DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................90
LAMPIRAN 1. SILABUS.....................................................................................91
LAMPIRAN 2. RPP..............................................................................................94
PENYUSUN..........................................................................................................97
BAB I
Susunan gamelan Jawa seperti telah disebutkan, sebagian besar terdiri atas
(rebab), dan siter, yang bila dibandingkan dengan susunan musik Barat lebih
Carito, 2000). Akibat perbedaan ini ada sementara pendapat dari Barat yang
menganggap susunan gamelan Jawa yang kaya instrumen pukul tetapi miskin
dalam instrumen gesek dan tiup itu sebagai kepincangan. Orang Barat lebih
dipetik.
perbedaan nada (Laras) yang ada pada masing-masing gamelan tersebut, yaitu
Gamelan Laras Slendro dan Gamelan Laras Pelog (Harsono Kodrat, 1982). Kalau
kita bertanya dalam hati, mana yang lebih tua umurnya atau existensinya memang
yang ada pada Gamelan Slendro maupun Pelog, memang agak sulit untuk
Gamelan Kodok Ngorek dan Gamelan Munggang. Gamelan Kodok Ngorek terdiri
Laras Slendro, sedang Gamelan Munggang Seton terdiri Laras Pelog. Kedua
gamelan tersebut sudah ada pada ratusan tahun yang lalu (Ki Hajar Dewantara,
1953). Instrumen Gender yang ada pada Gamelan Kodok Ngorek Laras Slendro
itu jelas umurnya jauh lebih tua daripada Gender Pelog yang ada pada gamelan
sekarang. Sedang Bonang Pelog yang ada pada Gamelan Munggang existensinya
jauh lebih tua daripada Bonang Slendro yang ada pada gamelan sekarang. Jadi
kesimpulan ada beberapa instrumen Gamelan Slendro yang lebih tua, ada juga
instrumen Gamelan Pelog yang lebih tua dari Gamelan Slendro (Kodiron, 1989).
Laras (Nada) yang ada pada kedua instrumen Gamelan Slendro maupun Pelog.
Kalau kita perhatikan dan rasakan tentang ciri-ciri khas yang ada pada kedua
persamaan dan perbedaannya. Adapun yang saya maksudkan dengan ciri-ciri khas
itu terletak pada Cengkok (tipe khusus suatu alunan nada-nada yang ada pada
Gendhing Pelog ialah, keduanya dapat digunakan untuk mengiringi salah satu
dengan gendhing-gendhing yang sama tetapi nadanya lain. Selain itu patokan-
ialah pada gerak lagunya Irama atau ritme. Kalau gendhing-gendhing Slendro
sedikit agak kalem, luwes, dan menarik hati (ndudut ati). Inilah kelebihan Empu-
empu dalam mengolah rasa yang dituangkan dalam Gendhing Slendro terutama.
orang-orang tua (Kasepuhan) yang sesuai dengan Irama yang Mengalun Lembut,
muda (Kanoman) atau generasi yang mempunyai perasaan muda. Sering sekali
jajaran Laras Slendro dibunyikan dengan Laras Pelog oleh Laras Pelog atau
Sebetulnya hal ini boleh saja dilakukan sekedar untuk memenuhi selera penari, ki
dalang, yang punya kerja atau mungkin ulah para pengrawitnya sendiri untuk
Bussy dengan gamelan Jawa pada Pameran Internasional 1889 di Paris sangat
suatu hal yang menggembirakan, sebab pada waktu itu instrumen musik Asia
yang memahami struktur musik gamelan, yang berlapis-lapis dan juga iramanya
yang rumit.
pukul Asia, musik Barat bunyinya seperti sirkus keliling. Sunardi Wisnubroto
(1997) mengatakan “The gamelan has two laras (scale/tonal system), laras slendro
and laras pelog. Laras pelog, if in older times the slendro system is exclusively
used in wayang purwa, the pelog scale is used in wayang gedhog. The pelog
system is a septatonic scale of seven notes. The name of the notes and its notation
are as follows: name of note : bem (panunggul), gulu (jangga), dhadha, pelog,
gendhing Laras Pelog ini banyak sekali dipakai untuk mengiringi pergelaran
Wayang Gedog. Wayang Gedog adalah wayang Panji, yaitu wayang yang
menggambarkan sejarah Kerajaan Kediri dan Janggala pada jaman dahulu kala.
Dalam kesusasteraan Jawa dan Bali, Serat Panji merupakan sastra yang populer
gambarkan sebagai tokoh Raden Panji Inu Kertapati, hanya tempat kerajaannya
saja yang terbalik, mestinya dari Janggala. Sedang tokoh Dewi Candra Kirana atau
diadakan, malah hampir boleh dikatakan rutin, terutama dalam Kraton Surakarta
dan juga di Alun-alun Utara pada upacara Sekaten. Kata Gedog berasal dari
Kedok yang artinya Topeng, sebab adanya Topeng atau Tari Yang Memakai
Topeng lebih dahulu adanya daripada Wayang Gedog itu sendiri (menurut Prof.
Dr. Purbotjaroko almarhum). Antara tahun 1700 sampai 1800 Masehi banyak
tari yang menggambarkan Tari Topeng tersebut, antaranya Tari Topeng Klana,
Pentul Tembem, Gunung Sari Gandrung, Jaran Kepang dan sebagainya yang
Gedog itu sendiri dibuat pada sekitar awal abad 19. Seni sungging yang ada pada
Drama Asmara Kelas Berat baik disegi Komidi atau Tragedinya dan juga Banyak
atau Prampogan) sampai perang Bugis (Perang tanding antara Raden Panji Inu
Kalana atau Prabu Klana Sewandana (Klana Tunjungseta), seorang raja dari
Bantarangin. Pada Jejer II, di mana Prabu Klana dilayarkan (dikeluarkan pada
Jentar, Belek, Sumirat dan sebagainya. Untuk mengiringi perang biasanya dipakai
Kemuda (Kemudo) dan Sampak Barang, juga tiduk lupa dipakai Ayak-ayakan
Purwa, karena jumlah wayang Gedog sendiri tidak banyak. Gendhing yang
dipakai untuk talu (sebelum memulai pergelaran wayang) ialah Ketawang
Mertapuran. Untuk mengiringi Tari Gambyong dipakai Ladrang Pangkur Pl. Br.,
Untuk mengiringi Tari Sancaya Kusumawicitra dipakai Gendhing Moncer P1. Br.
Untuk mengiringi Tari Andogo Bugis dipakai Gendhing Puspanjala dan Kemudo.
Pacung, Rujak Jeruk, dan Loro-loro Topeng. Untuk mengiringi Tari Perang
atau Wrahatbala atau Bendrong, dan sebagainya. Untuk mengiringi Tari Kupu-
kupu dipakai Gendhing Kupu Kuning (Dolanan). Untuk mengiringi Tari Kuda
Untuk mengiringi Tari Ketek Ogleng dipakai Gendhing Rujak Jeruk, Sumyar, dan
sebagainya. (Berasal dari Drama Tari Ketek Ogleng dari Serat Panji). Untuk
Panji). Untuk mengiringi Drama Tari Ande-ande Lumut versi Serat Panji banyak
from the two Indian epic Ramayana and Mahabarata. Up to now dances, which
depict a fragment from those two epics are still accompanied by the slendro scale.
According to Javanese tradition, the slendro system is more ancient than the pelog
appearance. The slendro scale is a pentatonic scale with five notes. The name of
the notes, the notation and how they are sung are as follow : name of note :
lu (telu), ma (lima), nem (enem). The octave interval is called gembyangan. The
interval covering three steps in the gender is called kempyung, while the interval
antaranya: Kawit, Kabor, Titipati, Ldr. Bedat, Kedaton Bentar, Lana, Udansore,
an/pembakuan yang ada pada Pergelaran Wayang Purwa Kulit maupun Orang
Mengiringi Pergelaran Wayang Kulit Purwa (Parwa) Pada Jaman Dahulu Dan
untuk mengiringi pergelaran Wayang Kulit Purwa dibagi menjadi 3 bagian, sesuai
dengan jadwal pergelaran wayang itu sendiri yang juga dibagi menjadi 3 bagian,
pada jadwal pergelaran, yaitu dari jam 21.00 sampai 24.00, atau pada Jejer I
dipakai untuk bagian kedua pada jadwal pergelaran, yaitu dari jam 24.00 sampai
jam 03.00, atau pada Jejer Pandita sampai Perang Kembang dan sebagainya.
dari jadwal pergelaran, yaitu dari jam 03.00 sampai jam 05.00 pagi, atau dari Jejer
diperbolehkan, karena bukan baku (patokan). Adapun yang baku harus dimulai
dengan buka Karawitan juga sejak awal Jejer (Memang waktunya lebih panjang).
Pada jaman kuna untuk menggelarkan suatu tontonan wayang, Ki Dalang dan para
pembakuan yang ada waktu itu, terutama gendhing-gendhing yang dipakai untuk
mengiringi Jejer Astina harus Gendhing Kabor. Gendhing yang dipakai untuk
yang dipakai untuk mengiringi Jejer Suralaya (Kaindran) harus Gendhing Kawit
juga. Gendhing yang dipakai untuk mengiringi Jejer Dwarawati harus Gendhing
Krawitan. Gendhing yang dipakai untuk mengiringi Jejer yang lain-lain cukup
Krawitan juga.
Jika tamu dari Mandura, yaitu Prabu Baladewa dibunyikan Gendhing Ldr.
Remeng atau Diradameta. Jika tamu dari Sengkapura, yaitu Prabu Kangsa (Jaka
Maruta) dibunyikan Gendhing Ldr. Sobrang. Jika tamu dari Madukara, yaitu
Raden Arjuna (Janaka) dibunyikan Gendhing Ldr. Asrikaton. Jika tamu dari
Jika tamu dari Amarta, yaitu Prabu Yudistira bersaudara dibunyikan Gendhing
Ldr. Mangu-mangu. Jika Tamu dari Astina, umpamanya Patih Sengkuni dibunyi-
kan Gendhing Ldr. Lere-lere. Jika tamu dari Karang Kawidadan, yaitu Randa
Nem/Srepegan 6.
Untuk mengiringi kedatonan Astina Sepuh, yaitu Dewi Gendari dipakai Gendhing
mana Prabu Baladewa dihadap (diadep) para santana dan Patih Pragota/Prebawa
dan sebagainya gendhing yang dipakai Capang. Untuk paseban jaba Dwarawati,
di mana Raden Samba dihadap R. Setyaki dan Patih Udawa dipakai Gendhing
jaba Astina di mana hanya ada Dursasana beserta para kadang Kurawa dipakai
dihadap R. Arya Gatutkaca dipakai Gendhing Dandun atau Gendu. Untuk paseban
jaba Mandura Sepuh, di mana Arya Prabu dihadap R. Ugrasena gendhing yang
Bolang atau Mandulpati. Untuk paseban jaba Wirata, di mana R. Seta dihadap R.
Gendhing Randat.
para Senapati Wanara Anoman, Anggada, Patih Anila, Kapi Saraba, Cocak
adiknya yaitu Bukbis, Trisirah, Asmani Kumba, Kumba Asmani dan sebagainya
yaitu Batari Durga dipakai Gendhing Udansore atau Menyanseta atau Lokananta.
Untuk Jejer Sabrangan Buta (Raksasa Besar) misalnya Batara Kala, Gorawangsa,
Gendhing Babad. Untuk Jejer Amarta dipakai Gendhing Bujonggo atau Peksi
Bayan. Untuk Jejer Ngalengka dipakai Gendhing Parinom. Untuk Jejer Ratu Sewu
Negara yang mempunyai mata telengan dipakai Gendhing Rindik, Menggah, atau
Peksi Bayan. Untuk Jejer Mandura Muda di mana Kakrasana ditampilkan dipakai
Gendhing Bujonggo. Untuk Jejer Astina dipakai Gendhing Jomba (Jamba). Untuk
Jejer Binatang Hutan dan Raksasa Rucah dipakai Gendhing Babad Kenceng atau
Ldr. Wani-wani (Binatang-binatang yang ada pada Wayang Purwo di antaranya:
(Macan), Wraha (Celeng), Warak, Wanara (Monyet), Mina (Ikan), Garangan Seta
mengiringi Bagawan Abiyasa dari Bukit Ratawu bersama Raden Arjuna (Janaka)
dipakai Gendhing Lunta atau Lara-lara. Untuk mengiringi Raden Arjuna di tengah
hutan dan Arjuna dalam keadaan susah dipakai Gendhing Lagudempel, Laler
mengiringi Semar yang sedang bertapa dan akan terbang ke Suralaya dipakai
dipakai Gendhing Babad Kenceng. Untuk mengiringi Buta Alasan Laki dan
Perempuan (Biasanya malihan Dewa) dipakai Gendhing Kagok Madura atau Ugo-
Ugo.
Gendhing Rondon atau Semeru. Untuk mengiringi Nata Astina (Prabu Duryudana)
beberapa raja dari Pancalaradya, Kumbina, dan para Pandawa dipakai Gendhing
Semiring atau Candra (Harsono Kodrat, 1982). Untuk mengiringi Kapi Jembawan
Untuk mengiringi Duryudana terluka karena peluru emas Mimis Kancana atau
segenap para Dewa dipakai Gendhing Uluk-uluk. Untuk mengiringi Jejer Wirata
dan sebagainya dipakai Gendhing Geger Sore atau Kagok Madura. Gendhing-
Patet Manyura, Menjelang Tancep Kayon (Bubaran). Untuk Jejer Astina dipakai
Gendhing Gliyung atau Sumirat. Untuk Jejer Wirata dipakai Gendhing Pocung.
Manyura.
perang dibunyikan lagu Ting Ting Mo Jati Mogel ... yaitu Lagu Tayungan. Pada
sendiri Pasinden. Atau sering digunakan paraga Wayang Golek yang berupa
boneka atau Wayang Petruk. Ini mengandung arti bahwa Wayangan yang telah
digelarkan Ki Dalang tadi supaya dicari digoleki makna dan petunjuk yang ada
Wayang Kulit, Wayang Purwa, Wayang Gedog, Wayang Madya, Wayang Klitik,
Gamelan Sekati, umpamanya Guntur Madu dan Guntur Sari dan sebagainya),
Duradasih, dan banyak lagi gendhing Bedaya untuk mengiringi tari Bedaya
Sumreg, Bedaya Ketawang, Anglir Mendung, Badaya Srimpi, juga ada yang
instrumen Gamelan Slendro maupun Pelog pada masa sekarang hampir dikatakan
pakeliran.
Terjemahan:
Keduanya terhadap manusia, yang menanggap wayang itu jiwanya, kelir itu
angan-angan, raga debognya, dhalang itu cipta sir, balencong pramana,
wayang nafsu, pencar jadi panca indra, sedang pradangga menjadi busana
diri, demikian itulah jiwanya.
Bahwasanya dunia dan manusia itu semula diciptakan dari tiada oleh
Tuhan, hal ini dalam dunia pewayangan dilambangkan dengan pendhapa suwung
yang kosong, tetapi berisi. Begitu juga setelah kelir dibentangkan dan wayangnya
dalam kekosongan itu sudah ada gunungan atau kayon yang berarti hayyu atau
hidup. Ini pun lambang kosong, tetapi berisi setelah kayon ditarik ke bawah, maka
kemudian adik atau ari-arinya. Ini semua secara kosmis merupakan suatu
lambang kelahiran atau mulainya ada lakon (Sri Mulyono, 1989: 111).
Pertunjukan wayang yang berjalan semalam suntuk itu dibagi menjadi tiga
periode yaitu: Pathet Nem. Periode yang berlangsung pukul 21.00-24.00 ini
gamelan dan lagu dalam pathet nem ini ditandai dengan kayon (gunungan)
ditancapkan cenderung ke kiri. Periode pathet nem ini dibagi menjadi 6 adegan
(jejeran) yaitu Jejeran raja yang dilanjutkan dengan adegan kedhatonan. Setelah
selesai bersidang raja diterima permaisuri untuk bersantap bersama. Jejeran ini
melambangkan bayi yang mulai diterima dan diasuh kembali oleh ibunya.
mengenal dunia luar. Adegan jaranan (pasukan binatang, gajah, babi hutan).
Adegan itu melambangkan watak anak yang belum dewasa dan biasa mempunyai
sifat seperti binatang. Anak itu tidak memperhatikan aturan yang ada, tetapi hanya
aman.
dan nafsu. Adegan Perang Gagal, suatu perang yang belum diakhiri suatu
jalan lain. Adegan ini melambangkan suatu tataran hidup manusia masih dalam
fase ragu-ragu, belum mantap, karena belum ada suatu tujuan yang pasti (Sri
Wedhapurwaka demikian
Terjemahan:
Pethet nem rasa kehidupan, dari dua pihak, kedhaton yaitu maknanya,
rahsa kumpul dalam kandungan ibu, segera paseban jawi, itu maknanya,
bayi sudah lahir di luar, sebrangan diceritakan, bayi sudah ber-kembang
pikirannya, punya ulah segala kehendak, perang gagal artinya,
berkembang nafsu.
Wulangan yang diterapkan pada pathet nem ini merupakan ajaran yang
bersumber dari lingkungan hidup lahir dan sebagian dari lingkungan hidup batin.
Gambaran alam benda dan alam biologis di dalam janturan jejeran. Pada
manusia atau masyarakat dise-suaikan dengan tata susila yang berlaku dalam suatu
buda-ya. Namun di sini juga diingat latar belakang kesatuan hidup dan usaha
membawa manusia dari rasa nafsu naluri dan rasa ke-akuan meningkat ke dalam
1986: 89). Pathet nem dengan posisi kayon sedikit miring ke kanan
Masa Dewasa. Pathet sanga, Periode ini berlangsung pada pukul 24.00-
03.00 dengan ditandai gunungan yang berdiri tegak di tengah-tengah kelir seperti
pada waktu mulai pergelaran. Pathet sanga ini dibagi menjadi tiga jejeran yaitu :
Adegan bambangan, yaitu adegan seorang satria ber-ada di tengah hutan atau
sedang menghadap pendeta. Adegan ini melambangkan manusia yang sudah mulai
adegan perang antara raksasa Cakil berwarna kuning, Rambut Geni ber-warna
merah, Pragalba berwarna hitam, Galiuk berwar-na hijau, melawan seorang satria
yang diiringi panakawan. Adegan ini melambangkan suatu tataran manusia yang
sudah mulai mampu dan berani menga-lahkan nafsu angkara murka (sufiah,
lawamah, amarah dan mutmainah). Adegan Jejer Sintren, Yaitu suatu adegan
Dyan prang kembang wus ana pepati tegese lamun wong wus kuwawa
nayuti nafsune pan wis bangkit amateni pancaindriya kang mrih
durlaksaneng kalbu (Padmosoekotjo, 1995: 23)
Terjemahan:
Wejangan pada pathet sanga ini disampaikan kepada seorang satria oleh
Masa Tua. Pathet manyura, Periode ini berlangsung dari pukul 03:00-
06.00, ditandai dengan gunungan (kayon) condong ke kanan. Pathet manyura ini
dibagi menjadi tiga jejeran yaitu: Jejer Manyura. Tokoh utama adegan ini sudah
berhasil dan mengetahui dengan jelas akan tujuan hidupnya. Mereka sudah dekat
dengan sesuatu yang dicita-citakan. Adegan Perang Brubuh. Yaitu suatu adegan
perang yang diakhiri dengan suatu kemenangan dan banyak jatuh korban. Adegan
ini melambangkan suatu tataran manusia yang sudah dapat menyingkirkan segala
pergelaran wayang tersebut, diadakan tarian Bima atau Bayu yang berarti angin
Adegan yang terakhir ini melambangkan proses maut, jiwa meninggalkan alam
fana dan menuju kepada kehidupan alam baqa, kekal dan abadi (Sri Mulyono,
Terjemahan:
Wedharan pada pathet manyura berupa nasihat atau pernyataan pada jejeran
untuk memberantas dur angkara. Tindakan yang dilakukan tanpa marah, tanpa
pamrih yang melihat pada dirinya (Abdullah Ciptoprawiro, 1986: 89). Uraian
Semua sudah diatur menurut jadwal yang sudah ditentukan pada waktu sebelum
menjadi kosong atau suwung. Kemudian barulah Sang Dalang bertemu dengan
yang kuasa untuk menerima pahala sebagai berkah usahanya (Sri Mulyono, 1989:
14). Pathet manyura yang ditandai dengan posisi kayon sedikit miring ke kiri
manusia yang ihsan. Ibarat orang berdagang, pada akhirnya harus mendapat
untung, namun tidak selamanya untung harus berupa harta. Dalam pemahaman
orang Jawa terdapat konsep tentang untung rugi, yakni tuna santak bathi sanak
purwa menempati posisi yang sangat penting. Dalang harus menguasai bermacam-
macam keahlian meliputi bidang sastra, bahasa, tari, musik, dan drama. Dalang
adalah tokoh utama dalam semua bentuk teater wayang, yang telah dijelaskan
pada subbab di muka. Dia adalah penutur kisah, penyanyi lagu atau suluk,
mengajak penonton memahami suasana pada saat tertentu, dan di atas segalanya
itu, dialah pemberi jiwa pada boneka atau pelaku-pelaku manusianya itu.
didasarkan atas tradisi yang berabad-abad tuanya dan diturunkan selalu secara
lisan, umumnya dari ayah kepada anak laki-laki. Di samping pengetahuan dan
keterampilan yang harus dikuasai oleh mereka, misalnya tentang cerita, gending
yang dimainkan oleh penabuh gamelan, pangrawit atau niyaga, suluk, dan teknik
pergelaran, juga ada sekian banyak pengetahuan gaib yang terlibat di dalamnya.
Pengetahuan ini mengenai doa-doa dan mantra-mantra khusus, serta tata cara
tertentu dalam hal tingkah laku yang memberikan kekuatan bagi dalang
musim kering dan hama yang mengancam panen, malang mujur nasib seseorang,
dan juga keberhasilan sendiri sebagai seorang dalang. Pengetahuan gaib demikian
semata-mata hanya boleh dikuasai oleh mereka yang sudah diberkati, dan juga
Pengetahuan yang bersifat duniawi dan yang gaib ini berpadu, dan membentuk
juga menjelaskan bahwa seni dalang yang dahulu disampaikan dari ayah ke anak
tinggi dan disiplin yang besar. Selanjutnya dijelaskan bahwa pada masa yang akan
datang dan harus diketahui oleh seorang ahli pedalangan tahap-tahap dengan
sejarah para raja bukan hanya genealogi-genealogi mereka saja. Pemahaman yang
Gendheng atau resitasi, penguasaan resitasi yang dinyanyikan yang diiringi oleh
musik gamelan, orkes instrumen-instrumen Jawa dan juga resitasi yang diucapkan
keberanian yang tak memihak, berperilaku seperti seorang yang tak terusik oleh
apa pun, melupakan diri sendiri, tanpa malu atau takut untuk memainkan wayang
yang cocok bagi status setiap tokoh wayang. Ompak-ompakan atau kepandaian
perasaan yang mempertingginya di atas realitas melulu, serta dengan satu cara
Ilmu batin atau pengetahuan spiritual yang bertujuan supaya orang mampu
menjelaskan esensi dari pengetahuan ini bila misalnya dalang berbicara perihal
spiritual di sini tidak mengacu pada agama, tetapi pada kesempurnaan jiwa atas
yang esensial bagi dalang, terutama tekniknya dalam seni pewayangan antara lain
mendramatisasi narasinya dalam suatu keadaan dan melupakan diri sendiri secara
pendeta dan guru, pengetahuan pesona, serta kekuatan-kekuatan magi dari para
Di satu sisi ada kesejajaran yang mencolok antara kualifikasi yang dituntut
produser dari drama klasik, dan di sisi lain disamakan dengan seorang shaman
benar merupakan seseorang yang sangat dihormati dari komunitas mereka; mereka
mendapat sebutan kehormatan Ki yaitu singkatan bagi Kyai atau Yang Patut
superior.
wayang, ia harus memiliki daya tahan yang besar, kebugaran yang prima untuk
atau pakeliran pada umumnya selama 8 jam dari jam 21.00-05.00, dengan seorang
Sepanjang malam ia duduk bersila di tikar atau karpet di depan layar putih atau
kelir yang diterangi sebuah lampu yang tergantung di atas dan sedikit di depan
Jawa, di Bali dinamakan damar, digunakan untuk menciptakan suasana yang lebih
hangat dan lebih hidup daripada cahaya yang ajeg atau tetap dari bola lampu
listrik, yang menggambarkan kemajuan teknologi. Dua batang pisang yang cukup
daging batang pisang pada ujung yang runcing dari pegangannya, dijadikan satu
secara horisontal sepanjang pinggir bawah layar, dan dengan demikian berperan
sebagai panggung.
kothak dari kayu dipukul-pukul dalang, yang dengan pemukul kayu yang disebut
cempala untuk memberi tanda-tanda bagi para pangrawit setiap ada peralihan
kendang, gender, bonang, slenthem, saron, kenong, kethuk, kempul, dan gong.
Suara sayu rebab dan suara suling atau seruling yang penuh permainan serta
lempengan metal yang bersentuhan yaitu kepyak, yang digantungkan pada dinding
memukulnya dengan sebuah cempala kecil yang dicepit di antara jari-jari kaki
dapat dilihat sekarang sebagai satu bidang yang luas. Jumlah variasi bentuk-
bentuk fantastis wayang sangat mengagumkan. Wayang-wayang itu sendiri adalah
keahlian yang sangat teliti. Siluet-siluet wayang pertama dipahat dari kulit kerbau,
bila dilihat di bawah sorotan atau sinar lampu, beberapa bagian yang terkecil
seperti hiasan dari benang emas kelihatan sangat indah dilukis dan dicat warna
tangkai atau gapit yang terbelah, melengkung ke atas dan menyembul dari
sebatang pegangan runcing ujungnya. Sebagian besar wayang yang terbuat dari
kulit memiliki dua tangkai tangan yang dikaitkan pada cempurit dibuat dari
bambu atau tanduk kerbau. Ujung-ujung yang digerakkan hanyalah siku dan
keseluruhan boneka dapat digerakkan maju atau mundur, menari, jatuh bangun,
berputar, melayang-layang, atau turun dari ketinggian, dan lebih atraktif lagi pada
seni suara. Pada adegan-adegan yang tidak tenang, misalnya adegan perang, ia
berkelahi, menusuk dengan keris, atau melepaskan sebuah anak panah. Gerak-
gerak setiap wayang dihasilkan oleh jari-jari yang cekatan dari hanya dengan
posisi tertentu pada layar, hingga bayang-bayang itu menjadi berubah-ubah dan
menjadi lebih panjang daripada siluet-siluet gelap yang tajam dari figur-figur yang
berdiri tepat pada layar. Dengan demikian, hitam dan kelabu, ketajaman dan
kepanjangan, tidak bergerak dan kemungkinan yang luas dari gerak, ada dalam
pisang, gunungan merupakan lambang dari dunia wayang, yaitu kayon atau
kekayon sebagai pertanda bahwa pegelaran wayang kulit akan segera dimulai.
BAB V
LAGU LADRANG
Ladrang Remeng
Sl. Pt. 6
. . . . . . .
Buka: 5 6 1 . 216 5 1111 3 2 16
. . . .
A. .66. 6656 .
1653 2232
.. 6 1 2232 321 6 5612
. . . .
B. 321 6
5 6 12 321 6 3353
. . . .
. .
.356 1653 56 16 5323
C. 6521 .
6 123 5 16 5321
6
.
. 612 .1 6 5 .. . . .
. . .
11.. 3216
Buka: . . .
5 .6 1 .21 6 511. 3216
. . . .
A. .66. 6656 .
1653 2232
6 3 6 5
. . . . 6 3 6 2 6 3 6 5 6362
. . . . . . . . . . . .
B. 6
.
3 6 5 6 3 6 2 6 3 6 5 6362
. . . . . . . . . . . . . . .
6 3 6 5
. . . . 2 3 5 6 2353 212 6
. . . . .
C. 33 6 5
. . 2126 33 6 5 2126
. . . .
3365
2126 336 5 3212
. . . . .
.
D. ..2. 22.3 56 1. 6 . . .
156 .1.. 2..3 56 1. 6 156
. .
.1.. 2..3 56 1. 656 1 . .
.65 1 561 2 ...3 .5.6
.
E. ..5 1 . . . .
6.5 1 6.5 1 65 16 . 1.6 .5.3 .2.2 .32
6 3 6 5
. . . . 6 3 6 2 6 3 6 5 6362
. . . . . . . . . . . .
Suwuk:
F. 6
.
6 3 6 5 6 3 6 2 6 3 6 5 6362
. . . . . . . . . . . . . . . .
G. 6 3 6 5 6 3 6 2 6 3 6 5 6362
. . . . . . . . . . . . . . . .
6 3 6 5 6 3 6 2 6 3 6 5 6362
. . . . . . . . . . . . . . . .
3 6 5 6 3 6 2 6 3 6 5 6362
. . . . . . . . . . . . . . .
Buka: 3 1 2 3 12. 6 . 3 .6 . 5. 6 . 3. 6 .2
.
. . . . . . .
A. 6
. 3 6 5 6 3 6 2 6 3 6 5 6362
. . . . . . . . . . . . . . .
6
. 3 6 5 6 3 6 2 6 3 6 5 6362
. . . . . . . . . . . . . . .
C. . 6. 3 . 6. 5 . 6. 3 .6. 2
. . . . . . . .
. 6. 3 . 6. 5 . 6. 3 .6. 2
. . . . . . . .
Ladrang Bedhat
Sl. Pt. 6
A. .111 2321
5 6 1. 2321
. .
B. .123 212 6
. .123 212 6
.
.123 212 6 .. .
.
1165 1653
C. .356 .356 .356 .532 .356 .356 .356 .532
.
.356 .356 .356 .532 .5.5 .... . 1.6 .5.3
B. .1. 6
. .1.6 .3.6 .3.5
.
Ladrang Sobrang
Sl. Pt. 6
Buka: 6 6 3 5 6 . 5 3 32.3 56
A .3.1 .3.2 .3.1 .3.2
.3.1 .3.2 . 6.5 .1. 6
. . .
B. .1. 6
. .1.6 .3.6 .3.5
.
A. . 6
. 5. . 6 .5 . 6 . 3 .6.5
. . . . . . .
A. . 5. 6 . 5. 3 . 5. 6 .5.3
. . . . . . . .
.5.6 . .
1.6 .3.5 .3.2
B. .5.6 .5.3 .1.6 .5.3
.
.5.6 . 1.6 .3.5 .3.2
C. .5.3 .1.6 .2.1 .2.3
. 5. 6 .1. 6 . 3. 5 .3. 2
. . . . . . .
Ladrang Erang-Erang
Sl. Pt. 6
Buka: . 2 . 3 6 5 3 2 .. 2 3 563 5
. . . . . . . . . . . .
A. . 6. 3 . 6. 5 . 6. 3 .6.5
. . . . . . . .
. 6. 3 . 6. 5 .1. 6
.3.2
. . . . .
B. 3 5 6 5
. . . . 2232 5653 212 6
.
.
. 6 6 6 3 3 5 6 3532 .356
. . . . . . . . . . . . .
C. . 5 5 5
. . . 2 2 3 5 2356 3353
. . . . .
11.. 321 6
. 3 5 3 2.356
. . . . . . .
22.. 2321 32 6 5
. . 2232
D. ..23 6532 ..21 321 6
.
. 6 6 6
. . . 3 3 5 6 3 5 3 2 .356
. . . . . . . . . . .
11.. 1121 32 6 5
. . 3561
. . .
.
E. 33.. 33.5 6 165 3231
.... 1123 6532 .126
.
.... 66.. 6616 5323
5653 2165 3561 3216
. . . . . .
F. 3 5 6 5
. . . . 2232 5653 212 6
.
.36.
. . 3 5 61 .3.2 .1. 6
. . . .
.2.1 .2. 6
. .2.1 .2. 6
.
.2.1 .2. 6
. .3.2 .5. 6
. .
Ladrang Krawitan
A. . 5 .3
. . . 5. 6 . 5. 3 .5.6
. . . .
. . . . .
. 1.6 . 1.6 .2 . 1 .2.6
B. .3.5 .6.5 .3.6 .5.3
.5.2 .3.2 .3.5 .3.2
.
C. .3.5 .6.3 . 1.6 .5.3
.
. 1.6 .5.3 .2.3 .6.5
D. .3.2 .6.5 .3.2 .3.2
.3.2 .3.2 .5.3 .6.5
. .
E. .3.2 .3.5 . . . .
2 . 1 .2.6
. . . . .
. 1.6 . 1.6 . 2 .1 .2.6
Ladrang Ling-Weling
Sl. Pt. 6
A. 5 6 3 5 1635
. . . .
. . .
2352
6 5 3 2
. . . .
B. 1 6 36
. . . 1635
. . .
3232 531 6
.
C. 531 6
. 5316
.
5656 3532
D. 6532 6532
3232
6532
. . . .
Buka: 2 2 2 5 321 5
.
6121 635
. . . .
.
A. 2.25 2.25 2.25 656 1
.
B. 2.25 2.25 2.25 656 1
C. 6356 . . . . . . . . . .
2126 2 3 2 1 3 2 16
. . . . . . .
D. 2 3 1 2 5321 56 1 2 1635
Ladrang Jangkrik Genggong
Sl. pt. 9
. .
Buka: 165. 2 165 32.3 5635
. .
Lancaran: 3235 6 165 6 165 3235
53212
.
A. . . 23 1232 56 16 5321
.
55 16 5321 6632 .16 5
. .
B. . . 5 2
. . 3 5 6 5 212 . 2165
. . . . . .
212. 21 6 5
. . 22.3 1232
212. 21 6 5
. . 32.3 2.32 3565 3212
D. . . 23 1232 .333 5653 5323 2121
2356 .
1656 5323 2121 235. 6535 3212 3565
Ladrang Clunthang
Sl. Pt. 9
.
Buka: 5 5 5 6 1652 2232 1121
A. .5 . 6 .2.1 .5.6 .5.6
.5.6 .3.5 .2.1 .6.5
. .
B. . 1.6 .3.5 . 1.6 .3.5
.
. 1.6 .3.5 .2.3 .2.1
Cakepan:
d. Nglangkungi dhusun-dhusun
busekan pra janma
geng alit anyabawa
ngungun citrane sang pekik
rame sung sesanti
narka sangya maru bumi
tan kendhat ngobong dupa
pamrihe agung rejekine
Buka: . 5 . 6 . .
165 2222 1121
A. .6.5 .2.1 .6.5 .2.1
.6.5 .3.2 . 6.1 .6.5
. . .
B. .3.2 . 6. 5 .3.2 . 6 .5
. . . .
A. . . . . . . . . . . . .
2.6 1 2 .5 . 2.6 1 2 5. .616 2 6 1 . . 6 16 261
.
Ladrang Wani-Wani
Sl. Pt. 9
Buka: 2 5 3 5 26365
A. .3.6 .3.5 .3.6 .3.5
.2.3 .5.3 .6.5 .3.5
B. .5.3 .5.2 .5.3 .5.2
.5.3 .5.2 .6.3 .6.5
C. . . .
1.6 .3.5 . 1.6 .3.5
.2.3 .5.3 .6.5 .3.2
Ladrang Uga-Uga
Sl. Pt. 9
. . .
Ladrang Giyak-Giyak
Sl. Pt. 9
.2.1 .6.5 .
..6. .56. 5.6. 56. 1
. .
. .
B. . 2 .1 .5.6 .5.6 .3.2
. . 23 56.5 .2.1 .2.1 .6.5
. .
Ladrang Candra Upa
Sl. Pt. 9
A. . . 5 6
. . 1232 .21 6 5612
. . .
. . . .
B. .2.2 .. 35 61.6 15.6 .2.2 .356 1615.6
. . .
.2.2 ..35 6 1.6 . 1.5 2321 .56 1
. . . .
C. .. 3 2 .165 1656 5321
.
66.1 6535 5621 32 6 5
. .
Ladrang Uluk-Uluk
Sl. Pt. 9
Ngelik: 1. 5 .6
. .
B. .5.6 .5.6 . . .
2 . 1 .5.3
.2.3 .5.3 .6 .5 .3.2
C. .3.2 .5.6 .2.3 .5.6
.2.1 .2.1 .2.1 .6.5
. .
Ladrang Kembang Tanjung
Sl. Pt. 9
Ladrang Gonjang-Ganjing
Sl. Pt. 9
. .
Ngelik: 1.6 2 1
. .
B. . 3 . 2 . 6. 5 .1.6 .5.6
.5.6 .3.5 .2.1 .6.5
. .
Ladrang Kagok Madura
Sl. Pt. 9
Buka: 5 3 2 3 .363 51 6 1 21
.
. . . . . . . . . . .
B. 1 1.. 1 1 2 1 3 2 12 . 16 5
. . .
1632 56 16 356 1 6535
.
C. 1656 5321 56 .
16 5321
.
5616 5321 6 6 3. 12 6 5
. .
Ladrang Gondosuli
Sl. Pt. 9
Wirama lancaran:
321 6 5 6 12 321 6 5612
. .
. . . .
. 3 .2 .6.5
.1.6 .3.2
. . .
.
.3.5 .6.5 . 1.6 .3.2
.
.1.6 . 1.5 .1 .6 .3.2
Ngelik:
. .
6. 2 . 1
. . . . .
B. . 2 .1 . 3. 2 . 1.6 .3.5
. . .
. 2 . 1 . 2 .6 .5.3 .1.2
.
.3.5 .6.5 . 1.6 .3.2
. .
.1.6 . 1.5 . 1.6 .3.2
Ladrang Srikaton
Sl. Pt. Manyura
Ladrang Gonjang
Sl. Pt. Manyura
B. .3.2 .1. 6
. .3.1 .2.1
.5.6 . . . .
2 . 1 . 2 .6 .5.3
C. .3.3 .5.6 .5.3 .5.6
.3.2 .3.1 .3.2 .1. 6
.
Ladrang Gonjang Seret
Sl. Pt. Manyura
.
Buka: 6 6 6 3 56 16 532. 5.3
A. .235 . 2 35 2356 5253 . . .6 . . . 5 . . . 3..............2
. . .5 .. .3 . . . 5 . . . 2 .35. 2356 . .
12652353
.235 . 2 35 2356 5253 . . .6 . . .5 . . .3 . . .2
. .
...5 ...3 ...5 ...2 .35. 2356 1265 2353
. . . . ..
B. .126 . 1 26 1 26 5 2353 ...6 ...5 ... 2 ...1
..
...3 ...2 2.6. 5.3. 2.35 2356 1 26 5 2356
. . . . ..
.126 . 1 26 1 26 5 2353 ...6 ...5 ... 2 ...1
..
...3 ...2 2.6. 5.3. 2.35 2356 1 26 5 2356
Ladrang Pangkur
Sl. Pt. Manyura
Lancaran:
3231 321 6
. 1 632 5321
.
Ompak:
. . .
6 1 3 2 5321 .3.2 .1. 6
.
. .
Ngelik: 2. 3 . 2
. . . . . .
B. ..2 . 5 3 2 3 . . 35 6 156
. . .
2 2 . . 5221 3265 1653
. .
. . 35 6 156 356 1 6532
.
6 132 6321 .3.2 .1. 6
.
Ladrang Lere-Lere
Sl. Pt. Manyura
.. . . .
Buka: . 3 . 1 2312 11.. 3216
.366. 532
. . . . .
A. 1 1.. 3 2 16 .356 .532
..
11. . . . .
3 2 16 .356 .532
. . 53 212 6
. .123 212 6
.
33. . 3321
6 123 212 6
. .
Ladrang Moncer
Sl. Pt. Manyura
. .
Buka: . 2 3 4 6532 1653 5616
A. 53 . .
16 53 16 3323 6532
Ngelik: . .
3235 6532 1653 5616
. .
B. . . 63 56 16 356 1 6532
. .
3235 6532 1653 5616
535
. . .
A.6
5 61 2 16 5
6 5 61 2165
. . . . . . . . . .
1615
1615 66. . 5326
. . . .
B. .6. . 5326 .6. . 5326
.6. . 5326 3365 3212
C. 3235 6532 3235 6532
5352 5352 11. . 653 5
. . . .
Ladrang Slamet
Sl. Pt. Manyura
B. ..6. . . .
15 16 356 1 6532
. ..
66.. 1 5 11 6 1 132 .1 2 6
.
Ladrang Asmaradana
Sl. Pt. Manyura
Lancaran:
2126 2123 5321 3231
6321 3216 5321 321 6
.
A. .2.1 .2. 6
. .2.1 6123
.
B. . . .
2 .1 . 5. 3 .5.6 .5.3
.
.6.5 . 1.6 .3.2 .1. 6
.
A. .5.3 .1. 6
. .5.3 .1. 6
.
B. . .
1.6 .5.3 .5.2 .5.3
.5.2 .5.3 .1.2 . 1. 6
.
.
. 1.6 .5.3 .5.2 .5.3
Buka: 2 2 1 6 5 .6 1 2.1. 6
.
. . .
A. .1. 6
. .3.2 .1. 6 .3.2
.
Buka: . .
6 132 .66 2 1 6523
.
.
Buka: 6 6 . 6 .65 1 6536 132
.
Ladrang Liwung
Sl. Pt. Manyura
A. .5.6
.3.2 .5.6 .3. 2
. . . . . . . .
.5.6
.1.6 3
.65 2126
. . . . . . .
B. . 6 5 3
. . . 2126 . 6 5 3 212 6
. . . . .
.3.5
.6.5 .6.5 .3. 2
. . . . . . . .
Ladrang Sumirat
Sl. Pt. Manyura
. .
Buka: 1 5 6 . 1653 5652 5653
A. 5652 5653 5652 5653
. .
5652 5653 156. 1653
. . . .
B. 156. 1653 156. 1653
. .
156. 1653 5652 5653
Ladrang Wilujeng
Pl. br
Ladrang Sriyatna
Sl. Manyura
Ladrang Kapidhongdhong
Pl. 6
Ladrang Manten
Pl. br
Ladrang Pangkur
Pl. br
Buka: Celuk 1
A. .21. 2165 .156 1121
.654 2465 .656 5421
B. ..1. 3532 3576 3532
165. 3565 7656 5421
Ladrang Raja Manggala
Pl. 6
Ladrang Karonsih
Pl. br.
6253 6165
6253 6165
6356 2321
3216 2365
Ladrang Kumandhang
Pl. brng (Soran)
Buka
66532 1123 215616
Irama I & II
2321 3532 5321 3532
6356 2165 3632 5356
Irama III
3636 2321 6123 6532
6253 2321 6123 6532
6253 1216 2321 6545
6356 3532 5316 2126
Gobyog
3636 3636 .2.3 .2.1
5151 5151 .6.5 .3.2
6262 6253 .1.2 .1.6
.2.3 .2.1 .6.5 .4.5
.6.3 .5.6 .2.1 .6.5
.3.6 .3.2 .5.3 .5.6
Cakepan:
Ayun-ayun gobyog gawe gumun
Tekun sarwa rukun akeh kang kayungyun
Dadi srana iku datan jemu
Nyawiji ing panemu condhonging kalbu
Hangadi busana
Karana hamung sira pindha mustika
Esemu nimas maweh welas
Murih aja anandhang kawlasih
Ladrang Asmarandhana
Slendro
Ladrang Wahyu
Ladrang Nuswantoro
Pl. 6
Ladrang Enggar-Enggar
Pl. br
Ladrang Sigramangsah
Slendro manyura
Ladrang Sumyar
Pelog barang
Buka . 3 6 5 2 726 7 6 73 7 6 72
. . . . . . . .
A. 73
72 7 72 7 3 72 5653
. .
3
.
7673
7 6 72 5.56 5.53
. . . . . . ..
Ladrang Sigramangsah
Slendro manyura
Ladrang Ginunjing
Pelog barang
A. 1612 1 6 35 1 6 12 1635
. . . . . . .
. . . . . . . . . . .
11. . 1121 321 2 . 16 5
.
C. ..56 1654 2321 3216
.
GENDHING KETAWANG
Pl. 6
Sl. 9
Sl. Manyura
Pl. br
Buka: celuk 6
Ketawang Mesubudi
Pl. br
Sl. Manyura
Pl. br
Sl. 9
Ketawang Subakastawa
Pl. 5
Sl. 9
Pl. 6
Pl. brng
Ompak:
Gerong:
Pl. 6
Ketawang Subakastawa
Sl. 9
Buka gender
Ompak:
Sl. Pt. 9
Buka: 2 . 2 . 323.5
. . . . .
A. .. 5 3 2 3 5 6 .2.1 . 6.5
. .
. . . . . .
B. 121 6 . 5 3 2 .. 2 3 5635
.
. . . . . . . . .
126 . 5 3 2 . . 2 3 5635
.
. . . . . . . . .
Sl. Pt. 9
B. . . .
2 .1 .6.5 .2.1 . 6.5
. .
. .
. 2 . 1 .6.5 .2.1 . 6.5
. .
. .
. 2 . 1 .6.5 .2.1 . 6.5
. .
Ketawang Langen Gita
Sl. Pt. 9
.
. . . .
B. . . 5. 6165 1 2 15 5312
.
. . . .
66. . 6165 1 2 15 5312
Ketawang Rajaswala
Sl. Pt. 9
.
B. 632. 2365 6.2. 6165
. .
C. 6.2. 2356 2152 5321
.
. . .
C. . . 35 6356 356 1 3216
.
. . . . . . . .
D. 1 1..
3 2 16 356 1 3216
E. 33. . 6532
6 123 6532
.
Ketawang Martapuran
Buka: . 1 2 3 212 6
.
3 5 6 5 2232
. . . . . . . .
A. . . 23 212 6
.
3 5 6 5 2132
. . . .
B. 66. . 6656
. .
2 165 3532
C. 5653 212 6
.
3365 3212
D. .123 212 6
.
3365 3212
E. .123 212 6
.
22. . 2232
F. .123 212 6
.
33. . 6532
G. .123 212 6
.
3 5 6 5 2232
. . . . . . . .
Ketawang Pucung
Buka:
6 123 3221 63532
. .
A. ..21
B. ..21
6 132 ..21 6123
. .
.
C. . . 3. 33.5 6 156 .523
D. .5
.
16 2321 3532 .12 6
.
B. ..6. . . . . . . .
2 3 2 1 3265 1653
B. 33. . 3356 . . .
1 2 16 3532
. .
C. 6 11 3 2
. . .
6 1 3 2 6653 212 6
.
Ketawang Pawukir
. . . . . .
C. 36 1 2 131 2 6321 3532
Pelog 6
Buka .
6 12 3 .2.1 3312 .12 6
. .
. . . .
B. 33.. 3356 2321 6532
Ketawang Pucungwuyung
Pelog 5
Ngelik
.
B. . . 5. 356 1 . .
. 165 356 1
. . .
C. 2 165 446 1654 6521
5
D. . . 1. 5612 6 6 42 1 2165
. . .
Ketawang Rajaswala
Slendro 9
Buka .
666 232 1 321 6 216 5
. . . . . .
A. 66 . . 2321 321 6 2165
. . . ..
Ngelik kagerong
Pelog barang
B. Ngelik kagerong
Ketawang Sitamardawa
Pelog barang
B. Ngelik kagerong
.2.3 .2.7
.
33 . . 3356
. 7 2. 6 723 . 73 2 .75 6
. . . .. .
Slendro 9
. . . . .
B. ..5. 1216 2 15 3 6532
..
..21 321 2321 3216
6
.