Anda di halaman 1dari 13

FUNGSI SOSIAL KEMASYARAKATAN TEMBANG MACAPAT

COMMUNITY SOCIAL FUNCTIONS OF MACAPAT

Puji Santosa
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
puji.santosa@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengungkapkan dan mendekripsikan fungsi sosial kemasyarakatan
tembang macapat. Masalah penelitian adalah bagaimanakah tembang macapat difungsikan dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan. Seiring dengan tujuan dan masalah itu, metode yang
digunakan adalah metode kualitatif dengan ditopang teori fungsi sastra yang bertolak dari tesis
dan kontratesis Horatio, dulce dan utile. Hasil penelitian membuktikan bahwa tembang macapat
dari awal keberadaannya, abad XIV Masehi, hingga kini dimanfaatkan dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan, antara lain, sebagai hiburan, estetika, pendidikan, pementasan tradisional, sarana
surat-menyurat, senandung teman bekerja, mantra penolak bala, upacara temu temanten adat
Jawa, upacara kegiatan Pangestu, dan filosofi siklus kehidupan. Atas dasar fungsi sosial
kemasyarakat tersebut menjadikan tembang macapat sebagai karya sastra yang begitu urgen
dalam kehidupan manusia sebagai tontonan, tuntunan, dan tatanan.

Kata-kata Kunci: macapat, fungsi, dulce, utile, sosial kemasyarakatan

Abstract
This study aims to reveal the social and decrypt functions macapat. The research problem is how macapat
functioned in social life. Along with the purpose and the problem was, the method used is a qualitative
method supported by the theory of functions of literature that departed from the thesis and kontratesis
Horatio, dulce and utile. The research proves that macapat from the beginning of its existence, the
fourteenth century AD, until now used in social life, among others, as entertainment, aesthetics, education,
staging traditional, means of correspondence, humming a friend works, spells repellent reinforcements,
ceremonial gathering temanten Javanese tradition, ceremony Pangestu activities, and philosophy of the life
cycle. On the basis of the social function of the society, it makes macapat as a literary work that is so vital in
human life as a spectacle, guidance, and order.

Keywords: macapat, function, dulce, utile, community social

1. Pendahuluan
Macapat adalah tembang atau puisi tradi- nya’; (3) ‘ditebang atau dirembang bagi
sional Jawa. Kata tembang dalam bahasa pohon tebu’ (Sudaryanto dan Pranowo, 2001:
Jawa ada dua arti. Arti pertama berpadanan 1007). Arti kedua tembang adalah ‘syair lagu’
dengan kata tambuh ‘tidak tahu, tidak atau ‘nyanyian’ (Nardiati, 1993: 309). Su-
mengerti, tidak keruan’ dan gebuk ‘pukul’, daryanto dan Pranowo (2001: 1007) lebih
misalnya tembang rawat-rawat ‘berita yang lanjut menjelaskan bahwa makna tembang
belum jelas atau tidak terang’ dan tembang yang kedua ini adalah iketan karangan
aksi ‘pandang-memandang’; ditembang (1) awewaton guru lagu sarta guru wilangan apa
‘ditambuh atau digebug’; (2) ‘ditambuh dene kanthi lelagon ‘ikatan karangan per-
atau dibunyikan bagi tengara dan sebagai- dasarkan guru lagu serta guru wilangan yang

85
Fungsi Sosial Kemasyarakatan Tembang Macapat 97
dirangkai menjadi lagu’. Arti kedua kata tam- iramanya, macapat juga diartikan sebagai
bang ini sering dipadankan dengan kata sekar akronim (wancahan) dari kata mat + pat,
(Saputra, 2010: 6; Subalidinata, 1994: 29), maksudnya jika melagukan tembang itu
karena mendekati kata kembang ‘bunga’. menggunakan wirama ‘birama’ atau mat
Dalam kesusastraan Jawa terdapat tiga ‘penggalan pada nyanyian atau silih per-
jenis tembang yang lazim kita kenal, yaitu gantinya nada’ empat-empat, yakni satu
(1) tambang cilik, asli, atau macapat, (2) tam- birama (periodisasi) berisi empat suku kata.
bang tengahan, dan (3) tembang gedhe atau Selain yang telah disebut di atas ini,
kawi. Tembang cilik adalah tembang yang arti lainnya ialah bahwa -pat merujuk ke-
ikatannya berdasarkan ketentuan guru lagu pada jumlah tanda diakritis (sandhangan)
dan guru wilangan yang lazim di zaman se- dalam aksara Jawa yang relevan dalam
karang, misalnya dhandhanggula, kinanthi, penembangan macapat. Kemudian menurut
dan mijil. Tembang tengahan adalah tembang Serat Mardawalagu, yang dikarang oleh
yang ikatannya juga dengan guru lagu dan Ranggawarsita, macapat merupakan asing-
guru wilangan untuk serat-serat yang agak katan dari frasa maca-pat-lagu yang artinya
kuno, adapun yang lazim untuk zaman se- ialah "melagukan nada keempat". Selain
karang dikenal adalah juru-demung, duduk- maca-pat-lagu, masih ada lagi maca-sa-lagu,
wuluh, megatruh, gambuh, girisa, dan balabak. maca-ro-lagu, dan maca-tri-lagu. Konon maca-
Tembang gedhe adalah jenis tambang yang sa termasuk kategori tertua dan diciptakan
ikatannya berdasarkan guru wilangan cara oleh para Dewa dan diturunkan kepada
Sanskerta (Sudaryanto dan Pranowo, 2001: pendeta Walmiki dan diperbanyak oleh sang
1007). pujangga istana Yogiswara dari Kediri. Ter-
Kata macapat juga memiliki dua arti, yaitu nyata ini termasuk kategori yang sekarang
(1) ‘tetangga desa yang berada di kiblat disebut dengan nama tembang gedhé. Maca-
empat’, ‘tetangga sekeliling desa’, dan (2) ro termasuk tipe tembang gedhé yang jumlah
‘syair lagu yang lazim ditemukan dalam bait per pupuh bisa kurang dari empat,
serat-serat sastra zaman Jawa Baru atau sementara jumlah suku kata dalam setiap
sering juga disebut tembang cilik, meliputi: bait tidak selalu sama dan ini diciptakan
(1) asmaradana, (2) dhandanggula, (3) durma, oleh Yogiswara. Maca-tri atau kategori yang
(4) kinanthi, (5) maskumambang, (6) mijil, ketiga adalah tembang tengahan yang konon
(7) pangkur, (8) pucung, dan (9) sinom’ diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pendeta
(Sudaryanto dan Pranowo, 2001:543). istana Janggala dan disempurnakan oleh
Sementara itu, ada juga pendapat bahwa Pangeran Panji Inukartapati dan saudaranya.
kata macapat berasal dari kata ma + cepat. Dari uraian di atas dapat disimpulkan
Artinya, tembang macapat cara membacanya bahwa tembang macapat adalah jenis puisi
cepat, tidak pelan, dan lagunya tidak banyak klasik dalam kesusastraan Jawa yang
cengkok (ragam, gaya). Ada juga yang terikat oleh konvensi yang mapan berupa
mengartikan kata macapat dengan cara uar- guru gatra ‘jumlah larik dalam bait’, guru
wa dhosok (kérata basa ‘keterangan atau urai- wilangan ‘jumlah suku kata dalam larik’,
an kata berdasarkan pada utak-atik bunyi- dan guru lagu ‘bunyi suku kata pada akhir
nya’), yaitu maca ‘membaca’ + pat ‘empat’, larik’ (Padmosoekotjo, 1960:18).
pembacaannya empat-empat. Artinya, jika Dalam dunia kebudayaan Jawa, dari
melagukan tembang itu jeda gatra pertama awal keberadaan macapat abad XVI Masehi
jatuh pada wanda ‘suku kata’ yang keempat (Saputra, 2010:21—22) sampai sekarang
(Subalidinata, 1994:31). Berdasarkan lagu macapat masih diproduksi dan dilestarikan

86 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 2, Desember 2016


98 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 2, Desember 2016
keberadaannya, baik diproduksi dalam (1984:184) menyebutkan bahwa fungsi utile
bentuk tulis tangan, dicetak menjadi buku, dan dulce bagi sastra Indonesia juga cukup
dibaca dalam pelbagai peristiwa tertentu, esensial, dengan mungkin sekali aspek
dan ditembangkan dalam pelbagai peristiwa moralitas yang biasanya didahulukan. Ma-
dan kesempatan. Namun, dari produksi sih berkenaan dengan fungsi sastra dari
dan pelestarian macapat seperti itu tim- Haratio itu (Siswanto, 2013:84) menyatakan
bulah pertanyaan: apakah fungsi atau man- bahwa dari menggabungkan kata utile dan
faat macapat bagi kehidupan? Kalaulah dulce, yang bermanfaat dan yang enak
macapat itu tidak ada fungsinya bagi secara bersama-sama inilah awal pende-
kehidupan, tentulah tidak akan diproduksi katan pragmatik. Zaidan dkk., (2007:64)
dan dilestarikan sedemikian rupa oleh menjelaskan bahwa makna istilah dulce et
sebagian besar masyarakat Jawa. Dengan utile adalah ‘menyenangkan dan berguna’
demikian, masalah penelitian ini adalah ungkapan yang berasal dari Haratio ten-
bagaimanakah tembang macapat difung- tang hakikat dan fungsi sastra.
sikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam khazanah kesusastraan di Indo-
Seiring dengan masalah itu, tujuan pene- nesia fungsi sastra dulce et utile itu dapat
litian adalah mengungkapkan dan mendes- dipadankan dengan pengertian èdipèni dan
kripsikan fungsi sosial kemasyarakatan adiluhung. Kata èdipèni merupakan dua kata
tembang macapat. sifat untuk benda dan tempat yang berarti
Beberapa pakar sastra telah meneliti sarwa becik; wewujudan, papan, rerenggan, lan
dan menulis tentang macapat, antara lain: sapanunggale sing katon sarwa éndah ‘serba
Darusuprapta (1989), Prabowo (1992), baik; perwujudan, tempat, perhiasan, dan
Saputra (1992), Riyadi (1993), dan Subali- sebagainya yang terlihat tampak serba
dinata (1994), dari masalah pengertian, indah’ (Sudaryanto dan Pranowo, 2001:262)
kelahiran, kedudukan, pola persajakan, atau éndah lan nengsemake ‘indah dan
metrum, bahasa, tema, penciptaan dari mempesona’ (Sudaryanto dan Pranowo,
masa ke masa, sengkalan, sandi asma, sas- 2001:819). Biasanya kata èdipèni digunakan
mitaning tembang, sampai pada titi laras untuk menyebut dan menghargai sesuatu
pathet dan lagu. Oleh karena hingga kini hal, barang atau benda dan tempat, yang
sepengetahuan penulis belum ada yang tampak secara visual atau segi fisiknya.
meneliti dan membahas masalah fungsi Slametmuljana (Pradopo, 1994:43) me-
sosial kemasyarakatan macapat secara khu- madankan kata èdipèni dengan kata Latin
sus dan mendalam, maka penelitian ten- sublimus. Istilah ini dipergunakan apabila
tang fungsi sosial kemasyarakatan macapat keindahan memuncak. Artinya, apabila sinar
ini penting untuk dilakukan dalam ranah kebagusan itu cerlang gemilang sedemikian
kebudayaan Jawa dan relevansinya dengan rupa sehingga seolah-olah mengenai daya
kehidupan masa kini. penangkap kita. Kata sublim dalam Kamus
Untuk mengurai permasalahan dan Besar Bahasa Indonesia berarti menampakkan
mencapai tujuan penelitian, penelitian ini keindahan dalam bentuk yang tertinggi;
menggunakan teori fungsi sastra yang amat indah; mulia; utama (KBBI, 2012:
bertolak dari tesis dan kontratesis Horatio, 1345). Atas dasar pemahaman itu banyak
dulce dan utile: puisi itu indah dan berguna kritisi menyatakan bahwa sublim itu me-
(Wellek dan Warren, 2014:23). Berkenaan rupakan keindahan sukar (difficult beauty),
dengan fungsi sastra yang bertolak dari karena di dalamnya mengandung nilai-nilai
tesis dan kontratesis Haratio itu Teeuw kekompleksitasan, kesaktian, ketakjuban, pe-
sona, keagungan, kecemerlangan, dan
Fungsi Sosial Kemasyarakatan Tembang Macapat 87
Fungsi Sosial Kemasyarakatan Tembang Macapat 99
sebagainya (Santosa, 2013: 111). Sementara (2) fungsi estetis, (3) fungsi pendidikan, (4)
itu, kata adiluhung juga merupakan kata fungsi kepekaan batin atau sosial, (5) fungsi
sifat untuk suatu nilai kegunaan sehingga menambah wawasan, dan (6) fungsi
kata adiluhung itu diartikan: nduweni kagu- pengembangan kejiwaan atau kepribadian.
nan utawa mutu sing dhuwur; luwih dhuwur Atas dasar kerangka teori fungsi sastra
(mempunyai kehebatan atau kualitas yang inilah penelitian tentang macapat dipum-
tinggi; lebih tinggi; Sudaryanto dan Prano- punkan pada fungsi sosial kemasyarakatan.
wo, 2001:6). Jadi, kata adiluhung lebih Dalam penelitian ini mencoba menjawab
cenderung untuk menilai atau mengapresiasi pertanyaan: dimanfaatkan untuk apa
suatu hal dari kandungan makna atau sajakah tembang macapat dalam kehi-
manfaat dari isi yang terkandung di dalam- dupan bermasyarakat?
nya (Santosa, 2013:112).
Jakobson (Teeuw, 1984:74) menyatakan 2. Metode
bahwa di dalam teks karya sastra, khusus- Metode yang digunakan dalam penelitian
nya puisi, fungsi puitiklah yang dominan. ini adalah metode kualitatif. Penelitian kua-
Dalam fungsi puitik bukanlah referensi, litatif memerlukan ketajaman analisis, ob-
acuan di luar ungkapan bahasa itu yang jektivitas, sistematik, dan sistemik sehingga
penting, melainkan kata, pemakaian bahasa diperoleh ketepatan dalam menginterpretasi
itu sendiri yang menjadi pusat perhatian data. Melalui metode ini peneliti meng-
walaupun fungsi-fungsi lain bukannya tidak amati, mewawancarai narasumber dan in-
ada dalam teks sastra. Terutama acuan forman, mengalihmediakan dari bahasa li-
yang pada prinsipnya menunjuk pada san ke bahasa tulis, menerjemahkan dari
sesuatu di luar ungkapan bahasa itu, dalam bahasa Jawa ke bahasa Indonesia, meng-
puisi atau karya sastra harus kita ambil dan analisis, dan mendeskripsikan fungsi sosial
kita bina atas dasar kata message itu. Oleh kemasyarakatan macapat yang ditemukan
karena itu, Wordsworth (Endraswara, 2012: di lokasi penelitian lapangan (Surakarta,
37) menyatakan bahwa fungsi yang paling Sragen, Sidoarjo. Mojokerto, Malang) dan
penting dari puisi adalah sebagai sumber lokasi studi pustaka (Perpustakaan Badan
daya menyenangkan untuk membina dan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Ja-
menghaluskan kepekaan emosi dan simpati karta). Data yang diterkumpul diinventari-
pembaca. sasi, diklasifikasi berdasarkan fungsi-fungsi
Santosa dkk. (2003: 8.30—8.45) menya- sosial kemasyarakatan, dianalisis, dan diin-
takan bahwa mempelajari sesuatu hal, ter- terpretasikan. Hasil temuan penelitian secara
masuk karya sastra, dengan sungguh- lengkap akan diuraikan dan dideskripsikan
sungguh tentu ada manfaat atau fungsinya berdasarkan objek dan data empris yang
bagi kehidupan manusia. Ada sesuatu yang ditemukan di lapangan. Dalam hal ini me-
kita dapat darinya, berupa nilai-nilai, dan todenya merujuk pada metode yang inte-
sejumlah manfaat yang lainnya. Apabila gratif dan lebih secara konseptual untuk
kita mempelajari sesuatu hal tanpa ada menemukan, mengidentifikasi, mengolah,
manfaatnya, tentu merupakan suatu pekerjaan dan menganalisis data kuesioner, wawan-
yang sia-sia. Karya sastra yang kita baca cara, hasil rekaman, alih media lisan ke
atau kita dengar tentu ada manfaatnya bagi tulis, dan penerjemahan dari bahasa Jawa
kehidupan. Lebih lanjut Santosa (2012:69) ke bahasa Indonesia agar dapat dipahami
menyatakan bahwa setidak-tidak terdapat makna dan fungsi sosial budaya yang rele-
enam manfaat atau fungsi sastra bagi kehi- van dalam kehidupan masa kini.
dupan manusia, yaitu (1) fungsi hiburan,

88 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 2, Desember 2016


100 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 2, Desember 2016
Instrumen yang digunakan untuk pe- suma (Mojokerto), dan Paguyuban Macapat
ngumpulan data adalah senarai kuesioner Padepokan Mat Soleh (Tumpang, Malang).
yang dirancang sebelumnya dan pere- Dari hasil wawancara dan obsrvasi la-
kaman. Teknik pengumpulan data dilaku- pangan, sekaligus pembahasan, terungkap
kan dengan menggunakan metode wawan- bahwa fungsi macapat bagi masyarakat
cara dan observasi biasa yang dipandu oleh sebagai berikut.
daftar pertanyaan dalam kuesioner dan
kenyataan yang ada di lapangan. Teknik ini 3.1 Hiburan
bertujuan untuk mengidentifkasi keberadaan Sebagian besar masyarakat Jawa meng-
dan fungsi sosial kemasyarakatan macapat. anggap bahwa hiburan atau menghibur ar-
Pengumpulan data diawali dengan mene- tinya menyenangkan atau menyejukkan hati
mukan gejala-gejala tentang aspek yang di- bagi mereka yang susah, resah, gelisah, dan
teliti secara lengkap agar jelas keadaan dan kecewa. Hal ini sesuai dengan keadaan
kondisinya. Pengumpulan data dilakukan masyarakat Jawa sebagai pusat peradaban
dengan mengajukan pertanyaan sesuai de- kebudayaan yang adiluhung dan edipeni,
ngan daftar kuesioner yang disediakan, masa dahulu dan masa kini, macapat mampu
kemudian narasumber dan informan di- menjadi sarana alternatif hiburan klasik di
minta untuk menjawab pertanyaan dan tengah menjamurnya sarana hiburan mo-
menembangkan macapat yang direkam dern. Dengan cara mendengarkan dan me-
oleh peneliti. Kemudian peneliti meng- nonton pertunjukan pentas macapat itu,
alihmediakan ke bahasa tulis, menerjemah- misalnya pertunjukan macapat yang di-
kan ke dalam bahasa Indonesia, mengolah adakan oleh Balai Soedjatmoko pada setiap
data, dan menganalisis fungsi sosial ke- hari Senin Pon malam Selasa Wage, maca-
masyarakatannya. pat yang diadakan Sekar Kawedar di Pen-
dapa Delta Nugraha Kabupaten Sidoarjo
3. Hasil dan Pembahasan setiap Senin Wage malam Selasa Kliwon,
Penelitian dilakukan di Surakarta, Sragen, macapat melalui siaran RRI Surakarta atau
Sidoarjo, Mojokerto, dan Malang pada bulan siaran radio swasta lainnya, seperti radio
September dan Oktober 2015 dengan Gema FM Mojokerto dan radio RSPK Si-
mewawancarai: Drs. Supardjo, M.Hum. (UNS doarjo, pertunjukan wayang topeng yang
Surakarta), Darsono, S.Kar., M.Hum. (ISI menggunakan macapat, serta pertunjukan
Surakarta), Sri Suryanti (Guru dan Pesinden, seni tradisional lain yang memanfaatkan
Sragen), Bambang Brama Iswara (Paguyuban macapat. Masyarakat Jawa atau orang yang
Macapat Sekar Kawedar, Sidoarjo), Iva Su- menyaksikan dan mendengarkan pertunjukan
nanto (Paguyuban Macapat Wijaya Kusu- macapat tersebut akan mendapatkan hi-
ma, Mojokerto), Ki Muhammad Soleh Adi buran, merasa senang di hati, sehingga
Pramono (Dalang Wayang Topeng, Malang), untuk sementara waktu, dapat meng-
dan Prof. Dr. Henrikus Supriyanto, M.Hum. hilangkan rasa penat, letih-lelah, kesedihan,
(Pakar Sastra, Malang). Beberapa anggota kekesalan sehabis bekerja di pelbagi ranah
paguyuban macapat juga ikut serta diwa- kehidupan, atau sekadar melepas lelah di-
wancarai sebagai informan, seperti Kelompok kala duka lara. Tentu hal ini sesuai dengan
Macapat Balai Sudjatmoko (Surakarta), Ke- pendapat pujangga Yunani kuno, kurang
lompok Macapat Supardjan (Surakarta), lebih 400 tahun sebelum Masehi, Haratio,
Kelompok Macapat Darsanan (Surakarta), bahwa manfaat karya sastra bagi masyarakat
Paguyuban Macapat Sekar Kawedar adalah dulce et utile, menyenangkan dan
(Sidoarjo), Paguyuban Macapat Wijaya Ku- berguna bagi kehidupan. Menyenangkan
Fungsi Sosial Kemasyarakatan Tembang Macapat 89
Fungsi Sosial Kemasyarakatan Tembang Macapat 101
dalam arti menghibur, menghilangkan duka nilai-nilai keindahan yang terkandung
lara, sedih, kecewa, sebagai pelipur lara, dalam karya tersebut.
dan berguna yang berarti menambah
wawasan bagi kehidupan. Bahkan, pujangga 3.3 Pendidikan
yang lainya menyebutnya sebagai katarsis, Fungsi yang tidak kalah pentingnya macapat
penyucian diri. Dengan macapat dapat di- bagi masyarakat Jawa adalah sebagai sarana
lakukan pelbagai upaya manusia untuk pendidikan. Perlu disadari bahwa hingga
dapat menghibur dan menyucikan diri kini (2016) Jawa sebagai pusat peradaban
dengan cara melaksanakan isi pesan moral kebudayaan yang adilihung dan edipeni telah
yang terkandung dalam macapat. dirambah pelbagai alkulturasi kebudayaan
modern sehingga masyarakat Jawa masih
3.2 Estetika perlu dan membutuhkan sarana pendidikan
Selain berfungsi sebagai hiburan, macapat untuk menanamkan nilai-nilai budi pekerti
bagi masyarakat Jawa juga difungsikan se- masyarakatnya. Salah satu media pendidikan
bagai estetika. Estetika artinya ilmu tentang adalah melalui penyampaian karya sastra,
keindahan atau cabang filsafat yang mem- yakni macapat. Mendidik artinya memelihara
bahas tentang keindahan yang melekat dan memberi latihan (ajaran) mengenai
dalam karya seni. Sementara itu, kata estetis akhlak, budi pekerti, kecerdasan intelektual,
artinya indah, tentang keindahan, atau kecerdasan emosinal, dan kecerdasan spi-
mempunyai nilai keindahan. Manfaat es- ritual. Hal ini secara kontekstual dapat
tetis dalam macapat bagi masyarakat Jawa digali dari kandungan estetis macapat, baik
adalah manfaat tentang keindahan yang dari bentuk fisiknya maupun dari isi men-
melekat pada tuturan tulis dan lisan, seni talnya.
merangkai kata-kata indah untuk dibaca Manfaat pendidikan pada sastra ber-
atau didengarkan. Ada nilai keindahan yang bentuk macapat bagi pemilik masyarakat
terpancar dalam macapat bagi masyarakat Jawa adalah memberi berbagai informasi
Jawa, seperti contoh dalam Serat Wedhatama, tentang proses pengubahan sikap dan tata
Serat Wulangreh, Serat Sabda Jati, Serat Dewa laku seseorang atau kelompok orang dalam
Ruci, Serat Kalatidha, dan Serat Tripama, usaha mendewasakan manusia melalui
yaitu keindahan seni merangkai kata atau pengajaran dan pelatihan. Melalui karya
menyusun bahasa yang berisi keindahan sastra klasik yang ditulis dalam bentuk
religiusitas, keindahan lukisan alam, hu- macapat, seperti contoh Serat Wedhatama,
bungan makhluk dengan alam atau makh- Serat Wulangreh, Serat Sabda Jati, Serat Dewa
luk hidup lainnya, dan tentu saja petuah- Ruci, Serat Kalatidha, dan Serat Tripama,
petuah tentang laku mencapai kesempur- masyarakat yang mendengarkan karya sastra
naan dalam kehidupan. Susunan bunyi dan klasik dalam macapat tersebut mendapatkan
kata-kata dalam karya sastra yang ditulis ajaran tentang keimanan, religiusitas, budi
dalam bentuk macapat tersebut mampu pekerti, saling menolong, belajar pada alam,
menimbulkan irama yang merdu, nikmat menghargai prestasi yang lebih muda dan
didengar, lancar diucapkan, dan menarik terampil, pendewasaan akhlak, kecerdasan
untuk didendangkan. Manfaat estetis spritual, dan moral (kejiwaan) agar selalu
macapat bagi masayarakat Jawa seperti itu beriman kepada Tuhan. Pembelajaran ten-
mampu memberi hiburan, kepuasan, kenik- tang keimanan juga dimiliki masyarakat
matan, dan kebahagiaan batin ketika karya Jawa yang disampaikan melalui karya sastra
itu dipentaskan atau didengarkan sehingga klasik dalam bentuk macapat milik mereka,
masyarakat pemiliknya dapat menikmati seperti dalam Serat Wedhatama, Serat Wu-

90 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 2, Desember 2016


102 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 2, Desember 2016
langreh, Serat Sabda Jati, Serat Dewa Ruci, mukan dalam pementasan wayang (baik
Serat Kalatidha, dan Serat Tripama. Cahaya wayang kulit, wayang gedog, wayang wah-
iman itu ibarat matahari pagi yang me- yu, wayang golek, wayang topeng, mau-
mancarkan terangnya ke seluruh penjuru pun wayang orang), sendratari, ketoprak,
dunia. Mula-mula dunia ini gelap gulita langendriyan, dan langen madrawanara. Bah-
ditutup oleh kabut malam. Dengan ha- kan, semua dialog dalam pementasan la-
dirnya cahaya matahari pagi, lambat laun ngendriyan dan langen mandrawanara selu-
kegelapan itu sirna berganti terang ben- ruhnya dilakukan dalam bentuk macapat.
derang. Demikian halnya dengan keimanan Sementara itu, sebagai suatu pengantar un-
manusia, kabut gelap yang menutupi ke- tuk membangun suasana cerita, macapat
imanan itu lambat laun juga akan lenyap hadir sebagai sulukan (nyanyian) dalang
dengan datangnya cahaya iman yang teguh dan pengiring gending-gending dalam pe-
kepada Tuhan. mentasan wayang yang dilantunkan oleh
pesinden.
3.4 Pementasan Tradisional
Cara membaca macapat dengan ditem- 3.5 Sarana Surat Menyurat
bangkan atau dilagukan karena memang Sebelum ada sarana alat elektronik yang
macapat memiliki notasi musik (titi laras) canggih, masih menggunakan alat tulis
sesuai dengan nama persajakan atau metrum tradisional, tinta dan kertas, macapat di Jawa,
yang digunakan. Berdasarkan unsur notasi misalnya di Surakarta, juga difungsikan se-
musik atau titi laras tersebut, macapat dapat bagai sarana untuk berkirim surat kepada
berkaitan erat dengan gamelan Jawa se- orang tua, teman, saudara, atau handaitolan.
hingga mampu menjadi pengiring atau Pada tahun 1949, dalam perjuangan revolusi
bunga-bunga gending Jawa yang dikutip fisik melawan kolonialisme Belanda, R.
dari Serat Wedhatama, Serat Wulangreh, Serat Soenarto Mertowardojo berkirim surat ke-
Dewa Ruci, Serat Sabda Jati, Serat Tripama, pada R. Trihardono Soemodihardjo dalam
atau serat-serat lainnya. Sebagai gending- bentuk tembang macapat kinanthi sebanyak
gending Jawa yang diiringi dengan gamelan 12 bait. Sementara itu, R. Trihardono Soe-
Jawa, macapat dapat ditembangkan secara modihardjo menjawab surat R. Soenarto
tunggal (solo) oleh swarawati (pesinden) Mertowardojo tersebut dalam bentuk tem-
atau wiraswara, dan dapat juga ditembang- bang macapat dhandhanggula sebanyak 7
kan secara bersama-sama (gerong). bait (Mertowardojo, 2014: 14—20; Rahardjo,
Selain difungsikan dan dimanfaatkan 2015: 143—146). Surat-menyurat dengan
sebagai karya sastra yang adiluhung dan menggunakan macapat ini tentunya dapat
edipeni, macapat di Jawa dimanfaatkan untuk dilakukan oleh siapa pun orang Jawa yang
pengiring gending gamelan Jawa. Ke- senantiasa menggemari macapat sebagai
lompok-kelompok karawitan di Surakarta, media komunikasi yang indah dan menye-
Semarang, Yogyakarta, Sidoarjo, Mojoker- nangkan.
to, Malang, dan sekitarnya banyak meman-
faatkan macapat sebagai gending hiburan, 3.6 Senandung Teman Bekerja
uyon-uyon, dan juga dalam pementasan teater Kehidupan petani pedesaan di Jawa pun
tradisional Jawa. Hampir semua teater tra- diwarnai dengan senandung macapat di
disional Jawa memanfaatkan macapat seba- tengah-tengah kerja mereka mengolah sa-
gai antawacana (dialog) atau sebagai suatu wah dan ladang. Di antara suara mata
pengantar untuk membangun suasana cangkul dan lenguh kerbau atau sapi di
cerita. Sebagai dialog macapat dapat dite- sawah, penggembalaan kerbau di padang-

Fungsi Sosial Kemasyarakatan Tembang Macapat 91


Fungsi Sosial Kemasyarakatan Tembang Macapat 103
padang rumput, meninabobokan anak-anak Fungsi tersebut akan tercapai (terwujud)
pada waktu malam hari, ataupun di tengah apabila disertai laku atau perbuatan yang
malam dalam perondaan dari pos-pos kam- sesuai dengan tujuan atau harapan yang
ling, masih juga terdengar alunan merdu dikehendaki, antara lain, (1) sebagai penolak
macapat. Betapapun yang dilantunkan dalam bala agar terhindari dari semua malapetaka
macapat itu hanya sepotong-sepotong, ti- atau bencana adalah dengan cara melaku-
dak utuh dalam satu serat tertentu, hal itu kan sembahyang tengah malam, lalu mem-
sudah menunjukkan hingga kini tembang bacakan atau mendendangkan kidung ter-
macapat tetap hidup di tengah-tengah ma- sebut sebanyak sebelas kali (kata sebelas
syarakat pendukungnya. dalam bahasa Jawa berasal dari kata sewelas,
maknanya agar mendapat kawelasan “belas
3.7 Mantra Penolak Bala kasih Tuhan”). Hal ini hendaknya dila-
Macapat juga hadir sebagai bentuk mantra kukan secara rutin setiap malam, kalau
atau kidung mantra yoga yang dilantunkan perlu sampai empat puluh malam; (2) ber-
oleh para dukun-dukun atau paranormal sesuci dengan cara mandi air tujuh sumur
untuk pengobatan, doa keselamatan selu- (jika banyak) atau dapat juga diminum (jika
ruh makhluk, mengendalikan wabah pe- sedikit) yang telah dibacai kidung untuk
nyakit, mencegah adanya bencana alam, dapat menyembuhkan segala penyakit,
seperti gempa bumi, gunung meletus, membebaskan diri dari denda, dan mem-
angin puting beliung, tanah longsor, banjir percepat mendapatkan jodoh bagi perawan
bandang, kebakaran, kekeringan, dan minta atau jejaka tua; (3) memakan nasi tiga
hujan sekalipun dalam musim kemarau yang genggam yang telah dibacai kidung untuk
panjang, misalnya dengan “Kidung Singgah- dapat memenangkan peperangan atau per-
Singgah” atau “Kidung Rumeksa Ing Wengi” tempuran di mana pun; (4) berpuasa sehari
karya Sunan Kalidjaga (Santosa, 2010:321— semalam disertai membaca kidung di tengah
322, dan Santosa, 2015:189—190) dan “Kidung malam dengan cara mengelilingi rumah
Suci” karya R. Soenarto Mertowardojo. Tiga agar pencuri, perampok, orang berbuat jahat,
kidung macapat itu dianggap sebagai man- teluh, duduk, guna-guna sakti jauh dari diri-
trayoga untuk penolak segala bala dan nya; atau dapat juga berkeliling pematang
bencana. sawah sambil membaca kidung agar hama
Secara tersurat teks “Kidung Rumeksa dan pencuri tanaman padi jauh dari diri-
Ing Wengi” memiliki fungsi, antara lain: (1) nya; (5) berpuasa gonyu(sego lan banyu “nasi
menolak bala pada waktu malam hari, dan air”) selama empat puluh hari empat
seperti teluh, duduk, ngama, maling, panggawe puluh malam dengan disertai setiap ma-
ala, guna-guna, dan kabeh bilahi; (2) meng- lamnya membaca kidung sebelas kali agar
urungkan atau membebaskan diri dari tercapai cita-cita luhur dan mulia.
denda; (3) menyembuhkan berbagai penya- Tidak jauh berbeda dengan “Kidung
kit, termasuk edan atau gila, sakit jiwa; (4) Rumeksa Ing Wengi”, dalam “Kidung Suci”
membebaskan diri dari pageblug atau wabah pun memilki fungsi yang sangat urgen agar
penyakit; (5) mempercepat jodoh perawan dapat sebagai: (1) pangruwat bilahi “pem-
tua; (6) memenangkan perang, pertempuran; bebas malapetaka atau musibah”, (2) rumeksa
(7) menghilangkan hama padi, seperi tikus, slameting bawana “menjaga keselamatan du-
wereng coklat, walang sangit, dan keong nia”, dan (3) hambuncang reretu kabeh
sawah; serta (8) memperlancar mencapai “menghempaskan semua kerusuhan dan
cita-cita luhur dan mulia. bencana” yang dilakukan oleh para penjahat,

92 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 2, Desember 2016


104 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 2, Desember 2016
para angkara murka, dan para pengganggu pun macapat tampil sebagai sarana pemu-
ketenteraman dunia. Dengan demikian “Ki- jaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mar-
dung Suci” secara global memuat fungsi wanto, S.Kar., telah menyusun sebuah dik-
sebagai pemecahan segala masalah yang di- tat “Sekar saha Gendhing ing Pawiwahan
hadapi oleh manusia dengan bantuan Mantu” (Tembang dan Lagu dalam Upacara
keagungan, kekuasaan, keadilan, dan kebi- Resepsi Pernikahan) yang berisi tuntunan
jaksanaan Tuhan yang Maha Esa. bagi para panatacara (pembawa acara) dalam
Fungsi secara tersirat dalam tembang melakukan kegiatan resepsi pernikahan.
macapat “Kidung Suci” tersebut adalah Kegiatan resepsi pernikahan yang meng-
mengukuhkan kembali makna ungkapan gunakan tembang macapat itu dapat dimu-
khas bahasa Jawa yang berbunyi: Sura dira- lai dari upacara: (1) Malam Midodareni, (2)
janingrat lebur dening pangastuti “Kekuatan Memaknai Kembar Mayang, (3) Pencandraan
atau kejayaan para angkara murka sekali- Sri Temanten Putri dari kamar rias pengan-
pun sebesar kekuatan dewata, tetap hancur tin yang didudukkan di kursi pengantin,
lebur dengan kekuatan doa atau sembah- (4) Pencandraan Sri Temanten Putra dari
yang kepada Tuhan Yang Maha Esa”. Ba- pemondokan diboyong ke pertemuan
nyaknya rintangan atau halangan apa pun pengantin, (5) Serah Terima dan Penerima-
bila senantiasa beriman, berzikir, berbakti, an Pengantin, (6) Temu Pengantin, (7) Kirab
dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa, Kenarendraan Pengantin, (8) Kirab Kesa-
semuanya akan menyingkir dengan ban- triaan Pengantin, (9) Ular-Ular (Wejangan)
tuan kekuasaan Tuhan. Secara jelas dalam Pengantin, hingga (10) Bubak Pengantin.
teks “Kidung Suci” disebutkan bahwa: ing- Dalam kegiatan perhelatan pengantin terse-
kang rawe-rawe rantas, ingkang malang-malang but yang melantunkan tembang macapat
putung tanpa lari, sirna sagung sangsaya, lebur dapat langsung dari si pembawa acara dan
dening Sang Sabda “yang menghalangi dan dapat juga dari suatu kelompok komunitas
yang merintangi akan putus, yang menjadi yang telah disiapkan sebelumnya. Metrum-
penghadang dan penghambat pun sirna metrum macapat yang digunakan pada
lebur tanpa bekas, lenyap segala penderitaan umumnya bersifat manis, menyenangkan,
dan kesengsaraan oleh karena lebur dengan membahagiakan, dan bersuasana suka ria,
Sabda Tuhan”. Semua itu akan terwujud seperti dhandhanggula, mijil, pangkur,
bila disertai laku tetap berjalan di Jalan kinanthi, sinom, dan asmaradana. Semen-
Rahayu, memiliki watak keutamaan Has- tara itu, untuk upacara (1) Bukak Kawah
thasila, dan dapat menjauhi semua Paliwara. (Mulai Mengandung atau Akan Melahir-
Laku-laku inilah yang harus diamalkan kan), (2) Tingkeban (Tujuh Bulan Mengan-
dalam kehidupan sehari-hari dengan tanpa dung), (3) Sepasaran (Lima Hari Kelahiran
berhenti dan tanpa putus asa (Santosa, Anak), (4) Mitoni (Tujuh Bulan Kelahiran
2015, hlm. 189—191). Anak), dan (5) Ambal Warsa (Ulang Tahun
Kelahiran atau Ulang Tahun Pernikahan)
3.8 Upacara Temu Temanten Adat Jawa pada umumnya menggunakan metrum
Macapat di Surakarta tidak hanya hadir macapat mijil, dhandhanggula, dan kinan-
sebagai sarana pementasan seni teater tra- thi yang dapat dilakukan oleh masyarakat
disional, tetapi juga hadir dalam kehidupan Surakarta dan sekitarnya.
sehari-hari masyarakat, seperti untuk upa-
cara temu temanten, tingkeban (tujuh bulan 3.9 Upacara Kegiatan Pangestu
kehamilan), kelahiran bayi, tujuh bulan ke- Di kalangan organisasi Paguyuban Ngesti
lahiran anak, bahkan untuk doa kematian Tunggal (Pangestu)—asal dan berdirinya
Fungsi Sosial Kemasyarakatan Tembang Macapat 93
Fungsi Sosial Kemasyarakatan Tembang Macapat 105
organisasi ini di Surakarta 20 Mei 1949, Guru Sejati yang terwadahi dalam
setiap lima tahun sekali mengadakan kong- Pangestu.
res di Surakarta, serta di Surakarta dan se-
kitarnya terdapat lebih dari 20 cabang— 3.10 Filosofi Siklus Kehidupan
macapat dimanfaatkan sebagai sarana Nama-nama metrum macapat adalah asma-
peringatan hari-hari besar Pangestu, upaca- radana, baladak, dhandhanggula, durma, gam-
ra-upacara kegiatan Pangestu, dan sarana buh, girisa, jurudemung, kinanthi, maskumam-
Penutup Olah Rasa bagi warga Pangestu. bang, megatruh, mijil, pangkur, pucung sinom,
Setiap Upacara Peringatan Hari Pepadang, dan wirangrong (Laginem dkk., 1996:21).
diadakan setiap tanggal 14 Februari, di Leginem mengurutkan nama metrum ma-
masing-masing Cabang Pangestu, sebagai capat tersebut secara alfabetis, akan tetapi
penutup dilantunkan tembang macapat apabila diurutkan secara pemaknaan watak
dhandhanggula tiga bait, petikan dari Serat dan filosofi tembang sebagai siklus kehi-
Warisan Langgeng karya R. Soenarto Merto- dupan manusia, dari lahir ke dunia hingga
wardojo. Demikian juga untuk Upacara tutup usia meninggalkan dunia dan meng-
Peringatan Hari Pamudaran, diadakan se- hadap ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
tiap tanggal 16 Agustus, di masing-masing dengan dituntun oleh Sang Penunjuk Jalan
Cabang Pangestu, sebagai pembuka dilan- Kebenaran. Dari kelima belas tembang ter-
tunkan macapat satu bait dhandhanggula sebut yang masih hidup berkembang subur
“Eling-eling pra kadang den eling” di Surakarta dan sekitarnya ada sebelas
(Pangestu, 2004:22—25). tembang, yaitu (1) Mijil, (2) Maskumambang,
Sementara itu, pada penutup Upacara (3) Sinom, (4) Durma, (5) Asmaradana, (6) Ki-
Peringatan Hari Pamudaran tersebut juga nanthi, (7) Dhandhanggula, (8) Gambuh, (9)
dilantunkan tembang macapat dhandhang- Pangkur, (10) Megatruh, dan (11) Pocung
gula empat bait, petikan dari Serat Warisan (wawancara dengan Supardjo, 20 Septem-
Langgeng karya R. Soenarto Mertowardojo ber 2015). Empat tembang lainnya, (1) Bala-
(1990). Pada upacara-upacara yang lainnya bak, (2) Wirangrong, (3) Girisa, dan (4) Juru-
di kalangan organisasi Pangestu, baik di demung, kurang begitu dikenal dalam ma-
Surakarta dan sekitarnya maupun di selu- syarakat Surakarta. Kesebelas tembang itu
ruh cabang Pangestu di seluruh Indonesia, sudah cukup menggambarkan perjalanan
ada 204 cabang (Pangestu, 2014:3) dengan hidup manusia dari lahir di dunia (mijil),
kurang lebih 200.000 anggota, seperti Upa- masa anak-anak (maskumambang), masa re-
cara Peringatan Hari Budi Darma dan Pen- maja (sinom), masa pencarian jati diri (dur-
didikan (diadakan setiap tanggal 21 April), ma), masa bercinta (asmaradana), kemesraan
Upacara Peringatan Hari Pembangunan berumah tangga (kinanthi), mencari ketente-
(diadakan setiap tanggal 20 Mei), Upacara raman dan kebahagiaan (dhandhanggula),
Pelantikan Warga Baru, Upacara Pelantikan menemukan hakikat tujuan hidup (gambuh),
Pengurus Cabang, Upacara Kongres (setiap meninggalkan dunia keramaian (pangkur),
lima tahun sekali di Surakarta), Upacara menemui ajal kematian (megatruh), dan
Peringatan Berdirinya Cabang, dan setiap menjadi mayat/ jenazah (pocung). Akan
kegiatan Olah Rasa bagi warga Pangestu, tetapi, dengan ditambahkan empat tembang
penutup kegiatan itu selalu dilantunkan yang kurang dikenal itu dapat juga setelah
tembang macapat dhandahanggula satu menjadi jenazah lalu dikuburkan di bawah
bait “Memanising Hastha Sila” yang atau di balik papan (balabak), berada sen-
menjadi intisari atau pokok ajaran Sang dirian di liang lahat (wirangrong), berada di
liang lahat sendirian merasa ketakutan yang

94 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 2, Desember 2016


106 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 2, Desember 2016
luar biasa dahsyat mencekam (girisa), dan dikemas atau dikolaborasi dengan seni per-
setelah hilang ketakutannya itu ia kemudian tunjukan yang lain—penonton, pemirsa,
menjadi sadar akan Tuhan Yang Maha Esa, dan pendengarnya pun terbatas, tetap ma-
lalu dituntunlah oleh Sang Penuntun Sejati capat memberi hiburan yang menye-
(Jurudemung) menuju ke istana abadi/surga nangkan. Macapat sebagai tuntunan sudah
bertunggal dengan Tuhan Yang Maha Esa. sangat jelas, sebab dalam macapat senan-
Siklus perjalanan hidup manusia dari tiasa berisi ajaran budi pekerti atau nilai-
pondok dunia menuju ke istana keabadian, nilai kebajikan yang tentunya syarat dengan
akhirat, itulah yang tergambar dalam lima- pesan moral sehingga dapat memberi pen-
belas tembang macapat tersebut. cerahan bagi umat manusia yang meng-
apresiasinya. Macapat sebagai tatanan da-
4. Simpulan pat berlaku dengan baik bilamana nilai-nilai
Sejak kelahirannya pada abad XIV Masehi adiluhung dan edipeni dalam macapat sudah
hingga kini, macapat masih terus hidup dihayati dan diamalkan dalam perilaku se-
dan berkembang, baik secara tertulis mau- hari-hari sehingga berpengaruh positif da-
pun lisan, serta dimanfaatkan dalam kehi- lam tatanan bermasyarakat, berbangsa, ber-
dupan sehari-hari oleh sebagian besar ma- negara, dan berketuhanan yang Maha Esa.
syarakat Jawa sebagai sarana hiburan, Macapat dalam hal ini dimaknai sebagai
estetika, pendidikan, pementasan tradisional, media pembentuk karakter bangsa yang
surat-menyurat, senandung teman bekerja, mursid, cerdas cendekia, kaya akan keah-
mantra penolak bala, upacara temu temanten lian dan kepandaian, luhur budinya, luhur
adat Jawa, upacara kegiatan Pangestu, dan de-rajatnya, dan mulia hidupnya karena
filosofi siklus kehidupan manusia, yakni kasih anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
perjalanan hidup manusia dari lahir di dunia
hingga menemui ajal kematian kembali ke Daftar Pustaka
istana Tuhan. Atas dasar fungsi sosial ke-
masyarakatan tersebut menjadikan macapat Darusuprapta. 1989. “Macapat dan Santi-
sebagai karya sastra yang bergitu urgen wara”. Dalam Humaniora, Nomor 1,
dalam kehidupan manusia. Dengan adanya Tahun 1989, hlm. 15—33.
fungsi sosial kemasyarakatan tersebut ma-
Endraswara, Suwardi. 2012. Teori Pengkajian
capat menjadi sarana peneguh kehidupan
Sosiologi Sastra. Yogyakarta: UNY Press.
yang mampu menginspirasi, memotivasi,
dan menjadi hidup lebih berarti. Hal inilah Laginem, dkk., 1996. Macapat Tradisional da-
yang menyebabkan keberadaan macapat di lam Bahasa Jawa. Jakarta: Departemen
Jawa tetap lestari dan menjadi sesuatu yang Pendidikan dan Kebudayaan.
bermakna bagi kehidupan manusia. KBBI. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Dari pelbagai fungsi sosial kemasyara- (Cetakan ketiga Edisi Keempat, cetakan
katan yang telah dipaparkan dalam Hasil pertama Edisi Pertama terbit tahun
dan Pembahasan di atas, sesungguhnya 1988). Jakarta: Departemen Pendidikan
macapat berfungsi sebagai tontonan, Nasional dan Gramedia Pustaka Utama.
tuntunan, dan tatanan kehidupan manusia
dalam bermasyarakat, berbangsa, bernegara, Mertowardojo, R. Soenarto. 1990. Serat Wa-
dan berketuhanan yang Maha Esa. Macapat risan Langgeng. (Cetakan ke V). Jakarta:
sebagai tontonan harus nikmat untuk di- Pengurus Pusat Paguyuban Ngesti
tonton, dilihat, dan didengarkan. Walau- Tunggal.
pun pertunjukan macapat murni—tanpa

Fungsi Sosial Kemasyarakatan Tembang Macapat 95


Fungsi Sosial Kemasyarakatan Tembang Macapat 107
Mertowardojo, R. Soenarto. 2014. Sabda Pra- Santosa, Puji dkk. 2003. Materi dan Pembela-
tama. (Cetakan kelima bahasa Jawa- jaran Bahasa Indonesia SD. Jakarta: Uni-
Indonesia, cetakan pertama bahasa Ja- versitas Terbuka.
wa tahun 1967). Jakarta: Pengurus Pu-
Santosa, Puji. 2010. “Sumbangan Sastra Jawa
sat Paguyuban Ngesti Tunggal.
dalam Menghadapi Kekuasaan Zaman
Nardiati, Sri dkk., 1983. Kamus Bahasa Jawa- Edan” (hlm. 291—345). Dalam Kekuasaan
Bahasa Indonesia I dan II. Jakarta: Depar- Zaman Edan: Derajat Negara Tampak
temen Pendidikan dan Kebudayaan. Sunya-Ruri. Yogyakarta: Pararaton.
Pangestu. 2004. Pedoman Tata Upacara Santosa, Puji. 2012. “Kearifan Budaya dan
Pangestu. Jakarta: Pengurus Pusat Pagu- Fungsi Kemasyarakatan dalam Sastra
yuban Ngesti Tunggal. Lisan Kafoa”. Dalam Meta Sastra: Jurnal
Penelitian Sastra, Volume 5, Nomor 1,
Pangestu. 2014. Profil Pangestu. (Edisi III,
Juni 2012, hlm. 67—82.
Edisi I tahun 2004). Jakarta: Pagu-
yuban Ngesti Tunggal. Santosa, Puji. 2013. “Analisis Kontekstual
‘Ilir-Ilir’ Sunan Kalijaga”. Dalam LOA:
Padmosoekotjo, S. 1960. Ngengrengan Kasu-
Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan,
sastran Djawa. Jilid II. Yogyakarta: Hien
Volume 9, Nomor 2, Desember 2013,
Hoo Siang.
hlm. 105—118.
Prabowo, Dhanu Priyo, 1992. “Tema Maca-
Santosa, Puji. 2015. “Dua Kidung dalam
pat Modern dalam Kandha Raharja Ta-
Perbandingan” (hlm. 183—198). Dalam
hun 1988: Suatu Cermin Dinamika Sas-
Metodologi Penelitian Sastra: Paradigma,
tra Jawa”. Dalam Widyaparwa, Nomor
Proposal, Pelaporan, dan Penerapan. Yog-
39, Oktober, hlm. 65—75.
yakarta: Azzagrafika.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1994. Prinsi-Prin-
Saputra, Karsono H. 2010. Pengantar Sekar
sip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah
Macapat. (Cetakan ketiga, cetakan per-
Mada University Press.
tama 1992 diterbitkan oleh Fakultas
Prawiroatmodjo, S. 1985. Bausastra Jawa– Sastra Universitas Indonesia). Jakarta:
Indonesia. (Cetakaan ke-3). Jakarta: Gu- Wedatama Widya Sastra.
nung Agung.
Siswanto, Wahyudi. 2013. Pengantar Teori
Rahardjo. 2015. Riwayat Hidup Bapak Paran- Sastra. Malang & Yogyakarta: Aditiya
para Pangestu R. Soenarto Mertowardojo. Media Publishing.
(Cetakan kelima, cetakan pertama ta-
Subalidinata, R.S. 1994. Kawruh Kasusastran
hun 1965). Jakarta: Pengurus Pusat Pa-
Jawa. Yogyakarta: Pustaka Nusatama.
guyuban Ngesti Tunggal.
Sudaryanto dan Pranowo (editor). 2001. Ka-
Riyadi, Slamet. 1993. “Penciptaan Macapat
mus Pepak Basa Jawa. Yogyakarta: Badan
dari Masa ke Masa”. Dalam Triyono, A.
Pekerja Kongres Bahasa Jawa.
(Ketua Penyunting). Pusaran Bahasa dan
Sastra Jawa. Yogyakarta: Balai Penelitian Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Peng-
Bahasa Yogyakarta. antar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

96 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 2, Desember 2016


108 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 2, Desember 2016
Wellek, Rene. dan Warren, Austin. 2014.
Teori Kesusastraan. (Cetakan kelima,
cetakan pertama 1989, Budianta, Mela-
ni., penerjemah). Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama (Karya asli pertama kali
terbit 1948).
Zaidan, Abdul Rozak dkk., 2007. Kamus
Istilah Sastra. (Cetakan ketiga, cetakan
pertama 1978). Jakarta: Balai Pustaka.

Fungsi Sosial Kemasyarakatan Tembang Macapat 97


Fungsi Sosial Kemasyarakatan Tembang Macapat 109

Anda mungkin juga menyukai