Anda di halaman 1dari 4

(62) 812 245 6452

 Keranjang Belanja

Search ... 

OBOR REVOLUSI SASTRA KOMUNIS

by Ultimus  Tulisan 11 May 2020

ADD TO CART
Gelora Api 26
Rp 25,000

Oleh: Fahrudin Nasrulloh*

Jejak dari Pojok Kampung


Ada persepsi miring dan kelam hingga kini ihwal gerakan Partai Komunis Indonesia. Pertarungan politik dan ideologi dari masa ke
masa memiliki momentum masing-masing.

Di negeri ini penistaan dan pengasingan eks PKI atau yang berada di selingkungannya, baik keluarga maupun sanak saudara.
Peristiwa Gestapu 1965 menggebyah semua itu. Sejarah komunisme di Indonesia kian memerah.

Satu-satunya saksi di mana kita bisa belajar bersama adalah dengan apa semua itu terkabarkan dan tertuliskan. Yang terceritakan
barangkali sudah jarang kita temukan, lebih-lebih bagi generasi muda sekarang. Saya termasuk generasi yang lahir pada 1970-an
yang di masa kecil saya benar-benar dihantui akan cerita-cerita “lubang buaya”. Terutama saat menonton film G 30S/PKI besutan
Arifin C Noer itu. Umpatan giris  “Darah itu merah, jendral!”, kala sosok perempuan di film itu mengayunkan silet di tangannya lantas
mengiris pelan-pelan wajah sejumlah jendral, betapa masih terekam sampai sekarang. Lalu cerita-cerita itu bermunculan sendiri
kala film tersebut usai atau di waktu lain saat jagongan dengan orang-orang tua tetangga saya yang mengalami masa gelap 1965
itu.

Lek Ndani, diceritakan sebagai penjagal PKI dari barisan Anshor yang disokong TNI di Jombang. Ia pernah menangkap (dan banyak
pula orang PKI yang telah dibantainya) dan menggeret seorang Gerwani (atau yang disangkanya Gerwani) ke pinggir pohonan pring
di belakang rumahnya, di dekat persawahan. Gerwani itu dihajar disiksa, disiset kulitnya dalam sehari beberapa kali, agar ia bicara,
agar ia bersuara. Tapi tidak. Lek Ndani pun mengajak tetangganya untuk melakukan hal yang sama, sesukanya dengan alat apa
saja. Dalam waktu 3 hari yang perih-panas menyayat kuping, Gerwani itu mati, dan sekarang ia menjadi cerita setan yang
gentayangan yang di malam-malam tertentu menghantui orang-orang yang lewat di situ.

Cerita itu menjadi “daging” memori yang tak pernah hilang. Penyembelihan dan pembantaian yang serupa ini banyak terjadi juga di
daerah mana saja. Tidak hanya di buku-buku sejarah. Adik kakek saya, Man Lik, tinggal di kampung Njajar Santren. Semasa
hidupnya sangat bergelora dengan jiwa berjihad kala membabarkan pengalamannya tersebut kepada saya saat dia di Anshor dulu.
Ia bersama 2 atau 3 temannya ditugasi menjagal orang-orang PKI (atau eks yang disangka PKI) yang kebanyakan terdiri dari para
perempuan dan anak-anak. Ilmu kesaktian dan aji-aji kekebalan mereka tidak lagi diragukan. “Ada Gerwani yang hamil tua. Tapi ia
harus disembelih. Agar saya tega dan tidak dihantuinya, maka, setelah menggorok dan memutuskan lehernya, saya angkat
potongan kepala itu tinggi-tinggi, lalu darah mengucur deras dan saya mengglogoknya hingga tetes terakhir,” begitu ceritanya.

Di daerah Kecamatan Wonosalam yang berhutan, di Jombang, yang kaya akan buah duren pertaniannya, diceritakan merupakan
markas tentara dan simpatisan PKI dan menjadi tempat persembunyian pasca kegagalan Gestapu. Pun cerita Ludruk Arum Dalu
dari Mojoagung yang merupakan underbow-nya Lekra yang disikat habis Anshor dan TNI di tahun 1965. Dalam penelitian ludruk
Jombang yang kini sedang saya kerjakan hampir 2 tahun sejak 2008, saya belum menemukan seorang pun narasumber terpercaya
dari anggota ludruk tersebut.

Cerita macam itu terus merayap dari telinga ke telinga. Berlelayapan sendiri. Seperti kabar burung tanpa sayap. Yang fakta bisa jadi
fiksi, yang fiksi tiba-tiba bisa jadi fakta. Atau mungkin berada di tengah-tengahnya. Lek Ndani, Man Lik, dan orang-orang tua
tetangga saya, beberapa sesepuh ludruk Jombang yang lamat-lamat mengingat tragedi Ludruk Arum Dalu adalah contoh dari
sepersekian cerita yang berserak dari peta sejarah pergolakan politik-ideologi di negeri ini yang luput tercatat.

Obor Pemberontakan PKI 1926


Mereka yang tersunyikan dan terbisukan. Dan para eksil juga sastrawan Lekra, hanyalah bagian kecil yang mencoba menyuarakan
kebisuan dan kesunyian itu. Misalnya Pramoedya Ananta Toer dengan karya-karyanya. Namun yang perlu kita cermati adalah
pergerakan PKI yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Hindia Belanda dan antek-anteknya pada 12 Desember
1926. Ini menjadi tonggak penting dalam kesejarahan perjuangan Indonesia melawan imperialisme bahkan sebelum munculnya
Sumpah Pemuda 1928. Dan peran sastra yang disorong para penulis komunis masa itu membuktikannya.

Pemberontakan 1926 telah menjadi catatan sejarah tersendiri dan dapat kita hikmati dalam kumpulan cerpen dan puisi Gelora Api
26 (Ultimus, Bandung: 2010). Sejumlah cerpenis tertoreh di sana:  Zubir.A.A., Agam Wispi, Sugiarti Siswadi, S. Anantaguna, T.
Iskandar A.S., A. Kembara. Sedang para penyairnya ada Alifdal, Chalik Hamid, Anantya, Nurdiana, Mahyuddin, Mawie Ananta Jonie,
M. D. Ani, dan Z. Afif. Seperti cerpen berjudul “Sukaesih” karya sugiarti Siswadi, yang dibuka dengan baris-baris ini:

Darah siapakah yang menggenang merah


membasahi bumi priangan?
Ah, itulah darah Haji Hasan
dipotong seanak-bininya…
dan si perampok berkulit putih
mengamankan goloknya

Cerpen tersebut, dengan balutan estetika realis, mengisahkan secara apa adanya akan kegigihan seorang Sukaesih dalam
menjalankan tugas-tugasnya sebagai komunis tulen. Dalam cerpen Agam Wispi “Rapat yang Penghabisan”, ia melukiskan tokoh-
tokohnya yang sehabis melakukan rapat ditangkapi polisi Belanda. Yang menarik juga, tokoh komunis perempuan, Upik, yang cantik
tapi bisu dengan kalimat: “Kecantikan yang menggoda dan kebisuan yang gelap hanyalah riak di permukaan air bagi mereka yang
tak mengenalnya.” Tokoh Upik inilah, yang tetap bertahan menyimpan semua ingatan dari kegagalan rapat partai. Puisi-puisi di
dalamnya menyiratkan slogan dan yel-yel perjuangan. Misalnya Anantya, dengan puisi “Mengangkat Tinggi Panjimu”. Puisi ini
melukiskan gigihnya perjuangan yang akhirnya berujung kegagalan, namun si penyair tetap berseru: “Obor yang dinyalakan di
malam gelap gulita ini, Kami serahkan kepada angkatan kemudian.” Dan puisi Nurdiana “November Bulan Historis” memuncaki
pergolakan batinnya dengan penggalan bait puisi yang terakhir: Pemberontakan tahun dua enam, Sangkakala revolusi Indonesia!

Tanah Merah Boven Digul


Pemberontakan PKI tahun 1926-1927 yang gagal terhadap pemerintahan Hindia Belanda mengakibatkan banyak pejuang PKI yang
diasingkan ke Boven Digul, di rimba raya Irian. Koesalah Soebagyo Toer memberi kesaksian dalam bukunya Tanah Merah yang
Merah: Sebuah Catatan Sejarah (Ultimus, Bandung: 2010). Tan Malaka menyesalkan pemberontakan yang belum matang itu. Juga
Stalin yang meminta agar pemberontakan itu dibatalkan setelah ia mendapatkan laporan dan Muso dan Alimin. Tapi
pemberontakan itu tetap dilancarkan, dan memang benar-benar diporak-porandakan. Kegagalan ini wajar, Vladimir Lenin dengan
partainya juga berkali-kali hancur sebelum sukses besar dengan revolusi sosialisnya tahun 1917. Fidel Castro pun juga pernah
mengalami kehancuran bertubi-tubi, sebelum ia bangkit kembali menancapkan revolusi sosialnya yang pertama kali di benua
Amerika tahun 1959.

Akibat besar dari kegagalan pemberontakan PKI 1926 sebagaimana yang ditulis Koesalah adalah harga mati yang mau tidak mau
harus dibayar oleh mereka-mereka yang dibuang ke Digul. Menurut Darman, anak Digul putra Dardiri Soeromidjojo, perlawanan
tersebut adalah pemberontakan nasional Indonesia yang pertama menentang kekuasaan kolonial Belanda. Persiapannya dilakukan
di seluruh wilayah Indonesia: tidak hanya di Jawa, Sumatra, tapi juga di Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan Nusa Tenggara. Kendati
semua itu dapat ditekuk Belanda. Kehidupan para tawanan di Digul, seperti digambarkan Rudolf Mrazek dan Takashi Shiraishi,
benar-benar merusak. Merusak segala sendi kenormalan. “Rumah sakit gila”, terjangan malaria, TBC, kuburan impen-impen
nasionalisme, pembuntungan cita-cita politik yang tak dapat lagi dipertahankan: dan itulah yang diharapkan Gubernur Jendral de
Graeff.

Catatan sejarah Soebagyo tersebut mengingatkan kita pada pengalaman pahit I.F.M. Chalid Salim, adik H. Agus Salim, di Tanah
Merah dalam bukunya Lima Belas Tahun Digul: Tempat Persemaian Kemerdekaan Indonesia (Bulan Bintang, Jakarta: 1977), dan
pertama kali diterbitkan penerbit Contact dalam bahasa Belanda tahun 1973. Sejarah kamp konsentrasi Hindia Belanda ini bahkan
jarang ditulis oleh orang Belanda. Karya Balans van Beleid yang ditulis Baudet dan Brugmans, hanya sepintas lalu menyebut Digul.
Padahal sejarah kamp Digul yang terentang sejak 1928 sampai 1943 bisa menyibak banyak hal dalam kesejarahan Hindia Belanda
dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selain Salim dan catatan sejarahnya itu, ada sosok Uska misalnya, yang bagi peneliti D.
van der Meulen seperti yang dikutip W. Schermerhorn dalam mengapresiasi buku ini, lebih perih penderitaannya ketimbang yang
diceritakan Salim. Meulen yang saat itu menjadi amtenar (pangreh praja) sempat bertemu Uska di Tanah Tinggi. “Ia digulis yang
pantang menyerah. Ia tidak bisa ditaklukkan. Pada dirinya tersembunyi kepahitan, daripada jiwanya Salim,” kenangnya dalam karya
yang ia tulis Ik Stond er Bij.

Digul bagi Salim adalah lambang perziarahan politik yang nyaris dilupakan Soekarno. Ia meratap dan minta ampun agar tidak
dibuang ke Digul. Ini pengakuan Moh. Hatta, yang pernah jadi digulis bersama Sutan Syahrir. Belanda mengabulkan, dan
mengasingkannya ke Flores, tentu dengan pertimbangan supaya si bung besar itu jiwanya “melembek”, dan tidak tambah berkobar
bila ia didigulkan. Saat ia suatu hari terbang di atas tanah merah tahun 1963, ia hanya memberi penghormatan dari ketinggian
udara, mungkin gentar dengan kamp neraka politik itu. Tapi Cindy Adams mencatat keharuan Soekarno: “Banyak komunis yang
tubuhnya mengisi kuburan-kuburan tak bernama di Digul, mereka adalah pejoeang-pejoeang untuk kemerdekaan kita! Mereka tetap
merupakan patriot besar!”

Karya-karya mantan digulis tidak sekedar catatan perjalanan, namun sebuah tindakan pembangkitan, sarana proletariat melawan
kolonialisme, mengumpulkan jejak sejarah yang tercecer sebagai bandingan dari dokumen-dokumen Belanda yang sepihak. Agar
suara-suara silam yang terbungkam terkubur, tidak disirnakan. 
 
Dari Memoar Hingga Catatan Perjalanan
Kawula muda sekarang mungkin bertanya, komunisme itu apa? Tentu komunisme mengeram sejarah panjangnya sendiri. Boleh jadi
gambaran entengnya seperti ini: “Sebelum menjadi apa-apa jadilah dulu seorang komunis”. ungkapan ini dirumuskan oleh generasi
sosialis di kemudian hari yang disuling dari pemikiran seorang penyair sosialis Rusia, Nekrassov. Apa kiranya yang kita pahami
tentang karya sastra yang dilahirkan dari ketegangan antara ideologi politik realisme sosialis dengan ideologi kapitalisme? Fakta
sejarah baik berupa karya sastra, memoar, catatan perjalanan, maupun penelitian telah banyak mengabarkan kepada kita. Di
antaranya adalah sebuah memoar yang berjudul Azalea: Hidup Mengejar Ijazah (Klik Books, Jakarta: 2009) yang dianggit secara
prosais oleh Asahan Alham, adik DN. Aidit dan Sobron Aidit. Nuansa petualangan romantik dengan latar tahun sekitar 1960-an ini
padat-rinci dengan penghadiran tokoh sentral, Sulaiman. Pergolakan revolusioner kaum sosialis (PKI) hanya dijadikan lanskap,
namun justru dari situlah kita dapat melihat sisi lain dan kepiawaian Asahan dalam mengolah kembali cerita-cerita masa lalunya.

Tatiana Lukman adalah seorang eksil dari pasangan M.H. Lukman (1920-1965) dengan Siti Niswati. Ayah Tatiana merupakan sosok
penting di teras pimpinan PKI dan wakil ketua DPR Gotong Royong pada masa pemerintahan Presiden Soekarno di era 60-an.
Sebagai anak dari tokoh PKI, Tatiana juga terkena imbas. Studinya di Tiongkok morat-marit dari tahun 1964-1966. Lalu pindah ke
Kuba, kemudian ke Habana, Perancis, menjadi pengajar bahasa Perancis selama 12 tahun. Terakhir ia tinggal di Amsterdam, dan
dari semua perjalanan itu ia terus mencatat kembara pengasingannya dalam bentuk novel Pantha Rhei dan memoar yang berjudul
Pelangi (Ultimus, Bandung, 2010).

Kita juga bisa menyimak buku Perjalanan Jauh: Kisah Kehidupan Sepasang Pejuang (Ultimus, Bandung: 2010) karya M. Ali
Chanafiah dan Salmiah Pane. Buku ini menceritakan perjalanan hidup mereka sebagai sepasang suami-istri yang ikut-andil dalam
perjuangan kemerdekaan RI. Kisah tentang sebuah keluarga, dengan gaya penceritaan kakek-nenek kepada anak-cucunya. Sosok
Pak Ali, yang pernah menjabat sebagai Duta Besar RI di Srilanka pada 1965, lebih cenderung sebagai pendidik, ketimbang politikus,
sebagaimana yang dituturkan Asvi Varman Adam dalam pengantarnya. Ia pernah berjumpa dengan Pak Karno secara intens ketika
proklamator itu diasingkan ke Bengkulu. Sedang istri Ali, Salmiah Pane, merupakan adik dari Sanusi Pane dan Armijn Pane, dua
sosok yang tidak asing lagi dalam khazanah sastra Indonesia. Karya dari dua pengarang ini penting jadi bacaan yang berharga bagi
masyarakat, untuk dapat meneladani kegigihan, watak kebangsaan, ketabahan, dan perjuangan nasionalisme yang tak kenal lelah.

Peran Sastra Realisme Sosialis dan Sastra Kita Kini


Tema kerakyatan dan spirit revolusiner dalam karya sastra realisme sosialis adalah “sastra keterlibatan” yang penuh seluruh
terhadap kecamuk problematik kehidupan. Kendati kebenaran realisme sosialis yang diperjuangkan oleh sastrawannya adalah
kebenaran doktriner sebagaimana yang ditancapkan Marxisme-Leninisme. Tapi itu hanyalah salah satu jalan. Watak berkarya
mereka demi membangun  militansi mempertahankan kemandirian berpikir dan mengembangkan antikapitalisme internasional.
Tidak kenal kompromi, tak kenal menyerah. Ini terlukis dalam pemikiran Maxim Gorki, lewat novelnya Ibunda, menjadikan tonggak
penting realisme sosialis dalam seni dan gagasan menatap hari depan, tidak patah arang sebab tangisan dan rengekan, melainkan
bahwa cita-cita dan idealisme harus diperjuangkan dan terus dibangkitkan. Gorki sebagai sastrawan terkemuka Rusia tak
memencilkan diri di menara gading, juga tak nyebut diri “pengarang murni”, yang hanya mau tahu dirinya sendiri. Sastra yang tidak
hanya untuk sastra, namun keterlibatan sastrawan dengan kenyataan riil, misalnya politik, adalah suatu keharusan. “1001 kali
seniman tidak berpolitik, 1001 kali pula politik akan mencampuri seniman,” demikian ungkapan tokoh Lekra Joebaar Ajeob.

Maka seniman harus tahu dan memahami politik, sejarah, dan ekses dari pengaruh luar yang menggerogoti nasionalisme dan
watak kebudayaan bangsanya. Ia tak musti masuk partai. Tak alergi dengan politik. Kita bisa merujuk hal-ihwal karya yang
bersinggungan dengan itu misalnya pada Komedi Manusia karya Balzac, Anak Revolusi karya Balfas, sajak “Diponegoro” karya
Chairil Anwar, Percikan Revolusi dan Di Tepi Kali Bekasi karya Pamoedya Ananta Toer, Rasa Mardika karya Marco Kartodikromo,
puisi “Elegi Jakarta” karya Rivai Apin, dan lain-lain. Sastra harus mempunyai fungsi sosial, mengabdi pada rakyat, dan beroriantasi
dialektik dengan kenyataan, bahkan dapat diterapkan dalam kepartaian, seperti gagasan Lenin tahun 1905, untuk menjadi bagian
penyokong mekanisme sosial-demokratik.

Bagaimana dengan sastra dan pengarang-pengarang muda saat ini? Tentu bukan sekadar merayakan dan mengurusi diri sendiri
dalam kebebasan berkarya, dan tantangan itu sekarang lebih kompleks dan tersamar, di mana kini media teknologi kian canggih
(fenomena bersastra via facebook misalnya), ruang dan kesempatan berdiskusi kecil-kecilan mengudar aneka gagasan makin
sempit dan mahal, yang mana semua pergeseran itu dengan sendirinya melahirkan eksklusivitas, kejumudan, dan kepicikan.

Anda mungkin juga menyukai