Anda di halaman 1dari 4

TUGAS

PENGKAJIAN SENI BUDAYA ETNIK


Nama : Arita Bagja Pramudita

NIM : 224143006

KARAWITAN JAWA

Karawitan berasal dari kata rawit, yang mendapat awalan ka dan akhiran an. Rawit berarti
halus, lembut, lungit. Secara etimologis, istilah “karawitan” juga ada yang berpendapat berasal
dari kata rawita yang mendapat awalan, ka dan akhiran an. Rawita adalah sesuatu yang
mengandung rawit. Rawit berarti halus, remit. Kata rawit merupakan sifat yang mempunyai
arti bagian kecil potongan kecil, renik, rinci, halus, atau indah (Suwandi Endraswara, 2008:23).

Karawitan mempunyai dua arti yakni : arti umum dan arti khusus. Dalam arti umum,
berarti music Jawa tradisional, dalam arti khusus adlaah seni suara vocal, yang dikemas dengan
instrumentalia yang berlaras slendro dan pelog. Secara khusus, istilah karawitan lebih mengacu
pada pengertian seni suara yang menggunakan gamelan laras slendro dan laras pelog. Dalam
pengertian umum dan khusus itu, lalu muncul berbagai istilah lain yang disebut gendhing sekar
dan sekar gendhing. Gendhing sekar, adalah alunan suara dalam karawitan yang dibarengi
sekar (tembang). Sedangkan sekar ini tergantung aspek yang dominan unsur apa. Jadi
karawitan adalah sebuah garapan manis antara vocal dan gamelan sehingga membentuk alunan
suara yang indah dan nikmat (Suwandi Endraswara, 2008:25).

Selain itu, gangsa yang merupakan kata lain dari gamelan juga mempunyai arti tersendiri
yang menunjukan latar belakang filsafat diciptakanya alat tetabuhan ini. Bahwa menurut
masyarakat Jawa, gangsa mengandung arti, Gang = gegandundhulaning urip (pegangan
utama hidup) dan Sa = rasa. Jadi gangsa ialah pegangan utama hidup yaitu rasa. Jarwodhosok
semacam ini mengarah pada filosofi gamelan secara menyeluruh. Gamelan itu sesungguhnya
juga gambaran hidup kita (Suwangdi Endraswara, 2008:44).
POLA LIMA DALAM GAMELAN JAWA

Secara filosofis gamelan Jawa merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan masyarakat Jawa. Hal demikian disebabkan filsafat hidup masyarakat Jawa
berkaitan dengan seni budayanya yang berupa gamelan Jawa serta berhubungan erat dengan
perkembangan religi yang dianutnya.

Dalam kitab Manik Maya berisi kisah genesis atau terjadinya alam semesta dan isinya,
menurut masyarakat Jawa. Kitab serupa itu telah ada pada zaman Jawa Tengahan sekita abad
15-16, yakni Tantu Panggelaran. Pada mulanya adalah kosong, belum ada langit dan bumi.
Yang ada pertama adlaah Sang Hyang Wisesa, diam di tengah kekosongan. Pikirannya tertuju
kepada Mahapasti, menunggu keputusanNya melahirkan keberadaanya sendiri. Kemudian
terdengar suara genta, dan sebuah benda berbentuk mirip telur, muncul ditengah-tengah
kekosongan. Sang Hyang Wisesa segera memegang telur itu, dandarinya terciptalah bumi-
langit, awan dan cahaya, Manik dan Maya. Semua itu menyembah kepada Sang Hyang Wisesa
(Prof.Jakob Soemardjo, 2014:283).

Usaha manusia Jawa ini dapat dilihat dari semua tingkah laku, benda-benda pakai yang
dibuatnya, mantra, sesajen, tempat-tempat alamiah, sikap serta gagasan-gagasannya. Struktur
rumah Jawa dibangun berdasarkan faham manunggaling kawula gusti, dengan bagian “telur”,
“tengah” dan “dama”, “bawah”, “tengah”, dan “atas”.

Dalam perangkat karawitan Jawa dikenal dengan Titilaras. Titilaras artinya tulisan atau
tanda sebagai penyimpulan nada-nada yang sudah tertentu tinggi-rendahnya. Fungsi titilaras
untuk mencatat notasi gendhing atau tembang yang diperlukan dalam belajar karawitan atau
tembang. Titilaras yang akan menentukan sebuah permainan gamelan. Titilaras dalam
gamelan ada dua macam yaitu Titilaras Slendro dan Titilaras Pelog. Prof. Jakob Soemardjo
menggambarkan Pola Lima dalam Titilaras Slendro, yaitu sebagai berikut :

Penunggul : 1 : Siii (ji) = Barang = Wujud

Gulu : 2 : loro (ro) = Gulu = Jalan

Dhadha : 3 : telu (lu) = Dada = Hidup

Lima : 5 : lima (ma) = Limo = Nafsu

Nem : 6 : enem (nem) = Roso Sejati = Rasa


Dalam karawitan Jawa juga dikenal adanya harmoni, yaitu paduan laras yang berbeda
tinggi/jenisnya (vertical dan horizontal). Ada beberapa istilah harmoni yang sangay popular
dipergunakan dalam karawitan Jawa, yaitu ; (1) kempyang, artinya harmoni dua nada yang
selisih jaraknya dua nada yang lain (misalnya 1 dan 5, 2 dengan 6). (3) gembyung (salah
gumun), artinya haromoni dau nada yang diberi sela satu nada yang lain, (misalnya 1 dan 3, 2
dan 5, 3 dan 6 dst). Demikian dapat kita lihat bahwa segala kegiatan yang bermakna transenden
selalu merupakan harmoni dari dua pasangan kembar yang saling bersebrangan. Inilah inti
“agama” Jawa, baik meliputi keimanan, upacara, mitologi (kitab suci), kepemimpinan
religious, etika adat, yang semuanya bertolak dari Manik-Maya.

POLA TIGA DALAM RICIKAN GAMELAN JAWA

Ricikan (waditra) adalah nama semua instrument gamelan. Alat-alat bunyi gamelan itu
disebut ricikan, baik yang tabuh satu maupun yang tabuh dua. Bahkan ada pula ricikan yang
digesek, dipetik, dan disebul. Pada dasarnya ricikan gamelan dibagi menjadi tiga macam,
menurut bentuk dan ujudnya (Widodo, 1996:1), yaitu : (a) Bilah, ujud dan bentuknya seperti
bilah. Yang termasuk ricikan bilah, antara lain : Demung, Selenthem, Saron Barung, Saron
Penerus, Gender Ba-rung, Gender Penerus, Gambang (bilah kayu) ; (b) Pencon atau pencu,
ujud dan bentuknya seperti pen-con atau pencu (ricikan yang mempunyai pencon atau pencu).
Yang termasuk ricikan pencon/pencu, antara lain : Kenong, Kempul, Gong Besar, Gong
Suwukan, Bonang Barung, Bonang Penerus, Kethuk, Kempyang, Engkuk-Kemong ; (c)
Bentuk lain-lain, ujud dan bentuknya tidak sama dengan diatas. Yang termasuk bentuk lain,
yaitu : Siter, Rebab, Kendang, Suling, dan Kemanak (Suwandi Endraswara, 2008:46).

Jika dikaitkan dengan pola tiga dalam ricikan gamelan Jawa, bahwa tabuh satu(Bilah),
diantaranya Demung, Selenthem, Saron Barung, Saron Penerus, Gender Barung, Gender
Penerus, Gambang (Bilah Kayu) digambarkan sebagai ‘Kehendak’. Tabuh dua (Pencon),
diantaranya, Kenong, Kempul, Gong Besar, Gong Suwukan, Bonang Barung, Bonang Penerus,
Kethuk, Kempyiang, Engkuk-Kemong, digambarkan sebagai ‘Pikiran’. Sedangkan bentuk
lain, yaitu : Siter, Rebab, Kendang, Suling, dan Kemanak, digambarkan sebagai ‘Tindakan’
atau ‘Kekuatan’, merupakan terjemahan dari dua entitas yang antagonistic, yakni kehendak dan
pikiran, rasa dan nalar, atau perbuatan. Tekad, ucap disatukan dalam laku. Tetapi laku itu pula
yang memisahkan antara tekad dan ucap, naluri dan pikiran, bawah sadar dan kesadaran.
Tingkah laku seseorang itu cermin dari pikiran dan kehendaknya.
Kebutuhan pentingnya gamelan bagi hidup manusia memang sudah tidak dapat ditawar-
tawarkan lagi. Tiap jengkal hidup yang mengenal seni, sebenarnya akan terkait dengan suara
gamelan. Trimanto (Purwadi dan Widayat, 2006:10) menguraikan Panjang lebar tentang fungsi
gamelan jawa. Bagi masyarakat Jawa gamelan mempunyai fungsi estetika yang berkaitan
dengan nilai-nilai social, moral dan spiritual

Batas bersifat paradoksial, karena memisah namun menghubungkan juga, akibat tidak
adanya jarak antara kedua entitas. Jika ada batas pun amat tipis. Batas ini merupakan entitas
ketiga yang menghubungkan sekalugus memisahkan dualism antagonistic entitas-entitas
lainya. Itulah sebabnya batas, adalah sacral karena nilai paradoksialnya (Prof. Jakob
Soemardjo, 2014 : 174).

Anda mungkin juga menyukai