Anda di halaman 1dari 125

Musik Tradisional Minangkabau

Ediwar, S.Sn., M.Hum., Ph.D


Dr. Rosta Minawati, S.Sn., M.Si
Dr. Febri Yulika, M.Hum
Drs. Hanefi, M.Pd
Musik Tradisional Minangkabau
Penulis : Ediwar, S.Sn., M.Hum., Ph.D,
Dr. Rosta Minawati, S.Sn., M.Si
Dr. Febri Yulika, M.Hum
Drs. Hanefi, M.Pd

Design Cover dan Tata Letak : Elin & Gun

Penerbit
GRE PUBLISHING
Jln. Magelang Km. 3
Gang Margo Agung Karangwaru Lor TR II/417C
Yogyakarta – 55241
http://grepublishing.com

Cetakan 2017
ISBN 978-602-7677-36-4
Dilarang keras mereproduksi sebagian atau seluruh isi buku ini, dalam bentuk apa pun atau
dengan cara apa pun, serta memperjualbelikannya tanpa izin tertulis dari penerbit

© HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG

ii
SAMBUTAN
REKTOR ISI PADANGPANJANG

D
i bulan Agustus ini Kemenristek Dikti merilis
peringkat 100 perguruan tinggi terbaik non vokasi
se-Indonesia. ISI Padangpanjang berhasil
menduduki posisi 85. Sebuah pencapaian yang patut
disyukuri sekaligus tidak bisa dilepaskan dari peran dan kerja
keras terutama para dosen yang terus melakukan kegiatan-
kegiatan riset unggulan. 30% komponen penilaian
pemeringkatan itu didasarkan kepada hasil penelitian dan
kegiatan pengabdian masyarakat.
Dalam konteks ini saya mengapresiasi penuh setiap
publikasi buku dari dosen-dosen ISI Padangpanjang terutama
sekali yang diangkat dari sebuah penelitian berkualitas. Buku
yang ada di tangan pembaca ini merupakan karya beberapa
dosen ISI Padangpanjang, yaitu: Ediwar, S.Sn., M.Hum.,
Ph.D, Dr. Rosta Minawati, S.Sn., M.Si, Dr. Febri Yulika,
M.Hum, Drs. Hanefi, M.Pd.
Mengambil judul “Musik Tradisional
Minangkabau”, buku ini punya misi besar hendak melakukan
pendataan sekaligus pemetaan yang lebih detail terkait
keberadaan berbagai kesenian musik tradisional
Minangkabau yang masih eksis dan dimainkan oleh
masyarakat di berbagai daerah di Sumatera Barat. Menurut
penulis buku ini, kategorisasi secara geo-budaya bisa dilihat
dari klasifikasi musik tradisi pukul (perkusi), musik tradisi

iii
tiup; musik tradisi gesek, dan musik tradisi petik.
Menariknya lagi, sisi pengaruh Islam sangat kuat pada
perkembangan musik tradisional Minangkabau.
Informasi ilmiah tentang musik tradisional
Minangkabau sangat penting bagi pelaku musik tradisional
itu sendiri dalam hal pewarisan seni budaya kepada generasi
penerus dan juga sangat besar perannya bagi pemerintah
dalam membuat event-event kesenian terutama sekali yang
berorientasi pada promosi wisata Sumatera Barat. Di titik ini
kemudian sebuah riset akademis bisa menampakkan unsur
implementatifnya bagi masyarakat luas.
Saya ucapkan selamat kepada tim dosen yang berhasil
menghadirkan buku berkualitas ini ke tengah-tengah publik.
Semoga usaha ini bisa memberikan manfaat kepada banyak
pihak. Amiin.

Rektor ISI Padangpanjang

Prof. Dr. H. Novesar Jamarun, MS

iv
SAMBUTAN
KETUA LPPMPP ISI PADANGPANJANG

B erbahagia sekali kami tetap bisa


mempersembahkan karya dan menyebarkan ilmu
terus

kepada masyarakat luas sebagai komitmen dari


LPPMPP ISI Padangpanjang untuk terus meningkatkan
ketersediaan bacaan akademik bermutu di bidang seni
khususnya yang berkaitan dengan seni Minangkabau. Buku
“Musik Tradisional Minangkabau” ini merupakan publikasi
kesekian kalinya dari LPPMPP ISI Padangpanjang untuk
terus memperkaya khasanah literasi kesenian tradisional
Nusantara.

Buku ini yang merupakan hasil riset yang didanai


oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM)
Kemenristek Dikti mencoba menelisik pemetaan musik-
musik tradisional Minangkabau terutama sekali dari sisi
penggunaannya. Tim penulis telah berhasil
mengklasifikasikan 4 jenis musik yang hidup di tengah-
tengah masyarakat Minangkabau, yaitu: (1) Musik Perkusi
Tradisional Minangkabau; (2) Musik Tiup Tradisional
Minangkabau; (3) Musik Gesek dan Petik Tradisional
Minangkabau; dan (4) Musik/Tari Indang Minangkabau
Pengaruh Islam.

Upaya ini adalah usaha rintisan awalan yang mesti


diteruskan oleh peneliti-peneliti selanjutnya dalam kajian
yang lebih luas dan mendalam. Sebagaimana disarankan oleh
tim tim penulis bahwa masih ada 2 tahapan penelitian lagi

v
yang bisa dikerjakan ke depan terkait pendataan dan
pemetaan musik tradisional Minangkabau, yakni kajian aspek
organologis dari instrumen musikal (alat musik) musik
tradisional Minangkabau dan kajian terhadap nilai-nilai
musikal dimana kajian ini melalui analisis musik dari sudut
pandang musikologinya.

Namun, apapun itu kami dari LPPMPP ISI


Padangpanjang sangat menghargai upaya yang telah
dilakukan oleh para penulis sekaligus akan terus mendorong
dan membantu penelitian lanjutan terkait dengan pemetaan
musik tradisional Nusantara khususnya Minangkabau.

Ketua LPPMPP ISI Padangpanjang

Dr. Febri Yulika, S.Ag., M.Hum

vi
KATA PENGANTAR

K eragaman musik yang terdapat di Minangkabau,


merupakan kekayaan budaya yang sangat berharga.
Warisan tersebut mencerminkan betapa kreatifnya
para seniman masa lalu menciptakan entitas-entitas musik
yang saling berbeda antara satu tempat dengan tempat yang
lain. Perbedaan-perbedaan itu bisa terjadi pada bentuk fisik,
sumber bahan, ukuran, cara memainkan, suara yang
dihasilkan, lagu-lagu yang dimainkan, jumlah pemain,
karakter musiknya, konsep musiknya, kategori musiknya,
masyarakat pendukungnya, dan fungsinya di masyarakat.

Apabila kita merujuk perjalanan waktu, bahwa


kesenian yang ada dewasa ini merupakan perkembangan dari
warisan budaya masa lampau yang bergulir dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa kesenian
(tradisional) mengalami dinamika yang hebat. Terutama
dalam melewati berbagai ruang dan waktu. Ruang dan waktu
itu sudah barang tentu akan ikut dipengaruhi oleh budaya
dan masyarakat yang dilintasinya. Ketika masyarakat
Minangkabau hidup dalam tatanan masyarakat tradisional
yang agraris, kehadiran kesenian akan memberi makna
tersendiri dalam hidup dan kehidupannya; ketika masyarakat
Minangkabau dipengaruhi oleh budaya Islam, maka kesenian
yang bernafaskan Islam juga ikut berkembang dan
mempengaruhi budaya masyarakat; ketika masyarakat
Minangkabau dipengaruhi oleh budaya Barat dan budaya
lainya, maka kesenian modern gaya Barat dan budaya lain

vii
yang mengimbuhinya pun ikut mempengaruhi pola hidup
masyarakat Minangkabau, dan begitu seterusnya.

Musik Minangkabau dalam perjalanannya melintasi


berbagai generasi dan masyarakat, ada yang hidup dan
berkembang dengan baik, menantang atau mengikuti
perkembangan zaman, namun ada pula yang telah berakhir
dan punah meninggalkan nama tanpa ada pewarisnya.
Bahkan ada pula yang diibaratkan hidup segan mati tidak
mau. Tentu saja kita tidak berharap agar warisan budaya itu
hilang tanpa bekas, tanpa pewaris, tanpa catatan, dan
sebagainya. Demikian panjang waktu yang dilewatinya
dengan berbagai dinamika, namun belum banyak catatan-
catatan yang berkaitan dengan kesejarahan yang bisa kita
pedomani untuk bahan bacaan maupun referensi bagi
generasi berikutnya. Permasalahan penting yang belum
dilakukan dengan serius adalah pemetaan seni yang
ditindaklanjuti dengan inventarisasi dan dokumentasi.

Pemetaan dan inventarisasi serta pendokumentasian


seni sangat penting sebagai salah satu upaya untuk
menyelamatkan warisan budaya, yang diperkirakan akan
terjadi pendegradasian nilai, bahkan sebagian menuju
kepunahan seiring dengan perkembangan zaman. Pemetaan
musik Minangkabau sudah saatnya dilakukan. Oleh karena
perhatian ke arah itu secara menyeluruh, tidak banyak
dilakukan oleh pemerintahan, apalagi perorangan. Pemetaan
atau inventarisasi musik dengan grupnya, lebih banyak
dilakukan oleh Diparsenibud (Dinas Pariwisata Seni dan
Budaya) daerah-daerah kabupaten dan kota di Sumatra Barat,
untuk kepentingan mereka masing-masing. Pemetaan dan
inventarisasi keberagaman dan kekayaan musik
Minangkabau, masih spasial. Kita tidak mengharapkan
seperti itu, justru yang diharapkan adalah pemetaan secara
lebih luas, tentang musik Minangkabau.

viii
Kami sangat berharap, apa yang telah diuraikan dalam
buku ini menjadi upaya yang bermanfaat bagi upaya
pelestarian musik tradisional Minangkabau melalui langkah
awalan melakukan inventarisir dan pemetaan musik-musik
tradisional yang masih eksis saat ini di berbagai daerah di
Sumatera Barat.

Semoga bermanfaat.

Tim Penulis

ix
x
DAFTAR ISI
Sambutan Rektor ISI Padangpanjang ~ iii
Sambutan Ketua LPPMPP ISI Padangpanjang ~ v
Kata Pengantar ~ vii
Daftar Isi ~ xi

BAB 1. PENDAHULUAN ~ 1

BAB 2. MUSIK PERKUSI TRADISIONAL


MINANGKABAU ~ 5
2.1. Musik Perkusi Melodis ~ 6
2.1.1. Musik Tradisional Talempong ~ 8
1. Musik Tradisional Talempong Pacik ~ 9
2. Talempong Duduak ~ 21
2.2. Musik Perkusi Ritmis ~ 35
2.2.1. Musik Tradisional Gandang Tambua Pariaman ~ 36
2.2.2. Musik Tradisional Gandang Sarunai Sungai Pagu ~ 40
2.2.3. Musik Tradisional Gandang Tansa Maninjau ~ 42
2.3 Alat Musik Perkusi Ritmis Pengiring Nyanyian ~ 44
2.3.1. Musik Tradisional Dikia Mundam Luhak Tanahdata ~ 45
2.3.2. Musik Tradisional Dikia Pano Kabupaten Pasaman ~ 47
2.3.3. Musik Tradisional Dikia Rabano Ampek Angkek ~ 48

BAB 3. MUSIK TIUP TRADISIONAL MINANGKABAU ~ 53


3.1. Musik Tradisional Saluang ~ 54
3.1.1. Saluang Darek (Saluang Dendang) ~ 54
3.1.2. Saluang Sirompak ~ 61

xi
3.1.3. Saluang Pauah/Dendang Pauah ~ 66
3.1.4. Saluang/Bansi Solok ~ 68
3.2. Musik Tradisional Sampelong Talang Maua ~ 69

BAB 4. MUSIK GESEK-PETIK TRADISIONAL


MINANGKABAU ~ 73
4.1. Musik Tradisional Rabab Pasisia ~ 74
4.2. Rabab Piaman ~ 77
4.3 Rabab Darek ~ 78
4.4. Rabab Badoi ~ 82
4.5. Sijobang Kucapi Luhak Limo Puluah ~ 83

BAB 5. MUSIK/TARI INDANG MINANGKABAU:


PENGARUH ISLAM ~ 87
5.1. Indang Pariaman ~ 87
5.2. Indang Solok ~ 93
5.3. Indang Tuo Maninjau ~ 95

BAB 6. PENUTUP ~ 99

Kepustakaan ~ 103
Indeks ~ 109

xii
xiii
xiv
BAB I
PENDAHULUAN

M
usik tradisional Minangkabau dalam perjalanannya
melintasi berbagai generasi dan masyarakat. Ada yang
hidup dan berkembang dengan baik, menantang atau
mengikuti perkembangan zaman, namun ada pula yang telah
berakhir dan punah meninggalkan nama tanpa ada pewarisnya.
Bahkan ada pula yang diibaratkan hidup segan mati tak mau.
Tentu saja kita tidak berharap agar warisan budaya itu hilang
tanpa bekas, tanpa pewaris, tanpa catatan, dan sebagainya.
Demikian panjang waktu yang dilewatinya dengan berbagai
dinamika, namun belum banyak catatan-catatan yang berkaitan
dengan kesejarahan yang bisa kita pedomani untuk bahan
bacaan maupun referensi bagi generasi berikutnya.
Permasalahan penting yang belum dilakukan dengan serius
adalah pemetaan seni yang ditindaklanjuti dengan inventarisasi
dan dokumentasi.
Pemetaan, inventarisasi, dan pendokumentasian seni
sangat penting sebagai salah satu upaya untuk menyelamatkan
warisan budaya, yang diperkirakan akan terjadi pendegradasian
nilai, bahkan sebagian menuju kepunahan seiring dengan
perkembangan zaman. Pemetaan musik Minangkabau sudah
saatnya dilakukan. Oleh karena perhatian ke arah itu secara
menyeluruh tidak banyak dilakukan. Pemetaan atau
inventarisasi musik dengan grupnya lebih banyak dilakukan oleh
Diparsenibud (Dinas Pariwisata Seni dan Budaya) daerah-
daerah kabupaten dan kota di Sumatera Barat, untuk
kepentingan mereka masing-masing. Pemetaan dan inventarisasi
keberagaman dan kekayaan musik Minangkabau masih spasial.

1
Kita tidak mengharapkan seperti itu. Justru yang diharapkan
adalah pemetaan yang mengidentifikasi jenis-jenis musik
tradisional Minangkabau.
Untuk pemetaan musik tersebut, beberapa cara yang
dilakukan, antara lain: berdasarkan wilayah administratif,
penyebaran atau letak dan geografis; berdasarkan klasifikasi jenis
alat musik dan cara memainkan (kajian organologis);
berdasarkan fungsi dan guna; berdasarkan konsep musik dan
masyarakatnya serta unsur budaya musikal lain yang
mempengaruhi (musikologis); berdasarkan ruang dan waktu
atau zaman.
Pemetaan musik berdasarkan kepada letak secara
geografis dapat dipandang dari dua kacamata, yaitu berdasarkan
‘sosio-budaya’ (tradisional) dan administrasi pemerintahan.
Letak berdasarkan daerah budaya adalah konsep alam
Minangkabau (geo-budaya), sedangkan letak berdasarkan
daerah administratif adalah daerah-daerah yang dilingkupi oleh
perbatasan menurut pembagian pemerintahan provinsi
(geopolitik). Merujuk kepada konsep geo-budaya, maka
berhubungan dengan dua istilah, yaitu dari segi filosofi geo-
budaya masyarakatnya: luhak nan tigo, darek dan rantau, hingga
ke nagari-nagari. Sedangkan dari segi geo-politik terkait
langsung kepada pembagian wilayah pemerintahan; wilayah
kecamatan, kabupaten dan kota, serta provinsi.
Pekerjaan mengidentifikasi musik tradisional
Minangkabau memang lebih ideal bila dilakukan dalam
kaitannya dengan wilayah geo-budaya karena pada dasarnya
musik tradisional itu tumbuh dan berkembang di lingkungan
budaya masyarakat pemilik dan pendukungnya. Tidak dapat
dipungkiri bahwa pembagian wilayah secara geo-politik tidak
serta-merta seiring dengan pembagian wilayah geo-budaya. Bisa
saja terjadi kesatuan wilayah pemerintahan kecamatan atau
kabupaten memiliki musik tradisional masing-masing, dan bisa
juga di masing-masing wilayah itu memiliki musik tradisional
yang sama.

2
Memang sulit mengidentifikasi musik tradisional
Minangkabau secara ketat mengacu kepada satu pendekatan di
atas, yaitu pendekatan geo-budaya karena ditemui kasus-kasus
yang spesifik dimana masyarakat pemilik dan pendukung musik
itu tetap mengakui bahwa musik mereka adalah musik
kepunyaan suatu wilayah pemerintahan (geo-politik). Hal ini
tidak bisa dikesampingkan dan peneliti tidak bisa pula
menjelaskannya karena batas-batas etis penelitian.
Sejauh ini, jenis-jenis musik tradisional Minangkabau
yang sangat umum dikenal oleh masyarakat secara lebih luas
berdasarkan cara memainkannya, misalnya: musik tradisi pukul
(perkusi), musik tradisi tiup; musik tradisi gesek, dan musik
tradisi petik. Pembagian ini telah ditulis oleh Margaret Kartomi
dalam tulisannya Taxonomimal Model of The Instrumentarium
and Regional Ensambles in Minangkabau.1 Walaupun
taksonomi yang dituliskan oleh beliau berdasarkan jenis-jenis
alat musik menyinggung aspek organologis, namun sifat-sifat
alat musik yang dikemukakannya terkait juga dengan jenis-jenis
musik yang menggunakan alat musik itu sebagai media
pelahiran materi musikalnya. Misalnya menunjuk musik
tradisional saluang dendang, bahwa musik ini menggunakan alat
musik tiup saluang (flute); musik tradisional gandang tambua,
musik ini menggunakan alat musik pukul (perkusi) gandang
(drum); musik tradisional rabab piaman, musik kaba (bercerita)
ini menggunakan alat musik rabab (lute). Secara umum,
begitulah sebutan untuk musik-musik tradisional Minangkabau
lainnya.
Pemetaan musik tradisional Minangkabau pada buku ini
mengacu pada jenis-jenis musik tradisional meminjam istilah
dan pembagiannya secara taksonomis sebagaimana yang
dijelaskan di atas. Khusus untuk penjelasan musik-musik
tradisional bernuansa Islam ditempatkan pada bab khusus, dan
tidak terkait dengan kategori taksonomi alat-alat musik

1“Taxonomimal Model of The Instrumentarium and Regional Ensambles in


Minangkbau.” In On Concepts and Classifications of Musical Instruments.
Chicago University of Chicago Press. 1990.

3
Minangkabau. Walaupun ditemukan alat musik yang termasuk
juga ke dalam prinsip penamaan jenis musiknya seperti salawat
dulang, dikia rabano, dan lain-lain, digunakan sebagai media
musikalnya maka hal itu tidak dikaitkan dengan konsep
taksonomi dimaksud.
Dengan demikian, pada bab-bab berikutnya disajikan
gambaran peta keberadaan musik tradisional Minangkabau
sebagai berikut: 1) musik tradisional perkusi Minangkabau; 2)
musik tradisional tiup Minangkabau; 3) musik tradisional gesek
dan petik Minangkabau; 4) musik pengaruh Islam
Minangkabau (musik Indang Minangkabau).
Untuk bagian ke-empat, yaitu musik pengaruh Islam
Minangkabau dimasukkan ke kategori musik tradisional
Minangkabau karena dianggap musik itu berupa gabungan
antara musik dengan tari. Menyadari bahwa elemen musikal
yang relatif dominan dalam komposisi lagunya maka kesenian
Indang itu diidentifikasikan sebagai musik; kekuatan unsur
ritmis hasil permainan pola-pola ritme alat musik indang
mengandung permainan teknik-teknik tertentu yang dianggap
unik, dan selain itu teknik call & respons dari nyanyian koor
(choir) anak indang dan solo vokal leader-nya memiliki
keunikan pula. Sedangkan aspek gerak atau unsur tari relatif
tidak menonjol.

4
BAB 2
MUSIK PERKUSI
TRADISIONAL MINANGKABAU

M
usik perkusi adalah jenis musik yang bunyinya dari
hasil tabuhan dengan menggunakan alat pemukul
(stick), jari dan telapak tangan. Memahami musik
perkusi ini harus terkait dengan teknik-teknik secara musikal,
sehingga ditemukanlah “jenis musik perkusi apa” musik tradisi
tersebut. Bila diperhatikan dari sudut pandang memproduksi
bunyi musikal daripada musik perkusi di Minangkabau dapat
dibagi atas dua jenis, yaitu ‘musik perkusi melodis’ dan ‘musik
perkusi ritmis’. Musik perkusi melodis adalah musik perkusi
yang mengutamakan unsur melodi yang membentuk lagu,
sedangkan musik perkusi ritmis adalah musik perkusi yang
mengutamakan aspek ritmis sebagai unsur yang membentuk
lagu.
Beberapa musik tradisional Minangkabau termasuk ke
dalam kategori musikal sebagai “musik perkusi melodis” pada
umumnya menggunakan alat musik secara organologis adalah
keluarga gong berpencu, dari bahan perunggu yang disebut
talempong dan canang. Selain itu ada pula alat musik talempong
dari bahan bambu dan kayu berbentuk bilahan (xylophone),
kalau alat musik itu dari bahan bambu disebut talempong
batuang (talempong bambu) dan kalau dari bahan kayu disebut
talempong kayu, dikategorikan sebagai musik perkusi melodis.
Setiap genre musik tradisional talempong selalu menghasilkan

5
melodi, tetapi akan dapat dilihat bahwa ada beberapa teknik
permainan untuk mencapai pola-pola melodi itu. Teknik
permainan genre talempong pacik secara umum adalah teknik
interlocking (kunci-mengunci atau berjalin), tetapi ada juga
teknik hocketing pada talempong pacik dimana gerak melodi
yang dibawakan dilakukan oleh seorang musisi untuk satu
pergerakan nada; dan teknik melodis pada umumnya teknik
dalam genre ensambel talempong duduak dengan alat musik
disusun menurut tradisi masing-masing di atas rak atau rea,
seorang musisi bertugas memainkan gerak melodi.
Musik tradisional Minangkabau yang masuk kategori
“musik perkusi ritmis” pada umumnya adalah musik perkusi
gendang (drums). Dalam hal ini permainan unsur-unsur ritmis
adalah faktor utama terciptanya lagu-lagu, berbagai pola-pola
ritme yang diciptakan menggunakan teknik-teknik tertentu
telah melahirkan sejumlah lagu yang berbeda-beda. Pada
ensambel gandang tambua Pariaman yang termasuk ke dalam
kategori musik tradisional perkusi ritmis memiliki sejumlah lagu
seperti lagu Hoyak Tabuik, lagu Kureta Mandaki, lagu Siontong
Tabang, dan lain-lain; setiap lagu tersebut mengandung pola-
pola ritme, penggunaan teknik-teknik permainan ritmis, dan
tempo yang berbeda-beda. Selain itu, kategori yang sama adalah
ensambel gandang sarunai Sungai Pagu, memiliki sejumlah lagu
seperti lagu Sikudidi, lagu Gandang Duo Piciak, dan lain-lain,
juga mengandung pola-pola ritme serta teknik yang berbeda-
beda juga.

2.1. MUSIK PERKUSI MELODIS


Musik perkusi melodis adalah jenis musik yang hasil
bunyinya disebabkan oleh permainan nada-nada dari
seperangkat alat musik secara teratur dengan teknik-teknik
permainan tertentu. Sejumlah nada-nada yang menghasilkan
melodi itu biasanya lebih dari dua nada, misalnya sebuah alat
tiup saluang otomatis harus memiliki sejumlah lobang nada
sehingga mampu memproduksi sejumlah nada pula sebagai
materi progresi atau langkah dan lompat nada-nada yang
berbeda, menghasilkan kantur (contour) melodi menuju capaian

6
satu kesatuan melodi dalam komposisi musiknya. Begitu juga
sejumlah nada-nada pada suatu ensambel musik perkusi melodis
haruslah memiliki tiga atau lebih nada-nada dalam satu
perangkat alat musik yang dimainkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ensambel
musik perkusi melodis dapat dipastikan materi nada yang
diproduksi alat musik utama pada ensambel tersebut memiliki
sejumlah nada-nada yang menentukan ensambel perkusi
tersebut adalah jenis musik perkusi melodis. Namun demikian,
sejauh yang diketahui jika alat musik utama ensambel tersebut
tidak memiliki tiga atau lebih nada-nada maka jenis musik
tersebut tidak termasuk musik perkusi melodis karena tidak ada
musik perkusi ritmis Minangkabau yang hanya menggunakan
dua nada membangun gerak melodi tradisional secara utuh.
Sebagai alat musik perkusi tentu jenis alat musik itu
membutuhkan gerakan penabuhan (pemukulan) terhadap
bahan alat musik itu sendiri. Pada umumnya alat yang
digunakan sebagai penabuh adalah panokok/stick berupa
tongkat berukuran kecil. Adakalanya bagian yang membentur ke
alat musik dililit dengan karet atau tali (bisa juga benang) dan
ada alat penabuh itu yang dililit dengan karet. Cukup jelas alasan
secara tradisional kenapa alat musik itu dililit dengan benda-
benda tertentu, maka hal ini ditujukan agar bunyi alat musik
yang ditabuh menjadi “lembut” sesuai dengan kehendak para
musisinya. Biasanya bunyi yang dihasilkan akan mengeluarkan
resonansi yang agak panjang dibandingkan jika alat penabuhnya
tidak dililit dengan benda dimaksud. Sebaliknya, jika penabuh
tidak dililiit dengan benda tersebut di atas tentu bunyi yang
dihasilkan eleh tabuhan yang langsung membentur adalah alat
tabuhan itu sendiri, bunyinya akan lebih “nyaring” dan getaran
resonansinya lebih pendek.
Sesuai dengan pernyataan sejumlah musisi talempong
pacik di beberapa tempat di wilayah kebudayaan Minangkabau
bahwa mereka selalu menggunakan penabuh dari ranting kayu
tertentu dan tidak melilit bagian yang membentur dengan alat
musik. Hal itu merupakan konsep tradisi musikal agar bunyi
yang dilahirkan tidak beresonansi panjang karena akan

7
mengganggu sistem interlocking yang membutuhkan resonansi
nada-nada alat musik talempong terbatas, yaitu jalinan bunyi
tidak terganggu oleh resonansi bunyi yang tidak dibutuhkan.

2.1.1 Musik Tradisional Talempong


Talempong sebenarnya sudah lama dikenal dan bahkan
sudah menunjukkan identitas “kedaerahan”. Sebagaimana telah
disinggung di atas, umumnya orang tahu bahwa yang dimaksud
dengan talempong adalah sejenis alat musik pukul keluarga gong
berpencu dengan ukuran kecil, terbuat dari campuran bahan
tembaga, kuningan dan timah. Talempong biasanya dimainkan
oleh sekelompok orang dalam posisi berdiri atau berjalan (arak-
arakan) untuk memeriahkan berbagai upacara adat di kampung-
kampung. Selain itu alat musik talempong dimainkan
sekelompok orang dalam posisi duduk yang disebut talempong
duduak untuk menghibur atau memeriahkan suatu kegiatan
terkait dengan adat.2
Istilah talempong dapat diartikan sebagai salah satu jenis
musik tradisional di Minangkabau. Istilah talempong itu sendiri
dapat pula diartikan sebagai alat musik perkusi dengan bahan
perunggu dan yang uniknya masyarakat Minangkabau juga
mengartikan sebagai ‘resonansi bunyi’ yang dihasilkan dari
tabuhan (memukul) suatu benda. Kata ‘talempong’ yang
diartikan sebagai resonansi bunyi dapat ditunjuk sebuah fakta
yang ada dan telah menjadi objek wisata yaitu sebutan batu
talempong di Talang Anau Kabupaten Limapuluh Kota. Benda
pipih berukuran relatif besar tersebut bukanlah alat musik secara
fungsional, tetapi alat yang berfungsi ritual tersebut
menghasilkan bunyi hampir sama kedengarannya dengan bunyi
talempong dari bahan perunggu, sehingga benda batu pipih itu
disebut oleh masyarakat setempat sebagai ‘batu talempong’ (batu
yang berbunyi seperti bunyi talempong).

2 Hanefi Dkk. Talempong Minangkabau: Bahan Ajar Musik dan Tari.


(Bandung: P4ST. 2004), p.11

8
Pengertian yang unik dari kata talempong telah terpakai
secara fungsional pada sejumlah ensambel talempong di
Minangkabau. Benda-benda dari bahan kayu, bambu, dan besi
berbentuk pipih (dalam istilah musik xylophone) telah menjadi
musik tradisional di Minangkabau seperti talempong kayu,
talempong botuang, dan talempong jao.3 Khusus talempong
sambilu dari bahan bambu tidak berbentuk bilahan tetapi
berupa sejumlah congkelan sembilu (kulit bambu) dengan
resonator bahan itu sendiri (idio-chordophone atau idio-kordo).
Talempong yang akan diuraikan dalam bab ini mencakup
berbagai jenis talempong, baik dilihat dari ensambel maupun
cara dan teknik memainkannya. Dalam hal ini ada dua
kelompok ensambel talempong, yang dibagi berdasarkan dari
teknik dan cara memainkannya, yaitu; disebut dengan
talempong pacik dan talempong duduak. Sementara itu, musik
talempong yang berkembang dalam masyarakat akademis,
sanggar-sanggar kesenian, dan lembaga lainnya yang lebih
mengarah pada penggunaan nada-nada diatonis dalam tangga
nada yang digunakan akan dibahas pada bab tersendiri.

1. Musik Tradisional Talempong Pacik


Talempong pacik merupakan genre musik perkusi
tradisional yang terkenal dalam kehidupan masyarakat di
wilayah budaya Minangkabau. Nama talempong pacik, seperti
dikenal sekarang ini, merupakan sebutan yang digunakan
khusus untuk keperluan ilmiah oleh para peneliti terhadap
pengkajian salah satu genre musik talempong tradisional
Minangkabau. Mereka ingin membedakan teknik permainan
interlocking (saling tingkah-meningkah/kunci-mengunci) yang
dimainkan secara dipacik atau dipegang.4 Hasil permainan
talempong secara ritmis itu menghasilkan formula melodi-
melodi pendek, dan hasil yang demikian sesungguhnya yang

3 Boestanoel Arifin Adam, “Talempong Musik Tradisi Minangkabau”,


Laporan Penelitian (Padangpanjang: ASKI, 1986/1987), p.9.
4 Tulus Handra Kadir. “Teknik Interlocking dalam Gaya Permainan
Talempong Minangkabau di Desa Kubang Pipik Kec. Baso Kabupaten
Agam, Prop. Sumatera Barat.” Skripsi. (Medan: USU. 1993), Pp. 12-13.

9
harus dicapai dalam teknik permainan interlocking dimaksud.
Jadi jelaslah bahwa tujuan dan capaian teknik permainan
talempong di atas adalah pergerakan melodi.
Kemudian bentuk permainan talempong yang diletakkan
di atas rak secara horizontal dan dimainkan dalam posisi duduk
adalah bentuk permainan melodi, walaupun ada beberapa
repertoar lagu dimainkan dengan memberi latar belakang jalinan
bunyi sekaligus mengatur permainan melodi. Bentuk komposisi
musik talempong seperti ini untuk membangun kesan
talempong pacik tetap terasa.
Istilah talempong pacik memberi pemahaman yang lebih
jelas terhadap pengkajian dan penelitian aneka ragam musik
talempong yang ada di Minangkabau. Akibatnya dapat
melahirkan informasi ilmiah yang berangkat dari klasifikasinya
yang khas, sesuai dengan konsep musikal dan genre musik
talempong itu, termasuk cara permainannya. Istilah talempong
pacik juga lebih mempertegas pengertian konsep musikal
terhadap dua teknik permainan genre musik talempong yang
hidup di Minangkabau, yaitu genre musik talempong yang
menggunakan teknik interlocking (talempong pacik), dan genre
musik talempong yang dimainkan secara melodis (talempong
duduak). Kedua genre musik talempong ini sama-sama hadir
sebagai ensambel musik tradisional di berbagai pelosok
Minangkabau.

a. Talempong Pacik Teknik Interlocking


Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa
teknik interlocking merupakan ciri kekuatan musikal dalam
permainan talempong pacik. Dalam sejarahnya, setiap rumah
gadang yang ratusan jumlahnya sudah lama menjadikan musik
talempong pacik sebagai permainan tradisi. Bahkan setiap
kampung (desa) memiliki beberapa kelompok talempong pacik
di luar rumah gadang. Artinya, ada perangkat talempong yang
dimiliki secara adat oleh kaum, dan ada pula yang dimiliki oleh
kelompok masyarakat yang terlepas dari ikatan kaum.

10
Pertunjukan talempong pacik berbentuk ensambel,
karena pada umumnya dimainkan oleh musisi secara
berkelompok. Artinya, konsep kelompok sangat penting dalam
kehidupan jenis talempong tradisional tersebut. Kekompakan
kelompok, baik dalam memainkan komposisi musik dan
menghayatinya maupun dalam berkomunikasi pergaulan
mereka sehari-hari, memang penting sekali.5
Paling tidak ada dua bentuk pertunjukan talempong
pacik, yaitu dimainkan dalam posisi duduk dan dalam posisi
berdiri atau sambil berjalan (arakan) sesuai dengan konteks
penyajiannya. Musik ini dimainkan oleh antara 3-6 orang
pemain, masing-masing tiga orang sebagai pemain talempong
dan tiga orang lainnya sebagai pemain gendang, tambur dan
rapa’i. Walaupun demikian ada juga suatu daerah yang
memainkan talempong pacik empat atau lima orang, sesuai
menurut daerah atau kelompok suatu daerah. Misalnya, di Aia
Tabik komposisi pemain terdiri atas: talempong empat orang,
gandang satu orang, sedangkan di Kubang Pipik (Kab. Agam)
pemain talempong tiga orang dan pemain gendang satu orang.
Lagu-lagu yang dimainkan dalam ensambel talempong
pacik sangat banyak. Biasanya masing-masing grup talempong
pada nagari yang berbeda akan memiliki lagu sendiri pula tetapi
di antaranya ada yang berjudul sama tetapi sedikit berbeda
karena pengaruh tempat di mana ia berada. Bisa dibayangkan
berapa jumlah nagari di Minangkabau yang memiliki grup
talempong. Jika satu grup memiliki tiga lagu saja, maka akan
terdapat ratusan lagu talempong pacik di Minangkabau. Lagu-
lagu tersebut merupakan lagu khas masing-masingnya, dan
dikembangkan sendiri oleh senimannya. Beberapa contoh lagu
yang dapat dituliskan antara lain: Indang Kinari, Rumah
Gadang, Maantaan Kanji, Kubu Rajo, Sikusuik, Tupai
Bagaluik, Tigo Duo, Tagajai”, “Gua Tari Piriang”, “Gua
Indang”, “Gua Tujuah”, “Gua Pariangan”, “Gua Cak Dindin”,
“Gua Sambalado Tatunggang”, “Lumbo-lumbo”, “Ganto

5 Jennifer A. Fraser. Gongs & Pop Song: Sounding Minangkabau in


Indonesia. (Athens: Ohio University Press. 2015), pp. 39-40

11
Padati”, “Sarasah Badarun”, “Talipuak Kampai”, “Tanah Sirah”,
dan lain sebagainya.
Sebagai penjelasan yang dianggap penting terkait musik
tradisional yang menggunakan alat musik talempong (small
gongs), hal ini sekaligus memasukkan jenis alat musik yang sama
yaitu canang ke dalam keluarga alat musik talempong. Dengan
demikian musik yang menggunakan alat musik canang juga
dibicarakan dalam ‘ruang’ penjelasan yang sama dengan
talempong.

1) Musik Tradisional Talempong Aia Tabik


Talempong aia tabik eksis hingga kini di wilayah
kebudayaannya yaitu Kanagarian Aia Tabik Luhak Limo
Puluah. Genre talempong pacik ini dimainkan oleh lima orang
musisi wanita. Empat orang memainkan alat musik talempong
dan satu orang pemain gandang. Secara instrumentatif, alat
musik talempong (small gong) berpencu dan satu buah gendang
dua muka dengan resonator berbentuk silinder/konis berukuran
kecil. Keempat orang pemain talempong, masing-masing
berperan sebagai pemain unsur ritmis polong, paningkah,
aguang, dan anak. Unsur ritmis polong dan paningkah masing-
masing memainkan dua buah alat musik talempong. Sedangkan
pemain yang memainkan unsur ritmis aguang dan anak masing-
masing memainkan satu buah alat musik talempong. Unsur
anak sebagai pembuka yang menentukan tempo serta memberi
jalan untuk polong, unsur ritmis polong membuka “pintu”
permainan untuk unit ritmis paningkah. Unsur ritmis aguang
memberi aksentuasi pada formula melodis hasil jalinan unsur
ritmis polong dan paningkah.6 Alat musik aguang bukanlah
aguang (gong berpencu berukuran besar) yang biasa dikenal
pada instrumentasi gendre talempong duduak maupun yang
lainnya, tetapi alat musik talempong yang sama dengan yang lain
(small gong). Hanya yang membedakan adalah bunyi (nada)

6Philip Yampolsky. Liner Notes for Gong and Vokal Music From Sumatera:
Talempong, Didong, Kulintang, Salawat Dulang. Music of Indonesia, vol.
12. Smithsonian Folkways SF CD 40428. 1996.

12
yaitu nada rendah di antara enam buah alat musik talempong
yang digunakan.
Khusus dalam komposisi repertoar lagu “Talipuak
Kampai”, satu bagian dalam komposisi musiknya menggunakan
teknik di luar teknik mainstream interlocking Minangkabau,
justru yang ditemui adalah teknik hocketing yang mereka sebut
teknik tengkong. Teknik ini berada dalam komposisi lagu
Talipuak Kampai yang sangat disukai oleh baik musisi maupun
masyarakat pendukungnya.
Musik talempong aia tabik eksis hingga kini, selalu
digunakan pada pararakan upacara perkawinan terutama dalam
maarak marapulai (pengantin). Regenerasi tercipta ditandai
hadirnya musisi-musisi muda sebagai pengganti musisi-musisi
telah lanjut usia yang tidak mampu lagi bermain talempong atau
tidak bisa mengikuti arak-arakan.7
Talempong pacik difungsikan untuk berbagai kegiatan
sosial yang bersifat hiburan, kegiatan upacara adat, sebagai
musik tari piring, dan musik dalam randai. Kegiatan yang
bersifat hiburan seperti pada acara alek nagari, gotong royong di
sawah (panen/sabik-iriak) atau di ladang, gotong royong
memperbaiki jalan kampung, memperbaiki tali bandar atau
bandar sawah, mengarak penganten, memeriahkan hari besar
nasional, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1980-an, talempong aia tabik dikembangkan
dengan melibatkan permainan alat musik kategori perkusi ritmis
ke dalam komposisinya, yaitu seperangkat alat musik
sikatuntuang. Alat musik ini berupa sebuah lesung yang menjadi
alat musik (instrument musical) dengan menggunakan alat
penumbuk padi yang disebut alu dengan cara
membenturkannya ke dalam lobang lesung dan sebagian lagi
dibenturkan ke badan lesung. Ensambel talempong aia tabik
yang melibatkan sikatuntuang seperti ini tidak ada pada
tradisinya, kecuali permainan sikatuntuang saja pernah ada di

7 Asma(pemain gendang Talempong Aia Tabik). Wawancara di Padang Alai,


September 2017

13
nagari tersebut.8 Sikatuntuang biasanya dimainkan setelah
panen padi. Setelah digabung dengan permainan talempong
pacik maka nama talempong sikatuntuang mulai menyebar di
tengah masyarakat kota Payakumbuh.

Maarak Pengantin di nagari Aia Tabik


Foto: Dok. Hanefi

8Ganti, wawancara di Jorong Padang Alai Kanagarian Aia Tabik, tanggal 22


Mei 2017.

14
Para Musisi Talempong Aia Tabik
Foto: Dok. Hanefi

Talempong Pacik Nagari Sumpu


Foto: Dok. Ediwar

15
Sajian dalam konteks adat ini masih bisa ditambahkan,
tergantung dari peristiwa adat yang terjadi pada suatu nagari
tertentu. Adat salingka nagari (masing-masing nagari memiliki
kebiasaan atau adatnya sendiri). Ada nagari yang dipimpin oleh
rajo (raja), yang memiliki tata cara tersendiri dalam sistem
pengangkatannya.

Arak-arakan menggunakan talempong pacik dalam ensambel gandang


katipik
Foto: Dok. Ediwar

2) Musik Tradisional Oguang Jana Parambahan


Musik perkusi ritmis oguang jana sering dijumpai jika
anak nagari Parambahan mengadakan alek Pacu Jawi. Musik
tradisional ini terdiri dari permainan empat buah alat musik
canang (alat musik perunggu jenis keluarga gong berpencu) yang
disebut oleh masyarakat setempat sebagai oguang, ukurannya
lebih besar dari alat musik talempong dan kecil dari ukuran
tawak-tawak. Dimainkan oleh empat orang musisi, masing-
masingnya memainkan satu buah alat musik canang, yaitu alat

16
musik yang disebut sebagai canang anak, canang jana, canang
induak, dan canang tondik.
Menggunakan teknik interlocking, peran secara
instrumentasi, masing-masing alat musik adalah: canang anak
sebagai bunyi yang bernada tertinggi (nada G4) mengawali
komposisi musik dengan pola-pola ostinato ritmis, lalu dijalin
dengan permainan canang jana mengunci pola yang dibangun
sebelumnya, kemudian dijalin oleh permainan canang induak
membangun pola-pola yang telah dibangun oleh permainan
sebelumnya (canang anak dan canang jana). Hasil permainan
ketiga canang tersebut dijalin (ditingkah) pula oleh canang
tondik denga pola-pola ritme lebih rapat sehingga lahir melodi
pendek yang selalu berkembang akibat variasi dan improvisasi
musisinya. Permainan seperti ini dikenal dengan teknik
interlocking gaya oguang jana.9
Repertoar yang selalu disajikan dalam peristiwa yang telah
mentradisi di nagari Parambahan ada dua lagu, yaitu Lagu
Tinggi, dan Lagu Randah. Biasanya, lagu ini dimainkan cukup
lama karena prinsipnya membangun suasana tradisional Alek
Pacu Jawi.10

9 Antoni Guswandi. “Oguang Jana Dalam Tradisi Pacu Jawi di Nagari


Parambahan, Kecamatan Lima kaum Kabupaten Tanah Datar.” Skripsi.
(Padangpanjang: ISI. 2014), p. 56
10 Antoni G. Op. Cit. p.49

17
Oguang Jana dalam konteks Alek Pacu Jawi
Foto: Dok. Antoni G.

Sistem musik oguang jana dapat dikategorikan sama


dengan genre musik tradisional mong-mongan di Koto Anau
Solok. Persamaan itu adalah pada cara dan teknik memainkan
alat musiknya. Secara musikal terdapat sedikit perbedaan,
terutama dalam penggunaan salah satu dari kesatuan alat
musiknya, yaitu penggunaan anak pakak pada mongmongan
harus ditutup getaran resonansinya, sedangkan canang anak
pada oguang jana justru dibuka getaran itu. Jenis alat musik yang
digunakan relatif sama (canang atau tawak-tawak) yang
termasuk keluarga gong berpencu ukuran menengah/sedang.
Sistem musikalnya sama yaitu menggunakan teknik interlocking
(kunci-mengunci).
Musik yang menggunakan teknik yang sama tumbuh dan
berkembang pula di Kabupaten Solok Selatan. Musik tradisional
itu disebut gontong-gontong yang sering digunakan dalam
upacara perkawinan dan alek nagari setempat. Pemainnya terdiri
dari kaum wanita (ibu-ibu), dimainkan dalam posisi berjalan
(arak-arakan) dalam konteks upacara adat.11

11Yossi (Staf. Bidang Kebudayaan Kabupaten Solok Selatan), Wawancara di


Sangir, bulan Juni 2017.

18
Gontong-gontong dalam suatu upacara adat Solok Selatan
Foto: Dok. Hanefi

3) Musik Tradisional Gandang Tigo Baso


Musik tradisional gandang tigo kadangkala disebut juga
canang tigo oleh masyarakat pendukungnya. Permainan musik
tradisi ini tergolong unik karena sistem musiknya yang hampir
tidak ditemui di tempat-tempat lain di daerah kebudayaan
Minangkabau, kecuali tradisi musikal yang sama yang terdapat
di Nagari Kinali Pasaman Barat. Musik perkusi melodis ini
dimainkan dengan teknik hocketing dimana masing-masing
musisi memainkan satu alat musik, jadi ada tiga musisi yang
masing-masing memainkan satu alat canang, yaitu alat musik
jenis gong berpencu berukuran sedikit besar dari alat musik
talempong. Teknik permainan seperti ini mengharuskan
masing-masing memiliki pengalaman yang sama terhadap
musikalitas lagu yang akan dimainkan, karena masing-masing
pemain harus mengacu pada lagu yang ada di dalam memori
ingatan masing-masing.12

12Novandra Prayuda (Mhs. Putra Daerah). Wawancara di Padangpanjang,


September 2017.

19
Hal yang sama pada prinsipnya juga terjadi dalam teknik
memainkan angklung yang melodis. Dimana masing-masing
pemain berperan membunyikan satu nada ketika gerakan
melodi sampai ke nada yang dipegangnya. Hanya saja, angklung
dituntun oleh notasi lagu yang telah ada. Sedangkan gandang
tigo tidak dituntun oleh notasi melainkan melodi yang telah ada
secara tradisional pada memori (ingatan) setiap pemain. Musik
tradisional gandang tigo digunakan untuk beberapa kegiatan
terkait dengan kegiatan sosial masyarakat dan kegiatan adat.
Untuk kegiatan bersifat sosial seperti untuk pemberitahuan akan
adanya kegiatan gotong royong anak nagari; kegiatan terkait
adat seperti mengiringi pengantin, dan lain-lain. Jadi, musik
tradisional ini merupakan musik pararakan (arak-arakan)
mempelai dan sebagai alat pemberitahuan yang juga dilakukan
sambil berjalan keliling kampung.

Gandang Tigo Baso, Kab. Agam


(Dok. Hanefi)

b. Musik Tradisional Talempong Pacik (Teknik Hocketing)


Bagian ini secara teknik permainan memang berbeda
dengan teknik talempong pacik (teknik interlocking) dimana
aspek ritmis dari pola-pola yang dimainkan kunci-mengunci

20
hingga melahirkan formula melodi pendek yang sangat dinamis;
sedangkan teknik permainan hocketing mengacu kepada melodi
lagu yang telah ada. Dalam hal ini masing-masing musisi tetap
memegang dua alat musik talempong sebagaimana mereka
memainkan teknik interlocking, namun setiap musisi berperan
menabuh alat musik yang ia pegang jika gerak melodi sampai ke
bagiannya sesuai dengan lagu yang sudah baku. Memang ada hal
yang menarik karena musisi yang memainkan unit anak selalu
menabuh nada yang tertinggi sekaligus berfungsi untuk
mengatur tempo. Sedangkan nada yang lain terlibat ke dalam
melodi lagu. Walaupun nada yang tertinggi itu selalu hadir, pada
lagu-lagu tertentu ia terlibat juga ke dalam melodi lagu apabila
memang nada tertinggi itu masuk ke dalam melodi pokoknya.
Kehadiran unit anak seperti itu justru mengesankan kehadiran
aspek anak pada teknik interlocking, artinya kesan sifat
talempong pacik tetap muncul pada permainan teknik
hocketing tersebut.
Dalam kasus seperti ini ditemui juga beberapa kelompok
musik tradisional talempong pacik di Kabupaten Lima Puluh
Kota yang menggunakan dua teknik permainan dalam repertoar
permainan talempong pacik. Repertoar yang dimainkan
biasanya lagu-lagu yang pernah populer di masyarakat
Minangkabau seperti lagu Kelok Sambilan, lagu Andam Oi, lagu
Taktontong, lagu Mudiak Arau, dan lain-lain.

2. Talempong Duduak
Talempong duduak adalah salah satu jenis musik
talempong yang bersifat melodis dan dimainkan dalam posisi
duduk bersila atau bersimpuh. Alat musik talempong diletakkan
pada sebuah rak berbentuk kotak persegi panjang yang disebut
rea (Melayu: rehal). Oleh sebab itu, muncul pula nama
talempong rea sebutan lain dari talempong duduak. Talempong
duduak hanya dijumpai di beberapa nagari di wilayah budaya
Minangkabau. Misalnya, talempong unggan dari Unggan,
talempong paninjauan dari Paninjauan Maninjau, talempong
sikapak (talempong gandang lasuang) dari Sikapak, dan

21
beberapa desa atau kampung di Pariaman, dan talempong
gandang oguang di Sialang (kabupaten Lima Puluh Kota).
Para musisi tradisi talempong duduak di Minangkabau
didominasi oleh para ibu-ibu atau para wanita. Hanya di
beberapa wilayah budaya Minangkabau yang para musisinya
laki-laki seperti di beberapa nagari di Luhak Limo Puluah
(Kabupaten Lima Puluh Kota) di nagari Sialang, di nagari
Talang Maua, dan beberapa di nagari lainnya.

Talempong Uwaik-uwaik Nagari Paninjauan


Foto: Dok. Ediwar, 2017

22
a. Musik Tradisional Gandang Oguang Pangkalan
Talempong gandang oguang adalah salah satu musik
tradisional yang terdapat di Nagari Sialang kecamatan Kapur IX,
kabupaten Lima Puluh Kota. Masyarakat setempat lebih umum
menyebut ensambel ini dengan gandang oguang, bagandang
oguang, atau baoguang, tanpa menyertakan kata talempong di
depannya. Oleh karena nama ensambel musik ini terdiri dari dua
kata, yaitu gandang (gendang) dan oguang (gong). Penamaan itu
berdasarkan pada nama dua jenis alat musik yang digunakan
dalam ensambel, yaitu gandang dan oguang.13 Ensambel ini
merupakan milik ninik mamak masyarakat Sialang. Untuk
menyajikan musik ini pada acara apa saja, baik di dalam maupun
di luar daerah Sialang, harus mendapat izin dari ninik mamak.
Keberlangsungan kehidupan ensambel gandang oguang tidak
saja terletak pada para pemainnya, tetapi juga peran ninik
mamak sangat menentukan.
Ensambel gandang oguang terdiri dari enam talempong
yang diletakkan di atas rak atau rea, dua buah gendang, dan dua
buah oguang. Talempong dimainkan oleh dua orang pemain,
bahkan ada yang tiga orang pemain. Jika dimainkan oleh dua
orang, maka satu orang berfungsi sebagai pemain melodi,
biasanya duduk di sebelah kiri, dan satu orang lagi sebagai
pemain pambao (dasar) yang memainkan pola ritme ostinato.
Jika talempong dimainkan oleh tiga orang pemain, maka satu
orang memainkan pambao, satu orang lagi sebagai paningkah,
dan yang ketiga sebagai pembawa melodi, tetapi melodi pendek-
pendek saja (ostinato).
Gendang dimainkan oleh dua orang pemain. Gendang
pertama dimainkan dengan pola ritme yang disebut palalu atau
panggolong atau disebut juga dengan gandang panggolong,
sedangkan gendang kedua sebagai paningkah, atau gandang
paningkah. Jenis gendang yang dipakai adalah gendang bermuka
dua berbentuk silinder (double-headed sylindrical drum) dengan

13 Mahdi Bahar, “Fungsi Gandang Oguang dalam Masyarakat Sialang,


Minangkabau”, Tesis S2, (Pascasarjana UGM Gajah Mada, 1994), pp. 51-
52.

23
diamater kedua mukanya sama besar. Uniknya, kulit gendang
yang digunakan dalam ensambel ini sengaja dikendorkan, dan
bukan ditegangkan sebagaimana lazimnya gendang yang
digunakan dalam berbagai ensambel musik talempong di
Minangkabau. Cara memainkannya pun agak berbeda, yaitu
diletakkan di bawah betis atau lutut para pemain gendang.
Fungsi oguang sebagai pengatur irama dengan pola ostinato
ritmik.

Talempong Sialang
Foto: Dok. Hanefi

Oguang yang digunakan dalam ensambel ini berjumlah


dua buah, dengan nada yang berbeda. Peran alat musik oguang,
selain pengatur ritmik juga memperkuat aksen ritmik, baik yang
diciptakan dari perjalanan melodi maupun yang dilahirkan oleh

24
gendang. Kedua oguang hanya dimainkan satu orang pemain,
dengan posisi digantungkan.14
Struktur penyajian gandang oguang secara tradisi sudah
ditetapkan sebagai sebuah kesepakatan yang bersifat konvensi,
dan selalu dilakukan oleh senimannya. Penyajian diawali oleh
gandang yang berfungsi sebagai pembingkai ritme, dengan pola-
pola ritme ostinato. Kemudian diikuti oleh oguang, lalu
talempong pambao (dasar) membawakan pola ritme ontinato
dan prinsip pengulangan pola ritme-nya sama dengan pola ritme
gandang palalu, dan talempong malagu berperan sebagai
pembawa melodi. Antara talempong palalu dengan talempong
malagu dalam permainan akan terjadi kesan tumpang-
menumpang.
Repertoar yang dimiliki oleh grup ensambel gandang
oguang sekitar 13 (tiga belas) judul lagu. Akan tetapi dalam
setiap pertunjukan hampir tidak pernah lagi dimainkan ketiga
belas lagu tersebut. Hal ini disebabkan kecenderungan para
penikmat dan musisi sendiri dalam memainkan lagu, memilih
yang menarik dan yang disukai saja. Lagu-lagu yang jarang
dimainkan bertambah jauh dari ‘kepopuleran’, bahkan para
pemainnya tidak mahir lagi mempraktekkannya.
Kecenderungan mereka memainkan lagu hanya antara judul
lagu saja. Di samping itu, ada lagu yang hanya dimainkan pada
waktu-waktu tertentu saja.
Adapun latar belakang yang mengilhami terciptanya
lagu-lagu di atas adalah refleksi terhadap lingkungan dan
pengalaman hidup keseharian masyarakat Sialang sendiri.
Lingkungan alam dengan topografi yang berbukit, berlembah,
dan rawa-rawa serta masih memiliki hutan-hutan yang masih
lebat memberikan ilham terhadap penciptaan lagu, baik yang
bersifat manis atau indah maupun yang sedih.
Adapun pertunjukan yang diikuti oleh gandang oguang
seperti keramaian anak nagari (alek nagari). Lagu-lagu yang
14Herawati, dkk., “Studi Deskriptif Musik Talempong Gandang Aguang di
desa Sialang Kecamatan Kapur IX Kabupaten 50 Kota”, Laporan Penelitian
(Padangpanjang: ASKI, 1993), pp. 23-26.

25
dimainkan biasanya lagu-lagu bersifat gembira yang dapat
menghangatkan suasana keramaian. Kondisi ini sangat
dipahami oleh seniman gandang oguang, agar tidak sepi dari
penonton.

b. Musik Tradisional Talempong Unggan


Talempong unggan merupakan ensambel talempong
melodis yang terdapat di Nagari Unggan Kecamatan Sumpur
Kudus Kabupaten Sijunjung. Talempong unggan termasuk ke
dalam genre talempong duduak (musik perkusi melodis),
ensambel talempong ini hanya dimainkan oleh musisi wanita.
Alat musik ensambel talempong unggan terdiri dari sejumlah
alat musik talempong, dua buah gandang dua muka (double
headed sylindrical drum), aguang (gong). Secara instrumentatif,
masing-masing berperan: talempong sebagai pembawa melodi,
aguang sebagai memperkuat interloking ritme gandang,
sedangkan dua buah gendang memperkuat aspek ritmik
permainan melodi talempong.
Ada beberapa keunikan ensambel talempong unggan,
dimana tempo permainan cenderung cepat, berbeda dengan
permainan ensambel genre talempong duduak yang lain di
Minangkabau. Sebut saja ensambel talempong paninjauan atau
talempong uwaik-uwaik di Kecamatan Tanjung Raya,
talempong gandang aguang yang disebut juga gandang aguang
di Kecamatan Kapur Sembilan, talempong gandang lasuang
yang disebut juga gandang lasuang di Pariaman, dan lain-lain.
Dalam kecepatan permainan talempong unggan itu, permainan
secara keseluruhan dianggap “serasi”, karena permainan ritme
interlocking dua buah gendang yang diperkuat oleh permainan
oguang memperoleh posisi yang sangat mendukung melodi
talempong. Dasar keserasian talempong unggan yang tidak
dimiliki oleh genre talempong duduak yang lain adalah pada
orientasi ritmik yang dimainkan oleh alat-alat musik pendukung
melodi talempong. Pada setiap lagu dalam repertoar talempong
unggan, aspek ritmis yang terkandung dalam gerak melodi
talempong menjadi orientasi ritmis permainan dua buah
gendang, sedangkan jalinan (interlocking) permainan gendang

26
dibubuhi pula oleh dangkuang (dentum) oguang dimana
orientasi ritmisnya kepada permainan gendang. Komposisi
musik seperti inilah yang spesifik pada talempong unggan.
Selain itu, diyakini oleh pendukung budaya musik ini
bahwa keadaan saat ini merupakan waris yang diterima mereka
dari pewaris-pewaris yang telah mendahuluinya. Setelah
dilakukan penelitian ternyata dari repertoar lagunya terkandung
aspek sejarah kedatangan nenek moyang mereka dari daerah
Riau. Lagu “Pararakan Kuntu” menggambarkan tradisi
penggunaan talempong ketika ada kegiatan-kegiatan bersifat
adat di negeri asal mereka yaitu daerah Kuntu-Riau, begitu juga
lagu “Singingi”, jelas sekali itu adalah nama suatu kampung di
Riau. Tanjuang Bolik juga nama suatu daerah atau kampung di
Riau, dan salah satu lagu dari repertoar talempong unggan juga
ada yang berjudul “Tanjuang Bolik.”15
Berdasarkan wawancara dengan tokoh masyarakat
setempat bahwa mereka menganggap masyarakat Nagari
Unggan berasal dari tanah Riau. Rombongan nenek moyang
mereka bermigrasi menelusuri sungai ke arah hulu mencari
lahan tanah yang subur dan menguntungkan untuk membuka
ladang dan atau sawah, lalu rombongan tersebut memilih daerah
yang bernama Unggan itulah tempat mereka tinggal
(berdomisili). Sebagian besar anggota masyarakat setempat
masih mengenal cerita dari orang tua-tua dan atau nenek/kakek
mereka bahwa repertoar talempong unggan adalah cerminan
perjalanan mereka dari “tanah asal” (Riau) ke perantauan Desa
Unggan (Minangkabau).
Hingga kini, masih hidup sejumlah reperoar lama dari
ensambel talempong unggan, lagu-lagunya masih berproses
terus-menerus sebagai warisan yang “harus” dipelajari anak-anak
gadis remaja di kampung itu. Tradisi pewarisan ini menjadi
ketentuan adat setempat sejak lama dan bertahan hingga kini.
Lagu-lagu dari repertoar dimaksud adalah: Pararakan Kuntu,

15 Erianto. “Talempong Unggan Musik Tradisi di Desa Unggan


Minangkabau: Tinjauan tentang Kehidupan dan Sistem Pewarisannya.“
Skripsi. (Bandung: STSI. 1998), pp. 31-32.

27
Singingi, Tanjuang Bolik, Ramo-ramo Tabang Tinggi, Tupai
Bagoluk, Kancang Badayuang, Sikadudu, dan Siriah Langkok.
Selain lagu-lagu itu masih ada beberapa lagu-lagu lain sebagai
kreasi para musisinya.
Tradisi talempong duduak yang tumbuh dan berkembang
di Unggan relatif sama dengan talempong silantai di nagari
Silantai yang tidak begitu jauh dari Nagari Unggan. Yang
diketahui bahwa talempong silantai memiliki tradisi tempo
musik yang sedikit lebih cepat dari pada talempong unggan,
sedangkan sistem dan teknik permainan sama.
Dalam praktiknya, nada-nada talempong tidak disusun
secara permanen (tidak berurutan) dari urutan nada rendah ke
tinggi, tetapi tergantung dari lagu yang dimainkan. Perubahan
susunan nada ini akibat dari teknik permainan yang dilakukan
oleh pemain melodi. Dari sejumlah ensambel talempong
duduak yang terdapat di Minangkabau, talempong unggan
termasuk ensambel dengan memiliki teknik permainan yang
cukup unik, dinamis, dan cepat.
Dua buah gendang yang dimainkan dengan cara ditabuh
pada kedua sisi (muka) kiri dan kanannya. Pada sisi kiri ditabuh
dengan telapak tangan, sedangkan sisi kanan ditabuh dengan
menggunakan alat penabuh (stick) dari bahan kayu. Perpaduan
motif ritme tangan kiri dan kanan yang berbeda akan
menghasilkan jalinan ritme yang menarik. Sementara aguang
dimainkan dengan cara dipukul sedikit ditekan agar
resonansinya bergetar tidak panjang, diletakkan di atas paha atau
lantai. Aguang tersebut dapat dipegang oleh orang lain atau
dipegang oleh pemukulnya sendiri dengan cara meletakkan di
atas paha.
Sebagai tanda syukur dan agar tetap ingat sejarah nenek
moyangnya, mereka tetap mempertahankan dan
mengembangkan musik tradisi talempong unggan. Keberadaan
musik ini yang selalu hadir dalam berbagai peristiwa adat di
Nagari Unggan dengan sendirinya dapat mempererat

28
silaturrahmi dan kebersamaan yang kuat dalam menghadapi
suka dan duka kehidupan.16

Talempong Unggan
Foto: Dok. Hanefi

Talempong unggan pada umumnya dimainkan oleh


para wanita. Proses pewarisannya pun berlangsung sangat baik
dan bersifat terbuka. Pada waktu-waktu senggang (kecuali masa
menuai padi) para remaja putri latihan bermain talempong di
rumah gadang dengan media talempong kayu yang sudah dilaras

16 Ibid. pp. 67-68

29
sama dengan talempong logam. Mereka latihan kadangkala
didampingi oleh pemusik senior sebagai guru dalam bermain
musik. Meskipun tidak semua remaja tersebut dapat bermain
talempong dengan baik, tetapi usaha untuk selalu
mempertahankan tradisi dan mengapresiasinya sebagai warisan
budaya setempat merupakan sikap yang baik dari para generasi
muda Unggan.

c. Musik Tradisional Gandang Lasuang Pariaman


Ensambel talempong gandang lasuang atau disebut
gandang lasuang saja merupakan musik tradisi melodis yang
terdapat di beberapa tempat di Kota Pariaman dan Kabupaten
Padang Pariaman. Daerah-daerah yang memiliki tradisi ini dan
cukup dikenal pada masa lalu adalah Padang Kunik, Sikapak,
Kampani, Barangan, Koto Marapak, dan Ampalu. Ensambel
gandang lasuang terdiri dari lima buah talempong, satu buah
gandang/tambua (double headed silindrical drum) yang
berukuran besar, dan satu buah lasuang (lesung). Talempong
difungsikan sebagai pembawa melodi yang dimainkan oleh satu
atau dua orang, yang disusun di atas rak atau rea. Susunan nada-
nada yang dimainkan diurut berjejer dari kiri ke kanan dari nada
rendah ke nada tinggi. Gendang dimainkan oleh satu orang
pemain menggunakan pemukul dari kayu, difungsikan sebagai
pembawa ritme dengan pola ritme ostinato. Sementara lasuang
(lesung) yaitu sepotong kayu yang difungsikan sebagai alat
musik perkusi ritmik, bisa dimainkan oleh satu atau dua orang.
Pola ritme lesung mengikuti pola ritme gendang, dengan pola
ostinato ritmik.17
Gandang lasuang pada umumnya dimainkan oleh para
pemusik perempuan, terutama sebagai pemain melodi dan
lasuang. Sedangkan untuk pemain gendang bisa dimainkan oleh
laki-laki atau perempuan. Musik ini biasanya ditampilkan pada
acara pesta perkawinan, keramaian kampung, dan hajatan serta

17 Susandra Jaya (musisi Gandang Lasuang). Wawancara di Padangpanjang,


tgl 26 September 2017.

30
sebagai musik pengiring tari piring. Ensambel ini disajikan di
atas pentas kecil atau hanya di teras dan halaman rumah saja.
Lagu-lagu yang dimainkan adalah: “Sisiti”, “Kureta Mandaki”,
“Lagu Joget”, “Lagu Manjo”, “Gadabah Mudiak Aia”, “Oyak
Ambacang”, “Tarakolakkolak”, “Piak Dumah”, “Kudo Balari”,
dan “Tak Tontong.”
Dalam penyajiannya, biasanya para ibu-ibu yang tidak
memainkan alat musik tetapi terlibat ke dalam peristiwa itu
biasanya pada lagu-lagu tertentu mereka berjoget (menari)
sesama ibu-ibu itu. Lagu yang sering menjadi daya tarik bagi ibu-
ibu setempat melakukan tarian atau joget di antaranya adalah
lagu Joget dan lagu Tarkolakkolak, serta biasanya yang berjoget
itu adalah ibu-ibu yang berusia relatif tua.

Talempong Gandang Lasuang


Foto: Dok. Hanefi

d. Musik Tradisional Talempong Uwaik-uwaik


Maninjau
Talempong uwaik-uwaik paninjauan merupakan
ensambel talempong melodis yang terdapat di nagari Paninjauan
Maninjau. Grup talempong ini dimainkan oleh para wanita
khususnya ibu-ibu. Ensambel ini terdiri dari lima dan enam

31
buah talempong, satu buah gandang/tambua, satu buah aguang,
giriang-giriang (tambourine), rabano (gadabiak), dan botol.
Talempong difungsikan sebagai pembawa melodi yang
disusun di atas rak atau rea. Dalam penyajiannya, talempong ada
yang berfungsi sebagai talempong pambao lagu dan sebagai
talempong paningkah. Talempong pambao lagu adalah
talempong yang berfungsi sebagai pembawa melodi utama,
sedangkan talempong paningkah berfungsi sebagai pengisi
melodi yang dibawakan oleh talempong pambao lagu. Gendang
yang digunakan berfungsi sebagai pengatur tempo permainan.
Gendang dimainkan dalam posisi duduk. Aguang berfungsi
sebagai pemberi aksentuasi ritmik dalam permainan melodi
talempong. Aguang dimainkan dalam posisi digantung.
Pemukulnya terdiri dari: satu buah nangka muda berukur kecil
dan satu buah alat logam seperti sendok, garpu, kunci, dan
sebagainya. Selanjutnya giriang-giriang, sejenis rattle yang
dibunyikan dengan cara digoyangkan dan dipukulkan ke telapak
tangan. Rabano (gadabiak), yaitu jenis rebana kecil, yang
berperan sebagai pemberi variasi dalam permainan talempong.
Alat ini dipukul dengan jari dan telapak tangan. Kemudian botol
kosong dipukul dengan sendok atau potongan besi, berfungsi
sebagai pengatur birama.

Talempong Uwaik-uwaik Paninjauan


Foto: Dok. Ediwar, 2017

32
e. Musik Tradisional Talempong Batuang Luhak
Limopuluah
Talempong batuang merupakan ensambel kecil musik
tradisi yang terdapat di beberapa nagari di kabupaten Lima
Puluh Kota. Ensambel ini tidak begitu berkembang, baik di
daerah asalnya sendiri maupun ke beberapa tempat di luar
daerahnya Minangkabau. Sebagaimana dinyatakan oleh
Boestanoel Arifin Adam, dalam penelitiannya mengenai
talempong, bahwa dahulu talempong batuang banyak terdapat
di berbagai nagari di Kabupaten 50 Kota. Namun sekarang
hanya tinggal satu nagari saja yang memiliki talempong batuang
tersebut, yakni di Nagari Saut Kecamatan Gunung Emas
Kabupaten 50 Kota, dan itupun jumlahnya dua atau tiga
kelompok saja, atau boleh dikatakan mendekati kepunahan.
Merosotnya minat masyarakat daerah setempat terhadap
talempong batuang diduga karena desakan perkembangan
teknologi yang semakin maju, seperti adanya alat-alat musik
elektronik yang sampai mesuk ke kampung-kampung di
Kabupaten 50 Kota, lagi pula fungsi dari talempong batuang itu
kebanyakan adalah untuk kepentingan mencapai keinginan
dengan jalan yang tidak baik, misalnya, untuk memikat seorang
gadis dengan cara memantrai talempong tersebut dengan
berbagai macam jampi-jampi (mantra). Cara yang seperti ini
pada zaman sekarang agaknya sudah tidak terpakai lagi karena
dianggap sangat merugikan.18
Pada tahun 2003, Ambiya seorang seniman tradisi
talempong yang berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota
mencoba membuat dan menghidupkan kembali talempong
batuang. Ia melaras beberapa bambu yang sudah kering dengan
lebar sekitar 5-6 cm dan panjang antara 30-35 cm. Bilahan-
bilahan bambu itu diletakkan di atas rakr atau rea kecil dari kayu
setinggi sekitar 20 cm.
Untuk memainkan talempong batuang diperlukan
sebuah pelapah pisang. Pelapah pisang ini dilipat menjadi

18 Boestanoel Arifin Adam, “Talempong Musik Tradisi Minangkabau”,


Laporan Penelitian (Padangpanjang: ASKI. 1986/1987), p.., 11.

33
sebentuk segi empat dan kemudian disematkan agar tidak lepas,
sesudah itu barulah disusun batuang (bambu) yang sudah dilaras
di atasnya secara berjejer. Untuk melaras batuang ini sesuai
dengan nada yang diinginkan ialah dengan cara memotong
ujungnya dan dibuat runcing, kemudian bagian perutnya atau
yang sebelah dalam diraut.
Dalam memainkan seperangkat instrumen talempong
batuang diperlukan alat lain sebagai pelengkapnya, yakni
gandang katindik (double headed barrel drum) dan giring-giring
(rettle) yang terbuat dari kaleng dan kawat, lagu yang dimainkan
untuk memikat anak gadis adalah lagu “Barueh Andiang”.
Sekarang dari talempong batuang yang ada, nadanya sudah
dilaras diatonis karena kebanyakan dipakai untuk kepentingan
mengiringi dendang, serta untuk mengiringi tari piring, tari
payung dan tari bergembira. Jadi talempong batuang sekarang
ini berfungsi untuk memeriahkan pesta.

f. Musik Tradisional Talempong Kayu Luhak


Limopuluah
Talempong kayu dengan talempong batuang prinsipnya
adalah sama, cuma sedikit perbedaan terdapat pada bahan
pembuatannya; kalau talempong batuang terbuat dari bahan
bambu, talempong kayu terbuat dari bahan kayu dalam kondisi
kering dan ringan, jadi bukan jenis kayu yang keras dan berat
semacam kayu jati dan lain sebagainya. Kotak resonator terbuat
dari papan persegi-empat, pada bagian atas resonator
direntangkan tali sebagai tempat kedudukan talempong kayu
tersebut. Musik tradisi talempong kayu kebanyakan terdapat di
daerah Kabupaten 50 Kota. Namun sekarang alat musik ini
dikhawatirkan keberadaannya atau diprediksi hampir punah,
diperkirakan gejala kelangkaannya ini sejak tahun 1930-an.

34
Talempong Kayu
(Dok. Ediwar, 2010)

2.2. MUSIK PERKUSI RITMIS


Musik perkusi ritmis di Minangkabau hanya tertuju
pada musik tradisional gandang, seperti musik gandang tambua,
gandang tambua tansa, gandang katipik, gandang sarunai.
Secara musikal bahwa lagu-lagu musik tersebut dibangun
melalui proses tabuhan gendang. Hanya ensambel gandang
katipik dan gandang sarunai yang memasukkan unsur melodis
sebagai hiasan ke dalam komposisi lagunya.
Ensambel Gandang katipik nagari Paninjauan
melibatkan beberapa alat musik ke dalam ensambel arak-
arakannya, alat musik itu seperti talempong, gadabiak (frame
drum), tamburin (car) dan pupuik gadang. Namun demikian
yang utama adalah aspek ritmis gandang, lalu permainan
ostinato talempong, gadabiak, tamburin dan pupuik gadang
hanya sebagai hiasan dan membangun suasana. Repertoar yang
dimiliki ensambel ini hanya satu lagu saja yaitu lagu Pararakan.
Musik perkusi ritmis lain yang menggunakan alat musik
melodis ke dalam ensambelnya adalah gandang sarunai yang
tumbuh dan berkembang di Alam Surambi Sungai Pagu, alat

35
musik dimaksud adalah sarunai. Kehadirannya dalam komposisi
juga sebagai hiasan dan membangun suasana, sedangkan pola-
pola melodinya dianggap sama untuk setiap lagu. Sejumlah lagu
dalam repertoar gandang sarunai di antaranya adalah Gandang
Duo Piciak, Gandang Solok, Gandang Sikudidi, Gandang
Padopado, dan lain-lain, kehadiran sarunai tetap memainkan
pola melodi yang sama untuk setiap lagu, bahkan tidak ada
unsur melodis dari sarunai-pun dianggap tidak megurangi
kehadiran lagu.

2.2.1. Musik Tradisional Gandang Tambua Pariaman


Gandang tambua merupakan ensambel musik perkusi
ritmis yang tergolong paling besar di Minangkabau. Ukuran
besarnya tampak dari guna dan fungsinya, suaranya, jumlah
instrumen yang digunakan, dan besarnya ukuran gendang yang
dipakai. “Kebesaran” guna dan fungsinya serta suaranya yang
keras atau “besar”, tampak dari penggunaan gandang tambua
pada berbagai upacara adat yang bersifat prosesi dan di alam
terbuka, seperti di daerah Pariaman dan Maninjau. Salah satu
yang terpenting di antaranya adalah dalam Upacara Ritual
Tabuik di Pariaman.19
Selain itu, gandang tambua memiliki karakter musikal
yang enerjik dengan suara menghentak dan mendentum. Ini
diperkuat dengan jumlah gendang yang dipakai dalam setiap
penyajiannya, yakni berkisar antara empat sampai lima belas
buah gendang, bahkan bisa lebih (seperti yang digunakan di
daerah Maninjau), dan ditambah dengan satu atau dua buah
tasa. Kemudian gendang yang digunakan juga memiliki ukuran
yang relatif cukup besar.
Sejauh ini nyaris belum ditemukan ensambel musik
perkusi di Minangkabau yang mendekati atau sama dengan
karakter musik gandang tambua. Kecuali gandang katipik di
Maninjau yang menggunakan sejumlah gendang dengan ukuran

19Asril Muchtar. “Upacara Tabuik: Dari Ritual Heroik ke Pertunjukan


Heroik.” Dalam Seni Tradisi Menantang Perubahan (Bunga Rampai). Ed.
Mahdi Bahar. (Padangpanjang: STSI Padangpanjang-Press. 2004), p.213

36
lebih kecil dari gandang tambua, ditambah dengan beberapa
buah talempong, rebana kecil, dan pupuik gadang. Akan tetapi
pada dasarnya gandang katipik merupakan adaptasi dari
gandang tambua, dilihat dari pola ritme pukulan gendangnya.
Dalam masyarakat Pariaman dan Maninjau serta daerah
lain yang memakai gandang tambua, musik ini termasuk musik
tradisi yang mampu menarik perhatian orang banyak. Dilihat
pula pada penggunaannya khusus di lapangan terbuka, baik itu
dimainkan dalam posisi diam di tempat maupun untuk arak-
arakan, mampu mengangkat suasana kemeriahan dan
kedalaman sebuah upacara.
Ensambel gandang tambua secara musikal termasuk ke
dalam ensambel perkusi ritmik tanpa melodi. Artinya, tidak ada
instrumen musik yang difungsikan sebagai instrumen melodi,
oleh karena instrumen yang dipakai hanya antara 4–10 buah
lebih gendang bermuka dua (double-headed cylindrical drum)
dan satu buah tasa (single-headed vessel drum). Juga tidak ada
gendang yang dilaras dengan nada-nada tertentu yang
difungsikan sebagai melodi, seperti instrumen taganing pada
etnik Batak Toba di Sumatra Utara. Gandang tambua memiliki
karakter musik yang dinamis, enerjik, dan kadang-kadang
mendatangkan keasyikan tersendiri bagi yang
mendengarkannya. Musik ini termasuk musik rakyat yang bisa
dimainkan oleh masyarakat tanpa harus melalui ‘birokrasi’ adat
atau tetua adat yang sulit dan rumit.
Gandang tambua dipertunjukkan dalam berbagai
upacara dan kegiatan sosial yang dilakukan oleh masyarakat.
Misalnya dalam upacara pesta perkawinan, mengarak
penganten, sebagai musik pengiring tari Galombang dalam
upacara pengangkatan raja dan pada upacara alek paulah tinggi
(ulu ambek), upacara pengangkatan pengulu, Maulid Nabi
Muhammad, alek nagari (pesta desa/nagari), dan lain
sebagainya.
Gandang tambua dijumpai di beberapa daerah di
Minangkabau, seperti Pariaman, Maninjau, Lubuk Basung, dan
beberapa daerah kabupaten Agam lainnya yang berbatasan

37
dengan kabupaten Padang Pariaman. Gandang tambua
Pariaman memiliki karakter musik cepat, dinamis, enerjik, dan
keras, terutama di kawasan kota Pariaman, sehingga lagu-lagu
yang dimainkan hanya berdurasi antara empat sampai delapan
menit saja oleh karena penyajian gandang tambua lebih banyak
menguras tenaga. Karakter musik seperti itu banyak dipengaruhi
pula oleh alam lingkungannya yang berada di tepi pantai yang
cenderung keras dan mudah menerima pengaruh dari luar.
Selain itu karena adanya Upacara Tabuik yang berdimensi
keras.
Berbeda dengan daerah Maninjau jumlah instrumen
yang digunakan dalam satu grup bisa lebih banyak dari
Pariaman, yaitu antara tujuh sampai lima belas buah, dan
bahkan bisa lebih dari itu. Karakter musiknya cenderung
bertempo lambat dan tidak terlalu keras, tetapi bisa disajikan
dalam durasi antara setengah dan bahkan sampai satu jam.
Penyajian gandang tambua di daerah Maninjau, tidak terlalu
menguras tenaga, sehingga bisa disajikan dalam waktu yang
relatif lama, bahkan ada pemain gendang yang menjadi trance
karena terlalu asyik memukul gendang. Karakter musiknya
banyak pula dipengaruhi oleh alam lingkungannya yang tenang.
Maninjau yang terletak agak ke pedalaman kurang lebih sekitar
50 km dari pantai jauh dari hiruk pikuk suasana pantai, sehingga
karakter musik gandang tambua juga cenderung tenang. Selain
itu Maninjau tidak memiliki tradisi Upacara Tabuik.
Berbeda pula dengan daerah Lubuk Basung yang berada
di antara Pariaman dan Maninjau, jumlah instrumen gandang
tambua yang dipakai lebih cenderung mengikuti jumlah yang
ada di Pariaman, khususnya daerah Lubuk Basung yang
berbatasan dengan Pariaman. Akan tetapi karakter musiknya
lebih cenderung mengikuti karakter Maninjau, walaupun
karakter Pariaman juga ditemui, tetapi tidak terlalu menonjol.
Seperti juga Maninjau, Lubuk Basung tidak memiliki tradisi
Upacara Tabuik.
Saat ini gandang tambua tidak hanya ditemui pada
daerah itu saja, melainkan sudah ditemui di berbagai kota
Sumatera Barat, seperti: Padang, Bukittinggi, Payakumbuh,

38
Padangpanjang, dan bahkan di kota-kota besar seperti Medan,
Jakarta, dan lain sebagainya. Hadirnya gandang tambua di
berbagai kota tersebut pada umumnya dibawa oleh para
perantau yang berasal dari Pariaman dan Maninjau. Para
perantau itu sering melakukan upacara-upacara di daerah
perantauannya yang melibatkan gandang tambua, sebagaimana
yang lazim dilakukan di daerah asalnya. Misalnya, para perantau
Pariaman yang berada di Padang, Bukittinggi, Payakumbuh,
Pekan Baru, dan kota-kota lainnya, mereka melakukan Upacara
Tabuik dalam bentuk sekuler. Biasanya dalam rangka
memeriahkan perayaan ulang tahun kemerdekaan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus.

Gandang Tambua Pariaman


Foto: Dok. Hanefi

Selain oleh para komunitas perantau, gandang tambua


juga dimiliki oleh berbagai sanggar-sanggar kesenian yang ada di
berbagai kota di Sumatra Barat, dan sanggar-sanggar kesenian
Minang yang ada di berbagai kota luar Sumatera Barat. Paket-
paket pertunjukan yang disajikan oleh sanggar-sanggar kesenian
itu tak jarang juga menghadirkan paket khusus gandang tambua,
seperti pertunjukan awal sebagai pembukaan pertunjukan.

39
2.2.2. Musik Tradisional Gandang Sarunai Sungai Pagu
Gandang sarunai Sungai Pagu di Muaro Labuah dalam
konteks sosialnya sangat berkaitan dengan adat. Ensambel ini
ditampilkan dalam berbagai upacara, yaitu upacara
pengangkatan raja yang disebut dengan upacara Uak Lambai,
dan upacara adat perkawinan. Dalam upacara pengangkatan
raja-raja, gandang sarunai diikut-sertakan sebagai tanda
kebesaran raja. Dalam ungkapan adat Alam Surambi Sungai
Pagu seperti yang ditulis oleh Mahdi Bahar, dinyatakan: ”diliek
rupo, didanga bunyi, diguguah gandang, dipatiak sarunai
(dilihat rupa, didengar bunyi, dipukul gendang, dipetik [ditiup]
sarunai).20
Masyarakat Muaro Labuh (Rafiloza, Juli 2017)
menyatakan bahwa pertunjukan gandang sarunai dalam
upacara-upacara di atas, amat bergantung pada bentuk upacara.
Pada upacara pengangkatan raja, gandang sarunai tidak hanya
sekedar memeriahkan upacara, tetapi dapat dianggap sebagai
representasi kebesaran raja. Begitu juga pada upacara Uak
Lambai, gandang sarunai menjadi salah satu simbol kebesaran
upacara tersebut. Berbeda dengan pada upacara pesta
perkawinan, gandang sarunai hanya dijadikan sebagai media
untuk memeriahkan upacara.
Ensambel gandang sarunai terdiri dari dua buah
gendang bermuka dua (double-headed drum) dan sebuah
sarunai. Kedua gendang itu masing-masing dimainkan oleh satu
orang, dan disebut dengan gandang batino dan gandang jantan.
Dalam komposisinya gandang batino berfungsi sebagai malalu
(memainkan pola ritme dasar lagu), sedangkan gandang jantan
berfungsi sebagai peningkah. Pola-pola ritme yang dimainkan
oleh kedua gendang itu, menghasilkan jalinan-jalinan atau
kaitan dan tingkahan ritme, yang bisa digolongkan ke dalam
teknik interlocking. Sementara sarunai dimainkan oleh satu

20Mahdi Bahar, “Bermain Musik Talempong Gandang Sarunai”, Buku Ajar,


(Padangpanjang: STSI, 2004), p. 8.

40
orang, berfungsi memainkan melodi-melodi yang tidak begitu
terikat dengan pola-pola ritme gendang.
Dari aspek organologis dan suara yang dilahirkan oleh
gendang serta teknik menghasilkan bunyi gendang, termasuk
spesifik. Masing-masing permukaan gendang menghasilkan
suara yang berbeda. Permukaan gendang yang berdiameter kecil
(sekitar 27-30 cm) akan menghasilkan sekitar tiga macam warna
bunyi, yaitu: bunyi nyaring [teng] yang dipukul dengan jari di
bagian pinggir atas gendang; bunyi sedang [tung] dipukul
dengan telapak tangan dan jari di bagian pinggir sisi tengah
gendang; bunyi piciak (ditekan seperti meredam bunyi) dengan
ujung jari di bagian tengan gendang. Bagian gendang
permukaan kecil ini, dimainkan dengan tangan kiri tanpa
menggunakan penokok (stick).
Sementara permukaan gendang yang berdiameter besar
(sekitar 33-35 cm), menghasilkan sekitar tiga macam warna
suara yang berbeda. Masing-masing yaitu: bunyi tum yang
dipukul dengan penokok sambil dilepas; bunyi tak yang dipukul
dengan penokok sambil ditekan; bunyi seperti meredam suara
yang ditekan dengan telapak tangan sambil memegang penokok.
Perbedaan masing-masing warna bunyi pada kedua permukaan
gendang, berlaku sama pada gandang jantan dan gandang
batino. Untuk membedakan gandang jantan dan gandang
batino, dilihat dari perbedaan bunyi nyaring masing-masing
gendang. Bunyi yang lebih nyaring, dijadikan sebagai gandang
jantan, karena dengan suaranya yang lebih nyaring itu, akan
dapat menghasilkan tingkahan-tingkahan yang ‘enak’ didengar.
Bagi masyarakat Muaro Labuah sendiri belajar gandang
sarunai, juga tidak mudah. Mereka membutuhkan waktu yang
relatif cukup lama juga untuk menghasilkan warna bunyi.
Biasanya para guru gandang sarunai memberikan sugesti kepada
para anak-anak muda yang belajar gandang sarunai dengan
menetapkan berbagai persyaratan, agar belajar dengan sungguh
dan dapat pula bermain mencapai tingkat kemampuan seperti
gurunya. Persyaratan itu adalah, proses pertama, mando’a, bagi
orang yang akan belajar. Selanjutnya dilengkapi dengan: 1)
menyembelih ayam jantan; 2) menyediakan cikumpai, cikarau,

41
sitawa, dan sidingin; 3) menyediakan bareh batiah dan bareh
randang; 4)menyediakan pisang manih; 5) uang; 6) beras. Proses
kedua melengkapi syarat yaitu: 1) singgang ayam; 2) kain putih;
3) pisau; 4) nasi kunik; 5) pisang manih; 6) sirih pinang; 7) uang;
8) beras.
Dilihat dari aspek musikal, dengan adanya perbedaan
warna bunyi itu, dan dipadukan dengan kekayaan interlocking
dari pola ritme lagu-lagunya, maka gandang sarunai termasuk
salah satu musik tradisi yang memiliki tingkat kerumitan dan
musikal yang cukup tinggi. Biasanya bagi orang-orang yang
telah menguasai bermain gandang sarunai, jika belajar atau
memainkan gendang ensambel lain di Minangkabau, yang
menggunakan teknik menghasilkan warna bunyi dengan tangan,
tidak mengalami kesulitan yang berarti.

2.2.3. Musik Tradisional Gandang Tansa Maninjau


Musik perkusi ritmis gandang tansa adalah musik
tradisional anak nagari yang terletak di selingkar danau
Maninjau, musik gandang tansa ini cenderung digunakan untuk
hiburan di kala ada keramaian-keramaian nagari misalnya
memeriahkan penyambutan tamu-tamu khusus, acara festival
gandang tansa antar nagari, dan lain-lain. Para musisi musik
perkusi ritmis ini laki-laki dari yang berusia muda hingga
dewasa, namun dewasa ini sudah berkembang dengan
terbentuknya kelompok gandang tansa wanita di Nagari Bayua,
Kecamatan Tanjung Raya.
Instrumentasinya terdiri dari dua jenis gendang yaitu
gandang tambua jenis double headed cylindrical/barel drum
dan gandang tansa jenis single headed vessel drum. Gandang
tansa berperan sebagai leader atau pemimpin perjalanan
komposisi musiknya, sedangkan gandang tambua adalah bagian
dalam komposisi yang pola-pola ritmenya menghasilkan
berbagai bentuk metrik ritmis (heterometer) yang bentuk (form)
komposisinya diarahkan oleh gandang tansa. Para musisi yang
memainkan alat musik gandang tambua terdiri dari sejumlah
musisi, biasanya berjumlah lima sampai dua puluh orang

42
pemain. Selain itu, gandang tansa juga berperan dalam
komposisi lagu sebagai penentu lagu apa yang akan dimainkan
dari repertoar yang ada.
Peristiwa-peristiwa penyajian gandang tansa cenderung
pada penyajian-penyajian aktraktif dalam pertandingan/lomba
gandang tansa, pertunjukan keterampilan bermain musik ini
pada keramaian-keramaian anak nagari, dan pada penyambutan-
penyambutan tamu tertentu. Biasanya berbagai aksi permainan
melalui repertoar yang sesuai dengan konteks kegiatan atau
event, misalnya menampilkan formasi disain lantai yang selalu
bergerak (berubah-ubah), melakukan gerak-gerak gaya tari-
tarian yang rampak sambil bermusik, dan membuat konfigurasi
dengan level-level tubuh sama yang disesuaikan dengan ekspresi
dinamika komposisi-komposisi musik yang tersaji.

Gandang Tansa Maninjau


(Dok. Hanefi)

43
Perbedaan gandang tansa dengan gandang katipik
terutama adalah gaya permainan dari repertoar yang disajikan;
gandang katipik memainkan hanya satu lagu tradisional yang
dilengkapi dengan alat-alat pendukung lain, penyajiannya
digunakan untuk arak-arakan — walaupun ada jeda arak-arakan
dimana mereka bermaian atraktif di tempat atau dalam posisi
tetap. Sedangkan gandang tansa dengan permainan alat musik
tansa dan permainan kelompok alat musik gandang tambua
sangat dinamis. Sebagaimana yang disinggung di atas bahwa
gendre musik ini memiliki beberapa repertoar lagu, dan gaya
penyajiannya sangat aktraktif.

2.3 Alat Musik Perkusi Ritmis Pengiring Nyanyian


Jenis alat musik perkusi perunggu pengiring nyanyian
perlu dikemukakan karena keunikan apresiasi orang
Minangkabau dalam memandang alat yang berfungsi non
musikal menjadi alat musik. Mundam adalah alat keperluan
dapur berbentuk periuk dari bahan logam (perunggu). Pada
ensambelnya yang disebut dikia mundam digunakanlah oleh
masyarakat sebagai alat musik ritmik pengring nyanyian
bernuansa Islam, perannya dalam komposisi musik sebagai
pengiring ritmis melodi vokal (nyanyian) dengan teknik call &
respons dan pada bagian tertentu nyanyian berupa koor
(chorus).
Selain dari itu, ada pula musik tradisional Minangkabau
yang disebut salawat dulang, yang digunakan adalah alat yang
berfungsi sebagai alat dapur berupa piring logam besar yang
disebut dulang. Perannya dalam permainan musik salawat ini
adalah pengiring melodi vokal (nyanyian) dengan teknik
antiphonal (penyanyi satu selalu mendahului penyanyi kedua),
dan bagian lain dengan tekstur homophony.
Kemudian penggunaan gendang sebagai pengiring
melodi vokal (nyanyian) seperti alat musik rebana berukuran
besar, dan ada pula yang berukuran kecil. Alat musik rebana
yang berukuran besar disebut rabano dan yang berukuran kecil
disebut rapa’i atau indang. Alat musik rabano pada umumnya

44
digunakan masyarakat Minangkabau untuk mengiringi
nyanyian dzikir, sehingga musik tersebut dinamakan dikia
rabano. Alat musik semacam rabano berukuran kecil digunakan
untuk mengiringi nyanyian indang piaman, dan nama kesenian
itu menjadi indang piaman yang didominasi oleh gerakan-
gerakan (tari) dan nyanyian.

2.3.1. Musik Tradisional Dikia Mundam Luhak Tanahdata


Dikia mundam termasuk kategori 45musik bernuansa
Islam. Musik ini mengutamakan melodi 45musik yang diiringi
oleh alat mundam yaitu alat berupa rantang dari bahan
perunggu, biasanya digunakan untuk kebutuhan tempat
makanan bagi masyarakat setempat. Namun alat itu difungsikan
sebagai alat 45musik perkusi ritmis dalam 45musik dikia
mundam, lalu keberadaannya juga mengalami perubahan
disebabkan fungsi musikal 45 itu. Secara organologis, mundam
tergolong pada klasifikasi idiophone, jenisnya dari keluarga gong
tanpa pencu yang disebut ‘gong ceper’.21
Secara musikal, dikia mundam terdiri dari melodi
45vokal diiringan permainan ritmik alat musik mundam.
Melodi 45vokal dibawakan oleh masing-masing musisi secara
bergantian dengan teknik call and respons, dan pada tahap
memulai melodi vokal (nyanyian) sebagai ‘pembuka’ atau
introduksi digunakan teknik antiphonal yaitu melodi yang
dimulai oleh salah seorang dari musisinya lalu disambut dan
diteruskan oleh musisi kedua. Setelah itu disambut lagi oleh
musisi ketiga dan diteruskan sampai kembali kepada siklusnya
semula yang dibawakan oleh musisi pertama, dan begitu
selanjutnya. Begitulah struktur permainan dikia mundam
dalam satu bagian ke bagian berikutnya sepanjang perjalanan
komposisi hingga selesai.

21Dwita Norfalinda. “Studi Musikologis Musik Dikia Mundam di Desa


Sungai Omeh Kecamatan Tanjuang Omeh Kabupaten Tanah Datar.”
Skripsi. Padangpanjang: Sekolah Tinggi Seni Indonesia. 2000. p.26

45
Alat Musik dan Penajian Dikia Mudam
Foto: Dok. Almuhanis

Selain itu, pada bagian-bagian tertentu, mereka (para


musisi) bernyanyi secara chorus (koor) dengan menggunakan
teknik call and respons. Nyanyian chorus ini membawakan teks
yang berbeda-beda. Teks yang utuh (call) dibawakan oleh musisi
1, teks berupa silabel bunyi saja (respons) dibawakan oleh musisi
2 dan 3, dengan teknik isi mengisi. Kelihatan bahwa melodi
dengan teks utuh didukung oleh tekanan ritmis silabel-silabel

46
yang mengesankan permainan pola ritme dalam bentuk
pengucapan silabel-silabel yang tidak mengandung arti berperan
memperkuat melodi pokok.22

2.3.2. Musik Tradisional Dikia Pano Kabupaten Pasaman


Kesenian dikia pano termasuk kategori 47musik
bernuansa Islam. Musik ini merupakan melodi vokal (nyanyian)
diiringi oleh alat musik pano atau rabano yaitu gendang muka
satu berbingkai (single-headed frame drum). Perbedaan rabano
ini dengan rabano-rabano yang dipakai oleh kelompok-
kelompok dikia rabano atau genre yang sama di daerah lain
dalam wilayah kebudayaan Minangkabau dapat dikatakan
spesifik, karena alat musik pano atau rabano Lubuak Sikapiang
ini memiliki resonator berupa bingkai seperti kuali berlobang
dan ada pula yang berbingkai (ftame) lebih tinggi dari head ke
bagian bawah resonator dan sebagian resonator pada bagian
belakang ditutup sebagian, sedangkan di bagian tengah
resonator itu berlobang dengan diameter 10 – 13 cm. Jenis alat
musik pano dengan resonator seperti itu memproduksi bunyi
dengan karakter yang khusus pula, dimana resonansi pukulan
membrannya pantul-memantul ke dinding resonator dan
kemudian keluar dengan bunyi bass lebih menonjol. Jadi,
bunyinya bergetar lebih dahulu dalam resonator lalu didorong
ke luar. Sementara pada alat musik yang digunakan oleh
kelompok-kelompok dikia rabano genre yang sama mempunyai
rabano dengan resonator berbentuk bingkai juga tetapi tidak
ditutup di belakangnya, tentu resonansi yang dihasilkan oleh
getaran kulit langsung keluar dari resonator. Tendangan bunyi
yang dihasilkan lebih jauh dari alat musik pano karena resonansi
pukulan membrane lebih cepat keluar ruang resonator, tidak
terjadi pantul-memantul.
Dengan demikian bunyi yang diproduksi oleh pano lebih
“berat” dan mengeluarkan warna bunyi bass dan dominasi

22Almuhanis. “Dikia Mundam Dlam Upacara Manyaratuih Hari di Jorong


Kampung Tangah Nagari Pagaruyung. Skripsi. (Padangpanjang: Institut Seni
Indonesia. 2011), p. 42

47
karakter warna bunyi itu bila didengar dari dekat dibandingkan
dengan bunyi alat musik rabano-rabano lain yang resonansinya
dapat tertangkap pendengaran dalam jarak yang relatif jauh.
Begitulah ciri khas bunyi musik dikia pano Lubuak Sikapiang.
Jika diamati efek akustis dari bunyi ritme alat musik
pano yang berperan mengiringi melodi vokal, maka volume
suara musisi memang memiliki kekuatan yang harus mampu
“menembus” ruang akustis yang dikuasai oleh volume
suara/bunyi pano. Efek bunyi low (bass) dari alat musik itu akan
lebih kuat jika dimainkan di dalam ruangan (in-door), otomatis
para musisi akan berusaha memproduksi suara lebih kuat
(keras). Dengan demikian, sesuai dengan karakteristik dikia
pano lebih baik ditampilkan di dalam ruangan yang agak besar
dengan pertimbangan akustik yang mendukung karakter bunyi
seperti itu. Misalnya penampilan di dalam Mesjid, Aula yang
efek akustiknya mendukung karakter bunyi yang demikian, dan
lain sebagainya.

Dikia Pano Pasaman


Foto: Dok. Hanefi

2.3.3. Musik Tradisional Dikia Rabano Ampek Angkek


Masyarakat Nagari Lasi khususnya dan Kecamatan
Ampek Angkek umumnya memandang dikia rabano sebagai
kesenian yang penting dalam kehidupan beragama. Biasanya,

48
setiap menyelenggarakan khatam al-Quran selalu menggunakan
kesenian nuansa Islam dikia rabano. Nagari Lasi adalah salah
satu nagari dimana masyarakatnya masih sadar untuk
mewariskan kesenian ini kepada generasi muda, ternyata dikia
rabano yang eksis hingga hari ini lebih banyak generasi muda
sebagai musisinya.
Kesenian dikia rabano adalah musik nuansa Islam
dengan komposisi musik terdiri dari melodi vokal diiringi oleh
alat musik sejumlah rabano (single headed frame drum). Syair
yang dimelodikan dengan vokal berasal dari kitab al-Barzanji
yang dikenal dengan kitab Syaraful Anam. Isinya adalah puji-
pujian kepada Rasul Allah Muhammad SAW.
Kelompok musik dikia rabano Nagari Lasi cukup dikenal
bagi masyarakat di lingkungan Kecamatan Ampek Angkek.
Lihat saja penyelenggaraan khatam al-Quran di nagari lain
dalam wilayah Kecamatan Ampek Angkek. Yang ditemui pada
acara arak-arakan anak-anak khatam Qur’an adalah dikia rabano
Nagari Lasi. Biasanya, sehabis penyajian dikia rabano di acara
arak-arakan, pada malam harinya akan ada saja pihak yang
anaknya terlibat khatam al-Qur’an pada hari itu mengundang
penyajian dikia rabano di rumahnya. Alek atau kenduri khatam
al-Qur’an selalu diselenggarakan oleh anggota masyarakat secara
adat keagamaan bagi yang anaknya khatam al-Qur’an di
Kecamatan Ampek Angkek. Tradisi seperti ini dipakai hingga
saat ini oleh masyarakat setempat.

49
Dikia Rabano
(Dok. Hanefi)

50
BAB 3
MUSIK TIUP TRADISIONAL
MINANGKABAU

M
usik tiup Minangkabau adalah musik tradisional
Minangkabau yang menggunakan alat musik
klasifikasi Aerophone (udara sebagai sumber getaran
utama) dengan berbagai jenis dan bentuk, yaitu jenis end-blown
without block flutes, end-blown block flutes, dan jenis reed
flutes. Alat musik tiup jenis end-blown without-block flutes
seperti saluang darek dan saluang sirompak; jenis end-blown
block flutes seperti bansi, sampelong, saluang pauah, dan
saluang sungai pagu; jenis reed flutes seperti pupuik gadang,
pupuik sarunai, pupuik baranak, dan sarunai tanduak.
Jenis alat musik end-blown without-block flutes
digunakan untuk mengiringi nyanyian atau dendang
Minangkabau. Dendang yang diiringi terdiri dari dua jenis
dendang masing-masing jenis dendang hiburan dan jenis
dendang magis. Saluang darek digunakan untuk mengiringi
dendang hiburan, saluang sirompak secara historis pernah
digunakan untuk mengiringi melodi dengan syair mantra
‘mengguna-gunai’ perempuan atas kehendak laki-laki,
kemudian berubah menjadi hiburan dengan syair pantun-
pantun bersifat hiburan. Perbedaan yang menyolok adalah
repertoar lagu pada masing-masing jenis alat musik. Saluang
darek mengiringi dendang yang berjumlah relatif ratusan lagu,

51
sedangkan saluang sirompak hanya memiliki satu lagu saja, yaitu
lagu (melodi) sebagaimana yang digunakan dalam fungsi magis.
Jenis alat musik seperti bansi secara tradisional
digunakan untuk bermain solo dan tidak mengiringi dendang,
biasanya permainan bansi berbentuk instrumental. Alat musik
jenis sampelong secara historis sama dengan fungsi saluang
sirompak, kemudian berubah menjadi hiburan dengan pantun-
pantun bersifat hiburan dan memiliki perkembangan di segi
repertoar lagu. Terakhir diketahui repertoarnya mengandung
sejumlah 9 lagu. Jenis alat musik end-blown block flute seperti
saluang sungai pagu disebut juga dengan saluang panjang, block
pada lubang saluang digunakan bibir peniup sebelah atas,
digunakan untuk mengiringi dendang, biasanya dinyanyikan
oleh beberapa orang yang bertujuan berbalas-balas pantun.
Keunikan jenis alat musik yang disebut jenis saluang tetapi
menggunakan block seperti jenis alat musik bansi, alat musik itu
disebut saluang pauah, digunakan untuk mengiringi dendang
yang disebut dengan dendang pauah di daerah Kota Padang.
Syair dendang yang diiringi saluang pauah berupa kaba atau
cerita rakyat mengandung beberapa repertoar dalam satu
komposisi musik berdurasi panjang seperti lagu “Pado-Pado”,
“Pakok Anam”, “Pakok Limo”, dan ”Lereang”.
Alat-alat tiup yang disajikan dengan dendang
(nyanyian), dalam konsep penyajiannya, pada umumnya lebih
cenderung disebut alat musiknya saja untuk mewakili
ensambelnya. Misalnya: sampelong, saluang pauah, saluang
dendang atau bagurau (saluang darek) dan lain sebagainya,
walaupun ada beberapa kasus lain di tempat yang berbeda
dengan versi yang berbeda pula. Alat-alat tiup yang mengiringi
dendang itu tersebar di berbagai tempat di Minangkabau. Ada
yang tersebar secara lebih luas meliputi wilayah Luhak Nan Tigo
ditambah dengan beberapa daerah di luar itu. Ada pula yang
hanya berkembang pada wilayah tertentu saja, dengan radius
popularitasnya sangat berbeda pula.
Jenis alat musik berlidah (reed) di Minangkabau ditemui
beberapa macam bentuk sesuai dengan hasil bunyi yang dituju,
untuk itu ada beberapa teknik yang digunakan seperti teknik

52
multiple reeds (banyak lidah) yang bergetar sehingga
menghasilkan warna bunyi tertentu. Alat musik tiup pupuik
gadang yang memiliki multiple reeds dari bahan batang padi
tanpa lobang nada, lalu diberi corong dari daun kelapa dan hasil
bunyi mengandung karakter tertentu. Teknik melahirkan gerak
melodi menjadi sebuah lagu digunakan teknik sentuhan lidah
pemain pada reed alat musik sehingga dapat melahirkan tingkat
bunyi yang berbeda. Selanjutnya, alat musik jenis yang sama
adalah pupuik sarunai, hanya memiliki satu lidah (single reed),
biasanya alat musik tiup ini berukuran kecil dan memiliki 4
lubang nada untuk permainan kantur (contour) melodi. Alat
musik pupuik baranak hampir sama dengan pupuik sarunai,
perbedaannya dari sisi resonator dimana resonator pupuik
sarunai hanya satu ruas panjang kurang lebih 10 s/d 15 cm.
Sedangkan resonator pupuik baranak terdiri dari beberapa ruas
bambu ukuran pendek yang disisip pada alat yang berdiameter
lebih kecil, bunyi yang dihasilkan berkarakter tertentu pula.
Kemudian sarunai tanduak, alat musik tiup ini relatif sama
dengan. Pupuik sarunai hanya panjang resonator yang berbeda
yaitu lebih panjang dari pupuik sarunai dan di ujung resonator
diberi corong, biasanya dari bahan tanduk kerbau (tanduak
kabau).
Khusus pupuik gadang sering juga digunakan dalam
ensambel talempong pacik, selain itu digunakan pula untuk
bermain sendiri tanpa bergabung dengan satu ensambel.
Artinya, pupuik gadang dimainkan secara solo berupa musik
instrumetalia. Sebagai alat musik melodis dalam ensambel
talempong pacik, biasanya melodi-melodi yang dimainkan
pupuik gadang telah terorganisir, namun kehadirannya tertuju
untuk menghiasi formula melodi dan pengembangannya yang
dihasilkan dari proses teknik interlocking permainan sejumlah
pola ritme talempong.
Di Maninjau pupuik gadang disajikan dalam ensambel
gandang katipik yang sudah melibatkan beberapa alat musik lain
yang lebih dominan selain talempong pacik. Dalam
perkembangan sekarang, sarunai dan bansi sering pula disajikan
bersama dengan talempong kreasi dan talempong goyang serta

53
dalam berbagai komposisi musik baru atau musik eksperimental.
Tak jarang pula bansi disajikan secara tunggal.

3.1 Musik Tradisional Saluang


Saluang merupakan musik tradisi yang dipertunjukkan
bersama dengan dendang. Dendang dinyanyikan oleh “tukang
dendang” (pendendang), dengan bermacam-macam judul
dendang, dan saluang dimainkan oleh “tukang saluang” (peniup
saluang) sebagai pengiring dendang dengan memainkan melodi
dendang secara bersamaan dengan pandendang. Dewasa ini
terdapat beberapa genre saluang, seperti saluang darek, saluang
sirompak, saluang pauah, dan saluang sungai pagu (saluang
panjang). Saluang darek mengiringi dendang yang berciri khas
dari lingkungan alam darek (darat) Minangkabau, sehingga
sering pula disebut dengan dendang darek. Saluang Pauah
berfungsi mengiringi dendang dan kaba yang disampaikan oleh
“tukang kaba”. Saluang sirompak mengiringi dendang yang
disajikan oleh tukang dendang berupa aktivitas ritual magis.
Selanjutnya saluang sungai pagu mengiring dendang-dendang
yang berkembang di daerah Muaro Labuah dan sekitarnya.23
Musik tradisional saluang ini memiliki keunikan,
terutama dalam penyebutan alat musiknya. Dalam sebutan yang
sama justru jenis organologis alat musiknya berbeda, dan ada
pula jenis yang sama tetapi memiliki sistem musikal yang
berbeda. Dengan demikian, uraian selanjutnya tidak
menampilkan contoh kelompok musik sebagai mewakili satu
kategori musik tradisi di wilayah budayanya tetapi berbicara
secara umum saja terkait lokal setempat.

3.1.1 Saluang Darek (Saluang Dendang)


Saluang darek atau disebut juga dengan saluang
dendang, lebih dikenal di Luhak Minangkabau, yang meliputi
daerah kabupaten Tanah Datar, Padangpanjang, Bukittinggi,

23Ediwar, “Seni Pertunjukan Indonesia (Genre Seni Pertunjukan Melayu


Minangkabau)”, Buku Ajar, (Padangpanjang: STSI, 2002), 94-95.

54
sebagian besar kabupaten Agam, kabupaten Lima Puluh Kota,
dan Payakumbuh. Bahkan di luar daerah tersebut, saluang
dendang juga dikenal di beberapa daerah, seperti di kabupaten
Solok, kota Solok, Padang, Lubuk Basung, Maninjau, Pasaman,
dan Pariaman. Khususnya di Pariaman, dewasa ini saluang
dendang, telah berasimilasi dengan musik lainnya (unsur
musikal dangdut), dengan mengimbuhkan beberapa alat musik
lain, terutama gendang yang membawakan pola ritme
“dangdut”, sehingga lebih dikenal pula dengan sebutan saluang
dangdut.
Pertunjukan saluang dendang sering pula disebut
dengan bagurau. Di kalangan seniman dan pencandu
pertunjukan saluang dendang, bagurau sudah dipahami secara
bersama yang mengandung maksud adalah pertunjukan saluang
dendang. Pertunjukan saluang dendang yang dimaksud di sini
tentu saja, pertunjukan yang dilakukan secara penuh, biasanya
semalam suntuk tanpa diselingi dengan pertunjukan yang lain.
Hal ini akan berbeda maksudnya dengan pertunjukan saluang
dendang yang disajikan antara setengah hingga satu jam dalam
satu paket pertunjukan yang disajikan dengan materi musik dan
seni yang lainnya. Pertunjukan jenis ini tidak lazim disebut
dengan bagurau.
Ketika penulis mendatangi seniman saluang dendang
(peniup saluang dan pandendang) bermaksud mengundang
mereka untuk suatu pertunjukan saluang dendang semalam
suntuk, mereka menyebut kegiatan ini dengan bagurau.
Misalnya, mereka akan bertanya, “dalam rangka apa bagurau ini
dilakukan”? Begitu juga pertanyaan-pertanyaan yang mengalir
antara sesama seniman saluang dendang dan para pencandu
saluang dendang di suatu sore di bofet (restoran) Sianok
Payakumbuh, “dima bagurau” (di mana bagurau), “jo sia
bagurau” (dengan siapa bagurau), dan lain sebaginya.
Bagurau memberikan pengertian tersendiri dalam
konteks pertunjukan saluang dendang, yang berarti pertunjukan
saluang dendang. Pengertian di atas sudah lebih luas dan
berbeda dari pengertian umum bagurau, yang bisa disamakan
dengan bersenda gurau. Namun demikian, masih ada pendapat

55
dan kebiasaan di suatu tempat bahwa tidak semua pertunjukan
saluang dendang semalam suntuk itu disebut bagurau. Ada yang
menyebut dengan basaluang saja (Pitalah), atau pada konteks
acara untuk memeriahkan pesta perkawinan tidak disebut
dengan bagurau, tetapi basaluang, karena tidak begitu aktif
interaksi antara penonton dan pendendang.

Saluang jo Dendang
(Dok. Hanefi)

56
Musik saluang dendang sangat populer di Minangkabau.
Hampir semua masyarakat etnis Minangkabau mengenal musik
ini. Secara historis, musik saluang dendang sangat dikenal di
Luhak Agam dan masyarakatnya menganggap musik itu adalah
milik mereka yang kemudian berkembang dan hampir dianggap
milik masyarakat Luhak Nan Tigo (Luhak Agam, Luhak
Limopuluah, dan Luhak Tanah Data).24 Setelah dilakukan
pengamatan oleh beberapa orang di lembaga kesenian
ASKI/STSI Padangpanjang, diperoleh kesimpulan bahwa
saluang dendang berasal dari Nagari Singgalang yang terletak di
kaki gunung Singgalang. Hal ini di perkuat oleh fakta tradisional
dimana lagu-lagu atau dendang-dendang asal atau dendang-
dendang yang dianggap tertua adalah dendang-dendang
Singgalang. Repertoar musiknya berjumlah lebih dari 20 judul
lagu dan mengandung ciri-ciri khusus, berbeda dengan ciri lagu-
lagu yang lain pada repertoar saluang dendang. Biasanya, jika
tukang saluang memulai menyajikan sebuah lagu yang bukan
repertoar dendang Singgalang maka tukang saluang (peniup alat
tiup saluang) akan memulai dengan imbauan singgalang.
Penyajian seperti itu merupakan tradisi dalam penyajian saluang
dendang, dan sudah dimengerti oleh seluruh masyarakat
Minangkabau pendukung musik ini.
Secara organologis, alat musik saluang adalah alat musik
tiup (aerophone) dari bahan bambu tertentu,25 memiliki empat
lobang nada dan ditiup dengan cara yang spesifik, cara meniup
demikian juga ditemui pada cara meniup alat musik sordam
kepunyaan masyarakat Batak Toba, yaitu meniup salah satu
ujung bambu pipa tesebut. Namun demikian, pada alat musik
saluang Minangkabau mempunyai teknik cicular breathing
(meniup terus-menerus). Jadi, secara umum alat musik ini
termasuk jenis cyrcular breathing end-blown flute.

24 Siti Chairani Proehoeman. “Dendang Darek Alternatif Pengembangan


Cara Menyanyi Tradisional ke Cara yang Sesuai dengan Kaidah Fisiologi.”
Disertasi. (Yogyakarta: UGM. 2006), pp. 22-23.
25 Zainuddin. “Pembuatan Saluang di Singgalang Kecamatan Sepuluh Koto

Kabupaten Tanah Datar.” Skripsi. Surakarta: STSI Surakarta. p.20

57
Festival Saluang jo Dendang se Sumatera Barat
Foto: Dok. Ediwar

Repertoar saluang dendang cukup banyak, diperkirakan


ratusan lagu (sumber: tukang dendang Mak Sawir), terdiri dari
tiga jenis dendang (lagu atau nyanyian), yaitu dendang bersifat
‘ratok’, dendang bersifat ‘satangah tiang’, dan dendang bersifat
gembira yang disebut juga ‘dendang pantun mudo’. Dendang
yang bersifat ratok adalah nyanyian atau dendang parasaian,
pantun-pantunnya penuh makna dan “multi” tafsir, berisi
pengalaman-pengalaman hidup yang penuh penderitaan,
cenderung dikategorikan pantun nasihat, namun tujuannya
untuk bangkit atas hikmah pengalaman lama. Sifat dan karakter
melodinya ‘melisma’, dan bebas menyajikan pola ritme (free
rhythm), sehingga melodi yang demikian memperoleh “ruang”
ornamentasi melodis dengan tujuan ekspresi lebih ‘dalam’.26
Dendang yang bersifat satangah tiang dapat diartikan
‘setengah gembira’. Secara musikal, komposisi lagu terdiri dari
melodi-melodi ritmis dan non ritmis (free rhythm), dan ada juga

Hanefi & Eko Wahyuni. Sang Pewaris: Tokoh-tokoh Kesenian Tradisi


26

Madura dan Minangkabau. (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya-


Kemendikbud, 2013), p.278

58
komposisi lagu dendang satangah tiang yang bersifat ritmis
dengan pantun bersifat nasehat.
Dendang yang bersifat gembira pada umumnya bersifat
ritmik, dan pantun sebagai teks lagu disebut dengan pantun
mudo, artinya isi pantun ditujukan untuk orang-orang muda
termasuk para remaja. Isi pantun berkisar tentang kehidupan
muda-mudi seperti pantun-pantun cinta atau kasih sayang para
remaja, ditinggal kekasih, mencintai seseorang, dan lain
sebagainya.
Khusus dendang singgalang, komposisi lagunya
cenderung ritmis kecuali imbauan (introduksi) lagu tersebut
memang free rhythm dan ketika masuk melodi vokal kembali ke
bentuk ritmis. Kategori dendang singgalang ada dua, bisa
dikategorikan dendang ratok, dan bisa pula dikategorikan
satangah tiang, tergantung dendang atau lagu dari repertoarnya
yang ditunjuk karena masing-masing judul dendang dalam
repertoar itu berbeda-beda melodi dan ritme yang terkandung
dalam melodi tersebut. Di samping itu ditentukan juga oleh
jenis dan isi pantun yang disajikan. Jika pantunnya jenis ratok,
maka dendang singgalang itu termasuk kategori ratok, begitu
juga sebaliknya.27
Pertunjukan saluang dendang diadakan dalam berbagai
kegiatan antara lain: batagak kudo-kudo (upacara mendirikan
rumah), batagak pangulu (pengangkatan pengulu baru), pesta
perkawinan, alek nagari, hajatan pemuda atau keluarga dan para
perantau di perantauan. Bahkan ada juga pertunjukan saluang
dendang dilaksanakan oleh beberapa orang pencandu gurau
dengan mengundang beberapa orang pendendang dan peniup
saluang, sekedar menyalurkan rasa kangen musikalnya terhadap
saluang dendang.
Pertunjukan saluang dendang bisa dilakukan di berbagai
tempat. Misalnya, di ruangan terbuka (halaman kantor, halaman
rumah, halaman kedai minuman, dan lain sebagainya); dan di

M. Halim (Seniman Saluang). Wawancara di Padangpanjang, tanggal 5


27

Oktober 2017.

59
rungan tertutup yang agak luas. Tempat duduk atau pentas bagi
pendendang dan peniup saluang, juga tidak ada suatu keharusan
agar ditinggikan atau dibuatkan pentas khusus. Bagi mereka di
atas tikar saja juga bisa menyajikan saluang dendang.
Saluang dendang memiliki repertoar dendang yang
sangat banyak. Menurut perkiraan para pendendang, jumlahnya
bisa ratusan. Dendang-dendang tersebut dari waktu ke waktu
bisa bertambah jumlahnya. Pertambahan dendang baru terjadi
karena adanya adaptasi dari berbagai lagu pop dangdut, lagu
daerah, dan dendang dari daerah lain. Dendang dari daerah lain
yang dimaksud adalah antara lain: dendang “Sabatang Tubuah”
dari dendang “Ginyang” rabab pasisia, dendang “Balam-balam”,
dari dendang saluang sungai pagu, “Sirompak Taeh” dari
dendang sirompak, dan lain sebagainya. Dendang-dendang
tersebut ada yang berbentuk ratok (ratap dengan melodi yang
melankolis) dan bersifat gembira. Dendang-dendang yang
bersifat ratok sering pula dikelompokkan pada dendang klasik,
sedangkan yang bersifat gembira, terutama yang disajikan untuk
“hoyak” (gurau untuk mencari dana) tidak termasuk dendang
klasik.28
Menurut seniman saluang dendang (Mak Lenggang),
dalam setiap pertunjukan saluang dendang, sudah menjadi
tradisi, bahwa dendang yang pertama disajikan berasal dari
repertoar dendang Singgalang. Dendang Singgalang tersebut
terdiri dari puluhan judul. Bagi pendendang boleh memilih
salah satu di antara dendang tersebut untuk disajikan sebagai
dendang pembuka pertunjukan, misalnya dendang “Singgalang
Alai”. Setelah itu, barulah disajikan dendang yang lain.
Tim pertunjukan saluang dendang pada umumnya
beranggotakan sekitar 3-5 orang yang terdiri dari satu orang
peniup saluang dan selebihnya para pendendang. Jika lebih dari
itu, biasanya peniup saluang dihadirkan dua orang. Kondisi yang
ada dewasa ini para pendendang umumnya para wanita, dan
sangat sedikit sekali pendendang pria, bahkan dikhawatirkan

28Desi Syari’ah. “Estetika Akulturasi Pertunjukan Gurau Oyak Saluang


Orgen.” Skripsi. (Padangpanjag: Institut Seni Idonesia. 2016). p.22

60
menuju kepunahan, karena mereka umumnya sudah tua dan
tidak ada generasi penerusnya. Sebagimana disebutkan oleh
Sawir Sutan Mudo (75 tahun), salah seorang pendendang senior
saat ini, bahwa tidak ada pemuda yang berminat belajar dendang
secara sungguh-sungguh. Akhirnya setiap ada bagurau
pendendang yang hadir umumnya perempuan saja. Laki-laki
agaknya lebih suka menjadi peniup saluang.
Menjadi pendendang memang termasuk pekerjaan yang
cukup sulit. Selain harus menghafal puluhan bahkan ratusan
melodi dendang yang kadang-kadang ada yang agak mirip, juga
diharuskan terampil membuat pantun secara spontan dan
bervariasi. Pantun-pantun spontan itu sangat diperlukan,
terutama saat bagurau dengan mencari inspirasi dari para
penonton. Alangkah lebih baik sekali kalau sampiran-sampiran
setiap pantun itu tidak sama, sehingga suasana menjadi hidup
dan penonton tidak bosan.
Dewasa ini pusat perkumpulan para pendendang dan
frekuensi pertunjukan saluang dendang yang banyak dilakukan
terdapat di Payakumbuh dan sekitarnya. Meskipun di daerah
lain seperti di Bukittinggi, Batu Sangkar dan sekitarnya tetap ada
aktivitas saluang dendang, tetapi di kota Payakumbuh dan
sekitarnya terbilang banyak. Selain bagurau memenuhi
undangan, bagi pendendang yang tidak mendapat undangan
bagurau, maka mereka mengadakan pertunjukan saluang
dendang di los-los pertokoan pasar Payakumbuh yang dikelola
dengan baik yang disebut pula dengan bagurau lapiak.
Meskipun jumlah penonton tidak begitu banyak, tetapi mereka
tetap melakukan pertunjukan, tentu honorariumnya juga
sedikit.

3.1.2 Saluang Sirompak


Sirompak adalah kesenian yang tumbuh di daerah Taeh
Baruah Kabupaten Lima Puluh Kota. Pada awalnya ia
merupakan aktivitas ritual-magis yang dilakukan berdasarkan
permintaan seorang pemuda yang ditolak cintanya secara kasar
oleh seorang gadis, dan dimaksudkan untuk mendapatkan gadis

61
tersebut dengan cara ‘paksa’ pula. Sirompak (rompak) artinya
mendobrak, rampok, mengambil dengan paksa batin seseorang
sesuai dengan keinginan orang yang melakukannya, dengan
bantuan kekuatan gaib.29 Proses ritualnya dilakukan secara
diam-diam agar tidak diketahui oleh orang lain. Salah satu
media upacaranya adalah saluang sirompak yang difungsikan
untuk mengiringi mantra-mantra yang didendangkan.
Lebih jauh Marzam menyebutkan bahwa:
“Sirompak adalah suatu bentuk upacara ritual magis yang
dilakukan oleh pawang sirompak dengan tujuan
menaklukkan hati seorang perempuan yang telah
menghina seorang laki-laki. Kegiatan ini diselenggarakan di
tujuh tanjung yang terdapat di nagari Taeh Baruah.
Sebelum melakukan upacara, pihak yang meminta
penyelenggaraan upacara terlebih dahulu harus
menyiapkan pambaokan (sesaji) berupa: nasi kuning,
bareh rondang (beras yang telah direndang), bungo
panggia-panggia, kemenyan, serta salah satu unsur yang
ada pada diri perempuan yang dimaksud (seperti rambut,
kuku, bagian dari pakaian, foto, dan lain sebagainya).
Dengan semua kelengkapan tersebut, pawang sirompak
melaksanakan tugasnya. Pada masing-masing tanjung yang
didatangi, tukang sirompak menyiapkan sesaji, membakar
kemenyan, dan mendendangkan mantra-mantranya.30

Mantra yang didendangkan dalam aktivitas ritual magis,


dianggap dapat mendatangkan kekuatan gaib. Kandungan
teksnya merupakan gambaran hasrat kepada sasaran dan
keyakinan yang tinggi terhadap kekuatan gaib. Kekuatan gaib
diminta melalui makhluk halus yang disebut rajo jin, rajo angin,
mambang hitam, dan mambang putiah.
Mantra-mantra di atas didendangkan dengan dendang
yang lazim disebut dengan dendang sirompak, dan merupakan

29Marzam, Basirompak: Sebuah Transformasi Aktivitas Ritual Magis


Menuju Seni Pertunjukan, (Yogyakarta: Kepel Press, 2002), pp. 4-5.
30 Ibid., p. 5.

62
satu-satunya dendang untuk mantra itu. Dendang sirompak
diiringi dengan saluang yang khas pula, dan disebut dengan
saluang sirompak. Dendang sirompak tidak bisa diiringi dengan
saluang darek, karena perbedaan tangga nada yang dimiliki
saluang sirompak dengan saluang darek.
Saluang sirompak dibuat dari bambu (talang) yang tipis
berukuran diameter kecil (2-2,5 cm), sehingga suara melodinya
tinggi dan melengking. Saluang sirompak memiliki lima lobang
nada (empat di atas satu di bawah) yang disesuaikan dengan
tangga nada yang dipakai pada dendangnya. Menurut
kepercayaan tukang sirompak, bambu yang dipilih untuk
membuat saluang sirompak adalah bambu hasil curian.
Misalnya, bambu pagar rumah atau bambu tempat menjemur
pakaian. Untuk membuat lobang-lobang nada saluang,
dilakukan setelah adanya peristiwa kematian yang tidak wajar di
masyarakat. Misalnya, meninggal karena perkelahian yang
berdarah-darah, atau pembunuhan, mati tenggelam di sungai.
Pembuatan lobang nada saluang menunggu adanya lima kali
peristiwa kematian yang tidak wajar itu, atau sekurang-kurang
empat kali, barulah selesai pembuatan saluang sirompak.31
Sebagaimana tradisi awalnya, sesungguhnya sirompak
tidaklah bisa berkembang dengan baik, bahkan menuju
kepunahan. Tujuan dari ritual-magisnya dianggap merugikan
masyarakat. Dipandang dari sisi seni pertunjukan (musik),
sirompak sulit bahkan mungkin tidak layak dimasukkan ke
dalam seni pertunjukan, karena dalam proses pelaksanaannya
tidak boleh diketahui oleh orang lain, sedangkan seni
pertunjukan mensyaratkan harus bisa dinikmati oleh
masyarakat, baik sebagai sarana hiburan maupun sebagai sarana
upacara.
Munculnya sirompak dilatar-belakangi oleh kisah cinta
tak terbalas, dari Sibabau pemuda miskin yang jatuh cinta pada
seorang gadis cantik bernama Puti Losuang Batu. Pada suatu
hari ketika Sibabau hendak pergi ke sawah menggembalakan
kerbau, ia bertemu dengan Puti Losuang Batu yang hendak pergi

31 Ibid., 137.

63
ke sumur menjemput air. Pada saat itu Sibabau menyampaikan
maksud hatinya hendak melamar Puti Losuang Batu. Namun
Puti Losuang Batu menolak dengan kata-kata yang tak wajar,
sehingga membuat Sibabau merasa sakit hati. Perasaan sakit hati
Sibabau itu menimbulkan hasrat untuk memperdaya Puti
Losuang Batu melalui guna-guna, dengan cara mendatangi
seorang dukun atau pawang sirompak, dengan tujuan
“merompak” jiwa Puti Losuang Batu, agar tergila-gila padanya
(Rizaldi, Juni 2017).
Pawang atau dukun melaksanakan permintaan Sibabau
itu dengan melantunkan mantera-mantera yang diiringi dengan
saluang sirompak, dan benda-benda pendukung lainnya, yaitu:
gasiang (gasing) yang terbuat dari tengkorak manusia,
kemenyan, dan benang tujuh ragam (banang pincono).
Permintaan Sibabau itu akhirnya terkabul, yang membuat Puti
Losuang Batu tergila-gila padanya, dan menyesali perbuatannya
yang telah menghina Sibabau.
Dari kisah cinta di atas, akhirnya aktivitas (ritual-magis)
sirompak dipandang masyarakat sebagai kesenian sakti dan
menakutkan. Pemuda-pemuda yang merasa terhina oleh gadis-
gadis dan cintanya ditolak selalu datang kepada pawang
sirompak untuk membalaskan sakit hatinya dan juga untuk
meujudkan keinginanya. Cara-cara seperti yang dilakukan
melalui sirompak itu, lama-kelamaan ditentang oleh masyarakat
sebagai perbuatan yang merusak jiwa manusia dan merusak
ketenangan masyarakat. Pemain sirompak disisihkan oleh
masyarakat.32

32 Ediwar, “Seni Pertunjukan Indonesia (Genre Seni Pertunjukan Melayu


Minangkabau).” Buku Ajar. (Padangpanjang: STSI 2002), 130-131; Periksa
Marzam, dalam versinya, “Sibabau terhina secara menyakitkan ketika ia
meminta makan di rumah Puti Lasuang Batu. Sakit hati tersebut dibalaskan
oleh Sibabau yang mengakibatkan Puti Lasuang Batu jatuh sakit dan tergila-
gila pada Sibabau, tetapi Sibabau tidak menerima cinta Puti Lasuang Batu,
bahkan membiarkan ia merana sampai akhir hayatnya. Sakit seperti Puti
Lasuang Batu sering pula disebut oleh masyarakat kanai cimbabau.”
Marzam, Basirompak: Sebuah Transformasi Aktivitas Ritual Magis Menuju
Seni Pertunjukan, (Yogyakarta: Kepel Press, 2002), 6-7.

64
Diperkiraan sejak tahun 1950-an aktivitas ritual magis
basirompak tidak lagi digunakan. Pada tahun 1970-an aktivitas
sirompak kembali muncul dalam versi atau bentuknya yang
baru, yaitu sebagai sebuah seni pertunjukan yang berorientasi
hiburan. Dari segi bentuk dan isi penyajiannya disesuaikan
dengan kebutuhan sebuah pertunjukan yang bersifat hiburan.
Aktivitas ritual magisnya yang biasa diselenggarakan di tempat-
tempat sepi dan tidak boleh dilihat, sekarang justru dilakukan di
tempat ramai. Bahkan bisa disajikan pada pesta perkawinan,
batagak rumah gadang, dan alek nagari.33

Saluang Sirompak
Foto: Dok. Hanefi

Dalam perkembangan selanjutnya, terutama dalam


dunia kreativitas musik, baik untuk komposisi musik maupun
untuk musik pengiring tari, dendang sirompak sudah banyak
menjadi ilham dan sumber penciptaan karya-karya musik. Di
STSI Padangpanjang misalnya, sejak masih ASKI hingga
sekarang, dendang sirompak (bersama dengan saluang-nya)
sudah dijadikan bermacam-macam bentuk komposisi musik
dengan format yang berbeda-beda. Bahkan untuk musik iringan

33 Marzam, op. cit., pp. 195-196

65
tari, dendang sirompak sering digunakan untuk mendukung
suasana yang menegangkan atau konflik batin penari. Jadi,
perkembangan sirompak tidak hanya sebagai hiburan di nagari
Taeh Baruah dan sekitarnya, tetapi juga telah berkembang
dalam bentuk yang lain di luar daerah asalnya.

3.1.3 Saluang Pauah/Dendang Pauah


Saluang pauah adalah salah satu jenis alat musik
tradisional Minangkabau yang terdapat di daerah Pauh Kota
Padang. Alat musik ini biasanya digunakan untuk mengiringi
dendang kaba yang dikenal dengan dendang pauah. Secara
tradisional antara saluang dan dendang tersebut selalu
dimainkan bersamaan, walaupun di dalam penyajiannya
terdapat saluang dan dendang, tetapi kesenian ini disebut
dengan dendang pauah. Dalam hal ini peran saluang hanya
sebagai pengiring dendang pauah tersebut.
Dendang pauah adalah musik kaba (cerita rakyat) tradisi
orang Pauah Sambilan. Nagari Duku, Kabupaten Padang
Pariaman, adalah tempat dimana musisi kesenian ini
berdomisili, dan pernah dianggap lingkungan kanagarian ini
sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya musik dendang
pauah. Kaba yang dibawakan biasanya bertemakan kehidupan
“baru” di wilayah baru Kota Padang. Jadi tema cerita pada
dasarnya kehidupan baru di wilayah tersebut, judulnya bisa saja
berbeda-beda. Hal ini terungkap pada penelitian Philip
Yamolsky (1993)34 bahwa Harus tidak bisa menyebut judul
cerita, tetapi pernah ada rekaman dendang pauah tahun 1980-
an yang berjudul Lubuak Sikapiang dengan nama-nama dalam
cerita: Malin (suami), Dalima (istri pertama Malin), Siti
Rohani—orang kaya (isteri kedua Malin), Lela (anak Malin dari
istri Dalima)”. Ceritanya adalah seorang suami bernama Malin,
lupa kepada anak dan istri pertamanya karena terpengaruh
dengan istri keduanya yang kaya. Ketika diberitahu seniman itu

34Yampolsky, Philip, and Hanefi. Liner Nots For Night Music of West
Sumatrra: Saluang, Rabab Pariaman, Dendang Pauah . Music of Indonesia,
vol. 6, Smithsonian Folks-ways SF CD 40422. 1994.

66
bahwa judul itu pernah direkam maka ia membenarkan dan
mengulangi cerita itu dengan versi lain ketika direkam oleh
Philip Yampolsky dari The Ford Foundation.
Musik dendang pauah berupa musik vokal diiringi melodi
alat musik saluang pauah. Alat musik saluang pauah adalah alat
musik jenis block flute dari bahan bambu, lobang nada
berjumlah enam lobang. Secara musikal, lobang nada
berpengaruh terhadap bagian-bagian struktur komposisi lagu,
misalnya Pakok Limo berbeda kesatuan melodinya dengan
bagian Pakok Anam.
Struktur komposisi musik dendang pauah dalam
membawakan sebuah cerita selalu melalui bagian-bagian
komposisi yang mengiringi bagian cerita tertentu; misalnya
bagian Pado-pado hanya sebagai intro (pembukaan) saja, belum
masuk melodi vokal, bagian Pakok Anam sebagai iringan untuk
imbauan dengan melodi vokal saja, dan Pakok Limo dan
Lereang masuk cerita, sedangkan Lambok Malam sebagai isi
yang penting dan sekaligus menyelesaikan suatu cerita. Jadi,
struktur musikal penyajian dendang pauah terdiri dari lima
bagian.
Khusus bagian Lambok Malam, si padendang menyanyi
sendiri tanpa iringan alat musik saluang pauah, dan biasanya
bagian ini sangat impresif dan kedalamannya tergantung kepada
seberapa jauh seniman itu dapat membangun suasana yang mau
dicapai sesuai tuntutan cerita.
Sejumlah kaba yang pernah disajikan dalam berbagai
bentuk pertunjukan adalah: kaba (cerita) Urang Bonjo, kaba
Urang Batawi, kaba Urang Bukittinggi, kaba Urang Lubuak
Sikapiang, kaba Urang Mangilang, kaba Urang Pariaman, kaba
Urang Silaiang, kaba Urang Tanjuang Karang, kaba Urang
Tanjuang Cino. Kaba apa saja yang dibawakan oleh penyaji
dendang pauah secara musikal mereka akan membawakan
struktur lagu yang sama, yaitu melalui sejumlah bagian-bagian

67
yang berbeda seperti Pado-pado, Pakok Anam, Pakok Limo,
Lereang, dan Lambok Malam.35

Dendang Pauah
Foto: Dok. Hanefi

3.1.4 Saluang/Bansi Solok


Saluang/bansi solok adalah musik tradisional daerah Solok
termasuk kategori saluang dendang. Secara musikal relatif sama
dengan saluang dendang darek yaitu melodi vokal (dendang)
dengan syair berupa pantun-pantun yang diiringi melodi
saluang. Tetapi yang berbeda sangat prinsip yaitu alat musik
yang digunakan, memang di daerah Solok alat musik itu disebut
alat musik saluang, sedangkan jenisnya secara organologis sangat
berbeda. Saluang/bansi solok jenis end-blown block flute,
sedangkan saluang darek jenis end-blown without block flute
yang disebut juga dengan end-blown flute. Saluang solok
dimaksud, kadangkala ada anggota masyarakat yang
menyebutnya bansi, karena alat musik yang sama dengan ukuran

35Ismar Maadis. “Dendang Pauah di Kodya Padang: Tinjauan Musikologis


Lagu Lambok Malam.” Skripsi. (Padangpanjang: STSI. 1999), p. 42

68
lebih kecil dari itu juga disebut bansi oleh orang Minangkabau
pada umumnya.
Walaupun kedua alat musik itu jenisnya sama (bansi),
namun secara musikal fungsi instrumentasinya berbeda. Saluang
solok digunakan mengiringi melodi vokal atau dendang,
sedangkan bansi secara umum digunakan sebagai musik solo
melodis, pada pertunjukan-pertunjukan formal sering disebut
sebagai permainan ‘bansi tunggal.’ Saluang/bansi solok dalam
tulisan ini disebut saluang solok saja. Dendang-dendang yang
diiringi oleh saluang solok relatif sama dengan dendang-
dendang darek, dan lagu-lagu yang dibawakan pandendang-nya
bisa juga diringi dengan saluang darek. Jika dalam acara bagurau
saluang dendang di daerah darek, biasanya repertoar dendang
yang tersedia termasuk dendang-dendang solok. Artinya, siapa
saja bisa meminta disajikan dendang solok kepada pemain
saluang dendang darek.
Ciri yang menonjol sebagai dendang solok adalah sistem
modus (modes) yang terkandung di dalam dendang-dendang
solok sehingga alat musik (saluang/bansi) yang digunakan juga
dimainkan dengan teknik tertentu. Teknik yang terkenal pada
saluang darek yaitu teknik tiupan terus-menerus (circular-
breathing) tidak ditemukan pada saluang solok, walaupun
tiupan terus-menerus juga ditemui pada saluang solok tetapi
tekniknya sangat berbeda.
Perbedaan modus antara dendang solok dengan dendang-
dendang darek pada umumnya telah menempatkan kekhususan
repertoar dendang-dendang saluang solok. Ciri-ciri khusus
perbedaan itu disebabkan oleh pemakaian modus dan warna
bunyi saluang solok. Setiap orang Minangkabau
mendengarkannya maka segera akan tahu perbedaan dimaksud.

3.2 Musik Tradisional Sampelong Talang Maua


Sampelong adalah nama kesenian ini, lebih tepat
dikatakan musik tradisional di nagari Talang Maua karena
kesenian ini terdiri dari melodi alat musik yang disebut

69
sampelong juga mengiringi melodi vokal yang disebut dendang
sampelong. Alat musik sampelong termasuk klasifikasi
aerophone, jenis end-blown ring block-flute (block flute
bercincin ditiup di ujung) dari bahan bambu, memiliki empat
lobang nada.
Sebelum kemerdekaan, musik sampelong masih
digunakan sebagai media aktivitas magis, yaitu digunakan untuk
“mengguna-gunai” (di Minangkabau disebut sijundai, pamanih,
pitunang, dsb.) kaum perempuan oleh para lelaki yang berniat
memiliki seorang wanita sebagai kekasih atau isteri dengan cara
paksa. Biasanya seseorang perempuan yang bisa kena “guna-
guna” itu adalah perempuan yang pernah menyakiti perasaan
laki-laki.
Setelah kemerdekaan, perubahan terjadi akibat adanya
perasaan “kebebasan” dalam menentukan kehidupan
masyarakat, sehingga pengaruh agama Islam sangat cepat
berkembang di Nagari Talang Maua. Keadaan yang demikian
cukup signifikan dampaknya terhadap praktek musik
sampelong. Hampir tidak kedengaran terjadinya praktek-
praktek “rahasia” permainan musik sampelong. Jika itu masih
terjadi masyarakatnya menganggap bahwa ada satu atau dua
oknum dukun saja yang masih berani melakukan praktek musik
sampelong dalam konteks magis mengguna-gunai perempuan.
Dewasa ini, kegunaan sampelong seperti diuraikan di atas
hanya tinggal cerita masa lalu saja sebab musik ini beberapa
dasawarsa belakangan telah berubah fungsinya sebagai musik
hiburan, baik hiburan di pondok-pondok ladang gambir atau
pondok-pondok sawah, maupun hiburan dalam kegiatan adat
anak nagari Talang Maua. Pantun-pantun yang disajikan
merupakan pantun-pantun hiburan seperti pantun-pantun
gembira, pantun-pantun lucu, dan pantun-pantun kenangan
masa lalu.
Musik sampelong memiliki ciri-ciri keunikan tersendiri,
misalnya tangga-nada atau modus lagunya, tradisi melodi dan
syair-syairnya. Keunikan itu dimanfaatkan oleh sejumlah
seniman musik untuk dikembangkan menjadi komposisi musik

70
baru yang disebut dengan komposisi musik kontemporer, ada
pula yang mengembangkannya menjadi musik populer (lagu
pop daerah). Sedangkan para seniman tradisional sebagai
pewaris musikal musik sampelong cenderung
mengembangkannya menjadi musik entertainment.36
Repertoar lagu sampelong yang masih dibawakan
senimannya hingga hari ini adalah: lagu Kubang Balambak,
Antak Tobuang, Labuah Lengkok, Umbuik Mudo, Rumah
Godang Bagonjong Puntuang, Padagangan, Mudiak Likih, Anta
Den Mudiak, dan Alau Kobau.

Musik Tradisional Sampelong


Foto: Dok. Ediwar

36Hanefi. Dalam “Temu Karya Taman Budaya Se-Indonesia: Kekuatan


Mantera dalam Perspektif Kebudayaan Manusia. Buku Festival.” (Jambi:
Taman Budaya Prop. Jambi. 4 s/d 8 Januari 2013), p.46

71
72
BAB 4
MUSIK GESEK DAN PETIK
TRADISIONAL MINANGKABAU

M
usik tradisional gesek dan musik petik merupakan dua
musik tradisional yang menggunakan dua jenis alat
musik yang berbeda tetapi dalam klasifikasi yang sama
yaitu klasifikasi achordophone, adalah alat musik dengan
sumber bunyi utamanya berasal dari getaran dawai (termasuk
benang/tali kecil). Musik gesek Minangkabau dikatakan juga
musik tradisional rabab, sedangkan musik petik Minangkabau
justru alat musik kecapi (alat musik berasal dari luar
Minangkabau) sebagai alat musik pengiring kaba (cerita rakyat)
yang terkenal di Minangkabau yaitu kaba Anggun Nan Tungga
Magek Jobang yang disebut sijobang kucapi. Kedua jenis musik
tradisional ini memiliki fungsi yang sama yaitu musik
menyampaikan kaba, dalam hal ini alat musik digunakan hanya
sebagai pengiring melodi vokal (nyanyian) yang bercerita.
Musik tradisional rabab di Minangkabau yang masih
hidup hingga hari ini ada di beberapa tempat. Di daerah
Kabupaten Pesisir Selatan tumbuh dan berkembang rabab
pasisia, disebut juga biola bagi masyarakat pendukungnya; di
daerah Kabupaten Padang Pariaman tumbuh dan berkembang
rabab piaman, Sedangkan Rabab Darek yang pernah hidup di
Kota Payakumbuh hingga tahun 2008, seiring dengan
meninggalnya (meninggal dunia) seniman satu-satunya bernama
Alm. Fahmi maka punahlah sebuah tradisi musik di

73
Minangkabau. Selain itu, pernah pula hidup Rabab Bado’i di
Kabupaten Sijunjung hingga sekitar akhir tahun 1990-an,
namun seiring dengan meninggalnya seniman musik itu maka
punah pula kehidupan musik tradisional tersebut. Menghargai
nilai historis kesenian tradisional Minangkabau, kedua
dokumentasi lagu-lagu musik tradisional tersebut masih dapat
dipelihara.
Sebagaimana uraian pada Bab II, dimana alat musik
rabab di Minangkabau jelas berbeda secara organologis dan
sistem musik yang dimilikinya berbeda pula maka sub bab tidak
menyajikan kelompok musiknya. Alasan lain adalah keberadaan
senimannya sangat langka, kecuali seniman rabab pasisia yang
berjumlah ratusan.

4.1. Musik Tradisional Rabab Pasisia


Musik rabab pasisia termasuk salah satu di antara musik
tradisional yang menggejala mengisi pasar industri rekaman
musik baik di Sumatera Barat maupun di kota-kota “besar” yang
berdomisili banyak perantau Minangkabau. Indikator atas gejala
tersebut disinyalir karena cara atau “kiat” garapan unsur-unsur
musiknya mengandung nilai-nilai tradisional yang relatif sangat
komunikatif. Baik syair, unsur cerita yang merakyat dan teknik-
teknik komedi bersumber dari budaya Minangkabau, dan lain-
lain.
Pada prinsipnya, musik tradisional Rabab Pasisia adalah
musik menyampaikan cerita-cerita rakyat yang dikemas sesuai
dengan kebutuhan tingkat apresiasi masyarakatnya. Oleh karena
itu industri rekaman komersial melirik dan memproduksinya.
Fakta menunjukkan bahwa rekaman kaset itu berkembang yang
ditandai oleh lahirnya gaya-gaya permainan dan ekspresi musikal
yang baru.
Alat musik rabab pasisia yang disebut rabab/biola relatif
sama dengan alat musik Barat yang disebut dengan violin, secara
organologis termasuk ke dalam jenis alat musik lute (alat musik
berleher). Uniknya, rabab dibuat sendiri oleh para senimannya

74
dari bahan pohon nangka dan jelas tidak sebaik pembuatan
biola, tetapi seniman tradisi musik ini tidak mau menggunakan
biola dan mereka menganggap jauh lebih akrab dan efektif bila
mereka menggunakan alat musik rabab yang menyerupai violin
dibuatnya sendiri atau produksi masyarakat setempat.
Alat musik rabab pasisia ini memiliki empat dawai,
persis sama dengan biola dan secara tradisional tali atau dawai
yang berfungsi untuk melodi lagu secara dominan hanya 2 dawai
saja yaitu dawai 1 dan dawai 2, sesekali untuk variasi dan
ornamentasi digunakan juga tali 3. Penggeseknya (bowed)
berupa sepotong kayu diberi snare berupa tali nilon.
Dalam penyajiannya secara tradisional, satu tema cerita
rakyat atau satu episode selalu ada bagian-bagiannya dimana jeda
waktu itu diisi dengan repertoar-repertoar yang cenderung
memuat unsur komedi. Biasanya, penonton sering menunggu
penampilan-penampilan seperti ini karena memancing gelak-
tawa sebagai suatu reaksi menghilangkan kantuk. Hal ini cukup
realistis karena secara tradisional penyajian rabab pasisia selalu
dimulai sekitar pukul 21.00 malam (sehabis sholat Isya) sampai
dini hari sekitar pukul 02.30.
Secara tradisional kaba atau cerita yang dianggap tertua
oleh masyarakat pemilik dan pendukung musik tradisional
bercerita ini adalah kaba Gadih Rang Basanai. Namun cerita ini
berkembang cukup signifikan karena ada pengembangan cerita
seperti hadirnya peristiwa-peristiwa dan tempat-tempat
kejadiannya yang sebelumnya tidak ada. Fenomena seperti itu
tidak ditampik oleh masyarakat pendukungnya, tetapi diterima
sebagai tradisi yang apa adanya bagi mereka.

75
Rabab Pasisia
Foto: Dok. Hanefi

Penyajian Rabab Pasisia


Foto: Hanefi

76
4.2. Rabab Piaman
Musik tradisional rabab pariaman dianggap musik yang
sudah hidup cukup lama, bahkan dianggap pula lebih dahulu
lahir dari rabab pasisia di Minangkabau. Hal itu ditandai dari
jenis alat musik dan kaba yang dibawakan dalam penyajiannya.
Alat musik rabab piaman terdiri dari resonator dari batok
(tempurung) kelapa, dan leher (necked) berupa seruas bambu.
Jadi, teknologi pembuatannya cukup sederhana. Alat musik ini
menggunakan tiga snare (tali) dari bahan serat tumbuh-
tumbuhan yang dijalin, lalu penggesek (bowed) berbentuk
melengkung yang dihubungkan oleh sekumpulan tali halus dari
bahan ekor kuda.37
Sebagai musik menuturkan kaba secara melodis, dalam
pertunjukannya sering menyajikan repertoar-repertoar pendek
sebagai mengisi waktu pergantian bagian-bagian cerita dalam
satu episode. Kehadiran repertoar pendek dalam pengisi waktu
ini tidak memuat unsur-unsur komedi tetapi cenderung memuat
pandangan-pandangan kehidupan beradat, pengalaman-
pengalaman dari penderitaan yang menggaris-bawahi hikmah
yang ditimbulkannya, dan lain-lain. Bagi seorang
etnomusikolog musik ini disebut musik malam.38

37 Hajizar, Tradisi Pertunjukan Rabab Minangkabau, (Bandung: Sastrataya-


MSPI, 1998), p. 40.
38 Philip Yampolsky & Hanefi. Liner Notes for Night Music of West

Sumatra: Saluang, Rabab Pariaman, Dendang Pauah. Music of Indonesia, vol


6. Smithsonian Folk ways SF CD 40422

77
Rabab Piaman
Foto. Dok. Hanefi

4.3 Rabab Darek


Rabab darek adalah salah satu musik tradisi gesek yang
terdapat di daerah Darek, yang meliputi daerah Luhak
Minangkabau saja, yaitu: Luhak Tanah Data, Luhak Agam, dan
Luhak Limo Puluah Koto. Musik ini terdiri dari satu buah
rabab, dengan resonatornya terbuat dari kayu yang ditutup
dengan kulit kambing, memiliki dua helai senar dari benang.
Dalam penyajiannya, rabab berfungsi sebagai pengiring berbagai
dendang-dendang Darek. Dalam tradisi pertunjukannya, rabab
darek tidak biasa membawakan kaba, seperti pertunjukan pada

78
rabab pariaman dan rabab pasisia, kecuali hanya ada satu kaba
yaitu”Anggun Nan Tungga Magek Jabang.”39
Rabab darek dipertunjukan untuk memeriahkan
berbagai kegiatan upacara, seperti: pesta perkawinan, batagak
pangulu, halal bi halal, mencari dana untuk pembangunan di
kampung atau nagari, dan lain sebagainya. Pertunjukan rabab
darek biasanya pada malam hari, sejak pukul 20.00 malam
sampai pukul 05.00 pagi. Tempat pertunjukannya tidak
memerlukan tempat khusus, cukup duduk saja di lantai beralas
tikar bersama-sama dengan penikmatnya.
Pertunjukan rabab darek sering pula digabungkan
dengan saluang darek. Penggabungan ini didasari oleh kesamaan
konsep musikalnya (melodi alat musik dan melodi dendang)
dari rabab darek dan saluang darek. Dengan demikian, lokasi
daerah pertunjukan, dan penikmat kesenian rabab darek pun
sama dengan lokasi pertunjukan dan penikmat saluang darek.
Lagu-lagu atau dendang yang dimainkan dengan rabab
darek dapat dilihat dari dua bentuk penyajian, yaitu: penyajian
dengan teks kaba, dan penyajian yang digabung dengan saluang
darek menggunakan teks pantun. Penyajian rabab darek dengan
materi teks kaba hanya pernah dilakukan oleh Nijon (alm) yang
berasal dari Payakumbuh. Kaba yang pernah dibawakan oleh
Nijon adalah kaba “Anggun Nan Tungga Magek Jabang”.
Kemampuan Nijon membawakan teks kaba itu didasari oleh
kemahirannya menyajikan sijobang yang berasal dari
Payakumbuh, dengan teks utamanya kaba “Anggun Nan
Tungga Magek Jabang”. Dalam menyajikan kaba “Anggun Nan
Tungga Magek Jabang”, Nijon membawakannya dalam
beberapa dendang, yaitu: “Pariaman”, “Palayaran”, “Sungai
Talang”, “Sungai Rimbang”, “Cancang Lumek”, “Canang Siana
Payobasuang”, “Cancang Rasyid”, dan “Lubuak Tingkok”.
Penyajian rabab darek yang digabung dengan saluang
darek, dapat membawakan puluhan dan bahkan lebih dari
seratus dendang, asalkan dapat menguasai dendang-dendang

39 Hajizar, op.cit. p. 56

79
tersebut. Dendang-dendang disajikan berdasarkan permintaan
penonton. Biasanya dendang yang bersifat gembira disajikan
pada pukul 20.00-24.00 malam. Repertoar tersebut antara lain:
“Mudiak Arau”, “Indang Sarilamak”, “Situjuah Taram
Manuai”, “Padang Magek”, “Indang Piaman”, “Indang Kayu
Tanam”, “Indang Kurinci”, “Tanti Batanti”, dan sebagainya.
Sementara pertunjukan lewat tengah malam, setelah pukul
24.00 hingga pukul 05.00 pagi, dibawakan dendang-dendang
ratok yang berkarakter sedih. Misalnya: “Ratok Lawang”,
“Ratok Koto Tuo”, “Ratok Kurai”, “Ratok Koto Gadang”,
“Ratok Baso”, “Ratok Suaiyan”, “Suaiyan Anguih”, “Tigo
Balai”, “Pariaman Lamo”, “Palayaran”, “Ratok Bonjo”,
“Suntiang Patah Batikam”, dan lain sebagainya.
Keberadaan rabab darek di masyarakat, jika
dibandingkan dengan kepopuleran yang dicapai oleh rabab
pariaman pada masa lalu dan rabab pasisia pada masa sekarang,
maka rabab darek belum pernah bisa menyamainya. Oleh karena
dalam pertunjukannya, rabab darek masih kalah popular
dibandingkan dengan saluang darek. Bahkan jika pertunjukan
rabab dan saluang digabungkan, maka rabab darek dianggap
bagian dari pertunjukan saluang darek. Ada pula yang
beranggapan bahwa kehadiran rabab dalam pertunjukan saluang
darek dapat memperkuat kualitas penyajian saluang darek.
Padahal ada segelintir orang yang menyukai pertunjukan rabab
darek saja tanpa saluang, tetapi itu sangat jarang sekali. Justru
yang sering dilakukan oleh para pencandu gurau (pertunjukan
saluang dan rabab darek) adalah mengundang saluang darek saja
dengan pendendangnya. Jadi, frekuensi pertunjukan untuk
rabab darek itu sangat kurang dari pertunjukan saluang darek,
sehingga rabab darek tidak bisa sepopuler rabab pariaman dan
rabab pasisia.

80
Rabab Darek
Foto: Dok. Hanefi

81
4.4. Rabab Badoi
Rabab badoi berkembang di daerah Sijunjung dan
sekitarnya. Musik ini terdiri dari satu buah rabab, dengan
resonatornya terbuat dari tempurung kelapa, memiliki tiga utas
senar dari benang. Dalam penyajiannya, rabab berfungsi sebagai
pengiring vokal yang didendangkan oleh pemain rabab dalam
bentuk pantun. Rabab ini pada awalnya berasal dari
perkembangan rabab pariaman yang pernah hidup di daerah
Muaro Labuh dan Solok.40
Badoi dalam dialek Sijunjung artinya berdendang atau
bernyanyi. Berhibur bersama-sama dengan dendang-dendang
yang berkembang di daerah Sijunjung dan sekitarnya. Dendang-
dendang itu diiringi dengan rabab yang disebut dengan rabab
badoi dan jika diiringi dengan saluang, disebut pula dengan
saluang badoi.41
Dalam pertunjukan rabab badoi, biasanya yang
diundang adalah pemain rabab-nya saja, sedangkan pandendang
(penyanyi) berasal dari para penonton yang bisa badendang
(bernyanyi). Uniknya cara mereka badendang saling sambung-
menyambung antara satu pandendang dengan pandendang yang
lain, tanpa harus menyelesaikan satu pantun atau sampirannya,
tetapi mereka bisa menyambung dari baris ke baris atau dari
sampiran tiap pantun. Ini mereka lakukan secara spontan saja,
sehingga jika diperhatian teknik penyajian seperti call and
respont atau responsorial.
Cara penyajian rabab badoi mirip dengan cara penyajian
saluang panjang yang terdapat di Muaro Labuh, tetapi konsep
melodi rabab badoi tidak mengikuti lagu-lagu yang ada di
Muaro Labuh. Rabab badoi memiliki lagu-lagu sendiri yang
berasal dari daerah Sijunjung dan sekitarnya. Walaupun rabab
badoi berasal dari Muaro Labuah, tetapi tidak ada dendang-
dendang dari Muaro Labuah atau dendang saluang panjang yang
didendangkan dengan rabab badoi.

40 Adha. Wawancara di Muaro, 2017


41 Hajizar. Op. cit. p. 92.

82
Lagu-lagu yang dimainkan dalam penyajian rabab badoi
sangat tergantung dari lokasi kelompok yang menyajikan,
karena masing-masing kelompok memiliki lagu yang saling
berbeda. Rabab badoi dari kelompok Sungai Baringin, memiliki
lagu yaitu: Ratok Pematang Panjang I, Ratok Pamatang Panjang
II, Timbulun, Risau, Tangah Malam, Si Bakua Payi Bakayu, Si
Bakua Malalokan Anak, dan Ratok Dagang. Lagu-lagu dari
kelompok rabab badoi Jorong I, Muaro Sijunjung adalah: Ek
Dundun (khusus untuk mengiringi tari ilau), Oyak-oyai,
Mudiak Songik (ratok Pamatang Panjang), Ratok Pintolong,
Timbulun, Si Baku (Si Bakua), Tuak, Kaik-bakaik Tandang,
Sipayang, dan Dodok.42
Rabab badoi tidak berkembang ke daerah-daerah lain di
kabupaten Sawah Lunto Sijunjung atau kabupaten Darmasraya.
Rabab ini hanya ada di daerah Sijunjung saja, bahkan
diperkirakan rabab ini mengalami penyusutan, karena makin
berkurangnya orang-orang yang pandai memainkan rabab.
Selain itu, tidak ada minat generasi muda belajar mengesek
rabab badoi, hingga mampu mengiring dendang.

4.5 Sijobang Kucapi Luhak Limo Puluah


Sijobang kucapi adalah nama kesenian (musik)
menyampaikan kaba (sung narrative) yang pada mulanya tidak
diiringi alat musik melodis seperti kecapi, tetapi hanya berupa
nyanyian (melodi vokal) yang diiringi dengan jentikan kotak
“korek api-api” (kotak api-api) yang berisi sekitar setengah kotak
anak korek api.43 Hanya pola-pola ritme saja hasil permainan
jentikan korek api tersebut dan penyajian melodi vokal
disesuaikan dengan tuntutan pola ritme yang dimainkan.
Sekitar akhir tahun 1960-an terjadi perubahan dengan
hadirnya alat musik petik kecapi sebagai pengiring melodi vokal

42Hajizar. Op. cit. p. 92, 100.


43Hanefi, dkk. “Tradisi Lisan Berlatar Pesisiran di Daerah Darek Sumatera
Barat: Studi Kasus Tradisi Sijobang di Luhak Limo Puluah Koto.” Laporan
Penelitian. (Jakarta: Direktorat Jenderal Dikti-Depdiknas. 2009), p.9

83
(nyanyian) sijobang oleh seorang seniman bernama Nurman
dari Kecamatan Luhak, Kabupaten 50 Kota. Gejala yang terjadi
kemudian menunjukkan popularitas sijobang kucapi lebih
menonjol dibanding sijobang api-api (istilah ini bagi masyarakat
muncul setelah hadirnya sijobang kucapi). Diasumsikan
popularitas sijobang kucapi disebabkan hadirnya bunyi alat
musik kecapi dalam penyajian Sijobang, dan diperkuat pula
dengan hadirnya repertoar-repertoar pendek yang bersumber
dari dendang darek dimana alat musik kecapi berhasil
melahirkan ornamen-ornamen melodi sesuai dengan tradisi
melodi vokal (dendang). Selain itu, popularitas sijobang kucapi
disebabkan musik kaba (bercerita) ini masuk industri rekaman
dan beredar secara komersial di pasar.
Sijobang kucapi masuk dapur rekaman komersial di awal
tahun 1980-an, ternyata pada mulanya cukup banyak peminat
yang terdiri dari orang-orang Minangkabau yang berdomisili di
Sumatera Barat dan yang ada di perantauan. Beberapa kali hari
raya Idul Fitri di tahun 1980-an banyak dari perantau yang
membeli rekaman sijobang kucapi berupa kaset-kaset analog
untuk dibawa mereka kembali ke rantau. Pada periode itu,
musik tradisional ini sering diundang masyarakat mengisi
upacara perkawinan (alek kawin) terutama mengisi malam
bainai di rumah mempelai wanita.

84
Sijobang Kucapi
Foto: Dok. Hanefi

85
86
BAB 5
MUSIK/TARI INDANG
MINANGKABAU: PENGARUH ISLAM

5.1 Indang Pariaman

K esenian indang adalah salah satu kesenian yang


bernafaskan Islam di Minangkabau. Kehadirannya
merupakan realisasi dari sistem pendidikan tradisional di
surau dalam rangka mengembangkan ajaran agama Islam oleh
ulama-ulama atau guru-guru agama. Kesenian ini awalnya
dibawa oleh ulama-ulama Islam dari Aceh ke Pariaman,
kemudian mengalami akulturasi dengan kebudayaan
Minangkabau. Tujuan utama dari kesenian ini adalah sebagai
sarana pengembangan ajaran agama Islam kepada masyarakat.
Pada umumnya masyarakat pewaris kesenian indang
berpendapat bahwa kehadiran kesenian indang merupakan
realisasi dari sistem pendidikan surau secara tradisional,
khususnya cara-cara berzikir, mengaji sifat Tuhan, riwayat Nabi
dan syekh. Pengajian ini dilagukan sambil duduk bersila yang
sangat rapat sambil mengoyangkan badan ke kiri, ke kanan, ke
depan, dan ke belakang. Tumbuh dan berkembangnya kesenian
indang, merupakan musik yang sangat kuat pengaruh musik-
musik Islam, dan memberikan petunjuk kepada kita bahwa
kesenian ini merupakan produk budaya Islam dan
Minangkabau.
Pertunjukan indang lebih dikenal dengan baindang,
yang berasal dari kata bendang yang artinya terang. Istilah ini

87
berawal dari istilah yang digunakan oleh ulama-ulama Islam
dalam menerangkan ajaran agama Islam. Hal ini terungkap
dalam pepatah adat;
alim ulama cadiak pandai suluah bendang dalam nagari,
palito nan indak namuah padam,
camin nan indak namuah kabua,
baindang batampih tareh,
dipiliah atah ciek-ciek

(Alim ulama cerdik pandai,


suluh penerang dalam nagari,
pelita yang tidak padam,
cermin yang tidak pernah kabur,
menampis sampai bersih
memisahkan padi dengan beras).

Pepatah ini memberi gambaran tugas dari ulama sebagai


orang yang dipandang cerdik dan pandai dalam menerangkan
agama Islam kepada masyarakat yang akan menjadi pelita hidup
di dunia menuju akhirat. Dalam hal ini, ajaran Islam akan
berisikan antara kebaikan dan keburukan. Jadi, kehadiran
indang pada awalnya adalah sebagai syiar agama Islam yang
bertempat di surau-surau.
Ajaran Islam yang digunakan pada kesenian indang
adalah dengan cara dinyanyikan. Nyanyian-nyanyian itu diiringi
dengan instrumen rapa’i atau rebana. Penggunaan rapa’i (rebana
ukuran kecil) merupakan alat musik membranophone yang
cukup berkembang di penjuru dunia yang mayoritas memeluk
agama Islam.
Pada awalnya rapa’i yang digunakan sebagai pengiring
lagu indang adalah rapa’i ukuran besar (rebana ukuran
menengah). Akan tetapi karena kesenian indang terus
berkembang dengan melahirkan gerak-gerak tari yang makin
rumit dan cepat, sehingga seniman indang dan guru-guru surau
telah ada menggunakan rapa’i ukuran kecil agar dapat

88
digunakan lebih lincah dan cepat dalam menari, seperti di
daerah Pariaman.
Menariknya cara penyajian indang di surau Tanjung
Medan tersebut memberikan inspirasi bagi surau-surau lainnya
untuk meniru, seperti surau Kurai Taji dan surau Rambai.
Masing-masing surau itu mempunyai seorang tukang zikir.
Untuk mempererat hubungan antara ketiga kelompok tersebut,
mereka saling berkunjung dalam rangka silaturahmi untuk
memperdalam ilmu keagamaan, terutama dalam mengaji sifat
Tuhan, riwayat Nabi atau pujian kepada Allah. Kelompok-
kelompok itu menyajikan kemampuan masing-masing secara
bergantian di hadapan guru (syekh).
Penyajian indang pada zaman surau ini selalu
mengumandangkan syair-syair yang berorientasi pada
keagamaan. Setiap penyajian selalu dimulai dengan basmalah
dan do’a. Mereka seakan tafakur menyatukan diri menghadap
Tuhan, karena di dalam Islam kebudayaan itu harus
berlandaskan tauhid yang murni dalam masyarakat. Taufik
Ismail menyebutkan bahwa dalam misi dakwah harus
berdasarkan tauhid, dengan niat lillahi ta ‘ala, dan harus
memenuhi syarat-syarat kesenian, seperti puitisasi, sehingga
orang yang membaca atau mendengar merasa tertarik, cara
demikian adalah salah satu dakwah (1984:70).
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa kesenian indang
punya misi untuk mengembangkan ajaran agama Islam dengan
ketulusan hati. Pemain indang harus mampu memaparkan
ajaran Islam itu sesuai menurut etika dan estetika Islam. Ini
mengandung arti bahwa segala daya upaya manusia di dalam
mencipta “keindahan’ selalu berlandaskan kepada moral Islam,
yaitu nilai-nilai baik dan buruk menurut etika dan estetika Islam
(Sidi Gazalba,1975:17). Oleh karena itu, peranan guru-guru
surau dan muridnya dalam menyajikan indang bukanlah sebagai
satu kebutuhan hiburan saja, lebih dari itu mengajak umat
kepada kebaikan, dan menghindarkan diri dari kemudharatan.
Selain vokal (teks), indang pada masa surau ini juga
mengandung unsur gerak. Gerak yang dimaksud adalah gerak

89
yang sangat sederhana dan belum mempertimbangkan aspek-
aspek pertunjukan yang komunikatif. Mereka hanya sekedar
bergoyang ke kiri, ke kanan, ke depan dan ke belakang dalam
posisi duduk bersila. Busana yang digunakan pun tidaklah
ditentukan, melainkan lebih mengutamakan bersih dari hadas
kecil dan hadas besar. Lazimnya pemain indang memakai
kemeja, celana panjang, dan kain sarung serta memakai peci
hitam penutup kepala karena pertunjukkan indang ini
dipandang sebagai ibadah maka sebelum pertunjukkan dimulai
para pemainnya akan berwudhuk terlebih dahulu.
Lagu-lagu indang masa lampau tidaklah banyak. Hanya
satu jenis lagu saja yang diulang-ulang dari awal sebuah cerita
atau riwayat sampai akhir penyajian. Di sini belum
mengutamakan nilai estetis, akan tetapi lebih pada nilai
keagamaan, yaitu pesan-pesan atau ajaran-ajaran yang
disampaikan. Jadi, penyajian indang pada masa surau lebih
bersifat dakwah melalui seni. Satu buah lagu yang dilantunkan
dengan teks cukup panjang tidaklah membosankan penikmat
kesenian indang. Penonton atau murid-murid surau sangat
memperhatikan pesan-pesan yang terkandung dalam teks
nyanyian.
Perkembangan sosial budaya masyarakat Minangkabau
pada umumnya dari waktu ke waktu semakin mengalami
perubahan, baik sistem politik, ekonomi, pendidikan, dan
sebagainya secara tidak langsung akan ikut mempengaruhi
keberadaan kesenian indang yang hidup di surau-surau itu.
Salah satu pengaruh besar terhadap keberadaan kesenian
indang di surau adalah berkembangnya sistem pendidikan baru
di Sumatera Barat, yaitu hadirnya sekolah-sekolah Madrasah,
setingkat lebih maju dari sistem surau. Cara dakwah Islam
berubah menjadi bentuk ceramah, atau pidato yang didukung
oleh buku-buku, dan murid-murid duduk di atas bangku
dengan sistem kelas, seperti Madrasah Adabiyah (1909) di
Padang, Madrasah School di Batu Sangkar, dan beberapa
madrasah lainnya (Mahmud Yunus, 1979:66). Sementara di
surau, pelajaran diberikan secara lisan yang dinyanyikan dengan
manghafalkan tutur guru.

90
Pertunjukan Indang Tigo Sandiang di Gedung Teater ISI Padangpanjang
Tahun 2007
Foto: Ediwar

Tradisi baindang dalam konteks pertunjukan rakyat di


Pariaman selalu disajikan tiga kelompok indang yang
bertanding. Posisi tempat duduk ketiga kelompok adalah
membentuk segitiga. Sajian ketiga kelompok ini disebut
sapanaiak indang (satu kali sajian indang). Ketiga kelompok
indang tersebut melaksanakan pentas selama dua malam
berturut-turut. Masing-masing kelompok duduk bersila dan

91
berderet dengan jalan menghimpitkan paha kanan pada paha
kiri temannya. Ketiga kelompok indang melakukan tanya jawab
atau sindir-menyindir berbagai persoalan yang terjadi saat
pertunjukan berlangsung.
Jumlah pemain indang setiap kelompok sekitar 8 hingga
22 orang, dengan ketentuan; satu orang bertindak sebagai
tukang dikie (tukang zikir), dan selebihnya berjumlah ganjil
duduk berderet di depan tukang zikir itu, yaitu tukang aliah,
tukang apik, tukang pangga, dan tukang palang.
Tukang aliah, biasa juga disebut tukang karang, karena
dia adalah pembantu utama tukang zikir dalam mengarang syair
dan pantun untuk menyindir, menanya, dan menjawab
pertanyaan yang diajukan oleh tukang aliah pihak lawan. Pantun
dan syair oleh tukang aliah ini diikuti oleh anggotanya secara
bersama-sama. Selain itu juga bertugas mengawali dan
mengakhiri pertunjukan, menentukan pola ritme rapa’i,
menentukan arah gerak tari, serta peralihan lagu. Posisi duduk
dari tukang aliah ini adalah paling tengah dari susunan anak
indang.
Tukang apik, terdiri dari dua orang yang mengapit
kedudukan tukang aliah. Satu orang di antaranya bertugas
meningkah atau memberi variasi darap rapa’i, sedangkan satu
orang lagi bertugas memainkan pola ritme panuruikan rapa’i .
Tukang pangga terdiri dari dua orang atau tiga orang
yang duduk di sebelah kiri dari tukang apik bagian paling kiri,
dan di sebelah kanan tukang apik sebelah kanan. Tukang pangga
biasanya terdiri dari remaja-remaja berumur sekitar 12 (dua
belas) sampai 17 (tujuh belas) tahun. Mereka adalah pemanis
(memperindah) susunan anak indang lainnya, dan biasanya juga
disebut dengan predikat bungo nan salapan (bunga yang
kedelapan). Pola ritme rapa’i sama dengan tukang apik kedua.
Tukang palang terdiri dari beberapa orang anak-anak
berumur antara 7-12 tahun. Mereka sebagai generasi penerus
indang. Mula-mula sebagai pengikut dan lama kelamaan
meningkat pada tingkat lebih tinggi. Mereka duduk paling

92
ujung di bagian kiri dan kanan dalam bermain indang. Pola
ritme rapa’i sama dengan tukang apik kedua.
Selain anggota-anggota pemain di atas, juga terdapat
tugas lain yang dijabat oleh orang tertentu, dan dia adalah
termasuk bagian penting dalam anggota indang yang disebut
dengan tuo indang. Tuo indang, adalah orang yang bertugas
menjaga keselamatan anggota pemain secara keseluruhan baik
lahir maupun batin. Oleh karena baindang merupakan
pertandingan, maka sering terjadi juga saling menguji
kemampuan ilmu-ilmu kebathinan yang tidak dapat dilihat
dengan mata. Dalam bahasa daerah Minangkabau diungkapkan
manjago angin nan kabasiuik, manjago ombak nan kabadabue,
(Menjaga anak indang dari berbagai kemungkinan yang
mengganggu kelancaran pertunjukan, baik lahir maupun batin).
Berubahnya kesenian indang menjadi seni pertunjukan
rakyat, maka unsur-unsur budaya lingkungan ikut
mempengaruhinya, seperti mamasukkan teks berbentuk pantun,
memperindah gerak tari agar lebih agresif, menggunakan
instrumen rapa’i yang lebih kecil, dan memperbanyak irama
lagu. Kemudian indang difungsikan untuk memeriahkan
berbagai kegiatan adat istiadat, bahkan kehadiran kesenian
indang menjadi bagian penting dalam adat yang disebut sebagai
bunga adat atau pemanis adat. Istilah bunga adat menunjukkan
kepada cerminan nilai-nilai adat, sedangkan yang dimaksud
dengan pemanis adat adalah penyemarak, pemeriah upacara-
upacara adat seperti batagak rumah gadang, batagak laga-laga,
dan alek nagari.

5.2 Indang Solok


Kabupaten Solok terutama daerah-daerah yang berada di
Kubung, Koto Baru, Talang, Cupak, Muaro Paneh, dan
sekitarnya tercacat sebagai daerah perkembangan seni
pertunjukan indang yang cukup penting setelah Pariaman.
Indang yang berkembang di daerah ini. Bila dilihat dari segi
musikal (instrumen dan vokal), bentuk pertunjukan, gerak-

93
gerak yang disajikan serta teks-teks yang disampaikan memiliki
perbedaan yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan
indang yang berkembang di daerah Pariaman. Pada periode
tertentu sekitar tahun 1980-1990-an indang di daerah Solok
pernah mengalami masa kejayaan. Indang dijadikan sebagai
media penyampaian berbagai program pemerintah.
Sebagai sebuah musik tradisi, pada masa tertentu akan
mengalami pasang surut kejayaan fungsionalnya dalam
masyarakat. Mulai dari masa kejayaan hingga mengalami masa
surut, bahkan cenderung mengarah kepada kepunahan.
Peristiwa seperti ini sangat dramatis. Pada suatu masa sangat
disanjung dan diandalkan menjadi salah satu identitas
mengangkat dan mengharumkan nagari, tetapi pada suatu masa
ditinggalkan dan tidak dipedulikan sama sekali, hingga mundur
bahkan bisa punah. Bentuk-bentuk kemunduran itu antara lain,
tidak adanya aktivitas oleh seniman terhadap kesenian itu. Tidak
adanya pertunjukan, dan tidak ada peristiwa upacara atau acara
alek nagari dalam masyarakat sebagai wadah pertunjukannya,
kurangnya minat generasi muda belajar musik tradisi,
terputusnya regenerasi antara seniman dengan pewarisnya, dan
tidak ada pembaharuan materi sajian serta perubahan yang
mengikuti selera masyarakat pendukungnya.
Struktur pemain indang solok terdiri dari tukang
radek/tukang dikia dan anak indang. Tukang radek berada dan
duduk di belakang anak indang. Ia bisa duduk persis di bagian
tengah belakang anak indang, kadang-kadang di bagian samping
belakang anak indang. Ia berperan menyanyikan berbagai lagu
dengan teks-teks yang telah dihafal sebelumnya. Sementara anak
indang duduk bershaf di depan dengan posisi bersila --
berhimpitan paha. Struktur pemain anak indang terdiri pula
dari: tukang aliah duduk paling tengah, berperan mengalihkan
atau mengubah lagu, daran, dan gerak daran serta meningkah
rebana (peningkah); tukang imbau duduk di samping sebelah
kanan tukang aliah, ia bertugas memainkan imbauan/intro
daran (pola ritme rebana) ; tukang lapak, duduk di samping
sebelah kiri tukang aliah, ia berperan memainkan rebana dengan
pukulan lebih keras dan menonjol dari teman-temannya yang
disebut dengan lapak (seperti bunyi rebana yang dipukul),

94
dengan ciri pukulan berada pada offbeat; Tukang dasia, duduk
di samping tukang imbau dan tukang lapak. Jumlah tukang
dasia berkisar antara delapan sampai sepuluh orang. Masing-
masing mereka separoh duduk di sebelah tukang imbau dan
separoh lagi di sebelah tukang lapak. Peran mereka memainkan
rebana dengan bunyi dasia (giring-giring).

5.3 Indang Tuo Maninjau


Indang tuo berkembang pada sebuah kampung kecil
yaitu Jorong Balai Belo, dalam Kanagarian Koto Kaciak,
Kecamatan Tanjung Raya, Maninjau. Secara geografis Nagari
Koto Kaciak terletak di bawah kaki pergunungan dengan luas
13.45 Km2, jumlah penduduk 3000 Jiwa, 800 KK.
Untuk mengetahui asal-usul indang tuo di jorong Balai
Belo diperkirakan seiring masuknya agama Islam ke
Minangkabau. Untuk mengetahui siapa yang membawa indang
tuo ke Balai Belo tidak ada data yang jelas. Namun, menurut Ali
Amran, indang tuo adalah kesenian tradisional yang tumbuh
dan berkembang dari nenek moyang mereka yang secara turun-
temurun yang masih hidup di tengah masyarakat. Indang tuo ini
bukan milik seseorang tetapi milik bersama.
Pada masa dahulunya, kelompok indang tuo dipimpin
oleh suku-suku, terdiri dari beberapa suku yang ada di Jorong
Balai Belo. Kelompok (grup) indang ini dinamakan Bunga
Rampai, karena anggota terdiri dari berbagai suku. Hal ini bisa
dilihat pada bunga rampai yang bermacam-macam warna
bunganya, dari sinilah kelompok tersebut membuat kelompok
Bunga Rampai yang berjalan selama lima periode atau generasi.
Periode pertama dipimpin oleh Jandaro St, Majo Kayo. Kedua
oleh Saripuddin Menan Gindo St Prapatiah. Ketiga, Amir St
Zainal. Keempat St Zainul dan yang kelima dipimpin oleh Ali
Amran St Parpatiah.
Pada periode terakhir yang dipimpin oleh Ali Amran St
Parpatiah pada tahun 1955, atau yang kelima terjadi konflik
dalam kelompok Bunga Rampai antara anggota indang tuo

95
karena tidak cocok satu dengan yang lain. Sebagian kelompok
berkeinginan untuk membentuk kelompok grup yang baru.
Konflik ini juga dipengaruhi oleh orang di luar kelompok
tersebut atau suku yang lain. Terjadinya perpecahan tersebut
pada tahun 1993. Menjadi dua kelompok. Satu kelompok tetap
bertahan dengan kelompok Bunga Rampai, dan yang baru
kelompok Bunga Tanjung.
Perpecahan ini terjadi beberapa tahun, lebih kurang
1993-1994. Pada akhir tahun 1995, indang tuo kembali
bergabung menjadi satu kelompok tapi tidak lagi di bawah
naungan suku melainkan pemerintahan jorong. Hal ini untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Keputusan yang
diambil pemerintahan jorong berdasarkan indang tuo bukan
milik kelompok atau suku tapi milik bersama milik masyarakat
Balai Belo itu sendiri.
Menurut Jeni, perpecahan terjadi pada grup Bunga
Rampai ada ketidak-cocokkan antara sesama anggota karena
sebagian angota ada yang sudah berkeluarga mempengaruhi
dalam grup tersebut.4 Kemudian menurut Kulih, perpecahan
terjadi karena ada pengaruh dari luar anggota. Dalam grup
tersebut terdiri dari beberapa suku yang ada di Balai Belo.
Orang yang luar dari grup tadi membujuk anggota yang satu
suku dengannya untuk mendirikan grup baru.5
Kesenian indang tuo tumbuh di dalam lingkungan
masyarakat jorong Balai Belo. Sampai sekarang, kesenian ini
mereka wariskan dari generasi ke generasi sehingga kesenian
masih tetap hidup di tengah masyarakat Balai Belo. Hal ini bisa
dilihat karena banyaknya generasi penerus yang ingin
mengetahui tentang indang tersebut.
Kesenian indang tuo pada sekarang jarang ditampilkan
lagi. Tetapi kalau ada yang meminta indang tuo di pertunjukan,
barulah indang dipertunjukan oleh grup Bunga Rampai.
Masyarakat Balai Belo masih menghargai warisan nenek moyang

4 Wawancara dengan Jeni pada tanggal 20 Mei 2017 di Balai Belo.


5 Wawancara dengan Kulih Pada Tanggal 27 Juni 2017 di Balai Belo.

96
mereka terutama orang tua-tua dan generasi penerus pemuda-
pemuda sangat memberi responnya saat indang dipertunjukan.
Pada masa sekarang ini jenis-jenis tradisi bisa dikatakan
mengalami zaman kemunduran. Tetapi kesenian tradisi masih
hidup di tengah masyarakat tersebut. Karena semakin majunya
perkembangan teknologi, kesenian indang tuo jarang lagi
ditampilkan dalam acara Pesta perkawinan maupun Alek Nagari
di jorong Balai Belo.
Perkembangan zaman pada masa kini sangat berpengaruh
kepada perkembangan kehidupan sosial budaya. Pengaruh
modern yang sampai kepada pelosok-pelosok daerah
menyebabkan pola serta pandangan hidup masyarakat dalam
suatu daerah tersebut terkadang ikut pula berpengarui tidak
langsung. Perkembangan ini berpengaruh terhadap budaya yang
ada di dalam masyarakat.
Dalam kondisi dewasa ini, jangankan seni tradisional, pola
kehidupan berseni ala Barat-pun akan terus merambat dalam
diri pribadi seseorang. Dengan masuknya ala seni Barat ini ke
dalam individu-individual, masyarakat telah dipengaruhi oleh
budaya ala Barat, pola kehidupan dan kesenian Barat yang
cendrung lebih bersikap duniawi sehingga sikap yang tumbuh
dan lahir dalam diri sekelomok masyarakat tersebut adalah
kegiatan dunia semata. Artinya, kesenian-kesenian tidak lagi
mereka pandang sebagai seni hanya untuk kebutuhan kelompok
mereka atau pandanan mereka terhadap kesenian tidak lagi
berdasarkan atau fungsinya. Tetapi mereka ingin ke arah hal-hal
yang bersifat sajian estetis.
Dengan Kemajuan zaman sekarang, Ketua indang grup
Bunga Rampai, Ali Amran, St Parpatiah berpendapat,
munculnya kesenian yang bernuansa dari Barat juga bisa
mempengaruhi kesenian tradisional yang ada di jorong Balai
Belo Pada masa mendatang. Inilah yang perlu diwaspadai tokoh
indang tuo di jorong Balai Belo, agar kesenian tradisi tidak
hilang begitu saja.

97
Indang Tuo, Balai Belo Maninjau
Foto: Maswir Chaniago

98
Bab 6
PENUTUP

A
lam Minangkabau yang sangat luas, memiliki keragaman
musik tradisional yang menjadi identitas kebudayaannya.
Keragaman musik tradisional itu masih didapati di
nagari-nagari yang difungsikan dalam berbagai acara dan
upacara adat dan keramaian anak nagari. Paling tidak terdapat
empat pengelompokan musik tradisional Minangkabau yang
berkembang hingga hari ini, yaitu (1) Musik Perkusi Tradisional
Minangkabau; (2) Musik Tiup Tradisional Minangkabau; (3)
Musik Gesek dan Petik Tradisional Minangkabau; dan (4)
Musik/Tari Indang Minangkabau Pengaruh Islam.
Keempat kelompok musik tradisional Minangkabau
tersebut masing-masing penamaan jenis kelompoknya mengacu
kepada alat musik yang digunakan memiliki wujud sejumlah
ensambel musik tradisional pula. Dimana setiap ensambel musik
memiliki ciri-ciri khusus sesuai dengan konsep masyarakat
pemilik dan pendukung di mana masyarakat itu hidup di daerah
sub kultur Minangkabau itu berada. Karena itu perlu
dikemukakan sudut pandang dalam menentukan budaya
kedaerahan terkait tradisi musik bersangkutan. Berdasarkan dua
sudut pandang tersebut, tampaklah suatu tradisi musik itu
dimiliki dan didukung oleh masyarakatnya berdasarkan:
pertama, di lingkung wilayah kebudayaan; dan kedua,
berdasarkan wilayah pemerintahan. Dalam hal ini digunakan
dua istilah sudut pandang yaitu sudut pandang geo-budaya bagi
tradisi musik yang terkait dengan wilayah kebudayaan
musikalnya, dan sudut pandang geo-politik bagi tradisi musik
yang sesuai dengan batas wilayah pemerintahan.

99
Setiap musik etnis memiliki sistem musik masing-
masing. Seperti musik Gayo Aceh memiliki sistem musik
tersendiri, musik Karo juga dengan sistem musiknya yang
berbeda dengan Gayo. Begitu juga musik Minangkabau yang
memiliki sistem musik tersendiri pula. Begitu juga yang terjadi
pada musik-musik yang tumbuh berkembang di wilayah budaya
etnis-etnis yang lain. Di dalam etnis Minangkabau, selain sistem
musik dengan ciri tersendiri mengandung beragam jenis
ensambel musik, dan setiap ensambel itu cenderung mencirikan
kedaerahannya sebagai wilayah budaya sub-sub kultur
Minangkabau yang disebut nagari. Kenyataan ini menyiratkan
kebebasan anak nagari mengekspresikan keseniannya.
Dalam kelompok musik sejenis, seperti musik
tradisional talempong memiliki ragam teknik-teknik permainan
musikal. Ada ensambel talempong menggunakan teknik
interlocking, ada pula yang menggunakan teknik hocketing, dan
lain-lain. Begitu juga jenis musik perkusi ritmis seperti musik
yang menggunakan instrumen gandang sebagai dasar penciptaan
lagu-lagu dalam repertoarnya. Ada ensambel gandang tambua
yang menggunakan teknik-teknik permainan call & respons,
teknik interlocking, dan unisono, dan lain-lain. Ensambel
gandang sarunai di daerah budaya Sungai Pagu memiliki teknik
permainan interlocking juga tetapi sifat jalinannya sangat
berbeda dibandingkan dengan konsep interlocking gandang
tambua. Walaupun teknik permainannya sama-sama
menggunakan teknik interlocking. Demikianlah kekayaan
budaya musik tradisional Minangkabau yang sangat perlu
dipetakan keberadaannya.
Memang terasa relatif sulit pekerjaan pemetaan ini
karena begitu kompleksnya konsep musikal yang terkandung di
dalam musik tradisional Minangkabau, karena itu pekerjaan ini
belum dianggap selesai. Namun, sebagai pekerjaan menuju
kesempurnaan masih ada tahap-tahap berikutnya sebagai
kelengkapan pemetaan musik tradisional ini. Tahap selanjutnya
adalah kajian aspek organologis dari instrument musical (alat
musik) musik tradisional Minangkabau. Sedangkan tahap ketiga
adalah kajian terhadap nilai-nilai musikal. Kajian ini melalui
analisis musik dari sudut pandang musikologinya.

100
Dengan demikian laporan penelitian berupa buku ini
sebagaimana disebut di atas bahwa keadaannya belum selesai.
Namun setidak-tidaknya, informasi berupa data-data dan fakta
yang telah disajikan dapat membantu memperdalam kajian
pemetaan musik tradisional Minangkabau ke depan. Selain itu,
informasi yang tertulis di sini sudah dapat menjadi masukan bagi
pihak mahasiswa maupun pihak peneliti mengenal ragam musik
tradisional Minangkabau.

101
102
KEPUSTAKAAN

Admawati, 1988. “Salawat Mundam di Nagari Taluak,


Kecamatan Lintau Buo”. Laporan Penelitian.
Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia.
Almuhanis, 2011. “Dikia Mundam dalam Upacara
Manyaratuih Hari di Jorong Kampung Tangah Nagari
Pagaruyung. Skripsi. Padangpanjang: Institut Seni
Indonesia.
Andar Indra Sastra, 1999. “Bagurau dalam Basaluang:
Cerminan Budaya Konflik.” Tesis. Yogyakarta:
Universita Gajah Mada.
Antoni Guswandi, 2014. “Oguang Jana dalam Tradisi Pacu Jawi
di Nagari Parambahan, Kecamatan Lima Kaum
Kabupaten Tanah Datar.” Skripsi. Padangpanjang:
Institut Seni Indonesia.
Asril, 1997, “Seni Pertunjukan Indang Pariaman, Pergeseran
dari Religius ke Profan”. Dalam Jurnal Seni dan
Budaya, Nomor 1 tahun 1, Padang Panjang: Akademi
Seni Karawitan Indonesia.
-------- 2004. “Upacara Tabuik: Dari Ritual Heroik ke
Pertunjukan Heroik.” Dalam Seni Tradisi Menantang
Perubahan (Bunga Rampai). Ed. Mahdi Bahar,
Padangpanjang: STSI Padangpanjang Press.
Benzani Tasman, 2004. “Seni Religius dalam Praktek
Keagamaan: Studi Kasus pada Aktivitas Ratik Saman
di Surau Kapeh, Baso.” Skripsi. Padangpanjang:
Sekolah Tinggi Seni Indonesia

103
Boestanoel Arifin Adam, 1980. “Saluang dan Dendang di Luhak
Nan Tigo Minangkabau”. Laporan Penelitian.
Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia
-------- 1986/1987. “Talempong Musik Tradisi Minangkabau”,
laporan penelitian. Padangpanjang: Akademi Seni
Karawitan Indonesia.
Dwita Norfalinda, 2000. “Studi Musikologis Dikia Mundam di
Desa Sungai Omeh Kecamatan Tanjuang Omeh,
Kabupaten Tanah Datar.” Skripsi. Padang Panjang:
ASKI/STSI.
Desmawardi, 2001. “Saluang Dangdut: Bagurau Gaya Rantau
Minangkabau di Pariaman Sumatera Barat.” Tesis.
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Desi Syari’ah. 2016. “Estetika Akulturasi Pertunjukan Gurau
Oyak Saluang Orgen.” Skripsi. Padangpanjag: Institut
Seni Indonesia
Ediwar, 1999, “ Perjalanan Kesenian Indang dari Surau ke Seni
Pertunjukan Rakyat Minangkabau di Padang
Pariaman Sumatera Barat”. Tesis. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada
-------- 2002. “Seni Pertunjukan Indonesia: Genre Seni
Pertunjukan Melayu Minangkabau”, Buku Ajar,
Padangpanjang: Sekolah Tinggi Seni Indonesia.
-------- 2016, Musik Talempong Uwaik-uwaik dalam
Kehidupan Masyarakat Nagari Paninjauan. ISI
Padangpanjang.
Erianto, 1998. “Talempong Unggan Musik Tradisi di Desa
Unggan Minangkabau: Tinjauan Tentang Kehidupan
dan Sistem Pewarisannya. “ Skripsi. Bandung: Sekolah
Tinggi Seni Indonesia

104
Fraser. Jennifer A., 2015. Gongs & Pop Song: Sounding
Minangkabau in Indonesia. Athens: Ohio University
Press.
Gitrif Yunus, 1990. “Studi Deskriptif Gaya Penyajian Dendang
Singgalang dalam Tradisi Pertunjukan Saluang
Dendang di Luhak Nan Tigo Minangkabau Sumatera
Barat.” Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara
Hanefi, Dkk., 2013. “Temu Karya Taman Budaya Se-
Indonesia: Kekuatan Mantera dalam Perspektif
Kebudayaan Manusia 4 s/d 8 Januari 2013.” Buku
Festival. Jambi: Taman Budaya Prop. Jambi.
--------- 2009. “Tradisi Lisan Berlatar Pesisiran di Daerah Darek
Sumatera Barat: Studi Kasus Tradisi Sijobang di Luhak
Limo Puluah Koto.” Laporan Penelitian. Jakarta:
Direktorat Jenderal Dikti-Depdiknas.
--------- 2004. Talempong Mingkabau: Bahan Ajar Musik dan
Tari. Bandung: P4ST-UPI.
Hanefi & Eko Wahyuni, 2013. Sang Pewaris: Tokoh-tokoh
Kesenian Tradisi Madura dan Minangkabau. Jakarta:
Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya-Kemendikbud.
Hajizar. 1995. “Seni Pertunjukan Rabab Minangkabau (Rabab
Pariaman, Rabab Darek, Rabab Pasisia, dan Rabab
Badoi).” Laporan Penelitian. Surakarta: Masyarakat
Seni Pertunjuksn Indonesia
.--------- 1993. “Sijobang: Sebuah Seni Tutur Minangkabau
(Ditinjau dari Sudut Seni Pertunjukan)”. Makalah.
Padangpanjang: Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia
---------- et.al. 1992/93. Talempong Tradisional di Nagari
Pitalah dan Bungo Tanjuang”. Laporan Penelitian.
Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia

105
---------- 1991a. “Fungsi Musikal Alat Musik Kecapi dalam
Kesenian Sijobang di Luhak Limo Puluah Koto,
Minangkabau (Studi Analisis Musikologis).” Laporan
Penelitian. Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan
Indonesia.
---------- 1991. “Studi Dokumenter I Kesenian Tradisional
Sijobang (sijobang api-api) di Luhak Limo Puluah,
Kota Payakumbuh.” Laporan Penelitian.
Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia.
Herawati Dkk., 1993. “Studi Deskriptif Musik Talempong
Gandang Aguang di desa Sialang Kecamatan Kapur
IX Kabupaten 50 Kota”. Laporan Penelitian
Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia
Ismar Maadis, 1999. “Dendang Pauah di Kodya Padang:
Tinjauan Musikologis Lagu Lambok Malam.” Skripsi.
Padangpanjang: Sekolah Tinggi Seni Indonesia.
Mahdi Bahar, 1994. Fungsi Gandang Oguang dalam
Masyarakat Sialang. Tesis. Yogyakarta: Universitas
Gajah Mada.
---------- 1988. Gandang Sarunai di Desa Ujung Jalan, Muara
Labuh, Kabupaten Solok. Laporan Penelitan.
Padangpanjang. Akademi Seni Karawitan Indonesia
Mardjani Martamin, 1989. “Dendang Minangkabau”. Laporan
Penelitian. Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan
Indonesia
M. Kadir, 1987. “Sampelong: Sebuah Alat Karawitan
Minangkabau.” Laporan Penelitian. Padangpanjang:
Akademi Seni Karawitan Indonesia
Misda Elina, 1992. “Sijobang Salah Satu Karawitan Vokal
Minang di Luhak 50 Kota.” Laporan Penelitian.
Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia

106
Marzam, 2002. Sebuah Transformasi Aktivitas Ritual Magis
Menuju Seni Pertunjukan Basirompak. Yogyakarta:
KEPPEL Press.
Nadya Fulzi, 2005. “Teknik Hoketing dalam Permainan
Talempong Basaue di Daerah Ikua Parik, Kabupaten
50 Kota.” Jurnal Penelitian. Padangpanjang: Sekolah
Tinggi Seni Indonesia.
Rina Oktavia, 2012. “Bagurau Oyak dalam Konteks Saluang
Dendang di Kabupaten 50 Kota.” Skripsi.
Padangpanjang: Institut Seni Indonesia.
Rizaldi, 1994. Musik Gamat di Kotamadya Padang: Sebuah
Bentuk Akulturasi Antara Budaya Pribumi dan Budaya
Barat.” Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
--------- 1982. “Saluang Sirompak di Kanagarian Taeh Baruah,
Kecamatan Payakumbuh. Skripsi. Padangpanjang:
Akademi Seni Karawitan Indonesia
Siti Chairani Proehoeman, 2006. “Dendang Darek Alternatif
Pengembangan Cara Menyanyi Tradisional ke Cara
Yang Sesuai Dengan Kaidah Fisiologi.” Disertasi.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Syafniati, 2007. Dikia Pano di Kanagarian Ganggo Hilir,
Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman.” Laporan
Penelitian. Padangpanjang: Sekolah Tinggi Seni
Indonesia.
Tulus Handra Kadir, 1993. “Teknik Interlocking dalam Gaya
Permainan Talempong Minangkabau di Desa Kubang
Pipik Kec. Baso Kabupaten Agam, Prop. Sumatera
Barat.” Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Wilman Delfitra. 1995. “Bagurau dalam Pertunjukan Saluang
Dendang di Luhak Nan Tigo Minangkabau”. Skripsi.
Surakarta: Sekolah Tinggi Seni Iindonesia.

107
Wiwik Anggraini, 2005. “Studi Komparatif Lagu Pararakan
Musik Dikia Rabano di Kanagarian Silungkang
Kabupaten Sawahlunto/Sijunjuang dan Padang Tarok
Kabupaten Agam. Skripsi. Padangpanjang: Sekolah
Tinggi Seni Indonesia.
Yampolsky. Philip, 1996a. Liner notes For Gong and Vokal
Music From Sumatera: Talempong, Didong,
Kulintang, Salawat Dulang. Music of Indonesia, vol.
12. Smithsonian Folkways SF CD 40428.
Yampolsky. Philip, and Hanefi. 1994. Liner Nots For Night
Music of West Sumatrra: Saluang, Rabab Pariaman,
Dendang Pauah. Music of Indonesia, vol. 6,
Smithsonian Folks-ways SF CD 40422. 1994.
Yelmi Idrawati, 2006. “Pertunjukan Saluang Dendang dalam
Bagurau Lapiak di Pasar Payakumbuh.” Skripsi.
Padangpanjang: Institut Seni Indonesia.
Zahara Kamal. 1995. “Gandang Tambua di Desa Sungai Sirah,
Kecamatan Pariaman Tengah Kabupaten Padang
Pariaman: Ditinjau dari Aspek Titmis.” Laporan
Penelitian. Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan
Indonesia.
Zaiful Anwar, et al. 1982. Tabut dan Peranannya dalam
Masyarakat. Padang: Museum Sumataera Barat.
--------- 1983/1984. “Harmoni dalam Karawitan
Minangkabau.” Laporan Penelitian. Padangpanjang:
Akademi Seni Karawitan Indonesia
Zainuddin, 1997. “Studi Organologi Saluang Sirompak di Desa
Taeh Baruah.” Laporan Penelitian. Padangpanjang:
Akademi Seni Karawitan Indonesia.
--------- 1993. “Pembuatan Saluang di Singgalang, Kecamatan
Sepuluh Koto, Kabupaten Tanah Datar.” Skripsi.
Surakarta: Sekolah Tinggi Seni Indonesia.

108
INDEKS

Dinas Pariwisata Seni dan Budaya, 1


A dokumentasi, 1, 74
administratif, 2
alat musik, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 12, 13, E
16, 18, 19, 21, 23, 26, 30, 33,
35, 36, 44, 47, 48, 49, 51, 52, etnomusikolog, 77
53, 55, 57, 67, 68, 69, 73, 74,
77, 83, 84, 99, 100 F
filosofi, 2
B flute, 3, 52, 57, 67, 68, 70
baindang, 87, 91, 93
biola, 73, 74, 75 G
budaya, 1, 2, 3, 9, 21, 22, 27, 30,
74, 87, 90, 93, 97, 99, 100 Gandang lasuang, 30
gandang sarunai, 6, 35, 40, 41, 42,
100
C generasi, 1, 30, 49, 61, 83, 92, 94,
choir, 4 95, 96, 97
genre, 5, 9, 10, 18, 26, 47, 54
geo-budaya, 2, 99
D geografis, 2, 95
daerah, 1, 2, 11, 19, 23, 27, 30, 33, geopolitik, 2
34, 36, 37, 38, 47, 52, 54, 60, gesek, 3, 4, 73, 78
61, 66, 68, 69, 71, 73, 78, 79,
82, 83, 89, 93, 97, 99, 100 H
darek, 2, 51, 52, 54, 63, 68, 69, 78,
79, 80, 84 historis, 51, 52, 57, 74
dendang, 3, 34, 51, 52, 54, 55, 57, hocketing, 6, 13, 19, 21, 100
58, 59, 60, 61, 62, 65, 66, 67, Hoyak Tabuik, 6
68, 69, 70, 78, 79, 82, 83, 84
dendang pauah, 52, 66, 67
dikia rabano, 4, 45, 47, 48, 49

109
I musik, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10,
11, 12, 13, 16, 17, 18, 19, 20,
Indang, 4, 11, 80, 87, 91, 93, 95, 21, 23, 24, 26, 27, 28, 30, 31,
98, 99, 103, 104 33, 34, 35, 36, 37, 38, 42, 43,
interlocking, 6, 8, 9, 10, 13, 17, 18, 44, 45, 47, 48, 49, 51, 52, 53,
20, 26, 40, 42, 53, 100 54, 55, 57, 63, 65, 66, 67, 68,
inventarisasi, 1 69, 70, 73, 74, 75, 77, 78, 79,
Islam, 3, 4, 44, 45, 47, 49, 70, 87, 83, 84, 87, 88, 94, 99, 100, 101
88, 89, 90, 95, 99 musikal, 2, 4, 5, 7, 10, 18, 19, 35,
36, 37, 42, 44, 45, 54, 55, 58,
K 67, 68, 69, 71, 74, 93, 100
musikologis, 2
kaba, 3, 52, 54, 66, 67, 73, 75, 77,
78, 79, 83, 84 N
kecapi, 73, 83
klasifikasi, 2, 45, 51, 70, 73 nagari, 2, 11, 13, 14, 16, 17, 18, 20,
konsep, 2, 4, 7, 10, 11, 52, 79, 82, 21, 22, 25, 28, 31, 33, 35, 37,
99, 100 42, 43, 49, 59, 62, 65, 66, 69,
Kureta Mandaki, 6, 31 70, 79, 88, 93, 94, 99, 100
nilai, 1, 74, 89, 90, 93, 100
L
O
lagu, 5, 6, 10, 11, 13, 17, 19, 20, 21,
25, 26, 27, 28, 31, 32, 34, 35, organologis, 2, 3, 5, 41, 45, 54, 57,
36, 38, 40, 42, 43, 44, 51, 52, 68, 74, 100
53, 57, 58, 59, 60, 67, 69, 71,
74, 75, 79, 82, 83, 88, 90, 92, P
93, 94, 100
luhak nan tigo, 2 panokok, 7
pemetaan, 1, 2, 100, 101
M perkusi, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 13, 16,
19, 26, 30, 35, 36, 37, 42, 44,
masyarakat, 1, 2, 3, 8, 9, 10, 13, 14, 45, 100
16, 19, 20, 21, 23, 25, 27, 33, petik, 3, 4, 73, 83
37, 40, 41, 44, 45, 49, 57, 63, pewaris, 1, 27, 71, 87
64, 68, 70, 73, 75, 80, 84, 87, piaman, 3, 45, 73, 77
88, 89, 90, 94, 95, 96, 97, 99 pitunang, 70
membranophone, 88 pola, 4, 6, 17, 20, 23, 25, 30, 36,
Minangkabau, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 37, 40, 42, 47, 53, 55, 58, 83,
9, 10, 11, 13, 19, 21, 22, 23, 24, 92, 94, 97
26, 27, 28, 33, 35, 36, 37, 42,
44, 45, 47, 51, 52, 54, 57, 58, R
64, 66, 69, 70, 73, 74, 77, 78,
84, 87, 90, 93, 95, 99, 100, 101, rabab, 3, 60, 73, 74, 75, 77, 78, 79,
104, 105, 106, 107, 108 80, 82, 83
Rabab Bado’i, 74

110
Rabab badoi, 82, 83 talempong batuang, 5, 33, 34
Rabab Darek, 73, 78, 81, 105 talempong botuang, 9
rabab pariaman, 77, 79, 80, 82 talempong duduak, 6, 8, 9, 10, 12,
rabab pasisia, 60, 73, 74, 75, 77, 79, 21, 22, 26, 28
80 talempong jao, 9
rantau, 2, 84 talempong kayu, 5, 9, 29, 34
rapa’i, 11, 44, 88, 92, 93 tari, 4, 13, 31, 34, 37, 43, 45, 65,
repertoar, 10, 13, 21, 26, 27, 36, 43, 83, 88, 92, 93, 99
44, 51, 52, 57, 59, 60, 69, 75, teks kaba, 79
77, 84 teks pantun, 79
resonansi, 7, 8, 47 tradisional, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,
resonator, 9, 12, 34, 47, 53, 77 10, 11, 12, 16, 17, 18, 19, 20,
responsorial, 82 21, 23, 35, 42, 44, 51, 52, 54,
ritmis, 4, 5, 6, 7, 9, 12, 13, 16, 17, 57, 66, 68, 69, 71, 73, 74, 75,
20, 26, 35, 36, 42, 44, 45, 46, 77, 84, 87, 95, 97, 99, 100, 101
58, 59, 100
U
S
ulama, 87, 88
salawat dulang, 4, 44
saluang, 3, 6, 51, 52, 54, 55, 57, 58, W
59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66,
67, 68, 69, 79, 80, 82 warisan, 1, 27, 30, 96
sarunai, 35, 36, 40, 41, 42, 51, 53 wilayah, 2, 3, 7, 9, 12, 21, 22, 47,
seni, 1, 55, 63, 65, 90, 93, 97 49, 52, 54, 66, 99, 100
sijundai, 70
Siontong Tabang, 6 X
snare, 75, 77
Sumatra Barat, 1, 38, 39 xylophone, 5, 9

T Z
taksonomi, 3 zaman, 1, 2, 33, 89, 97

111

Anda mungkin juga menyukai