Anda di halaman 1dari 11

NADA GAMELAN JAWA YANG AJAIB

12 Juni 2012 pukul 15:44

Ricikan gamelan Jawa jenis 'bunderan' yang berperan sebagai 'penanda' dan bersuara
sangat dominan (keras). Merupakan bagian kecil dari seperangkat gamelan Jawa.

Tulisan ini, didedikasikan untuk tiga orang guru yang sangat saya hormati dan yang telah
membukakan mata, pikiran, wawasan, dan pengetahuan saya; khususnya dalam berbagai aspek
dan proses pembuatan gamelan Jawa. Yaitu [1] Bapak Prawira, [2] Bapak Wignyo Rahardjo,
dan [3] Bapak Widodo. Tulisan ini, merupakan ringkasan salah satu bahasan dalam skripsi saya,
yang berjudul Gamelan Jawa, juga merupakan ringkasan salah satu bahasan dari buku tulisan
saya, yang berjudul Serat Kandha Karawitan Jawi.
Ada sejumlah pertanyaan yang saat saya masih muda dulu, sering saya pertanyakan kepada
sejumlah pradangga, nayaga, niyaga, atau yaga. Namun, saat itu saya tidak pernah mendapatkan
jawaban yang memuaskan. Pertanyaannya adalah sebagai berikut: Mengapa orang-orang Jawa
yang menjadi pelaku kesenian Jawa, khususnya karawitan (permainan musiknya), cenderung
berkeberatan jika nada suara pada gamelan Jawa hendak dibakukan? Pertanyaan ini, bertahun-
tahun tidak pernah mendapat jawab yang jelas dan memuaskan. Namun, pada suatu ketika, saat
saya melakukan survei yang dilaksanakan dalam rangka penyusunan skripsi (sekitar tahun 1980-
an),[4] jawaban itu saya akhirnya dapatkan dari seorang panji sepuh atau empu sepuh, Bapak
Prawira, yang tinggal di Desa Jati, sedikit di sebelah selatan Bekonang, Sukoharjo.[5] Dari
beliaulah, saya mendapatkan jawaban lengkap dan memuaskan tentang apa yang saya
pertanyakan selama bertahun-tahun.

Ternyata, penerapan nada pada gamelan Jawa sama sekali tidak sesederhana yang saya pikirkan
saat itu. Semua penjelasan yang saya dapatkan dari Bapak Prawira, ternyata mampu
meruntuhkan seluruh argumentasi saya, yang saat itu lebih memikirkan proses industrialisasi
gamelan Jawa. Maklumlah, saya saat itu masih muda dan berstatus sebagai mahasiswa pada
Jurusan Desain Produk, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP), Institut Teknologi
Bandung (ITB). Jadi, latar belakang teknologi yang sangat kental di lingkung sekitar saya saat
itu, telah membuat saya terlampau antusias untuk menerapkan berbagai hal yang berbau
teknologi pada gamelan.

Saat kita mulai membahas tentang nada gamelan Jawa, jelaslah bahwa pada gamelan Jawa
dikenal ada dua titi laras atau laras (tangga-nada) yang berbeda, yaitu laras slendro
(mempunyai susunan sebanyak lima nada, yaitu nada 1, 2, 3, 5, dan 6) dan laras pelog
(mempunyai susunan sebanyak tujuh nada, yaitu nada 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7). Kedua laras itu,
dalam teori nada dikategorikan sebagai nada penta tonis (mempunyai lima nada). Meskipun
demikian, pada bahasan yang lebih mendalam, ternyata laras pelog bisa dibagi lagi menjadi dua
laras yang berbeda, yaitu laras pelog bem (mempunyai susunan sebanyak enam nada, yaitu
nada 1, 2, 3, 4, 5, dan 6) dan laras pelog barang (mempunyai susunan sebanyak enam nada,
yaitu nada 2, 3, 4, 5, 6,dan 7). Jadi sebenarnya laras dalam gamelan Jawa ada tiga, yaitu laras
slendro, laras pelog bem, dan laras pelog barang. Meskipun demikian, kenyataannya kedua
laras pelog itu, biasanya disusun dalam satu kesatuan, yang lazim disebut sebagai gamelan
laras pelog, yang susunan nada-nadanya umumnya terdiri dari nada 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7.
Penyebabnya adalah, nada-nada 2, 3, 4, 5, dan 6 pada gamelan laras pelog bem dan laras pelog
barang, merupakan nada-nada yang frekuensinya sama. Jadi, penyatuan laras pelog bem dengan
laras pelog barang dalam satu susunan nada, sebenarnya lebih didasari segi kepraktisan. Selain
itu, dalam sejumlah komposisi gendhing, secara terbatas ada juga permainan nada yang memang
menggunakan kedua susunan nada pelog secara bersamaan.
Bahasan lain yang juga menarik perhatian, adalah tinjauan nada gamelan dari segi jarak antara
satu nada ke nada yang lain. Secara umum, gamelan laras slendro, dinyatakan mempunyai jarak
antar nada dinyatakan sama. Sedangkan pada gamelan laras pelog, jarak antar nada dinyatakan
tidak sama. Hal ini, merupakan gambaran umum yang dikenal di kalangan masyarakat.
Meskipun demikian, hasil diskusi ternyata menyatakan berbeda. Jarak antar nada, sebenarnya
ternyata sedikit berbeda; baik pada gamelan laras slendro, maupun pada gamelan laras pelog
bem dan gamelan laras pelog barang. Perbedaan ini, disebabkan adanya unsur rasa saat
memainkan nada-nada gamelan pada saat-saat tertentu. Sebagai gambaran, pada permainan
gamelan Jawa, dikenal ada tiga pathet, yaitu:

Pada permainan menggunakan gamelan laras slendro, dikenal ada tiga pathet, yaitu:
pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura.
Pada permainan menggunakan gamelan laras pelog, dikenal ada tiga pathet, yaitu: pathet
lima, pathet nem, dan pathet barang.

Namun, di antara pathet nem dan pathet sanga (pada permainan gamelan laras slendro) dan di
antara pathet lima dan pathet nem (pada permainan gamelan laras pelog); dikenal adanya pathet
transisi, yang disebut pathet lindur. Sedangkan di antara pathet sanga dan pathet manyura
(pada permainan gamelan laras slendro) dan di antara pathet nem dan pathet barang (pada
prmainan gamelan laras pelog); dikenal adanya pathet transisi, yang disebut pathet nyamat.

Jadi jika digambarkan secara skematis, maka pathet bisa dinyatakan seperti dalam Tabel 1
sebagai berikut.
Sebagai tambahan, pembagian waktu permainan dalam tabel diatas bersifat tidak terlampau
mengikat, dan bisa digeser sedikit sesuai keperluan pagelaran. Namun, sebagai contoh kasus,
menjadi sangat tidak lazim, jika misalnya pathet nem dimainkan sampai sekitar jam 02.00.

Pembagian pathet, lazimnya dilakukan mengikuti pola pembagian waktu pada pagelaran
wayang kulit purwa, yang menggunakan istilah pathet nem, pathet sanga, dan pathet
manyura.[6] Umumnya, tidak menyertakan pembagian waktu yang menyatakan pathet transisi
(pathet lindur dan pathet nyamat). Hal ini, besar kemungkinan karena kedua pathet transisi ini,
seringkali tidak digunakan, atau waktu penggunaannya seringkali relatif sangat pendek.

Selain penjelasan tentang pathet seperti telah diuraikan di atas, juga didapatkan penjelasan lain
tentang pathet, yang dasar pergantiannya dihubungkan dengan penampakan fenomena visual
tertentu. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan fenomena visual ini, adalah karakteristik nyala
obor penerangan wayang, yang secara tradisional lazim disebut blencong. Penjelasannya
sebagai berikut.

Pada awal pagelaran wayang kulit purwa yang dilakukan pada malam hari, yakni pada
saat pathet nem, nyala lampu obor blencong lazimnya akan berkarakter menyala tenang,
dengan gerak nyala api dan kedipan yang sangat lambat.
Pada saat nyala lampu obor blencong berubah menjadi lebih tenang, dan nyala apinya
cenderung diam tidak bergerak (biasanya terjadi pada tengah malam), fenomena ini
dipakai sebagai pertanda bahwa pagelaran sudah waktunya dipindahkan ke pathet sanga.
Pada saat nyala lampu obor blencong berubah menjadi berkedip-kedip cepat (biasanya
nyala api lampu obor blencong bergerak-gerak cepat ke berbagai arah), fenomena ini
dipakai sebagai pertanda bahwa pagelaran sudah waktunya dipindahkan ke pathet
manyura.

Penyebab terjadinya perubahan karakter nyala lampu obor blencong, besar kemungkinan
disebabkan adanya perubahan suhu, aliran udara (angin), dan kelembaban udara. Fenomena ini,
pada masa sekarang sangat sukar diamati, karena lampu obor blencong diganti memakai lampu
pijar (lampu listrik). Selain itu, gerak nyala api lampu obor blencong, sebenarnya merupakan
unsur penting yang membuat bayangan wayang kulit di geber (layar wayang) menjadi
bergerak-gerak, sehingga bisa mengubah bayangan wayang menjadi seperti hidup. [7]

Selanjutnya, kembali ke masalah nada gamelan, berdasar bahasan, pendapat, dan praktik; yang
pernah didemonstrasikan oleh sejumlah panji pembuat gamelan kepada penulis, jarak antar nada
pada gamelan laras slendro dan gamelan laras pelog, ternyata berbeda pada pada setiap pathet
tertentu. [8] Karena adanya peristiwa itu, maka jika kita hendak membuat seperangkat gamelan,
maka idealnya (jika suara nada gamelan itu dikehendaki bagus untuk seluruh pathet) kita
seharusnya membuat enam (6) perangkat gamelan yang berbeda, yaitu:
1. Seperangkat gamelan laras slendro, dengan jarak antar nada yang sesuai untuk
permainan karawitan pada saat pathet nem.
2. Seperangkat gamelan laras slendro, dengan jarak antar nada yang sesuai untuk
permainan karawitan pada saat pathet sanga.
3. Seperangkat gamelan laras slendro, dengan jarak antar nada yang sesuai untuk
permainan karawitan pada saat pathet manyura.
4. Seperangkat gamelan laras pelog, dengan jarak antar nada yang sesuai untuk permainan
karawitan pada saat pathet lima.
5. Seperangkat gamelan laras pelog, dengan jarak antar nada yang sesuai untuk permainan
karawitan pada saat pathet nem.
6. Seperangkat gamelan laras pelog, dengan jarak antar nada yang sesuai untuk permainan
karawitan pada saat pathet barang.

Sudah barang tentu, gamelan ideal seperti itu akan sangat mahal harganya, dan memerlukan
biaya yang sangat besar untuk membuatnya. Karenanya, biasanya orang lalu melakukan
kompromi, guna mendapatkan gamelan yang relatif sesuai dengan keinginan, kesenangan, selera,
dan keperluan pagelaran. Berdasar sejumlah kompromi, maka umumnya gamelan yang sering
dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang kulit purwa, susunan nada-nadanya umumnya
dirancang sebagai berikut.

Perangkat gamelan laras slendro, umumnya dirancang mempunyai susunan nada-nada


yang indah dan mempertimbangkan jarak antar nada yang sesuai untuk permainan
gendhing-gendhing (karawitan) yang menggunakan laras slendro pathet manyura;
dengan mengorbankan susunan nada-nada pada pathet sanga. Mengapa pathet nem tidak
merasa dikorbankan? Hal ini, disebabkan permainan gendhing-gendhing (karawitan)
pada pathet nem, umumnya bisa mengadopsi atau memakai gendhing-gendhing pathet
manyura. Termasuk permainan Gendhing Talu Wayangan, yang lazimnya merupakan
gendhing laras slendro pathet manyura.
Perangkat gamelan laras pelog, umumnya dirancang mempunyai susunan nada-nada
yang indah dan mempertimbangkan jarak antar nada yang sesuai untuk permainan
gendhing-gendhing (karawitan) yang memakai laras pelog pathet lima; dengan
mengorbankan susunan nada-nada gamelan pada pathet nem dan pathet barang. Atau,
gamelan laras pelog susunan nada-nadanya dibuat sedemikian rupa, sehingga indah dan
mempertimbangkan jarak antar nada yang sesuai, jika dimainkan pada pathet barang,
sementara untuk pathet lima dan pathet nem dikorbankan.

Kedua susunan nada pada gamelan laras slendro dan gamelan laras pelog seperti dijelaskan di
atas, merupakan pilihan hasil kompromi yang pada masa sekarang lazim diterapkan dan
digunakan orang. Karena gamelan Jawa pada masa sekarang sebagian besar pemakaiannya
adalah untuk mengiringi pagelaran wayang kulit purwa, maka susunan nada-nadanya seringkali
mengikuti pola yang diterapkan pada pagelaran wayang kulit purwa.
Selain berbagai hal yang berkait-erat dengan persoalan pathet dan susunan nada-nadanya, pada
pembuatan gamelan (laras slendro maupun laras pelog), juga dikenal adanya embat . Sebagai
gambaran umum, embat dikenal dalam dua definisi yang berbeda, yaitu:

Embat dalam pengertian tinggi-rendahnya susunan wilayah nada gamelan.


Embat dalam pengertian deviasi frekuensi suatu nada yang sama dan/atau nada yang
sama tetapi berbeda oktaf.

Embat dalam pengertian pertama, yakni sebagai tinggi-rendahnya susunan wilayah nada
gamelan, dikenal ada tiga golongan.

Embat andhap, yaitu susunan wilayah nada yang relatif rendah.


Embat madya, yaitu susunan wilayah nada yang relatif agak tinggi.
Embat inggil, yaitu susunan wilayah nada yang relatif tinggi.

Untuk keperluan, peran, dan fungsi tertentu; tinggi-rendah wilayah nada suatu gamelan
umumnya dirancang dan dibuat tertentu, sesuai peruntukannya. Embat , juga sering dihubungkan
dengan adanya pergeseran (deviasi) frekuensi pada suatu nada tertentu, guna menghasilkan suatu
efek suara/nada berupa alunan nada (seperti efek tremolo pada alat musik barat).

Dalam hal yang berhubungan dengan tinggi-rendah wilayah susunan nada gamelan, sesuai
dengan peran dan fungsinya, secara umum gamelan bisa dibagi sebagai berikut.

Gamelan yang dipakai sebagai pengiring upacara (di keraton-keraton Jawa), lazim
disebut gamelanpakurmatan, umumnya menggunakan wilayah susunan nada yang
relatif rendah (embat andhap). Hal ini, dimaksudkan untuk menghasilkan kesan agung.
Pola permainannya karawitan-nya, lazimnya juga dilaksanakan dalam kecepatan yang
relatif sangat lambat, tetapi harus menghasilkan suara yang keras. Karenanya, lalu
diperlukan ukuran fisik bilah-bilah rickangamelan yang berukuran tebal, besar, dan
relatif sangat panjang. Hal ini, dimaksudkan supaya dihasilkan amplitudo getaran yang
besar dan tidak segera hilang jika bilah tersebut ditabuh/dibunyikan dalam kecepatan
yang sangat lambat.

Gamelan yang dipakai sebagai pengiring beksan (tarian), umumnya mengunakan


wilayah susunan nada yang relatif agak rendah (embat madya). Pola permainannya
karawitan-nya, lazimnya dilaksanakan dalam kecepatan yang relatif beragam, tetapi tidak
sampai mencapai kecepatan sangat tinggi (jika dilakukan juga, akan mempersulit penari).
Karenanya, lalu diperlukan ukuran fisik bilah-bilah rickangamelan yang berukuran relatif
agak tebal, agak besar, dan tidak terlalu panjang. Hal ini, dimaksudkan supaya dihasilkan
amplitudo getaran yang besar, tetapi tidak segera hilang jika bilah tersebut
ditabuh/dibunyikan dalam kecepatan yang relatif agak lambat.
Gamelan yang dipakai sebagai pengiring pagelaran wayang kulit purwa atau wayang
orang, umumnya menggunakan susunan nada yang relatif tinggi (embat inggil). Pola
permainan karawitan wyaangan, lazimnya dilaksanakan dalam kecepatan yang relatif
cepat sampai sangat cepat. Dan hanya sesekali, menggunakan irama yang sangat lambat.
Misalnya, saat dilakukan sirepan. Karenanya, lalu diperlukan ukuran fisik bilah-bilah
rickangamelan yang berukuran tidak terlampau tebal, relatif kecil, dan relatif sangat
pendek. Hal ini, dimaksudkan supaya dihasilkan amplitudo getaran yang tidak terlampau
besar dan segera hilang jika bilah tersebut ditabuh/dibunyikan dalam kecepatan yang
sangat cepat.

Jadi secara umum, ada hubungan yang sangat erat antara peran dan fungsi gamelan, dengan
tinggi-rendahnya susunan nada yang diterapkan pada gamelan.

Dalam hal embat yang didefinisikan sebagai deviasi frekuensi pada nada tertentu (nada yang
sama dan/atau nada yang sama tetapi berbeda oktaf), hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan
efek alunan nada. Dengan demikian, suara nada gamelan akan terdengar mengalun dan
memberikan efek yang menyenangkan. Embat dalam pengertian ini, lazimnya dibagi menjadi
beberapa golongan.

Embat mucuk bung, adalah deviasi frekuensi pada nada yang menghasilkan frekuensi
pelayangan yang relatif kecil, sehingga alunan nada yang terjadi terdengar rapat atau
sangat cepat. Perbedaan frekuensi nada mengarah ke atas (ke arah frekuensi yang lebih
tinggi) dengan besaran deviasi cukup besar. Misalnya, nada 1 pada oktaf pertama, sebesar
100 Hertz, sedangkan nada 1 pada oktaf kedua, sebesar 204 Hertz (kelipatan 2 ditambah
4 Hertz). Jenis embat ini, biasanya diterapkan pada gamelan yang dipakai sebagai
pengiring pagelaran wayang, khususnya pagelaran wayang kulit purwa. Pagelaran
wayang kulit purwa, umumnya menggunakan wilayah nada yang relatif tinggi dan
menerapkan embat mucuk bung, karena sangat sesuai untuk melakukan kombangan dan
sulukan (nyanyian/tembang dhalang). Gabungan antara embat mucuk bung dengan
susunan wilayah nada yang relatif tinggi, akan menghasilkan suasana yang semarak dan
gegap gempita.

Embat sundari, adalah devisai frekuensi pada nada yang menghasilkan frekuensi
pelayangan yang relatif agak besar, sehingga alunan nada yang dihasilkan terdengar agak
lambat. Perbedaan frekuensi nada mengarah ke atas (ke arah frekuensi yang lebih tinggi)
dengan besaran deviasi tidak terlampau besar. Misalnya, nada 1 pada oktaf pertama,
sebesar 100 Hertz, sedangkan nada 1 pada oktaf kedua, sebesar 202 Hertz (kelipatan 2
ditambah 2 Hertz). Jenis embat ini, biasanya diterapkan pada gamelan yang dipakai
sebagai pengiring pagelaran umum, termasuk klenengan (konser karawitan). Pagelaran
semacam ini, umumnya menggunakan wilayah nada yang relatif tidak terlampau tinggi,
karena sangat sesuai untuk melakukan tembangan (nyanyian). Gabungan antara embat
sundari dengan susunan wilayah nada yang relatif agak tinggi, akan menghasilkan
suasana yang semarak dan menyenangkan.

Embat laras-ati, adalah deviasi frekuensi pada nada yang menghasilkan frekuensi
pelayangan yang relatif besar, sehingga alunan nada yang dihasilkan terdengar lambat.
Perbedaan frekuensi nada mengarah ke bawah (ke arah frekuensi yang lebih rendah)
dengan besaran deviasi tidak terlampau besar. Misalnya, nada 1 pada oktaf pertama,
sebesar 100 Hertz, sedangkan nada 1 pada oktaf kedua, sebesar 198 Hertz (kelipatan 2
dikurangi 2 Hertz). Jenis embat ini, biasanya diterapkan pada gamelan yang dipakai
sebagai pengiring pagelaran beksan (tarian). Pagelaran semacam ini, umumnya
menggunakan wilayah nada yang relatif tidak terlampau tinggi, karena sangat sesuai
untuk melakukan tembangan (nyanyian). Gabungan antara embat laras-ati dengan
susunan wilayah nada yang relatif agak rendah, akan menghasilkan suasana dan kesan
yang lebih tenang dan anggun.

Embat lugu atau embat polos, kadang-kadang juga disebut 'embat pleng'; adalah
frekuensi nada gamelan yang tidak mempunyai deviasi sama sekali (zero beat).
Perbedaan frekuensi antara nada 1 pada oktaf pertama dan nada 1 pada oktaf kedua
merupakan kelipatan langsung. Misalnya, nada 1 pada oktaf pertama, sebesar 100 Hertz,
sedangkan nada 1 pada oktaf kedua, sebesar 200 Hertz (kelipatan 2 tanpa penambahan
atau pengurangan). Embat seperti ini, biasanya dihasilkan pada saat pertama kali
gamelan dihasilkan, atau saat penalaan awal dilakukan; sebelum dilakukan penerapan
embat tertentu.

Berdasar bahasan di atas, maka nada-nada pada gamelan Jawa menjadi sangat sukar untuk
dibakukan seperti nada pada musik barat. Bagaimanapun juga, nada-nada pada gamelan Jawa
dan adanya penerapan embat , menghasilkan sejumlah keunggulan yang luar biasa.

1) Permainan karawitan memakai gamelan Jawan tidak memerlukan alat bantu tambahan untuk
menghasilkan alunan nada, karena nada-nada pada gamelan Jawa sudah menghasilkan alunan
nada, yang bahkan alunan nadanya disesuaikan dengan fungsi dan pemakaian gamelan tersebut.
Sedangkan pada alat musik barat, justru kemampuan ini tidak dimiliki. Karenanya lalu
memerlukan alat bantu tambahan untuk menghasilkan alunan nada (lazim disebut tremolo).

2) Jenis gamelan tertentu, dengan embat dan tinggi-rendah susunan wilayah nada tertentu; selain
disesuaikan untuk fungsi dan pemakaian tertentu, juga menghasilkan suatu kesan citra (image)
suasana tertentu.

3) Permainan karawitan yang menerapkan nada-nada barang miring (minor) pada vokalnya
(misalnya untuk permainan gaya Pesisir), tetap memakai gamelan laras slendro yang sebenarnya
nada dasarnya mayor. Hal ini, merupakan salah satu keajaiban permainan karawitan Jawa,
yang tidak bisa ditemukan pada permainan alat musik barat. Bandingkan dengan permainan alat
musik barat. Saat lagunya memakai nada-nada minor, maka permainan instrumen musiknya juga
harus dimainkan dalam nada-nada yang juga minor.
4) Permainan rickan gamelan dalam suatu pagelaran karawitan atau wayang, pada dasarnya
merupakan hasil pengembangan seketika yang penuh kreatifitas dan inovasi atas susunan notasi
gendhing (partitur lagu/gendhing) yang lazim disebut balungan gendhing (song backbone).
Peristiwa ini, tentu saja sangat dipengaruhi oleh pemahaman, perasaan, kehalusan rasa, mood,
dan emosi pemainnya; pada saat memainkan gendhing tersebut. Karenanya, untuk setiap
gendhing/lagu yang sama, selalu bisa dimainkan menurut pola permainan yang bisa amat sangat
berbeda. Bahkan gendhing yang sama, saat dimainkan pada waktu yang sama, bisa dimainkan
dengan berbagai pola garapan yang berbeda. Di khazanah rekaman gendhing-gendhing Jawa,
seringkali kita bisa menemukan sejumlah gendhing Jawa yang sama, tetapi dimainkan dalam
pola dan gaya yang sangat berbeda. Pada permainan musik barat, hal ini sama sekali tidak
ditemukan. Misalnya, lagu yang sudah diaransir dalam pola tertentu, saat dimainkan di mana
pun, oleh pemusik siapa pun, akan menghasilkan suasana dan lagu yang benar-benar sama.
Sedangkan pada karawitan Jawa, siapa yang memainkan, kapan dia memainkannya, bagaimana
perasaan dan emosinya saat memainkan, serta suasana sekelilingnya saat dia memainkan; sangat
memegang peran atas hasil permainan yang dihasilkan.

5) Banyak orang berpandangan, seakan-akan permainan karawitan Jawa setara dengan musik
klasik. Padahal kenyataannya, permainan nada-nada gamelan Jawa, sebenarnya lebih mirip
dengan pola permainan musik jazz, karena memiliki kesamaan, yaitu: sangat mengexploitasi
kreatifitas, emosi, kemampuan individual pemainnya, bisa sangat inovatif, dan bahkan juga
mengenal adanya jam session.Bandingkan dengan pola permainan musik klasik, yang serba
teratur, baku, tidak menghentak-hentak, sistematis, sama sekali tidak memungkinkan terjadinya
perubahan seketika, dan umumnya juga tidak mengenal adanya jam session.

___________________________

[1] Bapak Prawira, adalah seorang panji sepuh pembuat ricikan gamelan, khususnya yang
berbentuk bunderan (bulat). Beliau tinggal di Desa Jati, Bekonang, Sukoharjo, di sebelah timur
Kota Surakarta.

[2] Bapak Wignyo Rahardjo, adalah seorang panji pembuat ricikan gamelan, khususnya
yang berbentuk bunderan (bulat). Beliau merupakan putra dari Bapak Prawira, dan tinggal di
Desa Jati, Bekonang, Sukoharjo, di sebelah timur Kota Surakarta.
[3] Bapak Widodo, adalah seorang panji pembuat ricikan gamelan, khususnya yang
berbentuk wilahan (bilah). Beliau tinggal di Desa Kadhokan, Kecamatan Grogol, di sebelah
tenggara Kota Surakarta.

[4] Seluruh survei lapangan tentang pembuatan rickan gamelan dilaksanakan pada tahun
1979 1982. Sedangkan penyusunan dan penulisan seluruh materi skripsi, dilaksanakan selama
satu tahun (selama tahun 1983 sampai awal tahun 1984).

[5] Panji sepuh atau empu sepuh yang saya maksud adalah Bapak Prawira, ayah Bapak
Wignyo Rahardjo. Bapak Prawira, adalah seorang panji sepuh pembuat rickan gamelan,
khususnya yang berbentuk bunderan (bulat) seperti kenong, kempul, bonang, dan gong.
Penjelasan tentang berbagai renik-renik pembuatan rickan gamelan, yang berkait-erat dengan
persoalan pathet, nada, embat , laras (tangga-nada), dan pemakaian gamelan; dilakukan dalam
sejumlah rembugan, wawancara, dan diskusi malam hari; yang dilakukan di teras depan rumah
beliau (sekitar pertengahan tahun 1980-an).

[6] Pagelaran wayang kulit purwa, pada masa lampau hanya memakai gamelan laras
slendro. Sebab itulah maka penyebutan pembagian waktu pagelaran (pathet) biasanya
menggunakan istilah-istilah yang sebenarnya hanya dikenal pada laras slendro, yaitu pathet nem,
pathet sanga, dan pathet manyura. Pada masa lalu, gamelan laras pelog digunakan pada
pagelaran wayang beber dan wayang madya. Meskipun demikian, sesuai perkembangan jaman
dan pada masa sekarang, gamelan laras slendro dan gamelan laras pelog umumnya digunakan
pada pagelaran wayang kulit purwa, dengan mayoritas pemakaian tetap pada gamelan laras
slendro. Sedangkan gamelan laras pelog, biasanya hanya dipakai sesekali, disesuaikan dengan
keperluan dan adegan tertentu.

[7] Pemakaian lampu penerangan listrik, secara nyata sebenarnya menghilangkan salah unsur
penting dalam Pagelaran wayang kulit purwa, yaitu gerak bayang-bayang wayang yang
memberikan kesan hidup. Meskipun demikian, penggantian lampu obor blencong dengan
lampu pijar, sebenarnya memberikan peluang bagi para enjiner atau disainer, untuk merancang
dan membuat suatu sistem penerangan (lampu) jenis baru bagi pagelaran wayang kulit purwa
yang bersifat lebih inovatif, yang dapat menghasilkan karakter nyala yang setara dengan cahaya
yang dihasilkan lampu obor blencong yang luar biasa itu, dengan intensitas cahaya yang lebih
terang (lebih kuat).
[8] Pembahasan tentang hal ini, dijelaskan dan dipraktikkan secara langsung kepada penulis
oleh Bapak Widodo, seorang panji pembuatan gamelan, khususnya rickan gamelan yang
berbetuk wilahan (bilah), dari Desa Kadhokan, Kecamatan Grogol, Surakarta, pada sekitar
tahun 1980-an, saat penulis melakukan survei lapangan.

Anda mungkin juga menyukai