Anda di halaman 1dari 26

Macam Macam Karawitan Jawa

(Untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester)

Disusun Oleh :
Diah Ayu Elsan Pratiwi (21020134050)
Dosen pengampu : Drs. Subianto Karoso, M.Kes.

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA FAKULTAS BAHASA DAN SENI


PRODI S1 PENDIDIKAN SENDRATASIK 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat

dan karunia-Nya sehingga Artikel Macam Macam Karawitan jawa ini dapat diselesaikan

dengan baik. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan ini sehingga

penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan

tulisan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunannya dapat dibuat

dengan sebaik-baiknya.

Penulis mohon maaf jika di dalam penyusunan tulisan ini terdapat banyak kesalahan

dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, dan kekurangan pasti milik

kita sebagai manusia.

Surabaya, 1 desember 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………. i


DAFTAR ISI ………………………………………………………………………… ii
BAB 1: PENDAHULUAN ………………………………………………………….. iii
A. Latar Belakang
B. Tujuan
BAB 2: KAJIAN PUSTAKA ……………………………………………………….. iv
A. Macam – Macam Instrumen Gamelan
B. Pengertian tentang Gaya Musikal (musical style)
C. Fungsi Gamelan
D. Ciri-Ciri Tabuhan/Garap Gendhing
BAB 3 : PEMBAHASAN ……………………………………………………………. v
A. Karawitan Yogyakarta (Yogyakartan school)
B. Karawitan Surakarta (Surakartan school)
C. Karawitan Jawatimuran (East Java school)

BAB 4 : Penutup ………………………………………………………………….. vi


A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB. I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah Gamelan menunjuk kepada seperangkat instrumen, struktur musikal atau

bentuk, sedangkan istilah karawitan menunjuk kepada seni sastra dan komposisi musik

gamelan serta menunjuk keahlian atau ketrampilan seseorang dalam memainkan gamelan.

Instrumen gamelan dapat berfungsi artistik maupun ritual, tetapi jarang

dipergunakan dalam sebuah konser yang mandiri, melainkan lebih sering digunakan untuk

mengiringi tarian ataupun drama. Kebanyakan karya-karya seni karawitan yang dimainkan

dengan berbagai ansambel gamelan biasanya bersifat tradisional dan anonimus.

Karenanya, usia sebuah komposisi karawitan sangat sulit untuk ditentukan. Seringkali

seorang Empu Karawitan menambah atau mengurangi komposisi karawitan yang

dimainkan, begitu juga beberapa gaya yang tersendiri sangat lazim pada periode tertentu

dan wilayah yang tertentu.

Oleh karenanya sebuah komposisi karawitan dapat mengembangkan perbedaan-

perbedaan dari sebuah wilayah dengan wilayah lainnya sepanjang waktu. Inilah yang

menyebabkan munculnya gaya yang berbeda-beda. Dalam konteks gaya musikal

karawitan yang hendak diuraikan dalam karya tulis ini adalah Bidang Keahlian Karawitan

Yogyakarta, Surakarta dan Jawa Timuran (Surabayan).

B. Tujuan

Berdasarkan latar belakang di atas materi yang akan dibahas adalah:

1. Mengenal Karawitan Jogjakarta

2. Menganal Karawitan Surakarta

3. Mengenal Karawitan Jawa Timuran


BAB. II
KAJIAN PUSTAKA

Sejarah gamelan dapat dirunut sejak dari munculnya budaya perunggu yang

muncul pada sekitar pertengahan milenium kedua sebelum masehi dan dihubungkan

dengan tahap-tahap budaya Dong Dau dan Go Mun yang berada di wilayah Dong Son,

Vietnam Utara.

Budaya perunggu menyebar ke Asia Tenggara dan pada zaman Majapahit telah

diketemukan instrumen gamelan perunggu dalam bentuk ansambel lengkap. Dengan

demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa teknologi pembuatan gamelan sudah mencapai

tahap kemajuan pada zaman Majapahit pada Abad XIII.

Dalam perkembangannya gamelan telah menjadi perangkat orkestra yang lebih

besar dan lebih lengkap seperti sekarang ini. Sebuah gamelan orkestra lengkap di Jawa

memiliki sistem pelarasan (tuning system), Slendro dan Pelog, yang dapat dibedakan

menurut karakternya.

Slendro terdiri dari 5 nada yang memiliki karakter merangsang, menggerakkan,

penuh fantasi dan cemerlang. Pelog terdiri atas 7 nada yang memiliki karakter tenang dan

menghanyutkan. Setiap modus atau sistem pelarasan tersebut memiliki sistem nada atau

modus lainnya yang disebut pathet.

Terdapat 3 pathet yang utama dalam tiap-tiap sistem pelarasan tersebut yaitu:

pathet bem, pathet nem dan pathet barang. Instrumen yang ada meliputi: pertama,

instrumen yang sangat jarang dimainkan tetapi yang secara struktural sangat penting

seperti Kethuk, kemudian instrument Balungan, instrumen gesek (Rebab), instrumen tiup

(Suling) dan Kendhang.

A. Macam-macam Instrumen Gamelan


Seperangkat Gamelan Ageng laras slendro dan pelog terdiri atas beberapa macam

instrument yang setiap jenis satuannya disebut ricikan. Ditinjau dari bentuk, bahan dan

cara memainkannya seperangkat Gamelan Ageng tersebut dapat digolongkan menjadi

jenis ricikan: bentuk tebokan, bentuk bilah, bentuk pencon, bentuk kawatan dan bentuk

pipa.

1. Bentuk Tebokan (Two-headed drums).

Ricikan gamelan yang menggunakan kulit atau selaput tipis yang

direnggangkan sebagai sumber bunyi adalah Kendhang. Ricikan Kendhang menurut

bentuk dan ukurannya ada beberapa macam yaitu: teteg (bedug), Kendhang Ageng,

Kendhang Batangan, Kendhang Penuntung dan Kendhang Ketipung. Ricikan

Kendhang termasuk jenis instrumen bentuk tebokan karena bidang yang ditabuh

menyerupai tebok (Slap).

2. Bentuk Bilah (Colotomic Instruments).

Ricikan gamelan yang berbentuk bilah yaitu: Saron Demung, Saron Ricik,

Saron Peking, Gender Penembung/Slenthem, Gender Barung, Gender Penerus dan

Gambang.

3. Bentuk Pencon (Gong Chimes Instruments)

Ricikan gamelan yang berbentuk pencon yaitu: Bonang Panembung, Bonang

Barung, Bonang Penerus, Engkuk Emong, Kempyang, Kethuk, Kenong, Kempul,

Gong Suwukan, Gong Kemodong dan Gong Ageng.

4. Bentuk Kawatan (String Instruments)

Ricikan gamelan dengan kawat yang ditegangkan sebagai sumber bunyinya

yaitu: Rebab, Calempung, dan Siter.

5. Bentuk Pipa (Wind Instruments)


Ricikan gamelan yang berbentuk pipa yang dibuat dari buluh (bambu) yaitu

suling. Satuan udara yang berada di dalam ricikan Suling itu sebagai sumber bunyi.

Ada dua buah Suling, satu untuk Laras Slendro berlubang 4, dan satu lagi untuk Laras

Pelog berlubang 6.

Selain ricikan-ricikan gamelan tersebut di atas, terdapat ricikan yang

digunakan dalam sajian gendhing tertentu yaitu Kemanak dan Kecer. Ricikan

kemanak dalam seperangkat Gamelan Ageng ada dua buah, bentuknya seperti buah

pisang. Adapun ricikan Kecer berupa kepingan yang banyaknya 2 pasang, diletakkan

di atas satu pangkon.

B. Pengertian tentang Gaya Musikal (musical style)

Gaya musikal adalah ciri khas atau karakteristik musikal yang dihasilkan dari

beberapa kondisi:

1. Gaya lokal, yakni sifat-sifat lokal suatu daerah yang diakui memiliki sifat-sifat estetis

dan ekspresif berbeda dengan daerah lainnya. Inilah yang belakangan ini, sehubungan

dengan isu globalisasi, kemudian kita sebut sebagai entitas local genius.

2. Gaya individual, adalah tipologi karakteristik seorang tokoh pencipta gendhing-

gendhing yang membedakannya dengan pencipta gendhing lainnya.

3. Gaya periodikal, adalah tipologi karakteristik zaman tertentu yang menghasilkan gaya

musical tertentu, misalnya, gaya musik karawitan pada zaman abad ke XVI dan ke

XVIII berbeda dalam teknik dan penggarapan komposisi. Contoh lebih ekstrim gaya

musikal abad 20 dan kontemporer.

4. Gaya musik kraton dan musik rakyat, adalah tipologi karakteristik yang menonjol

dalam hal fungsi dan garapan estetik. Misalnya, karawitan untuk ritual di keraton,

tentu berbeda dalam hal fungsi dan estetiknya dengan karawitan di dalam masyarakat

pedesaan.
5. Gaya dalam bentuk musikal, adalah tipologi karakteristik yang dapat di bedakan dari

berbagai bentuk karya musikal yang ada, misalnya, bentuk ladrang dan bentuk

ketawang, dll.

C. Fungsi Gamelan

Gamelan Ageng atau lengkap selalu disajikan dalam bentuk Uyon-uyon baik

Soran maupun Lirihan, selain itu berfungsi pula sebagai pengiring dalam pementasan

wayang orang, wayang kulit, ketoprak, dagelan Mataram, tari-tarian Jawa dan lain-

lainnya.

Penyajian karawitan dapat dibedakan lagi menjadi beberapa nomor atau repertoar,

antara lain:

1. Soran

Adalah penyajian gendhing-gendhing dengan volume tabuhan yang keras,

semua instrumen ditabuh kecuali Gender, Gambang, Rebab, Suling dan Siter.

Penyajian Soran dapat dimainkan dengan tempo Seseg, Tanggung dan Antal.

2. Lirihan

Adalah penyajian gendhing-gendhing dengan volume tabuhan yang halus atau

pelan, semua instrumen ditabuh meskipun yang diutamakan adalah tabuh Ngarep

seperti Gender, Gambang, Rebab, Calempung/Siter dan Suling dengan menggunakan

variasi permainan tempo yang berbeda-beda.

Bentuk penyajian karawitan Lirihan itu masih dapat di bedakan lagi

berdasarkan instrumen yang dipergunakan, antara lain: Gadon, Nyamleng, Siteran,

Genderan dan lain-lain.

Selain berfungsi untuk penyajian gendhing-gendhing dan mengiringi

pementasan wayang orang, wayang kulit, ketoprak, dagelan Mataram, tari-tarian Jawa
dan lain-lain, masih ada beberapa set gamelan yang berfungsi sebagai sarana upacara.

Gamelan upacara tersebut adalah:

1. Gamelan Sekati, di Yogyakarta gamelan sekati bernama Kanjeng Kyai

Gunturmadu dan Kanjeng Kyai Nagawilaga, dalam perayaan sekaten

ditabuh mulai tanggal 5 Mulud petang hari sampai tanggal 12 Mulud di

pagongan Masjid Besar. Selalu ditabuh untuk memperingati hari kelahiran dan

wafat Nabi Muhammad SAW, gamelan sekati ditabuh pula untuk menyambut

tamu agung, Supitan/Tetesan putra/putri Sultan dan Sakarsa Dalem. Instrumen

yang ada dalam gamelan sekati terdiri atas: 2 Gong Ageng, 1 Bedug, 1

Kempyang, 1 Saron Demung, 2 Saron Ricik, 2 Saron Peking, 1 Sampur dan 1

Bonang.

2. Gamelan Munggang

Gamelan Munggang yang mempunyai tiga nada di Keraton Yogyakarta

bernama Kanjeng Kyai Guntur Laut, yang terdiri atas: 4 Racakan berisi tiga

buah Bonang (pencon) yang besar, 1 Kenong Japan, 2 Bende, 1 pasang Lojeh,

Kendhang Gendhing, 1 Kendhang Penuntung dan 2 buah Gong.

Gamelan Munggang ditabuh untuk menyambut penobatan Sultan,

menyambut tamu agung, supitan/tetesan putra/putri Sultan, maleman, mantu,

rampog macan, garebegan dan lain-lain sakarsa Dalem

D. Ciri-Ciri Tabuhan/Garap Gendhing

1. Untuk Gendhing Sakgiro dan Sakgagahan menggunakan 2 (dua) buah kendhang yaitu:

Kendhang Bem dan Kendhang Ketipung.

2. Untuk Gendhing Sakcakra, Sakayak, Saksamirah, Sakluwung, Sakjonjang, Saklambang

dan Sakpamijen menggunakan 1 (satu) Kendhang yaitu Kendhang Gedugan.


3. Ricikan Struktural (Kethuk, Kenong, Kempul, dan Gong) digunakan pada semua jenis

gendhing, khusus bentuk gendhing Gedhog (gendhing Gedhog Tamu, gendhing

Gedhog Sendarum dan gendhing Gedhog) tidak menggunakan Kempul.

4. Tidak menggunakan Kempyang dalam garap gendhing.

5. Instrumen Gender Lanang (Penerus) lebih dominan daripada Gender Babok dalam

garap gendhing.

6. Permainan pada instrumen Gambang, Siter, dan Suling cenderung berangkat dari nada-

nada tinggi.

7. Awalan lagu (melodi) sindenan cenderung berangkat dari nada-nada tinggi.

8. Syair (cakepan) lagu sindenan menggunakan Wangsalan dan Parikan.


BAB. III
PEMBAHASAN

Sebuah komposisi karawitan dapat mengembangkan perbedaan-perbedaan dari

sebuah wilayah dengan wilayah lainnya sepanjang waktu. Inilah yang menyebabkan

munculnya gaya yang berbeda-beda.

A. Karawitan Yogyakarta (Yogyakartan school)

Karawitan Yogyakarta memiliki garap (musical style) yang berbeda dengan yang

lain, meski dengan tetangga terdekat, yakni Surakarta. Karena kedekatan jarak geografis

ini, sebetulnya menjadi agak sulit bagi kalangan awam untuk membedakan secara musical

kedua gaya tersebut. Secara fisik, instrumen musik gamelan produk Yogyakarta dan

Surakarta sangat tipis perbedaannya.

Pertama, bentuk ornamentasi ukiran pada kayu-kayu penyangga instrument

berbeda secara jelas. Kedua, instrumen gamelan Yogyakarta (saron dan demung) yang

lazim disebut ricikan balungan produk Yogyakarta cenderung lebih tebal dibanding

produk Surakarta. Gaya Yogyakarta muncul sejak Sultan Hamengku Buwana I mendirikan

kraton Yogyakarta pada 1756. Gaya merupakan spesifikasi yang ditandai oleh ciri fisik,

estetik dan sistem bekerja yang dimiliki oleh perorangan atau kelompok tertentu yang

diakui eksistensinya serta berpotensi untuk mempengaruhi individu ataupun kelompok


secara sengaja ataupun tidak sengaja. Karawitan Yogyakarta sering juga disebut sebagai

gaya mataraman.

Pada mulanya karawitan Yogyakarta memiliki konsep estetik yang lebih cenderung

kepada iringan tari. Pendapat ini dapat diperkuat oleh adanya pertunjukan tari “Lawung”

yang diciptakan oleh raja Yogyakarta pertama, karawitan berfungsi sebagai pengiring

dengan bentuk garapan Soran atau keras. Selanjutnya karawitan tersebut secara kontinyu

berjalan dengan baik.

Pada perkembangannya karawitan ini tidak hanya disajikan sebagai iringan tari,

namun mampu menjadi pertunjukan yang mandiri. Karawitan mandiri dalam

pertunjukannya disebut uyon-uyon atau klenengan. Ia selalu mengedepankan kaidah-

kaidah ilmu karawitan yang menekankan nilai estetika dan etika.

Karawitan mandiri memerlukan aspek-aspek tertentu untuk menumbuhkan

perhatian estetis dari para penonton atau pendengarnya. Dari perspektif garap (works),

karawitan ini dikategorikan menjadi dua, yakni garap Soran (keras) dan garap Lirihan

(lembut).

Karawitan Yogyakarta memiliki garap yang berbeda dengan gaya lain, gaya yang

hampir sama yakni Surakarta. Antara Yogyakarta dan Surakarta bagi orang awam akan

sulit membedakan, tetapi bagi pelaku seninya sangat mudah membedakannya, bahkan

perbedaan ini sering menjadi polemik.

Untuk mendeskripsikan karawitan Yogyakarta, dapat dilihat secara fisik dan non-

fisik. Secara fisik adalah berbagai hal yang meliputi penggunaan ricikan atau instrumen

gamelan dengan berbagai aksesorisnya atau hal-hal yang bersifat visual, sedangkan

nonfisiknya berkaitan dengan repertoar gendhing serta garap karawitan atau unsur lain

yang sifatnya auditif.


Gamelan Yogyakarta cenderung berfisik tebal terutama untuk instrumen yang

berbentuk bilah, terutama Saron dan Demung (lazim disebut ricikan balungan). Gamelan

berlaras slendro terdiri enam bilah, dan pelog terdiri dari tujuh bilah. Instrumen pencon

terdiri atas, Bonang Penembuh, Bonang Barung, dan Bonang Penerus, Kenong, dan Japan,

Kempyang, Kempul, dan Gong. Fisik tersebut akan mendukung dalam pembentukan gaya

secara ekplisit. Aspek non-fisik dapat diamati melalui teknik penyajian.

Karawitan Yogyakarta dapat disajikan dengan garapan Soran, yakni penyajian

dengan volume tabuhan keras, instrumen yang berperan antara lain, Bonang, Saron,

Kenong, Gong, dan Kendhang. Tempo Kendhang terdiri atas seseg, tanggung, dan antal.

Selain itu dapat juga disajikan secara Lirihan, yaitu volume tabuhan yang lembut (lirih).

Pada penggarapan ini banyak diperani oleh instrumen lembut (ngajeng) seperti: Rebab,

Gender, Gambang, Suling, Siter, dan Kendhang.

Penyajian karawitan yang dalam konsernya disebut uyon-uyon selalu dimulai dari

buka, yaitu bagian awal dari lagu yang biasa dilakukan oleh instrumen Rebab dalam

garapan Lirihan, dan instrumen Bonang dalam garapan Soran. Dari buka menuju kebagian

lamba, yaitu lagu yang masih sederhana, berlanjut pada bagian dados. Bagian ini

merupakan lagu pokok yang ditampilkan oleh seluruh instrumen dengan cara masing-

masing. Dari bagian dados akan dilanjutkan kebagian dhawah, melalui pangkat ndhawah,

bagian ini merupakan augmentasi dari bagian dados, selanjutnya akan berakhir pada

bagian suwuk.

Lagu yang dimainkan dalam karawitan ini selalu memiliki pola-pola tertentu, yang

dapat memunculkan berbagai bentuk sebagai manifestasi dari gendhing tertentu. Adapun

bentuk tersebut antara lain: Lancaran, yaitu komposisi lagu yang terdiri atas delapan

ketegan (hitungan); Bubaran yaitu komposisi lagu yang terdiri atas 16 ketegan; Ladrang

terdiri atas 32 ketegan; Ketawang terdiri atas 16 ketegan; Candra (bagi Laras Slendro) atau
Sarayudan (bagi Laras Pelog) memiliki 16 ketegan; Jangga (Slendro) atau Semang (Pelog)

memiliki 128 ketegan; Mawur memiliki 256 ketegan, dan bentuk yang lain adalah Lahela

memiliki 32 ketegan.

Karawitan Yogyakarta pada perkembangannya teridentifikasi menjadi gaya

keistanaan dan gaya di luar istana. Gaya yang pertama hanya berlaku dilingkungan

keraton, dengan karakter yang berwibawa, seremonial, formal, struktur naratifnya selalu

berorientasi kepada nilai adiluhung (etika Jawa). Gaya yang kedua sudah terpengaruhi

oleh gaya lain, sehingga karakternya lebih komunal, serta mengedepankan nilai hiburan.

Hal demikian karena para pelaku seninya berperan aktif mengadakan elaborasi garap agar

menjadi berkualitas bagi aspek Musikologi.

Gamelan Yogyakarta lengkap terdiri atas:

1. Gender Barung berlaras Slendro 1 buah, sedang pelog 2 buah berlaras Bem dan

Barang.

2. Gender Penerus juga berjumlah seperti Gender Barung di atas.

3. Gambang 3 buah (1 Slendro dan 2 Pelog).

4. Rebab 3 buah (1 Slendro dan 2 Pelog).

5. Calempung 3 buah (1 Slendro dan 2 Pelog).

6. Gender Penembung 2 buah (Slendro dan Pelog).

7. Suling 3 batang: 1 Slendro, 2 Pelog Bem dan Pelog Barang.

8. Bonang Barung 2 buah (Slendro dan Pelog).

9. Bonang Penerus 2 buah (Slendro dan Pelog).

10. Bonang Penembung 2 buah (Slendro dan Pelog).

11. Kendhang 3 buah: Kendhang Ketipung, Ageng (gendhing) dan Batangan.

12. Saron Demung 4 buah 2 (Slendro dan Pelog).

13. Saron Ricik 8 buah (Slendro dan Pelog).


14. Saron Peking 2 buah (Slendro dan Pelog).

15. Kempyang 1 buah berlaras Pelog.

16. Kethuk 2 buah untuk Laras Slendro dan Pelog.

17. Kenong 11 buah berlaras Slendro 5 buah dan Pelog 6 buah.

18. Kenong Japan 2 buah untuk Laras Slendro dan Pelog.

19. Kempul 11 buah berlaras Slendro 5 buah dan Pelog 6 buah.

20. Gong Suwukan (Siyem) 6 buah berlaras Slendro dan Pelog.

21. Gong Ageng 2 buah berlaras Slendro dan Pelog.

22. Bedhug 1 buah.

Di bawah ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan eksistensi dan Gaya

Yogyakarta.

1. Karawitan Yogyakarta telah diakui “ADA”.

2. Seni Karawitan di Kraton Yogyakarta telah dimulai dan berkembang sejak zaman

pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai masa pemerintahan Sri Sultan

Hamengku Buwono IX.

3. Dapat dikatakan bahwa setiap Sultan telah mengembangkan seni karawitan

Yogyakarta, sedang salah satu puncak kemajuan seni karawitan Yogyakarta pada

masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

4. Sesudah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, seni karawitan Yogyakarta

mengalami perkembangan yang pesat dan didukung oleh masyarakat seluruh Daerah

Istimewa Yogyakarta di samping Kraton Yogyakarta.

5. Ciri-ciri dan garap seni Karawitan Yogyakarta:

5. 1 Ciri-ciri Karawitan Yogyakarta:

5.1.1 Prasaja: yang dimaksud adalah “lugu” yang mempunyai makna mendasar

5.1.2 Greget dan antep: mengandung ekspresi kesungguhan.


5.1.3 Mungguh dan Tangguh selaras dengan lingkungan dan fungsi penyajian.

5.1.4 Agung mengandung makna bahwa yang utuh dan bulat.

5. 2 Ciri Garap/Teknis:

5.2.1 Prinsip gendhing disajikan secara Soran.

5.2.2 Bonang nglagu.

5.2.3 Pada gendhing tertentu Demung Imbal.

5.2.4 Pada gendhing tertentu Saron Ricik Mancer.

5.2.5 Slenthem (gender penembung) mBandhul/Ngeyut.

5.2.6 Kethuk tidak nitir.

5.2.7 Bonang Penembung nibani.

5.2.8 Kempul pada gendhing Ketawang 2 kali dalam satu gongan.

5.2.9 Pada gendhing Ketawang dikenal wirama satu (sesegan).

5.2.10 Pada gendhing tertentu dikenal penggunaan Bedhug dan Kenong Japan.

5.2.11 Lagu Suling sejalan dengan Sindhen.

5.2.12 Tabuhan Gambang banyak ngukel.

5.2.13 Kendhangan mempunyai banyak tepakan.

5.2.14 Peking ditabuh sungsun, mendahului dengan miraga.

5.2.15 Bonang Penerus ditabuh menonjol.

B. Karawitan Surakarta (Surakartan school)

Karawitan Surakarta semula berpusat dan berkembang di dalam Keraton

Kasunanan dan Pura Mangkunegaran. Kegiatan berkesenian di Keraton Kasunanan

Surakarta dimulai sejak pemerintahan Paku Buwana II (1725-1749) Raja Kartasura dan

pemerintahan Paku Buwana III (1749-1788) Raja Surakarta. Setiap Sunan (Raja)

penerusnya telah memberi kontribusi terhadap perkembangan seni karawitan Surakarta.


Selanjutnya berkembang dengan baik pada masa pemerintahan Paku Buwana ke IV, V dan

IX hingga mencapai zaman keemasan di bidang kesenian pada masa pemerintahan Paku

Buwana X (1893- 1939).

Masa pemerintahan Mangkunegoro IV (1853-1881) merupakan zaman keemasan

Mangkunegaran di bidang kesenian. Perlu diketahui bahwa masa kehidupan

Mangkunagoro IV adalah sezaman dengan kehidupan Paku Buwono IX dan pujangga

agung Keraton Kasunanan Surakarta R. Ng. Ronggowarsito. Ketiga tokoh tersebut sama-

sama menaruh minat terhadap sastra Jawa.

Tidak heran apabila saling mempengaruhi di antara karya cipta masing-masing.

Karena pergaulannya dengan sang pujangga, Mangkunagoro IV tumbuh menjadi raja

pinandita yang memiliki keahlian dalam bidang kepujanggaan.

Pada zaman pemerintahan Paku Buwono IX (1861-1893), secara periodik Paku

Buwono IX dan Mangkunagoro IV selalu mengadakan sarasehan mengenai beberapa hal

di Pasanggrahan Langenharjo (sebelah selatan lokasi Solo Baru). Dalam sarasehan itu juga

dihidangkan sajian seni pertunjukan diantaranya klenengan (karawitan concert). Pada

sebuah sarasehan, Paku Buwono IX menyajikan klenengan dengan menghidangkan

“Ladrang Pangkur Laras Slendro Pathet Sanga” dengan disertai sebuah kejutan yaitu

menampilkan suara koor pria berirama metris seiring melodi gendhing yang sekarang

lazim disebut gerong.

Munculnya lagu gerongan merupakan kejutan baru pada masa itu. Kejutan ini

menggelitik bakat seni Mangkunagoro IV yang menimbulkan inspirasi terhadap dirinya,

maka lahirlah gendhing-gendhing yasan Mangkunagoro IV yang mengetengahkan vokal

sebagai tulang punggungnya atau ciri khasnya. Gendhing-gendhing yang sangat terkenal

buah karya Mangkunagoro IV ini sebagian besar berbentuk Ketawang.

Gamelan Surakarta lengkap terdiri atas:


1. Gender Barung, 3 buah (1 buah Laras Slendro dan 2 buah Laras Pelog Nem dan

Barang).

2. Gender Penerus juga berjumlah seperti Gender Barung.

3. Gambang 3 buah (1 buah Laras Slendro dan 2 buah Laras Pelog Nem dan Barang).

4. Rebab 2 buah (Ponthang untuk Rebab Laras Slendro dan Byur untuk Rebab Laras

Pelog).

5. Clempung 2 buah (Laras Slendro dan Pelog).

6. Siter Dhara 2 buah (Laras Slendro dan Pelog).

7. Siter Penerus 2 buah (Laras Slendro dan Pelog).

8. Slenthem 2 buah (Laras Slendro dan Pelog).

9. Suling 2 buah (Laras Slendro dan Pelog).

10. Bonang Barung 2 buah (Laras Slendro = 12 pencon dan Pelog = 14 pencon).

11. Bonang Penerus juga berjumlah seperti Bonang Barung.

12. Bonang Penembung juga berjumlah seperti Bonang Barung

13.Kendhang 4 buah (terdiri: Kendhang Ageng, Ketipung, Batangan/Ciblon dan

Sabet/Wayangan).

14. Demung 4 atau 2 buah (Laras Slendro dan Pelog) masing-masing 7 bilah.

15. Saron Barung 8, 4 atau 2 buah (Laras Slendro dan Pelog) masing-masing 7 bilah.

16. Saron Penerus 4 atau 2 buah (Laras Slendro dan Pelog).

17. Kempyang 2 buah (Kempyang Laras Slendro bernada 1 dan Pelog bernada 6).

18. Kethuk 2 buah (Kethuk Laras Slendro bernada 2 dan Pelog bernada 6).

19. Engkuk dan Kemong satu set (Engkuk bernada 6 atau 1 dan Kemong bernada 5 atau 6,

khusus untuk gendhing-gendhing dalam laras slendro)

20. Kenong dua set (Laras Slendro dan Pelog).

21. Kempul dua set (Laras Slendro dan Pelog).


22. Bedhug 1 buah.

23. Kemanak 2 buah, bernada 7 dan 6.

24. Kenong Japan 2 buah (Laras Slendro dan Pelog).

25. Gong Kemodhong (dalam laras slendro bernada 2, 3 atau 5 dan dalam laras pelog

bernada 2, 3, 5 atau 6).

26. Gong Suwukan (dalam laras slendro bernada 1 atau 2 dan dalam laras pelog bernada 1

atau 2).

27. Gong Ageng (dalam laras slendro bernada 2, 3 atau 5 dan dalam laras pelog bernada 3,

5 atau 6).

Catatan: Untuk Bonang Penembung, Engkuk, Kemong, Kenong Japan, Clempung, Siter

Dhara serta Kemanak hanya dimiliki oleh perorangan/Intuisi tertentu. Di bawah ini adalah

hal-hal yang berhubungan dengan eksistensi Karawitan Surakarta.

1. Karawitan Surakarta telah diakui keberadaannya.

2. Seni Karawitan di Kraton Kasunanan Surakarta telah dimulai dan berkembang sejak

zaman pemerintahan Sunan Paku Buwono II/III dan mengalami perkembangan dengan

baik hingga mencapai zaman keemasan pada masa pemeritahan Sunan Paku Buwono

X.

3. Dapat dikatakan bahwa setiap Sunan (Raja) telah mengembangkan seni Karawitan

Surakarta, sedangkan perkembangan seni karawitan Surakarta yang menonjol yaitu

pada zaman pemerintahan Sunan Paku Buwono ke IV, V, IX, dan sebagai puncak

keemasan di bidang kesenian pada masa pemerintahan Paku Buwono ke X serta

Mangkunegara IV.

4. Sesudah proklamasi kemerdekaan, seni karawitan Surakarta mengalami per- kembangan

yang pesat, karena didukung oleh masyarakat pencinta karawitan baik di dalam dan luar

negeri.
5. Ciri-ciri dan garap seni Karawitan Surakarta:

5. 1 Ciri-ciri Karawitan Surakarta:

5.1.1 Prenes, ngrawit, nglungit dan rumit.

5.1.2 Alus, agung dan luhur (bermakna ayem, tentrem dan merdika)

5.1.3 Mungguh (sesuai dengan karakter masing-masing gendhing)

5.1.4 Rasa gendhing meliputi antara lain regu, gecul, sedih, dsb.

5. 2 Ciri Garap/Teknis:

5.2.1 Prinsip gendhing disajikan secara halus dalam volume sedang.

5.2.2 Bonang sebagai pemangku lagu.

5.2.3 Kendhang sebagai pamurba irama.

5.2.4 Gender sebagai pamurba lagu.

5.2.5 Rebab sebagai pamurba yatmaka.(Rohnya gendhing)

5.2.6 Ricikan Struktural sebagai pemangku irama.

5.2.7 Pada gendhing tertentu Demung digarap imbal atau mancer.

5.2.8 Pada gendhing tertentu Saron Barung digarap ngendhongi dan mancer.

5.2.9 Pada gendhing tertentu Slenthem digarap pinjalan atau kinthilan

5.2.10 Pada gendhing tertentu Kethuk di garap salahan dan nonthongi.

5.2.11 Pada Bonang Penembung digarap nibani dengan seleh gembyang.

5.2.12 Pada gendhing tertentu Kenong digarap goyang dan nitir.

5.2.13 Pada gendhing tertentu Kempul digarap ngguguk dan mbalung.

5.2.14 Pada gendhing bentuk Ketawang dalam satu gongan terdapat satu kali

tabuhan Kempul, untuk bentuk Ketawang Gendhing tidak menggunakan

Kempul dan pada Gendhing bentuk Ladrang serta Lancaran dalam satu

gongan terdapat tiga kali tabuhan kempul.

5.2.15 Pada gendhing tertentu menggunakan ricikan Bedhug dan Kenong Japan.
5.2.16 Pada gendhing garap tertentu (Bedhayan) sering mengunakan ricikan

Kemanak.

5.2.17 Pada bagian gendhing tertentu sering menggunakan ricikan Engkuk dan

Kemong.

5.2.18 Ornamen lagu Sulingan berkelit (melodic filler) sejalan dengan lagu

Sindhenan.

5.2.19 Tabuhan Gambang selain ngukel juga nggembyang, kempyung, nitir dan

grontolan.

5.2.20 Pada gendhing tertentu Bonang digarap klenangan, imbal dan sekaran.

5.2.21 Untuk ricikan Kendhang, tebokan besar ditepak dengan tangan kanan dan

tebokan kecil ditepak dengan tangan kiri.

5.2.22 Saron Penerus digarap nikeli disesuaikan dengan jenis irama yang

digunakan. Pada gendhing garap wiled dan rangkep, ricikan ini juga

berfungsi sebagai pendukung irama serta lagu.

5.2.23 Bonang Penerus digarap nikeli (rangkap dua) dari garap Bonang Barung.

5.2.24 Karawitan Surakarta juga mengenal pengelompokan gendhing, seperti:

Gendhing Bonang (buka dan garap gendhing didominasi oleh ricikan

Bonang), Gendhing Gender (buka dilakukan oleh Gender) Gendhing Rebab

(buka dilakukan oleh Rebab), Gendhing Gambang (buka dilakukan oleh

Gambang) dan Gendhing Kendhang (buka dilakukan oleh Kendang).

5.2.25 Dalam penyajiannya gendhing-gendhing Surakarta digarap dengan “laya”

agak sesek (tempo cepat).

5.2.26 Untuk gendhing-gendhing tradisi Surakarta lebih diutamakan garap ricikan

depan seperti: Rebab, Gender Barung, Bonang Barung, Kendhang dan

Vokal.
5.2.27 Karawitan Surakarta mengenal Garap Bonangan dan Garap Alusan. Garap

Bonangan disajikan dengan volume tabuhan keras meliputi ricikan

Balungan, Struktural dan Kendhang. Garap Alusan meliputi ricikan

Balungan, Garap, Struktural dan Vokal, disajikan dengan volume tabuhan

lembut serta kadang-kadang juga disertai dengan volume tabuhan keras

dalam teknik sabetan (sesegan).

C. Karawitan Jawatimuran (East Java school)

Berdasarkan wilayah budaya, Jawa Timur terbagi dalam 6 etnis dengan latar

belakang, corak dan bentuk yang sangat spesifik dibanding dengan etnis lainnya. Keenam

etnis itu meliputi etnis Jawatimuran, etnis Madura, etnis Banyuwangi, etnis Tengger, etnis

PesisirUtara dan etnis Jawa tengahan. Majakerta adalah salah satu pusat perkembangan musik

tradisi karawitan Jawa timuran.

Pada abad XI – XII diawali dari kerajaan Kediri yang kemudian diteruskan oleh

kerajaan Majapahit pada abad XIII – XIV. Ini merupakan bukti bahwa wilayah kerajaan

tersebut memiliki pusat kebudayaan istana yang sarat dengan nilai-nilai tradisi dalam

kehidupan karawitannya. Dalam upacara “srada” pada masa pemerintahan Raja Hayam

Wuruk, karawitan berperan penting dalam pertunjukan wayang dan tari topeng.

Kehancuran Majapahit di bawah pemerintahan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya

(1527) menyebabkan tradisi musik karawitan hilang tanpa dapat dilacak eksistensinya

sebagai musik klasik istana, bahkan karawitan di seluruh Jawa Timur mengalami

kemunduran. Setelah periode tersebut karawitan Jawatimuran baik dalam jenis orkestrasinya

maupun dalam bentuk garap gendhing banyak dipengaruhi oleh pemerintahan Demak,

Pajang dan Mataram. Pengaruh Mataram mendominasi setelah terjadi perjanjian Giyanti

(1755), ketika Mataram terbagi menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta. Kuatnya pengaruh orkestrasi karawitan Mataram pada karawitan Jawatimuran

dikarenakan hampir semua Adipati di Jawa Timur berasal dari Jawa Tengah.

Terbukti banyak benda pusaka atau komposisi karawitan masih tersimpan dengan

baik diberbagai daerah di Jawa Timur. Di daerah Trowulan Majakerta, tempat di mana

pernah menjadi pusat keraton Majapahit itu sampai sekarang masih ada kesenian karawitan

Jawatimuran yang melahirkan para seniman dan empu karawitan.

Propinsi Jawa Timur adalah belahan sebelah timur pulau Jawa yang secara

administrative terbagi dalam 38 kota dan kabupatan menurut wilayah budaya yang ada.

Propinsi Jawa

Timur dapat dikelompokkan dalam berbagai wilayah budaya yakni:

 Wilayah budaya pesisir barat yang meliputi; Gresik, Lamongan, Tuban dan

Bojonegoro.

 Wilayah budaya pesisir timur yang meliputi; Surabaya sampai dengan Situbondo.

 Wilayah budaya Malangan yang meliputi: Malang, Kepanjen, Lawang, Batu.

 Wilayah budaya Kediri yang meliputi: Kediri, Tulungagung, Nganjuk, Blitar dan

Trenggalek..

 Wilayah budaya Banyuwangi yang meliputi Banyuwangi dan sekitarnya.

 Wilayah budaya Madiun, yang meliputi: Madiun, Ponorogo, Pacitan, Ngawi,

Magetan.

 Wilayah budaya Lumajang yang meliputi, Lumajang, Jember.

Karawitan dalam bentuk ansambel besar (seperti di Yogyakarta dan Surakarta) banyak

tersebar di seluruh Jawa Timur, akan tetapi karawitan tersebut di setiap wilayah memiliki

motif permainan yang berbeda-beda serta nuansa spesifik yang berbeda pula. Terkecuali

wilayah budaya Banyuwangi dengan ansembel karawitan Bali (gong gebyar). Motif

permainan dan penggarapan yang spesifik dengan sebutan misalnya:


 Karawitan garap Malangan

 Karawitan garap Tulungagung

 Karawitan garap Suroboyoan

 Dsb.

Surabaya sebagai kota metropolitan sekaligus sebagai pusat pemerintahan, secara

politis sangat diuntungkan dalam penyebaran motif garap permainan karawitannya, seolah-

olah karawitan Suroboyoan mewakili seluruh wajah karawitan di Jawa Timur. Oleh karena

itu hal tersebut cukup beralasan apabila karawitan Suroboyoan sebagai pilihan pembahasan

penyusunan karya tulis ini.

Spesifikasi karawitan Suroboyoan tidak terdapat pada jenis dalam satu ansambel

(kecuali kendhang batang) akan tetapi terletak pada; istilah pathet, permainan (tabuhan) pada

masing-masing alat, jenis gendhing, dinamika, dan fungsi tersebut dalam setiap penyajian.

Oleh karena itu kiranya sangat perlu dikupas lebih jauh bagaimana tingkat permainannya,

penyebutannya, dan predikat yang dicapai sebagai seorang ahli dalam karawitan gaya

Surabaya.

Ciri gamelan karawitan Jawatimuran dapat dikatakan lengkap apabila terdiri atas:

1. Gender Babok terdiri atas Laras Slendro 1 buah, Laras Pelog 2 buah (Pelog Bem

dan Pelog Barang)

2. Gender Lanang terdiri atas Laras Slendro 1 buah, Laras Pelog 2 buah (Pelog Bem

dan Pelog Barang)

3. Gambang 2 buah berlaras Pelog dan Slendro

4. Rebab 2 buah berlaras Pelog dan Slendro

5. Siter 2 buah berlaras Pelog dan Slendro

6. Suling terdiri atas 1 batang berlaras Slendro, Laras Pelog 2 batang (Pelog Bem dan

Pelog Barang)
7. Bonang Babok 2 buah berlaras Pelog dan Slendro

8. Bonang Penerus 2 buah berlaras Pelog dan Slendro

9. Kendhang 3 buah (Kendhang Ketipung, Kendhang Bem, dan Kendhang Gedugan)

10. Demung 2 buah berlaras Pelog dan Slendro

11. Slenthem 2 buah berlaras Pelog dan Slendro

12. Saron Barung 2 buah berlaras Slendro dengan pethit 2, Laras Pelog 2 buah

13. Peking 2 buah berlaras Pelog dan Slendro

14. Kethuk 2 buah berlaras Pelog dan Slendro

15. Kenong 2 set berlaras Pelog dan Slendro

16. Kempul 2 buah berlaras Pelog dan Slendro

17. Gong 2 buah berlaras Pelog dan Slendro

18. Gong Suwukan 2 buah berlaras Pelog dan Slendro

19. Gong Barang Laras Slendro 1 buah

BAB. IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Karawitan Yogyakarta memiliki garap (musical style) yang berbeda dengan

yang lain, meski dengan tetangga terdekat, yakni Surakarta. Karena kedekatan

jarak geografis ini, sebetulnya menjadi agak sulit bagi kalangan awam untuk
membedakan secara musical kedua gaya tersebut. Secara fisik, instrumen

musik gamelan produk Yogyakarta dan Surakarta sangat tipis perbedaannya.

2. Bentuk ornamentasi ukiran pada kayu-kayu penyangga instrument gamelan

Yogyakarta berbeda secara jelas dengan Surakarta. Gamelan Yogyakarta

(saron dan demung) yang lazim disebut ricikan balungan produk Yogyakarta

cenderung lebih tebal dibanding produk Surakarta.

3. Berdasarkan wilayah budaya, Jawa Timur terbagi dalam 6 etnis dengan latar

belakang, corak dan bentuk yang sangat spesifik dibanding dengan etnis

lainnya. Keenam etnis itu meliputi etnis Jawatimuran, etnis Madura, etnis

Banyuwangi, etnis Tengger, etnis PesisirUtara dan etnis Jawa tengahan.

Majakerta adalah salah satu pusat perkembangan musik tradisi karawitan Jawa

timuran.

B. Saran

1. Sebahgai generasi penerus hendaknya mengenal berbagai budaya bangnga

sehingga sehingga jati diri bangsa tetap terjaga.

DAFTAR PUSTAKA

. ………2000.Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Biro Administrasi Akademik. Malang.


Universitas negeri Malang
www.ganeshadigitallibrary.com diakses tanggal 28 Mei 2009 pukul 16.45 WIB
www.indoskripsi.com diakses tanggal 29 Mei 2009 pukul 15.57 WIB
www.wikipedia.id diakses tanggal 29 Mei 2009 pukul 16.00 WIB
www.depdiknas.go.id diakses tanggal 30 Mei 2009 pukul 11.35 WIB
www.e-kuta.com diakses tanggal 28 Mei 2009 pukul 16.48 WIB

Anda mungkin juga menyukai