Anda di halaman 1dari 6

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD

PILIHAN REFLEKSI

Aku Bebas, Maka Aku Ada


Ayu Alfiah Jonas  28 Juni 2015  3 menit dibaca


“Manusia sama sekali bebas atau sama sekali tidak bebas.”
(Jean Paul Sartre)

Membaca Sartre ialah membaca kesangisan sekaligus tidak. Menguraikan ketiadaan,

sekaligus keadaan. Dalam membaca Sartre, mesti pelan dan hati-hati. Sebab filsafat yang

dicetuskannya, aliran eksistensialisme (kemudian berlanjut bahwa ini adalah kegagalan atas

materialisme dialektika Karl Marx) memang agak sulit dimengerti. Padahal eksistensialisme

hanya membahas perihal ada dan tidak ada—menidak dalam istilah Sartre. Maka, agar lebih

mudah dipahami, tulisan ini pun akan dibuat sesederhana mungkin.

Menolak nobel dan sangat anti-kapitalis, itulah Sartre. Ia adalah penulis paling berpengaruh

di abad ke-20. Sebelum Sartre, diyakini bahwa yang membedakan manusia dari hal

apapun di dunia ini ialah akal(kecerdasan) sebagai esensi (hakikat benar atau mutlak) yang

kemudian berkembang menjadi isme-isme (Hegel). Bagi Sartre, esensi tersebut tidak akan

muncul sebelum adanya eksistensi. Eksistensi muncul sebelum esensi.

Kesadaran merambat ke eksistensi kemudian esensi. Bagi Sartre, kesadaran di sini ialah

kebebasan yang menjadikannya Ada. Atau sebenarnya jika dicermati merupakan

kebingungan semata. Baginya, untuk menunjukkan kebebasan dan keadaan, perlu ada

perbedaan. Perbedaan itu direalisasikan dengan perilakunya seperti tinggal bersama

(kumpul kebo) dengan Simone de Beauvoir. Dengan perilaku menyimpang (pada

zamannya) Sartre sangat kuat menunjukkan eksistensinya.

Contoh kasus eksistensi semisal bentuk kondom (eksistensi) sekaligus kondom sebagai alat

kontrasepsi (esensi). Sedangkan manusia—menurut Sartre—berwujud (eksistensi) namun

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
tidak diketahui esensinya sebab tidak ada Tuhan yang menciptakan ide tentang manusia.

Manusia berbeda dengan benda-benda.

Ada dan Ketiadaan

Metode yang digunakan Sartre ialah fenomenologi, mencari inti dari segala inti. Awalnya,

manusia sadar akan keberadaan dirinya. Kesadaran dibahas dalam dua cara berbeda dalam

ada dan ketiadaan:

1. Etre-en-soi – Being it inself – Ada pada dirinya (It is what it is)

Menunjukkan cara eksistensi yang tertutup. Sepenuhnya identik dengan diri sendiri. Tidak

terdapat subjek-objek. Ada yang tidak berkesadaran. Contoh: Benda-benda seperti kotoran

ayam, kayu yang dimakan rayap, tiang listrik, dsb., dalam dirinya bukanlah apa-apa dan

akan menimbulkan rasa muak bagi Sartre.

2. Etre-pour-soi – Being for itself – Ada bagi dirinya

Menunjukkan cara berada manusia lewat kesadaran. Baru muncul setelah ada subjek dan

objek. Contohnya pandangan Sartre tentang hasrat. Ketika seseorang (manusia)

mempunyai hasrat untuk melakukan kegiatan seksual, maka ia sebagai subjek. Tatkala ia

menemukan objek seksnya, maka ia sendiri adalah subjek yang kemudian menjadi objek

oleh objeknya. Dalam hal ini, seorang yang berhasrat menyadari bahwa ia sedang

berhasrat dan membenci itu. Sedang ia sadar bahwa berhasrat semisal akan menimbulkan

masalah maka ia membencinya.

Jadi, yang dikehendaki belum ada dan yang tidak ada tidak dikehendaki. Manusia selalu

meniadakan. Itulah yang disebut “ada” selalu menuju “ketiadaan”. Manusia terus bergerak.

Kebebasan

Sartre mendefinisikan manusia sebagai kebebasan. Kebebasan= kesadaran yang menidak

(negasi). Dan hanya manusia yang bisa mencapai taraf eksistensi mendahului esensi.

Misal: Fedullah adalah jomblo. Selama ia masih hidup, ia bisa mengatakan “tidak” atau “ya,

sampai sekarang. tetapi tidak lagi.” Ketiadaan memisahkan manusia dari esensi (sebab tidak

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
ada eksistensi). Baru setelah meninggal dunia mampu dicari ciri-ciri hakiki selama

hidupnya.

Demikianlah Sartre menjelaskan bahwa dengan menunjukkan kebebasan maka kita sadar

dan ada. Ada baginya bukanlah fenomen, tapi transfenomenal (pengenalan subjek). Cogito

versi Sartre adalah bukan subjek, dan juga bukan pengenalan diri (ada) melainkan kehadiran

pada dirinya secara nontematis. Kecemasan menyatakan kebebasan. Rasa muak

menyatakan “ada”.

Ayu Al ah Jonas
Penulis adalah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tulisan ini dibuat

untuk presentasi serial diskusi filsafat dengan tokoh Jean Paul Sartre di

Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci), pada tanggal 09 Juni 2015, pukul

19.30 WIB.

VIEW ALL POSTS

 Tradisi dan Pembaruan: Ikhtisar


Zionisme: Sejarah dan Doktrin

Pemikiran Hasan Hanafi

Add comment

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
Comment

Name * Email * Website

SUBMIT COMMENT

You may also like

PILIHAN REFLEKSI PILIHAN REFLEKSI

Benang Kusut dalam Kepala Manchuria


Pada pertengahan tahun 2017, seorang Formaci – Jauh sebelum coronavirus

anak laki-laki bernama Furqon, 10 tahun, desease 2019 alias Covid-19 menjangkiti,

asyik membuang wajahnya ke luar kaca jauh sebelum penyakit ebola dan SARS

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD
mobil. Ia mengamati seluruh objek yang sayup-sayup tampak tak terdengar lagi,

ditangkap matanya selama mobil kira-kira pada awal-awal abad ke-20 atau

Redaksi Redaksi

PILIHAN REFLEKSI

Belajar dari Lima Bala


Menular (1)
Formaci – 2 Maret lalu kita termenung

sesaat, lalu kemudian terkejut sekaligus

menjerit dalam hati soal kenyataan bahwa

negara ini tidaklah ampuh virus corona. Di

t l it S i i Pr id J k

Redaksi

Formaci - Forum Mahasiswa Ciputat

Create PDF in your applications with the Pdfcrowd HTML to PDF API PDFCROWD

Anda mungkin juga menyukai