Anda di halaman 1dari 13

Tafsir Kontekstual Perjanjian Baru 1

Nama : Mikha Bastian


NIM : 50180043

LAKU URIP
“Imajinasi Dialogis Serat Wulangreh Sinom dan Injil Matius 19:16-26”

“Pan ana silih bebasan, padha sinauwa ugi, lara sajroning kapenak, lan suka sajroning prihatin, lawan
ingkang prihatin, mapan suka ing jronipun, iku den sinauwa, lan mati sajroning urip,
ingkang kuna pan mangkono kang den gulang.”
(Serat Wulangreh Sinom 10)

1. Pendahuluan

Kajian hermeneutik tidak lagi dapat dibatasi ruang lingkupnya karena setiap realitas
kehidupan pelu (bahkan harus) diinterpretasikan untuk mendapatkan makna. Baik makna
tersurat maupun tersira, keduanya menyimpan nilai-nilai kehidupan yang kaya dan berharga
pada masanya dan diwariskan hingga sampai saat ini dengan segala perkembangannya yang
kompleks. Demikian Indonesia sebagai bangsa yang kaya akan budaya dan nilai-nilai etis
filosofis yang terkandung di dalamnya.

Jawa sebagai salah satu entitas etnis Indonesia, mempertahankan dan mewariskan nilai-
nilai ke-Jawaannya melalui berbagai macam cara, seperti halnya; cerita-cerita pewayangan,
dolanan (mainan), unggah-unggu (tata krama),1 maupun syair-syair puisi atau tembang yang
acap kali dilantunkan orang tua kepada anaknya sebagai media pengajaran menjelang tidur.
Karya sastra khususnya tembang, banyak memuat banyak teladan, kegunaan dari pekerti
manusia, dan nilai-nilai adiluhung yang bersifat mendidik.2

Serat Wulangreh merupakan salah satu karya sastra Jawa yang telah “kawin mengawin”
dengan dunia Islam. Serat tersebut berupa kumpulan tembang macapat karya Sri Susuhunan
Pakubuwana IV (1768-1820), Raja Surakarta. Serat Wulangreh terdiri dari 18 tembang, yang
secara berurutan dari Pupuh I-XIII adalah: Dhandhanggula, Kinanthi, Gambuh, Pangkur,
Maskumambang, Megatruh, Durma, Wirangrong, Pocung, Mijil, Asmaradana, Sinom, dan
Girisa. Dapat dipastikan, Sri Susuhunan Pakubuwana IV menulis Serat tersebut salah satunya
sebagai media pengajaran budi pekerti, serta nilai-nilai luhur yang bersifat religius sekaligus
mistis. Nampak dari segi namanya sendiri, yaitu Wulang atau petunjuk dan Reh yang dapat

1
Tata krama baik dalam hal berpakaian, berbicara, maupun berperilaku.
2
Edi Sedyawati, dkk. Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum. (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 138.
Tafsir Kontekstual Perjanjian Baru 2

diartikan sebagai tatanan atau tata-aturan.3 Petunjuk tatanan kehidupan itu dapat dilihat dari
susunan kalimat yang melukiskan perlajanan hidup manusia dari lahir, anak-anak, dewasa
hingga matinya. Disamping itu, tujuan ditulisnya Serat Wulangreh juga dapat ditemukan
pada pembukaan Serat tersebut dalam Pupuh I atau dapat disebut juga dengan tembang
Dhandhanggula yang demikian bunyinya:

Pamedare wasitaning ati, (Lahirnya petunjuk hati)


cumanthaka aniru Pujangga, (berlagak meniru pujangga)
dhahat mudha ing batine, (memang batin sagatlah muda)
nanging kedah ginunggung, (tetapi begitu suka dipuji)
datan wruh yen akeh ngesemi, (biarlah banyak yang mencela)
peksa ngrum-rum pustaka, (buku-buku terpaksa dilihat)
basa kang kalantur, (bahasa yang telah berkepanjangan)
turur kang katula-tula, (petunjuk yang telah ditular-tularkan)
tinalaten rinuruh kalawan ririh, (dihimpun dengan teliti dan sabar)
mrih padhanging sasmita. (agar pralambang menjadi terang)

Dari tembang tersebut nampak bahwa Paku Buwana IV hendak menyampaikan petunjuk
yang ada di dalam hatinya. Ia tidak ingin dicela oleh karena masih muda. Melalui buku-buku
dan petunjuk-petunjuk yang telah dituturkan turun temurun, ia hendak mengunkap
pralambang-pralambang yang tersembunyi dengan cara menghimpun dan meneliti
dengansabar. Sehingga jelas bahwa Serat Wulangreh bermaksud untuk menyampaikan
petunjuk-petunjuk kehidupan. Dalam Pupuh XII – tembang terakhir, tepatnya di pada (bait)
ke-24 dinyatakan: “… ing galih panedhanira, kang amaca kang miyarsa, yen lali muga
elinga”, yang mengharapkan agar pembaca dapat senantiasa ingat, yaitu ingat arah menuju
kesempurnaan hidup.4

Dalam paper ini secara khusus saya hendak membahas salah satu serat yang mengisahkan
kehidupan manusia yang menginjak usia muda, Sinom. Bukan karena saya masih muda, akan
tetapi tembang tersebut memiliki makna yang secara imaginatif dan mendalam sesuai dengan
sasaran pembaca atau komunitas yang akan membaca paper ini (teman-teman kuliah dan juga
dosen pengampu yang juga masih muda). Di samping itu juga tembang Sinom jika di tinjau
dari segi hubungan antara manusia dengan Tuhan, mengandung nilai pengakuan akan adanya
3
Banawiratma, JB. 1977. Yesus Sang Guru, Pertemuan Kejawn dengan Injil, Yogyakarta: Kanisius,
hlm. 31.
4
Ibid, hlm. 32
Tafsir Kontekstual Perjanjian Baru 3

kukuasaan Tuhan. Dan jika nilai moral yang terkandung tersebut dilihat dari segi hubungan
manusia dengan dirinya sendiri, maka yang nampak adalah sikap diri untuk tidak sombong
dan ingat akan kehidupan. Berangkat dari hal tersebut, saya merasa tembang Sinom memiliki
frekuensi yang saling bersinggungan dengan narasi dalam Injil Matius 19:16-26. Kedua teks
tersebut paling tidak berbicara mengenai seorang muda yang juga bergumul mengenai “laku
urip” (kehidupan) baik kehidupan dunia maupun kehidupan kekal. Dengan demikian dialog
kedua teks dalam dua kelas (hermeneutik inter-faith dan cross culture) yang tepat ini dirasa
akan menimbulkan percikan-percikan aha dan dapat memberi sumbangsih khazanah teologis
mistis satu sama lain. Sehingga harapan saya, teman-teman, dosen dan juga Soares-Prabhu,
dapat tercapai dengan lahirnya suatu karya intertekstualitas yang lebih luas serta menjanjikan
hadirnya pemerkayaan pemahaman Alkitab melalui interaksinya dengan teks dari tradisi
religius lain.5

2. Serat Wulangreh Sinom


2.1. Struktur Tembang Sinom

Secara umum tembang atau sekar Jawa dapat dikatakan sebagai gubahan bahasa atau
karya sastra yang di dalamnya terikat peraturan-peraturan tertentu sepertihalnya guru gatra,6
guru wilangan7 dan guru lagu.8 Tembang Sinom sendiri dapat dikonversikan sebagai berikut:
guru gatra berjumlah 10 baris dengan guru wilangan a-i-a-i-i-i-a-a-a-i dan guru lagu 8-8-8-8-
7-9-7-6-8-12. Menurut Tedjohadisumarto yang dikutip oleh Sadjijo Prawiradisastra, jika
dilihat dari segi jenisnya, tembang/sekar dapat dibedakan menjadi empat jenis: 1). Tebang
Gedhe/Sekar Ageng, 2). Tembang Tengahan, 3). Tembang Macapat/Sekar Alit dan 4). Lagu
Dolanan Lare/Sekar Gendhing.9 Dalam hal ini Serat Wulangreh Tembang Sinom masuk ke
dalam golongan Tembang Macapat/Sekar Alit. Tembang Macapat Sinom memiliki watak
yang cekatan, cocok untuk menasehati juga untuk orang yang sedang kasmaran dan watak
tersebut sangat cocok untuk orang muda.

5
Soares-Prabhu, George M. 1995. “Two Mission Commands: An Interpretation of Matthew 28:16-20
in the Light of a Buddhist Text”, dalam R.S. Sugirtharajah (ed.), Voices from the Margin, New Edition, New
York: Orbis Books, hlm. 334.
6
Guru Gatra yaitu banyaknya jumlah larik/baris dalam satu bait.
7
Guru Lagu yaitu jatuhnya persamaan bunyi sajak dalam setiap larik (baris).
8
Guru Wilangan yaitu banyaknya jumlah suku kata dalam setiap larik (baris).
9
Sadjijo Prawirodisastra. 1991. Pengantar Apresiasi Seni Tembang. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta,
hlm. 64.
Tafsir Kontekstual Perjanjian Baru 4

Sepengamatan saya, Alur dalam tembang Serat Wulangreh Tembang Sinom yang
terdiri dari 33 bait, secara garis besar dapat dibagi menjadi beberapa tahap:

Tahap I Tahap II Tahap III Tahap IV Tahap V


Pembuka Isi Penutup
Bait 1-4 Bait 5-10 Bait 11-20 Bait 21-32 Bait 33
Menceritakan Masa Menceritakan Perumpamaan Tabu/Pantang, Peringatan untuk
Kecil -Muda Tentang Pengajaran Emas dan Tembaga Peraturan dari Para Senantiasa
Pakubuwana IV Laku Urip yang Melebur Leluhur Mengingat Ajaran

dari struktur pembagian alur tersebut dapat dilihat bahwa dalam setiap tahapan identik
dengan pengajaran. Baik pengajaran yang diterima sejak kecil melalui cerita-cerita dongeng,
peraturan-peraturan, hingga pengajaran-pengajaran kehidupan yang bersifat filosofis.

2.2. Telaah Narasi Tembang Sinom

Pada tahap pembuka Pupuh XII atau Sinom dapat dikatakan sebagai puncak petunjuk
Wulangreh, menuju arah yang dituju oleh anak muda yang sedang menggumuli makna
kehidupan. Berdasarkan pembagian tahapan dalam tembang Sinom, saya hendak nenelaahnya
secara kronologis/berurutan. Sri Susuhunan Pakubuwana IV membuka “narasi kehidupan” itu
dengan memberikan pandangan umum tentang perilaku yang dipahami oleh orang Jawa. Ia
menyatakan bahwa perilaku orang yang telah mencapai tataran sempurna tidak akan
membatasi atau mencela kepandaian orang lain. Mengenai kepandaian, Pakubuwana IV juga
menyatakan untuk tidak memamerkan kepandaian, akan tetapi justru berbahagialah jika ada
yang menghina bahwa diri ini bodoh/terbatas. Dalam hal ini Pakubawana IV menyadari sifat
manusiawinya, bahwa dirinya pun masih terbatas. Ia menutupi kebodohannya dengan
berbohong. Akan tetapi ia merefleksikan diri, bahwa kebohongan itupun ternyata telah
diwariskan turun-temurun dan ia terima melalui cerita-cerita dongeng. Sejak kecil ia
mendengarkan cerita dari orang tua yang mengasuhnya dahulu – digambarkan siang maupun
malam, dan ia masih mengingatnya hingga dewasa. Namun ketika menginjak usia dewasa, ia
menerima ajaran berupa nasihat dari ayahnya dan tata krama serta tingkah laku kebaikan dari
ibunya.10 Dengan demikian ia mengalami perkembangan pemikiran dan juga laku kehidupan
seiring bertambahnya usia.

10
Serat Wulangreh Pupuh XII “Sinom” pada 1 lan 4.
Tafsir Kontekstual Perjanjian Baru 5

Masuk dalam tahap yang kedua, dimana Pakubawana IV memberi nasihat kepada
pembaca Seratnya. Ia menganjurkan untuk ingat akan para leluhur serta mengikuti setiap
teladan mereka. Dalam narasinya, ia memberi contoh Panembahan Senopati yang
memerintah di Mataram sebagai leluhurnya. Para leluhur orang Jawa mengurangi makan dan
tidur, serta berusaha sekuat tenaga untuk mencapai kesempurnaan hidup. Pada bait yang ke-9
terdapat kata “Nggonira amati dhiri” (matikanlah ego), yang menjelaskan bahwa kematian
ego dengan cara “menyiksa diri” seperti para leluhur itu merupakan teladan yang baik. Amati
dhiri yang disarankan untuk di teladani tidak perlu seluruhnya, menurut Pakubawana IV,
sepertiga atau seperempat saja pun sudah dirasa cukup.11 Demikian juga ia belajar laku urip
dari Ki Ageng Tarub yang tak henti-hentinya memohon (berdoa). Ia pun berharap agar setiap
orang yang memohon kepada Hyang Widhi – Yang Maha Kuasa, itu dengan sungguh-
sungguh hingga memperolehnya. Hyang Sukma itu bersifat murah, memberi apa yang
diminta oleh hamba-Nya – demikian dikatakan dalam Dalil.12 Pada akhir narasi tahap kedua
ini, Pakubawana IV mengutip suatu peribahasa yang saya kutip juga pada awal tulisan paper
ini yang berbunyi: “Pan ana silih bebasan, padha sinauwa ugi, lara sajroning kapenak, lan
suka sajroning prihatin, lawan ingkang prihatin, mana suka ing jronipun, iku den sinauwa,
lan mati sajroning urip, ingkang kuna pan mangkono kang den gulang”13 yang secara bebas
dapat diartikan: “Bukankah ada peribahasa ‘belajarlah dalam nikmat, sakit dalam sehat,
senang dalam penderitaan, prihatin dalam kesukaan, dan matilah dalam hidup. Begitulah laku
orang jaman dulu”.

Bagian ketiga, Pakubawana IV mengemukakan ajaran laku urip itu melalui suatu
perumpamaan emas dan tembaga. Dalam bait ke-11, ia membuka perumpamaannya dengan
mengemukakan filosofi Jawa yang telah dikenal banyak orang sebagai “Manunggaling
Kawula Gusti”. Ia mengatakan bahwa Pamore Gusti kawula, punika ingkang sayekti
(menyatunya aku dan Tuhan, adalah yang utama).14 Dengan penekanan diawal narasi ini lah
ia memasukkan nilai-nilai mistis relasi antara manusia dengan Gusti. Peleburan antara emas
dan tembaga dalam nyala api yang membara, ia gunakan sebagai analogi ke-manunggalan itu
sendiri. Bagai emas dan tembaga yang telah melebur menjadi satu dan hilang namanya,
demikian pula manusia dan Gusti. Percampuran emas dan tembaga itu di sebut suwasa,

11
Serat Wulangreh Pupuh XII “Sinom” pada 9.
12
Serat Wulangreh Pupuh XII “Sinom” pada 6 lan 7.
13
Serat Wulangreh Pupuh XII “Sinom” pada 10.
14
Serat Wulangreh Pupuh XII “Sinom” pada 11.
Tafsir Kontekstual Perjanjian Baru 6

karena warna dan wujudnya telah berubah.15 Ia melanjutkan penjelasannya pada bait yang ke
13 dan 14, yang menyatakan bahwa suasa tidak akan dinyatakan baik jika pengolahannya
tidak bersih atau masnya masih muda. Suasa itu tidak akan bercahaya dan di sebut bubul –
dalam hal ini saya kurang mengetahui arti kata bubul itu sendiri, namun yang jelas hal itu
menggambarkan sesuatu yang buruk atau jelek. Dengan demikian pengolahan yang baik, dan
bahan yang baik pula, maka akan menghasilkan suasa yang mulia.16 Perumpamaan itu
diatakan sebagai tetepane badan puniki (ukuran badan ini). Jika seseorang ingin memahami
pamore kawula Gusti, maka ia harus bersih terhinggapi nafsu lawamah dan nafsu amarah,
serta suci lahir batin. Kunci untuk mencapai kemuliaan dan manunggal adalah dengan
membuka diri, bertekun serta rendah hati.17

Bagian keempat, Pakubawana IV mengangkat beberapa peraturan hukum tabu yang wajib
untuk diketahui dan ditaati. Pada bagian ini dikemukakan sembila tabu yang dilakukan oleh
para leluhurnya seperti: Ki Ageng Tarub, Ki Ageng Sela, Panembahan Senapati Ingalaga,
Kanjeng Sultan Agung Mataram, Kanjeng Sunan Pakubuwana, Kanjeng Susuhunan
Pakubuwana II, Kanjeng Sunan, Kanjeng Susuhunan III, dan yang terakhir adalah Dananjaya.
Secara umum di sini digambarkan mengenai hal-hal apa yang dilarang untuk dilakukan oleh
seseorang yang ingin mencapai kesempurnaan dan kemuliaan. Sekilas hukum-hukum itu
nampak aneh jika di lihat dengan kacamata orang sekarang, sebagai contoh: Ki Ageng Tarub
yang berpesan agar keturunannya tidak mengenakan keris dan tumbak yang terbuat dari baja,
serta tidak boleh makan daging sapi, lalu Dananjaya yang menabukan keturunan Mataram
untuk tidak diperkenankan bermain-main di hutan atau rawa-rawa. Semua tabu itu dirasa
memiliki nilai-nilai tersembunyi jika ditelaah satu persatu – namun karena keterbatasan ruang
waktu seta jumlah halaman paper ini, maka saya langsung saja masuk pada penutup dari
tembang Sinom dalam Serat Wulangreh ini.18

Pada bagian penutup tembang Sinomnya, Pakubawana IV menuliskan demikian: “Kabeh


anak putu padha, eling-elingan ywa lali, prasapa kang kuna-kuna, wewaler leluhur nguni,
estokna away lali, aja nganti nemu dudu, kalamun wani nerak, pasti tan manggih basuki,
Sinom salin Girisa ingkang atampa”19 yang secara bebas dapat diartikan demikian: “Semua
anak cucu, camkan dan jangan lupa tabu zaman kuno warisan leluhur, patuhilah jangan

15
Serat Wulangreh Pupuh XII “Sinom” pada 12.
16
Serat Wulangreh Pupuh XII “Sinom” pada 13 lan 14.
17
Serat Wulangreh Pupuh XII “Sinom” pada 15 lan 21.
18
Serat Wulangreh Pupuh XII “Sinom” pada 22 lan 32.
19
Serat Wulangreh Pupuh XII “Sinom” pada 22 lan 33.
Tafsir Kontekstual Perjanjian Baru 7

sampai ada yang melanggar. Barang siapa berani melanggar pasti tidak akan selamat dan
yang mendengar ini supaya Girisa (giris/takut/ngeri). Penekanan pada hukum tabu memang
ditonjolkan pada penutupan ini. Namun dapat dipahami pula bahwa orang Jawa memang
sangat menghormati orang tua (termasuk para leluhurnya). Sehingga tidak heran bila
Pakubawana IV memerintahkan pembaca seratnya untuk mengingat ajaran-ajaran yang telah
diturunkan sebagai nilai-nilai yang luhur untuk mencapai kemulyaan melalui laku urip.

3. Kisah Orang Muda Kaya (Matius 19:16-26)

Setelah dirasa cukup pembahasan mengenai dunia Jawa Serat Wulangreh Tembang
Sinom, kita beralih pada dunia Kekristenan. Pada bagian ini, saya hendak melakukan
pendekatan naratif yang memang dirasa lebih cocok untuk menganalisis teks Matius 19:16-
26. Hal itu dikarenakan Matius 19:16-26 mengambarkan suatu kisah historis yang dapat
diruntut alur ceritanya. Melalui metode tersebut diharapkan teks dapat dipahami dan pesan
yang terkandung dalam narasi kisah tersebut dapat dikomunikasikan dengan konteks
pembaca saat ini.20

Secara kasat mata, kisah tentang orang muda yang kaya dalam Injil Matius 19:16-26
ini dapat dibagi paling tidak menjadi tiga bagian besar: 1). Perjumpaan Yesus dengan orang
muda, 2). Perintah/hukum, dan 3). Perumpamaan. Pada bagian pertama dikisahkan bawa ada
seseorang yang mendatangi Yesus dan menanyakan mengenai jalan menuju hidup yang kekal
(ζωὴν αἰώνιον). Pertanyaan tersebut mengindiasikan bahwa pemuda tersebut telah melampaui
standar kehidupan seseorang pada umumnya. Memang dalam Injil Lukas pemuda itu
dikatakan sebagai pemimpin. Dengan demikian keberlimpahan harta serta kekuasaan dirasa
telah dimilikinya. Sehingga tiggal satu unsur saja yang dirasa dibutuhkan oleh setiap manusia
yaitu kehidupan. Namun dalam hal ini, kehidupan yang dimaksudkan adalah kehidupan kekal
(ζωὴν αἰώνιον). Secara singkat setelah ia menanyakan hal itu, Yesus membalasnya dengan
balik bertanya “mengapa engkau bertanya kepada-Ku mengenai apa yang baik?” dengan
melanjutkan suatu pernyataan bahwa “hanya Satu (εἷς) yang baik”. Tidak jelas memang kata
εἷς (adjective, nominative, masculine, singular) dalam ayat ini.

Pada bagian kedua, Yesus memberi “opsi lain” untuk menjawab pertanyaan pemuda
tersebut dengan memberikan perintah untuk melakukan segala hukum yang telah ditetapkan
Allah. Hukum atau ἐντολάς di dalam ayat ini dimungkinkan saja merujuk pada dasa titah

20
Petrus Alexander Didi Tarmedi, (2013), Analisis Naratif: Sebuah Metode Hermeneutika Kristiani
Kitab Suci, Jurnal Melintas: Departement of Philosophy Parahyangan Catholic University Bandung, hlm. 332.
Tafsir Kontekstual Perjanjian Baru 8

yang diajarkan oleh Musa nenek moyang orang Yahudi. Hal itu nampak pada ayat berikutnya
yang menyatakan "Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan bersaksi
dusta, hormatilah ayah dan ibumu; dan kasihilah sesamamu manusia seperti engkau
mengasihi dirimu sendiri" (Mat. 19:19). Hukum yang sangat terkenal itu memang
diperintahakn Musa untuk dilakukan setiap waktu dalam kehidupan sehari-hari sebagai suatu
kewajiba seorang yang taat. Sehingga tidak heran bila pemuda itu menjawab bahwa ia telah
melakukannya semua.

Dengan klaim bahwa semua hukum yang disyaratkan Yesus untuk memperoleh hidup
kekal itu telah dilakukan, ia mengajukan pertanyaan kedua mengenai hukum lainnya yang
dirasa belum dilakukannya. (…)

4. Penutup: Imajinasi Dialogis Serat Wulangreh Sinom dan Injil Matius 19:16-26

Baik teks Serat Wulangreh tembang Sinom dan Injil Matius 19:16-26, sama-sama
memiliki narasi dalam dunianya dunianya sendiri. Namun perbedaan tersebut dirasa perlu
juga sebagai bentuk keunikan dari setiap teks yang senantiasa berharap untuk dibaca dan
diajak untuk berdialog dengan teks-teks lain diluarnya. Dalam hal kesamaan atau keselarasan
itu, kedua teks tersebut mengajarkan suatu nilai tatanan kehidupan. Nilai tatanan kehidupan
itu juga di ambil berdasarkan huku-huku (baik tabu maupun Taurat) yang diturunkan dan
diajarkan oleh para leluhur. Terdapat pula perbedaan-perbedaan mendasar yang dirasa dapat
saling melengkapi satu dengan yang lain sebagai suatu upaya mendialogkan kedua teks
tersebut. Namun dalam kesempatan ini izinkanlah saya untuk melemparkan kepada forum
untuk mendiskusikanya sebagai bahan untuk memperkaya pembahasan ini.

Akhir kata, dalam upaya mendialogkan ini, saya mengakui kekurangan dalam kedalaman
baik dari segi analisi teks bahasa maupun latar belakang yang menyelimuti narasi kedua teks
tersebut. Oleh karena itu dirasa perlu untuk mengkaji lebih dalam lagi sehingga bangunan
hermeneutik yang komprehensif dapat lebih kaya dan mendasa. Jikalau berkenan, saya
hendak memperdalamnya lebih lagi dalam masa revisi nanti.

Sekian terimakasih.

Daftar Pustaka

Buku:
Tafsir Kontekstual Perjanjian Baru 9

Banawiratma, JB. 1977. Yesus Sang Guru, Pertemuan Kejawn dengan Injil. Yogyakarta:
Kanisius.

Edi Sedyawati, dkk. 2001. Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum. Jakarta: Balai Pustaka.

Listijabudi, Daniel K. 2019. Bergulat di tepian: pembacaan lintas tekstual dua kisah mistik
(Dewa Ruci & Yakub di Yabok) untuk membangun perdamaian. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.

Paku Buwana IV, Sri Susuhunan. 1968. Wulangreh, miturut babon asli kagungan dalem Nyai
Adipati Sedhahmirah, katedhak sungging aksara Latin kalayan panalitinipun dening R.
Tanojo, T.B. Sala: Pelajar, Sala.

Sadjijo Prawirodisastra. 1991. Pengantar Apresiasi Seni Tembang. Yogyakarta: IKIP


Yogyakarta.

Soares-Prabhu, George M. 1995. “Two Mission Commands: An Interpretation of Matthew


28:16-20 in the Light of a Buddhist Text”, dalam R.S. Sugirtharajah (ed.), Voices from
the Margin, New Edition, New York: Orbis Books.

Artikel:

Tarmedi, Petrus Alexander Didi. 2013. Analisis Naratif: Sebuah Metode Hermeneutika
Kristiani Kitab Suci. Jurnal Melintas: Departement of Philosophy Parahyangan
Catholic University Bandung,
Tafsir Kontekstual Perjanjian Baru 10

PUPUH XII
SINOM

1 Ambeke kang wus utama, tan ngendhak gunaning 5 Nanging padha estokana, pitutur kang muni tulis, yen
jalmi, amiguna ing aguna, sasolahe kudu bathi, pintere sira nedya raharja, anggone pitutur iki, nggoningsun
den alingi, bodhone didokok ngayun, pamrihe den inaa, ngeling-eling, pitutur wong sepuh-sepuh, mugi padha
mring padha padhaning jalmi, suka bungah den ina bisa, anganggo pitutur iki, ambrekati wuruke wong
sapadha-padha. tuwa-tuwa.
Perilaku orang yang telah mencapai tataran sempurna Namun turitilah nasihat yang tertulis ini, jika kau
tidak akan membatasi atau mencela kepandaian orang menghendaki keselamatan, laksanakan nasihat yang
lain, kepandaiannya disembunyikan sedangkan kuingat dari tetua, mudah-mudahan kalian dapat
kebodohannya ditampilkan agar dihina, jangan sampai melaksanakan nasihat ini, sebab ajaran orang tua akan
ada yang menyebutnya pandai, ia merasa bahagia jika membawa berkah
ada yang menghinanya
6 Lan aja nalimpang madha, mring leluhur dhingin
2 Ingsun uga tan mangkana, balilu kang sun alingi, dhingin, satindake den kawruhan, ngurangi dhahar lan
kabisan sun dokok ngarsa, isin menek den arani, guling, nggone ambanting dhiri, amasuh sariranipun,
balilune angluwihi, nanging tenanipun cubluk, temene kang sinedya, mungguh wong nedheng Hyang
suprandene jroning tyas, lumaku ingaran wasis, tanpa Widdhi, lamun temen lawas enggale tinekan.
ngrasa prandene sugih carita.
Dan jangan ada yang berani mencela leluhur. Pahami
Aku pun tidak begitu, kebodohankulah yang aku tutupi laku berupa mengurangi makan dan tidur dengan cara
dan kepandaianku yang aku kedepankan karena malu ‘menyakiti’ diri untuk membersihkan diri sehingga
jika disebut bodoh oleh orang lain, padahal aku bodoh akhirnya tercapai segala yang diinginkan. Adapun
namun ingin disebut pandai sehingga tanpa sadar (aku) orang yang memohon kepada Yang Mahakuasa, cepat
banyak bercerita bohong atau lambat akan dikabulkan jika sungguh-sungguh.
3 Tur ta duk masihe bocah, akeh temen kang nuruti, 7 Hyang sukma pan sipat murah, njurungi kajating
lakune wong kuna-kuna, lelabetan kang abecik, miwah dasih, ingkang temen tinemenan, pan iku ujare Dalil,
carita ugi, kang kajaba saking embuk, iku kang aran nyatane ana ugi, nenggih Ki Ageng Tarub, wiwitira
kojah, suprandene ingsun iki, teka nora nana undaking nenedha, tan pedhot tumekeng siwi, wayah buyut
kabisan. canggah warenge kang tampa.
Padahal ketika aku masih kecil banyak yang bercerita Bukankah Yang Mahamulia itu memiliki sifat Maha
tentang perilaku orang jaman dulu mengenai Pemurah yang mengabulkan segala keinginan yang
pengabdian yang baik serta cerita, termasuk cerita yang sungguh-sunguh. Bukankah demikian yang dikatakan
tidak benar adanya yang disebut dongeng, meskipun Dalil. Buktinya juga ada. Ki Ageng Tarub tak henti-
demikian, kepandaianku tidaklah bertambah hentinya memohon sehingga anak, cucu, buyut,
canggah, wareng ikut mewarisinya
4 Carita nggonsun nenular, wong tuwa kang momong
dingin, akeh kang padha cerita, sun rungokna rina 8 Panembahan senopatya, kang jumeneng ing Matawis,
wengi, samengko isih eling, sawise diwasa ingsun, bapa iku barang masa dhawuh, inggih ingkang Hyang
kang paring wulang, miwah ibu mituturi, tatakrama ing Widdhi, saturune lestari, saking berkahing leluhur,
pratingkah karaharjan. mrih tulusing nugraha, ingkang keri keri iki, wajib uga
niruwa lelakonira.
Adapun cerita yang kuberikan ini kuturunkan dari orang
tua yang mengasuhku dulu, banyak cerita yang Panembahan Senopati yang memerintah di Mataram
kudengarkan baik siang maupun malam sampai pun berkesesuaian dengan anugrah Yang Mahaesa
sekarang masih aku ingat. Setelah aku dewasa, ayah keturunannya berkuasa turun temurun dari berkah
yang memberiku nasihat, sedangkan ibu yang leluhur. agar berkahmu lestari, seyogyanya kau ikuti
mengingatkan tentang tata karma dan tingkah laku laku
kebaikan
Tafsir Kontekstual Perjanjian Baru 11

9 Mring leluhur kina-kina, nggonira amati dhiri, iyasa 14 Yen sira karya suwasana, darapon dadine becik,
kuwatanira, sakuwatira nglakoni, cegah turu sathithik, amilihana tembaga, oliha tembaga prusi, biresora kang
lan nyudaa dhaharipun, paribara bisaa, kaya ingkang resik, sarta masira kang sepuh, resik tan kawoworan,
dingin dingin, aniruwa sapretelon saprapatan. dhasar sari pasti dadi, iku kena ingaranan suwasa
mulya.
Para leluhur jaman dulu. ‘Menyiksa diri sudah barang
tentu semampumu, semampu kau melaksanakannya. Jika kau ingin membuat suasa yang baik, pilihlah
Kurangi sedikit tidur dan makanmu. Tidak perlu meniru tembaga yang baik, syukur-syukur jika mendapatkan
seluruhnya perilaku leluhur, sepertiganya atau tembaga prusi, diolah dengan bersih, emas tua dengan
seperempat saja sudah cukup dasar sari yang tidak tercampuri, hasilnya adalah suasa
mulia
10 Pan ana silih bebasan, padha sinauwa ugi, lara
sajroning kapenak, lan suka sajroning prihatin, lawan 15 Puniku mapan upama, tepane badan puniki, lamun
ingkang prihatin, mana suka ing jronipun, iku den karsa ngawruhana, pamore kawula Gusti, sayekti kudu
sinauwa, lan mati sajroning urip, ingkang kuna pan resik, aja katempelan napsu, luwamah lan amarah,
mangkono kang den gulang. sarta suci lahir batin, pedimene apan sarira tunggal.
Bukankah ada peribahasa ‘belajarlah dalam nikmat, Itu hanyalah sebuah perumpamaan sebagai ukuran
sakit dalam sehat, senang dalam penderitaan, prihatin badan ini. Jika kau ingin memahami manunggaling
dalam kesukaan, dan matilah dalam hidup. Begitulah kawula gusti, sesungguhnya harus bersih, jangan
laku orang jaman dulu terhinggapi nafsu lawamah dan nafsu amarah, serta suci
lahir batin agar jiwamu hening
11 Pamore gusti kawula, punika ingkang sayekti,
dadine socaludira, iku den waspada ugi, gampange ta 16 Lamun mangkonoa, sayektine nora dadi, mungguh
kaki, tembaga lan emas iku, linebur ing dahana, luluh ilmu kang sanyata, nora kena den sasabi, ewoh
awor dadi siji, mari nama tembaga tuwin kencana. gampang sayekti, punika wong darbe kawruh, gampang
yen winicara, angel yen durung marengi, ing wetune
Perhatikan pula manunggaling kawula gusti yang
binuka jroning wardaya.
sesungguh-sungguhnya bagai sotyaludira (roh suci).
Secara sederhana, Anakku, emas dan tembaga itu lebur Jika tidak demikian, yakinlah tidak akan terjadi.
dalam api, bercampur menjadi satu, hilanglah nama Mempelajari ilmu yang sejati tidak boleh diduakan.
tembaga dan emasnya Bagi yang belum memperoleh pengetahuan memang
repot jika tidak sungguh-sunguh. Mudah berbicara
12 Yen aranana kencana, dene wus awor tembagi, yen
namun sulit jika belum terbuka
aranana tembaga, wus kaworan kancanedi, milanya
den westani, aran suwasa punika, pamore mas 17 Nanging ta sabarang karya, kang kinira dadi becik,
tembaga, mulane namane salin, lan rupane sayekti yen pantes yen tinalatenan, lawas-lawas bok pinanggih, den
warna beda. mantep ing jro ngati, ngimanken tuduhing guru, aja uga
bosenan, kalamun arsa udani, apan ana dalile kang
Jika dinamakan emas sudah bercampur tembaga, jika
wus kalawan.
disebut tembaga sudah bercampur dengan emas, oleh
karenanya disebutlak suasa yang merupakan campuran Namun demikian, segala hal yang diperkirakan baik, itu
mas dan tembaga. Adapun namanya berubah karena layak jika kau tekuni, lama-kelamaan juga akan kau
warna dan wujudya berubah temukan dan menetap dalam hatimu. Yakini petunjuk
guru, jangan cepat bosan jika hendak mencapai
13 Cahya abang tuntung jenar, puniku suwasa murni,
kemuliaan karena memang demikianlah hukum yang
kalamun gawe suwasa, tembaga kang nora becik,
sudah tertuang dalam dalil
pambesate tan resik, utawa nom emasipun, iku
dipunpandhinga, sorote pasthi tan sami, pan suwasa 18 Marang leluhur sedaya, nggone nenedha mring
bubul arane punika. Widhi, bisaa ambabonana, dadi ugere rat Jawi, saking
telateneki, nggone katiban wahyu, ing mula mulanira,
Suasa murni berwarna merah kekuning-kuningan. jika
lakune leluhur dingin, andhap asor anggone anamur
membuat suasa dengan tembaga yang tidak baik,
lampah.
pegolahannya tidak bersih, atau masnya muda, maka
tidak akan bercahaya, namanya pun suasa bubul
Tafsir Kontekstual Perjanjian Baru 12

Seluruh leluhur jaman dulu dalam memohon kepada 23 Dene Ki ageng Sela, prasape ingkang tan keni, ing
Yang Mahakuasa agar dapat menguasai Negara dan satedhak turunira, nyamping cindhe den waleri,
menjadi pusat tanah Jawa diperolehnya melalui wahyu kapindhone tan keni, ing ngarepan nandur waluh, wohe
karena mereka rendah hati dalam melaksanakan laku tan kena dhahar, Panembahan Senopati, ingalaga
punika ingkang prasapa.
19 Tampane nganggo alingan, pan padha alaku tani,
iku kang kinaryo sasap, pamriha aja katawis, jub rina Adapun Ki Ageng Sela mengucapkan tabu, bahwa
lawan kabir, sumungah ingkang den singkur, lan endi keturunannya tidak diperbolehkan berkain cindai, tidak
kang kanggonan, wahyune karaton Jawi, tinampelan diperbolehkan menanam labu di depan rumah dan tidak
anggape pan kumawula. boleh memakan buahnya. Panembahan Senapati
Ingalaga mengucapkan tabu
Laku dilaksanakan secara diam-diam sambil bertani.
Sikap seperti itu dilakukan agar tidak kentara serta 24 Ingkang tedhak turunira, mapan nora den lilani,
bersikap tidak menyombongkan kemampuan diri anitiha kuda napas, lan malih dipun waleri, yen
bahkan mau mengabdi kepada siapapun yang nungganga turangga, kang kakoncen surinipun, dhahar
memperoleh wahyu keraton jawa. ngungkurken lawang, wuri tan ana nunggoni, dipun
emut punika mesthitan kena.
20 Punika laku utama, tumindak sarto kekaler, nora
ngatingalke lampah, wadine kang den alingi, Bahwa keturunannya tidak diperkenankan mengendarai
panedyane ing batin, pan jero pangarahipun, asore kuda berwarna abu-abu kekuning-kuningan dan
ngemurasa, prayoga tiniru ugi, anak putu aja ana dilarang menunggang kuda yang surainya dikepang,
ninggal lanjaran. makan membelakangi pintu kecuali di belakangnya ada
yang menjaga. Ingatlah dan jangan ada yang melanggar
(penyamaran) Itulah laku yang utama, tidak
itu
menampakkan bahwa ia sedang menjalankan laku,
sehingga yang disamarkan itu merupakan cita-cita 25 Jeng Sultan Agung Mataram, apan nora anglilani,
tersembunyi dalam hati, jauh dikejar karena di situlah mring tedhake yen nitiha, kapal bendana yen jurit,
manungaling kawula gusti mencapai kedalaman. Hal nganggo waos tan keni, lamun linandheyan wregu,
demikian baik jika ditiru, Anak cucuku agar tidak datan ingaken darah, yen tan bisa nembang kawi, pan
kehilangan keturunan prayoga satedake sinauwa.
21 Lan maning ana wasiyat, prasapa kang dingin Kanjeng Sultan Agung Mataram mengucapkan tabu
dingin, wajib padha kawruhana, anak putu ingkang bahwa keturunannya tidak diperkenankan menunggang
kari, lan aja na kang wani, nerak wewaleripun, marang kuda yang rewel jika diajak bertempur, tidak
leluhur padha, kang minulyakaken ing Widdhi, muga- memperkenankan tombak yang bergagang kayu wregu,
muga mufaatana ing darah. serta tidak akan diakui sebagai keturunan (Mataram)
jika tidak dapat membaca tembang kawi dan
Dan ada lagi wasiat berupa tabu yang terucap pada
mengharuskan belajar tembang kawi
jaman dulu. Wajib kau ketahui sebagai anak cucu yang
terakhir, dan jangan ada yang berani melanggar tabu 26 Jeng Sunan Pakubuwana, kang jumeneng ing
leluhur yang dimuliakan oleh Yang Mahaesa. Mudah- Samawis, kondur madek ing Kartasura, prasapanira
mudahan bermanfaat bagi keluarga besar anenggih, tan linilan anitih, dipangga saturunipun,
Sunan Prabu Mangkurat, waler mring saturunreki, tan
22 Wiwitan ingkang prasapa, Ki Ageng Tarup
rinilan ujung astana ing Betah.
memaling, ing satedhak turunira, tan linilan nganggo
keris, miwah waos tan keni, kang awak waja puniku, Kanjeng Sunan Pakubuwana yang dilantik di Semarang
lembu tan kena dhahar, daginge pan nora keni, kemudian berkuasa di Kartasura mengucapkan tabu
anginguwa marang wong wadon tan kena. bahwa keturunannya tidak diperbolehkan menunggang
gajah. Sunan Prabu Amangkurat mengucapkan tabu
Yang pertama kali mengucapkan tabu adalah Ki Ageng
bahwa keturunannya dilarang berziarah ke makam
Tarub. Ia berpesan agar keturunannya tidak
Butuh
mengenakan keris dan tumbak yang terbuat dari baja,
tidak boleh makan daging sapi, dan tidak boleh 27 Lawan tan kena nganggowa, dhuwung sarungan tan
memelihara abdi perempuan wandan mawi, kandelan yen nitih kuda, kabeh aja na kang lali,
lawan aja nggogampil, puniku prasapanipun, nenggih
Kang jeng Susunan, Pakubuwana ping kalih, mring
satedhak turunira linarangan.
Tafsir Kontekstual Perjanjian Baru 13

Jika sedang menungang kuda tidak boleh menyandang 31 Dene sesirikanira, yen tedhak ing Demak nenggih,
keris tanpa pendhok. Janganlah kau meremehkan tabu- mangangge wulung tan kena, ana kang nyenyirik malih,
tabu di atas. Adapun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana bebet lonthang tan keni, yeku yen tedhak Madiyun, lan
II mengucapkan tabu bahwa keturunannya dilarang payung dadaan abang, tedhak Madura tan keni, yen
nganggowa bebathikan parang rusak.
28 Dhahar apyun nora kena, sinerat tan den lilani,
nadyan nguntal linarangan, sapa kang padha nglakoni, Adapun tabu bagi keturunan Demak adalah
narajang waler iki, pan kongsi kalebon apyun, pasti mengenakan pakaian berwarna ungu, tabu keturunan
keneng prasapa, linabakken tedhakneki, Kanjeng Sunan Madiun adalah kain panjang luntang dan paying berhias
ingkang sumare Nglawiyan. merah, tabu keturunan Madura adalah mengenakan
batik bermotif parang rusak
Madat, baik dihisap maupun dimakan. Barang siapa
melanggar tabu dengan madat akan dikeluarkan dari 32 Yen tedhak Kudus tak kena, yen dhahara daging
daftar keturunan Kanjeng Sunan yang dimakamkan di sapi, yen tedhak Sumenep iku, nora kena ajang piring,
Laweyan watu tan den lilani, lawan kidang ulamipun, tan kena
yen dhahara, miwah lamun dhahar ugi, nora kena
29 Prasapa Kangjeng Susunan, Pakubuwana kaping tri,
ajang godhong pelasa.
mring satedhak turunira, apan nora den lilani, agawe
andel ugi, wong sejen ing jinisipun, apan iku Keturunan Kudus tidak boleh makan daging sapi,
linarangan, anak putu wuri-wuri, poma aja wani keturunan Sumenep tidak diperkenankan makan dengan
anrajang prasapa. piring batu, makan daging kijang, dan dilarang
menggunakan daun palasa sebagai alas makan
Adapun Kanjeng Susuhunan III mengucapkan tabu
bahwa keturunannya tidak diperbolehkan mengangkat 33 Kabeh anak putu padha, eling-elingan ywa lali,
orang kepercayaan yang bukan berasal dari bangsa prasapa kang kuna-kuna, wewaler leluhur nguni,
sejenis, serta anak cucu tidak diperkenankan melanggar estokna away lali, aja nganti nemu dudu, kalamun wani
larangan nerak, pasti tan manggih basuki, Sinom salin Girisa
ingkang atampa.
30 Wonten waler kaliwatan, saking luhur dingin dingin,
linarangan angumbaha, wana Krendhawahaneki, dene Semua anak cucu, camkan dan jangan lupa tabu zaman
kang amaleri, Sang Danan Jaya rumuhun, lan malih kuno warisan leluhur, patuhilah jangan sampai ada yang
winaleran, kabeh tedhak ing Matawis, yen dolana melanggar. Barang siapa berani melanggar pasti tidak
mring wana tan kena. akan selamat dan yang mendengar ini supaya
giris/takut/ngeri.
Masih ada tabu leluhur ang terlewat, yaitu dilarang
(girisa merupakan isyarat pola tembang berikutnya,
merambah Hutan Krendhawana. Adapun yang
yaitu girisa)
mengucapkan tabu tersebut adalah Dananjaya. Ada lagi
tabu bagi keturunan Mataram, yaitu tidak
diperkenankan bermain-main di hutan atau rawa-rawa

Anda mungkin juga menyukai