Kelompok 3:
Adinda Yunia Fajrin (X MIPA-2/01)
Andre Eka Prayoga (X MIPA-2/06)
Farrel Asher Tegara (X MIPA-2/13)
Jerry Rejab Widarto (X MIPA-2/18)
Maulidiyah Tsaniya A. P. (X MIPA-2/20)
Rahmadina Nur Azizah (X MIPA-2/25)
1. Tanjidor
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Tanjidor adalah tambur besar; serombongan
pemain musik dengan terompet, tambur besar, dan sebagainya yang biasanya dimainkan
pada hari raya Cina. Tanjidor atau musik Tanjidor berasal dari bahasa Portugis yaitu
Tangedor yang berarti kelompok musik berdawai (Kamus Ensiklopedia Indonesia oleh Van
Hoeve terbitan Ichtiar Baru tahun 1984). Diduga Tanjidor berasal dari bangsa Portugis yang
datang ke Jakarta pada abad XIV sampai abad XVI. Kelompok musik Tanjidor biasanya
memainkan musik pada pawai militer atau upacara keagamaan. Konon, salah satu Gubernur
Jenderal Belanda, Valckenier, menggabungkan rombongan 15 orang pemain musik tiup
Belanda dengan pemain gamelan, pesuling Cina dan penabuh tambur Turki untuk
memeriahkan pesta. Ahli musik dari Belanda bernama Ernst Heinz berpendapat, Tanjidor
berasal dari para budak yang ditugaskan bermain musik untuk majikannya. Sementara
Sejarahwan Belanda bernama Dr. F. De Haan juga berpendapat bahwa Orkes Tanjidor
berasal dari orkes budak pada masa kompeni.
Pada abad XVIII, kota Batavia dikelilingi oleh Benteng tinggi pertahanan kolonial
Belanda. Para pejabat tinggi Belanda membangun vila di luar kota Batavia. Vila-vila
tersebut terletak di Cililitan Besar, Pondok Gede, Tanjung Timur, Ciseeng dan Cimanggis.
Di vila-vila itulah para pejabat tinggi Belanda memanfaatkan para budak yang memiliki
keahlian di bidang musik untuk menghibur tamu-tamu. Hal tersebut terjadi dikarenakan
sulitnya mendatangkan pemusik dari Eropa.
Sekitar tahun 1860, perbudakan mulai dihapuskan. Era musik Tanjidor didalam rumah
megah para pejabat tinggi Belanda berakhir. Para pemain musik yang awalnya budak
menjadi orang yang merdeka. Dan karena keahlian setelah menjadi budak tersebut dalam
bermain musik, mereka membentuk perkumpulan musik sehingga lahirlah perkumpulan
musik yang dinamakan Tanjidor.
Peralatan Tanjidor yang ada sekarang merupakan peninggalan Belanda sehingga
usianya sudah sangat tua. Alat-alat musik Tanjidor di antaranya adalah
Bedug (Bas Drum). Thrombon.
Tambur (Snare drum). Piston (Terompet).
Simbal (Perkusi) Tenor.
Klarinet. Bass Throm
Dengan alat-alat musik setua itu, Tanjidor biasa digunakan untuk mengiringi helaran
(hajatan) dan arak-arakan pengantin. Salah satu ciri khas Tanjidor adalah membawakan
lagu-lagu Betawi dan bisa disebut cerminan adaptasi masyarakat lokal terhadap musik barat.
2. Karawitan
a. Pengertian Karawitan
Karawitan adalah seni musik tradisional Jawa dengan peralatan yang lengkap dan
telah berkembang secara turun-temurun sesuai dengan perkembangan jaman dan tidak
meninggalkan keasliannya. Perangkat peralatan musik tradisional itu disebut Gamelan,
yang terdiri dari bermacam-macam alat atau ricikan.
Sedangkan menurut sunber lain, Gamelan Jawa merupakan seperangkat instrumen
sebagai pernyataan musikal yang sering disebut dengan istilah karawitan. Karawitan
berasal dari bahasa Jawa, yakni rawit yang berarti rumit, berbelit-belit; halus, cantik;
berliku-liku dan enak. Kata Jawa karawitan khususnya dipakai untuk mengacu kepada
musik gamelan, musik Indonesia yang bersistem nada nondiatonis (dalam laras slendro
dan pelog) yang garapan-garapannya menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme,
memiliki fungsi, pathet dan aturan garap dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia dan
campuran yang indah didengar.
Arti kata gamelan sampai sekarang masih dalam dugaan-dugaan. Mungkin juga
kata gamelan terjadi dari pergeseran atau perkembangan dari kata gembel. Gembel
adalah alat untuk memukul karena cara membunyikan instrumen itu dengan dipukul-
pukul. Barang yang sering dipukul namanya pukulan; barang yang sering diketok
namanya ketokan atau kentongan; barang yang sering digembel namanya gembelan. Kata
gembelan ini bergeser atau berkembang menjadi gamelan. Mungkin juga karena cara
membuat gamelan itu adalah perunggu yang dipukul-pukul atau dipalu atau digembel,
maka benda yang sering dibuat dengan cara digembel namanya gembelan, benda yang
sering dikumpul-kumpulkan namanya kempelan dan seterusnya gembelan berkembang
menjadi gamelan. Dengan kata lain gamelan adalah suatu benda hasil dari benda itu
digembel-gembel atau dipukul-pukul (Trimanto,1984).
b. Sejarah Karawitan
Karawitan dikenal sejak jaman Kalingga, pada jaman raja Syailendra sehingga
peralatannya (ricikan) masih sangat sederhana. Intonasi nada yang ada masih sederhana
pula. Sejak zaman Syailendra itulah dikenal alat musik tradisional gamelan yang sampai
sekarang dikenal dengan gamelan Slendro, dalam satu oktaf dibagi 5 nada, yaitu
1, 2, 3, 5, 6.
Pada jaman Majapahit, seni karawitan telah berkembang dengan baik, walaupun
peralatannya masih sangat sederhana. Gamelan berlaras Slendro telah dikembangkan
pula dengan gamelan laras Pelog, yang dalam satu oktaf dibagi 7 nada, yaitu 1, 2, 3, 4, 5,
6, 7.
Pada zaman Mataram, dua jenis gamelan yang masih sangat sederhana tersebut
mulai dilengkapi dengan alat (ricikan) baru sebagai penunjangnya, sehingga ricikan lebih
banyak dan lengkap seperti yang ada sekarang ini. Pada zaman Mataram ini pula, dua
jenis gamelan tersebut (Pelog dan Slendro), disatukan menjadi satu satuan musik yang
saling berkaitan dan saling melengkapi.
Pada zaman dahulu Karawitan hanya tumbuh dan dikembangkan di dalam
lingkungan keraton. Bahkan para bangsawan dan kerabat Keraton boleh dikatakan wajib
menguasai bidang Karawitan, Tembang dan Tari.
Bagi masyarakat luas yang tinggal di luar keraton tidak dapat mempelajari
Karawitan dengan metode menabuh Gamelan yang baik dan benar. Dengan semangat
yang tinggi, mereka belajar sendiri sesuai dengan suara Gamelan yang pernah
didengarnya dari dalam Keraton. Karawitan yang tidak memakai metode menabuh yang
baik dan benar ini, disebut Karawitan Alam. Pada jaman sekarang, Keraton bukanlah
satu-satunya sumber pengembangan seni karawitan. Untuk mengembangkan seni
karawitan, telah banyak didirikan pendidikan formal seperti PMKT, STSI yang
memberikan pedoman dan metode Karawitan yang baik dan benar.
c. Jenis Peralatan Gamelan
Jika ditinjau dari sumber bunyi, pada umumnya peralatan (ricikan) gamelan terdiri
dari bermacam-macam jenis. Pada umumnya gamelan terdiri dari alat musik pukul, yaitu
bonang barung, bonang, penerus, slenthem, demung, saron, peking, gender barung,
gender, penerus, gambang, kempul/ gong, kenong dan kendang. Tetapi ada juga jenis alat
musik lain, misalnya : alat musik tiup (suling), alat musik gesek (rebab), alat musik petik
(siter).
d. Etika Karawitan
Karawitan merupakan seni musik yang adi luhung. Dapat disajikan dalam nuansa
gembira, sedih, jenaka, marah, bahkan dapat disajikan secara khusus pada acara sakral
dalam kegiatan ritual. Oleh karena itu penampilan dalam penyajian Karawitan perlu
diperhatikan pula etika dan tata krama yang berlaku. Pada penyajian karawitan, para
penabuh tidak dibenarkan menabuh sesuka hati, tanpa metode maupun posisi menabuh
yang tidak semestinya.
Pada penyajian Karawitan, para penabuh harus berpedoman pada metode
Karawitan dan cara menabuh Gamelan yang berlaku secara umum. Etika Penyajian
Karawitan dan cara menabuh gamelan yang baik adalah sebagai berikut:
1. Waktu akan masuk dan keluar tempat gamelan, tidak diperkenankan melangkahi
ricikan.
2. Menabuh ricikan dengan cara/teori yang benar.
3. Menabuh dengan bersikap tenang, posisi duduk bersila, menghadap ke ricikan yang
sedang ditabuh.
4. Pada saat menabuh tidak boleh sambil merokok atau makan.
5. Tidak berpindah tempat pada waktu menabuh gemelan.
6. Pada saat menabuh tidak diperkenankan sambil bercakap-cakap dengan orang diluar
tempat Karawitan.
e. Bentuk Lagu dalam Karawitan
Lagu yang biasa disajikan dalam Karawitan terbagi menjadi beberapa bentuk lagu yakni:
1. Lancaran >>> lancaran mlampah >>> lancaran tiban
2. Ketawang
3. Ladrang
4. Gending >>> ketawang gending >>> gending ageng
5. Jineman (tenang)
6. Srepegan (marah)
Pada satu unit Gamelan bisa hanya berlaras Slendro atau berlaras Pelog saja. Tetapi
pada Gamelan yang lengkap, tersedia Gamelan berlaras Slendro dan Pelog. Karena
Gamelan laras Slendro tidak sama dengan yang berlaras Pelog, maka agar kedua laras
tersebut dapat digunakan sebagai satu satuan musik yang saling melengkapi, maka salah
satu nadanya dibuat sama. Misalnya 6 slendro dibuat sama dengan 6 pelog. Pada
perangkat, Gamelan seperti ini disebut Gamelan tumbuk 6. Ada pula Gamelan yang
dibuat dengan tumbuk 5, tetapi yang umum dipakai sekarang adalah tumbuk 6.
3. Jaranan
Seni Jaranan mulai muncul sejak abad ke 10 Hijriah. Tepatnya pada tahun 1041 atau
bersamaan dengan kerajaan Kahuripan dibagi menjadi 2 yaitu bagian timur Kerajaan
Jenggala dengan ibu kota Kahuripan dan sebelah Barat Kerajaan Panjalu atau Kediri dengan
Ibu kota Dhahapura.
a. Sejarah
Raja Airlangga memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Dewi Sangga
Langit. Pada waktu itu banyak sekali yang melamarnya sehingga Raja mengadakan
sayembara.
Masing-masing pelamar Dewi Sangga Langit memiliki kesaktian. Mereka sama-
sama memiliki kekuatan dan ilmu yang tinggi. Dewi Sangga Langit sebenarnya tidak
mau menikah dan ingin menjadi pertapa. Namun, Prabu Airlangga memaksa Dewi
Sangga Langit hingga akhirnya dia mau menikah dengan satu permintaan. Barang siapa
yang bisa membuat kesenian yang belum ada di Pulau Jawa, dia akan memenangkan
sayembara tersebut.
Beberapa orang yang ingin melamar Dewi Songgo Langit di antaranya adalah
Klono Sewandono dari Wengker, Toh Bagus Utusan Singo Barong dari Blitar,
Kalawraha seorang adipati dari pesisir kidul, dan 4 prajurit yang berasal dari Blitar. Para
pelamar bersama-sama mengikuti sayembara yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit.
Mereka berangkat dari tempatnya masing-masing ke Kediri untuk melamar Dewi Songgo
Langit.
Beberapa pelamar itu bertemu di jalan dan bertarung terlebih dahulu sebelum
mengikuti sayembara di kediri. Pertarungan tersebut dimenangkan oleh Klana
Sewandono atau Pujangganom. Dalam pertempuran itu Pujangganom menang dan Singo
Ludoyo kalah. Setelah mengalami kekalahan, singo Ludoyo melakukan perjanjian
dengan Pujangganom. Singa Ludoyo meminta jangan dibunuh. Pujangganom rupanya
menyepakati kesepakatan itu. Akan tetapi Pujangga Anom memiliki syarat, yaitu Singo
Barong harus mengiring temantennya dengan Dewi Sangga Langit ke Wengker.
Iring-iringan temanten itu harus diiringi oleh jaran-jaran dengan melewati bawah
tanah dengan diiringi oleh alat musik yang berasal dari bambu dan besi. Pada zaman
sekarang besi ini menjadi kenong dan bambu itu menjadi terompet dan jaranan.
Dalam perjalanan mengiringi temanten Dewi Sangga Langit dengan Pujangga
Anom itu, Singo Ludoyo beranggapan bahwa dirinya sudah sampai ke Wengker, tetapi
ternyata dia masih sampai di Gunung Liman. Dia marah-marah pada waktu itu sehingga
dia mengobrak-abrik Gunung Liman itu dan sekarang tempat itu menjadi Simoroto.
Akhirnya, sebelum dia sampai ke tanah Wengker, dia kembali lagi ke Kediri.
Karena Dewi Sangga Langit sudah diboyong ke Wengker oleh Pujangga Anom dan
tidak mau menjadi raja di Kediri, maka kekuasaan Kahuripan diberikan kepada kedua
adiknya yang bernama Lembu Amiluhut dan Lembu Amijaya. Setelah Sangga Langit
diboyong oleh Pujangganom ke daerah Wengker Bantar Angin, Dewi Sangga Langit
mengubah nama tempat itu menjadi Ponorogo.
Pada saat boyongan ke Wengker, Dewi Sangga Langit dan Klana Sewandana
diarak oleh Singo Barong. Pengarakan itu dilakukan dengan menerobos dari dalam tanah
sambil berjoget. Alat musik yang dimainkan adalah berasal dari bambu dan besi. Pada
zaman sekarang besi ini menjadi kenong.
Untuk mengenang sayembara yang diadakan oleh Dewi Sangga Langit dan
Pernikahanya dengan Klana Sewandono atau Pujangga Anom inilah masyarakat kediri
membuat kesenian jaranan. Sedangkan di Ponorogo Muncul Reog. Dua kesenian ini
sebenarnya memiliki akar historis yang hampir sama. Seni jaranan ini diturunkan secara
turun temurun hingga sekarang ini.
Adegan terakhir adalah Singa Barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk
kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa
mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi.
Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat,
juga dipercaya diperoleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.
5. Gambang Kromong
Gambang Kromong adalah sebuah orkes tradisional Betawi yang merupakan orkes
perpaduan antara gamelan, musik Barat dengan nada dasar pentatonis bercorak Cina. Orkes
ini memang erat hubungannya dengan masyarakat Cina Betawi, terutama Cina peranakan
dan populer di tahun 1930-an.
Instrumen gamelan pada gambang kromong terdiri dari:
Gambang kayu
Kromong, yaitu seperangkat bonang lima nada.
Dua buah alat gesek seperti rebab, dengan resonator terbuat dari tempurung kelapa mini
disebut ohyan dan gihyan
Suling laras diatonik yang ditiup melintang
Kenong
Gendang.
Sedangkan instrumen musik dari Barat meliputi terompet, gitar, biola, dan saksofon.
Sekitar tahun 1937 orkes-orkes gambang kromong mencapai puncak popularitasnya,
salah satu yang terkenal ialah Gambang Kromong Ngo Hong Lao yang pemainnya terdiri
dari orang-orang Cina. Alat-alat musik dalam orkestra tersebut dianggap paling lengkap,
terdiri dari alat-alat seperti berikut: sebuah gambang kayu; seperangkat kromong; empat
buah rebab Cina yang berbeda-beda ukurannya; alat petik berdawai disebut Sam Hian;
sebuah bangsing bambu; dua buah alat jenis cengceng disebut ningnong; sepasang Pan,
yakni dua potong kayu yang saling dilagakan untuk memberi maat (tempo). Tangga nada
yang dipergunakan bukanlah slendro seperti laras gamelan Jawa, Sunda atau Bali,
melainkan modus khas Cina yang di negeri asalnya dahulu bernama tangga nada Tshi Che;
seperti yang di dengar pada gambang.
Susunan belanga-belanga kromongnya adalah sebagai berikut :
(A) (G) (E) (D) (C)
(D) (E) (C) (G) (A)
Adapun yang disebut “rebab cina”, yang berukuran paling besar dinamakan su kong,
sesuai dengan laras dawai-dawainya, yang meniru nada su dan nada kong. Rebab dengan
ukuran menengah disebut hoo siang, karena dawai-dawainya dilaras menurut nada hoo dan
nada siang. Rebab yang paling kecil dinamakan kong a hian, sesuai dengan larasnya meniru
bunyi nada-nada Cina. Rebab yang punya ukuran sedikit lebih besar dari kong a hian, ialah
yang bernama tee hian, yang larasnya serupa dengan laras kong a hian.
Sam Hian adalah alat berdawai yang dimainkan dengan cara dipetik seperti
memainkan gitar; dan alat itu memainkan jalur melodi (nuclear melody) dalam orkes
tersebut. Ketiga dawainya dilaras dengan nama nada dengan notasi demikian, apabila orkes
Gambang Kromong memainkan lagu-lagu khas Cina yang disebut Pat fem, maka
dipergunakan pula tambahan alat tiup berupa serunai, yakni dai sosa dan cai di (siao sona).
Pada waktu pertama kali muncul di Betawi, orkes ini hanya bernama gambang. Sejak awal
abad ke-20, mulai menggunakan instrumen tambahan, yaitu bonang atau kromong, sehingga
orkes ini dinamakan Gambang Kromong. Pada masa itu hampir setiap daerah di Betawi
memiliki orkes Gambang Kromong, bahkan tersebar sampai daerah Jatinegara, Karawang,
Bekasi, Cibinong, Bogar, Sukabumi, Tangerang, dan Serang.
Bagi orang Cina kaya, tauke-tauke atau babah-babah pada masa “Batavia Centrum”,
sudah merupakan adat dan tradisi, untuk memeriahkan bermacam ragam pesta dan perayaan
mereka, dengan memanggil perkumpulan gambang kromong untuk bermain. Misalnya pesta
perkawinan, rasanya tidak sempurna kalau belum memanggil orkes seperti itu ke dalam
pesta. Musik dan nyanyian dengan iringan gambang kromong, sudah lazim pula dirasakan
belum cukup asam garamnya, kalau belum disertai minum arak, brendi atau alkohol. Pemain
musiknya terdiri dari orang Betawi asli atau Cina.
Di dalam perayaan tradisional bangsa Cina, yaitu Cap Go Meh tidak lupa dimeriahkan
dengan Gambang Kromong. Repertoar Gambang Kromong yang sangat dikenal oleh
masyarakat penontonnya, antara lain: Pecah Piring, Duri Rembang, Temenggung Menulis,
Go Nio Rindu, Thio Kong len, Engko si Baba, dan lain-lain. Selain itu gambang kromong,
biasanya disertai pula dengan lakon-lakon, seperti: Si Pitung, Pitung Rampok Betawi,
Bonceng Kawan, Angkri Digantung, dan lain-lain.
Adapun lagu Gambang Kromong yang terkenal adalah Jali-Jali. Sedangkan lagu jenis
Nina Bobok kebanggaan Gambang Kromong berjudul Indung-Indung. Orkes ini memiliki
repertoar asli dalam bahasa Cina, yang disebut sebagai lagu-lagu Phobin. Karena para
penyanyinya kebanyakan terdiri dari wanita-wanita pribumi, maka repertoar Phobin tidak
dinyanyikan, melainkan dimainkan sebagai “gending” (instrumental). Hal itu bukan karena
komposisi-komposisi tersebut memang bersifat gending, karena banyak di antaranya yang
benar-benar merupakan “Lied” atau lagu untuk nyanyian vokal. Di antara lagu-lagu pobin
ialah: Soe Say Hwee Bin (Joo Su Say sudah kembali), Kim Hoa Tjoen (bunga Kim Hoa
berkembang), Pek Bouw Tan (bunga Bow Tan nan putih), Kong Djie Lok, Djien Kwie Hwee
(pulang kembalinya pahlawan bernama Siek Jin Kwie).
Pada zaman dahulu, masa Hindia Belanda orkes-orkes Gambang Kromong yang
bersifat Cina-Indonesia itu, seringkali tidak mempunyai biduanita-biduanita yang dapat
menyanyikan Po-bin-po-bin dalam bahasa Cina. Karena itulah lagu itu dimainkan secara
instrumental saja, padahal sebagian besar harus dinyanyikan karena merupakan melodi-
melodi vokal. Lagu-lagu berbahasa Indonesia yang dimainkan oleh orkes Gambang
Kromong ialah lagu memuja bunga serta tokoh, misalnya Pecah-Piring, Duri Rembang,
Temenggung Menulis, Co Nio Rindu, Tion Kong In, Engko si Baba, dan selain itu cerita
mengenai peristiwa lampau, umpamanya Bonceng Kawan, cerita Pitung Rampok Betawi,
cerita Angkri Digantung di Betawi. Adapun salah satu lagu pengantar tidur yang populer
masa itu adalah Indung-Indung.
Gambang Kromong sebagai sekumpulan alat musik perpaduan yang harmonis antara
unsur pribumi dengan unsur Cina. Orkes Gambang Kromong tidak terlepas dari jasa Nie
Hoe Kong, seorang pemusik dan pemimpin golongan Cina pada pertengahan abad XVIII di
Jakarta. Atas prakarsanyalah, penggabungan alat-alat musik yang biasa terdapat dalam
gamelan (pelog dan selendro) digabungkan dengan alat-alat musik yang berasal dari
Tiongkok. Pada masa lalu, orkes Gambang Kromong hanya dimiliki oleh babah-babah
peranakan yang tinggal di sekitar Tangerang, Bekasi, dan Jakarta. Di samping untuk
mengiringi lagu, Gambang Kromong biasa dipergunakan untuk pengiring tari pergaulan
yakni tari Cokek, tari pertunjukan kreasi baru, dan teater Lenong
6. Keroncong
a. Pengertian
Keroncong merupakan nama dari instrumen musik sejenis ukulele dan juga sebagai
nama dari jenis musik khas Indonesia yang menggunakan instrumen musik keroncong,
flute, dan vokal seorang penyanyi wanita.
b. Sejarah
Musik keroncong masuk ke negara Indonesia dibawa oleh para pelaut dan budak
kapal niaga bangsa sejak abad ke-16. Waktu itu, keroncong dikenal dengan fado, sejenis
musik Portugis. Musik keroncong masuk pertama kali di Malaka dari daratan India (Goa)
yang kemudian dimainkan oleh para budak dari Maluku. Pada abad ke-17, pengaruh
portugis melemah di Nusantara, tetapi musik ini tidak ikut hilang.
Awal mulanya bentuk musik ini adalah moresco, yaitu sebuah tarian asal Spanyol.
Kemudian salah satu lagunya disusun kembali oleh Kusbini dan dikenal dengan nama
Kr. Muritsu, yang diiringi oleh alat musik dawai. Seiring dengan perkembangan zaman,
banyak alat musik tradisional yang mulai muncul, seperti seruling dan gamelan. Pada
abad ke-19, musik keroncong ini mulai populer di berbagai daerah di nusantara, sampai
ke Semenanjung Malaya, sampai tahun 1960-an.
Setelah itu, musik keroncong pun mulai redup karena banyaknya musik popular
yang masuk ke industri musik Indonesia, seperti musik rock yang berkembang sejak
tahun 1950 dan berkembangnya musik Beatle sejenisnya pada tahun 1961 sampai dengan
sekarang. Akan tetapi, meskipun musik di Indonesia ini semakin berkembang, musik
keroncong tetap ada dan dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat di Indonesia dan di
negara Malaysia pun sampai sekarang.
Alat-alat musik yang dimainkan untuk mengiringi lagu keroncong pada awalnya
hanya diiringi oleh musik dawai, seperti biola, ukulele, dan selo. Alat musik perkusi
jarang dipakai. Perlengkapan alat musik seperti ini masih dipakai oleh Keroncong Tugu,
yaitu komunitas keroncong keturunan budak Portugis dari Ambon yang tinggal di
kampung Tugu, Jakarta Utara.
Kemudian musik ini berkembang ke daerah selatan di Kemayoran dan Gambir oleh
orang Betawi yang berbaur dengan musik Tanjidor pada tahun 1880-1920. Pada tahun
1920-1960, pusat perkembangan musik keroncong pindah ke daerah Solo dan musiknya
pun menjadi lebih lambat sesuai dengan sifat orang Jawa.
Saat ini, alat musik yang dipakai oleh para pemain musik keroncong sudah
berkembang. Berikut ini alat musik yang dipakai dalam orkes keroncong yang sering
ditampilkan.
Ukulele (Cuk). Memiliki dawai 3 (nilon) yang mempunyai urutan nada G, B, E. Alat
ini mengeluarkan suara crong-crong, sehingga disebut keroncong yang ditemukan
pada tahun 1878 di hawai dan merupakan awal mula musik keroncong.
Ukulele (Cak) yang memiliki 4 dawai (baja). Urutan nadanya A, D, Fis, dan B.
Gitar akustik yang berfungsi sebagai gitar melodi yang dimainkan dengan gaya
kontrapuntis (anti melodi).
Biola adalah alat yang menggantikan rebab.
Flute menggantikan suling bambu. Pada era keroncong abadi, suling bohm dipakai
sebagai alat pengiring.
Selo menggantikan kendang.
Kontrabas menggantikan gong yang dimainkan dengan dipetik.
Pada saat dimainkan, ukulele dan bas adalah penjaga irama. Gitar dan selo
mengatur peralihan akord dan biola sebagai penuntun melodis sekaligus sebagai ornamen
bawah. Flute berfungsi menghias atas dengan mengisi ruang melodi yang kosong.
Pada saat ini, musik keroncong dicampur dengan musik populer dengan
menggunakan organ tunggal dan synthesizer, sehingga menghasilkan musik campuran.
7. Gong Luang
a. Pengertian
Gong Luang terdiri dari 2 suku kata yaitu Gong dan Luang. Kata “Gong” mengacu
pada nama salah satu instrument gamelan tradisional Bali yang terbuat dari bahan
perunggu bentuknya bulat seperti nakara, memiliki moncol pada sentralnya dan moncol
itulah yang biasanya dipukul. Ukuran gong ini paling besar di antara barungannya
(unitnya). Fungsinya dalam barungan adalah sebagai finalis lagu. Istilah gong juga
dipakai untuk memberi nama pada satu barungan gamelan. Contoh: Gamelan Gong
Gede, Gamelan Gong Kebyar, Gamelan Gong Suling, Gamelan Gong Beri dan lain
sebagainya.
Selanjutnya kata “Luang: atau “Ruang” atau “Rong” berarti ruang atau bidang.
Istilah “Luang” ini sangat popular dipergunakan dalam dunia perundagian (arsitektur
tradisional Bali), untuk menyebutkan nama bidang atau ruang - ruang kosong yang akan
diberi hiasan berupa motif - motif ukiran dan sejenisnya. Istilah “Luang” dipakai juga
penamaan salah satu lagu Gambang yaitu “Menjangan Saluang”. Menjangan Saluang
juga mengacu pada nama salah satu bangunan suci yang terdapat di Merajan/Sanggah
(Tempat Suci keluarga bagi umat Hindu Bali). Di Sumatra, dikenal istilah “Saluang”
untuk memberi nama pada sebuah bentuk instrumen tiup (seruling).
Menurut I Nyoman Raweg (Sudiana, 1982: 4) istilah “Luang” berarti kurang.
Dalam hal ini dikatakan mengatan bahwa apabila unit gamelan tersebut kurang lengkap
maka dinamakanlah Gong Luang. Tetapi, lebih lanjut Raweg mengatakan bahwa
pendapat ini pun ternyata simpang siur. Pendapat lain menyatakan bahwa justru barungan
yang lengkaplah bernama Gong Luang sedangkan yang kurang bernama “Saron” yaitu
terdiri atas saron, gangsa jongkok besar dan gangsa jongkok kecil. Kelompok masyarakat
lain mengatakan bahwa lengkap atau tidak barungan itu tetap saja namanya Gong Luang.
Terlepas dari pengertian “Luang” yang terpisah - pisah serta terkesan simpang siur
tersebut. Pengertian Gong Luang yang dimaksud dalam deskripsi ini tidaklah dalam
artinya yang simpang siur itu bahwa yang dimaksud dengan Gong Luang secara umum
adalah barungan gamelan yang terdiri dari 7 (tujuh) nada. 5 (lima) buah nada sebagai
nada pokok dan 2 buah nada sebagai nada pemero berlaraskan pelog miring. Bentuk
gamelan Gong Luang serupa dengan gamelan gong kebyar hanya saja Gong Luang terdiri
dari 8 (delapan) atau 9 (sembilan) instrument sedangkan Gong Kebyar terdiri dari 25
sampai 30 instrumen. Sebagaimanina diinformasikan di atas, bahwa dalam Gong Luang
terdapat 5 buah nada pokok dan 2 buah nada pemero. Meskipun demikian, pada suatu
saat semua nada tersebut berfungsi sebagai nada pokok tergantung pepatutan yang
dipakai.
b. Instrumen Gong Luang
Gong Luang diklasifikasikan sebagai gamelan golongan tua. Barungan gamelan
Gong Luang tersebut pada umumnya terdiri dari:
1. Instrumen Berbilah: Gangsa jongkok (2 buah pemade dan 2 buah kantil). Jublag 2
buah, Jegog 2 buah dan Saron.
2. Instrumen Bermoncol: Trompong 1 tungguh, riyong 1 tungguh, Gong, Kempur, Kajar,
Kendang 2 buah, Cengceng dan Suling.
Jumlah instrumen tersebut tidaklah mutlak. Hal itu sangat tergantung pada kondisi
Daerah atau Desa dimana Gong Luang itu berasal. Jumlah instrument Gong Luang Desa
Kerobokan dapat diinformasikan sebagai berikut:
Riyong 2 buah
Kendang 1 buah
Kenyong Ageng 1 buah
Saron 2 buah
Kenyong Alit 1 buah
Jublag 1 buah
Penyahcah 1 buah
Cengceng Ricik 1 pangkon
Jegogan 2 buah
Kempur 1 buah
Gong 2 buah (lanang - wadon)
Jumlah instrument Gong Luang Desa Apuan - Singapadu dapat diinformasikan sebagai
berikut:
Kendang 1 buah]
Gangsa Ageng 1 buah
Cengceng Kopyak 1 pasang
Riyong 2 buah
Gong 1 buah
Cengceng Ricik 1 pangkon
Gangsa Alit 1 buah
Kajar 1 buah
Jegogan 2 buah
Kempur 1 buah
Saron 2 buah
Jumlah instrument Gong Luang Desa Tangkas - Klungkung dapat diinformasikan
sebagai berikut:
Gong 1 buah
Riyong Pemetit 1 buah
Riyong pemero 1 buah
Gambang 2 buah
Gangsa Alit 2 buah
Kendang Bedug 1 buah
Riyong Penyelat 1 buah
Riyong Mananga 1 buah
Gangsa Ageng 1 buah
Angklung juga diartikan sebagai alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara
tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat
musik ini dibuat daribambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh
benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan
nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat
musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog.
Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi
Manusia dariUNESCO sejak November 2010. Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung
digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang
berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan
bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.
Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad
ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung
berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan
dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap
Nyai Sri Pohacisebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat
Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung
sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di
Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau.
Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk
memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam
(awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung
bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai
penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat
rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia
Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat
membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu
itu.
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan
pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang
kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung.
Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung.
Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini
menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian
tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan
sebagainya.
Angklung adalah mitologi dari Bahasa Bali, yaitu Ang yang berarti angka (berupa not)
dan klung yang berarti rusak. Jadi, jika digabungkan angklung berarti angka yang rusak.
Dalam sejarah perkembangan musik Angklung, bentuknya yang sekarang merupakan
adaptasi bentuk alat musik dari Filipina. Perkembangan musik angklung pada mulanya yaitu
berasal dari bambu wulung (wulung awi) yang dimainkan dengan cara dipukul-pukul.
Permainan bambu tersebut bermula untuk menghormati binatang totem dan untuk
menghormati dan menghargai pemberian hasil panen padi yang banyak dan baik dari Dewi
Sri yang dipercaya sebagai dewi yang memberikan kesejahteraan.
Pada masa modern ini, perkembangan musik angklung mulai berubah. Itu berawal
dari Daeng Sutisna yang berhasil mengubah tangga nada petatonis menjadi diatonis
(do,re,mi,fa,sol,la,si,do) pada tahun 1983. Dan perkembangan itu pun terjadi, misalnya pada
KTT Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat. Musik Angklung modern dimainkan untuk acara
resmi dalam Indonesia Ultimate Diversity tersebut, yaitu dalam lagu Indonesia Raya dan
beberapa lagu daerah yang terkenal seperti Rasa Sayange, Ayo Mama, Burung Kakak Tua
dan Potong Bebek Angsa.
10. Dangdut
Musik dangdut adalah perpaduan antara alat musik Indonesia, Arab, India, dan
Barat yang dimainkan bersama-sama. Kemudian seiring berjalannya waktu, harmoni
musik ini dipengaruhi oleh orkestra barat serta irama samba dan rumba. Pengaruh itu
akhirnya membawa musik ini masuk ke dalam tradisi melayu yang berkembang di daerah
yang jauh dari ibu kota dan merupakan tempat tinggal para musisi dan kritikus musik,
terutama di daerah Padang dan Medan.
Pada dasarnya, bentuk musik dangdut berakar dari musik melayu pada tahun 1940-
an. Dalam evolusi menuju bentuk kontemporer sekarang masuk pengaruh unsur-unsur
musik India(terutama dari penggunaan tabla) dan Arab(pada cengkok dan harmonisasi).
Perubahan arus politik Indonesia di akhir tahun 1960-an membuka masuknya pengaruh
musik barat yang kuat dengan masuknya gitar listrik dan juga bentuk pemasarannya.
Sejak tahun 1970-an dangdut boleh dikatakan telah matang dalam bentuknya yang
kontemporer. Sebagai musik populer, dangdut sangat terbuka terhadap pengaruh bentuk
musik lain, mulai dari keroncong, langgam, degung, gambus, pop, rock, bahkan house
music.
Berawal dari periode kolonial Belanda, waktu itu ada perpaduan alat musik
Indonesia, Arab dan Belanda yang dinamakan bersama-sama dalam Tanjidor. Musik ini
merupakan orkestra mini yang khas dan dipertunjukkan sambil berjalan oleh para budak
peliharaan tuan-tuan kulit putih penguasa pekebunan di sekitar Batavia. Sepanjang abad
19, banyak pengaruh dari luar diserap oleh masyarakat Indonesia. Misalnya pengaruh
dari Cina yaitu ansambel Cina-Betawi yang disebut gambang kromong dan juga
keroncong. Tahun 1940, musik tradisional tersebut secara bertahap bercampur dengan
musik Melayu yang sudah modern waktu itu. Pada tahun 1950-an dan 1960-an banyak
berkembang orkes-orkes Melayu di Jakarta yang memainkan lagu-lagu Melayu Deli dari
Sumatera(sekitar Medan). Pada masa ini mulai masuk eksperimen masuknya unsur India
dalam musik Melayu. Perkembangan dunia sinema pada masa itu dan politik anti-Barat
dari Presiden Sukarno menjadi pupuk bagi grup-grup ini. Dari masa ini dapat dicatat
nama-nama seperti P. Ramlee(dari Malaya), Said Effendi(dengan lagu Seroja),
Ellya(dengan gaya panggung seperti penari India), Husein Bawafie sang pencipta
Boneka dari India, Munif Bahaswan, serta M. Mashabi(pencipta skor film “Ratapan
Anak Tiri” yang sangat populer di tahun 1970-an).
Dangdut modern, yang berkembang pada awal tahun 1970-an sejalan dengan
politik Indonesia yang ramah terhadap budaya Barat, memasukkan alat-alat musik
modern Barat seperti gitar listrik, organ elektrik, perkusi, terompet, saksofon, obo, dan
lain-lain untuk meningkatkan variasi dan sebagai lahan kreativitas pemusik-pemusiknya.
Mandolin juga masuk sebagai unsur penting. Pengaruh rock (terutama pada permainan
gitar) sangat kental terasa pada musik dangdut. Tahun 1970-an menjadi ajang
‘pertempuran’ bagi musik dangdut dan musik rock dalam merebut pasar musik
Indonesia, hingga pernah diadakan konser ‘duel’ antara Soneta Group dan God Bless.
Praktis sejak masa ini musik Melayu telah berubah, termasuk dalam pola bisnis
bermusiknya.
Pada paruh akhir dekade 1970-an juga berkembang variasi “dangdut humor” yang
dimotori oleh OM Pancaran Sinar Petromaks (PSP). Orkes ini, yang berangkat dari gaya
musik melayu deli, membantu diseminasi dangdut di kalangan mahasiswa. Subgenre ini
diteruskan, misalnya, oleh OM Pengantar Minum Racun (PMR) dan, pada awal tahun
2000-an, oleh Orkes Pemuda Harapan Bangsa (PHB).
Kemunculan Inul Daratista sangat dikecam oleh kalangan agama. Faktor moral
dan norma merupakan alasannya. Tanggapan positif diberikan oleh sebagian kalangan
yanga memandangnya sebagai suatu seni dan ekspresi diri. Perbedaan pendapat itu
memicu kontroversi dan semakin mempopulerkan nama Inul Daratista. Berawal dari
peristiwa itu, masyarakat kalangan atas mulai memperhatikan musik dangdut.
Pada masa 2000, musik dangdut tidak dapat dipandang lagi sebagai musik
kampungan. Berbagai peristiwa dan acara terhormat mulai menampilkan musik dangdut.
Tayangan utama di stasiun televisi menampilkan musik dangdut. Kafe-kafe terkenal
tidak segan menampilkan musik dangdut.
a. Kendhang
Alat musik pukul tradisional yang satu ini merupakan alat musik utama dalam
sajian musik dangdut. Bahkan setiap Orkes Melayu memiliki ketukan tabuhan
kendang yang unik yang menjadi pembeda antar sesama Orkes Melayu. Kendhang
dimainkan dengan cara ditabuh menggunakan tangan kosong. Seorang penabuh
kendhang dalam musik dangdut biasanya diharuskan memahami dan menguasai
berbagai irama ketukan dalam musik dangdut.
b. Seruling
Seruling atau suling adalah satu dari sekian lat musik yang sudah jamak dikenal
oleh penikmat musik dangdut. Suling yang umumnya dimainkan dalam musik
dangdut adalah suling bambu dimana suling bambu mampu mengeluarkan bunyi
merdu yang khas, dan kekhasan ini kini identik dengan musik dangdut. Namun tak
semua pemain seruling mampu mengeluarkan nada nada merdu yang menghanyutkan,
dibutuhkan keahlian dan kemampuan khusus dalam memainkan seruling. Faktor
utama yang mempengaruhi kualitas permainan pemain seruling adalah pernapasan.
c. Gitar
Alat musik petik modern ini digunakan sebagai alat musik pengiring dalam
sajian musik dangdut. Tak hanya sebagai pengiring, Giitar juga seringkali dimainkan
untuk mengisi melodi dalam lagu. Penggunaan gitar dalam musik dangdut yang paling
mencolok adalah gitar milik raja dangdut Rhoma Irama, dimana gitar tersebut
merupakan gitar listrik tanpa kepala, atau yang lebih dikenal sebagai gitar buntung.
Bahkan Gitar tersebut sudah identik dengan Rhoma irama.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/tanjidor-riwayat-musik-eropa-yang-
melegenda-di-jakarta
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://ukmkesenianuniversitasje
mber.wordpress.com/2015/02/26/pengetahuan-
karawitan/amp/&ved=2ahUKEwjAuL7n85fkAhVMVH0KHZ30CtQQFjAaegQIBRAB&usg
=AOvVaw1BRAf1DWIBVc7Fqsai3rLg&cf=1
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Reog
https://anakbetawiblog.wordpress.com/2016/08/14/sejarah-gambang-kromong/
http://kumpulansejarah-aris.blogspot.com/2013/02/sejarah-musik-keroncong-dan.html
http://k-pengetahuan.blogspot.com/2016/10/gamelan-bali-gong-luang.html?m=1
http://putriiilarasati.blogspot.com/2012/04/makalah-seni-budaya-musik-campur-
sari.html?m=1
https://www.google.co.uk/amp/s/harycahyadi.wordpress.com/2011/09/07/contoh-makalah-
tentang-angklung/amp/
https://www.scribd.com/doc/250340363/Makalah-Musik-Dangdut
Link Video
- Angklung : https://www.youtube.com/watch?v=d6SVAa5O-QY
- Karawitan : http://youtube.com/watch?v=OiQAnsRp9s0
- Tanjidor : https://www.youtube.com/watch?v=Tr2NhnS2NFE
- Jaranan : https://www.youtube.com/watch?v=JH_KzSUTRjo
- Reog : http://youtube.com/watch?v=4sWmxHr_9Fk
- Gambang : http://youtube.com/watch?v=BcpjMwjwFIQ
- Keroncong : https://youtu.be/V81Y6xJSQoc
- Gong Luang : https://youtu.be/YfoJF8jU40Y
- Campursari : https://youtu.be/QxyzOzQ7ucJ8
- Dangdut : https://youtu.be/Kn7BQZH5reU