Anda di halaman 1dari 8

ALAT MUSIK GENDANG

Kendhang atau gendang adalah instrumen dalam gamelan yang salah satu fungsi utamanya
mengatur irama. Instrument ini dibunyikan dengan tangan, tanpa alat bantu. Jenis kendhang
yang kecil disebut ketipung, yang menengah disebut kendhang ciblon/kebar. Pasangan ketipung
ada satu lagi bernama rony gedhe, biasa disebut kendhang kalih. Kendhang kalih dimainkan
pada lagu atau gendhing Keling yang berkarakter halus seperti ketawang, gendhing kethuk kalih,
dan ladrang irama dadi. Bisa juga dimainkan cepat pada pembukaan lagu jenis lancaran,ladrang
irama tanggung. Untuk wayangan ada satu lagi kendhang yang khas yaitu kendhang kosek.
Kendhang kebanyakan dimainkan oleh para pemain gamelan profesional, yang sudah lama
menyelami budaya Jawa. Kendhang kebanyakan di mainkan sesuai naluri pekendhang,
sehingga bila dimainkan oleh satu orang dengan orang lain maka akan berbeda nuansa dan
hawa nafsu awok²

Kendang Berdasarkan Bahan


Jenis kendang jika dilihat dari bahan terbagi menjadi dua yaitu kendang berbahan dasar kayu
dan kendang berbahan dasar tembaga. Kendang berbahan dasar kayu lebih populer di masya-
rakat daripada kendang berbahan dasar tembaga. Banyak ter- sedianya bahan serta proses
pengerjaan yang mudah, menjadi alasan para pengrajin untuk membuat kendang dari bahan
dasar kayu. Ini tentunya menyangkut letak geografis Indonesia (Jawa Barat khususnya) yang
memiliki hutan, perkebunan, serta lahan pertanian yang luas sehingga bahan dasar kendang dari
kayu banyak tersedia di masayarakat. Bahan dasar kayu selama ini dianggap memiliki kualitas
paling baik jika dibandingkan dengan bahan dasar lainnya. Kualitas baik ini menyangkut karakter
bunyi yang dihasilkan serta keawetan bahan yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang
lama. Adapun kayu yang paling baik untuk membuat kendang adalah kayu nangka karena serat-
seratnya lebih jelimet sehingga kendang tidak mudah pecah jika kena panas sinar matahari atau
ketika dilaras dalam nada gamelan. Jenis kendang yang kedua adalah kendang yang terbuat
dari tembaga. Pembuatan dan penggunaan kendang berbahan dasar tembaga ini belum banyak
dilakukan oleh para pengrajin Sunda. Kendang tembaga hadir atas dasar kreativitas seniman
karena kebutuhan rasa musikal sehingga kendang tembaga termasuk hasil modifikasi atau
perkembangan pada masa sekarang. Modifikasi ini tujuannya untuk mencari alternatif lain dalam
rangka menghasilkan warna bunyi dan teknik yang baru.1 Keberadaan kendang ini terdapat di
segelintir para seniman saja seperti halnya yang berada di grup musik Patareman Bandung
pimpinan Ubun Kubarsah. Kendang berbahan dasar tembaga ini dinamakan kendang taga
dengan bentuk menyerupai kendang kulanter. Meskipun berbahan dasar tembaga, tetapi
wangkis (bidangnya) tetap menggunakan bahan kulit hewan kerbau atau sapi.

Kendang Berdasarkan Ukuran Besar Kecilnya


Kendang berdasarkan ukuran yakni ketegori kendang berdasarkan besar kecilnya. Secara
umum, kendang berdasarkan besar kecilnya terdiri dari dua yaitu kendang indung (kendang
yang besar ) dan kendang anak atau kulantér (kendang yang kecil). Pembagian kedua kendang
ini berlaku dalam berbagai jenis kesenian baik dalam kendang Jaipongan, Wayang Golék, Penca
Silat, Ketuk Tilu, dan lain- lain. Kendang indung memiliki dua beungeut (muka) yaitu beungeut
gedug (muka kendang besar bagian bawah) dan beungeut kumpyang (muka kendang besar
bagian atas). Kendang kulantér dibagi dua antara lain: kendang kutiplak yaitu kendang yang
posisinya berdiri dekat beungeut kumpyang kendang indung (ditepak bagian yang kecilnya) dan
kendang katipung yang posisinya dekat beungeut gedug kendang indung (ditepak bagian muka
yang besarnya).

Kendang Berdasarkan Fungsi


Pembagian kendang berdasarkan fungsi adalah jenis kendang berdasarkan penggunaannya
yaitu digunakan untuk kesenian apa kendang tersebut dalam karawitan Sunda. Jika kendang
digunakan untuk iringan Jaipongan disebut kendang Jaipongan, jika kendang digunakan untuk
iringan sisingaan disebut kendang sisingaan. Begitu pula jika kendang digunakan untuk iringan
Ketuk Tilu disebut kendang Ketuk Tilu, jika kendang digunakan untuk iringan Penca Silat disebut
kendang Penca Silat, dan lain-lain.
Dilihat dari ukurannya, kendang dibagi menjadi beberapa macam. Kendang berukuran kecil
disebut Ketipung, sedangkan yang berukuran sedang disebut Ciblon atau Kebar. Ada pula
kendhatwng berukuran besar yang merupakan pasangan dari ketipung, dinamakan Kendhang
Gedhe atau dikenal dengan sebutan "Kendhang Kalih". Ada lagi jenis yang khusus digunakan
untuk pewayangan yaitu "Kendhang Kosek". Selain beberapa macam alat musik kendhang
tersebut, di Indonesia terdapat beberapa versi lain, seperti:

Kendang Sunda
Kendang di daerah Jawa Barat umumnya disebut Kendang Sunda. Satu set jenis ini minimal
terdiri dari tiga kendang yaitu satu kendang indung (berukuran besar) dan dua kendang anak
(kendang kulanter). Kulanter terbagi menjadi dua yakni katipung (dibunyikan wangkis di bidang
besarnya) dan kutiplak (dibunyikan wangkis di bidang kecilnya).
Terdapat berbagai macam kendang Sunda yang dibedakan berdasarkan fungsinya dalam
iringan, antara lain:

• Kendang Kiliningan
• Kendang Jaipongan/Kendang Jaipong
• Kendang Ketuk Tilu
• Kendang Keurseus
• Kendang Pencak Silat
• Kendang Bajidoran
• Kendang Sisingaan
• Dan Lain-lain.
Setiap jenis kendang di atas memiliki perbedaan dalam hal ukuran, pola, ragam, dan motif
tepakan yang dihasilkan.
Kendang Kiliningan
Kendang Kiliningan adalah kendang Sunda yang digunakan untuk mengiringi Kiliningan.
Kiliningan adalah sajian vokal yang diiringi seperangkat gamelan pélog saléndro. Ciri khas dari
kendang ini adalah bunyi nada kumpyang lebih rendah jika dibandingkan dengan kendang
Jaipongan atau kendang penca silat. Dalam pola pelarasan, kendang Kiliningan termasuk dalam
pola pelarasan 1 dan 2 karena dalam bidang kutiplak dan katipung terdapat dua nada yang
berbeda yang biasa digunakan oleh masyarakat jika diambil dari nada gamelan.

Kendang Ketuk Tilu


Kendang Ketuk Tilu adalah kendang Sunda yang digunakan untuk mengiringi tari Ketuk Tilu.
Kendang ini memiliki ukuran lebih besar dari kendang Jaipongan namun lebih kecil dari kendang
Penca Silat. Ciri khas kendang ini adalah bunyi nada wangkis kumpyang lebih rendah dari
kendang Jaipongan dan kendang Penca Silat. Kendang Ketuk Tilu menurut Lili Suparli dan
Sunarto termasuk dalam pola pelarasan ketiga jika nada kendang disesuaikan dengan nada
dalam gamelan.

Kendang Penca Silat


Kendang Penca Silat adalah kendang Sunda yang digunakan untuk mengiringi penca silat.
Kendang penca silat ukurannya lebih besar dan lebih panjang jika dibandingkan dengan
kendang lainnya dalam karawitan Sunda seperti dengan kendang Jaipongan, kendang Ketuk
Tilu atau kendang Wayang Golek. Berbeda dari jenis kesenian lainnya, dalam kendang Penca
Silat kendang besarnya terdiri dari dua buah dan kendang kecilnya terdiri dari empat buah.
Dalam kendang besar pun ada dua nama yaitu kendang indung dan kendang anak.

Kendang Wayang Golék


Kendang Wayang Golék perlu juga kiranya diketahui oleh pembaca agar lebih dapat memahami
tentang kendang di dalam karawitan Sunda. Kendang Wayang Golék adalah kendang Sunda
yang digunakan untuk mengiringi Wayang Golék . Wayang Golek adalah sejenis teater boneka
yang di dalamnya memiliki multi jenis kesenian di antaranya ada karawitan, tari, teater, seni
rupa, dan lain- lain. Pada mulanya, kendang Wayang Golék memiliki larasan yang rendah
terutama jika dilihat dari bunyi kumpyang pada kendang indung. Jika dilihat dari pola pelarasan
yang dibuat oleh Lili Suparli, maka kendang Wayang Golék termasuk pada pola pelarasan II.
Namun, sesuai dengan perkembangan zaman terutama dampak dari menyebarnya karawitan
Jaipongan di para seniman, maka pelarasan kendang Wayang Golék menjadi lebih tinggi
sehingga sama dengan pelarasan kendang Jaipongan. Kebutuhan akan garapan Jaipongan
dalam Wayang Golék mendesak pera pengendang untuk menyesuaikan pelarasan kendang
Jaipongan terhadap Wayang Golék.

Perkembangan Kendang Sunda


Sesuai dengan perubahan waktu dan zaman, kendang Sunda terus mengalami perubahan
dalam berbagai hal baik dari bentuk, teknik penyajian, jumlah waditra, fungsi, maupun motif-motif
tepakan yang dihasilkan. Hal ini sebagai hasil respons para seniman dan kreator seni Sunda
terhadap berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat terutamad para pecinta seni Sunda.
Tuntutan pasar dan kebutuhan zaman yang ada serta terjadinya perubahan dinamika sosial
masyarakat Sunda dalam setiap waktunya, merupakan beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya berbagai perubahan dalam kendang Sunda.

Penyebaran Kendang Sunda


Kendang Sunda terus menyebar keberadaannya ke berbagai daerah di Indonesia bahkan
mancanegara. Kendang Sunda menyebar ke Yogyakarta, Surakarta, Banyumas, Semarang,
Bali, Banyuwangi, dan lain-lain. Kendang Sunda terus mengisi berbagai genre kesenian di
berbagai daerah, baik seni tradisi maupun seni populer. Di Yogyakarta, kendang Sunda masuk
dalam kesenian Wayang Kulit, Campursari, Jathilan, di PLT Bagong Kussudiardjo, dan iringan-
iringan tari kreasi baru. Kendang Sunda digunakan pula di beberapa sekolah keesenian antara
lain di ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, serta di STTKD Yogyakarta. Penyebaran kendang Sunda
terdapat pula dalam grup-grup kesenian di berbagai daerah di Indonesia.

Kendang Jaipong
Kendang Jaipong merupakan jenis kendang Sunda yang digunakan sebagai pengiring tari
Jaipongan. Jenis Kendang Sunda Jaipong termasuk salah satu jenis yang tersebar di berbagai
daerah nusantara bahkan mancanegara. Kendang Jaipong dapat dimainkan dalam berbagai
jenis kesenian di Indonesia, misalnya:

• Di Jawa Barat, instrumen jenis ini sering dimainkan dalam kesenian Wayang Golek,
Kiliningan, Ketuk Tilu, dan Bajidoran.
• Di Solo dan Yogyakarta, Jaipong dimainkan dalam kesenian Campursari, Wayang
Kulit, Ketoprak, Jatilan, Iringan Tari Kreasi Baru, hingga Komposisi.
• Di Semarang, Jaipong kerap dimainkan dalam kesenian Gambang Semarang.
• Di Banyumas, jenis instrument ini kerap tampil dalam kesenian Angklung Banyumas
dan Wayang Kulit.
• Di Bali, Jaipong sering pula dimainkan dalam salah satu kesenian khas setempat
yakni Joged Bumbung.
Selain itu, kendang Jaipong beserta nuansa musikalitasnya kerap diadopsi oleh genre musik
populer seperti jazz, dangdut, hingga keroncong. Hal ini manandakan bahwa Jaipong memiliki
fleksibilitas tinggi sehingga bisa “masuk” pada berbagai jenis kesenian.
Sejarah kendang
Dilihat dari bukti sejarahnya kelompok membranofon telah populer di Jawa sejak pertengahan
abad ke-9 Masehi dengan nama: padahi, pataha (padaha), murawaatau muraba, mrdangga,
mrdala, muraja, panawa, kahala, damaru, kendhang. Istilah "padahi" tertua dapat dijumpai pada
prasasti Kuburan Candi yang berangka tahun 821 Masehi (Goris, 1930). Seperti yang tertulis
pada Kakawin Nagarakretagama gubahan Empu Prapañca tahun 1365 Masehi (Pigeaud, 1960),
istilah tersebut terus digunakan sampai dengan zaman Majapahit.
Penyebutan kendhang dengan berbagai nama menunjukkan adanya berbagai macam bentuk,
ukuran serta bahan yang digunakan, antara lain: kendhang berukuran kecil, yang pada arca
dilukiskan sedang dipegang oleh dewi Saraswati, kendhangini disebut "Damaru". Bukti
keberadaaan dan keanekaragaman kendhang, dapat dilihat pada relief candi-candi sebagai
berikut:

• Candi Borobudur (awal abad ke-9 Masehi), dilukiskan bermacam-macam bentuk


kendhang seperti bentuk: silindris langsing, bentuk tong asimetris, bentuk kerucut
(Haryono, 1985; 1986).
• Candi Siwa di Prambanan (pertengahan abad ke-9 Masehi), pada pagar langkan
candi, kendhangditempatkan di bawah perut dengan menggunakan semacam tali.
• Candi Tegawangi, candi masa klasik muda (periode Jawa Timur), sekitar abad 14),
dijumpai relief seseorang membawa kendhangbentuk silindris dengan tali yang
dikalungkan pada kedua bahu.
• Candi Panataran, candi masa klasik muda (periode Jawa Timur), sekitar abad 14,
relief kendhangdigambarkan hanya menggunakan selaput satu sisi dan ditabuh
dengan menggunakan pemukul berujung bulat. Jaap Kunst (1968:35-36) menyebut
instrumen musik ini "dogdog", Ada hal yang menarik mengenai asal muasal
kendhang ini, yaitu adanyakesamaan penyebutan dari sumber tertulis Jawa Kuno
dengan sumber tertulis di India. Hal ini membuktikan bahwa telah terjadi kontak
budaya antara keduanya, termasuk dalam dalam bidang seni pertunjukan.

Pembuatan
Kendang yang baik terbuat dari kayu nangka, kelapa atau cempedak. Kulit kerbau sering
digunakan untuk bam (permukaan bagian yang memancarkan ketukan bernada rendah)
sedangkan kulit kambing digunakan untuk chang (permukaan luar yang memancarkan ketukan
bernada tinggi). Pada tali kulit yang berbentuk "Y" atau tali rotan, yang dapat dikencangkan atau
dikendurkan untuk mengubah nada dasar. Semakin kencang tarikan kulitnya, maka semakin
tinggi pula suara yang dihasilkannya.
ALAT MUSIK GAMBUS

Gambus adalah alat musik petik seperti mandolin yang berasal dari Timur Tengah.
Paling sedikit gambus dipasangi 3 senar sampai paling banyak 12 senar. Gambus
dimainkan sambil diiringi gendang. Sebuah orkes memakai alat musik utama berupa
gambus dinamakan orkes gambus atau disebut gambus saja. Di TVRI dan RRI,
orkes gambus pernah membawakan acara irama padang pasir. Orkes gambus
mengiringi tari Zapin dan Tari Jepen yang seluruhnya dibawakan pria untuk tari
pergaulan. Lagu yang dibawakan berirama Timur Tengah. Sedangkan tema liriknya
adalah keagamaan. Alat musiknya terdiri dari biola, gendang, tabla dan seruling.
Kini, orkes gambus menjadi milik orang Betawi dan banyak diundang di pesta
sunatan dan perkawinan. Lirik lagunya berbahasa Arab, isinya bisa doa
atau shalawat. Perintis orkes gambus adalah Syech Albar seorang Arab-Indonesia,
bapaknya Ahmad Albar, dan yang terkenal orkes gambus El-Surayya dari kota
Medan pimpinan AhmadBaqi.

Sejarah Gambus di Sumatera


alat musik gambus awalnya dikenal oleh masyarakat Melayu yang berdiam di
wilayah pesisir pantai, bersama dengan masuknya para pedagang dari daerah Timur
Tengah pada abad ke 7 hingga abad ke 15-an.Selain datang untuk berdagang,
mereka juga berdakwah memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat
setempat. Di samping itu, para pedagang juga membawa peralatan musik,
diantaranya yaitu Gambus.
Sehingga masuknya para pedagang dari Timur Tengah di daerah Riau,
meninggalkan pengaruh dalam bidang budaya dan kesenian. Dengan begitu,
kesenian gambus serta tari zapin mulai berkembang di masyarakat Melayu Riau
khususnya di Pulau Bengkalis, Pulau Penyengat, dan Siak Sri Indrapura.
Masyarakat Melayu Riau mulanya, memainkan Gambus secara tunggal dalam
mengiringi lagu-lagu yang dinyanyikan sendiri oleh si pemain Gambus dengan syair-
syair Islami sebagai hiburan di dalam rumah dan menyanyikan syair-syair bertema
asmara atau kehidupan sehari-hari sebagai hiburan di atas perahu saat nelayan
sedang memancing maupun menyusuri sungai.
Sebagai hiburan pribadi, Gambus Melayu biasanya bermain secara spontan tanpa
dipersiapkan atau dirancang dahulu sesuai dengan kondisi, situasi, dan perasaan
yang tercipta dari si pemain Gambus.
Penyajian Gambus yang berada di dalam rumah, selain sebagai sarana hiburan
secara individu juga sebagai pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Namun kini, fungsi alat musik Gambus lebih sering dimainkan untuk mengiringi
tarian Zapin yang diiringi juga dengan beberapa alat musik lainnya, seperti
marawis.Pergeseran nilai spiritual dan kebersamaan dalam masyarakat Melayu di
Riau inilah yang menyebabkan perubahan pandangan masyarakat terhadap
kesenian Gambus dan Zapin.Musik Gambus semakin berkembang sejak berpindah
alih fungsi sebagai pengiring Zapin di pentas. Sehingga, lagu yang mulanya
bernuansa Islami berubah menjadi lagu-lagu yang lebih sekuler.
Akan tetapi, walaupun musik Gambus dalam tari zapin berkembang, mereka tetap
tidak mengubah aturan awal dalam tradisi yang sudah hidup pada masyarakat
Melayu Riau.
Untuk tari zapin tradisi, pemain musik Gambus biasanya akan membawakan syair
nuansa Islami pada acara khitanan, khatam al-quran, cukur rambut, dan acara
malam berinai calon pengantin wanita. Sedangkan, untuk tari zapin kreasi pemain
akan lebih membawakan syair-syair sekuler pada acara yang sifatnya tidak sakral,
seperti acara menerima tamu, acara resepsi pernikahan, dan acara perayaan
lainnya.

Sejarah Gambus di Kalimantan


Masuknya gambus di Kalimantan adalah melalui kelompok masyarakat yang berasal
dari Kerajaan Brunei Darussalam dan tinggal serta membaur bersama masyarakat
Melayu Sanggau lainnya yang pada masa itu berpusat di Desa Mengkiang. Desa
Mengkiang inilah menjadi cikal bakal Kerajaan Sanggau yang sekarang menjadi
Kabupaten Sanggau. Desa ini berada di alur Sungai Sekayam yang merupakan
anak sungai dari Sungai Kapuas. Pada awalnya para penduduk yang berasal dari
Kerajaan Brunei tersebut merupakan penjelajah, beberapa diantara mereka ada
yang bisa memainkan alat musik gambus. Gambus diserap dan dimainkan oleh
penduduk asli Desa Mengkiang dikarenakan ketertarikan mereka pada masa itu
melihat alat musik gambus yang unik dengan cara permainan dipetik dan juga
sambil mengiringi syair – syair yang dinyanyikan oleh pemain gambus. Kesenian ini
biasa disebut besya’er oleh masyarakat setempat.. Selain itu pada masa itu juga
tidak ada media hiburan lain yang dilakukan oleh masyarakat Desa Mengkiang untuk
menghibur mereka diwaktu senggang. Peran instrumen gambus dalam Ansambel
Musik Melayu di Kabupaten Sanggau yaitu sebagai pemimpin dalam Ansambel
Musik Melayu. Pemain instrumen gambus dalam ansambel musik Melayu dijadikan
pemimpin dikarenakan gambus merupakan melodi utama dalam lagu – lagu yang
dimainkan. Selain itu, seorang penggambus juga dituntut untuk bisa menyanyikan
syair – syair lagu yang dibawakan. Jadi, seorang penggambus selain mahir memetik
dawai instrumen gambus juga harus bisa besya’er.

Gambusi di Gorontalo
Gambusi memiliki kesamaan dengan gambus pada umumnya. Gambusi dilengkapi
dengan tujuh dawai dan dimainkan dengan cara dipetik. Biasanya alat musik ini
dimainkan bersama marwas dan rebana dalam pertunjukkan seni.Gambusi ini
dibawa ke Provinsi Gorontalo Oleh Ulama dari Timur Tengah,Karena
masyarakat Gorontalo tidak bisa menyebut gambus.maka keluarlah kata Gambusi.

Anda mungkin juga menyukai