Karawitan merupakan kata benda yang terbentuk dari etimologi kata “rawit”
yang berarti sesuatu yang halus, berbelit-belit, dikerjakan dengan proses yang
cermat, mendetail dan bisa dikatakan rumit. 1
Seni karawitan merupakan salah satu seni yang tumbuh subur di kalangan
masyarakat Jawa dan sering dikaitkan dengan ranah lingkup seni pertunjukan
yang lain, seperti tari, wayang (kulit dan orang), ketoprak, dan lain-lain. Di
Indonesia, khususnya pulau Jawa, beragam gaya dikenal dalam karawitan. Gaya
ini berhubungan dengan wilayah di mana karawitan berkembang. Adapun di
antaranya adalah karawitan gaya Yogyakarta, gaya Surakarta, gaya Banyumas,
gaya Surabayan (Jawa Timuran), gaya Sunda, gaya Bali, dan sebagainya. Berbagai
macam gaya tadi mempunyai karakteristik atau ciri-ciri yang khusus, baik dalam
jenis gendhing, gamelan, maupun cara memainkannya. Untuk gaya Yogyakarta,
akan lebih difokuskan dan dipelajari lebih lanjut dalam catatan ini.
1
Istilah ini diinterpretasikan sebagai suatu hal yang rumit dan berbelit-belit. Poerwadarminta dan
Roorda berpendapat bahwa kata “rawit” atau “krawit” selain berarti nama sejenis cabai kecil yang pedas, juga
berarti ‘halus dan cantik, berliku-liku, dan enak’. Periksa J.F.C. Gericke en T. Roorda, Javaansch-Nederlandssch
Handwoordenboek (Leiden: Boekhandel en Drukkerij voorheen E.J. Brill, 1901), 346. Periksa pula W.J.S.
Poerwadarminta, Baoesastra Djawa, (Batavia: Groeningen, 1939), 249 dan 522
2
Periksa Jeniffer Lindsay, Klasik, Kitsch, dan Kontemporer Sebuah Studi Tentang Seni Pertunjukan
Jawa. Terjemahan Nin Bakdi Sumanto (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), 195.
3
Dikembangkan dari Martopangrawit, Pengetahuan Karawitan I (Surakarta: Akademi Seni Karawitan
Indonesia, 1975), 1.
Gamelan merupakan alat musik atau instrumen yang digunakan dalam
bermain karawitan. Gamelan terbagi menjadi dua, 1) gamelan Pakurmatan; 2)
gamelan Ageng.
Gamelan Ageng adalah gamelan yang paling lengkap dan sering dijumpai dalam
masyarakat. Gamelan Ageng yang paling baik terbuat dari bahan dasar perunggu,
yaitu campuran antara timah putih dan tembaga dengan takaran 3:10/
tiga:sedasa (disingkat dua suku kata akhir menjadi “gasa”). Istilah “gasa” ini
kemudian sering diucapkan “gangsa” dan juga digunakan untuk menyebut istilah
lain dari gamelan (Gamelan=Gangsa) 4 . Selain dari bahan baku perunggu, dapat
juga dibuat dari bahan singen (perunggu cor), kuningan, dan besi.5
4
Istilah Gangsa digunakan untuk menyebut gamelan dalam tingkat tutur bahasa Jawa yang lebih
tinggi/halus (krama/krama inggil). Dalam tradisi istana, istilah gangsa jauh lebih sering diucapkan. Sebagai
contoh untuk menyebut gamelan milik raja biasa disebut dengan “Kagungan Dalem Gangsa....”.
5
Gamelan ada pula yang terbuat dari bambu , biasa dikenal dengan sebutan gamelan Krumpyung
yang berkembang di wilayah kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Gamelan bambu juga terdapat dalam
gamelan gaya Banyumas yang disebut Calung. Begitu pula di daerah Banyuwangi dan Bali. Beberapa
eksperimen telah menemukan gamelan yang terbuat dari gerabah (tanah liat) dan keramik di daerah
Kasongan, Bantul Yogyakarta.
Dalam karawitan terdapat dua laras6, yaitu laras slendro dan laras pelog.
Slendro adalah laras dalam karawitan di mana dalam satu gembyangan (oktaf)
dibagi menjadi lima nada dengan interval yang sama rata. Sedangkan pelog
merupakan laras dalam karawitan di mana dalam satu gembyangan (oktaf)
terdapat tujuh nada dengan interval yang berbeda-beda. Penyebutan nada-nada
tersebut dalam praktek permainan gamelan menggunakan istilah bahasa Jawa.
1 (ji) siji / barang ; 2 (ro) loro / jangga ; 3 (lu) telu / dhadha ; 5 (ma) lima /
lima ; 6 (nem) enem.
1 (ji) siji / bem ; 2 (ro) loro / jangga ; 3 (lu) telu / dhadha ; 4 (pat) papat ; 5
(ma) lima / lima ; 6 (nem) enem ; 7 (pi) pitu / barang pelog.
Slendro
1 2 3 5 6 !
1 gembyangan (oktaf)
Pelog
1 2 3 4 5 6 7 !
1 gembyangan (oktaf)
6
Istilah laras dalam hal ini dapat disetarakan dengan nada.
1. Kendhang
Kendhang terdiri dari tiga buah, yaitu a) Kendhang Bem/ Ageng (besar); b)
Kendhang Batangan/ Ciblon (sedang); c) Kendhang Ketipung (kecil).
Kendhang terbuat dari kayu bulat yang tengahnya berlubang dengan ujung
besar dan kecil. Kedua ujung yang berlubang dilapisi dengan membran yang
terbuat dari kulit kerbau atau sapi.
Gb.2. Kendhang. Seseorang mempraktekkan cara bermain kendhang. Paling depan apadah
1)kendhang batangan/ciblon; 2)kendhang ketipung (kecil); 3)kendhang Ageng/Bem (besar).
2. Bonang; terdiri dari dua macam, yaitu Bonang Barung (besar) dan Bonang
Penerus (kecil). Bonang terbuat dari perunggu berbentuk bulat berongga
(seperti mangkuk tertelungkup) dengan pencon pada pucuknya (atas bagian
tengah). Bonang ditata dengan cara dua jajar. Untuk Bonang berlaras
Slendro bagian atas/depan berjumlah 5 buah pencon dan bagian
bawah/belakang 5 buah pencon. Bonang berlaras Pelog ditata dua jajar
pula, atas/depan berjumlah 7 buah pencon, sedangkan bagian bawah/
belakang 7 buah pencon. Pencon bonang deretan atas disebut dengan
bonang ndhuwur, cilik, brunjung, atau lanang. Adapun pencon bonang
deretan bawah disebut bonang ngisor, gedhe, dhempok, atau wadon/wedok.
Susunan nada bonang slendro dari kiri ke kanan; (atas) 6 5 3 2 1 ;
(bawah) q w e t y. Susunan untuk nada bonang pelog dari kiri ke kanan
(atas) 4 6 5 3 2 1 7 ; (bawah) u q w e t y r. Perlu diketahui bahwa untuk
bonang penerus, susunan nada sama dengan susunan nada pada bonang
barung, dengan nada satu oktaf lebih tinggi dari bonang barung. Ukuran
bonang penerus juga lebih kecil dari bonang barung.
Gb.2. Bonang. Dari kiri Bonang Barung laras pelog, Depan: bonang barung laras slendro.
Kanan: bonang penerus laras pelog; Belakang: bonang penerus laras slendro.
6 5 3 2 1
q w e t y
4 6 5 3 2 1 7
u q w e t y r
7
Demung, saron, peking, slenthem laras slendro gaya Surakarta biasanya berjumlah 7 bilah dengan
menambahkan laras 6 ageng (y). Sedangkan dalam gaya Yogyakarta biasanya hanya slenthem yang terdapat 7
bilah. Seperangkat gamelan Ageng biasanya terdapat 1 atau 2 buah demung
(satu demung ada dua, yakni nada slendro dan pelog. Dengan begitu semua
berjumlah 2 atau 4). Susunan nada demung slendro dari kiri ke kanan 1 2 3
5 6 !. Susunan nada demung pelog dari kiri ke kanan 1 2 3 4 5 6 7.
Gb.4. Demung. Di hadapan peraga adalah Demung laras Slendro, sedangkan di sebelah kiri
peraga adalah Demung laras Pelog
4. Saron. Saron adalah jenis instrumen gamelan terbuat dari perunggu yang
berbentuk bilah persegi panjang yang ditata berderet dengan ukuran dan
nada lebih kecil dari demung. Saron laras Slendro berjumlah 6 bilah dan
pelog berjumlah 7 bilah. Seperangkat gamelan Ageng biasanya terdapat 2
atau 4 buah saron (1 saron ada 2, pelog dan slendro; sehingga semuanya
berjumlah 4 atau 8 buah). Susunan nada saron slendro dari kiri ke kanan; 1
2 3 5 6 !. Susunan nada saron pelog dari kiri ke kanan 1 2 3 4 5 6 7.
Gb. 5. Saron. Dilakukan oleh peraga adalah saron laras slendro dan di samping
kanan merupakan saron laras pelog
bilah. Instrumen demung, saron, peking, dan slenthem selanjutnya diklasifikasikan sebagai kelompok
balungan.
5. Peking. Peking adalah jenis instrumen gamelan yang terbuat dari perunggu
berbentuk bilah persegi panjang yang ditata berderet dengan ukuran dan
nada yang lebih kecil dari saron. Peking laras Slendro berjumlah 6 bilah,
sedangkan pelog berjumlah 7 bilah. Seperangkat gamelan Ageng pasti
terdapat instrumen peking (1 peking ada dua, pelog dan slendro, jadi semua
berjumlah 2 buah). Susunan nada peking slendro dari kiri ke kanan: 1 2 3 5
6 !. Susunan nada peking pelog dari kiri ke kanan 1 2 3 4 5 6 7.
Gb.6. Peking. Di depan peraga adalah peking berlaras Slendro dan di sebelah kanan peking
laras pelog
6. Kenong. Kenong terbuat dari perunggu berbentuk bulat berongga
(tertelungkup) dengan pencon (benjolan) di atas bagian tengah. Ukuran
kenong lebih besar dari bonang dan ditata berjajar satu, membentuk kotak.
8
Kethuk gaya Surakarta untuk laras slendro bernada 2, pelog bernada 6.
terbuat dari perunggu berbentuk bulat berongga (tertelungkup) dengan
pencon (benjolan) di atas bagian tengah. Kempyang berjumlah 2 pencon dan
hanya digunakan dalam gendhing berlaras pelog dengan nada 7 dan 6.9
Gb.8. Kempyang
9
Kempyang gaya Surakarta untuk laras slendro 1 buah dengan nada 1; untuk laras pelog 1 buah
dengan nada 6.
10
Dalam karawitan dikenal dengan istilah tumbuk/ wayuh, yaitu nada yang sama. Pada umumnya
gamelan adalah tumbuk 6, artinya nada 6 slendro sama dengan nada 6 pelog, sehingga kempul nada 6 slendro
digunakan juga dalam laras pelog. Sedangkan untuk nada 4 digunakan kempul nada 5 slendro. Hal tersebut
berlaku pada instrumen kenong. Kondisi tersebut dapat juga terjadi karena alasan efisiensi tempat dan biaya
(harga beli gamelan).
Gb.9. Gong (hitam), suwukan, dan kempul
10. Gender; Gender adalah jenis instrumen gamelan terbuat dari perunggu
yang berbentuk bilah persegi panjang pipih (lebih tipis dari demung, saron,
dan peking) yang ditata berderet. Gender dibagi menjadi 2, yaitu gender
barung dan gender penerus. Ukuran gender barung lebih kecil dari slenthem,
namun lebih besar dari gender penerus. Gender barung laras slendro
maupun pelog berjumlah 13-14 bilah. Seperangkat gamelan ageng pasti
terdapat 3 buah gender barung (1 gender barung slendro, 2 gender barung
pelog; yaitu pelog nem/bem dan pelog barang). Ukuran gender penerus lebih
kecil dari gender barung dengan jumlah bilah dan susunan nada yang sama
dengan gender barung. Susunan nada gender barung maupun penerus
untuk nada slendro adalah 6 q w e t y 1 2 3 5 6 ! @ #. Pelog nem/
bem: 6 q w e t y 1 2 3 5 6 ! @ #. Sedangkan pelog barang 6 u w e
t y 7 2 3 5 6 & @ #.
Gb.10.1. Gender Barung. Peraga memainkan gender barung laras slendro. Sebelah
kanan adalah gender barung laras pelog barang dan sebelah kiri gender barung
laras pelog bem
Gb.10.2. Gender penerus. Peraga memainkan gender penerus laras pelog barang.
Adapun di sebelah kiri adalah gender penerus laras slendro, sedangkan di belakang
adalah gender penerus laras pelog bem.
13. Siter. Siter merupakan instrumen yang terbuat dari kayu berbentuk kotak
berongga yang berdawai. Pada umumnya siter mempunyai duabelas nada,
yaitu dari kiri ke kanan w e t y 1 2 3 5 6 ! @ # (untuk siter bernada
slendro).
15. Di samping beberapa instrumen yang telah disebut di atas, juga terdapat
beberapa instrumen lain seperti kemanak, clempung, bedhug, kecèr, rojèh,
gambang gangsa, dan bonang penembung. Akan tetapi dalam bahan ajar
kali ini beberapa instrumen tersebut akan dibicarakan pada bagian yang
lain.
PATHET
Hubungan dengan tata gendhing, pathet adalah tugas nada dalam setiap
gembyangan (oktaf). 12 Bagi masyarakat umum, definisi pathet belum dapat
11
Untuk suling gamelan bergaya Surakarta, pada suling slendro mempunyai jumlah empat buah
lubang yang hampir sama jaraknnya. Untuk suling pelog mempunyai lima buah lubang dengan jarak yang
berbeda-beda.
12
Periksa Martopangrawit, Pengetahuan Karawitan I (Surakarta: Akademi Seni Karawitan Indonesia,
1975), 7.
memuaskan juga. Lain halnya dengan dunia pedalangan, seorang dalang
memandang pathet sebagai “pembagian waktu”. Sebagai contoh, slendro pathet
nem dibunyikan pada bagian awal pertunjukan wayang (antara pukul 21.00-
24.00), slendro pathet sanga dibunyikan antara pukul 24.00-03.00, slendro pathet
manyura dibunyikan antara pukul 03.00-06.00. bagi seorang yang suka nembang
(bernyanyi dengan lagu Jawa), pathet adalah tinggi rendah nada. Contoh, apabila
dalam pathet sanga nada terasa terlalu besar, maka dapat diubah menjadi pathet
manyura. Semoga penjelasan tentang pathet dapat memberi gambaran bagi kita,
walaupun dapat ditafsirkan bermacam-macam.
BENTUK GENDHING
Untuk perkuliahan selama satu semester ini yang akan dipelajari adalah kategori
Gendhing Alit. Sebelum dibahas lebih lanjut tentang bentuk gendhing, maka akan
disajikan pedoman penulisan notasi maupun istilah yang akan digunakan.
Gendhing biasanya ditulis dengan notasi kepatihan atau notasi angka. Notasi
ditulis dalam beberapa kelompok sesuai dengan panjang dan pendek gendhing.
Setiap kelompok terdiri dari empat angka. Selanjutnya, tiap kelompok angka ini
disebut gatra. Contoh: 2 1 2 6 2 1 6 5 6 5 2 1 3 2 1 6.
13
Periksa Raden Lurah Wulan Karahinan, Gendhing-Gendhing Mataraman Gaya Yogyakarta dan Cara
Menabuh (Yogyakarta: Kawedanan Hageng Punakawan Kridha Mardawa Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat),
4-5.
Gendhing dalam Karawitan dibagi menjadi dua, yakni Gendhing Alit dan Gendhing
Ageng.
1. Gangsaran
2. Lancaran
3. Playon
4. Bubaran
5. Ladrang
6. Ketawang
7. Lala
8. Jineman
9. Dolanan
10. Srepegan
Dalam perkuliahan karawitan ini yang akan dikenalkan adalah beberapa bentuk
Gendhing Alit sebagai bekal pemahaman dan dasar pengetahuan karawitan, di
antaranya:
1. Gangsaran
Gangsaran adalah bentuk gendhing yang paling sederhana. Gendhing ini
berfungsi sebagai awal atau akhir baik setiap pertunjukan karawitan
maupun wayang. Gangsaran juga berfungsi untuk mengiringi pertunjukan
tari, seperti tari Lawung. Ciri-ciri gendhing Gangsaran adalah:
- Buka dilakukan oleh kendhang
- Nada yang dimainkan hanya satu nada
- Gendhing dimainkan dengan keras atau soran
- Gendhing diakhiri dengan cepat (gropak)
- Karakter gendhing biasanya gagah/ bersemangat.
- Setiap 2 gatra ditandai dengan bunyi suwukan
- Letak permainan kenong dan kempul selalu bergantian dalam waktu
yang tidak terlalu lama (antara 0,5 – 1 detik)
2. Lancaran
Lancaran termasuk bentuk gendhing yang sederhana. Gendhing ini
berfungsi sebagai repertoire karawitan mandiri atau untuk mengiringi
pertunjukan tari maupun wayangan. Ciri-ciri lancaran adalah:
- Buka dilakukan oleh bonang barung
- Nada yang dimainkan bermacam-macam, meskipun sederhana (biasanya
terdiri dari 2-12 gatra)
- Setiap 2 gatra ditandai dengan bunyi suwukan
- Gendhing dapat dimainkan dengan keras (soran), sedang, maupun
lembut, tergantung keinginan pemain kendhang.
- Gendhing dapat diakhiri dengan cepat (gropak) maupun pelan
- Beberapa jenis lancaran dapat diisi dengan vokal
- Letak permainan kenong dan kempul selalu bergantian dalam waktu
yang tidak terlalu lama (antara 0,5 – 1 detik).
3. Bubaran
5. Playon
Playon termasuk bentuk gendhing yang cukup sederhana. Gendhing ini
berfungsi sebagai repertoar karawitan mandiri maupun untuk mengiringi
pertunjukan tari maupun wayang. Ciri-ciri playon adalah:
- Buka dilakukan oleh kendhang
- Nada yang dimainkan bermacam-macam
- Gendhing dapat dimainkan dengan keras (soran), sedang maupun
lembut, tergantung keinginan pemain kendhang
- Gendhing dapat diakhiri dengan cepat (gropak) maupun pelan
- Karakter gendhing dapat bersifat riang, gagah, semangat, dan sedih
- Beberapa jenis playon dapat diisi dengan vokal.
DAFTAR ISTILAH
Dalam memainkan sebuah gendhing, pasti akan menemui istilah musikal
berbahasa Jawa yang digunakan dan terasa asing. Untuk memudahkan
permainan gendhing, berikut adalah daftar istilah:
SIMBOL INSTRUMEN
Becker, Judith. Traditional Music in Modern Java: Gamelan in a Changing Society. Honolulu:
University Press of Hawaii, 1980.
Hood, Mantle. The Nuclear Theme as a Determinant of Patet in Javanese Music. Groningen
dan Djakarta: J.B. Wolters, 1954.
-----------------. The Evolution of Javanese Gamelan, Book I: Music of the Roaring Sea. New
York: Heinrichshofen, 1980.
----------------. The Evolution of Javanese Gamelan, Book II: The Legacy of the Roaring Sea.
New York: Heinrichshofen, 1984.
Kunst, Jaap. Music in Java. Its History, Its Theory, and Its Technique Vol 1-2. Edisi Ketiga yang
diperluas oleh E.L. Heins. The Hague: Martinus Nijhoff, 1973.
Lindsay, Jennifer. Klasik, Kitsch, Kontemporer Sebuah Studi Tentang Seni Pertunjukan Jawa.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995.
Martopangrawit. Pengetahuan Karawitan I. Surakarta: Akademi Seni Karawitan Indonesia,
1975.
Murhadi, R.M. Kumpulan Gendhing Pakurmatan Tuwin Beksan ing Pura Pakualaman Jilid I.
Ngayogyakarta: Lembaga Studi Jawa, 1996.
Pradjapangrawit, R.Ng. Wedhapradangga (Serat Saking Gotek). Serat Sujarah Utawi
Riwayating Gamelan. Surakarta: STSI Surakarta dengan The Ford Foundation,
1990.
Probohardjono, Samsudin. Gending Djawi. Solo: Sadu Budi, 1957.
Sumanto dan R. Bima Slamet Raharja. Pengenalan Seni Karawitan Jawa. Sebagai Pegangan
untuk Mata Kuliah Karawitan. Yogyakarta: Jurusan Sastra Nusantara Program
Studi Sastra Jawa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (handout tidak
diterbitkan), 2008.
Sumarto, I. Dan C. Sri Suyuti. Karawitan Gaya Baru Jilid 1-2. Solo: Tiga Serangkai, 1978.
Surjodiningrat, R.M. Wasisto. An Introduction to Javanese Gamelan Music. Gadjah Mada
University Press, 1996.
Tjokro, Ki dan Pak Ar. Tjatetan Not Gending Slendro-Pelog. Jogjakarta: Tanpa penerbit, 1960.
Unit Kesenian Jawa Gaya Surakarta. Kumpulan Notasi Gending Jawa. Yogyakarta: Unit
Kesenian Jawa Gaya Surakarta, Univesitas Gadjah Mada. tt. (tidak diterbitkan)
Widodo, Mateus Anwar. Not asi 202 Gendhing Yogyakarta Mataraman. Yogyakarta: UKM
Swagayugama, Gelanggang Mahasiswa, Universitas Gadjah Mada, 2004 (tidak
diterbitkan).