkan dua aspek. Yang pertama adalah tinjauan historis, yang memperlihatkan bahwa
musik Melayu merupakan unsur perekat keserumpunan peradaban Dunia Melayu. Yang kedua
adalah tinjauan setruktural yang juga membuktikan akar budaya yang sama namun diperkaya
dengan kekuatan-kekuatan kutural lolak dalam konteks Dunia Melayu.

Tinjauan Historis
Mengharungi Ruang dan Waktu: Animisme, Hindu-Budha, Islam, dan Globalisasi
Sebelum datangnya pengaruh seni pertunjukan Hindu, Islam, dan Barat, sebenarnya etnik
Melayu telah memiliki konsep-konsep tersendiri tentang tangga nada atau ritme. Berdasarkan
penelitian yang penulis lakuan, etnik Melayu memiliki konsep musik, baik yang diteruskan dari
tradisinya, yang disebut bunyi-bunyian atau yang diambil dari Barat.
Sebelum datangnya agama Hindu dan Islam ini, dapat dilihat dari kajian sistem msik
Melayu yang menggunakan suara dengan sebutan seperti mersik, garau, garau alang, dan pekak.
Sebuah ide yang mencakup pengertian nada dengan karakteristik tertentu. Termasuk unsur
pelarasan alat musik, yang dalam hal ini biasanya dihubungkan dengan biola dan rebab, serta
sistem modus.
Para pemusik dan pencipta lagu Melayu masa dahulu kala juga telah mengenalkonsep-
konsep improvisasi, baik melodi atau ritme. Dalam improvisasi dikenal istilah-istilah: (1)
cengkok yang berarti suatu ide improvisasi dengan teknik mengayunkan nada-nada, yang dalam
musik Barat seperti teknik sliding pitch, dengan contoh seperti berikut.

Notasi 1: Contoh Cengkok

(2) gerenek, yang berarti satu ide improvisasi dengan menggunakan nada-nada yang berdensitas
rapat, mendekati konsep tremolo di dalam musik Barat, dengan contoh sebagai berikut.

Notasi 2: Contoh Gerenek

(3) patah lagu, yang berarti suatu ide improvisasi melodi dengan memerikan tekanan-tekanan
(aksentuasi) pada nada-nada tertentu, terutama pada nada down beat, dengan contoh sebagai
berikut.

Notasi 3: Contoh Patah Lagu

Konsep tentang ritme, pada masa sebelum Hindu dan Islam, seacra umum disebut rentak,
yang mengandung pengertian pola-pola ritme, durasi, onomatopeik/tiruan bunyi oleh suara
manusia pada berbagai tipe gendang, ostnato, dan lainnya, yang juga dapat dikaitkan dengan
konsep-konsep hitungan, atau gerak tari yang diiringi rentak ini. Umumnya struktur tari
mempunyai kesinkronan dengan konsep-konsep rentak musik. Di Pesisir Timur Sumatera
\
Utara, pada umumnya hitungan pertama ritme bukan pada jatuhnya pukulan gong/tetawak,
tetapigong/tetawak dianggap sebagai akhir dari rangkaian siklus musik dan tarinya.
Menurut Nasuruddin (1977:162) musik etnik Melayu awalnya berasal dari musik
masyarakat primitif yang memiliki religi animisme. Goldsworthy (1979:42-43)
mengklasifikasikan musik ini kepada musik pra-Islam. Lebih lanjut, menurut Nasuruddin,
musik yang berasal dari masa animisme ini, dipergunakn untuk mengiringi teater-teater
tradisional Melayu, di antaranya untuk teater wayang kulit, makyong, menhora, mendu,
bangsawan, dan lainnya.
Unsur-unsur religi animisme yang terkandung dalam kebudayaan musikal etnik Melayu
antara lain dapat dipantau dari penggunaannya pada masyarakat, seperti musik dalam wayang
kulit, dimainkan seusai menuai padi, sebagai rasa terima kasih etnik Melayu kepada kuasa-
kuasa ghaib, yang telah mengaruniai hasil padi yang melimpah-ruah. Alat-alat musik pada
teater ini, sebelum dipergunakn terlebih dahulu diberi jampi (mantera) yang berciri animisme.
Begitu juga repertoar lagu, seperti Lagu Bertabuh, bertujuan untuk menyatakan rasa perdamaian
dengan kuasa ghaib, seperti: hantu, jembalang tanah, jembalang laut, jin, puaka, mambang, dan
lain-lain (Nasaruddin 1977:162). Sebenarnya pernyataan yang dikemukakan Nasuruddin ini,
tidak semuanya benar, karena pada teater wayang kulit, instrumentasi atau materi wayang, dan
cerita yang disajikan, terdapat pula pengaruh-pengaruh kebudayaan Hindu, bukan animisme.
Pada era animisme masyarakat Melayu umumnya menumpukan perhatian kepeda
keperluan hidup sehari-hari. Mereka meyakini bahwa di alam ini semua benda dikuasai oleh
kekuatan-kekuatan ghaib. Kemudian mereka melakukan berbagai ritus kepada kekuatan ghaib
tersebut. Selanjutnya, mereka melakukan enkulturasi budayanya dengan menggunakan
berbagai mitos dan legenda. Melalui ritual ini, mereka juga telah beraktivitas tari dan teatrikal.
Mereka selalu mengadakan upacara pada siklus musim tertentu. Unsur-unsur religi animisme
yang terkandung dalam kebudayaan Melayu dapat dipantau dalam penggunaannya dalam
masyarakat, seperti pada pesta panen padi, sebagai rasa terima kasih kepada kuasa-kuasa
ghaib, yang telah mengkaruniai hasil yang melimpah ruah.
Menurut Nasaruddin (2000) ritual animisme atau primitif terdapat pada masyarakat Melayu
lama, terutama di kalangan orang asli di Malaysia, seperti pada kelompok masyarakat Temiar,
Senoi, Semai, Jakun, Iban, Dayak, dan Mahameri. Umumnya ritual yang mereka lakukan
adalah untuk memahami alam sekitar dan memuja roh-roh. Salah satu contoh ritual tersebut
adalah Tari Balai Raya pada masyarakat Mahameri yang merupakan bagian perayaan dari hari
nenek moyang, yaitu hari ulang tahun roh-roh. Pada tarian ini, topeng mewakili berbagai
moyang atau roh dan sekali gus berfungsi untuk menghormati roh-roh ini. Di Pesisir Timur
Sumatera Utara tarian yang mengandungi unsur animisme ini misalnya pada tari meghadap
rebab pada pertunjukan makyong, yang mengindikasikan pemujaan terhadap penguasa tanah
(jembalang tanah)--namun telah diislamisasi dengan kata-kata seperti: "berkat La Ilaha Ilallah".
Begitu juga dengan Tari Gebuk, yaitu tari pengobatan penyakit yang dianggap sebagai
penyakit keturunan di daerah Serdang.
Unsur peradaban Hindu yang masuk ke dalam kehidupan masyarakat Melayu adalah
secara kesejarahan, sejak akhir abad ke-2 Masehi, yang dibawa oleh orang-orang India dan Asia
Tenggara. Yang paling utama membawa agama Hindu (Budha) ialah masyarakat Funan, yang
terdapat di Sungai Mekong (sekarang di Kamboja) mengadakan perdagangan secara maritim
dengan kerajaan di Sumatera pada abad ke-3 Masehi. Selanjutnya pada abad ke-5 dan ke-6
terdapat tulisan tentang kerajaan-kerajaan di Sumatera dan Jawa yang dijumpai di China (Hall
1968:12).
Referensi tentang kerajaan-keajaan Melayu, Langkasuka, dan Ligor, terdapat pula dalam
catatan-catatan berbahasa China. Pada abad pertama Masehi, ekonomi dan kebudayaan Melayu
berkembang di kawasan Utara yang disebut dengan daerah Semenanjung Malaysia. Mereka
telah mencapai tinkat peradaban yang tinggi. Kerajaan Langkasuka ditaklukkan dan dikuasai
oleh Rajendra Chola dari Coromandel India sekitar tahun 1025 (Sheppard 1972:9).
India dengan agama Hindu masuk ke dalam kehidupan etnik Melayu pada abad pertama
dan kedua Masehi, yang dibawa oleh para penyiar agamanya atau pedagangnya. Selanjutnya
pada bada ke-18, ketika Penang menjadi basis koloni Inggris di Semenanjung Malaya, daerah ini

3
\
tunduk ke Madras di India Selatan. Sehingga banyak pegawai dan serdadu Sepahi India yang
bekerja pada pemerintah Inggris bertugas di Penang dan Singapura (Luckman Sinar 1986:17).
Selain itu, terdapat pula lagu dan tari yang diolah dari budaya Hindu. India dengan
agama Hindu masuk ke dalam kehidupan etnik Melayu pada abad pertama dan kedua
Masehi, yang dibawa oleh para penyiar agamanya atau pedagang. Selanjutnya pada abad
kedelapan belas, ketika Penang menjadi basis koloni Inggeris di Semenanjung Melaka, daerah
ini tunduk ke Madras di India Selatan, sehingga banyak pegawai dan serdadu sepahi keturunan
India yang bekerja pada kerajaan Inggris yang bertugas di Penang dan Singapura (Sinar
1986:17).
Menurut Hall (1968:12) hubungan antara orang-orang India dengan orang-orang Asia
Tenggara telah lama terjadi, sejak zaman prasejarah. Daerah Asia Tenggara merupakan bagian
yang penting dari route perdagangan antara India dan China. Sumber-sumber kesejarahan dari
China menyebutkan bahwa masyarakat Melayu juga memainkan peran yang penting dan
menjadi pionir dalam hubungan perdagangan ini. Pelabuhan-pelabuhan di Asia Tenggara
merupakan pelabuhan yang baik untuk perdagangan antara India dan China dan sebagai
tempat persinggahan. Para pedagang atau pelayar dari Asia Tenggara selalu berkunjung ke
India, Srilangka, dan China untuk berdagang langsung.
Salah satu contoh genre musik dari budaya Hindu yang diserap etnik Melayu adalah musik
chalti, yaitu ensambel yang menggunakan harmonium, biola, dan tabla. Rentak chalti selalu
dibawakan olehorkesorkes Melayu sejak dasawarsa lima puluhan dipelopori oleh seniman serba
bisa Tan Sri P. Ramlee,2 dengan filmnya Juwita (1952) dan di Jakarta penyanyi Said Effendi3
dalam filmnya Serodja (1955). Selanjutnya pada dasawarsa enam dan ujuh puluhan abad ke-20,
musik ini dikembangkan oleh A. Chalik, Husin Bawafie, Hasnah Tahar, dan Elya Alwi Khadam,
dan kemudian diikuti oleh Rhoma Irama dan Elvi Sukaesih, dan lainnya yang membawakan
lagu Melayu rentak dangdut, yang berakar dari musik chalti.
Pada kesenian hadrah yang memakai konsep musik Islam, pengaruh India terdapat pada
penggunaan teksnya, yang memakai bahasa Hindustani, seperti yang dideskripsikan oleh
Nasuruddin di Perlis Semananjung Malaysia. Kesenian ini dalam beberapa lagu memakai
bahasa India seperti pada lagu Pari Melayang, Cempa Vella, dan Kutum Marogi. Dari keberadaan
ini, dapat dilaak bahwa kesenian Islam sebahagian datang melalui orang-orang India juga.
Unsur yang diadun lainnya adalah dari budaya Budha. Seperti sudah disebutkan
sebelumnya, kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara telah mengadakan kontak dengan masyarakat
Budha sekitar akhir abad kedua Masehi (Hall 1968:24 dan Sheppard 1972:56). Perdagangan
melalui laut terjadi pada abad ketiga Masehi. Kemudian pada abad kelima dan keenam
deskripsi tentang kerajaan-kerajaan di Sumatera dan Jawa telah dijumpai pada tulisan-tulisan
di China (Hall 1968:38, 40).
Adanya hubungan antara orang-orang Budha dengan orang Melayu dapat dilihat dari
tulisan penulis China yang beragama Budha I-Tsing, yang berkunjung dan menulis tentang
Sumatera tahun 671, 685, dan 689 Masehi (Blagden 1899:211-213 dan Hall 1968:42). Dalam
tulisannya, I-Tsing membicarakan tentang suatu negeri yang disebut dengan Mo-Lo-Yeu. Ia

2
P. Ramlee bernama Teuku Nyak Puteh saat lahir. Ayahnya seorang suku Aceh yang merantau ke Penang, Malaysia. P.
Ramlee berbakat dalam musik dan film. Dia belajar piano, biola, dan ukulele dengan seroang guru yang berkebangsaan Jepang,
selama pendudukan Jepang di Malaysia. Setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, P. Ramlee bermain drama keliling di Penang.
Tahun 1948, P. Ramlee ditawari oleh B.S. Rajhan, seorang sutradara keturunan India dari Singapura, untuk bernyanyi dalam
produksi sebuah film. Judul lagunya adalah Azizah (yang dipercayai masyarakat ramai sebagai nama kekasihnya), yang kemdian
mengangkat pupularitasnya sebagai seniman. Dari dasawarsa 1950-an sampai 1960-an, P. Ramlee menjadi penulis lagu dan
komposer paling terkenal di Malaysia. Setelah P. Ramlee wafat, pemerintah Malaysia mendirikan P. Ramlee Memorial untuk
mengenang jasa-jasanya di bidang seni (khususnya musik dan film). P. Ramlee juga dianugerahi gelar kehormatan Tan Sri. P.
Ramlee juga mendukung para pelatih dan pengarah tari Melayu untuk menemukan motif-motif tari tradisi Melayu dan motif-
motif tari baru, untuk dipergunakan pada produksi film-film Melayu. Dia dan kawan-kawanya sering mengunjungi kabaret untuk
menari. P. Ramlee percaya bahwa beberapa motif tari zapin yang dijumpai pada tari zapin nasional Malaysia, dihasilkan para
pengarah dari studio filmnya. Lebih jauh lihat Mohd Anis Md Nor (1990:168).
3
Said Effendi adalah putera Melayu (keturunan Arab) dari Sumatera Utara, yang berhasil membina karirnya sebagai pencipta
lagu dan penyanyi lagu-lagu popular Melayu. Lagu-lagu ciptaannya antara lain adalah: Bunga Serodja, Bunga Tanjung, dan Hanya
Nyanyian. Lagu-lagu ciptaannya ini sekarang dinyanyikan oleh penyanyi-penyanyi muda seperti: Edi Silitonga, Betharia Sonata,
Iis Dahlia, Iyeth Bustami, dan lain-lainnya.

4
\
tinggal di negeri ini selama dua bulan dalam perjalanannya dari India ke kerajaan Sriwijaya,
yaitu kerajaan nasional pertama letaknya di Sumatera Selatan. Kata Mo-Lo-Yeu dalam tulisan ini
dapat diidentifikasikan sebagai Melayu, yaitu suatu kerajaan yang berada di Jambi, di tepian
sungai Batanghari (Hall 1968:42).
Selanjutnya Sriwijaya merupakan negeri resmi yang memeluk agama Budha. Pada akhir
abad kesebelas kepemimpinan Sriwijaya berada di Palembang sampai Jambi (Melayu). Pada
akhir abad ketiga belas Melayu merupakan suatu negeri di Sumatera yang berdiri sendiri.
Pada saat kepemimpinan Adityawarman (raja kerajaan Pagaruyung Minangkabau), kerajaan
Melayu disatukan pada pertengahan abad keempat belas.
Bagian utara pantai Sumatera Timur dibagi kepada beberapa kerajaan yang bertipe Hindu
dan Budha, termasuk Panai (Tapanuli Selatan) dan Aru di Besitang (Sinar 1971:19). Kebanyakan
kerajaan di sini merupakan bagian dari kerajaan Sriwijaya, pada awal perkembangan Budha
di Sumatera. Kerajaan Aru dijumpai pada sumber-sumber sejarah berbahasa China sejak
tahun 1225.
Berbagai unsur Budha wujud pula dalam seni persembahan Melayu. Misalnya teater
menhora yang diperkirakan berasal dari Thailand, pada berbagai tarinya mengekspresikan
budaya Budha. Di Sumatera Timur, tari dan musik seperti Senandung China atau Inang China
juga mengadopsi unsur-unsur budaya Budha ini. Dalam musik unsur Budha (Asia Tenggara)
ini dapat dilihat dari penggunaan alat musik ching (simbal kecil dari Thailand). Begitu juga
tangga nada anhemitonik pentatonik (lima nada tanpa jarak setengah laras), atau lagu-lagu
Melayu yang bertangga nada pentatonik kreatif seperti pada lagu Senandung China, Inang China,
Mas Merah, Tudung Periuk, dan lainnya—namun dengan mengalami penyesuasian-penyesuaian
dengan cita rasa musik Melayu. Contoh penggunaan tangga nada penatonik dari dataran Asia
dan Asia Tenggara adalah pada cotoh berikut ini.

Notasi 4: Contoh Tangga Nada Pentatonik


dalam Kebudayaan Musik Melayu

Di Pesisir Timur Sumatera Utara, unsur-unsur musik Budha ini dapat dilihat dari materi
tangga yang dipergunakan pada serunai dengan menggunakan langkah-langkah ekuadistan
tujuh nada seperti pada umumnya musik di wilayah Asia Tenggara. Seperti musik yang
dipergunakan pada seni silat dan inai.
Dari semua pengaruh yang bertapak kuat dalam budaya Melayu adalah peradaban Islam.
Islam sendiri merupakan ajaran dalam bentuk wahyu Ilahi. Dalam keadaan sedemikian, ia
bukan budaya tetapi wahyu. Dalam bentuk aktivitas masyarakat Islam ia akan lahir sebagai
sebuah tamadun Islam, termasuk dalam budaya Melayu.
Para pedagang Arab telah aktif mengadakan hubungan perdagangan dengan orang-orang
di kepulauan Nusantara sejak belum lahir dan turunnya agama Islam (Legge 1964:44) dan juga
mungkin para nelayan Melayu telah mengadakan hubungan persahabatan dengan orang-
orang Arab sebelum datangnya agama Islam. Setelah lahirnya agama Islam di Timur Tengah,
agama ini menyebar secara luas di dunia, termasuk ke Gujarat dan daerah Barat Laut India.
Islam yang masuk ke Asia Tenggara diperkirakan melalui baik langsung dari orang-orang
Arab atau dari India. Masuknya Islam yang berdensitas padat ke Asia Tenggara yang tercatat
dalam sejarah adalah pada abad ketiga belas. Marco Polo mencatat bahwa tahun 1292 di
Sumatera Utara telah berdiri kerajaan Islam yang bernama Perlak (Hill 1963:8). Dalam abad-
abad ini Islam menyebar ke daerah lainnya. Pada awal abad kelima belas, kerajaan Aru di
pesisir timur Sumatera Utara merupakan suatu kerajaan yang rakyatnya sebagian besar
beragama Islam (Coedes 1968:235), sehingga Islam berpengaruh kuat sejak saat ini.
Bandar Melaka menjadi pusat perdagangan maritim, sekali gus sebagai pusat persebaran
agama Islam ke seluruh kepulauan di kawasan ini. Melaka merupakan bandar yang letaknya

5
\
strategis dan tidak memiliki saingan sehingga begitu maju (Sheppard 1972:14). Penguasa
Melaka menganut Islam pada awal dasawarsa abad kelima belas; sejak abad ini Melaka
menjadi pusat dan persebaran Islam ke seluruh Asia Tenggara (Hill 1963:213-214).
Di Pesisir Timur Sumatera Utara pada abad ke-15 dan ke-16 terdapat tiga kesultanan Islam
yang besar, yaitu: Langkat, Deli, dan Serdang—yang berada di kawasan bekas Kerajaan Aru
pada masa sebelumnya. Kesultanan ini merupakan kerajaan Islam yang penting di Sumatera.
Pada abad ke-16 dan ke-17, Aru menjadi rebutan antara Aceh dan Johor. Kerajaan Aru berada di
Deli Tua, berdiri abad ke-16. Sesudah tahun 1612, kerajaan ini lebih dikenal sebagai Kerajaan
Deli. Kemudian Serdang memisahkan diri dari Kesultanan Deli tahun 1720 (Sinar 1986:67).
Pada masa sekarang ini, mantera-mantera yang berciri khas animisme, yang dapat dilihat
melalui teksnya seperti memuja kayu, sungai, laut, atau hewan, telah diubah dengan teks yang
berciri kebudayaan Islam seperti menggunakan kata pembukaan Bismillahirrahmanirrahiim.
Selain itu, kata-kata yang mengandung unsur animisme itu dan sejenisnya, diganti dengan
sebutan Allah, Nabi Muhammad, Nabi Khaidir, Nabi Sulaiman, dan lainnya sesuai dengan
ajaran-ajaran dalam agama Islam.
Dengan keadaan seperti ini, dapatdikatakan telah terjadi penyesuaian budaya era animisme
dengan era Islam. Selanjutnya menjadi spesifikasi peralihan budaya Islam pada umumnya di
Nusantara.
Unsur-unsur kesenian Islam yang terdapat di dalam kebudayan Melayu Sumatera Utara,
antara lain adalah: zikir, bazanji, marhaban, rodat, ratib, hadrah, nasyid, irama padang pasir,
dan lainnya. Dalam kebudayaan musik, dapat dilihat dengan dipergunakannya alat-alat musik
khas budaya Islam, seperti: rebab, biola (melalui budaya Barat), gendang nobat, nafiri, serunai,
gambus, ‘ud, dan lain-lainnya.
Konsep musik Islam juga turut diserap oleh etnik Melayu di kawasan ini. Apalagi kosep
adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah turut mengabsahkan proses ini. Di kawasan
Islam di Timur Tengah dan sekitarnya, konsep-konsep dimensi ruang (modus) dalam musik,
dikenal dengan istilah maqam di Turki, datsgah di Persia, naghmah di Mesir, dan taba di Afrika
Utara. Sedangkan ide ritme dikenal denagn iqaat di Arab Timur, durub di Mesir, usul di Turki,
dan mazim di Maghribi.
Kita juga dapat melihat penyerapan unsur musik Islam dalam bentuk gaya-gaya ritmik
yang tak terikat ke dalam metrum, terutama dalam melodi-melodi pembuka musik Islam seperti
pada zapin dan nasyid. Di dalam musik Islam teknik demikian dikenal dengan sebutan avaz.
Setiap negeri Islam memunyai sejumlah pola ritme dalam teori dan praktik—tetapi pada
umumnya dari beberapa ketukan dasar (beat) sampai 50 ketukan dasar dalam satu siklusnya.
Dalam musik Islam, pola-pola ritme secara umum selalu ditulis dan dihubungkan dengan
gendang tamburin, dengan mempergunakan mnemonik atau onomatopeik dalam proses
belajarnya.
Seni membaca Al-Qur’an sendiri mengandung unsur-unsur musikal, walau pada
prinsipnya kegiatan membaca Al-Qur’an (termasuk azan dan iqamat), tidak dapat disamakan
dengan musik, dalam pemahaman Islam ia “lebih” dari pengertian musik secara konvensional.
Di Pesisir Timur Sumatera Utara konsep-konsep musik Islam dalam teori dan praktiknya
mereka serap dari budaya Islam lainnya. Hal ini merupakan penerapan dari konsep bahwa
sesama muslim di seluruh dunia adalah saudara.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, dapat dilihat beberapa maqam yang mereka serap
sebagai dasar pengembangan melodi musik-musik Islam, seperti: rast, bayai, husaini, hijaz, yaman
hijaz, sikahira, ushaq, sama’ani, nilwan, nahawan, dan lain-lain. Maqam-maqam inilah yang menjadi
dasar pengembangan melodi musik-musik Islam, seperti: nasyid, hadrah, marhaban, barzanji,
qasidah, dan sejenisnya. Teks lagu-lagunya umumnya berdasar kepada Kitab Al-Barzanji dan
karya-karya seniman Melayu di kawasan ini. Dalam setiap festival (pesta) budaya Melayu
berbagai seni musik Islam ini selalu dipertunjukkan.
Dalam konteks seni tari, Islam memberikan kontribusi ke dalam berbagai jenis tari,
seperti pada tari zapin. Dengan berbagai normanya seperti adanya gerak sembah atau salam,
gerak ragam-ragam (langkah belakang, siku keluang), anak ayam, anak ikan, buang anak, lompat kecil,
lompat tiung, pisau belanak, pecah, tahto, tahtim, dan lain-lainnya. Begitu juga dengan genre

6
\
hadrah, yang menggunakan gerak-gerak selepoh, senandung, ayun, sembah dan lainnya.
Berbagai unsur tari sufisme juga muncul dalam kebudayaan Melayu. Gerak-gerak simbolik
seperti alif, mim, ba, merupakan bagian dari tradisi sufi di kawasan ini. Dengan demikian,
kontinuiti dan perubahan tari Melayu menuruti perubahan internal dalam budaya Melayu
sendiri atau perubahan eksternal dari luar.

Notasi 5: Sistem Maqam (Tangga Nada) dan Ritme dari


Budaya Islam di Timur Tengah

Budaya Barat masuk ke dalam kehidupan etnik Melayu dengan densitas padat sejak
Portugis menaklukkan Melak tahun 1511. Sejak saat itu masyarakat Melayu mengadopsi
berbagai unsur kebudayaan Barat, seperti alat-alat musik: akordion, saksofon, drum trap set,
gitar akustik, ukulele, juga alat musik elektronik (keyboard, piano elektrik, gitar elektrik, biola
elektrik, dan lainnya). Budaya Barat ini, pada masa sekarang menjadi begitu kuat pengaruhnya
di seluruh dunia, terutama di bidang sains dan teknologi. Oleh karena itu, menjadi tantangan
tersendiri bagi masyarakat rumpun Melayu untuk menuntut ilmu dan teknologi Barat bagi
kemajuan budayanya.
Dengan uraian sedemikian rupa menjelaskan kepada kita bahwa tamadun musik Melayu
adalah hasil dari proses kesejarahan yang mendunia, artinya musik Melayu mengikuti
perkembangan zaman. Hal ini sesuai dengan konsep kontinuitas dan perubahan pada adat
melayu yakni adat yang teradat, bahwa adat Melayu mestilah mengikuti perkembangan zaman,
namu harus pula meneruskan secara tekal hal-hal yang asas dalam kebudayaan. Sejarah
musikal ini juga merupakan perekat keserumpunan masyarakat Melayu. Bahwa sebagai warga
Melayu kita memiliki sejunmlah besar persamaan dalam hal kebudayaan, termasuk pula
kebudayaan musik yang kita warisi dari zaman ke zaman, dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Dalam mencapai kontinuitas dan perubahan yang semula jadi (alamiah) dalam
budaya musik ini, yang perlu diperhatikan adalah bahwa kita perlu mempertahankan identitas
musik Melayu, seperti ide-ide musik dan kosmologis, musik dengan ruang, estetika cara
Melayu, pengkategorian musik dan seni lainnya secara etnoklasifikasi, dan lain-lainnya.

7
\
Tinjauan Struktural
Alat-alat Musik Melayu
Salah satu unsur struktur musikal yang paling kasat mata dan cepat dapat diurai adalah apa
yang disebut alat-alat musik. Alat-alat musik sebagai aretfak juga memberikan data bagaimana
kebudayaan musik itu dibangun oleh sebuah tamadun.
Berdasarkan sistem klasifikasi yang ditawarkan oleh Curt Sachs dan Eric M. Von Hornbostel
(1914), maka keseluruhan alat-alat musik Melayu Sumatera Utara dapat dikelompokkan ke
dalam klasifikasi: (1) idiofon, penggetar utamanya badannya sendiri; (2) membranofon,
penggetar utamanya membran; (3) kordofon, penggetar utamanya senar; dan (4) aerofon,
penggetar utamanya kolom udara (Hornbostel dan Sachs 1914).
Sebagai contoh, alam kebudayaan musik Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara, alat-alat
musik yang termasuk ke dalam klasifikasi idiofon adalah: tetawak, gong, canang, calempong,
ceracap (kesi), dan gambang. Alat-alat musik yang termasuk ke dalam klasifikasi membranofon
adalah: gendangd ronggeng,4 gendang rebana (hadrah, taar), kompang, gendang silat (gendang
dua muka), gedombak, tabla, dan baya. Alat-alat musik kordofon di antaranya adalah: ‘ud,
gambus, biola, dan rebab. Alat-alat musik aerofon di antaranya asalah: akordion, bangsi,
seruling, nafiri, dan puput batang padi.

Bagan 1
Klasifikasi Alat-alat Musik Melayu
Berdasarkan Sistem Klasifikasi Hornbostel dan Sachs

Dari keberadaan alat-alat musik yang dipergunakan, kita dapat melihat bahwa etnik
Melayu mempunyai alat-alat musik yang berciri khas dari alur utama kebudayannya dan juga
menyerap musik luar dengan tapisan budaya. Transformasi yang terjadi adalah untuk
pengkayaan khasanah. Keberadaan alat-alat musik tersebut juga mengalami proses kesejarahan.
Misalnya alat musik pra-Islam contohnya adalah gong, tetawak, dan gendang ronggeng.
Kemudian selepas masuknya Islam mereka juga menyerap alat-alat musik khas Islam seperti ‘ud
dan gedombak (darabuka). Kemudian dengan masuknya Portugis, Inggris, dan Belanda, mereka
menyerap alat musik akordion dan biola.5 Kemudian diteruskan dengan mengambil alat musik

4
Dalam konteks Dunia Melayu, alat musik gendang ronggeng ini memiliki penyebutan yang berbeda-beda. Di
Riau, Jambi, dan Palembang, alat musik ini disebut dengan gendang Medan, karena mereka banyak membeli gendang
ini dari Medan, buatan Yusuf Wibisono, Ahmad Setia, Syahrial Felani, Retno Ayumi, dan lainnya. Sementera di
Semenanjung Malaysia, alat musik gendang ronggeng ini lazim disebut dengan rebana. Dari semua tempat di
kawasan Dunia Melayu, gendang ronggeng buatan orang-orang dari Medan dianggap memiliki kualitas yang relatif
baik, dan disertai dengan ornamentasi yang khas pula.
5
Para penganut teori difusi di dalam etnomusikologi meyakini bahwa alat musik biola Barat berasal dari alat
musik spike fiddle muslim, yang secara umum disebut rebab. Kemudian menjadi bowed lute Eropa pada abad
pertengahan, yang disebut rebec sampai kemudian berkembang menjadi biola modern (violin). Kemudian kedua
\
saksofon, klarinet, trumpet, drum trap set, gitar akustik, gitar elektronik, dan yang terkini adalah
keyboard.
Walaupun mempergunakan alat musik dari budaya luar, namun struktur musiknya khas
garapan Melayu. Selain itu, musik dari luar ini dianggap menjadi bagian dari musik tradisi
Melayu. Dari keadaan ini tampaklah bahwa proses transformasi sosiobudaya musik mengikuti
sejarah budaya seperti yang telah diuraikan di atas.
Dengan bergulirnya waktu, maka teknologi elektronika dunia turut pula diserap oleh etnik
Melayu. Pada masa kini ensambel musik ronggeng, peranan musikalnya sering pula diganti
dalam bentuk band (orkes) dan kombo Melayu, dengan menggunakan alat-alat musik yang
berasal dari Barat. Pada pesta-pesta pernikahan, kalau pada mulanya disajikan musik dan tari
inai, silat, hadrah, marhaban, dan joget, kini telah digantikan secara “efektif” dengan keyboard
buatan Jepang, dengan berbagai merek (seperti KN Technic 1000, 2000, 6000). Alat musik ini
dapat menghasilkan berbagai jenis suara alat musik, membutuhkan hanya seorang pemain alat
musik. Berbagai lagu bisa diprogram dalam alat musik ini, melalui sistem MIDI atau sejenisnya.

Gambar 1: Rebab Melayu Gambar 2: Gendang Ronggeng

jenis alat musik yang memiliki asal-usul sama ini, sampai juga ke Dunia Melayu (Nusantara), tetapi melalui dua
peradaban yang berbeda—biola dari Eropa dan rebab dari Timur Tengah. Lebih jauh lihat Albert Seay (1975:75).
\

Ganbar 3: Taksonomi Gendang Melayu Gambar 4: Akordion

Gambar 5: Tetawak

Genre Budaya Musik Melayu


Dari tabel yang dibuat secara “ketat” oleh Goldsworthy (1979) ragam atau genre budaya
musikal etnik Melayu pesisir timur Sumatera Utara dikelompokkan ke dalam tiga masa, yaitu:
Pra-Islam, Islam, dan Pasca-Portugis. Jika dilihat secara seksama, klasifikasi ragam ini memiliki
beberapa kelemahan, misalnya: satu genre musik tidak sepenuhnya mencerminkan gaya masa
Pra-Islam, Islam, atau Pasca-Portugis. Bisa saja dua atau ketiganya berpadu dalam sebuah genre
musik tertentu. Misalnya pada lagu Pulau Sari, yaitu satu lagu yang dipergunakan untuk
mengiringi tari serampang dua belas dari Serdang, struktur musiknya memperlihatkan masa-masa
tersebut. Melodinya berciri pra-Islam dengan nada-nada mikrotonal dan tak terikat pada modus
tertentu, namun dalam penyajiannya dengan akordeon terdapat pula unsur nada-nada akord
yang lazim dipergunakan dalam musik Barat, namun harmoninya tidak disusun sebagaimana
layaknya peraturan harmoni musik Barat.
Selain itu kebudayaan musik ini tidak bersifat statis, yaitu sama dalam kurun waktu
tertentu. Tentu saja ia mengalami perkembangan-perkembangan sehinga tidak mungkin bagi
kita mengkalasifikasikan secara statis. Misalnya apakah ronggeng (joget) berasal dari masa
Portugis? Tentu kita dapat menjawabnya tidak statis pada masa Portugis ini timbulnya ragam
seni ronggeng atau joget Melayu, tetapi lagu-lagu yang dipergunakan seperti Gunung Sayang,
Pulau Sari, Jalak Lenteng, dan lainnya pada kesenian ini, berasal dari masa sebelum Portugis.
\
Ragam-ragam seni musik yang ada di kawasan Sumatera Utara adalah seperti yang diuraikan
berikut ini.
Adapun genre-genre musik yang terdapat dalam kebudayaan Melayu Pesisir Timur
Sumatera Utara, berdasarkan penelitian yang kami lakukan adalah seperti yang dideskripsikan
berikut ini. Dalam kebudayaan Melayu di Sumatera Utara terdapat genre lagu yang berkaitan
dengan anak. Di antaranya adalah Lagu Membuai Anak, yaitu nanyian yang dipergunakan untuk
menidurkan anak. Selain itu dikenal pula lagu Dodoi Sidodoi atau Dodoi Didodoi, yaitu lagu yang
juga untuk menidurkan anak. Di kawasan Asahan terdapat lagu Si La Lau Le yaitu lagu yang
digunakan untuk membuaikan anak. Kemudian ada juga lagu Timang yaitu lagu yang
digunakan untuk membuaikan anak. Seterusnya ada satu lagu lagu yang bertajuk Tamtambuku
yang digunakan untuk permainan anak.
Musik yang berkaitan dengan mengerjakan ladang. Musik ini contohnya adalah: Lagu
Dedeng Mulaka Ngerbah, yaitu nyanyian yang disajikan pada saat awal kali menebang hutan
untuk dijadikan lahan pertanian. Kemudian ada pula lagu yang bertajuk Dedeng Mulaka Nukal,
yaitu nyanyian yang disajikan pada saat menukal (melubangi dan mengisi lubang tanah dengan
padi), sebagai proses penanamn. Kedua jenis lagu tersebut secara umum dikenal pula dengan
istilah Dedeng Padang Rebah. Lagu-lagu ini terdapat di bahagian utara Pesisir Timur Sumatera
Utara, seperti di Langkat dan Deli.
Nyanyian hiburan sambil kerja (working song) atau dalam konteks bekerja juga terdapat
dalam kebudayaan Melayu. Musik seperti ini biasanya dilakukan dalam rangka bercocok tanam,
bekerja menyiangi gulma, menuai benih, mengirik padi, menumbuk padi, sampai menumbuk
emping. Begitu juga dengan nyanyian sambil bekerja di laut, yang dikenal dengan Sinandung
Nelayan atau Sinandung Si Air yang dijumpai di kawasan Asahan dan Labuhanbatu.
Musik yang berhubungan dengan memanen padi. Ragam ini terdiri dari Lagu Mengirik Padi
atau Ahoi, yaitu lagu dan tarian memanen padi—melepaskan gabah padi atau bertih padi dari
tangkainya dengan cara menginjak-injaknya. Posisi para penari biasanya membentuk
lingkaran.6 Kemudian ada pula Lagu Menumbuk Padi yaitu lagu yang disajikan pada saat
menumbuk padi—melepaskan kulit padi menjadi beras. Seterusnya adalah Lagu Menumbuk
Emping yaitu lagu yang dinanyikan pada saat memipihkan beras menjadi emping.
Musik yang memperlihatkan ekspresi masa animisme. Adapun contoh lagunya adalah
Dendang Ambil Madu Lebah yaitu lagu yang dipergunakan untuk mengambil madu lebah yang
dilakukan seorang pawang madu lebah. Contoh lainnya adalah Lagu Memanggil Angin atau
Sinandong Nelayan kadang disebut pula Senandung atau Nandung saja, yaitu lagu yang
dinyanyikan oleh nelayan untuk memanggil angin agar menghembus layar perahu
(sampannya). Lagu ini yang terkenal adalah Senandung Asahan, senandung Bilah, Senandung
Panai, dan Senandung Kualuh. Contoh genre ini adalah Lagu Lukah Menari, yaitu lagu untuk
mengiringi nelayan menjala ikan. Berikutnya adalah Lagu Puaka, yaitu lagu yang dinyanyikan
pada upacara yang bersifat animistik, memuja roh-roh ghaib. Bagaimanapun lagu ini dilarang
oleh alim-ulama Islam, sehingga lagu ini saat sekarang tinggal tersisa bagi mereka-mereka yang
mengamalkannya saja.
Nyanyian naratif, yaitu nyanyian yang sifatnya bercerita. Contohnya adalah Lagu Hikayat,
yaitu nyanyian tentang cerita rakyat, sejarah, dan mite. Contoh lainnya adalah Syair dengan
berbagai judul, yang terkenal adalah Syair Puteri Hijau tulisan A. Rahman tahun 1959.
Musik hiburan, yang terdiri dari Lagu Dedeng yaitu lagu solo tanpa iringan alat musik untuk
hiburan pdaa pesta perkawinan atau panen. Kemudian adalah Lagu Gambang, yang dibawakan
secara solo oleh pemain gambang (xilofon) yang terbuat dari kayu. Lagu lainnya adalah Musik
Tari Pencak Silat yaitu musik yang dipergunakan untuk mengiringi tari pencak silat, yang
gerakannya diambil dari pencak silat, gerakan-gerakan mempertahankan diri dari serangan
musuh. Kemudian lagu pendukung genre ini adalah Musik Tari Piring atau Musik Tari Lilin atau
Musik Tari Inai, yaitu musik yang dipakai untuk mengiringi Tari Piring, Tari Lilin, atau Tari Inai.

6
Di Semenanjung Malaysia, seperti di Kedah dan Perlis, tari sejenis Ahoi ini disebut dengan Tari Lerai Padi,
yang tujuan dan struktur persembahannya mendekati seni Ahoi dari Sumatera Utara ini. Di Sumatera Utara, tarian ini
dijumpai di kawasan utara budaya Melayu, terutama wilayah budaya Langkat.

11
\
Genre musik lainnya adalah yang kuat mengekspresikan ajaran-ajaran Islam, yang dapat
dirinci lagi sebagai berikut. Yang khusus merupakan kegiatan keagamaan Islam dan dipandang
lebih dari sekedar musik adalah azan, yaitu merupakan seruan untuk sembahyang. Kemudian
takbir, yaitu nyanyian pujian kepada Allah pada hari raya Idul Fitri atau Idul Adha. Ada juga
lagu dan musik rakyat Islam, di antaranya adalah qasidah, yaitu nyanyian solo tanpa iringan
musik, menggunakan teks-teks agama seperti dari Kitab Al-Barzanji. Ada pula marhaban, yaitu
nyanyian paduan suara yang menggunakan teks-teks keagamaan seperti dari Kitab Al-Barzanji.
Kemudian ada pula lagu Kur Semangat yaitu nyanyian yang bersifat religius tanpa diiringi oleh
alat musik. Selanjutnya ada barodah yaitu nyanyian yang menggunakan teks keagaman dan
umumnya diiringi oleh alat musik. Selain itu ada hadrah, yaitu nyanyian sekelompok pria yang
disajikan dengan teknik responsorial atau antifonal, mempergunakan teks-teks religius dengan
iringan alat musik rebana berbentuk frame disertai dengan tarian. Selanjutnya ada genre gambus
atau zapin adalah nyanyian dan tarian tentang moral atau religius yang disajikan secara solo,
diiringi oleh suatu ensambel gendang marwas dan alat musik gambus disertai oleh tarian yang
mengutamakan gerakan kaki. Genre lainnya kelompok ini adalah dabus, yaitu nyanyian tarian
trance (seluk) untuk memperlihatkan kekebalan tubuh terhadap benda tajam seperti dari besi
karena ridha Allah. Diiringi oleh gendang berbentuk frame dan penyanyi solo atau
berkelompok.
Hubungan antara rakyat yang diperintah dan golongan yang memerintah juga terekspresi
dalam seni musik. Nobat adalah musik yang menjadi lambang kebesaran negara, dan ada
hubungannya dengan struktur sosial. Secara etnomusikologis, nobat diperkirakan berasal
daripada Persia. Perkataan nobat berasal dari akar kata naba (pertabalan), naubat bererti sembilan
alat musik. Kata ini kemudian diserap menjadi salah satu upacara penobatan raja-raja Melayu.
Nobat yang dipercayai berdaulat telah diinstitusikan sejak zaman Kesultanan Melayu Melaka
pada abad kelima belas. Ensambel musik ini dapat memainkan berbagai jenis lagu dan orang
yang memainkannya dihidupi oleh kerajaan dan disebut dengan orang kalur (kalau). Alat-alat
musik nobat dipercayai mempunyai daya magis tertentu, dan tak semua orang dapat
menyentuhnya. Nobat menjadi musik istiadat di istana-istana Pattani, Melaka, Kedah, Perak,
Johor, Selangor, Terengganu, Deli, dan Serdang Sumatera Utara. Alat-alat musik nobat yang
menjadi asas adalah: gendang, nafiri, dan gong. Namun, serunai, nobat besar dan kecil, dan gendang
nekara juga dipergunakan.
Pada masa sekarang ini, sebahagaian warga etnik Melayu menyadari perlunya
mengembangkan musik-musik Islam sebagai salah satu jati dirinya. Upaya-upaya pemeliharaan
dan pengembangan musik Islam di Sumatrera Utara dilakukan oleh setiap warga muslim yang
secara organisasi tergabung dalam Perhimpunan Seni Budaya Islam (PSBI). Medan sendiri
banyak melahirkan pemusik-pemusik Islam. Di antaranya adalah: Ahmad Baqi, Mukhlis, A.
Chalik, Said Effendi, Ahmad C.B., Umar Asseran, Husin Bawafie, dan Hajjah Nurasiah Jamil.
Musik mereka ini selanjutnya meluas secara nasional, bahkan sampai ke negeri-negeri jiran
seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Ciri khas musik Melayu turut mewarnai
musik-musik Islam, seperti penggunaan sajak, puisi, bahasa Melayu, rentak musik dan tari
Melayu, dan lainnya—yang digabungkan dengan ide-ide musik Timur Tengah, India, dan Barat
dengan sintesis yang baik sekali. Akulturasi terjadi secara alami. Dengan demikian tata cara,
norma, dan sistem estetika Melayu tetap diperunakan dalam proses pembentukan musik Islam
di Sumatera Utara.
Selain itu, di dalam budaya Melayu Sumatera Utara dikenal pula ensambel makyong yang
mengiringi teater makyong. Alat-alat musik yang dipergunakan adalah rebab, gendang anak,
gendang ibu, gong ibu, gong anak, dan serunai. Dalam persembahannya, makyong mempergunakan
unsur-unsur ritual. Teater ini memiliki lebih dari 100 cerita dan 64 jenis alat musik, dan 20 lagu.
Di antara lagu-lagu makyong yang terkenal adalah Pak Yong Muda, Kijang Mas, Sedayung, Buluh
Seruan, Cagok Manis, Pandan Wangi dan lainnya.
Pada genre hadrah, marhaban, zikir, tampak pengaruh yang diserap dari Timur Tengah. Pada
genre-genre ini aspek ajaran-ajaran agama Islam muncul. Biasanya alat musik yang menjalani
asasnya adalah jenis rebana. Genre musik seperti ini memainkan peran penting dalam berbagai
aktivitas sosial seperti upacara perkawinan dan khitanan, dan khatam Al-Quran.

12
\
Genre musik lainnya adalah ronggeng atau joget. Musik ini adalah hasil akulturasi antara
musik Portugis dengan musik Melayu. Musik ronggeng terdapat di kawasan yang luas di Dunia
Melayu. Genre musik dan tari ronggeng adalah seni pertunjukan hiburan yang melibatkan
penonton yang menari bersama ronggeng yang dibayar melalui kupon atau tiket dengan harga
tertentu. Tari dan musik ronggeng termasuk ke dalam tari sosial yang lebih banyak melibatkan
perkenalan antara berbagai bangsa. Di dalam seni ronggeng juga terdapat unsur berbagai budaya
menjadi satu. Hingga sekarang seni ini tumbuh dan berkembang dengan dukungan yang kuat
oleh masyarakat Melayu, walau awalnya dipandang rendah.
Musik Barat populer sejak etnik Melayu dengan budaya Barat sejak awal abad keenam
belas. Etnik Melayu menyerap genre-genre musik dan tari seperti: fokstrot, rumba, tanggo, mambo,
samba, beguin, hawaian, wals, suing, blues, bolero, dan sebagainya. Rentak jazz dan swing juga
sangat populer dalam lagu-lagu Melayu.

Notasi 6: Lagu Bismillah Mula-Mula dari Genre Hadrah

Dikaji dari aspek historis, maka musik Melayu Sumatera Utara dapat diklasifikasikan
kepada masa-masa: Pra Islam; Islam, dan Globalisasi. Untuk masa Pra-Islam terdiri dari masa:
animisme, Hindu, dan Budha. Masa Pra-Islam yang terdiri dari lagu anak-anak: lagu membuai
anak atau Dodo Sidodoi; Si La Lau Le; dan lagu Timang. Lagu permainan anak yang terkenal
Tamtambuku. Musik yang berhubungan dengan mengerjakan ladang terdiri dari: Dedeng Mulaka
Ngerbah, Dedeng Mulaka Nukal dan Dedeng Padang Rebah. Musik yang berhubungan dengan
memanen padi; lagu Mengirik Padi atau Ahoi, Lagu Menumbuk Padi, dan Lagu Menumbuk Emping.
Musik yang bersifat animisme terdiri dari: Dedeng Ambil Madu Lebah (nyanyian pawang
mengambil madu lebah secara ritual), Lagu Memanggil Angin atau Sinandong Nelayan (nyanyian
\
nelayan ketika mengalami mati angin di tengah lautan), Lagu Lukah Menari (mengiringi nelayan
menjala ikan), dan Lagu Puaka (lagu memuja penguasa ghaib tetapi pada masa sekarang telah
diislamisasi). Selain itu dijumpai juga lagu-lagu hikayat, yang umum disebut syair. Terdapat juga
musik hiburan: dedeng, gambang, musik pengiring silat, musik tari piring/lilin/inai.
Pada masa Islam, “musik-musik” pada masa ini di antaranya adalah azan (seruan untuk
shalat), takbir (nyanyian keagamaan yang dipertunjukkan pada saat Idul Fitri dan idhul Adha),
qasidah (musik pujian kepada Nabi), marhaban dan barzanji (musik yang teksnya berdasar kepada
Kitab Al-Barzanji karangan Syekh Ahmad Al-Barzanji abad kelima belas). Di samping itu
dijumpai pula barodah (seni nyanyian diiringi gendang rebana dalam bentuk pujian kepada
Nabi), hadrah (seni musik dan tari sebagai salah satu seni dakwah Islam, awalnya adalah seni
kaum sufi), gambus/zapin (musik dan tari dalam irama zapin yang selalu dipergunakan dalam
acara perkawinan), dabus (musik dan tari yang memperlihatkan kekebalan penari atau pemain
dabus terhadap benda-benda tajam atas ridha Allah), dan sya'ir (nyanyian yang berdasar kepada
konsep syair yaitu teks puisi keagamaan) dan lain-lain.

Notasi 7: Lagu Bunga Tanjung dengan Rentak Senandung

Pada masa pengaruh Barat terdapat musik dondang sayang (musik dalam tempo asli,
biramanya 8, iramanya lambat yang awalnya adalah untuk menidurkan anak, dan kemudian
menjadi satu genre yang terkenal terutama di Melaka), ronggeng dan joget (tari dan musik sosial
yang mengadopsi berbagai unsur tari dan musik dunia, dengan rentak inang, joget, dan asli), pop
Melayu (yaitu lagu-lagu Melayu yang digarap berdasarkan gaya musik kontemporer Barat).
\
Pengaruh Barat ini dapat dilihat dengan dibentuknya kumpulan-kumpulan kombo atau band
yang terkenal di antaranya band Serdang dan Langkat di Sumatera Timur.
Dengan demikian, genre musik Melayu sebenarnya adalah mencerminkan aspek-aspek
inovasi seniman dan masyarakat Melayu ditambah dengan akulturasi secara kreatif dengan
budaya-budaya yang datang dari luar. Masyarakat Melayu sangat menghargai aspek-aspek
universal (seperti yang dianjurkan dalam Islam), dalam mengisi kehidupannya. Demikian
sekilas budaya lagu dan musik Melayu Sumatera Utara dan selanjutnya kita lihat bagaimana
budaya tari Melayu di kawasan tersebut.

Notasi 8: Lagu Membuai Anak dengan Meter Bebas

Rentak
Salah satu aspek komunikasi bukan lisan dalam seni pertunjukan Melayu adalah dengan
menggunakan rentak-rentak, yaitu jalinan not dengan durasi sedemikian rupa dan membentuk
pola ritme. Adapun rentak-rentak dalam seni pertunjukan Melayu di antaranya ialah: asli, inang,
lagu dua (joget), zapin, ghazal, hadrah, dan lainnya. Rentak ini juga berkaitan erat dengan ekspresi
emosi, misalnya rasa gembira diekspresikan oleh rentak joget atau lagu dua. Rasa sedih
diekspresikan menerusi rentak asli atau senandung. Selain itu, selari dengan perkembangan
zaman, masyarakat Melayu juga mengadopsi secara akulturatif berbagai rentak musik dunia,
namun dengan pertimbangan matang dan sistem tapisan yang baik, agar budaya rentak musik
dunia itu sesuai dan sepadan dengan budaya Melayu. Contoh rentak yang mereka adopsi
adalah chacha, rumba, beguin, wals, reggae dan lainnya dari budaya tari dan musik Barat.
Berikut ini adalah beberapa contoh rentak dalam musik dan tari Melayu yang lazim digunakan.
\
Notasi 9: Siklus (Perputaran) Pola Ritme Rentak Senandung

Bagan 2: Meter Pola Ritme Rentak Senandung

Notasi 10: Pola Dasar Ritme Rentak Mak Inang

Notasi 11: Kombinasi Tangan Kiri dan Tangan Kanan


pada Pola Rentak Mak Inang

Keterangan: kn: kanan (tangan kanan), kr: kiri (tangan kiri)

Tabel 1: Kombinasi Onomatopeik dalam Pola Ritme


Rentak Lagu Dua
\
Kesimpulan
Dari uraian di tas tergambar dengan jelas bahwa musik Melayu di Alam Melayu
memikliki sejarah yang sama, yakni mulai di era animisme dan dinamisme yakni sejak adanya
manusia Melayu di kawasan ini sampai datangnya kebudayaan Hindu dan Budha abad pertame
Masehi. Kemudian Hindu dan Budha ini eksis dari abad pertama samapi ke-13, yang dintandai
dengan artefak-artefak khas Asia Selatan dan Daratan Asia. Di dalam struktur musiknya juga
terdapat konsep-konsep raga dan tala serta pentatonik khas Assia.
Dari semua pengaruh luar Islam emmainkan peran paling utama dalam budaya musik
Melayu. Peran ini dimulai dari sisi ideologis Islam, yakni semuanya dalam rangka
mentauhidkan Allah yang Ahad. Kosmologi dalam musik juga mengekspresikan hal ini, seperti
yang terdapat dalam konsep lembut menyahdu, patah, lagu, cengkok, gerenek, mersik, dan lain-
lainnya. Secara kuantitatif unsur Islam dalam Melayu juga memegang peranan utama.
Sebahagian besar musik Melayu pada masa sekarang ini adalah mengnadung roh dan intikad
Islam. Semua kegiatan musik sedapat mungkin dimuatkan nilai-nilai Islam ke dalamnya.
Pengaruh budaya Barat terutama dalam budaya populer dan global masuk juga ke dalam
kehidupan musik Melayu, tetapi tetap diubahsuai dengan gaya akulturasi masyarakat Dunia
Melayu.
Dari sisi struktural memperlihatkan pula bahwa proses yang terjadi adalah mengkuti
berbagai kebijaksanaan umat Melayu. Antaranya aadalah: (a) mempertahankan struktur dan
estetika tradisinya, (b) melakukan pengelolaan akulturasi secara bijaksana, (c) menetapklan
musik dalam konteksnya secara fungsional, (d) memiliki aturan-aturan baku dalam
pertunjukabnnya, (e) struktur mengungkapkan makna dan kearifan masyarakatnya.

Daftarr Pustaka untuk Memperdalam Kajian


Anderson, John, 1971. Mission to the East Coast of Sumatra in 1823. Singapura: Oxford University Press.
A. Rahim Noor dan Salin A.Z.,1984. Sembilan Wajib Tari Melayu. (t.p.)
Beg, M.A.J., 1980. Islamic and the Western Concept of Civilization. Kuala Lumpur: Universiti Malaya Press.
Blagden, C.O., 1899. "The Name Melayu", Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society.
Blink, 1918. Sumatra’s Oostkust: In Here Opkomst en Ontwikkelings Als Economisch Gewest. S’Gravenhage: Mouton &
Co.
Broersma, R., 1919. De Ontlinking van Deli, Deel I, Batavia: De Javasche Boekhandel & Drukkerij.
Castles, Lance. 1972. The Political Life of A Sumatra Resiency: Tapanuli 1915-1940. Yale: Yale University (Disertasi
Doktoral).
Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society.
Crawfurd, J. 1820. History of the Indian Archipelago. Edinburg: Archibald Constable and Co.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.), 1995. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, London, dan
New Delhi: Sage Publications.
Elvy Syahrani. 2007. 9 Wajib Tari Melayu: Tinjauan dari Sisi Kesejarahan. Medan: Universitas Negeri Medan (Skripsi
dalam Meraih Gelar Sarjana Pendidikan).
Encyclopedia Brittanica (versi elektronik). 2007. London: Encyclopedia Brittanica.
Fadlin, 1988. Studi Deskriptif Konstruksi dan Dasar-dasar Pola Ritem Gendang Melayu Sumatera Timur. Medan: Jurusan
Etnomusikologi (Skripsi Sarjana).
Garraghan, Gilbert J., S.J., 1957. A Guide o Historical Method. New York: Fordam University Press.
Goldsworthy, David J., 1979. Melayu Music of North Sumatra: Continuities and Changes. Sydney: Monash University
(Disertasi Doktoral).
Gullick, J.M., 1972. Sistem Politik Bumi Putera Tanah Melayu Barat. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Guru Sauti, t.t., “Tari Melayu (Dari Daerah Sumaera Timur).” Medan.
Guru Sauti, 1956. “Tari Pergaulan” dalam Buku Kenang-kenangan Kongres II Lembaga Kebudayaan Melayu di Medan, 4
Februari. Medan: Hasmar.
Halewijn, M., t.t., “Borneo, Eenige Reizen in de Binnenlanden van Dit Eiland, Door Eenen Ambtenaar an Het
Goverment, in Het Jaar 1894,” Tijdschrift voor Nederlands Indië, Le Jaargang.
Hall, D.G.E., 1968, A History of South-East Asia, St. Martin's Press, New York. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia,
D.G.E. Hall, 1988. Sejarah Asia Tenggara (diterjemahkan oleh I.P. Soewasha dan terjemahan disunting oleh M.
Habib Mustopo). Surabaya: Usaha Nasional.
Hamzah Daud. 1974. “Perkembangan Musik Pop Hingga Sekarang.” Kertas kerja Seminar Muzik Nasional, 3
November.
Hamzah Ismail . 1975/76. Tinjauan Beberapa Aspek tentang Permainan Silat Melayu di Kelantan. Kuala Lumpur: Latihan
Ilmiah LBKM, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Hariyanto, 1992. Lagu Pulau Sari dalam Konteks Tari Serampang Dua Belas: Analisis Penyajian Gaya Melodi Tiga Pemusik
Akordion di Deli Serdang. Medan: (Skripsi Sarjana Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas
Sumatera Utara).

17
\
Harun Mat Piah, 1989. Puisi Melayu Tradisional: Suatu Pembicaraan Genre dan Fungsi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka
Hasan A. 1962. Al-Furqan (Tafsir Qur’an). Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.
Hasan M. Hambari, 1980. “Peranan Beberapa Bandar Utama di Sumatera Abad Ke-7 sampai 16 M dalam Jalur
Darat Melalui Lautan,” dalam Saraswati. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Hawkes, Terence, 1977. Structuralism and Semiotics. Berkeley and Los Angeles: University of California Press.
Hill, A.H., 1963. “The Coming of Islam to North Sumatra,” Journal of Southeast Asian History, 4(1).
Holt, Claire, 1967. Art in Indonesia: Continuities amd Changes. New York: Cornell University Press.
Howell, W., 1923. The Pacific Islanders. London: Weidenfeld and Nicolson.
Hutington, Samuel P.,1996. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: Simon & Schuster.
Holt, Claire, 1967. Art in Indonesia: Continuities and Changes. Ne York: Cornell University Press.
Ibrahim Alfian, 1993. “Tentang Metodologi Sejarah” dalam Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Jose Rizal Firdaus, 2006. “Teknik Tari Serampang 12 Karya Guru Sauti. Makalah pada Seminar Internasional Tari
Serampang Dua Belas di Medan, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Medan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Balai Pustaka.
Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) [versi elektronik]. Disebut juga KUBI Luring (Luar Jaringan). Jakarta.
Ku Zam Zam, 1980. Muzik Tradisional Melayu Kedah Utara: Ensembel-ensembel Wayang Kulit, Mek Mulung dan Gendang
Keling dengan Tumpuan kepada Alat-alat, Pemuzik-pemuzik dan Fungsi. Kuala Lumpur: Jabatan Pengajian
Melayu, Universiti Malaya (Skripsi Sarjana).
Langenberg, Michael van, 1976. National Revolution in North Sumatra: Sumatra Timur and Tapanuli 1942-1950. Sydney:
University of Sidney (Disertasi Doktor Filsafat).
Legge, J.D., 1964. Indonesia. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.
Lomax, 1968. Folksong Styles and Culture. New Brunswick, New Jersey: Transaction Book.
Malm, William P., 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs;
serta terJemahannya dalam bahasa Indonesia, William P. Malm, 1993. Kebudayaan Musik Pasiflk, Timur Tengah,
dan Asia, dialihbahasakan oleh Muhammad Takari, Medan: Universitas Sumatera Utara Press.
Matusky, Patricia An dan Tan Soi Beng, 2004. The Music of Malysia: The Classical, Folk, and Syncretic Traditions. Kuala
Lumpur.
Merriam, Alan P., 1964. The Anthropology of Music. Chicago: North Western University Press.
Mohd Anis Md Nor, 1990. The Zafin Melayu Dance of Johor: From Village to A National Performance Tradition. disertasi
doctoral. Michigan: The University of Michigan.
Mohd Anis Md Nor, 1994. “Continuity and Change: Malay Folk Dances of the Pre-Second World War Period.” Sarjana.
Kuala Lumpur: University Malaya.
Mohd Anis Md Nor, 1995. “Lenggang dan Liuk dalam Tari Pergaulan Melayu,” Tirai Panggung, jilid 1, nombor 1.
Mohd. Ghouse Nasuruddin, 1977. Musik Melayu Tradisi. Selangor, Malavsia: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka.
Mohd. Ghouse Nasaruddin, 1994. Tarian Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Mohd. Ghouse Nasaruddin, 2000. Teater Tradisional Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Mohd. Zain Hj. Hamzah, 1961 Pengolahan Muzik dan Tari Melayu. Singapura: Dewan Bahasa dan Kebudayaan
Kebangsaan.
Muhammad Suhaimi bin Haji Ismail Awae, 2007. “Peradaban Islam dalam Konteks Masyarakat Thai: Satu Analisis
Berasaskan YAKIS.” Makalah pada Seminar Kebudayaan Wahana Keamanan, di C.S. Pattani Hotel.
Muhammad Takari, 1998. Ronggeng Melayu Sumatera Utara: Sejarah, Fungsi dan Strukturnya. tesis S-2. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.Muhammad Takari dan Heristina Dewi, 2008, Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera
Utara. Medan: Universitas Sumatera Utara Press.
Muhammad Takari dan Fadlin, 2009. Sastra Melayu Sumatera Utara. Medan: Bartong Jaya.
Muhammad Said, 1973. "What was the 'Social Revolution' of 1946 in East Sumatra?” terjemahan Benedict Anderson
dan T. Siagian. Indonesia. nomor 15, Cornell Modern Indonesia Project.
Nurwani. 2003. Serampang Dua Belas: Tari Kreasi yang Mentradisi pada Masyarakat Melayu Pesisir Sumatera Timur.
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada (Tesis untuk Mencapai Gelar Magister dalam Bidang Pengkajian Seni
Pertunjukan).
Orang Kaya Zubaidi, 2006. “Serampang Dua Belas: Sejarah Tari Serampang Dua Belas Ciptaan O.K. Adram pada
Tahun 1941.” Medan: Makalah pada Seminar Internasional Tari Serampang Dua Belas yang Diselenggarakan oleh
Dewan Kesenian Medan.
Pelzer, Karl J., 1978. Planters and Peasant Colonial Policy and the Agrarian Struggle in East Sumatra 1863-1847.
s’Gravenhage: Martinus Nijhoff. Juga terjemahannya dalam bahasa Indonesia, Karl J. Pelzer, 1985. Toean
Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria 1863-1947. Terjemahan J. Rumbo. Jakarta: Sinar
Harapan.
Rahmad Martuah, 2003. Himpunan Seni dan Budaya Sri Indera Ratu: Sebuah Kajain mengenai Kontinuitas dan Perubahan
dalam Keorganisasian dan Pertunjukan. Medan: Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera
Utara (Skripsi Sarjana Seni).
Ratna, 1990. Birokrasi Kerajaan Melayu Sumatera Timur di Abad XIX. Tesis S-2. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Reid, Anthony (ed.), 2010. Sumatera Tempo Doeloe, dari Marco Polo sampai Tan Malaka. Jakarta: Komunitas Bambu.
Royce, Anya Paterson, 2002. The Anthropology of Dance. Bloomington: Princeton Book Co Pub.
Sachs, Curt dan Eric M. von Hornbostel, 1914. “Systematik der Musikinstrumente.” Zeitschrift für Ethnologie. Berlin:
Jahr. Juga terjemahannya dalam bahasa Inggeris, Curt Sachs dan Eric M. von Hornbostel, 1992. “Classification

18
\
of Musical Instruments.” Terjemahan Anthony Baines dan Klaus P. Wachsmann. Ethnomusicology: An
Inroduction. Helen Myers (ed.). New York: The Macmillan Press.
Sachs, Curt, 1963. World History of the Dance. California: University of California.
Sachs, Curt. 1993. World History of The Dance. New York: The Norton Library.
Sauti, Guru, 1956. “Tari Pergaulan.” Buku Kenang-kenangan Kongres II Lembaga Kebudayaan Melayu di Medan. 4
Februari. Medan: Hasmar.
Sheppard, Mubin, 1972. Taman Indera: Malay Decorative Arts and Pastimes. Singapura: Oxford University Press.
Som Said. 2011. Step By Step To Malay Dance. Singapore: Sri Warisan.
Tenas Effendy, 2000. Pemimpin dalam Ungkapan Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Tenas Effendy, 2004. Tunjuk Ajar Melayu: Butir-butir Budaya Melayu Riau. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan
Budaya Melayu dan Penerbit Adicita.
Tengku Haji Abdul Hayat, 1937. Perajaan Oelang Tahoen Keradjaan Deli. Medan: Kesultanan Deli.
Tengku Lah Husni, 1975. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Pesisir Sumatera Timur 1612-1950. Medan: B.P.
Lah Husni.
Tengku Lah Husni, 1985. “Keserasian Sosial dalam Kearifan Tradisional Masyarakat Melayu.” Makalah Seminar
Keserasian Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan, di Medan.
Tengku Lah Husni, 1986. Butir-butir Adat Budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Tengku Luckman Sinar, 1971. Sari Sejarah Serdang. Medan: t.p.
Tengku Luckman Sinar, 1985. "Keserasian Sosial dalam Kearifan Tradisional Masyarakat Melayu." Makalah
Seminar Keserasian Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan, Medan.
Tengku Luckman Sinar, 1986a. “Perkembangan Sejarah Musik dan Tari Melayu dan Usaha Pelestariannya.” Makalah
dalam Seminar Budaya Melayu Indonesia, di Stabat, Langkat, 1986.
Tengku Lukman Sinar, 1986b. “Sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur”, dalam Masyarakat Melayu Riau dan
kebudayaannya, Budi Santoso et.al (eds). Pekanbaru: Pemerintah Propinsi Riau.
Tengku Luckman Sinar, 1988. Sejarah Deli Serdang. Lubuk Pakam: Badan Penerbit Pemerintah Daerah Tingkat II Deli
Serdang.
Tengku Luckman Sinar, 1990. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu. Medan: Perwira.
Tengku Luckman Sinar, 1991. Sejarah Medan Tempo Doeloe. Medan: Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia.
Tengku Luckman Sinar, 1994. Jatidiri Melayu. Medan: Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia.
Volker, T., 1928. Van Oerbosch tot Culturgebied. Medan: De Deli Planters Vereeniging.
Wan Abdul Kadir, 1988. Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Bandaran. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.
Wee, Vivienne, 1985. Melayu: Heirarchies of Being in Riau. Disertasi doktor falsafah. Canberra: The Australian National
University.
Zainal Abidin Borhan, 2004. “Pandangan dan Visi Pertubuhan Bukan Kerajaan terhadap Permasalahan Bangsa dan
Kebudayaan Melayu Mutakhir.” 10-13 September, sempena Kongres Kebudayaan Melayu di Johor Bahru.
Zaleha Abu Hasan, 1996. Mak Yong sebagai Wahana Komunikasi Melayu: Satu Analisis Pesan. Tesis sarjana Fakulti Sains
Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur.

Tentang Penulis

Muhammad Takari, dosen Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, lahir pada


tanggal 21 Disember 1965 di Labuhanbatu. Menamatkan Sekolah Dasar,
Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas di Labuhanbatu.
Tahun 1990 menamatkan studi sarjana seninya di Jurusan Etnomusikologi
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya tahun 1998
menamatkan studi magister humaniora pada Program Pengkajian Seni
Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tahun 2009
menyelesaikan studi S-3 Pengajian Media (Komunikasi) di Universiti Malaya, Malaysia. Aktif
sebagai dosen, peneliti, penulis di berbagai media dan jurnal dalam dan luar negeri. Juga sebagai
seniman khususnya musik Sumatera Utara, dalam rangka kunjungan budaya dan seni ke luar
negeri. Kini juga sebagai Ketua Prodi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara. Kantor: Jalan Universitas No. 19 Medan, 20155,
telefon/fax.: (061)8215956. Rumah: Jln. Amal Luhur, Kompleks TII No. 4, Helvetia, Medan. E-
mail: mtakari@yahoo.com.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai