Anda di halaman 1dari 9

Rangkuman Buku Teori Pathet

Karya Sri Hastanto

Mata Kuliah Teori Pathet

Oleh:

Langgeng Adi PS 211111054

Program Studi Seni Karawitan

Jurusan Seni Pertunjukkan

Institut Seni Indonesia Surakarta


BAB I

Ribuan genre musik tradisi di Indonesia, karawitan merupakan salah satu yang
terbesar dan yang telah mengintemasional karena kerumitan (sophesticated), keindahan
(aestetic), keunikan (excotic), dan vertuositas para pemainnya di dalam menyajikan
gending-gending (pieces). Dalam keempat syarat unggulan itu, pathêt mempunyai peranan
yang sangat penting. Pathét yang akan kita ungkap misterinya di dalam buku ini adalah
sebuah konsep musikal khususnya yang terdapat di dalam karawitan elite Jawa Tengah.

Disebut secara eksplisit kata Jawa Tengah, sebab ada juga kara- witan elite Jawa
Barat, Bali dan Jawa Timur yang juga mempunyai konsep musikal semacam pathét ini.
Dengan disebutnya Jawa Tengah maka teba diskusi yang digelar di dalam buku ini dibatasi.
Dalam kenyataan sehari-hari kata Jawa Tengah kemudian berarti lebih administratif (seperti
dalam frasa Provinsi Jawa Tengah), maka dalam konteks budaya kata 'tengah'-nya
dihilangkan. Hal ini cukup beralasan, sebab untuk budaya Jawa Barat, kata "Sunda¹" akan
lebih mengena; untuk Jawa Timur, lebih mantap kalau disebut Jawa Timuran. Dengan
demikian kiranya istilah yang penulis gunakan cukup dengan karawitan Jawa saja.

Batasan berikutnya adalah dengan disebutnya kata 'elite' yang merujuk pada kelas
masyarakat karawitan yang teratas yang ber- kembang di daerah urban dengan berbagai
fasilitas modernnya. Para anggota masyarakatnya mempunyai edukasi yang cukup dan
karawitan yang dimilikinya masih sangat tebal benang merahnya dengan karawitan keraton
yang merupakan karawitan di mana para seniman dan empu besar telah menanganinya
secara cermat selama ratusan tahun. Karawitan yang sudah dalam tataran sangat tertata
itulah yang diwarisi oleh masyarakat elite karawitan di Jawa. Warisan yang sangat berharga
ini dikawal kehidupannya sampai pada saat ini. Untuk memudahkan dan demi kepraktisan
penulisan, pengertian yang telah terurai panjang lebar itu di dalam buku ini disebut secara
ringkas, "karawitan Jawa." Penelitian tentang konsep pathét dari karawitan itulah yang akan
dibahas di dalam buku ini.

Buku ini memegang teguh prinsip etnomusikologi, yaitu dalan mengolah dan
memaknai data selalu menggunakan kacamata budaya dan kebiasaan yang dilakukan di
dalam masyarakat ber budaya Jawa. Data yang dimaksud di dalam buku ini adalah segala
sesuatu baik itu benda fisik, peristiwa musikal, dan perasaan manusia beserta perubahannya
yang mempunyai sangkut paut langsung maupun tidak langsung dengan terbentuknya rasa
pathet pada sebuah melodi.
Pathét adalah salah satu konsep musikal di dalam karawitan Jawa, dan kiranya semua
tahu bahwa karawitan Jawa merupakan salah satu karya budaya Jawa, maka kehidupan
karawitan Jawa dibungkus oleh budaya Jawa termasuk berbagai istilah teknis yang hidup
dan dipergunakan dalam karawitan Jawa itu. Dengan demikian sudah selayaknya kalau
istilah-istilah teknis dalam karawitan itu juga menggunakan Bahasa Jawa yang penulisannya
menggunakan aksara Jawa. Bahasa Jawa yang dipergunakan sebagai komunikasi segala
macam keperluan hidup berbudaya masyarakat Jawa, dalam bentuk tertulisnya diwadahi
dalam 20 bentuk aksara Jawa dilengkapi dengan 9 sandhangan.

Piranti atau tools, yaitu segala bentuk benda fisik karawitan dan konsep-kosep dalam
karawitan, serta kebiasaan budaya (cul tural habit) masyarakat Jawa yang nantinya
mempunyai sangkut paut dengan terbentuknya rasa pathêt serta mempengaruhi tumbuhnya
rasa pathét, akan diuraikan di dalam BAB-II.

BAB II

Piranti analisis yang akan digunakan dalam mendekati konsep pathêt di sini terdiri
dari berbagai pengetahuan karawitan Jawa baik yang bersifat tangible maupun intangible;
baik yang dikembangkan dari karawitan itu sendiri (tekstual) maupun segala sesuatu yang
berkaitan dengan kehidupan karawitan Jawa ini terutama budaya masyarakat pemiliknya
(kontekstual). Tanpa membeberkan piranti ini maka diskusi yang bersifat kultural maupun
yang teknis, akan selalu mengalami gangguan karena harus menjelaskan piranti itu sehingga
dapat memutus alur diskusi. Bila boleh dianalogkan dengan rumah maka piranti yang akan
kita gunakan untuk mendekati konsep pathêt dalam karawitan Jawa ini seperti mengenal
halaman depan, serambi, rumah utama, selanjutnya masuk ke bilik kecil (tetapi sangat
penting fungsinya di dalam rumah itu) yaitu bilik pathêt, kemudian ke bagian-bagian rumah
lainnya, seperti dapur dan halaman belakang.

Pathét merupakan bagian kecil yang intangible (sesuatu yang hanya dapat dipikirkan
dan dirasakan saja tanpa dapat diraba secara fisik) dari apa yang kiranya boleh kita sebut
dengan istilah Musikologi Karawitan. Istilah itu dalam buku ini penulis gunakan sebagai
terminologi payung (generic term) berbagai konsep dan pengetahuan yang bersifat teoretik
di dalam Karawitan.

 Gamelan
Gamelan yang dalam bahasa halusnya disebut gangsa (di dalam Keraton Kasunanan
Surakarta) adalah perangkat fisik ansambel musik yang ricikannya didominasi oleh ricikan
bersumber bunyi dengan bahan logam (perunggu) yang dilaras di dalam 2 (dua) sistem
pelarasan yaitu laras sléndro dan laras pélog. Kecuali ricikan bersumber bunyi logam
perunggu, di dalam gamelan juga terdapat ricikan dengan sumber bunyi kayu, ada pula
dawai (baik yang dipetik maupun yang digesek), udara (ricikan tiup), dan ricikan membran.

a. Gambaran Umum Fisik

Ada 4 (empat) bentuk sumber bunyi logam di dalam gamelan, yaitu berbentuk bilah,
pêncon, piringan, dan gulungan. Sumber bunyi logam yang berbentuk bilah bila dilihat dari
permukaannya (bagian yang ditabuh) ada 3 (tiga) jenis permukaan yaitu sigar penjalin, gigir
sapi, dan kruwingan atau blimbingan. Dalam penyajiannya semua sumber bunyi bilah ditata
horizontal, ditata berderet nada demi nada secara urut dari yang berfrekuensi terendah
sampai dengan frekuensi tertinggi di atas rancakan yang terbuat dari kayu pilihan (kayu jati
atau kayu sono).

b. Gambaran Umum Non-Fisik

Pada bagian ini akan dibahas hal-hal yang akan menjadi dasar proses musikalisasi
gamelan meliputi (1) laras, yaitu sistem pengaturan frekuensi dan interval nada-nada; (2)
êmbat, yaitu suasana atau atmosfer musikal yang disebabkan karena struktur interval dalam
pelarasan gamelan; dan (3) pathêt, yaitu suasana atau atmosfer musikal yang disebabkan
karena rasa sèlèh pada nada-nada tertentu dalam sebuah lagu hasil dari rangkaian nada-nada
pembentuk lagu itu sendiri.

 Bentuk dan Struktur Gending

Bentuk gending adalah format dan ukuran panjang-pendeknya "kalimat lagu"


(susunan nada-nada yang merupakan komponen gending itu). Ada lagi istilah bentuk yang
kecuali berarti format serta ukuran kalimat lagu, juga merujuk kepada suasana musikalnya
tetapi memang suasana musikal itu terbangun atas bentuk dan isian kalimat kalimat lagu.
Jadi tidak terlalu salahlah bila fenomena ini juga mendapat predikat "bentuk."

Sabêtan juga merupakan kerangka dari nada-nada pokok sebuah gending. Artinya,
kerangka itu diisi dengan nada-nada sehingga membentuk melodi. Nada-nada pokok ini
dalam karawitan disebut balungan gending yang di dalam pembicaraan sehari-hari sering
disingkat dengan menyebutkan 'balungan' saja. Hal ini memang rancu dengan ricikan
balungan (dêmung, saron, saron pênêrus, dan slênthêm) yang juga sering disingkat balungan
saja. Tetapi kita akan dengan mudah membedakannya lewat konteks kalimatnya. Pola
pengisian nada terhadap sabétan akan menentukan jenis balungan. Bila setiap sabêtan genap
diisi dengan nada, sedangkan sabetan ganjil dibiarkan kosong maka jenis balungan yang
demikian disebut balungan nibani. Tetapi bila seluruh sabêtan diisi nada atau pengisiannya
tidak mempola maka balungan jenis itu dikategorikan sebagai balungan mlaku. Kiranya
bagan berikut ini akan lebih menjelaskan.

BAB III

Di bab ke 3 ini rangkuman buku lebih mengarah ke selayang pandang masa lalu
penulis dalam perjalannnya menulis buku Teori Pathet ini.

 Teori Nada Gong

Salah satu eksplanasi tentang pathêt adalah pengertian nada dasar yang disejajarkan
dengan nada gong. Setelah secara statistik nada-nada gong dari gending-gending pathêt
sanga, manyura, dan nêm dicatat maka ditentukanlah bahwa nada gong pada pathet manyura
kebanyakan nada nêm (6), gulu (2), dan barang (3): sedangkan pathêt sanga nada lima (5),
barang (1), dan gulu (2); pathêt nêm pada nada-nada gulu (2), lima (5), dan nêm (6). Kalau
nada-nada tadi dideret maka nada-nada gong itu menjadi lingkaran kêmpyung (sircle of
fifths). Pikiran inilah yang digunakan untuk mengembangkan instrumen analisis pathêt yang
dalam buku ini penulis sebut "teori nada gong."

 Pasangan Pathêt dalam Laras Slendro dan Pélog

Sebuah Kebiasaan Budaya Jawa Terpengaruh oleh teori lingkaran kêmpyung, fungsi
nada (dhong- dhing) atau nada dasar dalam setiap pathêt dan juga persepsi bahwa pathêt-
pathêt sléndro dan pélog berpasangan seperti terlihat di dalam praktik tradisional, maka
banyak peneliti yang menggunakan alur pikir pencarian kebenaran pathêt di dalam laras
sléndro untuk diterap- kan ke dalam pencarian kebenaran pathêt di dalam laras pélog. Misal-
nya nada dasar dan fungsi-fungsi nada lainnya di dalam laras sléndro pathêt nêm sama
dengan fungsi-fungsi tonalitas nada di dalam laras pélog pathét lima, maka banyak hal-hal
yang kelihatan benar di dalam sléndro tidak berlaku di dalam laras pélog.

Memang tradisi Jawa menganut faham simetris, lihat saja dalam segala hal budaya
Jawa selalu diberi pasangannya, misalnya kembar mayang, tuwuhan, gandhok kiwa,
gandhok têngên, gandhèk kiwa.
BAB-IV

Pathêt sebenamya adalah urusan rasa musikal yaitu rasa sèlèh. Rasa sèlèh adalah rasa
berhenti dalam sebuah kalimat lagu (baik itu berhenti sementara maupun berhenti yang
selesai) seperti rasa tanda baca titik dalam bahasa tulis. Di dalam berarti sebuah komposisi
karawitan rasa sèlèh itu tidak hanya dirasakan pada satu nada saja tetapi pada sekelompok
nada tertentu. Misalnya bila rasa sèlèhnya itu ada di nada lima, barang, dan gulu akan mem
bangun rasa musikal tersendiri. Rasa musikal itu disebut pathét sanga, bila rasa sèlèh itu
sudah terkondisi demikian (pada nada nem, gulu, dan dhadha, itu pathét manyura; dan kalau
rasa sèlèhnya pada nada gulu, nêm, dan lima disebut pathêt nêm, lima, barang, dan gulul
maka nada-nada yang lain menjadi lemah rasa sèlèhnya. Hal i tidak berarti bahwa nada-nada
itu tidak dapat dijadikan akhir sebuah kalimat lagu.

Bobot sebuah nada di dalam sebuah melodi sangat ditentukan oleh "ramuan" nada-
nada atau bahkan lagu yang mendahuluinya atau perjalanan lagu itu sendiri. Untaian nada
atau bahkan sepotong melodi di awal sebuah penyajian akan dapat mempengaruhi jiwa kita
untuk merasakan rasa sèlèh pada nada-nada tertentu. Nada- nada yang berasa sèlèh itu baru
kemudian sering digunakan sebagai nada akhir sebuah kalimat lagu. Posisi nada di akhir
sebuah kalimat lagu akan memberi nada itu menjadi bertekanan kuat. Tetapi jangan dikira
bahwa nada pada akhir kalimat lagu mesti mempunyai rasa sèlèh yang kuat. Komponis
tertentu bahkan menggunakan nada yang tidak kuat rasa sèlèhnya sebagai nada akhir dalam
salah satu kalimat lagu gending susunannya. Hal itu dilakukan untuk men- dapatkan efek
psikologis tertentu bagi yang mendengarkan, misalnya untuk mendapatkan rasa sedih.

 Biang Pathêt

Kata "biang" di sini penulis artikan sebagai barang yang sedikit tetapi mempunyai
pengaruh banyak. Seperti ragi dalam pembuatan roti atau pembuatan tape. Dalam hal pathêt
adalah sepotong untaian nada atau lagu pendek sudah cukup untuk mempengaruhi jiwa kita
(para pêngrawit) merasakan nada-nada tertentu mempunyai rasa sèlèh kuat dibanding nada
lainnya. Penulis menggunakan biang pathét ini untuk membangun teori terbangunnya rasa
sèlèh pada perasaan manusia. Adapun yang penulis anggap sebagai biang pathêt di dalam
laras sléndro adalah: (1) thinthingan, (2) grambyangan, (3) sénggrèngan, (4) pathêtan, (5)
adangiyah, (6) Ayak-ayakan, dan (7) Srêpêgan.
BAB V

 Analisis Pathêt dalam Laras Slendro

Di dalam analisis ini akan didemonstrasikan bagaimana formula- formula itu bekerja
untuk menjawab pertanyaan permasalahan pokok di dalam buku ini yaitu (sekali lagi)
"Mengapa gending ini mempunyai rasa pathét ném, atau sanga, atau manyura?" Untuk
menjawab per tanyaan tersebut, di dalam setiap pathét cukup hanya diwakili oleh tiga
gending saja, tetapi tiga gending itu telah mewakili semua gending dengan tiga klasifikasi:

1. Gending yang dalam kehidupan kesehariannya oleh para péngrawit tidak pernah
dipertanyakan kemurnian pathétnya. Setelah gending tersebut dianalisis dengan
mencocokan frasa frasa formula pathét maka akan terlihat paduan formula- formula itu
sehingga menjadikan gending tersebut dirasakan sebagai gending yang tidak mempunyai
masalah dipandang dari sudut pathétnya.

2. Gending yang mengandung frasa-frasa tidak seperti biasanya dalam pathét tertentu
tetapi masih secara mulus dirasa sebagai pathêt itu. Kadangkala bahkan frasa-frasa itu tidak
di- kehendaki dalam pathêt tersebut, misalnya (lihat Skema): sèlèh atau gantungan nada
barang tengah (1) dalam pathet nêm, atau nada dhadha tengah (2) dalam pathét sanga; atau
nada lima tengah (5) dalam pathét manyura. Dengan me nerapkan formula pathét ini sebagai
pisau analisis, diharapkan dapat menjawab pertanyaan itu, sekaligus memberikan corak
kombinasi formula seperti apa sehingga gending tersebut masih dirasakan sebagai rasa
pathêt itu.

3. Gending yang kontroversial dipandang dari sudut pathêmya, misalnya gending


yang dalam dunia karawitan dianggap sulit karena permainan pathêt yang terkandung di
dalamnya, atau pathét tertentu dalam laras sléndro yang justru jarang disajikan dalam laras
sléndro tetapi lebih sering disajikan dalam laras pélog, dengan alasan, sajian di dalam laras
sléndro sulit atau tidak enak rasanya, dan sebagainya.

 Pathet Pélog dalam Praktik Sehari-hari

Masyarakat karawitan Jawa pada umumnya membedakan tiga pathêt di dalam laras
pélog, yaitu: pélog pathêt lima, pélog pathêt nêm, dan pélog pathêt barang. Pengetahuan ini
terefleksi dalam cara mereka membagi pathêt di dalam laras pélog secara resmi. Anggota
masyarakat ini yang baru mempunyai pengetahuan sekedarnya di dalam karawitan, bila
mendengarkan sajian karawitan biasanya dapat membedakan antara pélog pathet barang
dengan kedua pélog pathêt lainnya (pélog pathêt lima dan pélog pathét ném), tetapi mereka
sering mendapatkan kesulitan membedakan mana yang pélog pathêt nêm dan mana yang
pélog pathet lima. Walaupun demikian bagi para pêngrawit hal seperti itu bukan merupakan
sesuatu yang problematik.

Dari peristiwa di atas sudah mulai tercium indikasi bahwa sifat atau karakteristik
pélog pathêt barang berbeda dengan kedua pathet pélog lainnya. Dengan kata lain istilah
pelog pathêt barang, sebenar- nya tidak sejajar dengan pélog pathêt nêm dan pathêt lima.
Pélog pathét barang mempunyai arti ganda: yang pertama sebagai nama sub-laras, dan kedua
sebagai nama pathét. Pélog pathêt nêm dan lima tidak demikian, keduanya mumi sebagai
nama pathêt seperti halnya pathêt di dalam laras sléndro.

Masyarakat karawitan Jawa yang lebih mendalami karawitan sangat sadar akan hal
ini dan mereka mempunyai pengetahuan, bahwa laras pélòg memiliki dua sub-laras yaitu
sub-laras pélog barang dan sub-laras pélog bêm, seperti tercermin dalam ricikan garap dan
ricikan variasi di dalam gamelan seperangkat yang dilaras ke dalam dua sub-laras itu.

BAB VI

Kesimpulan dan Penutup

1. Dipandang dari sudut garap dan kehidupan sehari-hari Laras Slendro


rnerupakan lahan yang benar untuk penelitian rasa pathet, karena Laras Pelog dalarn
kehidupannya rnenggunakan cengkok-cengkok Slendro yang di Pelogkan, dan Laras
Pelog tidak rnernpunyai cengkok tersendiri.
2. Rasa pathet tidak berada di dalarn garnelan tetapi di dalarn sanubari
pendengarnya yang telah dibentuk oleh lagu "bibit" rasa pathet sehingga rnerasakan
kadar kekuatan rasa seleh pada nada-nada tertentu.
3. Pernbentukan rasa seleh di dalarn sebuah gending dibangun oleh kornbinas
frasa naik dan frasa turun dengan akhir nada tertentu serta frasa gantungan
4. Nada-nada di dalarn frasa bukanlah nada ricikan balungan yang hanya
berjurnlah satu gernbyang tetapi nada balungan gending yang tebany meliputi dua
gernbyang lebih dua nada yang di dalarn budaya karawitan terbagi atas tiga sub teba
nada yaitu "ageng" "tengah" dan "alit".
5. Sesuai dengan kornbinasi rasa seleh yang ada, di dalarn Laras Slendro dapat
dikenali 3 rasa pathet yaitu Pathet Manyura, Pathet Sanga dan Pathet Nern.
6. Laras Pelog terdiri dari dua su b laras yaitu Pelog Bern dan Pelog Barang.
Laras Pelog bukanlah sistern pelarasan 7 nada tetapi 5 nada. Hal ini terlihat pada
ricikan garap dan ricikan penghias Pelog Bern rnaupun Barang hanya terdiri dari 5
nada. Ricikan balungan memang mempunyai 7 nada hasil gabungan nada-nada Pelog
Bern dan Pelog Barang ditambah satu nada alternatif yaitu nada pelog.
7. Bila dilihat dari sudut garap di dalam Sub Laras Pelog Barang terdapat 3
kelompok gending yaitu gending yang penyajiannya menggunakan cengkok-
cengkok Manyura, cengkok-cengkok Nern, dan campuran cengkok-cengkok Sanga,
Nern, Mayura. Gending-gending itu semuanya diberi predikat Gending Pelog Pathet
Barang. Gending yang mempunyai garap dan rasa Sanga secara kuat tidak dapat
dimainkan dalam Sub Laras Barang
8. Di dalam Sub Laras Pelog Bern ju ga terdapat 3 rasa pathet yang tercermin
dalam 3 kelompok gending yaitu gending Pelog Lima, Pelog Nern, dan Pelog
Manyura yang masing-masing mempunyai persamaan dan perbedaan.
9. Perbedaan rasa Pe log Pathet Lima dan Pelog Pathet Nern dipengaruhi oleh
penggunaan nada-nada "ageng" dan nada-nada "alit" sebagai komponen frasa.
Penggunaan nada-nada tengah relatif sama.
10. Perbedaan rasa Pelog Pathet Nern dan Pelog Pathet Manyura terletak pada
penggunaan nada "tengah" dan nada-nada "alit" sebagai komponen frasa
11. Gending-gending Pelog Pathet Manyura, walaupun mempunyai ciri yang
jelas tetapi secara tradisional di dalam koleksi-koleksi notasi gending selalu diberi
predikat Gending Pelog Pathet Nern.

Anda mungkin juga menyukai