Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG

Perkembangan musik dunia makin tahun pertumbuhanya kian pesat dan berkembang,
khusunya di Indonesia musik pada era saat ini telah berbeda dengan musik pada masa
Indonesia di tahun lalu. Saat ini mayoritas penikmat musik indonesia lebih suka untuk
menikmati musik modern dibanding dengan musik daerah. Pada hakikatnya musik
daerah adalah musik yang tumbuh dan berkembang dinusantara, tetapi pada saat ini
musik-musik tersebut tidak terlalu menarik perhatian peminat musik dan kurangnya
sarana sebagai tempat untuk mengembangkan musik daerah tersebut.

Salah satu contoh dari banyaknya jenis-jenis musik di nusantara adalah Musik gamelan,
musik ini lahir dan berkembang di daerah jawa. Musik gamelan pada saat ini telah
mengalami banyak perkembangan dan sedikit modifikasi atau pertambahan beberapa
alat msuik modern. Namun walaupun demikian peminat musik ini masih sangat sedikit,
umumnya para pemain musik daerah ini adalah para orang-orang tua jawa yang telah
mahir memainkan alat-alat musiknya. Kurangnya pengetahun dan pengenalan mengenai
musik derah ini membuat generasi muda kurang begitu mengahargai dan mengapresiasi
musik daerahnya.
Untuk dapat memahami lebih jauh mengenai musik gamelan maka pada makalah ini
disajikan beberapa ulasan tentang musik gamelan, mulai dari sejarah, alat musik, dan
beberapa tokohnya.

1.2 TUJUAN
        Makalah ini bertujuan agar siswa-siswi kelas XI mengetahui dan lebih memahami
mengenai salah satu musik daerah nusantara yaitu Gamelan. Dan dapat pula untuk
menghargai dan melestarikan musik daerahnya.

1.3 RUMUSAN MASALAH


–     Bagaimana sejarah gamelan?
–     Alat musik apa saja yang digunakan pada musik gamelan?

 –    Jenis-jenis musik gamelan?


–    Bagaimana cara untuk memainkan alat musik tersebut?
–     Siapa saja tokoh musik gamelan?
–     Grup gamelan yang masih ada pada saat ini?

BI
PENDAHULUAN
 
1.1 LATAR BELAKANG
      Perkembangan musik dunia makin tahun pertumbuhanya kian pesat dan
berkembang, khusunya di Indonesia musik pada era saat ini telah berbeda dengan musik
pada masa Indonesia di tahun lalu. Saat ini mayoritas penikmat musik indonesia lebih
suka untuk menikmati musik modern dibanding dengan musik daerah. Pada hakikatnya
musik daerah adalah musik yang tumbuh dan berkembang dinusantara, tetapi pada saat
ini musik-musik tersebut tidak terlalu menarik perhatian peminat musik dan kurangnya
sarana sebagai tempat untuk mengembangkan musik daerah tersebut.

Salah satu contoh dari banyaknya jenis-jenis musik di nusantara adalah Musik gamelan,
musik ini lahir dan berkembang di daerah jawa. Musik gamelan pada saat ini telah
mengalami banyak perkembangan dan sedikit modifikasi atau pertambahan beberapa
alat msuik modern. Namun walaupun demikian peminat musik ini masih sangat sedikit,
umumnya para pemain musik daerah ini adalah para orang-orang tua jawa yang telah
mahir memainkan alat-alat musiknya. Kurangnya pengetahun dan pengenalan mengenai
musik derah ini membuat generasi muda kurang begitu mengahargai dan mengapresiasi
musik daerahnya.
Untuk dapat memahami lebih jauh mengenai musik gamelan maka pada makalah ini
disajikan beberapa ulasan tentang musik gamelan, mulai dari sejarah, alat musik, dan
beberapa tokohnya.

1.2 TUJUAN
        Makalah ini bertujuan agar siswa-siswi kelas XI mengetahui dan lebih memahami
mengenai salah satu musik daerah nusantara yaitu Gamelan. Dan dapat pula untuk
menghargai dan melestarikan musik daerahnya.

1.3 RUMUSAN MASALAH


–     Bagaimana sejarah gamelan?
–     Alat musik apa saja yang digunakan pada musik gamelan?

 –    Jenis-jenis musik gamelan?


–    Bagaimana cara untuk memainkan alat musik tersebut?
–     Siapa saja tokoh musik gamelan?
–     Grup gamelan yang masih ada pada saat ini?

1.4 METODE PENELITIAN


      Metode penelitian oleh penulis dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaian obyek,
dan subyek yang diteliti serta studi ilmu penulis, sehingga penulis dapat
mengetahuiinformasi mengenai gamelan.

1.5 MANFAAT
–     Siswa dapat mengetahui sejarah gamelan beserta perkembanganya
– Mengetahui alat-alat musik yang digunakan pada musik gamelan
–     Dapat menghargai dan mencintai musik derah di nusantara
BAB II
SEJARAH DAN JENIS GAMELAN
 
 
2.1 SEJARAH GAMELAN
      Gamelan adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang,
gendang, dan gong. Istilah gamelan merujuk pada instrumennya / alatnya, yang mana
merupakan satu kesatuan utuh yang diwujudkan dan dibunyikan bersama. Kata Gamelan
sendiri berasal dari bahasa Jawa gamel yang berarti memukul / menabuh, diikuti akhiran
an yang menjadikannya kata benda. Orkes gamelan kebanyakan terdapat di
pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok di Indonesia dalam berbagai jenis ukuran dan
bentuk ensembel. Di Bali dan Lombok saat ini, dan di Jawa lewat abad ke-18,
istilah gong lebih dianggap sinonim dengan gamelan.
Kemunculan gamelan didahului dengan budaya Hindu–Budha yang
mendominasi Indonesia pada awal masa pencatatan sejarah, yang juga mewakili seni asli
indonesia. Instrumennya dikembangkan hingga bentuknya sampai seperti sekarang ini
pada zaman Kerajaan Majapahit. Dalam perbedaannya dengan musik India, satu-satunya
dampak ke-India-an dalam musik gamelan adalah bagaimana cara menyanikannya.
Dalam mitologi Jawa, gamelan dicipatakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka, dewa
yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana di gunung Mahendra di
Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu). Sang Hyang Guru pertama-tama menciptakan
gong untuk memanggil para dewa. Untuk pesan yang lebih spesifik kemudian
menciptakan dua gong, lalu akhirnya terbentuk set gamelan.
Gambaran tentang alat musik ensembel pertama ditemukan di Candi
Borobudur, Magelang Jawa Tengah, yang telah berdiri sejak abad ke-8. Alat musik
semisal suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik
berdawai yang digesek dan dipetik, ditemukan dalam relief tersebut. Namun, sedikit
ditemukan elemen alat musik logamnya. Bagaimanapun, relief tentang alat musik
tersebut dikatakan sebagai asal mula gamelan.
Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang kompleks. Gamelan
menggunakan empatcara penalaan, yaitu sléndro, pélog, “Degung” (khusus daerah
Sunda, atau Jawa Barat), dan “madenda” (juga dikenal sebagai diatonis, sama
seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa.
Musik Gamelan merupakan gabungan pengaruh seni luar negeri yang beraneka ragam.
Kaitan not nada dari Cina, instrumen musik dari Asia Tenggara, drum band dan gerakkan
musik dari India, bowed string dari daerah Timur Tengah, bahkan style militer Eropa
yang kita dengar pada musik tradisional Jawa dan Bali sekarang ini.

Interaksi komponen yang sarat dengan melodi, irama dan warna suara mempertahankan
kejayaan musik orkes gamelan Bali. Pilar-pilar musik ini menyatukan berbagai karakter
komunitas pedesaan Bali yang menjadi tatanan musik khas yang merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Namun saat ini gamelan masih digunakan pada acara-acara resmi seperti pernikahan,
syukuran, dan lain-lain. tetapi pada saat ini, gamelan hanya digunakan mayoritas
masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah.

Kebudayaan Jawa setelah masa prasejarah memasuki era baru yaitu suatu masa ketika
kebudayaan dari luar -dalam hal ini kebudayaan India- mulai berpengaruh. Kebudayaan
Jawa mulai memasuki jaman sejarah yang ditandai dengan adanya sistem tulisan dalam
kehidupan masyarakat. Dilihat dari perspektif historis selama kurun waktu antara abad
VIll sampai abad XV Masehi kebudayaan Jawa, mendapat pengayaan unsur-unsur
kebudayaan India. Tampaknya unsur-unsur budaya India juga dapat dilihat pada
kesenian seperti gamelan dan seni tari. Transformasi budaya musik ke Jawa melalui jalur
agama Hindu-Budha.

Data-data tentang keberadaan gamelan ditemukan di dalam sumber verbal yakni


sumber – sumber tertulis yang berupa prasasti dan kitab-kitab kesusastraan yang
berasal dari masa Hindu-Budha dan sumber piktorial berupa relief yang dipahatkan pada
bangunan candi baik pada candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Tengah (abad
ke-7 sampai abad ke-10) dan candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Timur yang
lebih muda (abad ke-11 sampai abad ke¬15) (Haryono, 1985). Dalam sumber-sumber
tertulis masa Jawa Timur kelompok ansambel gamelan dikatakan sebagai “tabeh –
tabehan” (bahasa Jawa baru ‘tabuh-tabuhan’ atau ‘tetabuhan’ yang berarti segala
sesuatu yang ditabuh atau dibunyikan dengan dipukul). Zoetmulder menjelaskan kata
“gamèl” dengan alat musik perkusi yakni alat musik yang dipukul (1982). Dalam bahasa
Jawa ada kata “gèmbèl” yang berarti ‘alat pemukul’. Dalam bahasa Bali ada istilah
‘gambèlan’ yang kemudian mungkin menjadi istilah ‘gamelan’. Istilah ‘gamelan’ telah
disebut dalam kaitannya dengan musik. Namur dalam masa Kadiri (sekitar abad ke¬13
Masehi), seorang ahli musik Judith Becker malahan mengatakan bahwa kata ‘gamelan’
berasal dari nama seorang pendeta Burma dan seorang ahli besi bernama Gumlao. Kalau
pendapat Becker ini benar adanya, tentunya istilah ‘gamelan’ dijumpai juga di Burma
atau di beberapa daerah di Asia Tenggara daratan, namun ternyata tidak.

Gambaran instrument gamelan pada relief candi


Pada beberapa bagian dinding candi Borobudur dapat 17 dilihat jenis-jenis instrumen
gamelan yaitu: kendang bertali yang dikalungkan di leher, kendang berbentuk seperti
periuk, siter dan kecapi, simbal, suling, saron, gambang. Pada candi Lara Jonggrang
(Prambanan) dapat dilihat gambar relief kendang silindris, kendang cembung, kendang
bentuk periuk, simbal (kècèr), dan suling.

Gambar relief instrumen gamelan di candi-candi masa Jawa Timur dapat dijumpai pada
candi Jago (abad ke -13 M) berupa alat musik petik: kecapi berleher panjang dan
celempung. Sedangkan pada candi Ngrimbi (abad ke – 13 M) ada relief reyong (dua buah
bonang pencon). Sementara itu relief gong besar dijumpai di candi       Kedaton (abad ke-
14 M), dan kendang silindris di candi Tegawangi (abad ke-14 M). Pada candi induk
Panataran (abad ke-14 M) ada relief gong, bendhe, kemanak, kendang sejenis tambur;
dan di pandapa teras relief gambang, reyong, serta simbal. Relief bendhe dan terompet
ada pada candi Sukuh (abad ke-15 M).

Berdasarkan data-data pada relief dan kitab-kitab kesusastraan diperoleh petunjuk


bahwa paling tidak ada pengaruh India terhadap keberadaan beberapa jenis gamelan
Jawa. Keberadaan musik di India sangat erat dengan aktivitas keagamaan. Musik
merupakan salah satu unsur penting dalam upacara keagamaan (Koentjaraningrat,
1985:42-45). Di dalam beberapa kitab-kitab kesastraan India seperti kitab Natya Sastra
seni musik dan seni tari berfungsi untuk aktivitas upacara. keagamaan (Vatsyayan,
1968). Secara keseluruhan kelompok musik di India disebut ‘vaditra’ yang
dikelompokkan menjadi 5 kelas, yakni: tata (instrumen musik gesek), begat (instrumen
musik petik), sushira (instrumen musik tiup), dhola (kendang), ghana (instrumen musik
pukul). Pengelompokan yang lain adalah:
(1) Avanaddha vadya, bunyi yang dihasilkan oleh getaran selaput kulit karena dipukul.
(2) Ghana vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran alat musik itu sendiri.
(3) Sushira vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran udara dengan ditiup.
(4) Tata vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran dawai yang dipetik atau digesek.

Klasifikasi tersebut dapat disamakan dengan membranofon (Avanaddha vadya), ideofon


(Ghana vadya), aerofon (sushira vadya), kordofon (tata vadya). Irama musik di India
disebut “laya” dibakukan dengan menggunakan pola ‘tala’ yang dilakukan dengan
kendang. Irama tersebut dikelompokkan menjadi: druta (cepat), madhya (sedang), dan
vilambita (lamban).

2.2 JENIS GAMELAN


Gamelan adalah seperangkat alat musik dengan nada pentatonis, yang terdiri dari :
Kendang, Bonang, Bonang Penerus, Demung, Saron, Peking (Gamelan), Kenong &
Kethuk, Slenthem, Gender, Gong, Gambang, Rebab,, Siter, Suling.
Komponen utama alat musik gamelan adalah : bambu, logam, dan kayu. Masing-masing
alat memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan
Kata Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa “gamel” yang berarti memukul /
menabuh, diikuti akhiran “an” yang menjadikannya sebagai kata benda. Sedangkan
istilah gamelan mempunyai arti sebagai satu kesatuan alat musik yang dimainkan
bersama.

Tidak ada kejelasan tentang sejarah terciptanya alat musik ini. Tetapi, gamelan
diperkirakan lahir pada saat budaya luar dari Hindu – Budha mendominasi Indonesia.
Walaupun pada perkembangannya ada perbedaan dengan musik India, tetap ada
beberapa ciri yang tidak hilang, salah satunya adalah cara “menyanyikan” lagunya
penyanyi pria biasa disebut sebagai wiraswara dan penyanyi wanita disebut
waranggana.

Menurut mitologi Jawa, gamelan diciptakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka. Beliau
adalah dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana yang berada di gunung
Mahendra di daerah
dangkamulan (sekarang Gunung Lawu).

Alat musik gamelan yang pertama kali diciptakan adalah “gong”, yang digunakan untuk
memanggil para dewa. Setelah itu, untuk menyampaikan pesan khusus, Sang Hyang
Guru kembali menciptakan beberapa peralatan lain seperti dua gong, sampai akhirnya
terbentuklah seperangkat gamelan.
Pada jaman Majapahit, alat musik gamelan mengalami perkembangan yang sangat baik
hingga mencapai bentuk seperti sekarang ini dan tersebar di beberapa daerah seperti
Bali, dan Sunda (Jawa Barat).

Bukti otentik pertama tentang keberadaan gamelan ditemukan di Candi Borobudur,


Magelang Jawa Tengah yang berdiri sejak abad ke-8. Pada relief-nya terlihat beberapa
peralatan seperti suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat
musik berdawai yang digesek dan dipetik, termasuk sedikit gambaran tentang elemen
alat musik logam. Perkembangan selanjutnya, gamelan dipakai untuk mengiringi
pagelaran wayang dan tarian. Sampai akhirnya berdiri sebagai musik sendiri dan
dilengkapi dengan suara para sinden. Gamelan yang berkembang di Jawa Tengah, sedikit
berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada
yang lebih lembut apabila dibandingkan dengan Gamelan Bali yang rancak serta
Gamelan Sunda yang mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Menurut beberapa
penelitian, perbedaan itu adalah akibat dari pengungkapan terhadap pandangan hidup
“orang jawa” pada umumnya.

Pandangan yang dimaksud adalah : sebagai orang jawa harus selalu “memelihara
keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, serta keselarasan dalam berbicara dan
bertindak”. Oleh sebab itu, “orang jawa”
lalu menghindari ekspresi yang meledak-ledak serta selalu berusaha mewujudkan
toleransi antar sesama. Wujud paling nyata dalam musik gamelan adalah tarikan tali
rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta
suara gong pada setiap penutup irama.

Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang sangat kompleks.
Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu “sléndro”, “pélog”, ”Degung”
(khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan “madenda” (juga dikenal sebagai diatonis),
sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa.
• Slendro memiliki 5 nada per oktaf, yaitu : 1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan
interval kecil.
• Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu : 1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E- F# G# A B] dengan
perbedaan interval yang besar.

Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan, yang terdiri dari
beberapa putaran dan pathet, dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan
dalam unit yang terdiri dari 4 nada.
Seni gamelan Jawa tidak hanya dimainkan untuk mengiringi seni suara, seni tari, dan
atraksi wayang. Saat diadakan acara resmi kerajaan di keraton, digunakan alunan musik
gamelan sebagai pengiring. Terutama, jika ada anggota keraton yang melangsungkan
pernikahan tradisi Jawa. Masyarakat Jawa pun
Menggunakan alunan musik gamelan ketika mengadakan resepsi pernikahan.

Gamelan Sunda-Degung (Jawa barat)


Degung adalah kumpulan alat musik dari sunda. Ada dua pengertian tentang istilah
degung:

* Degung sebagai nama perangkat gamelan


* Degung sebagai nama laras bagian dari laras salendro ( berdasarkan teori Machyar
Angga Kusumahdinata).

Degung sebagai unit gamelan dan degung sebagai laras memang sangat lain. Dalam
teori tersebut, laras degung terdiri dari degung dwiswara (tumbuk: (mi) 2 – (la) 5) dan
degung triswara: 1 (da), 3 (na), dan 4 (ti).

Gamelan Degung

Ada beberapa gamelan yang pernah ada dan terus berkembang di Jawa Barat, antara
lain Gamelan Salendro, Pelog dan Degung. Gamelan salendro biasa digunakan untuk
mengiringi pertunjukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain-lain. Gamelan pelog
fungsinya hampir sama dengan gamelan salendro, hanya kurang begitu berkembang dan
kurang akrab di masyarakat dan jarang dimiliki oleh grup-grup kesenian di masyarakat.
Hal ini menandakan cukup terwakilinya seperangkat gamelan dengan keberadaan
gamelan salendro, sementara gamelan degung dirasakan cukup mewakili kekhasan
masyarakat Jawa Barat. Gamelan lainnya adalah gamelan Ajeng berlaras salendro yang
masih terdapat di kabupaten Bogor, dan gamelan Renteng yang ada di beberapa tempat,
salah satunya di Batu Karut, Cikalong kabupaten Bandung. Melihat bentuk dan interval
gamelan renteng, ada pendapat bahwa kemungkinan besar gamelan degung yang
sekarang berkembang, berorientasi pada gamelan Renteng.
Lagu-lagu degung di antaranya: Palwa, Palsiun, Bima Mobos (Sancang), Sang Bango,
Kinteul Bueuk, Pajajaran, Catrik, Lalayaran, Jipang Lontang, Sangkuratu, Karang Ulun,
Karangmantri, Ladrak, Ujung Laut, Manintin, Beber Layar, Kadewan, Padayungan, dsb.
Sedangkan lagu-lagu degung ciptaan baru yang digarap dengan menggunakan pola lagu
rerenggongan di antaranya: Samar-samar, Kembang Ligar, Surat Ondangan, Hariring
Bandung, Tepang Asih, Kalangkang, Rumaos, Bentang Kuring, dsb.

Gamelan Bali

Musiknya juga sering mengalami perubahan tempo dan dinamik. Bedanya lagi, gamelan
Bali memiliki lebih banyak instrumen berbilah daripada berpencu. Logamnya pun lebih
tebal sehingga dapat bersuara lebih nyaring. Ciri lain gamelan Bali adalah digunakannya
sejenis simbal yang disebut ceng-ceng. Ceng-ceng inilah yang berbunyi nyaring dan
cepat sehingga membuat musik Bali berbeda dari musik Jawa
• Perkembangan Musik Gamelan
Gamelan sejak dahulu sudah populer hampir di seluruh Indonesia dan sangat
dipengaruhi oleh paham Hindu, Arab, dan Persia. Di keraton Yogya dan Solo masih
terdapat perangkat gamelan yang masih lengkap sebagai bukti peninggalan jaman
dahulu. Di Jawa Barat pada jaman Sultan Agung sudah terdapat peralatan gamelan yang
lengkap. Suku bangsa yang paling aktif menggunakan perangkat gamelan adalah Jawa,
Sunda, dan Bali. Instrumen ketiga daerah itu pada umumnya sama, dan perbedaannya
terletak pada cara memainkannya. Gamelan Jawa dimainkan dengan keseimbangan
antara vokal dan instrumental, tak ada yang menonjol antara keduanya, sedangkan pada
gamelan Sunda vokal lebih dipentingkan dari pada instrumental, terutama pada
permainan kliningan. Penyanyi vokalnya disebut pesinden. Gambelan Bali
mengutamakan instrumental, karena disesuaikan dengan pemakaiannya, yaitu sebagai
pengiring tarian.
Walaupun gamelan berkembang terus, sampai sekarang belum tercapai standardisasi
nada, sehingga ukuran nada setiap perangkat dapat berbeda-beda. Walau demikian hal
ini tidak menjadi masalah. Kini cukup banyak seniman di luar negeri yang berminat pada
gamelan, terutama di Amerika Serikat dan Australia.
Perkembangan jaman terasa juga dalam perkembangan gamelan. Pada tahun 1960-an
ditemukan gamelan yang tidak hanya terbatas dalam laras slendro dan laras pelog,
tetapi lebih bersifat universal. Gamelan jenis ini tidak bernada pentatonis tetapi diatonis,
sehingga dapat digunakan untuk mengiringi lagu-lagu pop.
Musik gamelan biasa digunakan sebagai pengiring pertunjukkan wayang, upacara
keraton, upacara perkawinan adat Jawa. Tokoh dalam perkembangan musik gamelan:
1) Pastor Van Deinse SJ dari Semarang.
2) Uskup Agung dari Semarang.
 
BAB III
ALAT MUSIK GAMELAN
 
3.1 BAGIAN ALAT MUSIK GAMELAN
      Bagian Alat Musik Gamelan, nama-nama alat musik dalam Gamelan Jawa:
1.Kendhang:
Terbuat dari kulit hewan (Sapi atau kambing) Kendhang berfungsi utama untuk
mengatur irama. Kendhang ini dibunyikan dengan tangan, tanpa
alat bantu.Jenis kendang yang kecil disebut ketipung, yang menengah disebut kendang
ciblon/kebar. Pasangan ketipung ada satu lagi bernama kendang gedhe biasa disebut
kendang kalih.
Kendang kalih dimainkan pada lagu atau gendhing yang berkarakter halus seperti
ketawang, gendhing kethuk kalih, dan ladrang irama dadi.
Bisa juga dimainkan cepat pada pembukaan lagu jenis lancaran ,ladrang irama
tanggung. Untuk bermain kendhang, dibutuhkan orang yang sangat mendalami budaya
Jawa, dan dimainkan dengan perasaan naluri si pemain, tentu saja dengan aturan-aturan
yang ada.
2. Demung, Saron, Peking

Alat ini berbentuk bilahan dengan enam atau tujuh bilah (satu oktaf ) ditumpangkan
pada bingkai kayu yang juga berfungsi sebagai resonator.
Instrumen mi ditabuh dengan tabuh dibuat dari kayu.
Menurut ukuran dan fungsinya, terdapat tiga jenis saran:

– demung (Paling besar),

– saron (Sedang) dan- peking(Paling kecil).


DEMUNG
Alat ini berukuran besar dan beroktaf tengah.
Demung memainkan balungan gendhing dalam wilayahnya yang terbatas.Umumnya,
satu perangkat gamelan mempunyai satu atau dua demung.Tetapi ada gamelan di
kraton yang mempunyai lebih dari dua demung.

SARON
Alat ini berukuran sedang dan beroktaf tinggi.
Seperti demung, saron barung memainkan balungan dalam wilayahnya yang terbatas.
Pada teknik tabuhan imbal-imbalan, dua saron memainkan lagu jalin menjalin yang
bertempo cepat. Seperangkat gamelan mempunyai dua saron, tetapi ada gamelan yang
mempunyai lebih dan dua saron.

PEKING
Berbentuk saron yang paling kecil dan beroktaf paling tinggi.
Saron panerus atau peking ini memainkan tabuhan rangkap dua atau rangkap empat
lagu balungan.
3. Bonang

Bonang dibagi menjadi dua jenis, yaitu bonang barung dan bonang panerus.
Perbedaannya pada besar dan kecilnya saja, dan juga pada cara memainkan iramanya.
Bonang barung berukuran besar, beroktaf tengah sampai tinggi, adalah salah satu dari
instrumen-instrumen pemuka dalam ansambel.
Khususnya dalam teknik tabuhan pipilan, pola-pola nada yang selalu mengantisipasi
nada-nada yang akan datang dapat menuntun lagu instrumen-instrumen lainnya. Pada
jenis gendhing bonang, bonang barung memainkan pembuka gendhing dan menuntun
alur lagu gendhing. Pada teknik tabuhan imbal-imbalan, bonang barung tidak berfungsi
sebagai lagu penuntun; ia membentuk pola-pola lagu jalin-menjalin dengan bonang
panerus, dan pada aksen aksen penting bonang boleh membuat sekaran (lagu-lagu
hiasan), biasanya di akhiran kalimat lagu.

Bonang panerus adalah bonang yang kecil, beroktaf tinggi. Pada teknik tabuhan pipilan,
irama bonang panerus memiliki kecepatan dalam bermain dua kali lipat dari pada
bonang barung. Walaupun mengantisipasi nada-nada balungan, bonang panerus tidak
berfungsi sebagai lagu tuntunan, karena kecepatan dan ketinggian wilayah nadanya.
Dalam teknik tabuhan imbal-imbalan, bekerja sama dengan bonang barung, bonang
panerus memainkan pola-pola lagu jalin menjalin.

4. Slenthem

Menurut konstruksinya, slenthem termasuk keluarga gender; malahan kadang-kadang ia


dinamakan gender panembung. Tetapi slenthem mempunyai bilah sebanyak bilah saron;

Slenthem beroktaf paling rendah dalam kelompok instrumen saron. Seperti demung dan
saron barung, slenthem memainkan lagu balungan dalam wilayahnya yang terbatas.

5. Kethuk dan Kenong

Kenong merupakan satu set instrumen jenis mirip gong berposisi horisontal,
ditumpangkan pada tali yang ditegangkan pada bingkai kayu. Dalam memberi batasan
struktur suatu gendhing, kenong adalah instrumen kedua yang paling penting setelah
gong. Kenong membagi gongan menjadi dua atau empat kalimat kalimat kenong. Di
samping berfungsi menggaris-bawahi struktur gendhing, nada-nada kenong juga
berhubungan dengan lagu gendhing; ia bisa memainkan nada yang sama dengan nada
balungan;
ia boleh juga mendahului nada balungan berikutnya untuk menuntun alun lagu
gendhing; atau ia dapat memainkan nada berjarak satu kempyung dengan nada
balungan, untuk mendukung rasa pathet.
Pada kenongan bergaya cepat, dalam ayaka yakan, srepegan, dan sampak, tabuhan
kenong menuntun alur lagu gendhing-gendhing tersebut.
Kethuk sama dengan kenong, fungsinya juga sama dengan kenong. Kethuk dan kenong
selalu bermain jalin-menjalin, perbedaannya pada irama bermainnya saja.

6. Gender

Instrumen terdiri dari bilah-bilah metal ditegangkan dengan tali di atas bumbung-
bumbung resonator. Gender ini dimainkan dengan tabuh berbentuk bulat (dilingkari
lapisan kain) dengan tangkai pendek.
Sesuai dengan fungsi lagu, wilayah nada, dan ukurannya, ada dua macam gender:
– gender barung dan
– gender panerus.
7. Gambang

Instrumen dibuat dari bilah – bilah kayu dibingkai pada


gerobogan yang juga berfungsi sebagai resonator. Berbilah tujuh-belas sampai dua-puluh
bilah, wilayah gambang mencakup dua oktaf atau lebih. Gambang dimainkan dengan
tabuh berbentuk bundar dengan tangkai panjang biasanya dari tanduk/sungu.
Kebanyakan gambang memainkan gembyangan (oktaf) dalam gaya pola pola lagu
dengan ketukan ajeg. Gambang juga dapat memainkan beberapa macam ornamentasi
lagu dan ritme, seperti permainan dua nada
dipisahkan oleh dua bilah, atau permainan dua nada dipisahkan oleh enam bilah, dan
pola lagu dengan ritme– ritme sinkopasi.

8. Rebab

Instrumen kawat-gesek dengan dua kawat ditegangkan pada selajur kayu dengan badan
berbentuk hati ditutup dengan membran (kulit tipis) dari babad sapi. Sebagai salah satu
dari instrumen pemuka, rebab diakui sebagai pemimpin lagu dalam ansambel, terutama
dalam gaya tabuhan lirih.
Pada kebanyakan gendhing-gendhing, rebab memainkan lagu pembuka gendhing,
menentukan gendhing, laras, dan pathet yang akan dimainkan.
Wilayah nada rebab mencakup luas wilayah gendhing apa saja. Maka alur lagu rebab
memberi petunjuk yang jelas jalan alur lagu gendhing.
Pada kebanyakan gendhing, rebab juga memberi tuntunan musikal kepada ansambel
untuk beralih dari seksi yang satu ke yang lain.

9. Siter

Siter merupakan bagian ricikan gamelan yang sumber bunyinya adalah string (kawat)
yang teknik menabuhnya dengan cara di petik. Jenis instrumen ini di lihat dari bentuk
dan warna bunyinya ada tiga macam, yaitu siter, siter penerus (ukurannya lebih kecil
dari pada siter), dan clempung (ukurannya lebih besar dari pada siter). Dalam sajian
karawitan klenengan atau konser dan iringan wayang fungsi siter sebagai pangrengga
lagu.

BAB IV
TOKOH DAN GRUP GAMELAN
4.1  TOKOH GAMELAN
     Kanjeng Pangeran Haryo (K.P.H.) Notoprojo, juga dikenal sebagai Ki Tjokrowasito,
K.R.T. Wasitodipuro, K.R.T. Wasitodiningrat,
adalah seorang empu (tokoh ahli) karawitan dan salah satu seniman gamelan Jawa yang
paling dihormati. Dia memimpin gamelan Pura Paku Alaman serta gamelan untuk Radio
Republik Indonesia Yogyakarta, dan mengajar gamelan di universitas-universitas di
seluruh dunia. Ia juga adalah seorang komposer dan pemain rebab terkenal. Ia terkenal
dengan karya komposisi gamelannya yang merakyat seperti “Kuwi Opo Kuwi”, “Gugur
Gunung” dan “Modernisasi Desa” . Ia dilahirkan dengan nama Wasi Jolodoro 17 Maret
1909 – meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 30 Agustus 2007.
Selain bermain di gamelan Kraton Paku Alaman, ia bermain dengan kelompok-kelompok
gamelan ternama lainnya, seperti Daya Pradangga, dan menjabat sebagai direktur musik
gamelan di stasiun radio MAVRO (Mataramsche Vereeniging Radio Omroep) dari tahun
1934, Radio Hosokyoku dari 1942-1945 selama pendudukan Jepang di Indonesia, dan RRI
Yogyakarta setelah kemerdekaan. Dia mendapat kesempatan untuk mengajar karawitan
di luar negeri sejak tahun 1953, dan bekerja di beberapa negara. Dia mengajar di
Konservatori Tari Indonesia dan Akademi Seni Tari Indonesia, dan mendirikan sekolah
untuk studi musik vokal, Pusat Olah Vokal Wasitodipuro.
Ia mengambil alih kepemimpinan gamelan Pura Pakualaman dari ayahnya pada tahun
1962. Gaya musik dari gamelan Pura Paku Alaman berbagi unsur-unsur tradisional yang
mirip dengan gamelan Kesultanan Yogyakarta, dan dipengaruhi adanya persilangan
budaya dengan Kraton Kasunanan di Surakarta / Solo. Notoprojo, setelah residensi yang
diperpanjang di Solo, memperkaya proses persilangan musik gamelan ini, mungkin ke
titik di mana karakter dan gaya gamelan Pura Paku Alaman bisa terdengar sebagian
besar seperti gamelan Solo.
Dia menggubah musik untuk genre baru Sendratari (tari-drama) pada tahun 1960,
termasuk pertunjukan pertama yang diselenggarakan di kompleks Candi Lara Jonggrang
di Candi Prambanan. Ia bekerja sama dengan koreografer Bagong Kussudiardjo. Dalam
lebih dari 250 komposisi musiknya, banyak potongan komposisi gamelan ringan (lagu
dolanan) dan karya eksperimental “kreasi baru”, dan juga banyak yang menonjol dalam
perbendaharaan komposisi musik gamelan. Dia menghidupkan kembali beberapa bentuk
seni yang hampir mati atau punah dari sejarah Yogyakarta, termasuk wayang gedhog.
Banyak dari susunan karya-karya musiknya, serta dua-volume notasi musik vokalnya,
diterbitkan oleh American Gamelan Institute (“Institut Gamelan Amerika”).
Ia memimpin orkes gamelan di paviliun perwakilan Indonesia pada New York World’s Fair
tahun 1964. Kemudian ia pindah ke Valencia, California pada tahun 1971 dan mengajar
di Californian Institute of The Arts (“Institut Seni Kalifornia”) hingga tahun 1992, di
samping bekerja di Universitas California, Berkeley, San Jose State University, dan
banyak universitas lainnya di Amerika Serikat dan Kanada. Pada tahun 1992 (umur 83
tahun) ia memutuskan untuk pensiun dan kembali ke Yogyakarta, Indonesia. Rumahnya
adalah sebuah tempat tinggal bagi seniman muda, dan juga tempat pertunjukan dan
sarasehan beberapa seniman gamelan Jawa terbaik.
4.2 GRUP GAMELAN SAAT INI
 

Kiai Kanjeng

Gamelan Kiai Kanjeng bukan nama grup musik, melainkan nama sebuah konsep nada
pada alat musik “tradisional” gamelan yang diciptakan oleh Novi Budianto. Kalau dalam
khasanah musik Jawa terutama pada gamelan lazimnya sistem tangga nada yang dipakai
adalah laras pentatonis yang terbagi ke dalam dua jenis nada yakni pelog dan slendro,
maka gamelan yang digubah oleh Novi ini tidak berada pada jalur salah satunya, alias
bukan pelog bukan slendro.
Disebut demikian karena memang bila ditilik dari konsep tangga nadanya, ia berbeda
dengan gamelan-gamelan pentatonis baik yang pelog maupun slendro. Meskipun bila
ditinjau dari segi bahan dan bentuknya gamelan KiaiKanjeng tetaplah sama dengan
gamelan Jawa pada umumnya. Dan perbedaan nada tersebut terletak pada jumlah
bilahannya serta kenyataan bahwa gamelan          KiaiKanjeng juga merambah ke
wilayah diatonis, meski tidak sepenuhnya. Tepatnya: sel-la-si-do-re-mi-fa-sol, dengan
nada dasar G=do atau E Minor.
Konsep nada Gamelan KiaiKanjeng adalah solmisasi yang belum sempurna: sel, la, si, do,
re, mi, fa, sol. Penyempurnaan terus dilakukan dengan ninthing instrumen gamelan
(saron, bonang dan sebagainya) yang baru, karena sesungguhnya yang diperlukan jauh
melebihi yang sekarang ada. Pelarasan nada ini oleh Novi Budianto pada mulanya dipilih
berdasarkan pengalamannya menata musik-puisi Emha Ainun Nadjib sejak berproses
bersama di teater Dinasti.

 
BAB V
PENUTUP
 
5.1 KESIMPULAN
     Gamelan adalah produk budaya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kesenian.
Kesenian merupakan salah satu unsur budaya yang bersifat universal. Ini berarti bahwa
setiap bangsa dipastikan memiliki kesenian, namun wujudnya berbeda antara bangsa
yang satu dengan bangsa yang lain. Apabila antar bangsa terjadi kontak budaya maka
keseniannya pun juga ikut berkontak sehingga dapat terjadi satu bangsa akan menyerap
atau mengarn bila unsur seni dari bangsa lain disesuaikan dengan kondisi seternpat.
Oleh karena itu sejak keberadaan gamelan sampai sekarang telah terjadi perubahan dan
perkembangan, khususnya dalam kelengkapan ansambelnya.

5.2 SARAN
Berdasarkan penemuan yang diperoleh dari penelitian ini, dapat dianjurka beberapa
saran sebagai berikut:

–  Meningkatkan pengetahuan tentang dunia seni tradisional.

–  Perlunya penelitian lebih lanjut bagaimana karakteristik Gamelan.

–  Dari peneletian ini diharapkan adanya penelitian yang lebih lanjut untuk

    mengkaji perkembangan Gamelan di Indonesia.

–  Perlu adanya pelatihan yang lebih lanjut dalam pembuatan laporan penelitian.

sejarah Gamelan Degung


Gamelan Degung adalah salah satu perangkat dari sekian perangkat gamelan
karawitan sunda yang ada di daerah provinsi Jawa Barat Negara Indonesia. Istilah
gamelan menunjukan pada istilah yang Jamak, yakni terdiri dari beberapa alat
/waditra/instrument, yang mana menunjukan pula dalam istilah sunda disebut
Tatabeuhan, baik pada alat atau waditra yang dipukul, digesek, digesek, digetar
(digoyang), maupun cara khusus membunyikan lainnya sesuai karakteristik alat yang
diperlukan dalam sebuah komposisi musikal.
Secara etimologis (Asal-usul bahasa) bahwa gamelan berasal dari bahasa Jawa dan
Bali, yaitu dari kata dasar “Gamel” yang artinya pukul atau tabuh; dan memang pada
kenyataanya, gamelan merupakan alat bunyi-bunyian dalam satu unit yang terdiri dari
sebagian besar alat yang membunikannya dengan cara dipukul, seperti diantaranya
adalah gamelan degung.
SEJARAH GAMELAN DEGUNG
Istilah Degung berawal dari perangkat waditra (instument) pukul berbentuk enam buah
penclon (Sedikit lebih kecil dari kempul), digantungkan secara berderet pada rancak
khusus. Sampai sekarang nama perangkat gamelan tersebut dikenal dengan sebutan
Gamelan Degung.
Pada mulanya gamelan degung hanya dipergunakan dilingkungan kaum bangsawan.
Salah seorang penggembarnya adalah R.A.A Wiranatah Kusumah, yakni bupati
bandung jawabarat Indonesia sebelum perang dunia kedua, Salah saru lagu atau
gending yang direkam dari gamelan degung miliknya, kini sering dipergunakan oleh
Radio Republik Indonesia (RRI) Bandung, untuk memberi info pembacaan berita
daerah.
Pada zaman penjajahan Belanda diseluruh kabupaten bandung terdapat 5 perangkat
gamelan degung. Di Kabupaten lain di Jawa Barat diantaranya terdapat di Sumedang
satu perangkat gamelan degung, di Cianjur Lima perangkat gamelan degung, dan di
Tasikmalaya dua perangkat gamelan degung.
Karena gamelan degung digemari oleh ratu panggung Bupati maka timbulah anggapan
bahwa istilah degung berasal dari kata “Ratu Agung” atau Tumenggung yaitu Gelar
Bupati pada zaman dahulu. Gamelan Degung dapat dikatakan sebagai gamelan khas
pasundan jawa barat Indonesia, yang tentang kapan awal keberadaanya, dimana, dan
siapa penciptanya sampai sekarang tidak ada keterangan yang jelas. Semuala susunan
waditra gamelan degung sangat sederhana, yaitu tanpa menggunakan suling, peking,
kendang dan alat pendukung lain seperti kacapi yang sering ditemui pada sajian
gamelan degung sekarang. Reportoar lagu atau gendingnyapun masih terbatas, antara
lain lagu Ayun Ambing, Bale Bandung, dan Galatik Manggut.
Pada masa pemerintahan Bupati R.A.A Wiranata Kusumah yang mendapat julukan
Dalem Haji. Susunan waditra gamelan degung dilengkapi dengan suling, kendang, dan
peking. Inisiatif tersebut atas usaha kreativitas Abah Ijam bersama putra-putranya, Yakni
Abah Idi, Abah Ojo, dan Abah Atma. Adapun para Wiyaga (Pemain gamelan degung)
yang sudah dikenal sebelum penambahan waditra gamelan degung tersebut antara
lain : Abah Emus, Abah Darma, Abah Dira, Abah Muhadi, Abah Asma Andut, Abah
Emad, Abah Asmadi, Anah Adikarta, Abah Sutarma Adis, dan Abah Emung. Di
Tasikmalaya pimpinan gamelan degung Kabupaten pada waktu itu Abah Iwi, dan di
Cianjur Abah Ahim.
Pada tahun 20-an perkembangan Gamelan Degung dan perhatiannya semakin
meningkat, sehingga orang yang dapat memainkan gamelan degungmemiliki
kebanggaan tersendiri. Juru gending yang dikenalpun semakin bertambah, antara lain
adalah : Abah jono, Abah Salnapi, Abah Sumanta, Abah Karta Eben, Abah Djamhuri,
Bapak Tarya, Bapak Enas, dan Bapak Uye. Mereka bergabung dalam suatu
perkumpulan bernama “Purba Sasaka Pamager Sari”, Pada Zaman merekalah reportoar
karya gamelan degung semakin bertambah.
Sejarah gamelan Degung Sunda
Posted on October 10, 2012 by amangreven
 
1. 1.      Sejararah Gamelan Degung
Dalam sejarah gamelan degung (sunda), degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda. Gamelan yang
kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar pada akhir abad ke-18 atau pada awal abad ke-19.
Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan
pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/ awal abad ke 19 Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa
dalam bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1
perangkat) Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan
Singaparna (1 perangkat).

Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, Kerajaan Galuhmisalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap
kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk,
dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.
Masyarakat Sunda menduga dan mengatakan bahwa degung merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa,
yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata “ngadeg” (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung
pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna, salah seorang nayaga Degung
Parahyangan, menghubungkan kata “degung” dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam literatur istilah
“degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata “De gong” (gamelan, bahasa Belanda). Di dalam kamus
ini, “de gong” mengandung pengertian “penclon-penclon yang digantung”.

Arti Degung sebenarnya hampir sama dengan Gangsa di Jawa Tengah, Gong di Bali atau Goong di Banten yaitu Gamelan, Gamelan merupakan
sekelompok waditra dengan cara membunyikan alatnya kebanyakan dipukul.

Pada mulanya Degung berupa nama waditra berbentuk 6 buah gong kecil, biasanya digantungkan pada “kakanco” atau rancak/ancak. Waditra ini
biasa disebut pula “bende renteng” atau “jenglong gayor”. Perkembangan menunjukan bahwa akhirnya nama ini digunakan untuk menyebut
seperangkat alat yang disebut Gamelan Degung dimana pada awalnya gamelan ini berlaras Degung namun kemudian ditambah pula dengan nada
sisipan sehingga menjadi laras yang lain (bisa Laras Madenda/Nyorog ataupun laras Mandalungan/Kobongan/Mataraman)

Ada anggapan lain sementara orang bahwa kata Degung berasal dari kata ratu-agung atau tumenggung, seperti dimaklumi bahwa Gamelan
Degung sangat digemari oleh para pejabat pada waktu itu, misalnya bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusuma adalah salah seorang pejabat yang
sangat menggemari Degung, bahkan beliaulah yang sempat mendokementasikan beberapa lagu Degung kedalam bentuk rekaman suara.

Ada pula yang menyebutkan Degung berasal dari kata “Deg ngadeg ka nu Agung” yang mengandung pengertian kita harus senantiasa menghadap
(beribadah) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam bahasa Sunda banyak terdapat kata-kata yang berakhiran gung yang artinya menunjukan
tempat/kedudukan yang tinggi dan terhormat misalnya : Panggung, Agung, Tumenggung, dsbnya. Sehingga Degung memberikan gambaran
kepada orang Sunda sebagai sesuatu yang agung dan terhormat yang digemari oleh Pangagung.

Mula mula Degung merupakan karawitan gending, penambahan waditrapun berkembang dari jaman ke jaman. Pada tahun 1958 barulah dalam
bentuk pergelarannya degung menjadi bentuk sekar gending, dimana lagu-lagu Ageung diberi rumpaka, melodi lagu dan bonang kadangkala
sejajar kecuali untuk nada-nada yang tinggi dan rendah apabila tidak tercapai oleh Sekar. Banyaknya kreasi-kreasi dalam sekar, tari, wayang
menjadikan degung seperti sekarang ini.

Jaap Kunst dalam bukunya Toonkunst van Java (Kunst, 1934), mencatat bahwa awal perkembangan Degung adalah sekitar akhir abad ke-
18/awal abad ke-19. Dalam studi literaturnya, disebutkan bahwa kata “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J.
Oosting. Kata “de gong” (gamelan: Belanda) dalam kamus ini terkandung pengertian: penclon-penclon yang digantung. Menurut Entjar
Tjarmedi dalam bukunya Pangajaran Degung,waditra (instrumen: Sunda) ini berbentuk 6 buah gong kecil yang biasanya digantung pada
sebuah gantungan yang disebut dengan rancak. Menurut beliau istilah “gamelan Degung” diambil dari nama waditra tersebut, yang kini lebih
dikenal dengan istilah jenglong  (Tjarmedi, 1974: 7).
Adapun mengenai waktu kemunculannya belum ada literatur yang akurat selain kamus H.J. Oosting di atas. Namun sebagaimana Jaap Kunst,
Enip Sukanda pun berpendapat dalam karya penelitiannya tentang Dedegungan pada Tembang Sunda Cianjuran, bahwa ketika kamus itu
dicetak berarti gamelan Degung-nya sudah ada terlebih dahulu, katakanlah sekitar 100 tahun sebelumnya (Sukanda, 1984:15).
Ada pendapat lain yaitu dari Atik Soepandi, dalam tulisannya mengenaiPerkembangan Seni Degung Di Jawa Barat, bahwa gamelan Degung
adalah istilah lain dari Goong Renteng, mengingat banyak persamaan antara lagu-lagu Degung Klasik dengan lagu-lagu goong renteng (Soepandi,
1974). Perbedaannya adalah apabila Goong Renteng kebanyakan ditemukan di kalangan masyarakat petani (rakyat), maka gamelan Degung
ditemukan di lingkungan bangsawan (menak).
 
 

1. 2.       Istilah “Degung”
Istilah “degung” memiliki dua pengertian: pertama, adalah nama seperangkat gamelan yang digunakan oleh masyarakat Sunda, yakni gamelan-
degung. Gamelan ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan gamelan pelog-salendro, baik dari jenis instrumennya, lagu-lagunya, teknik
memainkannya, maupun konteks sosialnya; kedua, adalah nama laras (tangga nada) yang merupakan bagian dari laras salendro berdasarkan
teori R. Machjar Angga Koesoemahdinata. Dalam teori tersebut, laras degung terdiri dari degung dwiswara (tumbuk nada mi (2) dan la (5))
dan degung triswara (tumbuk nada da(1), na (3), dan ti (4)). Karena perbedaan inilah maka Degung dimaklumi sebagai musik yang khas dan
merupakan identitas masyarakat Sunda.
Dihubungkan dengan kirata basa, kata “degung” berasal dari kata “ngadeg” (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak;
bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa fungsi kesenian ini dahulunya digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan.
E.Sutisna, salah seorang nayaga(penabuh) grup Degung “Parahyangan”, mengatakan bahwa gamelan Degung dulunya hanya dimiliki oleh
para pangagung (bupati). Dalam buku Sejarah Seni Budaya Jawa Barat Jidlid II yang disusun oleh Tim Penulisan Naskah Pengembangan
Media Kebudayaan Jawa Barat, disebutkan bahwa:
“Pada mulanya pemanggungan gamelan Degung terbatas di lingkungan pendopo-pendopo kabupaten untuk mengiringi upacara-upacara yang
bersifat resmi. Menurut riwayat, gamelan Degung yang masuk ke kabupaten Bandung berasal dari kabupaten Cianjur. Raden Aria Adipati
Wiranatakusumah V yang kemudian dikenal dengan julukan Dalem Haji sebelum menjadi bupati Bandung pernah berkedudukan sebagai bupati
Cianjur. Pada waktu itu di kabupaten Cianjur telah berkembang seni Degung. Pada tahun 1920 R.A.A. Wiranatakusumah V mulai diangkat
menjadi bupati Bandung, ketika itu beberapa orang pemain seni Degung Cianjur ada yang ikut serta ke Bandung.” (1977: 69)

Dari keterangan tersebut bisa disimpulkan bahwa pada awalnya gamelan ini merupakan musik keraton atau kadaleman, di mana nilai-
nilai etika sosial danestetika dijunjung tinggi. Pada saat itu Degung merupakan musik gendingan(instrumental) untuk mengiringi momen-
momen yang sakral. Namun kepindahannya secara politis dari kabupaten Cianjur ke kabupaten Bandung, menyebabkan perubahan-perubahan
penting yang akan diterangkan pada bagian setelah ini.
1. 3.      Struktur waditra / instrumen
Pada awal pemerintahan Dalem Haji sebagai bupati Bandung, ensambel gamelan Degung hanya terdiri dari alat-alat instrumen: bonang,
cecempres (saron/panerus), jengglong (degung),  dan goong. Namun atas usul Abah Iyam dan putra-putranya, yaitu Abah Idi, Abah Oyo, dan
Abah Atma, para seniman karawitan Bandung yang sudah membentuk grup “Pamagersari” (Abah Idi, 1918) dan “Purbasasaka” (Abah Oyo, 1919),
perangkatnya ditambah dengan:  peking, kendang, dan suling. Usul ini disampaikan setelah diadakan Cuultuurcongres Java Instituut pada
tanggal 18 Juni 1921 yang di dalamnya menampilkan Goong Renteng dari desa Lebakwangi, kecamatan Banjaran, kabupaten Bandung.
Pada tahun 1961 oleh R.A. Darya atau R.A. Mandalakusuma (kepala RRI Bandung), ketika menggunakan gamelan Degung untuk
mendukung gending karesmenberjudul “Mundinglayadikusumah” garapan Wahyu Wibisana, waditra Degung ditambah lagi
dengan gambang dan rebab. Lalu pada tahun 1962, ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke dalam ensambel Degung. Nano S.
dalam karya-karya Degung Baru bahkan memasukkan waditra kacapi. Namun penambahan beberapa waditra ini tidak bertahan lama, hanya
bersifatsituasional dan kondisional pada garapan tertentu, kecuali waditra peking, kendang, dan sulingyang masih bertahan sampai sekarang.
 

 
 

Dilihat dari bentuknya, waditra bonang, jenglong, dan goong berbentuk penclon, yang secara organologis termasuk ke dalam
klasifikasi idiofon (alat pukul) dengan sub klasifikasi gong chime. Sedangkan waditra cecempres dan peking berbentukwilahan (bilah), yang
secara organologis termasuk ke dalam klasifikasi idiofondengan sub klasifikasi metalofon. Sementara waditra suling termasuk aerofon, dan
kendang termasuk membranofon. Klasifikasi ini berdasarkan terjemahan Rizaldi Siagian dari teori Sachs/Hornbostel (1914:6).
Banyaknya penclon pada waditra bonang biasanya antara 14 sampai dengan 16 buah, dimulai dengan nada 1 (da) tertinggi sampai nada 1 (da)
terendah sebanyak 3gembyang (oktaf). Penclon-penclon ini disusun di atas rancak (penyangga), dengan menempatkan penclon terkecil (nada
tertinggi) di ujung sebelah kanan pemain, berurutan hingga penclon terbesar (nada terendah) di ujung sebelah kiri pemain. Hal ini disesuaikan
dengan urutan nada pada laras (tangga nada) Degung. Bonang bertugas sebagai pembawa melodi pokok yang merupakan induk dari semua
waditra lainnya. Pangkat (intro) lagu Degung dimulai dari waditra ini.
Penclon pada waditra jenglong berjumlah 6 buah yang terdiri dari nada 5 (la) hingga 5 (la) di bawahnya (1 gembyang), dengan ambitus (wilayah
nada) yang lebih rendah dari bonang. Penclon-penclon ini digantung dengan tali pada rancak yang berbentuk tiang gantungan (lihat gambar 4 di
belakang-kanan). Jenglong bertugas sebagai balunganing gending (bass; penyangga lagu) yakni sebagai penegas melodi bonang.
Gong yang terdiri dari 2 buah penclon, yakni kempul (gong kecil) dan goong (gong besar) digantung dengan tali secara berhadapan pada rancak
(lihat gambar 8 di belakang-kiri). Kempul berada di sebelah kiri pemain, sementara goong di sebelah kanan pemain. Ambitus nada gong sangat
rendah, bertugas sebagai pengatur wiletan (birama) atau sebagai tanda akhir periode melodi dan penutup kalimat lagu. Goong disebut juga
sebagai pamuas lagu.
Jumlah wilahan pada cecempres adalah 14 buah, disusun di atas rancak yang dimulai dari nada 2 (mi) tertinggi di ujung sebelah kanan pemain
hingga nada 5 (la) terendah di ujung sebelah kiri pemain. Cecempres bertugas sebagai rithm(patokan nada) yang menegaskan melodi bonang,
yang dipukul dengan pola yang konstan.
 

Adapun jumlah wilahan pada peking adalah sama dengan cecempres, namun nada-nada peking memiliki ambitus (wilayah nada) yang lebih
tinggi dari cecempres (biasanya antara sakempyung: kira-kira 1 kwint hingga sagembyang: kira-kira 1 oktav). Tugas peking agak berbeda dari
cecempres, yakni sebagai pengiring melodi. Apabila jenglong dan cecempres dipukul tandak (konstan menurut ketukan), maka peking terkesan
lebih ber-improvisasi. Peking sering juga disebut sebagai pameulit/pamanis lagu. Sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya, peking merupakan
waditra tambahan.
Seperti halnya peking, waditra kendang dan suling juga merupakan tambahan. Pada awalnya kendang tidak dimainkan seperti pada lagu-lagu
berlaras pelog/salendro, tetapi hanya sebagai penjaga ketukan saja seperti pada orkestra Barat. Namun permainan kendang pada lagu-lagu
Degung sekarang lebih variatif, sehingga menurut penulis hal ini menyebabkan penonjolan melodi bonang jadi ‘tersaingi’. Begitupun dalam
permainan suling. Walaupun dengan timbre (warna suara) yang berbeda, namun kedudukannya sama seperti vokal sehingga pendengar jadi
kurang menikmati melodi bonang. Namun pada lagu-lagu Degung Baru kehadiran peking, kendang, dan suling ini menjadi hal biasa, apalagi bagi
apresiator yang belum pernah mendengar lagu-lagu Degung.
Bahan dasar pembuatan bonang, cecempres, peking, jenglong, dan goong yang paling baik kualitas suaranya adalah dari
logam perunggu (campuran timah dan tembaga dengan perbandingan 1 : 3). Ada yang menggunakan bahan dasar logam kuningan dan besi.
Namun kedua logam tersebut kualitas suaranya lebih rendah daripada logam perunggu. Kualitas logam ini pun berpengaruh kepada daya tahan
terhadap cuaca.
 

1. 4.         Laras / Tangga Nada


Laras (berasal dari bahasa Jawa) mengandung pengertian yang sama dengantangga nada pada musik Barat, yakni: deretan nada-nada, baik
turun maupun naik, yang disusun dalam satu gembyang (oktav) dengan swarantara (interval) tertentu. Satu gembyang adalah jarak antara
satu nada ke nada yang sama di atasnya (misalnya dari 1 ke 1’ tinggi). Seperti kita ketahui bahwa pada teori musik Barat, satu gembyang berjarak
1200 sen.
Sementara swarantara adalah jarak antara nada satu ke nada berikutnya (misalnya 1 ke 2, 2 ke 3, dan seterusnya). Perbedaan laras Sunda dengan
tangga nada musik Barat adalah, apabila pada tangga nada musik Barat penomoran nada diatur naik dari nada rendah ke nada tinggi (berjumlah
7 nada pokok), maka pada laras Sunda penomoran diatur menurun dari nada tinggi ke nada rendah (berjumlah 5 nada pokok).
Dalam karawitan Sunda dikenal empat laras pokok, yaitu: laras pelog, laras salendro (yang keduanya dikenal juga di Jawa dan Bali), laras
madenda/sorog, dan laras Degung (yang kedua terakhir ini hanya dikenal di daerah Sunda). Keempat laras ini masing-masing memiliki
perbedaan pada swarantaranya. Raden Machjar Angga Koemoemadinata dalam buku Ilmu Seni Raras (1969) telah membagi perbedaan
swarantara pada laras-laras tersebut, namun uraian mengenai hal itu akan memerlukan pembahasan yang terlalu panjang. Dalam tulisan ini,
yang diperlukan adalah perbedaan swarantara pada laras Degung.
 

1. 5.      Pola Tabuhan
Karakteristik yang paling menonjol – dan jarang ditemukan pada ensambel gamelan lain – dari musik Degung adalah pola tabuhan bonangnya
yang menggunakan teknik gumekan. Pola tabuhan bonang inilah yang mewakiliekspresi melodi utama musik instrumental Degung seperti
permainan piano pada musik klasik Barat. Ketrampilan kedua tangan pemain bonang memegang peranan yang penting sebagai ‘komando’ pada
orkestra ini.
Pada gamelan pelog/salendro pola tabuhan bonang dan rincik menggunakan teknik dikemprang atau dicaruk.  Namun teknik dicaruk lebih
sering digunakan pada pola tabuhan saron I dan saron II. Jadi, perlu digarisbawahi bahwa apabila kita menemukan pola tabuhan bonang yang
dikemprang ataupun peking dan saron yang dicaruk pada lagu Degung, sesungguhnya hal itu adalah pengaruh dari jenis kesenian lain yang
menggunakan gamelan pelog/salendro, seperti:kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan.
Teknik gumekan bonang inilah yang menjadi ciri khas lagu-lagu Degung sekaligus yang membedakannya dengan teknik kemprangan atau
carukan pada lagu-lagu kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan. Degung adalah orkestra yang berbentuk instrumental dengan bonang sebagai
‘induk’nya, sementara kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan musik pengiring untuk sekar atau tarian.
6. Repertoar Degung
Repertoar gamelan Degung dibagi menjadi dua jenis: pertama, repertoar Degung klasik yang masih mempertahankan teknik gumekan bonang
sebagai ekspresi melodi; kedua, repertoar Degung non klasik – oleh Soepandi disebut denganDegung Baru – yang sudah dipengaruhi oleh pola
tabuhan gamelan pelog/salendro (dikemprang atau dicaruk).
 

Kalimat lagu pada Degung klasik (intrumentalia) umumnya panjang-panjang, karena itu sering disebut juga dengan ‘lagu ageung’. Sementara
pola lagu-lagu Degung Baru merupakan pirigan untuk mengiringi sekar, karena itu sering disebut juga dengan ‘lagu alit’. Namun dalam
perkembangannya, beberapa lagu ageung pun sekarang sudah ada yang diisi rampak sekar (vokal grup).
Struktur garapan pada repertoar Degung terdiri dari: pangkat, eusi, danmadakeun. Struktur ini sama dengan istilah overture,
interlude, dan coda pada musik Barat. Pangkat adalah kalimat pembuka lagu yang dimainkan oleh waditra bonang. Eusi adalah melodi pokok
yang merupakan isi lagu itu sendiri. Madakeunadalah kalimat penutup lagu. Kalimat pangkat dan madakeun lebih pendek daripada eusi.
Melodi pangkat dan madakeun kebanyakan berakhir pada nada 5 (la) dengan pukulan goong (gong besar) yang juga biasanya bernada 5 (la)
rendah. Di dalameusi lagu-lagu pun akan banyak kita temui nada 5 (la) sebagai akhir kalimat lagu (titik), sementara nada 2 (mi) biasanya
dijadikan akhir melodi pada pertengahan lagu (koma). Ini menunjukkan bahwa nada 2 (mi) dan nada 5 (la) merupakan nada yang penting dan
menjadi ciri khas lain pada repertoar Degung.
Beberapa contoh repertoar Degung yang diciptakan oleh R.A.A. Koesoemahningrat V (Dalem Pancaniti: 1834-1868) dan R.A.A. Prawadiredja II
(Dalem Bintang: 1868-1910) pada Album Serial Degung produksi PT. Gema Nada Pertiwi tahun 2002 adalah: 1) Mangari, 2) Maya Selas, 3)
Lalayaran, 4) Palsiun, 5) Genye, 6) Paturay, 7) Ayun Ambing, 8) Sang Bango, 9) Paksi Tuwung, 10) Lambang, 11) Manintin, 12) Jipang Prawa,
13) Palwa, 14) Kadewan, 15) Banteng Wulung, 16) Beber Layar, 17) Kulawu, 18) Padayungan, 19) Ladrak, 20) Balenderan, 21) Papalayon, 22)
Mangu-Mangu Degung, 23) Jipang Lontang, 24) Gegot, 25) Sulanjana, 26) Karang Mantri Kajineman, 27) Gunung Sari, 28) Banjaran, 29)
Kunang-Kunang, 30) Celementre, 31) Renggong Buyut, dan 32) Senggot (Volume 1 s/d 7). Beberapa merupakan hasil recomposed (arransemen
ulang) oleh Abah Idi.
 
 

Abah Idi dalam perjalanannya sebagai tokoh Degung awal abad XX, pernah membuat ciptaan asli (bukan recomposed), yakni: 1) Sangkuratu, 2)
Duda, 3) Galatik Mangut, dan 4) Ujung Laut. Sementara Entjar Tjarmedi, sebagai salah seorang tokoh yang pernah ‘menyelamatkan’ Degung
pada awal tahun 1950-an dengan siaran rutinnya di RRI Bandung, tercatat juga sebagai komposer repertoar Degung dengan lagu-lagu: 1)
Kahyangan, 2) Layungsari, 3) Pajajaran, 4) Kidang Mas, 5) Lengser Midang, 6) Pulo Ganti, 7) Kajajaden, 8) Lambang Parahyangan, dan9)
Purbasaka. Nama-nama komposer lainnya yaitu: Abah Atma yang menciptakan lagu 1) Maya Selas dan 2) Paron; Abah Absar lagu 1) Karang
Kamulyan dan 2) Hayam Sabrang; U. Tarya lagu 1) Seler Degung; Hj. Siti Rokayah lagu 1) Sinangling Degung.
Adapun repertoar non klasik/Degung Baru sangat banyak jumlahnya. Sangatlah tidak mungkin untuk dituliskan semuanya dalam paper ini.
Namun sebagai sekedar contoh yang paling mewakili jenis tersebut adalah karya Nano S. dengan grup “Gentra Madya”nya berupa album
kaset Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980), Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984), dan Kalangkang (1986) yang
dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana.
Dari judul-judul repertoar musik Degung di atas (dalam bahasa Sunda), bisa kita lihat bahwa musik Degung hampir seluruhnya menggambarkan
suasana alam pegunungan, apalagi setelah kita mendengarkan lagu-lagunya yang mengalun lembut. Namun sangat disayangkan, bahwa musik
Degung pada zaman sekarang sudah jarang diminati oleh masyarakat Sunda sendiri, sehingga keasliannya terancam punah. Yang disebut musik
Degung sekarang hanyalah waditra gamelannya, sedangkan lagu-lagunya kebanyakan sudah bukan lagu-lagu Degung klasik dalam bentuk musik
intrumentalia lagi. Para pangrawit Degung juga kebanyakan adalah para pangrawit gamelan Pelog-Salendro.

1. 6.      Perkembangan Gamelan degung


Perkembangan dari kesenian Gamelan Degung (Sunda), dulu gamelan degung hanya dimainkan dengan cara ditabuh secara gendingan
(instrumental). Bupati Cianjur RT. Wiranatakusumah V (1912-1920) melarang degung memakai nyanyian (vokal) karena hal itu membuat
suasana menjadikurang serius (rucah). Ketika bupati ini tahun 1920 pindah menjadi bupati Bandung, maka perangkat gamelan degung di
pendopo Cianjur juga turut dibawa bersama nayaganya, dipimpin oleh Idi. Sejak itu gamelan degung yang bernama Pamagersari ini menghiasi
pendopo Bandung dengan lagu-lagunya.

Melihat dan mendengarkan keindahan degung, salah seorang saudagar Pasar Baru Bandung keturunan Palembang, Anang Thayib, merasa
tertarik untuk menggunakannya dalam acara hajatan yang diselenggarakannya. Kebetulan dia sahabat bupati tersebut. Oleh karena itu dia
mengajukan permohonan kepada bupati agar diizinkan menggunakan degung dalam hajatannya, dan akhirnya permohonan itu diizinkannya.
Mulai saat itulah degung digunakan dalam hajatan (perhelatan) umum. Permohonan semacam itu semakin banyak, maka bupati memerintahkan
supaya membuat gamelan degung lagi, dan terwujud degung baru yang dinamakan Purbasasaka, dipimpin oleh Oyo.

Sebelumnya waditra (instrumen) gamelan degung hanya terdiri atas koromong (bonang) 13 penclon, cempres (saron panjang) 11 wilah, degung
(jenglong) 6 penclon, dan goong satu buah. Kemudian penambahan-penambahan waditra terjadi sesuai dengan tantangan dan kebutuhan
musikal, misalnya penambahan kendang dan suling oleh bapak Idi. Gamelan degung kabupaten Bandung, bersama kesenian lain digunakan
sebagai musik gending karesmen (opera Sunda) kolosal Loetoeng Kasaroeng tanggal 18 Juni 1921 dalam menyambut Cultuurcongres Java
Institut. Sebelumnya, tahun 1918 Rd. Soerawidjaja pernah pula membuat gending karesmen dengan musik degung, yang dipentaskan di Medan.

 
Pada tahun 1926 degung dipakai untuk illustrasi film cerita pertama di Indonesia berjudul Loetoeng Kasaroeng, oleh L. Heuveldrop dan G.
Kruger produksi Java Film Company, Bandung. Karya lainnya yang menggunakan degung sebagai musiknya adalah gending karesmen
Mundinglaya dikusumah oleh M. Idris Sastraprawira dan Rd. Djajaatmadja di Purwakarta tahun 1931.

Setelah Idi meninggal (tahun 1945) degung tersendat perkembangannya. Apalagi setelah itu revolusi fisik banyak mengakibatkan penderitaan
masyarakat. Degung dibangkitkan kembali secara serius tahun 1954 oleh Moh. Tarya, Ono Sukarna, dan E. Tjarmedi. Selain menyajikan lagu-lagu
yang telah ada, mereka menciptakan pula lagu-lagu baru dengan nuansa lagu-lagu degung sebelumnya. Tahun 1956 degung mulai disiarkan
secara tetap di RRI Bandung dengan mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat. Tahun 1956 Enoch Atmadibrata membuat tari
Cendrawasih dengan musik degung dengan iringan degung lagu palwa. Bunyi degung lagu Palwa setiap kali terdengar tatkala pembukaan acara
warta berita bahasa Sunda, sehingga dapat meresap dan membawa suasana khas Sunda dalam hati masyarakat.

Pengembangan lagu degung dengan vokal dilanjutkan oleh grup Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi sekitar tahun 1958. Selanjutnya E. Tjarmedi
dan juga Rahmat Sukmasaputra mencoba menggarap degung dengan lagu-lagu alit (sawiletan) dari patokan lagu gamelan salendro pelog.
Rahmat Sukmasaputra juga merupakan seorang tokoh yang memelopori degung dengan nayaga wanita. Selain itu, seperti dikemukakan Enoch
Atmadibrata, degung wanita dipelopori oleh para anggota Damas (Daya Mahasiswa Sunda) sekitar tahun 1957 di bawah asuhan Sukanda
Artadinata (menantu Oyo).

Tahun 1962 ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke dalam degung. Tetapi hal ini tidak berkembang. Tahun 1961 RS. Darya
Mandalakusuma (kepala siaran Sunda RRI Bandung) melengkapi degung dengan waditra gambang, saron, dan rebab. Kelengkapan ini untuk
mendukung gending karesmen Mundinglayadikusumah karya Wahyu Wibisana. Gamelan degung ini dinamakan degung Si Pawit.

Degung ini juga digunakan untuk pirigan wayang Pakuan. Dari rekaman-rekaman produksi Lokananta (Surakarta) oleh grup RRI Bandung dan
Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi dapat didengarkan degung yang menggunakan waditra tambahan ini. Lagu-lagu serta garap tabuhnya banyak
mengambil dari gamelan salendro pelog, misalnya lagu Paksi Tuwung, Kembang Kapas, dsb. Pada tahun 1964, Mang Koko membuat gamelan
laras degung yang nadanya berorientasi pada gamelan salendro (dwi swara). Bentuk ancak bonanya seperti tapal kuda. Dibanding degung yang
ada pada waktu itu, surupannya lebih tinggi. Keberadaan degung ini sebagai realisasi teori R. Machyar. Gamelan laras degung ini pernah dipakai
untuk mengiringi gending karesmen Aki Nini Balangantrang (1967) karya Mang Koko dan Wahyu Wibisana.

Pada tahun 1970—1980-an semakin banyak yang menggarap degung, misalnya Nano S. dengan grup Gentra Madya (1976), lingkung seni Dewi
Pramanik pimpinan Euis Komariah, degung Gapura pimpinan Kustyara, dan degung gaya Ujang Suryana (Pakutandang, Ciparay) yang sangat
populer sejak tahun 1980-an dengan ciri permainan sulingnya yang khas. Tak kalah penting adalah Nano S. dengan grup Gentra Madya-nya yang
memasukan unsur waditra kacapi dalam degungnya. Nano S. membuat lagu degung dengan kebiasaan membuat intro dan aransemen tersendiri.
Beberapa lagu degung karya Nano S. yang direkam dalam kaset sukses di pasaran, di antaranya :
1.Panglayungan(1977)
2.Puspit (1978)
3.Naon Lepatna (1980)
4.Tamperan Kaheman (1981)
5.Anjeun (1984)
6.Kalangkang, yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana (1986).

L agu Kalangkang ini lebih populer lagi setelah direkam dalam gaya pop Sunda oleh penyanyi Nining Meida dan Adang Cengos sekitar tahun
1987.
Berbeda dengan masa awal (tahun 1950-an), para penyanyi degung berasal dari kalangan penyanyi gamelan salendro pelog (pasinden; ronggeng).
Tapi sekarang para penyanyi degung sejak 1970-an kebanyakan berasal dari kalangan mamaos (tembang Sunda Cianjuran), baik pria maupun
wanita. Juru kawih degung yang populer dan berasal dari kalangan mamaos di antaranya :
1.Euis Komariah                        5. Barman Syahyana
2.Ida Widawati                          6. Didin S. Badjuri
3.Teti Afienti                             7. Yus Wiradiredja
4.Mamah Dasimah                    8. Tati Saleh dan sebagainya.

Lagu degung di antaranya:


1.Palwa
2.Palsiun
3.Bima Mobos (Sancang)
4.Sang Bango
5.Kinteul Bueuk
6.Pajajaran
7.Catrik
8.Lalayaran
9.Jipang Lontang
10.Sangkuratu
11.Karang Ulun
12.Karangmantri
13.Ladrak
14.Ujung Laut
15.Manintin
16.Beber Layar
17.Kadewan
18.Padayungan, dan sebagainy

 
Sedangkan lagu-lagu degung ciptaan baru yang digarap dengan menggunakan pola lagu rerenggongan di antaranya:
1.Samar-samar
2.Kembang Ligar
3.Surat Ondangan
4.Hariring Bandung
5.Tepang Asih
6.Kalangkang
7.Rumaos
8.Bentang Kuring, dan sebagainya.
Sedangkan Perkembangan Gamelan Degung (Sunda) di luar Indonesia, dilakukan oleh perguruan tinggi seni dan beberapa musisi, misalnya
Lingkung Seni Pusaka Sunda University of California (Santa Cruz, USA), musisi Lou Harrison (US), dan Rachel Swindell bersama mahasiswa
lainnya di London (Inggris), Paraguna (Jepang), serta Evergreen, John Sidal (Kanada). Di Melbourne, Australia, ada sebuah set gamelan degung
milik University of Melbourne yang seringkali digunakan oleh sebuah komunitas pencinta musik Sunda untuk latihan dan pementasan di festival-
festival.

Tentang iklan-iklan ini

Anda mungkin juga menyukai