Anda di halaman 1dari 6

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 2

Nama Mahasiswa : RICO RUBEN HAPOSAN

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 042561174

Kode/Nama Mata Kuliah : MKDU4110/Bahasa Indonesia

Kode/Nama UPBJJ : 21/Jakarta

Masa Ujian : 2019/20.2 (2020.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS


TERBUKA

Tugas Artikel Ilmiah Popular


Membaca Daur Hidup Orang Jawa melalui Macapat

Kebudayaan jawa, seperti halnya kebudayaan lainnya, dapat dikaitkan sebagai representasi
dari masyarakat dimana kebudayaan itu tercipta. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi dalam
buku Setangkai Bunga Sosiologi (1974), menyampaikan bahwa kebudayaan adalah sarana hasil
karya, rasa, dan cipta masyarakat. Salah satu rasa yang paling tergambar pada karakteristik
masyarakat jawa adalah pemakaian atas simbol- simbol. Maka, tak dapat dipungkiri hasil kebudayaan
yang tercipta dari masyarakat jawa erat dengan berbagai simbol di dalamnya.

Kebudayaan jawa sendiri memiliki banyak unsur di dalamnya. Seperti diungkapkan


Koentjaraningrat (1985), kebudayaan memiliki tujuh unsur, yaitu (1) kesenian; (2) sistem teknologi
dan peralatan; (3) sistem organisasi masyarakat; (4) Bahasa; (5) sistem mata pencaharian hidup dan
sistem ekonomi; (6) sistem pengetahuan; (7) sistem religi. Dari ketujuh unsur tersebut, kesenian
memiliki fungsi sebagai salah satu media yang dapat menggambarkan lebih jauh terkait suatu falsafah
dari suatu masyarakat. Falsafah, bila dirujuk dari KBBI (2005), berarti anggapan, gagasan, dan sikap
batin yang paling dasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat; pandangan hidup. Jadi dapat
dikatakan berfalsafah berarti mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang dalam yang dijadikan
sebagai pandangan hidup. Kesenian dapat dikatakan sebagai media masyarakat untuk berfalsafah.
Salah satu falsafah yang terdapat pada kebudayaan jawa yaitu terkait dengan daur kehidupan
manusia. Daur kehidupan manusia, atau dapat disebut siklus hidup manusia, adalah rangkaian
perjalanan hidup seseorang, mulai dari kelahiran hingga berakhir pada saat seseorang tersebut
meninggal dunia. Dari waktu-kewaktu, manusia menghadapi berbagai perubahan dalam
kehidupannya. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pandangan maupun gagasan masyarakat jawa
tentang siklus hidup manusia, dapat diketahui melalui hasil karya keseniannya.

Macapat sebagai salah satu bentuk kesenian dalam kebudayaan jawa dapat menggambarkan
bagaimana masyarakat jawa melihat siklus hidup manusia. Secara etimologis, terdapat beberapa
pendapat tentang pengertian macapat. Pendapat yang pertama menyebutkan bahwa macapat
merupakan maca-pat lagu yang berarti tembang tahapan keempat dalam perjalanan puisi jawa
bertembang. Pendapat kedua mengatakan bahwa istilah macapat berasal dari manca-pat, yaitu sebuah
konsep pemikiran penglasifikasikan dalam kebudayaan jawa seperti keblat papat lima pancer yang
berarti empat arah mata angin dengan titik tengah sebagai pusat, yakni timur, barat, utara, selatan, dan
tengah. Kemudian, pendapat ketiga menyebutkan bahwa macapat kependekan dari maca papat-papat
yang berarti membaca empat demi empat (suku kata). Pendapat ketiga didasari oleh cara pembacaan
wacana macapat yang memiliki adhegan atau pedhotan “jeda” setelah empat wanda pertama setiap
gatra. Macapat sebagai salah satu jenis puisi jawa klasik memiliki lima belas metrum, tetapi empat
metrum diantaranya sudah jarang digunakan. Dengan kesadaran bahwa masyarakat jawa sarat dengan
pemakaian simbol- simbol, maka macapat juga tak dapat dilepaskan dengan simbol- simbol di
dalamnya, khususnya terkait dengan siklus hidup masyarakat jawa. Macapat tak dapat dipungkiri
memang sarat dengan simbolisme, tetapi sebenarnya bukan hanya macapat saja yang sarat dengan
simbol. Cassirer mengungkapkan, kita akan menemukan simbol di dalam agama, mite, dan
seni. (F.W. Dillistone, 1986). Simbol dapat membuka realitas yang lebih besar dan transenden yang
tidak dapat dibahasakan dengan konsep. Fungsi dari simbol adalah merangsang daya imajinasi
dengan menggunakan sugesti, asosiasi, dan relasi. Sebagai contoh lain, dalam pergelaran wayang
kulit pun tak terlepas dari simbol- simbol terkait daur hidup orang jawa. Hal tersebut tergambar dari
pembagian tahapan dalam pergerlaran wayang kulit yang menjadi tiga bagian yang melambangkan
tiga tahapan kehidupan manusia. Pertama, yaitu patet nem yang menggambarkan kehidupan masa
lahir dan kanak-kanak. Berikutnya, tahap patet sanga, yaitu menggambarkan masa dewasa. Terakhir,
yaitu patet manyura yang menggambarkan masa kematian (Abi Tofani, 2013).

Macapat sendiri juga memiliki sisipan simbol terkait daur hidup manusia. Hal tersebut
terdapat pada berbagai jenis metrumnya. Metrum adalah sebuah istilah dalam ilmu kesusastraan yang
mendeskripsikan pola bahasa dalam sebuah baris puisi. Metrum juga bisa didefinisikan sebagai satuan
irama yang ditentukan oleh jumlah dan tekanan suku kata dalam setiap baris puisi. Macapat memiliki
lima belas metrum, tetapi terdapat empat metrum yang sudah jarang digunakan. Metrum tersebut,
yaitu jurumudeng, wirangrong, balbak, dan girisa. Sedangkan untuk sebelas metrum yang masih
sering digunakan, yaitu dhandanggula, sinom, asmaradana, durma, pangkur, mijil, kinanthi,
maskumambang, pucung, gambuh, dan megatruh. sebelas metrum tersebut menyimbolkan suatu daur
hidup manusia jawa. Berikut akan dijabarkan tahapan daur hidup manusia melalui penggambaran
jenis metrum pada macapat. Siklus tersebut memiliki sebelas tahap, sesuai dengan jumlah metrum
pada macapat yang masih sering digunakan, yaitu:

1. Maskumambang : berasal dari kata emas dan kumambang. Maskumambang berarti emas yang
terapung. Selain itu, juga dapat dipahami sebagai ‘mas’ yang berarti jabang bayi yang belum
jelas jenis kelaminnya karena masih ‘kumambang’ atau terapung-apung. Macapat yang
menggunakan metrum tersebut bertema lara, dan ketidakberdayaan. Cukup menggambarkan
kehidupan saat janin yang dapat dikatakan manusia masih rentan dan tidak berdaya.
2. Mijil : bersinonim dengan kata wijil yang berarti keluar. Macapat yang menggunakan metrum
mijil biasanya bertema melahirkan kesedihan, mengalir, dan perasaan kasih. Dari hal tersebut
menggambarkan dimana janin baru keluar ke dunia.
3. Sinom : memiliki arti pucuk daun atau daun muda. Kata sinom juga mirip dengan sinoman,
yaitu perkumpulan pemuda untuk membatu seseorang yang punya hajatan. Biasanya pada
macapat yang memakai metrum sinom menggunakan tema-tema yang muda dan bernada
ungkapan cinta. Hal tersebut sangat identik dengan masa anak-anak yang penuh dan penuh
keceriaan.
4. Puncung : puncung dikenal sebagai nama biji kepayang. Dalam Serat Purwaukara, pucung
berarti kudhuping gegodhongan atau kuncup dedaunan yang biasanya tampak segar. Ucapan
‘cung’ dalam Pucung cenderung mengacu pada hal-hal yang bersifat lucu. Macapat yang
memakai metrum puncung memiliki rasa yang tidak tegang, jenaka, dan nasehat yang ringan.
Sehingga tembang Pucung berwatak atau biasa digunakan dalam suasana santai. Hal itu cukup
menggambarkan manusia pada masa peralihan menuju remaja yang secara umum hidupnya
masih belum terasa banyak beban.
5. Gambuh : memiliki sinonim kata kulina yang berarti biasa, akrab. Tema yang digunakan pada
macapat yang memakai metruh ini, yaitu akrab, santai, dan tidak sungkan. Berkenaan dengan
hal itu, tembang Gambuh berwatak atau biasa digunakan dalam suasana tidak ragu-ragu. Hal
itu menggambarkan manusia saat masa remaja yang dipenuhi dengan keakraban. Suatu masa
saat hubungan personal dengan teman sebaya mulai terbentuk.
6. Kinanthi : berasal dari kanthi atau ‘gandheng’. Kinanthi memiliki arti ‘digandeng’. Sesuai arti
itu, tembang kinanthi biasa digunakan dalam suasana mesra, rayuan, dan cinta, namun tak
sebesar asmaradhahana. Muncul setelah masa hubungan personal dengan teman sebaya telah
terbangun. Saat itu manusia mulai merasakan perasaan cinta yang berbeda dengan perasaan
berkawan dengan teman sebaya. Hasrat tersebut menciptakan keinginan atas hubungan yang
mesra. Tahap awal mengenal pasangan yang umumnya disebut pacaran juga tergambar pada
masa ini.
7. Asmaradhahana : berasal dari kata asmara ‘asmara’ dan dahana ’api’. Jadi, asmaradana
berarti api asmara. Macapat yang menggunakan metrum asmaradana memiliki tema-tema,
seperti cinta yang besar, rayuan, rindu. Masa dimana kedawasaan jelas tergambar. Kobaran
api cinta juga sedang sangat terasa. Masa pernikahan juga berada pada medio masa yang
metrum ini cerminkan.
8. Dhandanggula : berasal dari kata dhandang ‘mengharap supaya’ gula ‘manis’. Manis erat
dengan makna baik serta ceria. Jadi dhandanggula berarti mengharap supaya baik atau
menyenangkan. Macapat yang memiliki metrum ini memiliki rasa yang ceria dan bahagia.
Pada masa ini manusia sedang pada masa yang erat dengan perasaan bahagia. Masa dimana
manusia dewasa mencapai kenikmatan duniawi.
9. Durma : berkaitan dengan kata durmanggala ‘firasat buruk’ dan durmata ‘buruk adatnya’.
Pada macapat yang memakai metrum ini terasa bengis, kasar, keras dan menggambarkan masa
perang. Pada masa ini manusia yang sebelumnya sudah merasakan puncak kebahagiaan
hidupnya mulai lupa terhadap esensi hidupnya sendiri hingga lekat dengan sifat bengis dan
kasar.
10. Pangkur : berasal dari kata kur –pangkur, singkur, migkur ‘belakang’. Macapat yang
menggunakan metrum pangkur biasanya bertema pamit dan selesai. Masa saat manusia yang
sebelumnya mencapai masa lupa akan esensi hidupnya, sehingga erat dengan sifat bengis dan
kasar, mulai merasa tersadarkan dan bertobat. Serta mulai menjauhkan diri dari nafsu duniawi.
11. Megatruh : berasal dari awalan am, pega, dan ruh. Pegat berarti ‘putus’, ‘tamat’, ‘pisah’,
‘cerai’. Dapat dimaknai sebagai tahap dimana putusnya ruh. Macapat dengan metrum ini
memiliki tema yang sendu, duka, penyesalan, dan kepedihan. Putusnya ruh manusia dapat
dimaknai sebagai berakhirnya masa hidup manusia di dunia.

Dari penjabaran tersebut, dapat ditangkap bahwa masyarakat jawa memang erat dengan
pemakaian simbol. Selain itu bila dirunut dari tiap periode dalam daur hidup masyarakat jawa yang
tergambarkan pada tiap metrum macapat tersebut, terdapat kesadaran serta pembacaan yang kuat dari
orang jawa terkait kehidupan dunia yang dijalaninya. Dengan memasukkan gagasan terkait daur
hidup secara simbolik pada metrum macapat, secara tak langsung, dapat dibaca hal tersebut memiliki
tujuan untuk merangsang daya imajinasi para generasi mendatang. Karena dapat dikatakan, untuk
menyampaikan gagasan tentang daur hidup manusia, masyarakat jawa menyadari hal tersebut lebih
baik tidak dibahasakan dengan konsep. Karena daur hidup manusia mengandung realitas yang lebih
besar dan bersifat transenden.

Sumber :

Soemardjan dan Soepardi. Setangkai Bunga Sosiologi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. Jakarta. 1974

Koentjaranigrat. Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka. Jakarta. 1984

Dillistone, F. W. The Power of Symbol. SCM-Canterbury Press. London. 1986

Tofani, Abi. Mengenal Wayang Kulit Purwa. Pustaka Agung Harapan. Jakarta. 2013
Karsono H. Saputra. Puisi Jawa Struktur dan Estetika. Wedatama Widya Sastra. Jakarta. 2012

Anda mungkin juga menyukai