Anda di halaman 1dari 28

SENI BUDAYA

PERTUNJUKAN MUSIK TRADISIONAL NUSANTARA

Kelompok 3:
Adinda Yunia Fajrin (X MIPA-2/01)
Andre Eka Prayoga (X MIPA-2/06)
Farrel Asher Tegara (X MIPA-2/13)
Jerry Rejab Widarto (X MIPA-2/18)
Maulidiyah Tsaniya A. P. (X MIPA-2/20)
Rahmadina Nur Azizah (X MIPA-2/25)
1. Tanjidor
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Tanjidor adalah tambur besar; serombongan
pemain musik dengan terompet, tambur besar, dan sebagainya yang biasanya dimainkan
pada hari raya Cina. Tanjidor atau musik Tanjidor berasal dari bahasa Portugis yaitu
Tangedor yang berarti kelompok musik berdawai (Kamus Ensiklopedia Indonesia oleh Van
Hoeve terbitan Ichtiar Baru tahun 1984). Diduga Tanjidor berasal dari bangsa Portugis yang
datang ke Jakarta pada abad XIV sampai abad XVI. Kelompok musik Tanjidor biasanya
memainkan musik pada pawai militer atau upacara keagamaan. Konon, salah satu Gubernur
Jenderal Belanda, Valckenier, menggabungkan rombongan 15 orang pemain musik tiup
Belanda dengan pemain gamelan, pesuling Cina dan penabuh tambur Turki untuk
memeriahkan pesta. Ahli musik dari Belanda bernama Ernst Heinz berpendapat, Tanjidor
berasal dari para budak yang ditugaskan bermain musik untuk majikannya. Sementara
Sejarahwan Belanda bernama Dr. F. De Haan juga berpendapat bahwa Orkes Tanjidor
berasal dari orkes budak pada masa kompeni.
Pada abad XVIII, kota Batavia dikelilingi oleh Benteng tinggi pertahanan kolonial
Belanda. Para pejabat tinggi Belanda membangun vila di luar kota Batavia. Vila-vila
tersebut terletak di Cililitan Besar, Pondok Gede, Tanjung Timur, Ciseeng dan Cimanggis.
Di vila-vila itulah para pejabat tinggi Belanda memanfaatkan para budak yang memiliki
keahlian di bidang musik untuk menghibur tamu-tamu. Hal tersebut terjadi dikarenakan
sulitnya mendatangkan pemusik dari Eropa.
Sekitar tahun 1860, perbudakan mulai dihapuskan. Era musik Tanjidor didalam rumah
megah para pejabat tinggi Belanda berakhir. Para pemain musik yang awalnya budak
menjadi orang yang merdeka. Dan karena keahlian setelah menjadi budak tersebut dalam
bermain musik, mereka membentuk perkumpulan musik sehingga lahirlah perkumpulan
musik yang dinamakan Tanjidor.
Peralatan Tanjidor yang ada sekarang merupakan peninggalan Belanda sehingga
usianya sudah sangat tua. Alat-alat musik Tanjidor di antaranya adalah
 Bedug (Bas Drum).  Thrombon.
 Tambur (Snare drum).  Piston (Terompet).
 Simbal (Perkusi)  Tenor.
 Klarinet.  Bass Throm
Dengan alat-alat musik setua itu, Tanjidor biasa digunakan untuk mengiringi helaran
(hajatan) dan arak-arakan pengantin. Salah satu ciri khas Tanjidor adalah membawakan
lagu-lagu Betawi dan bisa disebut cerminan adaptasi masyarakat lokal terhadap musik barat.

2. Karawitan
a. Pengertian Karawitan
Karawitan adalah seni musik tradisional Jawa dengan peralatan yang lengkap dan
telah berkembang secara turun-temurun sesuai dengan perkembangan jaman dan tidak
meninggalkan keasliannya. Perangkat peralatan musik tradisional itu disebut Gamelan,
yang terdiri dari bermacam-macam alat atau ricikan.
Sedangkan menurut sunber lain, Gamelan Jawa merupakan seperangkat instrumen
sebagai pernyataan musikal yang sering disebut dengan istilah karawitan. Karawitan
berasal dari bahasa Jawa, yakni rawit yang berarti rumit, berbelit-belit; halus, cantik;
berliku-liku dan enak. Kata Jawa karawitan khususnya dipakai untuk mengacu kepada
musik gamelan, musik Indonesia yang bersistem nada nondiatonis (dalam laras slendro
dan pelog) yang garapan-garapannya menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme,
memiliki fungsi, pathet dan aturan garap dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia dan
campuran yang indah didengar.
Arti kata gamelan sampai sekarang masih dalam dugaan-dugaan. Mungkin juga
kata gamelan terjadi dari pergeseran atau perkembangan dari kata gembel. Gembel
adalah alat untuk memukul karena cara membunyikan instrumen itu dengan dipukul-
pukul. Barang yang sering dipukul namanya pukulan; barang yang sering diketok
namanya ketokan atau kentongan; barang yang sering digembel namanya gembelan. Kata
gembelan ini bergeser atau berkembang menjadi gamelan. Mungkin juga karena cara
membuat gamelan itu adalah perunggu yang dipukul-pukul atau dipalu atau digembel,
maka benda yang sering dibuat dengan cara digembel namanya gembelan, benda yang
sering dikumpul-kumpulkan namanya kempelan dan seterusnya gembelan berkembang
menjadi gamelan. Dengan kata lain gamelan adalah suatu benda hasil dari benda itu
digembel-gembel atau dipukul-pukul (Trimanto,1984).
b. Sejarah Karawitan
Karawitan dikenal sejak jaman Kalingga, pada jaman raja Syailendra sehingga
peralatannya (ricikan) masih sangat sederhana. Intonasi nada yang ada masih sederhana
pula. Sejak zaman Syailendra itulah dikenal alat musik tradisional gamelan yang sampai
sekarang dikenal dengan gamelan Slendro, dalam satu oktaf dibagi 5 nada, yaitu
1, 2, 3, 5, 6.

Pada jaman Majapahit, seni karawitan telah berkembang dengan baik, walaupun
peralatannya masih sangat sederhana. Gamelan berlaras Slendro telah dikembangkan
pula dengan gamelan laras Pelog, yang dalam satu oktaf dibagi 7 nada, yaitu 1, 2, 3, 4, 5,
6, 7.
Pada zaman Mataram, dua jenis gamelan yang masih sangat sederhana tersebut
mulai dilengkapi dengan alat (ricikan) baru sebagai penunjangnya, sehingga ricikan lebih
banyak dan lengkap seperti yang ada sekarang ini. Pada zaman Mataram ini pula, dua
jenis gamelan tersebut (Pelog dan Slendro), disatukan menjadi satu satuan musik yang
saling berkaitan dan saling melengkapi.
Pada zaman dahulu Karawitan hanya tumbuh dan dikembangkan di dalam
lingkungan keraton. Bahkan para bangsawan dan kerabat Keraton boleh dikatakan wajib
menguasai bidang Karawitan, Tembang dan Tari.
Bagi masyarakat luas yang tinggal di luar keraton tidak dapat mempelajari
Karawitan dengan metode menabuh Gamelan yang baik dan benar. Dengan semangat
yang tinggi, mereka belajar sendiri sesuai dengan suara Gamelan yang pernah
didengarnya dari dalam Keraton. Karawitan yang tidak memakai metode menabuh yang
baik dan benar ini, disebut Karawitan Alam. Pada jaman sekarang, Keraton bukanlah
satu-satunya sumber pengembangan seni karawitan. Untuk mengembangkan seni
karawitan, telah banyak didirikan pendidikan formal seperti PMKT, STSI yang
memberikan pedoman dan metode Karawitan yang baik dan benar.
c. Jenis Peralatan Gamelan
Jika ditinjau dari sumber bunyi, pada umumnya peralatan (ricikan) gamelan terdiri
dari bermacam-macam jenis. Pada umumnya gamelan terdiri dari alat musik pukul, yaitu
bonang barung, bonang, penerus, slenthem, demung, saron, peking, gender barung,
gender, penerus, gambang, kempul/ gong, kenong dan kendang. Tetapi ada juga jenis alat
musik lain, misalnya : alat musik tiup (suling), alat musik gesek (rebab), alat musik petik
(siter).

d. Etika Karawitan
Karawitan merupakan seni musik yang adi luhung. Dapat disajikan dalam nuansa
gembira, sedih, jenaka, marah, bahkan dapat disajikan secara khusus pada acara sakral
dalam kegiatan ritual. Oleh karena itu penampilan dalam penyajian Karawitan perlu
diperhatikan pula etika dan tata krama yang berlaku. Pada penyajian karawitan, para
penabuh tidak dibenarkan menabuh sesuka hati, tanpa metode maupun posisi menabuh
yang tidak semestinya.
Pada penyajian Karawitan, para penabuh harus berpedoman pada metode
Karawitan dan cara menabuh Gamelan yang berlaku secara umum. Etika Penyajian
Karawitan dan cara menabuh gamelan yang baik adalah sebagai berikut:
1. Waktu akan masuk dan keluar tempat gamelan, tidak diperkenankan melangkahi
ricikan.
2. Menabuh ricikan dengan cara/teori yang benar.
3. Menabuh dengan bersikap tenang, posisi duduk bersila, menghadap ke ricikan yang
sedang ditabuh.
4. Pada saat menabuh tidak boleh sambil merokok atau makan.
5. Tidak berpindah tempat pada waktu menabuh gemelan.
6. Pada saat menabuh tidak diperkenankan sambil bercakap-cakap dengan orang diluar
tempat Karawitan.
e. Bentuk Lagu dalam Karawitan
Lagu yang biasa disajikan dalam Karawitan terbagi menjadi beberapa bentuk lagu yakni:
1. Lancaran >>> lancaran mlampah >>> lancaran tiban
2. Ketawang
3. Ladrang
4. Gending >>> ketawang gending >>> gending ageng
5. Jineman (tenang)
6. Srepegan (marah)

f. Laras dalam Gamelan Jawa


Laras merupakan satu satuan jenis nada dalam Gamelan pada Gamelan Jawa ini
mempunyai 2 (dua) macam laras yang berlainan, yaitu laras Slendro dan laras Pelog.
Laras Slendro setiap oktaf dibagi menjadi 5 nada, yaitu 1, 2, 3, 5, 6, sedangkan laras
Pelog dibagi menjadi 7 nada, yaitu 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7.

Pada satu unit Gamelan bisa hanya berlaras Slendro atau berlaras Pelog saja. Tetapi
pada Gamelan yang lengkap, tersedia Gamelan berlaras Slendro dan Pelog. Karena
Gamelan laras Slendro tidak sama dengan yang berlaras Pelog, maka agar kedua laras
tersebut dapat digunakan sebagai satu satuan musik yang saling melengkapi, maka salah
satu nadanya dibuat sama. Misalnya 6 slendro dibuat sama dengan 6 pelog. Pada
perangkat, Gamelan seperti ini disebut Gamelan tumbuk 6. Ada pula Gamelan yang
dibuat dengan tumbuk 5, tetapi yang umum dipakai sekarang adalah tumbuk 6.

g. Pathet Dalam Suatu Lagu Karawitan


Pathet adalah tingkatan tangga nada (tinggi-rendahnya) suatu lagu dalam Seni
Karawitan. Pada lagu berlaras Slendro, pada umumnya dibagi menjadi 3 Pathet, yaitu
Pathet 6, Pathet 9, dan Pathet Manyura. Pada lagu laras Slendro yang bernada Minir,
biasanya disebut Barang Miring. Namun untuk Karawitan gaya Jawa Timuran, ada
kalanya mempunyai Pathet 8, Pathet 10 dsb. Sedangkan lagu berlaras Pelog, pada
umumnya dibagi menjadi 3 Pathet, yaitu Pathet 6, Pathet 5, dan Pathet Barang.
h. Dialektika Karawitan
Tidak berbeda dengan bahasa manusia, Karawitan mempunyai dialek dalam
penyajian lagu-lagunya. Dialek karawitan (gaya penyajian lagu) tersebut dapat
digolongkan sebagai berikut :
1. Gaya Surakarta
Berasal dari Keraton Surakarta, berkembang di daerah Jawa Tengah, Jawa
Timur, Jawa Barat dan di berbagai daerah Indonesia lainnya.
2. Gaya Yogyakarta (Mataraman)
Berasal dari Keraton Yogyakarta, pada umumnya berkembang lokal didaerah
Yogyakarta, sebagian Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
3. Gaya Banyumasan
Berasal dari daerah Banyumas dan berkembang di Jawa Tengah sebelah barat.
4. Gaya Semarangan
Berasal dari daerah Semarang dan berkembang di daerah pantai utara Jawa
Tengah.
5. Gaya Jawa Timuran.
Berkembang di daerah Surabaya, Mojokerto, Jombang dan didaerah Malang.
Dari gaya karawitan seperti tersebut diatas, yang paling banyak berkembang dan
disajikan adalah Gaya Surakarta. Dari karawitan Gaya Surakarta ini, berkembang
menjadi karawitan berciri khas lokal, seperti gaya Sragen, Ngawi Madiun, Tuban
Tulungagung dsb.

3. Jaranan

Seni Jaranan mulai muncul sejak abad ke 10 Hijriah. Tepatnya pada tahun 1041 atau
bersamaan dengan kerajaan Kahuripan dibagi menjadi 2 yaitu bagian timur Kerajaan
Jenggala dengan ibu kota Kahuripan dan sebelah Barat Kerajaan Panjalu atau Kediri dengan
Ibu kota Dhahapura.
a. Sejarah
Raja Airlangga memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Dewi Sangga
Langit. Pada waktu itu banyak sekali yang melamarnya sehingga Raja mengadakan
sayembara.
Masing-masing pelamar Dewi Sangga Langit memiliki kesaktian. Mereka sama-
sama memiliki kekuatan dan ilmu yang tinggi. Dewi Sangga Langit sebenarnya tidak
mau menikah dan ingin menjadi pertapa. Namun, Prabu Airlangga memaksa Dewi
Sangga Langit hingga akhirnya dia mau menikah dengan satu permintaan. Barang siapa
yang bisa membuat kesenian yang belum ada di Pulau Jawa, dia akan memenangkan
sayembara tersebut.
Beberapa orang yang ingin melamar Dewi Songgo Langit di antaranya adalah
Klono Sewandono dari Wengker, Toh Bagus Utusan Singo Barong dari Blitar,
Kalawraha seorang adipati dari pesisir kidul, dan 4 prajurit yang berasal dari Blitar. Para
pelamar bersama-sama mengikuti sayembara yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit.
Mereka berangkat dari tempatnya masing-masing ke Kediri untuk melamar Dewi Songgo
Langit.
Beberapa pelamar itu bertemu di jalan dan bertarung terlebih dahulu sebelum
mengikuti sayembara di kediri. Pertarungan tersebut dimenangkan oleh Klana
Sewandono atau Pujangganom. Dalam pertempuran itu Pujangganom menang dan Singo
Ludoyo kalah. Setelah mengalami kekalahan, singo Ludoyo melakukan perjanjian
dengan Pujangganom. Singa Ludoyo meminta jangan dibunuh. Pujangganom rupanya
menyepakati kesepakatan itu. Akan tetapi Pujangga Anom memiliki syarat, yaitu Singo
Barong harus mengiring temantennya dengan Dewi Sangga Langit ke Wengker.
Iring-iringan temanten itu harus diiringi oleh jaran-jaran dengan melewati bawah
tanah dengan diiringi oleh alat musik yang berasal dari bambu dan besi. Pada zaman
sekarang besi ini menjadi kenong dan bambu itu menjadi terompet dan jaranan.
Dalam perjalanan mengiringi temanten Dewi Sangga Langit dengan Pujangga
Anom itu, Singo Ludoyo beranggapan bahwa dirinya sudah sampai ke Wengker, tetapi
ternyata dia masih sampai di Gunung Liman. Dia marah-marah pada waktu itu sehingga
dia mengobrak-abrik Gunung Liman itu dan sekarang tempat itu menjadi Simoroto.
Akhirnya, sebelum dia sampai ke tanah Wengker, dia kembali lagi ke Kediri.
Karena Dewi Sangga Langit sudah diboyong ke Wengker oleh Pujangga Anom dan
tidak mau menjadi raja di Kediri, maka kekuasaan Kahuripan diberikan kepada kedua
adiknya yang bernama Lembu Amiluhut dan Lembu Amijaya. Setelah Sangga Langit
diboyong oleh Pujangganom ke daerah Wengker Bantar Angin, Dewi Sangga Langit
mengubah nama tempat itu menjadi Ponorogo.
Pada saat boyongan ke Wengker, Dewi Sangga Langit dan Klana Sewandana
diarak oleh Singo Barong. Pengarakan itu dilakukan dengan menerobos dari dalam tanah
sambil berjoget. Alat musik yang dimainkan adalah berasal dari bambu dan besi. Pada
zaman sekarang besi ini menjadi kenong.
Untuk mengenang sayembara yang diadakan oleh Dewi Sangga Langit dan
Pernikahanya dengan Klana Sewandono atau Pujangga Anom inilah masyarakat kediri
membuat kesenian jaranan. Sedangkan di Ponorogo Muncul Reog. Dua kesenian ini
sebenarnya memiliki akar historis yang hampir sama. Seni jaranan ini diturunkan secara
turun temurun hingga sekarang ini.

b. Jaranan dan Representasi Abangan


Jaranan pada zaman dahulu adalah selalu bersifat sakral. Maksudnya selalu
berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya gaib. Selain untuk tontonan dahulu jaranan
juga digunakan untuk upacara-upacara resmi yang berhubungan dengan roh-roh leluhur
keraton. Pada zaman kerajaan dahulu jaranan seringkali ditampilkan di keraton.
Dalam praktik sehari-harinya para seniman jaranan adalah orang-orang abangan
yang masih taat kepada leluhur. Mereka masih menggunakan danyangan atau punden
sebagai tempat yang dikeramatkan dan memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap roh-
roh nenek moyangnya. Mereka juga masih melaksanakan praktik-praktik slametan
seperti halnya dilakukan oleh orang-orang dahulu.
Pada kenyataanya, hampir semua seniman jaranan yang ada di Kediri adalah
pekerja kasar. Sebagian besar dari mereka adalah tukang becak dan tukang kayu. Ada
sebagian dari mereka yang bekerja sebagai sebagai penjual makanan ringan di sepanjang
jalan Bandar yang membujur dari utara ke selatan.
Cliford Geertz mengidentifikasi mereka dengan sebutan abangan. Geertz
memberikan penjelasan tentang praktik abangan. Masayarakat abangan adalah suatu
sekte politio-religius di mana kepoercayaan jawa asli melebur dengan Marxisme yang
Nasionalistis yang memungkinkan pemeluknya sekaligus mendukung kebijakan
komunis di Indonesia sambil memurnikan upacara-upacara abangan dari sisa-sisa Islam
(Geertz 1983).
Dalam perkembanganya kesenian jaranan mengalami pasang surut. Hal ini
disebabkan kondisi sosial masyarakat yang sudah berubah dalam memaknai dan
mengambangkan jaranan. dari tahun-ke tahun jaranan mulai berubah dari yang sifatnya
tuntunan menjadi tontonan dan yang paling menarik adalah jaranan sebagai alat untuk
menarik simpatisan dan untuk pengembangan pariwisata.
Jaranan pada tahun 1960-an menjadi alat politik PKI untuk menopang kekuasaanya
dan menarik masa. Pada tahun-tahun itu kebijakan Sukarno tentang Nasakom sangat
mempengaruhi keberadaan lembaga-lembaga yang ada di bawah. Dari nasionalisme,
agama dan komunis ini, masing-masing memiliki lembaga sendiri. Kelompok itu
memiliki basis kesenian sendiri-sendiri. Lekra, Lesbumi dan LKN adalah lembaga
kesenian yang ada di tingkat bawah.
Pada tahun itu jaranan sudah ada dan kebetulan bernaung dibawah pengawasan
Lekra. Jaranan pada saat itu sudah sangat digemari masyarakat. Bahkan, pada saat itu
sudah berdiri beberapa kelompok jaranan di Kediri. kelompok jaranan ini banyak
digawangi oleh orang-orang yang berada di lembaga kesenian. Dari ketiga lembaga
kesenian yang ada, semuanya memiliki kesenian sendiri-sendiri yang sesuai dengan
misinya masing-masing.
Pada tahun 60an itu, masing-masing kelompok jaranan berkontestasi dengan sehat.
Walaupun mereka berasal dari lembaga kesenian yang berbeda, teapi pada saat itu
mereka masih bisa berbagi ruang. Mereka saling mendukung dan mengembangkan
kreatifitasnya dalam berkesenian. Jaranan pada saat itu masih tampil dengan polos sekali.
Pemainya hanya mengenakan celana kombor dan tanpa make up. Tidak ada batas antara
pemain, penabuh dan penonton. Mereka sama-sama berada di tanah. Mereka bisa saling
tukar main antara satu dengan lainya. Berbeda dengan zaman penjajahan Jepang yang
masih menggunakan goni sebagai pakaiannya, pada tahun-tahun 60an jaranan bisa tampil
di mana pun tempatnya.
Pada tahun 1965 terjadi peristiwa pembersihan dari kalangan agamawan kepada
kelompok-kelompok abangan. Pembersihan ini dilakukan atas kerjasamama Negara
dengan kaum agamawan. Akibat dari pembersihan itu, masyarakat abangan yang ada di
Kediri pada saat itu sempat kocar-kacir. Terlebih pada orang-orang yang memang
bergelut di lembaga PKI ataupun pernah terlibat.
Pasca peristiwa tersebut, para seniman jaranan mulai memodifikasi jaranan dari
pakaian, make up, dan tarian serta musiknya. Dalam berbagai pertunjukan jaranan,
pemain harus memiliki sifat yang arif, sopan, dan memiliki tata karama yang tinggi
kepada masyarakat dan para penanggap. Sifat itu harus dikembangkan oleh para seniman
dalam rangka memperbaiki citra jaranan di muka masyarakat.
4. Reog
a. Pengertian
Reog adalah salah satu seni budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut
dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Gerbang kota
Ponorogo dihiasi oleh sosok warok dan gemblak, dua sosok yang ikut tampil pada saat
reog dipertunjukkan. Reog adalah salah satu budaya daerah di Indonesia yang masih
sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat.
b. Sejarah
Ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal usul
Reog dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang
pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi,
Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan
pengaruh kuat dari pihak istri raja Majapahit yang berasal dari Tiongkok, selain itu juga
murka kepada rajanya dalam pemerintahan yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan
Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan
perguruan di mana ia mengajar seni bela diri kepada anak-anak muda, ilmu kekebalan
diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi
bibit dari kebangkitan kerajaan Majapahit kembali. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil
untuk melawan pasukan kerajaan, maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan
melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Kertabhumi dan
kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan
masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.
Dalam pertunjukan Reog ditampilkan dengan topeng berbentuk kepala singa yang
dikenal sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabhumi, dan
diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang
menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-
geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi
kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi
perbandingan kontras dengan kekuatan Warok, yang berada dibalik topeng badut merah
yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng
singabarong yang mencapai lebih dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya.
Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Bhre Kertabhumi mengambil
tindakan dan menyerang perguruannya. Pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi
dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid
Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian
Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi
pertunjukan populer di antara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru di
mana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono
Sewandono, Dewi Sangga Langit, dan Sri Genthayu.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo
yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun di tengah perjalanan ia
dicegat oleh Raja Singa Barong dari Kediri. Pasukan Raja Singa Barong terdiri dari
merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya
Bujang Anom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan
warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang
antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara
keduanya, para penari dalam keadaan "kerasukan" saat mementaskan tariannya.
Hingga kini, masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan
leluhur mereka sebagai warisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni
Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang
ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang
tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang
jelas. Mereka menganut garis keturunan parental dan hukum adat yang masih berlaku.

c. Pementasan Seni Reog

Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan,


khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa
rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8
pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para
penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang
dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisional, penari ini biasanya
diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran
kepang atau jathilan, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping.
Tarian pembukaan lainnya berupa tarian oleh
anak kecil yang membawakan adegan lucu yang
disebut Bujang Ganong atau Ganongan.

Setelah tarian pembukaan selesai, baru


ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung
kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika
berhubungan dengan pernikahan maka yang
ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan
khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,

Adegan dalam seni reog biasanya tidak


mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan
dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton.
Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila
pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah
memberikan kepuasan kepada penontonnya.

Adegan terakhir adalah Singa Barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk
kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa
mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi.
Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat,
juga dipercaya diperoleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.

5. Gambang Kromong
Gambang Kromong adalah sebuah orkes tradisional Betawi yang merupakan orkes
perpaduan antara gamelan, musik Barat dengan nada dasar pentatonis bercorak Cina. Orkes
ini memang erat hubungannya dengan masyarakat Cina Betawi, terutama Cina peranakan
dan populer di tahun 1930-an.
Instrumen gamelan pada gambang kromong terdiri dari:
 Gambang kayu
 Kromong, yaitu seperangkat bonang lima nada.
 Dua buah alat gesek seperti rebab, dengan resonator terbuat dari tempurung kelapa mini
disebut ohyan dan gihyan
 Suling laras diatonik yang ditiup melintang
 Kenong
 Gendang.
Sedangkan instrumen musik dari Barat meliputi terompet, gitar, biola, dan saksofon.
Sekitar tahun 1937 orkes-orkes gambang kromong mencapai puncak popularitasnya,
salah satu yang terkenal ialah Gambang Kromong Ngo Hong Lao yang pemainnya terdiri
dari orang-orang Cina. Alat-alat musik dalam orkestra tersebut dianggap paling lengkap,
terdiri dari alat-alat seperti berikut: sebuah gambang kayu; seperangkat kromong; empat
buah rebab Cina yang berbeda-beda ukurannya; alat petik berdawai disebut Sam Hian;
sebuah bangsing bambu; dua buah alat jenis cengceng disebut ningnong; sepasang Pan,
yakni dua potong kayu yang saling dilagakan untuk memberi maat (tempo). Tangga nada
yang dipergunakan bukanlah slendro seperti laras gamelan Jawa, Sunda atau Bali,
melainkan modus khas Cina yang di negeri asalnya dahulu bernama tangga nada Tshi Che;
seperti yang di dengar pada gambang.
Susunan belanga-belanga kromongnya adalah sebagai berikut :
(A) (G) (E) (D) (C)
(D) (E) (C) (G) (A)
Adapun yang disebut “rebab cina”, yang berukuran paling besar dinamakan su kong,
sesuai dengan laras dawai-dawainya, yang meniru nada su dan nada kong. Rebab dengan
ukuran menengah disebut hoo siang, karena dawai-dawainya dilaras menurut nada hoo dan
nada siang. Rebab yang paling kecil dinamakan kong a hian, sesuai dengan larasnya meniru
bunyi nada-nada Cina. Rebab yang punya ukuran sedikit lebih besar dari kong a hian, ialah
yang bernama tee hian, yang larasnya serupa dengan laras kong a hian.
Sam Hian adalah alat berdawai yang dimainkan dengan cara dipetik seperti
memainkan gitar; dan alat itu memainkan jalur melodi (nuclear melody) dalam orkes
tersebut. Ketiga dawainya dilaras dengan nama nada dengan notasi demikian, apabila orkes
Gambang Kromong memainkan lagu-lagu khas Cina yang disebut Pat fem, maka
dipergunakan pula tambahan alat tiup berupa serunai, yakni dai sosa dan cai di (siao sona).
Pada waktu pertama kali muncul di Betawi, orkes ini hanya bernama gambang. Sejak awal
abad ke-20, mulai menggunakan instrumen tambahan, yaitu bonang atau kromong, sehingga
orkes ini dinamakan Gambang Kromong. Pada masa itu hampir setiap daerah di Betawi
memiliki orkes Gambang Kromong, bahkan tersebar sampai daerah Jatinegara, Karawang,
Bekasi, Cibinong, Bogar, Sukabumi, Tangerang, dan Serang.
Bagi orang Cina kaya, tauke-tauke atau babah-babah pada masa “Batavia Centrum”,
sudah merupakan adat dan tradisi, untuk memeriahkan bermacam ragam pesta dan perayaan
mereka, dengan memanggil perkumpulan gambang kromong untuk bermain. Misalnya pesta
perkawinan, rasanya tidak sempurna kalau belum memanggil orkes seperti itu ke dalam
pesta. Musik dan nyanyian dengan iringan gambang kromong, sudah lazim pula dirasakan
belum cukup asam garamnya, kalau belum disertai minum arak, brendi atau alkohol. Pemain
musiknya terdiri dari orang Betawi asli atau Cina.
Di dalam perayaan tradisional bangsa Cina, yaitu Cap Go Meh tidak lupa dimeriahkan
dengan Gambang Kromong. Repertoar Gambang Kromong yang sangat dikenal oleh
masyarakat penontonnya, antara lain: Pecah Piring, Duri Rembang, Temenggung Menulis,
Go Nio Rindu, Thio Kong len, Engko si Baba, dan lain-lain. Selain itu gambang kromong,
biasanya disertai pula dengan lakon-lakon, seperti: Si Pitung, Pitung Rampok Betawi,
Bonceng Kawan, Angkri Digantung, dan lain-lain.
Adapun lagu Gambang Kromong yang terkenal adalah Jali-Jali. Sedangkan lagu jenis
Nina Bobok kebanggaan Gambang Kromong berjudul Indung-Indung. Orkes ini memiliki
repertoar asli dalam bahasa Cina, yang disebut sebagai lagu-lagu Phobin. Karena para
penyanyinya kebanyakan terdiri dari wanita-wanita pribumi, maka repertoar Phobin tidak
dinyanyikan, melainkan dimainkan sebagai “gending” (instrumental). Hal itu bukan karena
komposisi-komposisi tersebut memang bersifat gending, karena banyak di antaranya yang
benar-benar merupakan “Lied” atau lagu untuk nyanyian vokal. Di antara lagu-lagu pobin
ialah: Soe Say Hwee Bin (Joo Su Say sudah kembali), Kim Hoa Tjoen (bunga Kim Hoa
berkembang), Pek Bouw Tan (bunga Bow Tan nan putih), Kong Djie Lok, Djien Kwie Hwee
(pulang kembalinya pahlawan bernama Siek Jin Kwie).
Pada zaman dahulu, masa Hindia Belanda orkes-orkes Gambang Kromong yang
bersifat Cina-Indonesia itu, seringkali tidak mempunyai biduanita-biduanita yang dapat
menyanyikan Po-bin-po-bin dalam bahasa Cina. Karena itulah lagu itu dimainkan secara
instrumental saja, padahal sebagian besar harus dinyanyikan karena merupakan melodi-
melodi vokal. Lagu-lagu berbahasa Indonesia yang dimainkan oleh orkes Gambang
Kromong ialah lagu memuja bunga serta tokoh, misalnya Pecah-Piring, Duri Rembang,
Temenggung Menulis, Co Nio Rindu, Tion Kong In, Engko si Baba, dan selain itu cerita
mengenai peristiwa lampau, umpamanya Bonceng Kawan, cerita Pitung Rampok Betawi,
cerita Angkri Digantung di Betawi. Adapun salah satu lagu pengantar tidur yang populer
masa itu adalah Indung-Indung.
Gambang Kromong sebagai sekumpulan alat musik perpaduan yang harmonis antara
unsur pribumi dengan unsur Cina. Orkes Gambang Kromong tidak terlepas dari jasa Nie
Hoe Kong, seorang pemusik dan pemimpin golongan Cina pada pertengahan abad XVIII di
Jakarta. Atas prakarsanyalah, penggabungan alat-alat musik yang biasa terdapat dalam
gamelan (pelog dan selendro) digabungkan dengan alat-alat musik yang berasal dari
Tiongkok. Pada masa lalu, orkes Gambang Kromong hanya dimiliki oleh babah-babah
peranakan yang tinggal di sekitar Tangerang, Bekasi, dan Jakarta. Di samping untuk
mengiringi lagu, Gambang Kromong biasa dipergunakan untuk pengiring tari pergaulan
yakni tari Cokek, tari pertunjukan kreasi baru, dan teater Lenong
6. Keroncong
a. Pengertian
Keroncong merupakan nama dari instrumen musik sejenis ukulele dan juga sebagai
nama dari jenis musik khas Indonesia yang menggunakan instrumen musik keroncong,
flute, dan vokal seorang penyanyi wanita.

b. Sejarah
Musik keroncong masuk ke negara Indonesia dibawa oleh para pelaut dan budak
kapal niaga bangsa sejak abad ke-16. Waktu itu, keroncong dikenal dengan fado, sejenis
musik Portugis. Musik keroncong masuk pertama kali di Malaka dari daratan India (Goa)
yang kemudian dimainkan oleh para budak dari Maluku. Pada abad ke-17, pengaruh
portugis melemah di Nusantara, tetapi musik ini tidak ikut hilang.
Awal mulanya bentuk musik ini adalah moresco, yaitu sebuah tarian asal Spanyol.
Kemudian salah satu lagunya disusun kembali oleh Kusbini dan dikenal dengan nama
Kr. Muritsu, yang diiringi oleh alat musik dawai. Seiring dengan perkembangan zaman,
banyak alat musik tradisional yang mulai muncul, seperti seruling dan gamelan. Pada
abad ke-19, musik keroncong ini mulai populer di berbagai daerah di nusantara, sampai
ke Semenanjung Malaya, sampai tahun 1960-an.
Setelah itu, musik keroncong pun mulai redup karena banyaknya musik popular
yang masuk ke industri musik Indonesia, seperti musik rock yang berkembang sejak
tahun 1950 dan berkembangnya musik Beatle sejenisnya pada tahun 1961 sampai dengan
sekarang. Akan tetapi, meskipun musik di Indonesia ini semakin berkembang, musik
keroncong tetap ada dan dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat di Indonesia dan di
negara Malaysia pun sampai sekarang.
Alat-alat musik yang dimainkan untuk mengiringi lagu keroncong pada awalnya
hanya diiringi oleh musik dawai, seperti biola, ukulele, dan selo. Alat musik perkusi
jarang dipakai. Perlengkapan alat musik seperti ini masih dipakai oleh Keroncong Tugu,
yaitu komunitas keroncong keturunan budak Portugis dari Ambon yang tinggal di
kampung Tugu, Jakarta Utara.
Kemudian musik ini berkembang ke daerah selatan di Kemayoran dan Gambir oleh
orang Betawi yang berbaur dengan musik Tanjidor pada tahun 1880-1920. Pada tahun
1920-1960, pusat perkembangan musik keroncong pindah ke daerah Solo dan musiknya
pun menjadi lebih lambat sesuai dengan sifat orang Jawa.
Saat ini, alat musik yang dipakai oleh para pemain musik keroncong sudah
berkembang. Berikut ini alat musik yang dipakai dalam orkes keroncong yang sering
ditampilkan.
 Ukulele (Cuk). Memiliki dawai 3 (nilon) yang mempunyai urutan nada G, B, E. Alat
ini mengeluarkan suara crong-crong, sehingga disebut keroncong yang ditemukan
pada tahun 1878 di hawai dan merupakan awal mula musik keroncong.
 Ukulele (Cak) yang memiliki 4 dawai (baja). Urutan nadanya A, D, Fis, dan B.
 Gitar akustik yang berfungsi sebagai gitar melodi yang dimainkan dengan gaya
kontrapuntis (anti melodi).
 Biola adalah alat yang menggantikan rebab.
 Flute menggantikan suling bambu. Pada era keroncong abadi, suling bohm dipakai
sebagai alat pengiring.
 Selo menggantikan kendang.
 Kontrabas menggantikan gong yang dimainkan dengan dipetik.
Pada saat dimainkan, ukulele dan bas adalah penjaga irama. Gitar dan selo
mengatur peralihan akord dan biola sebagai penuntun melodis sekaligus sebagai ornamen
bawah. Flute berfungsi menghias atas dengan mengisi ruang melodi yang kosong.
Pada saat ini, musik keroncong dicampur dengan musik populer dengan
menggunakan organ tunggal dan synthesizer, sehingga menghasilkan musik campuran.
7. Gong Luang

a. Pengertian
Gong Luang terdiri dari 2 suku kata yaitu Gong dan Luang. Kata “Gong” mengacu
pada nama salah satu instrument gamelan tradisional Bali yang terbuat dari bahan
perunggu bentuknya bulat seperti nakara, memiliki moncol pada sentralnya dan moncol
itulah yang biasanya dipukul. Ukuran gong ini paling besar di antara barungannya
(unitnya). Fungsinya dalam barungan adalah sebagai finalis lagu. Istilah gong juga
dipakai untuk memberi nama pada satu barungan gamelan. Contoh: Gamelan Gong
Gede, Gamelan Gong Kebyar, Gamelan Gong Suling, Gamelan Gong Beri dan lain
sebagainya.
Selanjutnya kata “Luang: atau “Ruang” atau “Rong” berarti ruang atau bidang.
Istilah “Luang” ini sangat popular dipergunakan dalam dunia perundagian (arsitektur
tradisional Bali), untuk menyebutkan nama bidang atau ruang - ruang kosong yang akan
diberi hiasan berupa motif - motif ukiran dan sejenisnya. Istilah “Luang” dipakai juga
penamaan salah satu lagu Gambang yaitu “Menjangan Saluang”. Menjangan Saluang
juga mengacu pada nama salah satu bangunan suci yang terdapat di Merajan/Sanggah
(Tempat Suci keluarga bagi umat Hindu Bali). Di Sumatra, dikenal istilah “Saluang”
untuk memberi nama pada sebuah bentuk instrumen tiup (seruling).
Menurut I Nyoman Raweg (Sudiana, 1982: 4) istilah “Luang” berarti kurang.
Dalam hal ini dikatakan mengatan bahwa apabila unit gamelan tersebut kurang lengkap
maka dinamakanlah Gong Luang. Tetapi, lebih lanjut Raweg mengatakan bahwa
pendapat ini pun ternyata simpang siur. Pendapat lain menyatakan bahwa justru barungan
yang lengkaplah bernama Gong Luang sedangkan yang kurang bernama “Saron” yaitu
terdiri atas saron, gangsa jongkok besar dan gangsa jongkok kecil. Kelompok masyarakat
lain mengatakan bahwa lengkap atau tidak barungan itu tetap saja namanya Gong Luang.
Terlepas dari pengertian “Luang” yang terpisah - pisah serta terkesan simpang siur
tersebut. Pengertian Gong Luang yang dimaksud dalam deskripsi ini tidaklah dalam
artinya yang simpang siur itu bahwa yang dimaksud dengan Gong Luang secara umum
adalah barungan gamelan yang terdiri dari 7 (tujuh) nada. 5 (lima) buah nada sebagai
nada pokok dan 2 buah nada sebagai nada pemero berlaraskan pelog miring. Bentuk
gamelan Gong Luang serupa dengan gamelan gong kebyar hanya saja Gong Luang terdiri
dari 8 (delapan) atau 9 (sembilan) instrument sedangkan Gong Kebyar terdiri dari 25
sampai 30 instrumen. Sebagaimanina diinformasikan di atas, bahwa dalam Gong Luang
terdapat 5 buah nada pokok dan 2 buah nada pemero. Meskipun demikian, pada suatu
saat semua nada tersebut berfungsi sebagai nada pokok tergantung pepatutan yang
dipakai.
b. Instrumen Gong Luang
Gong Luang diklasifikasikan sebagai gamelan golongan tua. Barungan gamelan
Gong Luang tersebut pada umumnya terdiri dari:
1. Instrumen Berbilah: Gangsa jongkok (2 buah pemade dan 2 buah kantil). Jublag 2
buah, Jegog 2 buah dan Saron.
2. Instrumen Bermoncol: Trompong 1 tungguh, riyong 1 tungguh, Gong, Kempur, Kajar,
Kendang 2 buah, Cengceng dan Suling.
Jumlah instrumen tersebut tidaklah mutlak. Hal itu sangat tergantung pada kondisi
Daerah atau Desa dimana Gong Luang itu berasal. Jumlah instrument Gong Luang Desa
Kerobokan dapat diinformasikan sebagai berikut:
 Riyong 2 buah
 Kendang 1 buah
 Kenyong Ageng 1 buah
 Saron 2 buah
 Kenyong Alit 1 buah
 Jublag 1 buah
 Penyahcah 1 buah
 Cengceng Ricik 1 pangkon
 Jegogan 2 buah
 Kempur 1 buah
 Gong 2 buah (lanang - wadon)
Jumlah instrument Gong Luang Desa Apuan - Singapadu dapat diinformasikan sebagai
berikut:
 Kendang 1 buah]
 Gangsa Ageng 1 buah
 Cengceng Kopyak 1 pasang
 Riyong 2 buah
 Gong 1 buah
 Cengceng Ricik 1 pangkon
 Gangsa Alit 1 buah
 Kajar 1 buah
 Jegogan 2 buah
 Kempur 1 buah
 Saron 2 buah
Jumlah instrument Gong Luang Desa Tangkas - Klungkung dapat diinformasikan
sebagai berikut:
 Gong 1 buah
 Riyong Pemetit 1 buah
 Riyong pemero 1 buah
 Gambang 2 buah
 Gangsa Alit 2 buah
 Kendang Bedug 1 buah
 Riyong Penyelat 1 buah
 Riyong Mananga 1 buah
 Gangsa Ageng 1 buah

c. Fungsi Gong Luang


1. Sebagai sarana dalam upacara
2. Sebagai pengiring tari dalam upacara
3. Sebagai sarana “Mayah Sesangi” (Bayar Kaul)
8. Campursari
Secara harfiah campursari artinya campur aduk, campur baur atau gabungan dari
beraneka macam dan ragam. Campursari merupakan salah satu bentuk kesenian musik yang
hidup berasal dari Jawa. Bentuk musik ini merupakan perpaduan permainan alat musik
berskala nada pentatonis (tradisional Indonesia) dan berskala nada diatonis (Barat), dimana
dalam musik ini para seniman mencoba memadukan dua unsur musik yang berbeda untuk
dapat memunculkan suatu bentuk musik yang baru.
Campursari ini konon dipopulerkan oleh Ki Narto Sabdo melalui pertunjukan wayang
kulit yang dimainkannya, namun musik campursari yang disuguhkannya masih dalam
bentuk corak lama yaitu perpaduan gamelan asli dengan keroncong. Sementara campursari
yang ada sekarang lebih dikenal dengan campursari modern yang dipopulerkan oleh
Manthous bersama saudara-saudaranya pada awal tahun 1993.
Manthos dengan kepekaaan musikalitasnya mengadakan inovasi besar-besaran
terhadap campursari lama. Ia mencoba menggabungkan alat-alat musik tradisional jawa
klasik seperti kendang, gong dan gender dipadu dengan alat musik keroncong seperti
ukelele, cak dan cuk, seruling, bass betot, serta instrument lainnya. Perpaduan alat musik
tersebut menghasikan irama yang lumayan enak, terasa komplit, dan ada gregetnya jika
dibandingkan irama kroncong maupun gending jawa klasik sebelumnya. Manthos juga
mencoba bereksperimen dengan memasukkan instrument pengganti bass betot dan gitar
klasik, yaitu dengan memasukkan bass dan gitar elektrik serta keyboard (piano elektrik)
untuk menggantikan seruling dan ukelele. Kehadiran keyboard ini semakin menghidupkan
musikalitas campursari dan bunyi yang dihasilkan sangat sempurna. Ada lagi tambahan
berupa seperangkat drum, terciptalah kesempurnaan yang diinginkan dari musik campursari
yang sesungguhnya. Selain itu dia juga mengadopsi musik dangdut ke dalam musik
campursari ini walaupun tidak secara ekplisit, melainkan dalam beberapa baris tertentu.
Pada pertengahan tahun 1990-an, muncullah musisi-musisi campursari seperti Maryati,
Waljinah, Ngatirah, serta Didi Kempot.

9. Pertunjukan Musik Angklung


Angklung merupakan sebuah alat musik tradisional terkenal yang dibuat dari bambu
dan merupakan alat musik asli Jawa Barat, Indonesia. Dulunya, angklung memegang bagian
penting dari aktivitas upacara tertentu, khususnya pada musim panen. Suara angklung
dipercaya akan mengundang perhatian Dewi Sri (Nyi Sri Pohaci) yang akan membawa
kesuburan terhadap tanaman padi para petani dan akan memberikan kebahagian serta
kesejahteraan bagi umat manusia.

Angklung juga diartikan sebagai alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara
tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat
musik ini dibuat daribambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh
benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan
nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat
musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog.

Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi
Manusia dariUNESCO sejak November 2010. Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung
digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang
berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan
bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.

Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad
ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung
berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan
dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap
Nyai Sri Pohacisebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat
Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung
sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di
Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau.
Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk
memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.

Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam
(awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung
bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.

Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai
penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat
rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia
Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat
membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu
itu.
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan
pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang
kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung.
Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung.
Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini
menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian
tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan
sebagainya.

Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu


ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke
Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun
sempat menyebar di sana. Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang
mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda—
mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai
komunitas.

Angklung adalah mitologi dari Bahasa Bali, yaitu Ang yang berarti angka (berupa not)
dan klung yang berarti rusak. Jadi, jika digabungkan angklung berarti angka yang rusak.
Dalam sejarah perkembangan musik Angklung, bentuknya yang sekarang merupakan
adaptasi bentuk alat musik dari Filipina. Perkembangan musik angklung pada mulanya yaitu
berasal dari bambu wulung (wulung awi) yang dimainkan dengan cara dipukul-pukul.
Permainan bambu tersebut bermula untuk menghormati binatang totem dan untuk
menghormati dan menghargai pemberian hasil panen padi yang banyak dan baik dari Dewi
Sri yang dipercaya sebagai dewi yang memberikan kesejahteraan.

Dalam perkembangannya musik angklung perlahan mulai berubah dan beradaptasi


dengan perkembangan jamannya. Mulai dari jaman dimana manusia memanfaatkan bambu
sebagai alat utama mereka untuk bertahan hidup, masuknya budaya China, penyiaran agama
Islam, masuknya budaya barat ke Indonesia, sampai pada jaman modern ini.

Pada masa modern ini, perkembangan musik angklung mulai berubah. Itu berawal
dari Daeng Sutisna yang berhasil mengubah tangga nada petatonis menjadi diatonis
(do,re,mi,fa,sol,la,si,do) pada tahun 1983. Dan perkembangan itu pun terjadi, misalnya pada
KTT Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat. Musik Angklung modern dimainkan untuk acara
resmi dalam Indonesia Ultimate Diversity tersebut, yaitu dalam lagu Indonesia Raya dan
beberapa lagu daerah yang terkenal seperti Rasa Sayange, Ayo Mama, Burung Kakak Tua
dan Potong Bebek Angsa.

10. Dangdut
Musik dangdut adalah perpaduan antara alat musik Indonesia, Arab, India, dan
Barat yang dimainkan bersama-sama. Kemudian seiring berjalannya waktu, harmoni
musik ini dipengaruhi oleh orkestra barat serta irama samba dan rumba. Pengaruh itu
akhirnya membawa musik ini masuk ke dalam tradisi melayu yang berkembang di daerah
yang jauh dari ibu kota dan merupakan tempat tinggal para musisi dan kritikus musik,
terutama di daerah Padang dan Medan.

Pada dasarnya, bentuk musik dangdut berakar dari musik melayu pada tahun 1940-
an. Dalam evolusi menuju bentuk kontemporer sekarang masuk pengaruh unsur-unsur
musik India(terutama dari penggunaan tabla) dan Arab(pada cengkok dan harmonisasi).
Perubahan arus politik Indonesia di akhir tahun 1960-an membuka masuknya pengaruh
musik barat yang kuat dengan masuknya gitar listrik dan juga bentuk pemasarannya.
Sejak tahun 1970-an dangdut boleh dikatakan telah matang dalam bentuknya yang
kontemporer. Sebagai musik populer, dangdut sangat terbuka terhadap pengaruh bentuk
musik lain, mulai dari keroncong, langgam, degung, gambus, pop, rock, bahkan house
music.

Berawal dari periode kolonial Belanda, waktu itu ada perpaduan alat musik
Indonesia, Arab dan Belanda yang dinamakan bersama-sama dalam Tanjidor. Musik ini
merupakan orkestra mini yang khas dan dipertunjukkan sambil berjalan oleh para budak
peliharaan tuan-tuan kulit putih penguasa pekebunan di sekitar Batavia. Sepanjang abad
19, banyak pengaruh dari luar diserap oleh masyarakat Indonesia. Misalnya pengaruh
dari Cina yaitu ansambel Cina-Betawi yang disebut gambang kromong dan juga
keroncong. Tahun 1940, musik tradisional tersebut secara bertahap bercampur dengan
musik Melayu yang sudah modern waktu itu. Pada tahun 1950-an dan 1960-an banyak
berkembang orkes-orkes Melayu di Jakarta yang memainkan lagu-lagu Melayu Deli dari
Sumatera(sekitar Medan). Pada masa ini mulai masuk eksperimen masuknya unsur India
dalam musik Melayu. Perkembangan dunia sinema pada masa itu dan politik anti-Barat
dari Presiden Sukarno menjadi pupuk bagi grup-grup ini. Dari masa ini dapat dicatat
nama-nama seperti P. Ramlee(dari Malaya), Said Effendi(dengan lagu Seroja),
Ellya(dengan gaya panggung seperti penari India), Husein Bawafie sang pencipta
Boneka dari India, Munif Bahaswan, serta M. Mashabi(pencipta skor film “Ratapan
Anak Tiri” yang sangat populer di tahun 1970-an).

Menjelang 1970, Rhoma Irama mulai menunjukkan kemampuan bermusiknya di


irama dangdut. Rasa tidak puas dan keinginan terkenal mendorong Rhoma Irama
menciptakan irama musik baru. Irama musik Melayu dikombinasikan dengan aliran
musik rock, pop, dan irama lain. Hasil yang diciptakan adalah irama dangdut. Semenjak
masa itu, istilah dangdut semakin populer di Indonesia. Lagu-lagu yang diciptakan
Rhoma Irama tidak sekedar menampilkan keindahan. Lirik-lirik yang bermakna dakwah
merupakan isi lagu-lagunya. Beberapa nama dari masa 1970-an yang dapat disebut
adalah Mansyur S., Ida Laila, A. Rafiq, serta Muchsin Alatas. Populernya musik Melayu
dapat dilihat dari keluarnya beberapa album pop Melayu oleh kelompok musik pop Koes
Plus di masa jayanya.

Dangdut modern, yang berkembang pada awal tahun 1970-an sejalan dengan
politik Indonesia yang ramah terhadap budaya Barat, memasukkan alat-alat musik
modern Barat seperti gitar listrik, organ elektrik, perkusi, terompet, saksofon, obo, dan
lain-lain untuk meningkatkan variasi dan sebagai lahan kreativitas pemusik-pemusiknya.
Mandolin juga masuk sebagai unsur penting. Pengaruh rock (terutama pada permainan
gitar) sangat kental terasa pada musik dangdut. Tahun 1970-an menjadi ajang
‘pertempuran’ bagi musik dangdut dan musik rock dalam merebut pasar musik
Indonesia, hingga pernah diadakan konser ‘duel’ antara Soneta Group dan God Bless.
Praktis sejak masa ini musik Melayu telah berubah, termasuk dalam pola bisnis
bermusiknya.

Pada paruh akhir dekade 1970-an juga berkembang variasi “dangdut humor” yang
dimotori oleh OM Pancaran Sinar Petromaks (PSP). Orkes ini, yang berangkat dari gaya
musik melayu deli, membantu diseminasi dangdut di kalangan mahasiswa. Subgenre ini
diteruskan, misalnya, oleh OM Pengantar Minum Racun (PMR) dan, pada awal tahun
2000-an, oleh Orkes Pemuda Harapan Bangsa (PHB).

Ketenaran musik dangdut semakin meningkat dengan terbentuknya Grup Soneta


di tahun 1973. Soneta merupakan grup atau orkes melayu yang dipelopori oleh Rhoma
Irama. Sound of Moslem dan Raja Dangdut merupakan julukan yang diberikan
masyarakat kepada Rhoma Irama dan grupnya.
Popularitas musik dangdut memicu tanggapan negatif dari pemusik irama non
dangdut. Musik dangdut dianggap sebagai musik kampungan. Pemusik irama non
dangdut memandang dangdut sebagai musiknya kalangan bawah. Pandangan negatif
tersebut tidak menghentikan kreatifitas dan keinginan bermusik para musisi dangut. Pada
masa 1980-1990, bermunculan penyanyi-penyanyi dan musisi dangdut yang berbakat
dan mendapatkan penggemar sangat banyak. Pada masa ini mulai terdapat upaya dari
musisi dangdut untuk membawa dangdut ke arah yang lebih terhormat. Evie Tamala
mendendangkan musik dangdut di Amerika Serikat. Ia membuat video klip lagunya di
negara tersebut. Stasiun televisi di Indoneisa mulai menampilkan dangdut sebagai
tayangannya.

Musik dangdut terus mengalami perkembangan. Menjelang tahun 2000, muncul


penyanyi dangdut yang sangat mendapatkan perhatian masyarakat. Hal itu dikarenakan
gerakan goyangnya melebihi gerakan penyanyi lain, bahkan manusia normal. Gerakan
berputar-putar dari atas ke bawah merupakan cirri khas penyanyi tersebut. Inul Daratista
merupakan pemilik goyangan maut itu.

Kemunculan Inul Daratista sangat dikecam oleh kalangan agama. Faktor moral
dan norma merupakan alasannya. Tanggapan positif diberikan oleh sebagian kalangan
yanga memandangnya sebagai suatu seni dan ekspresi diri. Perbedaan pendapat itu
memicu kontroversi dan semakin mempopulerkan nama Inul Daratista. Berawal dari
peristiwa itu, masyarakat kalangan atas mulai memperhatikan musik dangdut.

Pada masa 2000, musik dangdut tidak dapat dipandang lagi sebagai musik
kampungan. Berbagai peristiwa dan acara terhormat mulai menampilkan musik dangdut.
Tayangan utama di stasiun televisi menampilkan musik dangdut. Kafe-kafe terkenal
tidak segan menampilkan musik dangdut.

Panggung kampanye partai politik juga tidak ketinggalan memanfaatkan


kepopuleran dangdut untuk menarik massa. Isu dangdut sebagai alat politik juga
menyeruak ketika Basofi Sudirman, pada saat itu sebagai fungsionaris Golkar, menyanyi
lagu dangdut.

Walaupun dangdut diasosiasikan dengan masyarakat bawah yang miskin, bukan


berarti dangdut hanya digemari kelas bawah. Di setiap acara hiburan, dangdut dapat
dipastikan turut serta meramaikan situasi. Panggung dangdut dapat dengan mudah
dijumpai di berbagai tempat. Tempat hiburan dan diskotek yang khusus memutar lagu-
lagu dangdut banyak dijumpai di kota-kota besar. Stasiun radio siaran yang menyatakan
dirinya sebagai “radio dangdut” juga mudah ditemui di berbagai kota

Alat Musik Dangdut

a. Kendhang

Alat musik pukul tradisional yang satu ini merupakan alat musik utama dalam
sajian musik dangdut. Bahkan setiap Orkes Melayu memiliki ketukan tabuhan
kendang yang unik yang menjadi pembeda antar sesama Orkes Melayu. Kendhang
dimainkan dengan cara ditabuh menggunakan tangan kosong. Seorang penabuh
kendhang dalam musik dangdut biasanya diharuskan memahami dan menguasai
berbagai irama ketukan dalam musik dangdut.

b. Seruling

Seruling atau suling adalah satu dari sekian lat musik yang sudah jamak dikenal
oleh penikmat musik dangdut. Suling yang umumnya dimainkan dalam musik
dangdut adalah suling bambu dimana suling bambu mampu mengeluarkan bunyi
merdu yang khas, dan kekhasan ini kini identik dengan musik dangdut. Namun tak
semua pemain seruling mampu mengeluarkan nada nada merdu yang menghanyutkan,
dibutuhkan keahlian dan kemampuan khusus dalam memainkan seruling. Faktor
utama yang mempengaruhi kualitas permainan pemain seruling adalah pernapasan.

c. Gitar

Alat musik petik modern ini digunakan sebagai alat musik pengiring dalam
sajian musik dangdut. Tak hanya sebagai pengiring, Giitar juga seringkali dimainkan
untuk mengisi melodi dalam lagu. Penggunaan gitar dalam musik dangdut yang paling
mencolok adalah gitar milik raja dangdut Rhoma Irama, dimana gitar tersebut
merupakan gitar listrik tanpa kepala, atau yang lebih dikenal sebagai gitar buntung.
Bahkan Gitar tersebut sudah identik dengan Rhoma irama.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/tanjidor-riwayat-musik-eropa-yang-
melegenda-di-jakarta
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://ukmkesenianuniversitasje
mber.wordpress.com/2015/02/26/pengetahuan-
karawitan/amp/&ved=2ahUKEwjAuL7n85fkAhVMVH0KHZ30CtQQFjAaegQIBRAB&usg
=AOvVaw1BRAf1DWIBVc7Fqsai3rLg&ampcf=1
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Reog
https://anakbetawiblog.wordpress.com/2016/08/14/sejarah-gambang-kromong/
http://kumpulansejarah-aris.blogspot.com/2013/02/sejarah-musik-keroncong-dan.html
http://k-pengetahuan.blogspot.com/2016/10/gamelan-bali-gong-luang.html?m=1
http://putriiilarasati.blogspot.com/2012/04/makalah-seni-budaya-musik-campur-
sari.html?m=1
https://www.google.co.uk/amp/s/harycahyadi.wordpress.com/2011/09/07/contoh-makalah-
tentang-angklung/amp/
https://www.scribd.com/doc/250340363/Makalah-Musik-Dangdut

Link Video

- Angklung : https://www.youtube.com/watch?v=d6SVAa5O-QY
- Karawitan : http://youtube.com/watch?v=OiQAnsRp9s0
- Tanjidor : https://www.youtube.com/watch?v=Tr2NhnS2NFE
- Jaranan : https://www.youtube.com/watch?v=JH_KzSUTRjo
- Reog : http://youtube.com/watch?v=4sWmxHr_9Fk
- Gambang : http://youtube.com/watch?v=BcpjMwjwFIQ
- Keroncong : https://youtu.be/V81Y6xJSQoc
- Gong Luang : https://youtu.be/YfoJF8jU40Y
- Campursari : https://youtu.be/QxyzOzQ7ucJ8
- Dangdut : https://youtu.be/Kn7BQZH5reU

Anda mungkin juga menyukai