Anda di halaman 1dari 71

HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN HASIL PENELITIAN DOSEN MUDA

1. Judul Penelitian : Ekspresi Jiwa dan Simbolitas Hidup Masyarakat Madura dalam Syair Lagu Daerahnya 2. Bidang ilmu penelitian : Sastra 3. Ketua Peneliti : a. Nama Lengkap : Misnadin, S.S. b. Jenis Kelamin : L c. NIP : 132304312 d. Pangkat/Golongan : Penata Muda / IIIa e. Jabatan : f. Fakultas/Jurusan : Hukum / Sosiologi 4. Jumlah Tim Peneliti : 1 orang 5. Lokasi Penelitian : Syair dan Lagu Madura 6. Bila Penelitian ini merupakan kerjasama kelembagaan a. Nama Instansi :b. Alamat :7. Waktu penelitian : 8 bulan 8. Biaya : Rp.10.000.000,00 Bangkalan, 22 November 2007 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Ketua Peneliti

(H.Moh.Amir Hamzah,SH,MH.) NIP. 131 761 435 Menyetujui Ketua Lembaga Penelitian Universitas Trunojoyo

(Misnadin,S.S) NIP. 13230431

(Dr.M.Nizarul Alim,SE.,Msi,Ak.) NIP. 132 304 991 i

RINGKASAN
Lagu dan syair Madura merupakan salah satu wujud dari kebudayaan masyarakat Madura yang sampai kini masih digemari oleh masyarakat. Faktor keterbatasan pemahaman tentang lagu dan syair Madura inilah yang

menjadikannya kering makna. Kekeringan makna pada lagu dan syair Madura menarik untuk diteliti lebih lanjut. Penelitian simbolitas dan ekspresi pengarang dalam lagu dan syair Madura menjadi penting karena berguna untuk menggali makna baik tersurat maupun tersirat. Hasil penelitian ini tentang keterkaitan antara ekspresi jiwa dan simbolitas hidup masyarakat Madura dalam syair lagu daerahnya. Metode penelitian ini menggunakan kualitatif deskriptif dengan objek 25 lagu dan syair Madura yang ditulis oleh pengarang asli Madura dan telah dibukukan. Data penelitian menunjukkan bahwa makna yang terkandung dalam lagu dan syair asli Madura dikelompokkan menjadi empat tema yakni: (1) dongeng rakyat dan

kepahlawanan, (2) karakter dasar dan perilaku positif orang Madura, (3) kondisi alam dan aktivitas orang Madura sehari-hari, dan (4) percintaan muda-mudi. Empat tema yang tergali merupakan ekspresi pengarang yang erat dengan simbolitas hidup dan timbul dari pengamatan terhadap kondisi sosial budaya masyarakat Madura. Makna dalam tema lagu dan syair Madura sekaligus juga cermin refleksi kebudayaan, karakter dasar, pola perilaku, etos kerja dan cara hidup masyarakat Madura dengan berbagai aktivitasnya.

ii

SUMMARY
Madurese songs become a manifestation of Madurese culture that have been enjoyed so far by Madurese people. The limited understanding factor on Madurese songs have made them meaningless. The meaninglessness of the songs is interesting to investigate further. Research into the writers symbolity and expression in Madurese songs is important to do because it is useful to explore both explicit and implicit meanings of songs. The research tried to discover the relationship between the soul expression and life symbolity of Madurese people implied in their traditional songs. The research employed a descriptive-qualitative method utilizing 25 Madurese songs written by great Madurese writers as the objects of analysis. The data showed that the meanings contained in the songs fell into four major themes, i.e. (1) folktales and patriotism, (2) basic character and behavior of Madurese people, (3) condition of nature and Madurese peoples daily activities, and (4) stories about young people love relationships. The four explored themes were the writers expressions closely related to their life symbolity and emerged from their observations and experiences of social and cultural conditions of Madurese people. The meanings contained in the songs also reflected the culture, basic character, behavior, work ethic and way of life of Madurese people with all of their activities.

iii

PRAKATA
Dengan mengucap syukur kehadirat Allat SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada peneliti sehingga penyusunan laporan hasil penelitian dengan judul: Ekspresi Jiwa dan Simbolitas Hidup Masyarakat Madura dalam Syair Lagu Daerahnya telah terselesaikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap ekspresi pengarang syair yang asli Madura mengungkap makna-makna sosial budaya dalam kehidupan masyarakat Madura yang terdapat pada simbolitas kata-kata yang ada dalam syair lagu daerah Madura. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara umum syair merupakan sarana kreativitas seni budaya yang indah guna mengungkap kecintaan terhadap tanah kelahiran. Secara khusus, syair lagu daerah adalah mediator pengarang Madura untuk menyampaikan pesan tentang makna hidup masyarakat Madura. Tersusunnya laporan hasil penelitian ini telah melibatkan bantuan dan kerjasama berbagai pihak, untuk itu peneliti mengucapkan terima kasih kepada: 1. Pimpinan dan staf DIKTI yang telah membiayai penelitian ini melalui Dana DIPA DIKTI 2007, 2. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Trunojoyo yang membantu proses pelaksanaan penelitian ini sampai selesai, 3. Anggota peneliti yang telah membantu proses penelitian, 4. Para pengarang syair lagu daerah Madura yang telah memberikan masukan dalam mengungkap makna syair lagu yang dikarangnya. Terakhir harapan peneliti, semoga laporan hasil penelitian ini menjadi bacaan pilihan pembaca yang berminat mendalami sastra daerah Madura. Selain itu juga menjadi sumbangan pemikiran bagi Pemerintah untuk melestarikan sastra daerah. Tak ada gading yang tak retak, maka kritik dan saran membina akan diterima dengan senang hati guna penyempurnaan laporan penelitian ini. Bangkalan, November 2007

Tim Peneliti

iv

DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................i A. LAPORAN HASIL PENELITIAN RINGKASAN.................................................................................................... ii SUMMARY...................................................................................................... iii PRAKATA ....................................................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................... v BAB I ............................................................................................................. 1

BAB II ............................................................................................................ 6 BAB III ............................................................................................................ 9 BAB IV .......................................................................................................... 10 BAB V ............................................................................................................. 11 BAB VI ........................................................................................................... 42 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 44 B. DRAF ARTIKEL ILMIAH ............................................................................ 45 C. SINOPSIS PENELITIAN LANJUTAN ......................................................... 59

LAMPIRAN......................................................................................................... 62

BAB I PENDAHULUAN

Fenomena sosial yang merebak dalam masyarakat Indonesia pada saat ini adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai moral dan budaya dalam kehidupan. Oleh karena itu, sebagai upaya mengantisipasi pengaruh negatif dari perkembangan dan pengaruh kebudayaan global adalah dengan cara mengangkat kembali kebudayaan dan tradisi kesenian daerah. Upaya mengangkat tradisi daerah tidak semudah membalikkan telapak tangan karena kebanyakan generasi muda di Indonesia sudah tidak mengenali kesenian daerah. Kenyataan tersebut membutuhkan media untuk membangkitkan kembali berbagai bentuk kesenian daerah dengan cara ditampilkan dalam berbagai kesempatan. Salah satu gugusan pulau di Indonesia yang intens menyelenggarakan berbagai kegiatan kesenian daerahnya adalah Madura. Pulau Madura yang dekat dengan Jawa dan Bali mempunyai kekhasan sendiri dalam berkesenian. Kekayaan kesenian yang ada di Madura dibangun dari berbagai unsur budaya yang dipengaruhi paham animisme, hinduisme dan islam. Secara garis besar kesenian Madura diklasifikasi menjadi empat kelompok yakni, seni musik/seni suara, seni tari/gerak, seni pertunjukkan dan upacara ritual. Pada perkembangan saat ini, keempat kesenian Madura yang paling menonjol adalah seni musik/seni suara selain kerapan sapi sebagai salah satu bentuk seni pertunjukkan yang digemari. Perkembangan seni musik dan suara yang pesat tercermin dari banyak lahirnya syair-syair lagu daerah Madura yang telah dimodifikasi dengan alat musik modern. Syair-syair lagu Madura ini menjadi akrab di telinga generasi muda karena diiringi aliran musik yang digemari mereka seperti pop dan dangdut bahkan juga disko. Hal itu menjadi berita yang menggembirakan karena melalui syair lagu daerah, pengarang dapat mengungkapkan ekspresi jiwa dan menyampaikan pesan moral tentang budaya Madura serta kehidupan masyarakatnya.

Syair lagu daerah Madura dapat digolongkan dalam sastra setengah lisan karena penuturannya diiringi dengan musik. Hutomo (1991) menyatakan bahwa sastra lisan dibagi menjadi dua bagian yaitu sastra lisan murni dan sastra lisan setengah lisan. Pengertian sastra lisan murni adalah sastra lisan yang dituturkan secara murni dari mulut ke mulut. Sedangkan sastra lisan setengah murni adalah sastra lisan yang penuturannya dibantu dengan bentuk-bentuk seni lain. Seni musik dan tari yang digunakan sebagai pengiring syair lagu daerah Madura adalah kendang dan seruling. Irama yang mengikutinya adalah pop dan dangdut. Pengiring lagu daerah Madura pada umumnya adalah musik khas, dengan demikian lagu dan seni musik daerah Madura memiliki corak kekhususan dan dapat mencerminkan kehidupan sosial masyarakat pendukungnya. Keberadaan syair lagu daerah Madura yang berisikan pandangan hidup masyarakat Madura meskipun mulai digemari generasi muda namun tetap dirasakan sulit untuk dipahami makna syairnya. Kenyataan itu disebabkan adanya anggapan masyarakat di masyarakat, utamanya generasi muda, bahwa syair lagu daerah Madura menggunakan bahasa yang sulit dipahami, karena sarat dengan simbol-simbol. Oleh sebab itu, diperlukan adanya perhatian yang serius dari pengarang, penyanyi dan pengamat seni serta instansi yang terkait terhadap perkembangan syair lagu daerah. Kesulitan dalam memahami simbol-simbol serta faktor kebahasaan telah ditanggapi oleh para pengarang lagu daerah Madura yang pada umumnya adalah orang asli Madura. Beberapa pengarang lagu daerah Madura sepakat menjadikan syair lagu daerah Madura yang awalnya adalah sastra setengah lisan untuk dibukukan atau dikumpulkan menjadi tulisan, sehingga diharapkan lebih mudah memahami makna kata dalam syair lagu selain dengan cara mendengarkan syair dengan iringan musik juga dapat melantunkannya dengan membaca buku kumpulan lagu daerah Madura. Salah satu buku kumpulan syair lagu daerah Madura yang telah diterbitkan adalah Kumpulan Lagu Daerah Madura oleh sepuluh orang pengarang lagu Madura, yakni: R. Amirudin Tjitraprawira, Abd. Moeid Qowi, M. Irsyad, Abd. Moebin, Adrian Pawitra, M. Toib, Riboet Kamirin, R. Suudin Achmad, Adhira

dan Abd. Azis. Buku yang diterbitkan oleh Lembaga Pelestarian Kesenian Madura ini juga disertai terjemahan dalam syair Bahasa Indonesia. Buku kumpulan lagu daerah Madura tersebut diterbitkan dengan target supaya dapat dinikmati oleh semua orang dari berbagai kalangan dan secara langsung atau tidak lagsung memudahkan penikmat syair lagu daerah Madura. Syair lagu-lagu di dalam buku Kumpulan Lagu Daerah Madura dihimpun dari tiga versi yakni: 1) Lagu daerah asli Madura, yang dalam penulisannya ditulis dengan notasi seperti aslinya, 2) Lagu rakyat gubahan, yakni lagu yang diberi lagu pemula dan lagu pengakhir dengan menyisipkan lagu rakyat itu sendiri didalamnya, 3) Lagu rakyat ciptaan, yakni lagu-lagu yang diciptakan oleh para komponis Madura dengan sebagian besar selaras dengan titian nada pentatonis Madura (Titik ciptaannya diungkapkan dari lingkungan hidup rakyat Madura, seperti dari tema dongeng rakyat Madura, perilaku rakyat Madura, kisah asmara dan lain-lain). Ketiga versi tersebut selain memperkenalkan kekhasan khazanah nilai budaya daerah Madura juga berisi pesan moral dan nilai kehidupan yang mendidik sehingga menjadikannya dapat terus hidup dari generasi ke generasi. Hal itu terlihat dari Buku Kumpulan Lagu Daerah Madura yang berhasil merekam dalam bentuk tulisan 106 lagu daerah Madura yang pernah populer pada Masyarakat Madura. Dari 106 lagu daerah Madura yang ditulis dalam buku di atas, 25 lagu diantaranya merupakan lagu daerah yang asli, yakni:Tondu Majang, Ole Olang, Pa-Opa iling, Soto Madhura, Kerabhan Sape, Lir-Saalir, Es Lilin Cabbi, Ronjhangan, Kembhangnga Naghara, Pahlawan Trunojoyo, Entara Akarang, Les-Balesan, Pa kopa Eling, E Tera Bulan, Taresna, Malem Kerrabhan, Caca Aghuna, Coma Dhika, Palabbhuwan Kamal, Pajjhar Laggu, Pacakang Alako, Pajjhar, GhuToghu Saba, Ngambat Lajhangan. Di Indonesia, syair lagu-lagu daerah asli yang ditulis, dikumpulkan dan dituangkan dalam bentuk tulisan masih sangat terbatas jumlahnya. Syair lagu masih dimonopoli oleh syair lagu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan media rekaman baik kaset, VCD dan DVD. Keterbatasan akses syair lagu daerah

khususnya Madura dari berbagai sarana menyebabkan penikmatnya kesulitan memahami makna dari ekspresi jiwa pengarang dan simbol-simbol bahasanya. Fenomena ini memperkuat anggapan bahwa syair lagu daerah sulit dipahami maknanya sehingga pesan dan nilai-nilai moral, sosial serta budaya tidak tersampaikan pada generasi muda. Berbicara tentang pesan nilai-nilai moral, sosial, dan budaya dalam syair lagu daerah Madura berarti berbicara pula bahasa serta simbol dari bahasa syair Madura. Bahasa dalam syair lagu daerah Madura merupakan ekspresi jiwa pengarang yang diartikan sebagai ungkapan perasaan, pikiran, cita-cita dan harapan pengarang serta masyarakat Madura. Sedangkan simbol bahasa (simbolitas) diartikan sebagai lambang atau penanda kehidupan sosial masyarakat Madura dalam menciptakan makna tertentu dengan merujuk pada realitas yang lain berdasarkan pengalaman kehidupan. Keterkaitan antara ekspresi jiwa pengarang dengan simbol kehidupan masyarakat Madura mengacu pada konteks warna lokal daerah dalam karya sastra. Menurut Semi (1988) sastra adalah suatu bentuk hasil kreativitas yang mempunyai objek manusia dan kehidupannya dengan medium bahasa. Seorang sastrawan menuangkan ide, gagasan dan pengalaman hidupnya dengan objek nilai-nilai moral, sosial, budaya dan hal-hal yang sering ditemuinya dalam kehidupan. Harianto (1984) menyatakan apabila realitas kehidupan merupakan warna lokal dalam karya sastra maka ekspresi pengarang serta simbol bahasanya merupakan alat komunikasi untuk menanggapi warna lokal daerah yang kemudian menciptakan kembali realitas tersebut dalam karyanya. Pada kenyataan dan fenomena di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam mengungkap makna yang terdapat dalam syair lagu daerah Madura yang merupakan ekspresi jiwa serta simbolitas hidup masyarakat Madura. Syair lagu daerah Madura yang ingin diungkap maknanya dibatasi 25 lagu daerah asli yang ada dalam Buku Kumpulan Lagu Daerah Madura terbitan Lembaga Pelestarian Kesenian Madura pada tahun 2003. Rancangan penelitian ini memanfaatkan teori-teori sosiologi sastra dengan bantuan teori semiotik dan teori simbol untuk memcari kedalaman makna dan mengalihkodekan simbol-simbol

yang dipakai dalam syair lagu daerah. Berdasarkan pendahuluan di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk ekspresi jiwa pengarang-pengarang lagu daerah Madura dalam mengungkap nilai-nilai moral, sosial dan budaya dalam syair lagu daerah asli Madura? 2. Bagaimanakah makna kehidupan masyarakat Madura yang terkandung dalam simbolitas syair lagu daerah asli Madura? 3. Adakah keterkaitan ekspresi jiwa pengarang dengan makna simbolitas hidup masyarakat Madura dalam syair lagu daerahnya?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian sastra Indonesia pada bidang syair khususnya syair lagu daerah tidak begitu banyak, sehingga menjadikan syair lagu daerah semakin tertinggal dibandingkan jenis sastra yang lain. Hal itu menyebabkan literatur sastra yang berkaitan dengan syair lagu daerah menjadi terbatas. Khusus untuk rencana penelitian mengungkap makna syair lagu daerah asli Madura ini sepengetahuan peneliti baru pertamakali dilakukan. Penelitian mutakhir berkaitan dengan syair lagu daerah dilakukan di wilayah Banyuwangi yakni pada masyarakat Osing (2002), selain itu juga di masyarakat Jawa (1988). Syair lagu daerah Madura dalam konteks rencana penelitian ini diidentikkan dengan teks puisi. Karya puisi menurut Pradopo (1988) merupakan pancaran kehidupan sosial, gejolak kejiwaan, dan segala aspek yang ditimbulkan oleh adanya interaksi sosial baik secara langsung maupun tidak langsung, atau dalam periode tertentu. Pancaran itu sendiri berlaku untuk sepanjang masa selama nilai-nilai estetik dari sebuah karya puisi itu berlaku dalam masyarakat. Dalam puisi lama, Jalil (1985) menyatakan sebagai cerminan kebiasaan atau adat istiadat yang tertuang dalam karya puisi seolah-olah merekrut segala pancaran kehidupan. Mustamar (2002) menyakini bahwa syair lagu daerah yang diidentikan dengan puisi juga memiliki misi yang sama yakni mengungkapkan pancaran kehidupan sosial dan gejolak kejiwaan masyarakat daerah sebagai pemilik atau penciptanya. Ketiga pendapat tersebut semakin memperkuat gagasan untuk mengetahui makna yang terkandung dalam ekspresi jiwa dan simbolitas hidup masyarakat Madura dalam syair lagu daerahnya. Sehubungan dengan keinginan mengungkap makna dalam karya sastra maka teori sosiologi sastra diperbantukan untuk menjelaskan kenyataan sosial (Mulder, 1973). Hal tersebut merujuk pendapat Soekanto (1986), ilmu sosiologi adalah ilmu yang mempelajari: 1) hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial, 2) hubungan dan pengaruh timbal balik antara

gejala-gejala sosial dengan gejala-gejala non-sosial, dan 3) ciri-ciri umum dari semua jenis gejala sosial. Teori sosiologi sastra tidak hanya menjelaskan kenyataan sosial, atau hubungan timbal balik antara berbagai gejala sosial yang kemudian dipindahkan pengarang ke dalam karya sastranya. Teori sosiologi sastra juga digunakan untuk menganalisis hubungan wilayah budaya pengarang dengan karyanya, hubungan selera penikmat dengan kualitas cipta sastra dan hubungan gejala sosial yang timbul di sekitar pengarang dan karyanya (Semi, 1990). Teori sosiologi sastra yang digunakan dalam rencana penelitian ini adalah mengacu pada dua teori yang dikemukakan Wallek dan Warren serta Ian Watt. Jenis pendekatan karya sastra yang kemukakan Wallek dan Warren (1989) adalah 1) sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, idiologi pengarang, dan lain-lain yang berhubungan dengan pengarang; 2) sosiologi karya sastra, yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri dan hal-hal yang tersirat di dalamnya; 3) sosiologi sastra, yang mempermasalahkan hubungan timbal balik antara sastra dengan pembacanya. Jenis pendekatan lainnya yang kemukakan oleh Ian Watt (dalam Damono : 1984) adalah 1) konteks sosial pengarang yang mempermasalahkan hubungan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca; 2) sastra sebagai cermin masyarakat, yang mempermasalahkan sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai cermin masyarakat; 3) fungsi sosial, yang mempermasalahkan seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial. Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang objek-objek, peristiwaperistiwa dan seluruh gejala kebudayaan sebagai tanda (Eco: 1978). Semiotik merupakan suatu disiplin yang meneliti semua bentuk komunikasi antar makna yang didasarkan pada sistem tanda (Segers: 1978). Pemaknaan tanda-tanda secara kontekstual dari syair lagu daerah dapat diungkap dengan dibantu menggunakan teori simbol. Teori simbol sebagai wujud lambang budaya dalam syair yang digunakan dalam rencana penelitian ini mengacu pada teori Luxemburg (1989) simbol adalah lambang sesuatu yang berdasarkan perjanjian atau konvensi yang merujuk kepada

gagasan atau pengertian tertentu. Dalam hal ini hubungan antara lambang dengan makna bersifat arbitrer atau manasuka. Hartoko dan Rahmanto (1986) mengklasifikasikan simbol menjadi tiga bagian: 1) simbol-simbol universal, yakni yang berkaitan dengan arketipos; 2) simbol kultural, yakni lambang yang dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan tertentu, dan 3) simbol individual, biasanya ditafsirkan dalam konteks keseluruhan karya seorang pengarang.

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1. Tujuan Khusus 1. Mengetahui makna dan bentuk ekspresi jiwa pengarang-pengarang lagu daerah Madura dalam mengungkap nilai-nilai moral, sosial dan budaya dalam syair lagu daerah asli Madura. 2. Mengetahui makna kehidupan masyarakat Madura yang terkandung dalam simbolitas syair lagu daerah asli Madura. 3. Mengetahui makna yang terkait antara ekspresi jiwa pengarang dengan makna simbolitas hidup masyarakat Madura dalam syair lagu daerahnya.

3.2. Tujuan Umum 1. Mengetahui makna sosial budaya masyarakat Madura dalam syair lagu Madura. 2. Mendalami dunia kepengarangan syair lagu daerah Madura. 3. Mendalami simbolitas kehidupan pengarang dan masyarakat Madura.

3.3. Manfaat Penelitian 1. Memberi gambaran makna kehidupan sosial budaya masyarakat Madura melalui ekspresi dan simbolitas pengarang dalam syair lagu Madura. 2. Mengembangkan dan menambah wawasan penelitian tentang sastra Madura pada umumnya dan syair lagu pada khususnya. 3. Memberikan masukan bagi pengambil kebijakan tentang sastra daerah guna menentukan cara mengelola, mengembangkan dan melestarikan sastra daerah pada umumnya dan sastra Madura pada khususnya.

BAB IV METODE PENELITIAN


Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Metode ini

digunakan oleh peneliti untuk menentukan dan mengembangkan fokus tertentu yakni ekspresi jiwa dan simbolitas hidup masyarakat Madura dalam syair lagu daerahnya, secara terus menerus dengan berbagai hal di dalam sistem sastra. Dipilih cara kerja kualitatif karena peneliti memasuki dunia data yang ditelitinya, memahami dan terus menerus membuat sistematik data guna mencari makna yang sesuai dengan objek penelitiannya. Teknik pengumpulan data dan analisis data akan dilakukan dengan cara : 1. Menentukan populasi syair lagu daerah Madura yang sudah dibukukan untuk digunakan sebagai objek penelitian, yakni seluruh syair lagu-lagu daerah Madura yang sudah dibukukan oleh Lembaga Pelestarian Kesenian Madura tahun 2003. 2. Menentukan sampel penelitian, yaitu seri syair lagu-lagu asli madura yang dikarang oleh pengarang asli Madura serta berdomisili di Madura (ada 25 syair lagu). 3. Menganalisis objek penelitian, 25 syair lagu-lagu asli Madura khususnya yang diilhami dari cerita rakyat Madura dengan memanfaatkan teori sosiologi sastra, teori semiotik dan teori simbol. 4. Menyimpulkan dan menyusun laporan akhir.

10

BAB V HASIL PEMBAHASAN


Lagu merupakan ekspresi kemanusiaan yang bersifat universal.

Universalitas lagu dapat menembus perbedaan ruang, waktu, sosial dan budaya. Universalitas tersebut dapat kita rasakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Banyak orang yang begitu senang menyanyikan lagu-lagu meskipun mereka sendiri kurang atau bahkan tidak memahami makna yang terkandung di dalam lagu-lagu tersebut. Dalam kaitannya dengan hal ini, hampir semua budaya dan masyarakat di Indonesia memiliki corak dan kekhasan yang tercermin dalam lagu-lagu daerahnya. Kekhasan tersebut disebabkan oleh perbedaan pandangan mengenai dunia, perbedaan lingkungan geografis, dan perbedaan-perbedaan sosial dan kultur setempat. Sebagai contoh, masyarakat budaya yang hidupnya bercocok tanam akan memiliki corak lagu yang berbeda dengan masyarakat budaya yang hidup sebagai nelayan. Masyarakat Madura merupakan masyarakat budaya yang memiliki corak kekhasan tersendiri. Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang ulet dan gigih berusaha. Sebagian masyarakat Madura hidup dengan bercocok tanam dan sebagian lainnya hidup sebagai nelayan. Kemampuan bercocok tanam dan bekerja sebagai nelayan tersebut banyak digambarkan dalam lagu-lagu daerahnya. Berikut ini akan dibicarakan beberapa lagu yang merupakan cerminan kehidupan sosial budaya masyarakat Madura. Lagu-lagu tersebut kemudian akan dianalisis untuk memahami makna dan keterkaitannya dengan simbolitas kehidupan sosial dan budayanya. 5.1. Makna dan bentuk ekspresi jiwa pengarang-pengarang lagu daerah Madura dalam mengungkap nilai-nilai moral, sosial dan budaya (1) Tondu Majang Ngapote rwa lajarra etangale Semajang tantona la padha mole 11

Mon tangghu dari ambet dha jhalanna Mase bannyaa ongghu ollena. O... mon ajhelling odina oreng majangan Abhantal omba sapo angen salanjhangah Reng majang bannya ongghu bhabhajana Kabhilang alako bhan dha nyabana. Lagu Tondu Majang (Giat Bekerja sebagai Nelayan) di atas menceritakan kehidupan para nelayan. Kehidupan mereka digambarkan sangat keras karena mereka harus mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk menghidupi keluarga yang ditinggalkan dan menunggu di rumah sambil berharap suami dan anak-anak lelakinya membawa hasil tangkapan ikan dalam jumlah yang cukup banyak untuk dikonsumsi sendiri dan sisanya dijual di pasar. Kerasnya hidup sebagai nelayan tersebut diibaratkan dengan ungkapan berbantal ombak dan berselimutkan angin (Abhantal omba sapo angen). Berbantal ombak bermakna bahwa mereka harus berada di laut di malam hari dan melupakan tidur malamnya demi mencari nafkah bagi keluarganya. Sedangkan berselimutkan angin mengandung pengertian bahwa mereka harus rela kedinginan dihembus angin malam yang terasa sampai ke relung-relung tulang mereka. Tidak jarang mereka harus merasakan dinginnya air hujan dan panasnya sengatan matahari di tengah-tengah hempasan gelombang laut yang dahsyat. Melalui lagu ini, pengarang berusaha menggambarkan semangat masyarakat nelayan Madura yang tidak pernah mengenal lelah dan rasa takut dalam bekerja untuk menghidupi keluarganya. Mereka menjalankan tugasnya sebagai nelayan dengan semangat tinggi dengan kadang-kadang tidak

memperdulikan bahaya dan risiko kehilangan nyawa yang sewaktu-waktu bisa menimpa mereka selama perjalanan menunju ke laut ataupun ke darat. Bagi mereka, pekerjaan merupakan ibadah yang wajib dijalankan dan mati ketika melakukan ibadah adalah mati syahid. Keyakinan inilah yang memperkuat semangat dan kegigihan mereka bekerja tanpa mengenal lelah dan rasa takut.

(2) Ole Olang Ole olang olang, paraona alajara, alajar ka Temor Daja, Ole olang praona alajara, 12

Ole olang, A lajara ka Madhura, Ole olang, Tojjhuwanna ka Mor Daja, Ole Olang, alajar dari Sorbhaja Lagu Ole Olang di atas menggambarkan sesuatu yang berbeda dari lagu Tondu Majhang. Lagu ini tidak bercerita tentang kerasnya hidup sebagai nelayan melainkan hanya menceritakan perjalanan pulang orang Madura dari pulau lain menuju ke Pulau Madura, dalam hal ini berlayar dari Kota Surabaya. Seperti kita ketahui, karena kondisi alam Madura yang kurang menjanjikan terutama untuk kegiatan pertanian, banyak orang Madura merantau ke pulau-pulau lain di Indonesia seperti Pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Banyak dari mereka mendapatkan keberhasilan di tempat perantauan tersebut. Sebagai perantau, mereka tidak pernah melupakan daerah asalnya dengan mengunjungi keluarga yang ditinggalkannya di Madura. Lagu ini merupakan bentuk ekspresi pengarang yang berusaha menggambarkan perasaan orang Madura ketika mereka berlayar pulang menuju kampung halamannya dengan membawa hasil kerja keras mereka selama di perantauan. Ungkapan ole olang memperkuat rasa kegembiraan mereka selama perjalanan pulang ke Madura. Selama perjalanan pulan, pikiran mereka dipenuhi dengan keinginan bertemu orang-orang yang dicintainya setelah begitu lama ditinggalkan merantau ke pulau-pulau lain maupun ke negeri seberang demi kehidupan yang lebih baik bagi keluarga dan sanak saudaranya di kampung. (3) Pa-Opa Iling Pa o pa iling, Dang dang asoko randhi, Reng towana tar ngaleleng, Ajhara ngajhi babana cabbhi, Le olena gheddhang bighi. Lagu Pa- Opa Iling biasanya dinyanyikan orang tua ketika mereka menimang atau mengajak bermain anaknya yang masih kecil. Lagu ini terutama dinyanyikan ketika anak sedang belajar berdiri. Meskipun lagu ini hanya terdiri dari empat baris, pengarang berusaha mengungkapkan beberapa hal. Lagu ini mengandung ajaran yang sangat berguna. 13

Sebagai masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama, masyarakat Madura selalu mewajibkan anak-anaknya untuk belajar mengaji yang merupakan alat untuk memperdalam ilmu agama kelak ketika mereka sudah dewasa. Lagu di atas juga mengungkapkan bahwa tugas orang tua adalah bekerja keras untuk bisa membuat anak-anaknya pintar. Dalam hal ini, mengaji tidak hanya berarti mengaji Al-Quran tetapi bisa diartikan pula sebagai kegiatan mencari ilmu bagi bekal kehidupan di masa yang akan datang. Bagi masyarakat Madura, anak-anak tidak boleh mewarisi kebodohannya. Orang tua mungkin bodoh tetapi anak-anaknya tidak boleh mengalami pengalaman jelek yang telah mereka hadapi. Oleh karena itu, mereka tidak bosan-bosan selalu mengingatkan anak-anaknya untuk belajar dan menuntut ilmu agar mereka kelak tidak mengalami kebodohan dan kesulitan hidup seperti orang tuanya. Masyarakat Madura meyakini bahwa orang yang berilmu akan lebih mudah mengatasi masalah yang sewaktu-waktu muncul dalam kehidupan ini.

(4) Soto Madhura Kaula paneka, oreng Madhura Katana Jhaba, toron Sorbhaja, Ajhuwalan soto Madhura, ajhuwalan soto Madhura, Soto Madhura, soto Madhura... Lagu Soto Madhura menceritakan perjalanan orang Madura yang merantau ke Pulau Jawa dan berjualan soto Madura di Surabaya. Pekerjaan sebagai penjual soto berlangsung turun-temurun dan menjadi pekerjaan yang cukup menjanjikan untuk menopang kehidupan mereka dan keluarganya yang ditinggal di Madura. Berjualan soto Madura telah menjadi kebanggaan bagi orang Madura yang tinggal di perantauan karena dengan soto Maduranya mereka bisa menunjukkan kepada masyarakat non-Madura bahwa Madura juga memiliki makanan khas yang dapat dinikmati orang lain. Soto Madura hampir dapat dijumpai di seluruh Indonesia.

14

(5) Kerrabhan Sape Sabbhan taon e Madhura la tanto ramme. Bannya reng manca pada dateng dari jhau Parlo nengghuwa kerrabhan sape Madhura E ................. Sape buru dhuli buru E ................. Sape buru dhuli buru Lagu Kerrabhan Sape ini menceritakan pegelaran kerapan sapi di Madura yang biasanya diadakan setiap tahun di Kota Pamekasan. Budaya kerapan sapi telah menjadi ikon Madura pada khususnya dan Jawa Timur pada umumnya. Setiap tahun diadakan lomba kerapan sapi yang memperebutkan piala Presiden Republik Indonesia. Hanya sapi-sapi terpilih saja yang dapat mengikuti perlombaan tersebut. Biasanya setiap kabupaten di Madura hanya mengirimkan empat pasang sapi pilihan yang akan diadu untuk memperebutkan piala tersebut. Kerapan sapi tidak hanya diminati masyarakat Madura. Banyak orang dari daerah lain di Indonesia bahkan dari manca negara datang berbondongbondong untuk menyaksikannya.

(6) Lir saalir Lir saalir, alir alir, kung! Ngare benta ngeba sada, Mon motta esambi keya, Lir saalir, alir alir, kung! Tada kasta neng e ada, Ghi kasta e budi keya, Lir saalir, alir alir, kung! Perreng pettong pote pote, Reng lalakon patengate.... Lir Saalir merupakan lagu yang biasanya dinyanyikan anak-anak ketika mereka bermain di tengah terangnya rembulan. Lagu ini berbentuk pantun nasihat yang sangat berguna dalam menjalani kehidupan ini. Melalui lagu ini pengarang berusaha memperingatkan kita untuk selalu berhati-hati dalam mengambil tindakan, berhati-hati dalam bertingkah laku, berbicara, dan bersikap. Lagu ini menyarankan kepada kita untuk berpikir dengan jernih sebelum mengambil tindakan, membuat keputusan, ataupun tindakantindakan penting lainnya. Kesalahan mengambil tindakan atau memutuskan sesuatu akan menimbulkan penyesalan di kemudian hari (Tada kasta neng e

15

ada, Ghi kasta e budi keya). Jadi, kita dituntut hati-hati dalam bertindak dan berperilaku agar tidak menyesal di kemudian hari.

(7) Es Lilin Cabbhi Akaleleng kotta.......... kabara soka temor, ...... Nyajhaaghi es lilin lemma manes nyaman ta baddhay, Nyare pangore reng tuwa ban sana e dhisa paghunongan Es lilin cabbhi ayo bhi Bhittas ngonyer a yo nyer Nyerra otang a yo tang, Tanggal ennem a yo nem, Nemmo padi ayo di, Di kapandi. ............ Bariya re panglepor ate sangsara..... Lagu Es Lilin Cabbhi bercerita tentang seorang penjual es keliling yang bekerja untuk menghidupi orang tua dan keluarganya yang tinggal jauh di desa di daerah pegunungan. Penjual es ini adalah seorang pekerja keras dan tidak mengenal lelah yang menjual esnya dengan mengelilingi kota. Keuletan dan kegigihan penjual es yang digambarkan dalam lagu ini merupakan ciri khas orang Madura yang tidak mengenal lelah dalam bekerja. Mereka tidak malu menjalani pekerjaan apapun asalkan pekerjaan itu bisa menyambung hidupnya dan hasil yang diperolehnya halal serta tidak bertentangan dengan hukum agama maupun hukum negara. (8) Ronjhangan Rwa ronjhangan la etabbhu e tabbhu, ronjhanganna la amonye, monyena sajan lanyeng jan lanyeng, Nyennengaghi ka kopeng spada ngeding. Reng tane pada anga bhunga padina la e toto, Ronjhanganna la amonye amonye, Tik tak tik tuk tik tak tik senneng ongghu. Lagu Ronjhangan (ronjhangan merupakan alat tradisional Madura yang digunakan petani untuk menumbuk gabah kering untuk menghasilkan beras) adalah bentuk ekspresi pengarang dalam menceritakan kegembiraan para petani

16

karena mereka baru saja melakukan panen padi di sawah. Pada jaman dahulu, mesin selep belum dikenal sehingga mereka menggunakan ronjhangan untuk menumbuk gabah. Ketika proses berlangsung, terdengar bunyi yang dihasilkan alat tersebut. Meskipun terdengar ramai, mereka merasa sangat senang karena sebentar lagi mereka akan memperoleh beras (Reng tane pada anga bhunga padina la e toto). Menumbuk padi dengan menggunakan ronjhangan biasanya dilakukan oleh ibu-ibu dan remaja putri secara bersama-sama. Makanan khas orang Madura dahulu adalah jagung. Namun, seiring dengan kemajuan teknologi pertanian padi juga ditanam petani terutama di wilayah-wilayah Madura yang tanahnya tidak tadah hujan. Bagi sebagian besar masyarakat Madura, terutama kelompok masyarakat yang hidup di desa dengan keadaan ekonomi pas-pasan, musim panen padi menjadi musim yang sangat ditunggu-tunggu karena biasanya pada musim panen tersebut mereka bisa menikmati makan nasi putih tanpa dicampur dengan jagung.

(9) Kembhangnga Naghara Onenga panjhenengan sadhaja para potre e Madhura, Jha dhimen ghi bakto jhaman rajha, Bada kembhangnga naghara Pangeran Cakraningrat peng empa, kasebbhut Sidingkap jhugha.. Ksastreya paneka ampon nyata socce abhilla naghara Ksastreya se gaga bangal bhuru, E jhi pojhi ta bu ambu. Bhadi kaca kebbhang para ngoda Pamondhi Madhura.... Kembhangnga Naghara merupakan lagu daerah Madura yang khusus menceritakan kepahlawanan Pangeran Cakraningrat IV. Dia adalah seorang ksatria dari Madura yang pantang menyerah dan rela berkorban untuk membela bangsa dan negara. Kepahlawanannya merupakan simbol sifat orang Madura yang gigih, rela berkorban dan pantang menyerah untuk membela kebenaran dan keadilan

17

yang dapat dijadikan teladan oleh para pemuda penerus bangsa (Bhadi kaca kebbhang para ngoda pamondhi Madhura). Melalui lagu ini, pengarang berusaha menggugah masyarakat Madura untuk meneladani semangat juang para pahlawan. Meskipun mereka sudah wafat ratusan tahun yang lalu, kita harus berusaha mengenang jasa-jasanya dan mengikuti jejak-jejak kebaikan dan keteladanan yang telah ditorehkannya. Semangat, keberanian, keikhlasan berjuang, dan kesukarelaan mereka patut kita contoh untuk membangun bangsa dan negara kita kedepan. (10) Pahlawan Trunojoyo Kabit dhimen ampon kaalok pahlawan Madhura. Ta rongghu abhilla kadhilan Nusantara. Trunojoyo gaga tor bengal menangka pahlawan Salerana bhabhar, e pabhabharan kotta Sampang Tojjhuepon malejjhar panjhajhah dari Indonesia, Terros maju tor nantang alorok mosona Trunjoyo sedha amargha etepo bhangsana Namung lampaepon e bhut sebbhut salanjhanga. Pahlawan Trunojoyo merupakan contoh lain dari lagu yang mengekspresikan penghormatan masyarakat Madura kepada para pahlawan bangsa dan negara. Pahlawan dalam pandangan masyarakat Madura adalah orang yang harus dihormati, dijunjung tinggi, dikenang jasa-jasanya, dan diteladani perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Lagu di atas bercerita tentang sosok pahlawan nasional yang berasal dari Sampang Madura. Dia adalah Trunojoyo yang dengan tanpa pamrih dan semangat berkobar-kobar tidak pernah gentar dalam membela bangsa dan negara untuk mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Trunojoyo adalah pahlawan yang gagah dan pemberani. Lebih lanjut lagu tersebut mengungkapkan bahwa Trunojoyo wafat bukan karena tipu muslihat penjajah melainkan karena akal bulus bangsanya sendiri. Trunojoyo memang sudah lama wafat namun apa yang telah dilakukannya

18

akan selalu diingat dan dikenang orang selamanya. Dia adalah sosok pahlawan bangsa yang patut diteladani. Melalui lagu ini, pengarang berusaha mengingatkan kita bahwa persatuan dan kesatuan menjadi hal yang sangat penting untuk membangun bangsa dan negara. Diperlukan kekompakan dan kerjasama yang kokoh untuk membangun suatu bangsa karena tanpanya sulit bagi kita mencapai kemenangan dan kejayaan. Penghianatan adalah perbuatan jelek yang harus dihindari karena tidak hanya akan merugikan diri sendiri tetapi juga orang lain serta bangsa dan negara secara keseluruhan. (11) Entar Akarang Entar akarang bula, nyareya kerrang bula, Ka pengghir sereng, ta osa nyambi bella, mong yambi kereng, olle pas teng-teng, Du, senneng areng bhareng ca kanca, Nyare engon abhanto oreng tuwa, Tanembhang enmaenan malolo, Mowang bakto parcoma ta aghuna, Maddha dhuliyan kanca Aeng pon sorot, makko ombai caraca, Kenneng pancale Lagu Entar Akarang (Mencari Kerang) menceritakan aktivitas yang biasa dilakukan orang dewasa dan anak-anak utamanya yang tinggal di daerah pesisir pantai untuk mencari kerang dan sejenisnya. Aktivitas tersebut biasa dilakukan ketika air laut dalam keadaan surut dan dilakukan secara berkelompok. Mencari kerang bagi masyarakat pesisir menjadi aktivitas yang menyenangkan dan juga menghasilkan. Sama halnya dengan nelayan yang mencari ikan, mereka juga menjual hasil tangkapan kerangnya selain juga dikonsumsi sendiri. Kegiatan ini bersifat santai dan dilakukan ketika mereka sedang tidak melaut atau sebagai pengisi waktu luang sambil menunggu waktu untuk berangkat ke laut mencari ikan.

19

Melalui lagu tersebut pengarang berusaha mengajak dan menganjurkan kaum muda untuk tidak membuang-buang waktu dengan sia-sia atau hanya digunakan untuk bermain belaka (Tanembhang enmaenan malolo, mowang bakto parcoma ta aghuna). Dalam masyarakat Madura, anak-anak sejak dini memang sudah diajari untuk bekerja membantu orang tua. Proses ini akan sangat membantu mereka ketika sudah menginjak dewasa karena sejak dini anak-anak sudah terbiasa bekerja keras. Selain itu, mencari karang juga mengasyikkan karena dilakukan secara bersama-sama teman sebaya. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa kegiatan tersebut tidak hanya menghasilkan sesuatu tetapi juga menyenangkan hati.

(12) Ghu-Toghu Saba Salagghu neng esaba, ghu-toghu so ca-kanca, ajaga asel tane, padina la ngakoneng, horra! Horra mano horre! Ghu-toghu esaba, maperak ate, amargha molongnga asella tane...... Ghu-Toghu Saba (Menjaga Padi di Sawah) merupakan lagu yang menceritakan kegiatan anak-anak dan orang dewasa yang sedang menjaga padi di sawah agar padi tidak dimakan burung. Biasanya aktivitas menjaga padi di sawah ini dilakukan mulai pagi sampai menjelang sore. Untuk mengusir burung mereka menggunakan alat bunyi-bunyian seperti kentongan dan sejenisnya dan kadang-kadang juga memasang orang-orangan di tengah sawah. Orang-orangan yang biasanya terbuat dari jerami dan diberi baju tersebut diikat dengan tali. Ketika ada burung yang hinggap dan memakan padi, orang-orangan digerakkan dengan menarik tali yang diikatkan tersebut atau membunyikan kentongan keras-keras sehingga membuat burung yang akan hinggap di sawah terbang ketakutan. Kegiatan ini juga dilakukan dengan senang karena sebentar lagi mereka akan menikmati hasil panen padi (Ghu-toghu e saba maperak ate amargha molongnga asela tane).

20

(13) Caca Aghuna Ya tampar ya tampar, mulet nyono ka cengkol, mon lapar yu nono tela sapekol, ka koorang, ka koorang, ka koorang, mon coma neng sapekol, arapa ma pada bongsombongan, acaca ta mambhu ongnaongan, lebbi becce caca seaghuna, nyauwaghi ka jhuba panyana, arapa arapa, bhujung bada eroma, acaca acaca ngangghuya tatakrama, yu kanca kakabbhi, yu kanca pada a alako se aghuna. Caca Aghuna (Perkataan yang Berguna) berisi nasihat agar orang selalu berhati-hati dalam berkata-kata karena perkataan tidak jauh berbeda dengan perbuatan. Orang akan dihormati atau dihina karena perkataannya. Lagu tersebut juga menyarankan agar kita selalu mengatakan sesuatu yang berguna karena akan menjauhkan diri dari kejelekan (lebbi becce acaca seaghuna, nyawuaghi ka jhuba panyana). Tidak hanya itu, ketika berbicara kita harus menggunakan tatakrama (acaca ngangghuya tatakrama), yaitu kita harus melihat siapa yang kita ajak bicara. Berbicara dengan sesama teman sebaya tentunya akan berbeda dengan berbicara kepada orang tua atau orang yang patut dihormati. Maka dari itu, anak-anak dalam masyarakat Madura sudah sejak dini diperknalkan dengan tingkatan bahasa, yaitu bahasa enja iya, enggi enten, dan enggi bunten. Orang yang tidak mampu menggunakan tingkatan bahasa tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi dianggap orang yang tidak mengerti tatakrama. (14) Les-Balesan Arapa ma nojjhune ta nyapa, la-pola senko andi sala, Enja sengko ta apa-rapa, Coma ta kenceng acaca, Ma pas akolbana budi arena, Sapa bara ro, Namen tales pengghir paghar, Ta enga lamba ro, Aba males sengka ajhar, Sapa bara ro, Mano keddhi ca-loncaan, Ta enga lamba ro, Mon ta andi tapentaan Les-Balesan (Saling Membalas) adalah lagu yang berbentuk pantun nasihat. Lagu tersebut mengandung ajaran dan nasihat yang patut diikuti

21

masyarakat Madura. Lagu di atas menyarankan kepada para anak muda untuk tidak malas mencari ilmu karena akan membuat mereka menyesal kelak ketika mereka sudah tua (Ta enga lamba ro, Aba males sengka ajhar). Di samping itu, lagu tersebut juga mengandung nasihat umum agar masyarakat Madura mengedepankan semangat kekeluargaan dalam berhubungan, saling membantu dan bergotong royong dalam mengatasi persoalan hidup. Dalam hal itu, kita disarankan untuk tidak melupakan pertolongan orang lain. Kita tidak boleh hanya meminta pertolongan tetapi enggan memberikan pertolongan sementara kita mampu melakukannya. Jadi, yang perlu ditekankan di sini adalah prinsip mutualisme (Ta enga lamba ro, Mon ta andi ta pentaan). (15) E Tera Bulan Ampon dapa baktona tera bulan, Sadnajhana tore akompol pas maelang sossa ate katon rota apangghi... E tera bulan tarkataran sonarra, langgnge bherse, bintang pote dhap-ngarreddhap ce pernana. Tantaretan jha pas kangse apesa eman ongghu pagghun akompol pada tresna Madhura. Lagu E Tera Bulan (Waktu Terang Bulan) merupakan lagu yang sering dinyanyikan kaum muda maupun kaum tua Madura ketika bulan purnama muncul. Lagu ini biasanya dinyanyikan oleh orang-orang yang tinggal di daerah pedesaan ketika listrik belum masuk desa. Kebahagian terlihat di raut wajah mereka ketika bulan purnama yang memancarkan sinarnya yang terang benderang tersebut muncul di tengah-tengah kehidupan mereka. Pada saat bulan purnama orang-orang biasanya berkumpul dan bercengkrama. Mereka keluar rumah dan duduk-duduk di tempat yang tidak terhalang pepohonan. Tidak jarang momen tersebut digunakan untuk

mendiskusikan sesuatu yang mereka hadapi dalam hidup. Namun, pada intinya kegiatan berkumpul ketika bulan purnama tiba digunakan untuk menghilangkan segala kepenatan hidup dengan berusaha melupakan persoalan hidup walaupun hanya sesaat (Ampon dapa baktona tera bulan, Sadnajhana tore akompol pas 22

maelang sossa ate katon rota apangghi...). Dengan kata lain, momen terang bulan juga digunakan untuk saling bertemu karena setiap orang mempunyai kesibukan dengan pekerjaannya masing-masing di siang hari. (16) Taresna Berra bula seapesaa marghana dhika pon abit cekka e ate saestona coma dhika panglepor ate. Aka ekeba mate. Nape seekakarep ongghu bula ta ngarte ta kobasa pole bule nresnane dhika parandhineng ta kasta. Seddhi bula mekkere dhika robana dhika segghut maombar edalem mempe dada bula tros taobbhar dalem taresna. Lagu Taresna (Cinta) mengisahkan seorang pemuda dan pemudi yang sedang dilanda cinta. Karena sesuatu hal, kedua kekasih yang sudah lama memadu kasih tersebut harus berpisah. Perpisahan tersebut sangat berat untuk mereka hadapi (Berra bula seapesaa marghana dhika pon abit cekka e ate saestona coma dhika panglepor ate). Sang kekasih tidak habis mengerti mengapa dia harus berpisah seperti itu. Perpisahan itu telah membuatnya sangat sedih dan menyesal mengapa percintaan mereka harus berakhir seperti itu. Karena sang kekasih selalu memikirkannya, wajah kekasihnya selalu muncul dalam mimpinya dan hal itu semakin membuat cintanya berkobar-kobar (Seddhi bula mekkere dhika robana dhika segghut maombar edalem mempe dada bula tros taobbhar dalem taresna). Melalui lagu ini pengarang berusaha mengungkapkan bahwa kadangkadang kecintaan kita yang berlebihan kepada seseorang dapat menyiksa batin dan perasaan kita. Hal itu bisa terjadi ketika orang yang dicintai tidak memiliki kesamaan pandangan dan keinginan. Ketika hal itu terjadi, yang muncul berikutnya adalah perpisahan yang begitu menyakitkan karena cinta telah terbiasa membuat orang merasakan kebahagiaan hidup ini. Oleh karena itu, ketika cinta mulai tercerabut dari hati seseorang karena ketidakcocokan atau sebab-sebab lainnya, yang terjadi adalah perasaan sedih yang sulit diatasi. Tidak jarang, hal

23

tersebut menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan dan kadang-kadang tragis seperti kegilaan dan perbuatan bunuh diri. (17) Coma Dhika Coma dhika sebada e ate. Bula taresna esto ka dhika tada selaen bulacoma ngarep dhika tada selaen coma dhika sengapencote. Du, bula ta kera loppa margha pesemma. Du, dhika bwana ate sakabbhina coma dhika! Coma dhika! Dhika ban bula mogha ta tapesaa bula ajhanjhi coma dhika se ekangenna. Coma (Cuma Kamu) juga merupakan lagu yang

Dhika

mengekspresikan perasaan cinta kepada kekasih. Tema lagu ini berbeda dengan lagu cinta sebelumnya. Lagu ini bercerita tentang kekaguman seorang kekasih kepada kekasihnya. Sang kekasih mengatakan kepada kekasihnya bahwa dia adalah satu-satunya orang yang ada dalam hatinya. Menurutnya tidak ada orang lain yang dia cintai, sayangi, dan kagumi kecuali dirinya (Bula taresna esto ka dhika tada selaen bulacoma ngarep dhika tada selaen coma dhika sengapencote). Satu hal yang membuat sang kekasih tersebut jatuh cinta adalah senyuman kekasihnya. Senyuman tersebut tidak akan pernah terlupakan olehnya (Du, bula ta kera loppa margha pesemma). Senyuman itu pula yang membuat perasaan cinta dan sayangnya semakin besar kepadanya dengan disertai harapan mereka tidak akan pernah terpisah satu sama lainnya (Dhika ban bula mogha ta tapesaa bula ajhanjhi coma dhika se ekangenna). Sang kekasih mengatakan bahwa kekasihnya adalah satu-satu orang yang dia rindukan dalam hidup ini. Melalui lagu ini pengarang ingin mengekspresikan bahwa perasaan cinta adalah sesuatu yang universal karena ia adalah manusiawi sifatnya. Setiap manusia memiliki keinginan untuk mencintai dan dicintai dan hal seperti itu tidak mengenal batas-batas sosial dan budaya. Di mana ada manusia hidup bermasyarakat, di situ akan timbul benih-benih perasaan cinta, baik cinta yang ditimbulkan karena persahabatan, persaudaraan maupun cinta yang timbul karena ketertartikan antara laki-laki dan perempuan yang mengarah pada keinginan untuk 24

menyatukan diri dalam ikatan perkawinan untuk menggapai kebahagiaan hidup sebagai keluarga yang utuh.

(18) Malem Kerrabhan Ebakto malem kerrabhan e Bhangkalan pon tanto ramme, bannya oreng ban reng manca dateng parlo ngal-nengale. E lon-alon se ghir daja kennengnganna reng ajhuwalan ban tatengghunna da pole kajhabhana salabatdhan. Dari jhau pon kapereng monyena Tuktukgha sape. Mataghiyur atena sadhaja reng se ghunengghuwa E bakto malem kerrabhan, ramme ban reng se lanjhalanan kasempatdhanka pra ngoda dateng parlo gol-senggolan. Malem Kerrabhan (Malam Kerapan Sapi) adalah lagu yang menggambarkan keramaian suasana di malam kerapan sapi di kota Bangkalan. Pada malam itu terlihat banyak orang berdatangan untuk menonton kerapan sapi keesokan harinya. Yang menarik adalah bahwa orang yang datang bukan hanya dari Madura tetapi juga ada dari mereka yang datang dari luar negeri. Digambarkan juga bahwa di alun-alun sebelah utara ditempati orang berjualan. Selain itu, orang yang datang ke alun-alun juga bisa menyaksikan pertunjukan yang telah disediakan oleh panitia. Keramaian di malam kerapan sapi juga dimanfaatkan kaum muda untuk bertemu pasangannya masing-masing. (19) Palabbhuwan Kamal Du, arowa neng e palabbhuwan Kamal. Bannya motor senyabbhranga ka Sorbhaja. Ngeba bharang dhaghangan hasel Madhura. Se ella kalonta e tana jhaba. Du, arowa neng e Palabbhuwan Kamal. Ondhur dateng reng se nompa prao messin. Bannya keya reng se coma lanjhalanan parlo ngal-nengale malepor ate. Palabbhuwan Kamal (Pelabuhan Kamal) menceritakan keramaian di Pelabuhan Kamal Madura. Diceritakan bahwa banyak mobil menyeberang melewati pelabuhan tersebut mengangkut barang dagangan dari Madura yang 25

akan dijual ke Pulau Jawa. Terlihat banyak orang yang lalu lalang dengan mengendarai perahu mesin. Dari sekian banyak orang yang lalu lalang tersebut, ada yang memang mau berdagang tetapi juga ada yang sekadar jalan-jalan untuk menghilangkan rasa sedih dan kesulitan hidup. (20) Pacakang Alako Klaban dhasar Pancasila to Dhang-Undhang Dhasar Empa Lema Essee kamardhikaan Indonesia abhangon e sabbhan bidang. Settong naghara se rajha, pon kalonta da manca naghara, ngasellaghi kabhutowan searopa: sandhang pangan ban laenna. Dari jhau katengal mentamenan tombu ghumbhus rampa cengngar ngabhiru. Nandhaaghi jha bhume Indonesia tanaepon sanget landhu. Oh, potra potre sadhaja nyara sroju pacakang alako, nyopre kantos abhukte settong masyarakat, adhil mamor pada melo. Pacakang Alako (Giatlah Bekerja) menceritakan kondisi negara Indonesia yang kaya akan sumber daya alamnya. Lagu ini menggugah semangat rakyat Indonesia untuk membangun dan mengisi kemerdekaan Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tanah Nusantara yang begitu subur menjadikan segala macam tanaman yang dapat digunakan bagi kepentingan rakyat Indonesia tumbuh dengan begitu suburnya. Tumbuh-tumbuhan menghijau daunnya sebagai pertanda tanahnya subur. Kekayaan alam yang tersedia di negeri ini tidak akan ada artinya apabila tidak diiringi dengan semangat untuk bekerja dengan giat. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi putra-putri Indonesia untuk menyingsingkan lengan baju guna mewujudkan negara yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Melalui lagu ini pengarang berusaha menggugah semangat putra-putri Indonesia untuk giat bekerja. Kekayaan alam tidak akan ada artinya apabila kita tidak berusaha mengolahnya dan hanya mengandalkannya saja. Sudah saatnya kita menyingsingkan lengan baju bekerja keras untuk mengolah sumber kekayaan alam yang tersimpan di bumi Indonesia.

26

(21) Pajjhar Pajjhar ampon ngombar dari mongging temor, bulan pornama abak ngabara pon para competdha. Angen ser-ngalesser cellep tape seggher, Bintang porteka ngadhirap terrang sonarra ngabhiru. Ajam saroju pada akongko monyena sanget lante, Menangka tandha nyara sadhaja kasokana abungo. Pajjar ampon ngombar dari mongghing temor, Soddhi taretan nyara sahaja padaa alako. Pajjhar (Fajar) adalah lagu yang menceritakan keadaan di pagi hari. Di pagi hari angin berhembus sepoi-sepoi dan menyegarkan. Datangnya fajar menandakan datangnya siang. Sudah saatnya orang bangun untuk bekerja di sawah dan di kebun. Masyarakat Madura yang bekerja sebagai petani biasanya berbondong-bondong pergi ke sawah atau ke kebun dengan membawa cangkul dan peralatan pertanian lainnnya. Sebagian ibu-ibu juga pergi ke sawah menyiangi rumput yang tumbuh bersama tanaman padi atau jagung. Sebagian orang mencari makanan sapi dan ternak lainnya. Mereka terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. (22) Ngennes Aduh ngennessa e malem talebat seppena, Ojhan ta ambu, Kelappa rang-rangrang nakoe, Kali marentek Ebhuna. Kerrong ka Eppana se ella abit apesa, Adhina ana bine, Parlo abhilla naghara, Ngoman ebhuna, Bengrembeng ta manggha mekkere, Tedung cong tedung, Eppana lagghu la abali. Ngennes (Merana) mengisahkan seorang ibu dan anaknya yang ditinggal pergi ayahnya untuk membela negara. Anak kecil tersebut merengekrengek kepada ibunya karena dia sudah lama ditinggalkan ayahnya. Dia ingin bertemu sang ayah tetapi sang ayah tidak pulang-pulang. Sang ibu tidak kuasa memendam kesedihan karena sang anak terus-menerus menanyakan kapan ayahnya akan pulang. Untuk menghibur sang anak, ibu tersebut menyuruh anaknya tidur karena ayahnya akan pulang besok.

27

Dalam perkembangan selanjutnya, lagu di atas juga mengekspresikan kesedihan ibu dan anak yang ditinggal merantau oleh sang kepala keluarga. Banyak kaum laki-laki Madura harus meninggalkan Madura untuk bekerja di daerah lain. Mereka biasanya tidak kembali ke kampung halamannya selama bertahun-tahun meninggalkan keluarga yang dicintainya.

(23) Mosem Anye Mare pajjhar la pada ajhalan, dapa kasaba are bhuru ombar. Mano ngoce ramme ot saotdhan, anye elepor lanceng paraban. Mosem anye padi pada dhaddhi, tondu merras hasella cokop madhane, Asar maba la mole abhareng, padi epekol esoon atena senneng. Mosem Anye (Musim Panen Padi) menceritakan suka cita orang Madura ketika musim panen tiba. Di pagi-pagi buta mereka sudah pergi ke sawah. Tua muda bersama-sama bekerja untuk memanen padi. Di sana-sini terdengar burung-burung bernyanyi bersahut-sahutan. Padi terlihat merunduk dan berisi yang menandakan bahwa hasil panen saat ini akan banyak. Di sore hari mereka kembali ke rumah dengan membawa hasil panennya. Mereka semua kelihatan bersuka gembira dan bersyukur atas keberhasilan panennya. (24) Pajjhar Lagghu Pajjhar lagghu arena pon nyonara. Bapa tane se tedung pon jhaghaa. Ngala are so landhu tor capengnga, A jhalananna ghi sarat kawajibhan. Atatamen mabannya hasel bhumena. Mamamorna nagharana ban bangsana. Pajjhar Lagghu (Fajar Pagi) adalah lagu yang menggambarkan fajar di pagi hari. Ketika fajar tiba, matahari pun terbit menandakan bahwa sudah waktunya bagi petani untuk pergi ke sawah dan ladang. Para petani pergi ke sawah membawa cangkul dan topi untuk melaksanakan pekerjaannya guna menghidupi keluarganya. Mereka menanam segala jenis tanaman untuk kemakmuran negara dan bangsanya. Bagi masyarakat Madura bekerja sebagai petani menjadi pekerjaan utama. Meskipun sebagian 28

tanahnya tidak begitu subur, dengan semangat kerja yang giat dan pantang menyerah mereka dapat menghasilkan sesuatu dari bercocok tanam tersebut. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Madura untuk bergotong royong dalam bercocok tanam. Ini dilakukan secara bergantian. Anak-anak yang sudah dewasa dan cukup kuat untuk menggunakan cangkul juga tidak segan-segan membantu orang tuanya bercocok tanam di sawah dan di ladang. Dari situ, mereka mulai mengenal cara-cara bercocok tanam. (25) Ngambhat Lajangan Mara ocol lajanganna ghun e dissa, Sengko se ngambhadha pas olok angenna, Selunganna pas tegghu jha pasaleng ka, Bhinareng ya angenna pas ceddhu, Lajanganna akaleppek ongghu, Peopeope, Mara pas dateng, Makko naspanas, Ngambhat e diya, Lebur ongghu alajangan ghun diya, la la la la la la, Hm hm hm Ngambhat Lajangan (Menarik layang-layang agar bisa terbang) adalah lagu yang menceritakan kegiatan bermain layang-layang yang biasa dilakukan masyarakat Madura ketika mereka pulang dari sawah dan ladang. Bermain layang-layang dijadikan hiburan setelah lelah bekerja di sawah dan di ladang. Layang-layang biasanya dilengkapi dengan bunyi-bunyian sehingga membuat suasana menjadi lebih meriah. Terdapat banyak jenis layang-layang yang dimainkan baik dari segi bentuk, warna maupun ukurannya. Anak-anak cenderung bermain layang-layang kecil sedangkan orang dewasa bermain layanglayang yang besar. Musim layang-layang biasanya bersamaan dengan musim tanam tembakau karena cuaca pada musim tanam bakau biasanya cerah dan hembusan angin cukup kencang untuk bisa menerbangkan layang-layang.

5.2. Makna kehidupan masyarakat Madura dalam simbolitas syair lagu daerah asli Madura Syair lagu-lagu yang tdi dalam buku Kumpulan Lagu Daerah Madura dihimpun dari tiga versi yakni: 1). Lagu daerah asli Madura, yang dalam 29

penulisannya ditulis dengan notasi seperti aslinya, 2). Lagu rakyat gubahan, yakni lagu yang diberi lagu pemula dan lagu pengakhir dengan menyisipkan lagu rakyat itu sendiri di dalamnya, 3). Lagu rakyat ciptaan, yakni lagu-lagu yang diciptakan oleh para komponis Madura dengan sebagian besar selaras dengan titian nada pentatonis Madura (Titik ciptaannya diungkapkan dari lingkungan hidup rakyat Madura, seperti dari tema dongeng rakyat Madura, perilaku rakyat Madura, kisah asmara dan lain-lain). Ketiga versi tersebut selain memperkenalkan kekhasan khazanah nilai budaya daerah Madura juga berisi pesan moral dan nilai kehidupan yang mendidik sehingga menjadikannya dapat terus hidup dari generasi ke generasi. Hal itu terlihat dari Buku Kumpulan Lagu Daerah Madura yang berhasil merekam dalam bentuk tulisan 106 lagu daerah Madura yang pernah populer pada Masyarakat Madura. Apabila dipahami dan dianalisis lebih jauh, kedua puluh lima lagu yang menjadi objek penelitian ini mengandung makna kehidupan masyarakat Madura yang sangat mendalam. Di dalam lagu-lagu tersebut ditemukan beberapa hal yang berkaitan erat dengan kehidupan sosial budaya masyarakat Madura yang syarat dengan ajaran-ajaran moral. Lagu-lagu tersebut menjadi pengingat bagi masyarakat Madura untuk menjaga perilakunya dalam menjalani hidup, baik ketika mereka hidup di antara masyarakat Madura sendiri maupun ketika hidup bersama suku-suku lain yang ada di Indonesia. Berikut ini akan dikelompokkan 25 lagu yang menjadi pusat analisis dalam penelitian ini berdasarkan tematemanya. Pada dasarnya, tema yang diusung dalam lagu-lagu tersebut berkisar tentang dongeng rakyat Madura, perilaku dan sifat rakyat Madura, kisah asmara dan lain-lain). 5.2.1. Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan dongeng rakyat dan kepahlawanan Dari dua puluh lima lagu yang diteliti, terdapat dua lagu yang memiliki tema tentang dongeng rakyat. Lagu-lagu tersebut adalah Kembangnga Naghara dan Pahlawan Trunojoyo. Kedua lagu tersebut berkisah tentang para pahlawan Madura yang gigih berjuang untuk membela keadilan dan kebenaran di bumi

30

Indonesia. Mereka memiliki keberanian dan semangat yang tinggi dan pantang menyerah dalam menghadapi musuh. Hal tersebut sesuai dengan karakter orang Madura yang memang terkenal memiliki pembawaan bangalan (pemberani). Namun, mereka hanya akan berani apabila berada di pihak yang benar dan sebenarnya akan merasa takut apabila berada di pihak yang salah. Berdasarkan penampilannya, seorang Madura mungkin terkesan kecil dan lemah, sehingga tidak perlu diperhitungkan. Akan tetapi, ia mungkin termasuk orang yang dimaksudkan peribahasa kene ta korang bulanna (kecil tidak kurang bulannya), kecil-kecil cabai rawit kata pepatah Melayu yang dimadurakan menjadi ne-kene cabbi lete. Jadi, sekalipun kelihatan teremehkan dan tidak berwibawa, orang Madura bisa berubah menjadi keras polana akerres (keras karena berkeris) sebab memiliki keuletan, kecakapan, dan keberanian yang tangguh. Dengan bermodalkan kebenaran sebagai senjatanya dan disertai dengan rasa keadilan dan kejujuran serta faktor lain yang mendukungnya, pembawaan berani karena benar dapat membuat orang Madura mampu bersikap tegar dan penuh ketegasan menghadapi segala sesuatu di lingkungannya. Keberanian orang Madura juga terungkap dalam ungkapan mon lo bangal acarok jha ngako oreng Madhura (kalau tidak berani bercarok jangan mengaku orang Madhura). Ungkapan ini kedengarannya bernada negatif yang seolah-olah bermakna bahwa orang Madura suka melakukan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan dalam kehidupannya. Sebenarnya, ungkapan ini lebih dimaksudkan agar orang Madura tidak gentar menghadapi musuh kalau memang mereka berada di pihak yang benar. Namun, dalam praktiknya ada sebagian orang yang menyalahgunakan ungkapan tersebut sehingga terkesan bahwa orang Madura memang suka melakukan kekerasan. Kata carok harus dibedakan dengan kata nyelep. Carok sebenarnya adalah suatu bentuk perkelahian yang dilakukan secara berhadap-hadapan, satu lawan satu. Jadi, dalam carok melekat simbol kesatriaan. Sedangkan nyelep bermakna menusuk musuh dari belakang ketika lawan dalam keadaan lengah atau tidak berdaya untuk melakukan perlawanan. Jadi, dalam nyelep sebenarnya

31

terkandung makna dan simbol kepengecutan. Orang yang hanya berani nyelep sebenarnya memiliki jiwa kerdil, pengecut, dan penakut yang pada dasarnya bukan karakter dasar orang Madura. Orang Madura sejatinya suka addhu ada (berhadap-hadapan) ketika harus melawan musuh-musuhnya. 5.2.2. Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan perilaku dan sifat positif orang Madura (nasihat) Terdapat enam lagu yang di dalamnya mengandung nasihat bagi masyarakat Madura. Lagu-lagu tersebut adalah Pa-Opa Iling, Lir Saalir, Entar Akarang, Caca Aghuna, Les Balesan, Pajjhar Laggu dan Pacakang Alako. Ada beberapa nasihat yang dapat ditemukan dalam lagu-lagu tersebut. Lagu Pa-Opa Iling mengandung nasihat agar orang Madura selalu ingat dan sadar terhadap apa yang dilakukannya. Pa-Opa Iling sebenarnya bermakna memberi teguran agar seseorang ingat dan menyadari apa yang telah diperbuatnya dengan tujuan apabila perbuatannya salah, orang tersebut bisa menyadari kesalahannya dan memperbaiki perilaku atau perbuatan yang salah tersebut. Nasihat yang dapat dipetik dalam lagu Lir Saalir adalah bahwa orang Madura harus selalu berpikir sebelum bertindak atau dalam bahasa Inggrisnya Look before you leap. Hal ini harus dilakukan karena apabila perbuatan yang dilakukan atau keputusan yang diambil tidak tepat, hal tersebut akan menimbulkan kerugian dan penyesalan di kemudian hari. Keahlian memikirkan segala konsekuensi dari setiap perkataan dan perilaku atau perbuatan kita kepada orang lain merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh orang Madura agar tidak terjadi penyesalan nantinya. Hal ini sesuai dengan ungkapan dalam bahasa Madura ada kasta e ada, yang artinya penyesalan datangnya tidak pernah di depan karena orang hanya akan menyesal setelah mengetahui bahwa apa yang telah dilakukan atau dijalaninya tidak benar dan merugikan baik kepada dirinya sendiri, keluarga maupun orang lain di sekitarnya. Caca Aghuna juga mengandung nasihat penting dan merupakan simbol atau cerminan masyarakat Madura untuk berkata-kata yang berguna. Bagi

32

masyarakat Madura, lebih baik diam daripada berbicara tetapi tidak ada artinya atau hanya dapat menimbulkan permusuhan di antara mereka. Orang yang suka berbicara cenderung melakukan kebohongan karena ketika mereka tidak punya bahan pembicaraan cenderung berkata yang tidak berguna dan dibuat-buat. Dalam bahasa Madura orang yang demikian dikatakan dengan raja ghaludhugga ta kera raja ojhana yang dapat diterjemahkan secara bebas dengan tong kosong nyaring bunyinya. Ungkapan akotak ta atellor (berkotek tetapi tidak bertelur) dan colo balijjha (mulut penjaja keliling) juga merupakan ungkapan-ungkapan yang ditujukan kepada orang yang suka berkata yang tidak bermanfaat atau suka berbohong yang pada dasarnya sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat Madura secara umum. Dalam hubungannya dengan itu, orang Madura juga harus berhati-hati dan waspada dalam berbicara agar mereka tidak menjadi seperti terana dhamar (terangnya lampu), karena orang umumnya hanya mampu memberikan petunjuk kepada orang lain tanpa berusaha memberikan penerangan kepada dirinya sendiri. Seperti umum diketahui, pelita sudah pasti dapat menerangi lingkungan sekitarnya tetapi ia tidak mampu menerangi dirinya sendiri. Dalam hubungan kehidupan bermasyarakat, banyak kita menemukan orang yang suka memberikan petunjuk, petuah maupun nasihat sementara mereka sendiri tidak mampu melaksanakan petunjuk tersebut. Orang seperti ini juga diungkapkan dengan tao nyekot ta tao ajhai (tahu memotong pola tetapi tidak tahu menjahitnya) atau bisa memberikan kritikan tetapi tidak mampu menunjukkan cara penyelesaiannya. Hal yang dapat dipetik dari lagu ini adalah bahwa orang Madura tidak boleh mengatakan sesuatu yang tidak berguna. Lebih baik diam daripada harus berkata bohong atau tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri terlebih bagi orang lain yang ada di sekitarnya. Selain itu, mereka juga harus hati-hati dalam memberikan saran, kritikan, ataupun petunjuk kepada orang lain karena orang yang berani memberikan saran dan sejenisnya harus berani melaksanakannya sendiri seperti terungkap dalam peribahasa bangal ajhuwal bangal melle (berani menjual berani membeli). Memberikan saran, kritikan dan petunjuk adalah hal yang sangat mudah dilakukan karena tinggal membuka bibir saran tersebut bisa muncul (bibir

33

attas ban bibir baba ghampang akebbi). Memang, lidah itu kecil bentuknya tetapi sangat besar akibat yang ditimbulkannya apabila mengucapkan sesuatu yang seharusnya tidak diucapkan. Dalam hal ini, kiranya tepat apabila dikatakan mulutmu adalah harimaumu. Lagu yang berjudul Les-Balesan (Saling Membalas) berusaha mengungkap makna bahwa masyarakat Madura harus saling bekerja sama atau bergotong royong dalam kehidupan sehari-hari mereka supaya suasana hidup yang harmonis dan penuh kekeluargaan dapat tercipta di antara mereka. Orang Madura pantang meminta bantuan sementara dirinya enggan membantu orang lain ketika dia mampu melakukannya. Orang yang hanya mau meminta bantuan tetapi tidak mau membalasnya dikatakan mella salajha (melihat sebelah mata). Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau masyarakat Madura termasuk kelompok etnis yang rasa ikatan kekeluargaannya sangat tinggi. Ungkapan taretan dhibi yang bermakna saudara sendiri sering digunakan ketika mereka bertemu di perantauan meskipun sebenarnya tidak ada hubungan darah. Ini merupakan cerminan kehidupan masyarakat Madura yang suka bergotong royong dan saling membantu di antara sesama mereka. Pacakang Alako (Giat-Giatlah Bekerja) adalah lagu yang mengajak orang Madura untuk selalu giat bekerja. Dari dulu, orang Madura dikenal memiliki etos kerja yang tinggi. Oreng Madhura ta tako mate, tape tako kalaparan (orang Madura tidak takut mati tetapi takut kelaparan) merupakan ungkapan yang menjelaskan sikap pasrah orang Madura terhadap kematian karena kematian bersifat wajib dan merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa. Hal yang ditakutkan orang Madura adalah kelaparan yang disebabkan oleh ulah dirinya yang tidak rajin dan giat bekerja. Orang Madura memiliki karakter yang sangat luar biasa menyangkut kerajinan, kesungguhan, serta kemauannya bekerja keras (dalam Rifai 2003). Orang Madura dikenal sebagai pekerja ulet yang tidak sungkan membanting tulang dalam mencari rezekinya. Pekerjaan apa saja akan mereka geluti asalkan menghasilkan dan halal dalam memperolehnya. Ungkapan kar-ngarkar colpe (mengais terus mematuk) merupakan cerminan karakter orang Madura yang mau bersusah payah dan penuh kesabaran

34

untuk melakukan kegiatan yang kelihatannya sepele untuk kemudian meraup hasilnya yang mungkin tidak seberapa. Bagi mereka tidak ada pekerjaan menghinakan selama itu halal dan diridai Allah sehingga mereka tidak sungkan menjadi tukang rombeng, pengumpul besi tua, buruh tani, pedagang kaki lima, pengemudi becak, bakul rujak, tukang cukur pinggir jalan, kuli pelabuhan, pedagang asongan, penjual sate, penambang perahu, dan pekerjaan kasar lainnya. Orang Madura seakan-akan tidak mengenal lelah dalam berikhtiar meskipun harus berjemur di bawah terik matahari. Mereka tidak akan takut bekerja keras untuk menghadapi pekerjaan berat, sekalipun harus mengeluarkan keringat kuning (makalowar pello koneng). Tidak jarang di waktu susah mereka harus ngakan asella are (makan berselang), artinya sehari makan sehari puasa. Di mata orang Madura, tidak ada tempat bagi oreng lemmos (orang malas bertubuh lemah) atau orang dhalmos (orang malas yang tidak suka bekerja), oreng bhair (orang malas yang suka bermain), serta orang-orang yang sama sekali tidak berupaya untuk melakukan sesuatu bagi kehidupannya. Orang-orang seperti diibaratkan sebagai sampah yang tidak berguna dalam kehidupan. Dalam hubungannya dengan hal di atas, usaha keras yang dilakukan orang Madura harus menghasilkan sesuatu. Setiap kegiatan harus bada kettosanna (ada bentuk akhir nyatanya) dan segala pekerjaan perlu dipastikan supaya bada beddhalanna (ada buah, wujud, atau hasilnya). Karena itu, orang Madura tidak menyukai suruhan, petugas atau utusan yang bersifat bu-tambu cellot (orang yang disuruh melakukan sesuatu tetapi tidak ada hasilnya), atau tada tondung balina (orang yang berangkat pergi tidak ada berita dan tidak pernah kembali). 5.2.3. Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan alam dan aktivitas yang dilakukannya Terdapat beberapa lagu yang berusaha mengungkap kehidupan masyarakat Madura dalam hubungannya dengan alam dan aktivitas hidup seharihari. Lagu-lagu yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah :Tondu Majang, Ole Olang, Soto Madhura, Kerabhan Sape, Es Lilin Cabbi, Ronjhangan,, Entara Akarang, E Tera Bulan, Malem Kerrabhan,

35

Palabbhuwan Kamal, Mosem Anye, Pajjhar Laggu, Pajjhar, GhuToghu Saba, dan Ngambat Lajhangan. Lagu Tondu Majang dan Ole Olang menggambarkan kehidupan orang Madura yang bekerja sebagai nelayan. Dalam lagu itu terungkap kegigihan dan semangat para nelayan Madura yang tidak pernah merasa takut menghadapi segala risiko dan bahaya yang dapat mengancam nyawa mereka sewaktu mencari ikan di laut. Kerasnya gelombang, kencangnya angin laut, panasnya terik matahari, dan dinginnya air hujan tidak menyurutkan niat mereka untuk melaut. Bagi mereka gelombang adalah laksana bantal, sedangkan angin bagaikan selimut. Hal ini ditemukan dalam lirik lagu abantal omba asapo angen. Meskipun tidak jarang mereka pulang tanpa membawa hasil tangkapan apapun dan tidak jarang juga yang harus meregang nyawa di tengah-tengah laut yang terkadang tidak bersahabat, keadaan demikian tidak membuat mereka jera bekerja sebagai nelayan atau kehilangan nyali untuk melaut. Bagi mereka semua itu adalah risiko pekerjaan yang tidak boleh mereka hindari atau takuti karena semuanya sudah diatur oleh Tuhan Yang Maha Esa. Kematian dan rezeki bukan menjadi urusan manusia. Manusia hanya berusaha dan berikhtiar sementara hasilnya Tuhan yang menentukan. Selain unsur-unsur di atas, hal lain yang membuat nelayan Madura gigih dan giat bekerja sebagai nelayan adalah keyakinan bahwa bekerja adalah kewajiban hidup untuk mencari nafkah bagi keluarga yang ditinggalkannya. Bekerja adalah ibadah wajib yang harus dilaksanakan sama halnya dengan ibadahibadah wajib lain yang disyaratkan oleh agama. Karena bekerja adalah ibadah, barang siapa yang mati ketika sedang beribadah, maka dia mati dalam keadaan suci dan syahid. Begitulah, pemahaman mereka terhadap pekerjaannya sebagai nelayan yang membuat mereka tidak pernah kehilangan nyali menjalankannya. Soto Madhura dan Es Lilin Cabbi adalah lagu yang mengungkap kehidupan orang Madura yang bekerja sebagai pedagang kecil-kecilan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang Madura tidak pernah mengenal gengsi dalam melakukan pekerjaan. Bagi mereka pekerjaan apapun harus digeluti dan ditekuni

36

dengan syarat pekerjaan tersebut tidak merugikan siapapun dan tidak melanggar hukum apapun, baik hukum negara terlebih hukum agama. Orang Madura pantang menghindari pekerjaan yang susah dan tidak pernah memilih-milih dalam bekerja karena mereka percaya bahwa pekerjaan apapun kalau ditekuni dengan baik akan memberikan hasil untuk kehidupan mereka. Pada dasarnya, orang Madura pantang meminta belas kasihan orang lain. Lebih baik bekerja dengan susah payah daripada harus menjadi pengemis yang dalam pandangan mereka mengemis tidak ada bedanya dengan memelacurkan diri yang merupakan perbuatan hina dan sama sekali bertentangan dengan tuntutan agama maupun budaya masyarakat Madura. Pajjhar Laggu, Pajjhar, Ghu-Toghu Saba, Ronjhangan dan Mosem Anye adalah lagu yang berkaitan erat dengan kehidupan sebagian orang Madura sebagai petani. Meskipun sebagian besar tanah Madura adalah tanah yang bersifat tadah hujan, hal itu tidak menyurutkan usaha mereka untuk mengolah tanah dengan menanam berbagai macam tanaman. Ada beberapa jenis tanaman yang ditanam, antara lain adalah padi, jagung, tembakau dan umbi-umbian. Tanaman padi biasanya diusahakan ketika musim penghujan, sedangkan tembakau biasanya ditanam pada waktu musim kemarau. Umbi-umbian biasa ditanam di pekarangan rumah dan ladang yang tidak banyak membutuhkan air. Dalam lagu-lagu tersebut digambarkan kehidupan sehari-hari orang Madura yang bekerja sebagai petani. Pagi-pagi buta menjelang subuh mereka harus bangun untuk menyiapkan diri bekerja di sawah dan ladang. Mereka membawa peralatan seadanya seperti cangkul, sabit dan lainnya untuk mengolah sawah dan ladangnya. Mereka tampak senang bekerja sebagai petani karena bekerja adalah kewajiban bagi mereka untuk menjadikan bangsa dan negara ini makmur. Ini dapat ditemukan dalam lirik A jhalananna ghi sarat kawajibhan. Atatamen mabannya hasel bhumena. Mamamorna nagharana ban bangsana. Di samping itu, dalam lagu Ghu-Toghu Saba digambarkan kegiatan petani yang giat menjaga padinya dari serangan burung pemakan padi. Biasanya yang menjaga padi di sawah adalah para ibu ataupun anak-anak mereka yang belum mampu bekerja mengolah tanah sawah dan ladang. Hal yang patut disoroti

37

dalam keluarga petani adalah pembagian kerja di antara anggota keluarga. Orang laki-laki biasanya mengerjakan hal-hal yang berat seperti mencangkul dan menyiram tanaman, sedangkan kaum perempuan dan anak-anak cenderung mengerjakan pekerjaan sawah dan ladang yang ringan seperti menjaga padi dari serangan burung, memasang pupuk, dan pekerjaan yang mudah dilakukan lainnya. Sementara Mosem Anye menggambarkan proses memanen padi hasil sawah dan ladang. Ketika musim panen tiba, terlihat jelas kesibukan mereka bekerja di sawah dan ladang. Meskipun sibuk memanen padinya, para petani terlihat sangat gembira dan semakin bersemangat untuk bekerja di sawah dan ladang karena hasil yang mereka tunggu-tunggu sejak lama sudah ada di depan mata. Dalam kegiatan panen seperti itu, terlihat juga suasa kegotongroyongan. Mereka bergotong-royong secara bergantian memanen hasil sawah dan ladang. Terlihat juga suasana kekeluargaan dan keakraban di antara mereka. Setelah padi dipanen, aktivitas berikutnya yang dilakukan petani adalah menumbuknya menggunakan alat yang disebut ronjhangan. Kegiatan ini tergambar dalam lagu yang berjudul Ronjhangan. Sama halnya dengan kegiatan lainya, menumbuk padi juga dilakukan secara bergotong-royong. Menumbuk padi terutama dilakukan oleh ibu-ibu dan anak-anak remaja perempuan. Mereka mengerjakannya dengan senang hati. Bunyi ronjhangan yang terdengar gaduh semakin membuat mereka bersemangat melakukan pekerjaan tersebut. Di sini juga terlihat suasana keakraban di antara ibu-ibu tersebut. Sesekali terdengar senda gurau dan gelak tawa yang keluar dari mulut mereka. Sungguh kegiatan ini menjadi pemandangan yang menyenangkan bagi mereka yang melihatnya. Lagu Kerabhan Sape, Malem Kerrabhan, dan Ngambat Lajhangan merupakan lagu-lagu yang menggambarkan aktivitas kebudayaan yang biasa diadakan oleh masyarakat Madura. Kerapan sapi menjadi salah satu obyek wisata yang dapat dinikmati di Madura pada bulan-bulan tertentu. Lagu Ngambat Lajhangan (Bermain Layang-Layang) biasa dilakukan ketika mereka sedang beristirahat setelah bekerja di sawah atau ladang. Kegiatan bermain layang-layang ini biasanya dilakukan ketika musim kemarau karena pada musim itu angin yang berhembus sangat baik untuk menerbangkan layang-layang. Secara

38

budaya, kerapan sapi maupun bermain layang-layang adalah aktivitas yang memerlukan kerjasama ataupun gotong royong. Dalam kerapan sapi, misalnya, diperlukan banyak orang untuk membawa sapi ke arena perlombaan. Dalam situasi itulah terlihat kekompakan dan kegotongroyongan mereka. Pada dasarnya, setiap aktivitas yang dilakukan dalam masyarakat Madura menampilkan suasana kerjasama dan kegotongroyongan. 5.2.4 Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan percintaan Kehidupan percintaan muda-mudi Madura dapat ditemukan dalam lagu yang berjudul Taresna dan Coma Dhika. Dalam kedua lagu tersebut tergambarkan kehidupan pemuda dan pemudi yang sedang dimabuk asmara. Hal yang patut menjadi sorotan di sini adalah bahwa cinta terkadang membuat sakit hati tetapi sakit hati tersebut tidak menjadikan seseorang yang sedang jatuh cinta jera atau dendam. Sakit hati malah membuat seseorang semakin membuat cintanya menggebu-gebu. 5.3. Keterkaitan antara ekspresi jiwa pengarang dengan makna simbolitas hidup masyarakat Madura dalam syair lagu daerah Dua puluh lima lagu yang dianalisis diatas merupakan ekspresi pengarang yang erat kaitannya dengan simbolitas atau kondisi kehidupan nyata masyarakat Madura. Sebagaimana telah diperbincangkan di atas, lagu-lagu tersebut merupakan ekspresi jiwa pengarang yang timbul dari pengamatannya terhadap kondisi sosial budaya masyarakat Madura. Lagu-lagu tersebut merupakan cermin yang merefleksikan kebudayaan, karakter dasar, pola perilaku, etos kerja dan cara hidup masyarakat Madura yang sebagian bekerja sebagai petani, nelayan dan pedagang serta pekerjaan pada sektor informal lainnya. Ada beberapa karakter dasar yang ingin disampaikan dalam lagu-lagu tersebut. Beberapa karakter dasar tersebut antara lain adalah patriotisme, keuletan dalam berusaha, kegigihan, keberanian, kepantangan menyerah terhadap nasib, semangat gotong-royong, kekeluargaan, kepasrahan diri dan lain-lain. Di samping itu, melalui lagu-lagu tersebut pengarang berusaha menggambarkan aktivitas yang 39

dilakukan masyarakat Madura dalam menjalani kehidupan. Dalam hal ini, pengarang berusaha menggambarkan kehidupan petani, nelayan, pedagang dan orang-orang dengan profesi-profesi lainnya serta bagaimana mereka menjalani profesinya masing-masing untuk menghidupi keluarganya. Selain itu, kondisi alam Madura juga tidak lupa digambarkan dalam lagu-lagu tersebut. Melalui lagu-lagu yang diciptakannya pengarang berusaha mengungkap dan menggambarkan orang Madura dengan segala kehidupan sosial budaya, perilaku dan sifatnya serta aktivitas kehidupan kesehariannya. Dalam hal ini, pengarang juga merupakan anggota dari masyarakat yang digambarkannya. Ketika karya berada dalam proses penciptaan, pengarang menempatkan dirinya sebagai seorang pengamat independen terhadap kondisi sosial budaya suatu masyarakat. Pada tahap ini, dia berusaha menjelaskan dan menggambarkan kondisi sosial masyarakat secara obyektif melalui karyanya Namun, ketika karya sudah tercipta dia telah menjadi bagian dari masyarakat yang digambarkannya. Dalam tahapan ini, pengarang tidak lagi menjadi pengarang tetapi ia telah beralih menjadi bagian dari masyarakat yang digambarkannya tersebut. Begitulah keterkaitan antara pengarang dan hasil karya yang diciptakannya terjalin. Karya sastra (dalam hal ini lagu daerah) telah menjadi milik bersama di mana posisi pengarang telah berubah menjadi penikmat. Tidak salah kalau dikatakan bahwa lagu-lagu daerah dilahirkan oleh masyarakat dan untuk masyarakat yang melahirkannya itu sendiri. Mereka merupakan cermin sosial budaya masyarakat itu sendiri. Meskipun lagu-lagu daerah tersebut tidak secara gamblang dan detail menjelaskan kondisi sosial budaya kehidupan masyarakat, setidaknya melaluinya dapat dipahami dan ditafsirkan keadaan sosial budaya masyarakat tersebut. Namun, harus diingat bahwa lagu-lagu daerah tidak sepenuhnya menjelaskan atau merepresentasikan kondisi sosial budaya suatu masyarakat, karena banyak hal yang mungkin tidak dapat digambarkan hanya melalui beberapa kata dalam syairsyair lagu. Namun, setidaknya lagu-lagu daerah tersebut mampu memberikan sedikit gambaran ataupun interpretasi terhadap kondisi sosial budaya masyarakat. Lagu-lagu daerah yang merupakan hasil interpretasi dan imajinasi pengarang berfungsi sebagai simplifikasi gambaran kehidupan sosial budaya masyarakat.

40

Dari analisis terhadap 25 lagu daerah yang telah dipresentasikan sebelumnya dapat ditemukan benang merah yang menjelaskan keterkaitan erat antara ekspresi pengarang dengan makna simbolitas hidup masyarakat Madura. Pengarang merupakan anggota masyarakat itu sendiri yang berusaha

mengungkapkan apa yang dialaminya melalui lagu-lagu yang diciptakannya. Karena pengalaman tersebut diperoleh melalui interaksinya dalam kehidupan bersosial dan bermasyarakat, tidak dapat dipungkiri bahwa lagu-lagu yang dihasilkannya tersebut merupakan gambaran ekspresi kehidupan sosial dan budaya tempat para pengarang itu dilahirkan dan dibesarkan. Dalam hal ini, lagulagu tersebut telah menjadi simbol kehidupan sosial budaya beserta segala aktivitas kehidupan yang terjadi di dalamnya.

41

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap 25 lagu daerah Madura dalam penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa lagu-lagu daerah tersebut merupakan bentuk ekspresi pengarang yang berusaha merepresentasikan kondisi sosial budaya dan kehidupan masyarakat Madura. Makna kehidupan masyarakat Madura dalam simbolitas syair lagu daerah asli Madura dikelompokkan menjadi empat tema besar, yaitu (1) lagu rakyat yang bertemakan dongeng rakyat dan kepahlawanan, (2) lagu rakyat yang bertemakan karakter dasar dan perilaku positif orang Madura, (3) lagu rakyat yang bertemakan kondisi alam dan aktivitas kehidupan sehari-hari orang Madura, dan (4) lagu rakyat yang bertemakan percintaan di antara kaum muda-mudi. Dua puluh lima lagu yang dianalisis di atas merupakan ekspresi pengarang yang erat kaitannya dengan simbolitas atau kondisi kehidupan nyata masyarakat Madura. Lagu-lagu tersebut merupakan ekspresi jiwa pengarang yang timbul dari pengamatannya terhadap kondisi sosial budaya masyarakat Madura. Mereka merupakan cermin yang merefleksikan kebudayaan, karakter dasar, pola perilaku, etos kerja dan cara hidup masyarakat Madura yang sebagian bekerja sebagai petani, nelayan, pedagang dan pekerjaan di sektor informal lainnya. Dari hasil analisis terungkap bahwa ada hubungan erat antara ekspresi pengarang dalam lagu-lagu yang dihasilkannya dengan simbolitas kehidupan sosial budaya masyarakat Madura yang digambarkannya. Pengarang dalam hal ini berusaha menjelaskan kondisi kemasyarakatan dan kebudayaan Madura melalui lagu-lagu yang diciptakannya.

6.2. Saran Penelitian ini sebatas membahas simbolitas kehidupan masyarakat Madura sebagaimana terekspresikan dalam sejumlah lagu daerah asli Madura.

42

Penelitian ini belum sampai pada usaha pengidentikasian dan pemetaan jenis-jenis syair lagu daerah sesuai dengan karakter masing-masing masyarakat di empat kabupaten di Madura. Untuk tujuan tersebut, penelitian yang akan datang sebaiknya dilakukan secara kualitatif deskriptif dan lebih menitikberatkan proses identifikasi syair lagu dan hasil pemetaan tersebut dipublikasikan secara luas melalui penulisan buku dan media massa. Upaya rencana penelitian kedepan ini diharapkan mampu meredam perubahan sosial yang berdampak destruktif terhadap masa depan bahasa dan karya sastra Madura sehingga kelestariannya tetap terjaga dan dapat dituturkan serta dinikmati oleh generasi yang akan datang.

43

DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literature Term. New York : Rinehart and Winston Inc. Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Eco, Umberto. 1978. Literary Theory, An Introduction. Oxford : Basil Blackwell. Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Hawkes, Terence. 1977. Structuralism and Semiotics. London : Methuen and Co. Jalil, Danie Abdul. 1985. Teori dan Periodesasi Puisi Indonesia. Bandung : Angkasa. Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, Williem G. Westeijn. 1984. Pengantar Umum Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta : Gramedia Mulders, Niels. 1973. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Pradopo, Rachmat Djoko. 1988. Pengkajian Puisi. Cetakan kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Rifai, Mien Ahmad. 2007. Manusia Madura. Yogyakarta: Pilar Media. Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. London : Indiana University Press. Sariono, Agus dan Titik Maslikatin. 2002. Bahasa dan Sastra Using : Ragam dan Alternatif Kajian. Jember : Tapal Kuda. Segers, T. Rien. 1978. The Evoluationof Literary Texts. Lisse: The Petter de Ridder Press. Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung : Angkasa. Tjitraprawira, R. Amirudin dkk. 2003. Kumpulan Lagu-Lagu Madura. Jakarta : Lembaga Pelestarian Kebudayaan Madura. Wellek, Rene and Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta : Gramedia.

44

DRAF ARTIKEL ILMIAH

Abstract The research tried to discover the relationship between the soul expression and life symbolity of Madurese people implied in their traditional songs. The research employed a descriptive-qualitative method utilizing 25 Madurese songs written by Madurese writers as the objects of analysis. The data showed that the meanings contained in the songs fell into four major themes, i.e. (1) folktales and patriotism, (2) basic character and behavior of Madurese people, (3) condition of nature and Madurese peoples daily activities, and (4) stories about young people love relationships. The four explored themes were the writers expressions closely related to their life symbolity and emerged from their observations and experiences of social and cultural conditions of Madurese people. The meanings contained in the songs also reflected the culture, basic character, behavior, work ethic and way of life of Madurese people with all of their activities. Keywords : Writers soul expressions and Madurese song lyrics

PENDAHULUAN Fenomena sosial yang merebak dalam masyarakat Indonesia pada saat ini adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai moral dan budaya dalam kehidupan. Oleh karena itu, sebagai upaya mengantisipasi pengaruh negatif dari perkembangan dan pengaruh kebudayaan global adalah dengan cara mengangkat kembali kebudayaan dan tradisi kesenian daerah. Upaya mengangkat tradisi daerah tidak semudah membalikkan telapak tangan karena kebanyakan generasi muda di Indonesia sudah tidak mengenali kesenian daerah. Kenyataan tersebut membutuhkan media untuk membangkitkan kembali berbagai bentuk kesenian daerah dengan cara ditampilkan dalam berbagai kesempatan. Salah satu gugusan pulau di Indonesia yang intens menyelenggarakan berbagai kegiatan kesenian daerahnya adalah Madura. Pulau Madura yang dekat dengan Jawa dan Bali mempunyai kekhasan sendiri dalam berkesenian. Kekayaan kesenian yang ada di Madura dibangun dari berbagai unsur budaya yang dipengaruhi paham animisme, hinduisme dan islam. Secara garis besar kesenian Madura diklasifikasi menjadi empat kelompok yakni, seni musik/seni suara, seni tari/gerak, seni pertunjukkan dan upacara ritual. Pada perkembangan saat ini, keempat kesenian Madura yang paling menonjol adalah seni musik/seni suara selain kerapan sapi sebagai salah satu bentuk seni pertunjukkan yang digemari. Perkembangan seni musik dan suara yang pesat tercermin dari banyak lahirnya syair-syair lagu daerah Madura yang telah dimodifikasi dengan alat musik modern. Syair-syair lagu Madura ini menjadi akrab di telinga generasi muda karena diiringi aliran musik yang digemari mereka seperti pop dan dangdut bahkan juga disko. Hal itu menjadi berita yang menggembirakan karena melalui syair lagu daerah, pengarang dapat 45

mengungkapkan ekspresi jiwa dan menyampaikan pesan moral tentang budaya Madura serta kehidupan masyarakatnya. Syair lagu daerah Madura dapat digolongkan dalam sastra setengah lisan karena penuturannya diiringi dengan musik. Hutomo (1991) menyatakan bahwa sastra lisan dibagi menjadi dua bagian yaitu sastra lisan murni dan sastra lisan setengah lisan. Pengertian sastra lisan murni adalah sastra lisan yang dituturkan secara murni dari mulut ke mulut. Sedangkan sastra lisan setengah murni adalah sastra lisan yang penuturannya dibantu dengan bentuk-bentuk seni lain. Seni musik dan tari yang digunakan sebagai pengiring syair lagu daerah Madura adalah kendang dan seruling. Irama yang mengikutinya adalah pop dan dangdut. Pengiring lagu daerah Madura pada umumnya adalah musik khas, dengan demikian lagu dan seni musik daerah Madura memiliki corak kekhususan dan dapat mencerminkan kehidupan sosial masyarakat pendukungnya. Keberadaan syair lagu daerah Madura yang berisikan pandangan hidup masyarakat Madura meskipun mulai digemari generasi muda namun tetap dirasakan sulit untuk dipahami makna syairnya. Kenyataan itu disebabkan adanya anggapan masyarakat di masyarakat, utamanya generasi muda, bahwa syair lagu daerah Madura menggunakan bahasa yang sulit dipahami, karena sarat dengan simbol-simbol. Oleh sebab itu, diperlukan adanya perhatian yang serius dari pengarang, penyanyi dan pengamat seni serta instansi yang terkait terhadap perkembangan syair lagu daerah. Kesulitan dalam memahami simbol-simbol serta faktor kebahasaan telah ditanggapi oleh para pengarang lagu daerah Madura yang pada umumnya adalah orang asli Madura. Beberapa pengarang lagu daerah Madura sepakat menjadikan syair lagu daerah Madura yang awalnya adalah sastra setengah lisan untuk dibukukan atau dikumpulkan menjadi tulisan, sehingga diharapkan lebih mudah memahami makna kata dalam syair lagu selain dengan cara mendengarkan syair dengan iringan musik juga dapat melantunkannya dengan membaca buku kumpulan lagu daerah Madura. Salah satu buku kumpulan syair lagu daerah Madura yang telah diterbitkan adalah Kumpulan Lagu Daerah Madura oleh sepuluh orang pengarang lagu Madura, yakni : R. Amirudin Tjitraprawira, Abd. Moeid Qowi, M. Irsyad, Abd. Moebin, Adrian Pawitra, M. Toib, Riboet Kamirin, R. Suudin Achmad, Adhira dan Abd. Azis. Buku yang diterbitkan oleh Lembaga Pelestarian Kesenian Madura ini juga disertai terjemahan dalam syair Bahasa Indonesia. Buku kumpulan lagu daerah Madura tersebut diterbitkan dengan target supaya dapat dinikmati oleh semua orang dari berbagai kalangan dan secara langsung atau tidak lagsung memudahkan penikmat syair lagu daerah Madura. Syair lagu-lagu di dalam buku Kumpulan Lagu Daerah Madura dihimpun dari tiga versi yakni : 1). Lagu daerah asli Madura, yang dalam penulisannya ditulis dengan notasi seperti aslinya, 2). Lagu rakyat gubahan, yakni lagu yang diberi lagu pemula dan lagu pengakhir dengan menyisipkan lagu rakyat itu sendiri didalamnya, 3). Lagu rakyat ciptaan, yakni lagu-lagu yang diciptakan oleh para komponis Madura dengan sebagian besar selaras dengan titian nada pentatonis Madura (Titik ciptaannya diungkapkan dari lingkungan hidup rakyat Madura, seperti dari tema dongeng rakyat Madura, perilaku rakyat Madura, kisah asmara

46

dan lain-lain). Ketiga versi tersebut selain memperkenalkan kekhasan khazanah nilai budaya daerah Madura juga berisi pesan moral dan nilai kehidupan yang mendidik sehingga menjadikannya dapat terus hidup dari generasi ke generasi. Hal itu terlihat dari Buku Kumpulan Lagu Daerah Madura yang berhasil merekam dalam bentuk tulisan 106 lagu daerah Madura yang pernah populer pada Masyarakat Madura. Dari 106 lagu daerah Madura yang ditulis dalam buku di atas, 25 lagu diantaranya merupakan lagu daerah yang asli, yakni:Tondu Majang, Ole Olang, Pa-Opa iling, Soto Madhura, Kerabhan Sape, Lir-Saalir, Es Lilin Cabbi, Ronjhangan, Kembhangnga Naghara, Pahlawan Trunojoyo, Entara Akarang, Les-Balesan, Pa kopa Eling, E Tera Bulan, Taresna, Malem Kerrabhan, Caca Aghuna, Coma Dhika, Palabbhuwan Kamal, Pajjhar Laggu, Pacakang Alako, Pajjhar, GhuToghu Saba, Ngambat Lajhangan. Di Indonesia, syair lagu-lagu daerah asli yang ditulis, dikumpulkan dan dituangkan dalam bentuk tulisan masih sangat terbatas jumlahnya. Syair lagu masih dimonopoli oleh syair lagu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan media rekaman baik kaset, VCD dan DVD. Keterbatasan akses syair lagu daerah khususnya Madura dari berbagai sarana menyebabkan penikmatnya kesulitan memahami makna dari ekspresi jiwa pengarang dan simbol-simbol bahasanya. Fenomena ini memperkuat anggapan bahwa syair lagu daerah sulit dipahami maknanya sehingga pesan dan nilai-nilai moral, sosial serta budaya tidak tersampaikan pada generasi muda. Berbicara tentang pesan nilai-nilai moral, sosial, dan budaya dalam syair lagu daerah Madura berarti berbicara pula bahasa serta simbol dari bahasa syair Madura. Bahasa dalam syair lagu daerah Madura merupakan ekspresi jiwa pengarang yang diartikan sebagai ungkapan perasaan, pikiran, cita-cita dan harapan pengarang serta masyarakat Madura. Sedangkan simbol bahasa (simbolitas) diartikan sebagai lambang atau penanda kehidupan sosial masyarakat Madura dalam menciptakan makna tertentu dengan merujuk pada realitas yang lain berdasarkan pengalaman kehidupan. Keterkaitan antara ekspresi jiwa pengarang dengan simbol kehidupan masyarakat Madura mengacu pada konteks warna lokal daerah dalam karya sastra. Menurut Semi (1988) sastra adalah suatu bentuk hasil kreativitas yang mempunyai objek manusia dan kehidupannya dengan medium bahasa. Seorang sastrawan menuangkan ide, gagasan dan pengalaman hidupnya dengan objek nilai-nilai moral, sosial, budaya dan hal-hal yang sering ditemuinya dalam kehidupan. Harianto (1984) menyatakan apabila realitas kehidupan merupakan warna lokal dalam karya sastra maka ekspresi pengarang serta simbol bahasanya merupakan alat komunikasi untuk menanggapi warna lokal daerah yang kemudian menciptakan kembali realitas tersebut dalam karyanya. Pada kenyataan dan fenomena di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam mengungkap makna yang terdapat dalam syair lagu daerah Madura yang merupakan ekspresi jiwa serta simbolitas hidup masyarakat Madura. Syair lagu daerah Madura yang ingin diungkap maknanya dibatasi 25 lagu daerah asli yang ada dalam Buku Kumpulan Lagu Daerah Madura terbitan Lembaga

47

Pelestarian Kesenian Madura pada tahun 2003. Rancangan penelitian ini memanfaatkan teori-teori sosiologi sastra dengan bantuan teori semiotik dan teori simbol untuk memcari kedalaman makna dan mengalihkodekan simbol-simbol yang dipakai dalam syair lagu daerah. Sehubungan dengan pernyataan di atas maka hasil penelitian ini menitikberatkan pada kajian ekspresi jiwa pengarang lagu daerah Madura dalam mengungkap makna kehidupan masyarakat Madura yang terkandung dalam simbolitas syair lagunya. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian sastra Indonesia pada bidang syair khususnya syair lagu daerah tidak begitu banyak, sehingga menjadikan syair lagu daerah semakin tertinggal dibandingkan jenis sastra yang lain. Hal itu menyebabkan literatur sastra yang berkaitan dengan syair lagu daerah menjadi terbatas. Khusus untuk rencana penelitian mengungkap makna syair lagu daerah asli Madura ini sepengetahuan peneliti baru pertamakali dilakukan. Penelitian mutakhir berkaitan dengan syair lagu daerah dilakukan di wilayah Banyuwangi yakni pada masyarakat Osing (2002), selain itu juga di masyarakat Jawa (1988). Syair lagu daerah Madura dalam konteks rencana penelitian ini diidentikkan dengan teks puisi. Karya puisi menurut Pradopo (1988) merupakan pancaran kehidupan sosial, gejolak kejiwaan, dan segala aspek yang ditimbulkan oleh adanya interaksi sosial baik secara langsung maupun tidak langsung, atau dalam periode tertentu. Pancaran itu sendiri berlaku untuk sepanjang masa selama nilai-nilai estetik dari sebuah karya puisi itu berlaku dalam masyarakat. Dalam puisi lama, Jalil (1985) menyatakan sebagai cerminan kebiasaan atau adat istiadat yang tertuang dalam karya puisi seolah-olah merekrut segala pancaran kehidupan. Mustamar (2002) menyakini bahwa syair lagu daerah yang diidentikan dengan puisi juga memiliki misi yang sama yakni mengungkapkan pancaran kehidupan sosial dan gejolak kejiwaan masyarakat daerah sebagai pemilik atau penciptanya. Ketiga pendapat tersebut semakin memperkuat gagasan untuk mengetahui makna yang terkandung dalam ekspresi jiwa dan simbolitas hidup masyarakat Madura dalam syair lagu daerahnya. Sehubungan dengan keinginan mengungkap makna dalam karya sastra maka teori sosiologi sastra diperbantukan untuk menjelaskan kenyataan sosial (Mulder, 1973). Hal tersebut merujuk pendapat Soekanto (1986), ilmu sosiologi adalah ilmu yang mempelajari : 1) hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial, 2) hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala-gejala sosial dengan gejala-gejala non-sosial, dan 3) ciri-ciri umum dari semua jenis gejala sosial. Teori sosiologi sastra tidak hanya menjelaskan kenyataan sosial, atau hubungan timbal balik antara berbagai gejala sosial yang kemudian dipindahkan pengarang ke dalam karya sastranya. Teori sosiologi sastra juga digunakan untuk menganalisis hubungan wilayah budaya pengarang dengan karyanya, hubungan selera penikmat dengan kualitas cipta sastra dan hubungan gejala sosial yang timbul di sekitar pengarang dan karyanya (Semi, 1990).

48

Teori sosiologi sastra yang digunakan dalam rencana penelitian ini adalah mengacu pada dua teori yang dikemukakan Wallek dan Warren serta Ian Watt. Jenis pendekatan karya sastra yang kemukakan Wallek dan Warren (1989) adalah 1) sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, idiologi pengarang, dan lain-lain yang berhubungan dengan pengarang; 2) sosiologi karya sastra, yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri dan hal-hal yang tersirat di dalamnya; 3) sosiologi sastra, yang mempermasalahkan hubungan timbal balik antara sastra dengan pembacanya. Jenis pendekatan lainnya yang kemukakan oleh Ian Watt (dalam Damono : 1984) adalah 1) konteks sosial pengarang yang mempermasalahkan hubungan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca; 2) sastra sebagai cermin masyarakat, yang mempermasalahkan sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai cermin masyarakat; 3) fungsi sosial, yang mempermasalahkan seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial. Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang objek-objek, peristiwaperistiwa dan seluruh gejala kebudayaan sebagai tanda (Eco : 1978). Semiotik merupakan suatu disiplin yang meneliti semua bentuk komunikasi antar makna yang didasarkan pada sistem tanda (Segers : 1978). Pemaknaan tanda-tanda secara kontekstual dari syair lagu daerah dapat diungkap dengan dibantu menggunakan teori simbol. Teori simbol sebagai wujud lambang budaya dalam syair yang digunakan dalam rencana penelitian ini mengacu pada teori Luxemburg (1989) simbol adalah lambang sesuatu yang berdasarkan perjanjian atau konvensi yang merujuk kepada gagasan atau pengertian tertentu. Dalam hal ini hubungan antara lambang dengan makna bersifat arbitrer atau manasuka. Hartoko dan Rahmanto (1986) mengklasifikasikan simbol menjadi tiga bagian : 1) simbol-simbol universal, yakni yang berkaitan dengan arketipos; 2) simbol kultural, yakni lambang yang dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan tertentu, dan 3) simbol individual, biasanya ditafsirkan dalam konteks keseluruhan karya seorang pengarang. METODE Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Metode ini digunakan oleh peneliti untuk menentukan dan mengembangkan fokus tertentu yakni ekspresi jiwa dan simbolitas hidup masyarakat Madura dalam syair lagu daerahnya, secara terus menerus dengan berbagai hal di dalam sistem sastra. Dipilih cara kerja kualitatif karena peneliti memasuki dunia data yang ditelitinya, memahami dan terus menerus membuat sistematik data guna mencari makna yang sesuai dengan objek penelitiannya. Teknik pengumpulan data dan analisis data akan dilakukan dengan cara : 1. Menentukan populasi syair lagu daerah Madura yang sudah dibukukan untuk digunakan sebagai objek penelitian, yakni seluruh syair lagu-lagu daerah Madura yang sudah dibukukan oleh Lembaga Pelestarian Kesenian Madura tahun 2003. 2. Menentukan sampel penelitian, yaitu seri syair lagu-lagu asli madura yang dikarang oleh pengarang asli Madura serta berdomisili di Madura (ada 25 syair lagu).

49

3. Menganalisis objek penelitian, 25 syair lagu-lagu asli Madura khususnya yang diilhami dari cerita rakyat Madura dengan memanfaatkan teori sosiologi sastra, teori semiotik dan teori simbol. 4. Menyimpulkan dan menyusun laporan akhir. HASIL PEMBAHASAN Makna kehidupan masyarakat Madura dalam simbolitas syair lagu Madura Syair lagu-lagu yang tdi dalam buku Kumpulan Lagu Daerah Madura dihimpun dari tiga versi yakni: 1). Lagu daerah asli Madura, yang dalam penulisannya ditulis dengan notasi seperti aslinya, 2). Lagu rakyat gubahan, yakni lagu yang diberi lagu pemula dan lagu pengakhir dengan menyisipkan lagu rakyat itu sendiri di dalamnya, 3). Lagu rakyat ciptaan, yakni lagu-lagu yang diciptakan oleh para komponis Madura dengan sebagian besar selaras dengan titian nada pentatonis Madura (Titik ciptaannya diungkapkan dari lingkungan hidup rakyat Madura, seperti dari tema dongeng rakyat Madura, perilaku rakyat Madura, kisah asmara dan lain-lain). Ketiga versi tersebut selain memperkenalkan kekhasan khazanah nilai budaya daerah Madura juga berisi pesan moral dan nilai kehidupan yang mendidik sehingga dapat terus hidup dari generasi ke generasi. Apabila dipahami dan dianalisis lebih jauh, kedua puluh lima lagu yang menjadi objek penelitian ini mengandung makna kehidupan masyarakat Madura yang sangat mendalam. Di dalam lagu-lagu tersebut ditemukan beberapa hal yang berkaitan erat dengan kehidupan sosial budaya masyarakat Madura yang syarat dengan ajaran-ajaran moral. Lagu-lagu tersebut menjadi pengingat bagi masyarakat Madura untuk menjaga perilakunya dalam menjalani hidup, baik ketika mereka hidup di antara masyarakat Madura sendiri maupun ketika hidup bersama suku-suku lain yang ada di Indonesia. Berikut ini akan dikelompokkan 25 lagu yang menjadi pusat analisis dalam penelitian ini berdasarkan tema-temanya. Pada dasarnya, tema yang diusung dalam lagu-lagu tersebut berkisar tentang dongeng rakyat Madura, perilaku dan sifat rakyat Madura, kisah asmara dan lain-lain). Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan dongeng rakyat dan kepahlawanan Dari dua puluh lima lagu yang diteliti, terdapat dua lagu yang memiliki tema tentang dongeng rakyat. Lagu-lagu tersebut adalah Kembangnga Naghara dan Pahlawan Trunojoyo. Kedua lagu tersebut berkisah tentang para pahlawan Madura yang gigih berjuang untuk membela keadilan dan kebenaran di bumi Indonesia. Mereka memiliki keberanian dan semangat yang tinggi dan pantang menyerah dalam menghadapi musuh. Hal tersebut sesuai dengan karakter orang Madura yang memang terkenal memiliki pembawaan bangalan (pemberani). Namun, mereka hanya akan berani apabila berada di pihak yang benar dan sebenarnya akan merasa takut apabila berada di pihak yang salah. Berdasarkan penampilannya, seorang Madura mungkin terkesan kecil dan lemah, sehingga tidak perlu diperhitungkan. Akan tetapi, ia mungkin termasuk orang yang dimaksudkan peribahasa kene ta korang bulanna (kecil

50

tidak kurang bulannya), kecil-kecil cabai rawit kata pepatah Melayu yang dimadurakan menjadi ne-kene cabbi lete. Jadi, sekalipun kelihatan teremehkan dan tidak berwibawa, orang Madura bisa berubah menjadi keras polana akerres (keras karena berkeris) sebab memiliki keuletan, kecakapan, dan keberanian yang tangguh. Dengan bermodalkan kebenaran sebagai senjatanya dan disertai dengan rasa keadilan dan kejujuran serta faktor lain yang mendukungnya, pembawaan berani karena benar dapat membuat orang Madura mampu bersikap tegar dan penuh ketegasan menghadapi segala sesuatu di lingkungannya. Keberanian orang Madura juga terungkap dalam ungkapan mon lo bangal acarok jha ngako oreng Madhura (kalau tidak berani bercarok jangan mengaku orang Madhura). Ungkapan ini kedengarannya bernada negatif yang seolah-olah bermakna bahwa orang Madura suka melakukan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan dalam kehidupannya. Sebenarnya, ungkapan ini lebih dimaksudkan agar orang Madura tidak gentar menghadapi musuh kalau memang mereka berada di pihak yang benar. Namun, dalam praktiknya ada sebagian orang yang menyalahgunakan ungkapan tersebut sehingga terkesan bahwa orang Madura memang suka melakukan kekerasan. Kata carok harus dibedakan dengan kata nyelep. Carok sebenarnya adalah suatu bentuk perkelahian yang dilakukan secara berhadap-hadapan, satu lawan satu. Jadi, dalam carok melekat simbol kesatriaan. Sedangkan nyelep bermakna menusuk musuh dari belakang ketika lawan dalam keadaan lengah atau tidak berdaya untuk melakukan perlawanan. Jadi, dalam nyelep sebenarnya terkandung makna dan simbol kepengecutan. Orang yang hanya berani nyelep sebenarnya memiliki jiwa kerdil, pengecut, dan penakut yang pada dasarnya bukan karakter dasar orang Madura. Orang Madura sejatinya suka addhu ada (berhadap-hadapan) ketika harus melawan musuh-musuhnya. Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan perilaku dan sifat positif orang Madura (nasihat) Terdapat enam lagu yang di dalamnya mengandung nasihat bagi masyarakat Madura. Lagu-lagu tersebut adalah Pa-Opa Iling, Lir Saalir, Entar Akarang, Caca Aghuna, Les Balesan, Pajjhar Laggu dan Pacakang Alako. Ada beberapa nasihat yang dapat ditemukan dalam lagu-lagu tersebut. Lagu Pa-Opa Iling mengandung nasihat agar orang Madura selalu ingat dan sadar terhadap apa yang dilakukannya. Pa-Opa Iling sebenarnya bermakna memberi teguran agar seseorang ingat dan menyadari apa yang telah diperbuatnya dengan tujuan apabila perbuatannya salah, orang tersebut bisa menyadari kesalahannya dan memperbaiki perilaku atau perbuatan yang salah tersebut. Nasihat yang dapat dipetik dalam lagu Lir Saalir adalah bahwa orang Madura harus selalu berpikir sebelum bertindak atau dalam bahasa Inggrisnya Look before you leap. Hal ini harus dilakukan karena apabila perbuatan yang dilakukan atau keputusan yang diambil tidak tepat, hal tersebut akan menimbulkan kerugian dan penyesalan di kemudian hari. Keahlian memikirkan segala konsekuensi dari setiap perkataan dan perilaku atau perbuatan kita kepada orang lain merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh orang Madura agar tidak

51

terjadi penyesalan nantinya. Hal ini sesuai dengan ungkapan dalam bahasa Madura ada kasta e ada, yang artinya penyesalan datangnya tidak pernah di depan karena orang hanya akan menyesal setelah mengetahui bahwa apa yang telah dilakukan atau dijalaninya tidak benar dan merugikan baik kepada dirinya sendiri, keluarga maupun orang lain di sekitarnya. Caca Aghuna juga mengandung nasihat penting dan merupakan simbol atau cerminan masyarakat Madura untuk berkata-kata yang berguna. Bagi masyarakat Madura, lebih baik diam daripada berbicara tetapi tidak ada artinya atau hanya dapat menimbulkan permusuhan di antara mereka. Orang yang suka berbicara cenderung melakukan kebohongan karena ketika mereka tidak punya bahan pembicaraan cenderung berkata yang tidak berguna dan dibuat-buat. Dalam bahasa Madura orang yang demikian dikatakan dengan raja ghaludhugga ta kera raja ojhana yang dapat diterjemahkan secara bebas dengan tong kosong nyaring bunyinya. Ungkapan akotak ta atellor (berkotek tetapi tidak bertelur) dan colo balijjha (mulut penjaja keliling) juga merupakan ungkapan-ungkapan yang ditujukan kepada orang yang suka berkata yang tidak bermanfaat atau suka berbohong yang pada dasarnya sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat Madura secara umum. Dalam hubungannya dengan itu, orang Madura juga harus berhati-hati dan waspada dalam berbicara agar mereka tidak menjadi seperti terana dhamar (terangnya lampu), karena orang umumnya hanya mampu memberikan petunjuk kepada orang lain tanpa berusaha memberikan penerangan kepada dirinya sendiri. Seperti umum diketahui, pelita sudah pasti dapat menerangi lingkungan sekitarnya tetapi ia tidak mampu menerangi dirinya sendiri. Dalam hubungan kehidupan bermasyarakat, banyak kita menemukan orang yang suka memberikan petunjuk, petuah maupun nasihat sementara mereka sendiri tidak mampu melaksanakan petunjuk tersebut. Orang seperti ini juga diungkapkan dengan tao nyekot ta tao ajhai (tahu memotong pola tetapi tidak tahu menjahitnya) atau bisa memberikan kritikan tetapi tidak mampu menunjukkan cara penyelesaiannya. Hal yang dapat dipetik dari lagu ini adalah bahwa orang Madura tidak boleh mengatakan sesuatu yang tidak berguna. Lebih baik diam daripada harus berkata bohong atau tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri terlebih bagi orang lain yang ada di sekitarnya. Selain itu, mereka juga harus hati-hati dalam memberikan saran, kritikan, ataupun petunjuk kepada orang lain karena orang yang berani memberikan saran dan sejenisnya harus berani melaksanakannya sendiri seperti terungkap dalam peribahasa bangal ajhuwal bangal melle (berani menjual berani membeli). Memberikan saran, kritikan dan petunjuk adalah hal yang sangat mudah dilakukan karena tinggal membuka bibir saran tersebut bisa muncul (bibir attas ban bibir baba ghampang akebbi). Memang, lidah itu kecil bentuknya tetapi sangat besar akibat yang ditimbulkannya apabila mengucapkan sesuatu yang seharusnya tidak diucapkan. Dalam hal ini, kiranya tepat apabila dikatakan mulutmu adalah harimaumu. Lagu yang berjudul Les-Balesan (Saling Membalas) berusaha mengungkap makna bahwa masyarakat Madura harus saling bekerja sama atau bergotong royong dalam kehidupan sehari-hari mereka supaya suasana hidup yang harmonis dan penuh kekeluargaan dapat tercipta di antara mereka. Orang

52

Madura pantang meminta bantuan sementara dirinya enggan membantu orang lain ketika dia mampu melakukannya. Orang yang hanya mau meminta bantuan tetapi tidak mau membalasnya dikatakan mella salajha (melihat sebelah mata). Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau masyarakat Madura termasuk kelompok etnis yang rasa ikatan kekeluargaannya sangat tinggi. Ungkapan taretan dhibi yang bermakna saudara sendiri sering digunakan ketika mereka bertemu di perantauan meskipun sebenarnya tidak ada hubungan darah. Ini merupakan cerminan kehidupan masyarakat Madura yang suka bergotong royong dan saling membantu di antara sesama mereka. Pacakang Alako (Giat-Giatlah Bekerja) adalah lagu yang mengajak orang Madura untuk selalu giat bekerja. Dari dulu, orang Madura dikenal memiliki etos kerja yang tinggi. Oreng Madhura ta tako mate, tape tako kalaparan (orang Madura tidak takut mati tetapi takut kelaparan) merupakan ungkapan yang menjelaskan sikap pasrah orang Madura terhadap kematian karena kematian bersifat wajib dan merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa. Hal yang ditakutkan orang Madura adalah kelaparan yang disebabkan oleh ulah dirinya yang tidak rajin dan giat bekerja. Orang Madura memiliki karakter yang sangat luar biasa menyangkut kerajinan, kesungguhan, serta kemauannya bekerja keras (dalam Rifai 2003). Orang Madura dikenal sebagai pekerja ulet yang tidak sungkan membanting tulang dalam mencari rezekinya. Pekerjaan apa saja akan mereka geluti asalkan menghasilkan dan halal dalam memperolehnya. Ungkapan kar-ngarkar colpe (mengais terus mematuk) merupakan cerminan karakter orang Madura yang mau bersusah payah dan penuh kesabaran untuk melakukan kegiatan yang kelihatannya sepele untuk kemudian meraup hasilnya yang mungkin tidak seberapa. Bagi mereka tidak ada pekerjaan menghinakan selama itu halal dan diridai Allah sehingga mereka tidak sungkan menjadi tukang rombeng, pengumpul besi tua, buruh tani, pedagang kaki lima, pengemudi becak, bakul rujak, tukang cukur pinggir jalan, kuli pelabuhan, pedagang asongan, penjual sate, penambang perahu, dan pekerjaan kasar lainnya. Orang Madura seakan-akan tidak mengenal lelah dalam berikhtiar meskipun harus berjemur di bawah terik matahari. Mereka tidak akan takut bekerja keras untuk menghadapi pekerjaan berat, sekalipun harus mengeluarkan keringat kuning (makalowar pello koneng). Tidak jarang di waktu susah mereka harus ngakan asella are (makan berselang), artinya sehari makan sehari puasa. Di mata orang Madura, tidak ada tempat bagi oreng lemmos (orang malas bertubuh lemah) atau orang dhalmos (orang malas yang tidak suka bekerja), oreng bhair (orang malas yang suka bermain), serta orang-orang yang sama sekali tidak berupaya untuk melakukan sesuatu bagi kehidupannya. Orang-orang seperti diibaratkan sebagai sampah yang tidak berguna dalam kehidupan. Dalam hubungannya dengan hal di atas, usaha keras yang dilakukan orang Madura harus menghasilkan sesuatu. Setiap kegiatan harus bada kettosanna (ada bentuk akhir nyatanya) dan segala pekerjaan perlu dipastikan supaya bada beddhalanna (ada buah, wujud, atau hasilnya). Oleh karena itu, orang Madura tidak menyukai suruhan, petugas atau utusan yang bersifat bu-tambu cellot (orang yang disuruh melakukan sesuatu tetapi tidak ada hasilnya), atau tada

53

tondung balina (orang yang berangkat pergi tidak ada berita dan tidak pernah datang kembali). Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan alam dan aktivitas yang dilakukannya Terdapat beberapa lagu yang berusaha mengungkap kehidupan masyarakat Madura dalam hubungannya dengan alam dan aktivitas hidup seharihari. Lagu-lagu yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah :Tondu Majang, Ole Olang, Soto Madhura,Kerabhan Sape, Es Lilin Cabbi, Ronjhangan,, Entara Akarang, E Tera Bulan, Malem Kerrabhan, Palabbhuwan Kamal, Mosem Anye, Pajjhar Laggu, Pajjhar, GhuToghu Saba, dan Ngambat Lajhangan. Lagu Tondu Majang dan Ole Olang menggambarkan kehidupan orang Madura yang bekerja sebagai nelayan. Dalam lagu itu terungkap kegigihan dan semangat para nelayan Madura yang tidak pernah merasa takut menghadapi segala risiko dan bahaya yang dapat mengancam nyawa mereka sewaktu mencari ikan di laut. Kerasnya gelombang, kencangnya angin laut, panasnya terik matahari, dan dinginnya air hujan tidak menyurutkan niat mereka untuk melaut. Bagi mereka gelombang adalah laksana bantal, sedangkan angin bagaikan selimut. Hal ini ditemukan dalam lirik lagu abantal omba asapo angen. Meskipun tidak jarang mereka pulang tanpa membawa hasil tangkapan apapun dan tidak jarang juga yang harus meregang nyawa di tengah-tengah laut yang terkadang tidak bersahabat, keadaan demikian tidak membuat mereka jera bekerja sebagai nelayan atau kehilangan nyali untuk melaut. Bagi mereka semua itu adalah risiko pekerjaan yang tidak boleh mereka hindari atau takuti karena semuanya sudah diatur oleh Tuhan Yang Maha Esa. Kematian dan rezeki bukan menjadi urusan manusia. Manusia hanya berusaha dan berikhtiar sementara hasilnya Tuhan yang menentukan. Selain unsur-unsur di atas, hal lain yang membuat nelayan Madura gigih dan giat bekerja sebagai nelayan adalah keyakinan bahwa bekerja adalah kewajiban hidup untuk mencari nafkah bagi keluarga yang ditinggalkannya. Bekerja adalah ibadah wajib yang harus dilaksanakan sama halnya dengan ibadahibadah wajib lain yang disyaratkan oleh agama. Karena bekerja adalah ibadah, barang siapa yang mati ketika sedang beribadah, maka dia mati dalam keadaan suci dan syahid. Begitulah, pemahaman mereka terhadap pekerjaannya sebagai nelayan yang membuat mereka tidak pernah kehilangan nyali menjalankannya. Soto Madhura dan Es Lilin Cabbi adalah lagu yang mengungkap kehidupan orang Madura yang bekerja sebagai pedagang kecil-kecilan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang Madura tidak pernah mengenal gengsi dalam melakukan pekerjaan. Bagi mereka pekerjaan apapun harus digeluti dan ditekuni dengan syarat pekerjaan tersebut tidak merugikan siapapun dan tidak melanggar hukum apapun, baik hukum negara terlebih hukum agama. Orang Madura pantang menghindari pekerjaan yang susah dan tidak pernah memilih-milih dalam bekerja karena mereka percaya bahwa pekerjaan apapun kalau ditekuni dengan baik akan memberikan hasil untuk kehidupan mereka. Pada dasarnya, orang Madura pantang meminta belas kasihan orang lain.

54

Lebih baik bekerja dengan susah payah daripada harus menjadi pengemis yang dalam pandangan mereka mengemis tidak ada bedanya dengan memelacurkan diri yang merupakan perbuatan hina dan sama sekali bertentangan dengan tuntutan agama maupun budaya masyarakat Madura. Pajjhar Laggu, Pajjhar, Ghu-Toghu Saba, Ronjhangan dan Mosem Anye adalah lagu yang berkaitan erat dengan kehidupan sebagian orang Madura sebagai petani. Meskipun sebagian besar tanah Madura adalah tanah yang bersifat tadah hujan, hal itu tidak menyurutkan usaha mereka untuk mengolah tanah dengan menanam berbagai macam tanaman. Ada beberapa jenis tanaman yang ditanam, antara lain adalah padi, jagung, tembakau dan umbi-umbian. Tanaman padi biasanya diusahakan ketika musim penghujan, sedangkan tembakau biasanya ditanam pada waktu musim kemarau. Umbi-umbian biasa ditanam di pekarangan rumah dan ladang yang tidak banyak membutuhkan air. Dalam lagu-lagu tersebut digambarkan kehidupan sehari-hari orang Madura yang bekerja sebagai petani. Pagi-pagi buta menjelang subuh mereka harus bangun untuk menyiapkan diri bekerja di sawah dan ladang. Mereka membawa peralatan seadanya seperti cangkul, sabit dan lainnya untuk mengolah sawah dan ladangnya. Mereka tampak senang bekerja sebagai petani karena bekerja adalah kewajiban bagi mereka untuk menjadikan bangsa dan negara ini makmur. Ini dapat ditemukan dalam lirik A jhalananna ghi sarat kawajibhan. Atatamen mabannya hasel bhumena. Mamamorna nagharana ban bangsana. Di samping itu, dalam lagu Ghu-Toghu Saba digambarkan kegiatan petani yang giat menjaga padinya dari serangan burung pemakan padi. Biasanya yang menjaga padi di sawah adalah para ibu ataupun anak-anak mereka yang belum mampu bekerja mengolah tanah sawah dan ladang. Hal yang patut disoroti dalam keluarga petani adalah pembagian kerja di antara anggota keluarga. Orang laki-laki biasanya mengerjakan hal-hal yang berat seperti mencangkul dan menyiram tanaman, sedangkan kaum perempuan dan anak-anak cenderung mengerjakan pekerjaan sawah dan ladang yang ringan seperti menjaga padi dari serangan burung, memasang pupuk, dan pekerjaan yang mudah dilakukan lainnya. Sementara Mosem Anye menggambarkan proses memanen padi hasil sawah dan ladang. Ketika musim panen tiba, terlihat jelas kesibukan mereka bekerja di sawah dan ladang. Meskipun sibuk memanen padinya, para petani terlihat sangat gembira dan semakin bersemangat untuk bekerja di sawah dan ladang karena hasil yang mereka tunggu-tunggu sejak lama sudah ada di depan mata. Dalam kegiatan panen seperti itu, terlihat juga suasa kegotongroyongan. Mereka bergotong-royong secara bergantian memanen hasil sawah dan ladang. Terlihat juga suasana kekeluargaan dan keakraban di antara mereka. Setelah padi dipanen, aktivitas berikutnya yang dilakukan petani adalah menumbuknya menggunakan alat yang disebut ronjhangan. Kegiatan ini tergambar dalam lagu yang berjudul Ronjhangan. Sama halnya dengan kegiatan lainya, menumbuk padi juga dilakukan secara bergotong-royong. Menumbuk padi terutama dilakukan oleh ibu-ibu dan anak-anak remaja perempuan. Mereka mengerjakannya dengan senang hati. Bunyi ronjhangan yang terdengar gaduh semakin membuat mereka bersemangat melakukan pekerjaan tersebut. Di sini juga terlihat suasana keakraban di antara ibu-ibu tersebut. Sesekali terdengar

55

senda gurau dan gelak tawa yang keluar dari mulut mereka. Sungguh kegiatan ini menjadi pemandangan yang menyenangkan bagi mereka yang melihatnya. Lagu Kerabhan Sape, Malem Kerrabhan, dan Ngambat Lajhangan merupakan lagu-lagu yang menggambarkan aktivitas kebudayaan yang biasa diadakan oleh masyarakat Madura. Kerapan sapi menjadi salah satu obyek wisata yang dapat dinikmati di Madura pada bulan-bulan tertentu. Lagu Ngambat Lajhangan (Bermain Layang-Layang) biasa dilakukan ketika mereka sedang beristirahat setelah bekerja di sawah atau ladang. Kegiatan bermain layang-layang ini biasanya dilakukan ketika musim kemarau karena pada musim itu angin yang berhembus sangat baik untuk menerbangkan layang-layang. Secara budaya, kerapan sapi maupun bermain layang-layang adalah aktivitas yang memerlukan kerjasama ataupun gotong royong. Dalam kerapan sapi, misalnya, diperlukan banyak orang untuk membawa sapi ke arena perlombaan. Dalam situasi itulah terlihat kekompakan dan kegotongroyongan mereka. Pada dasarnya, setiap aktivitas yang dilakukan dalam masyarakat Madura menampilkan suasana kerjasama dan kegotongroyongan. Makna kehidupan masyarakat Madura dalam lagu yang bertemakan percintaan Kehidupan percintaan muda-mudi Madura dapat ditemukan dalam lagu yang berjudul Taresna dan Coma Dhika. Dalam kedua lagu tersebut tergambarkan kehidupan pemuda dan pemudi yang sedang dimabuk asmara. Hal yang patut menjadi sorotan di sini adalah bahwa cinta terkadang membuat sakit hati tetapi sakit hati tersebut tidak menjadikan seseorang yang sedang jatuh cinta jera atau dendam. Sakit hati malah membuat seseorang semakin membuat cintanya menggebu-gebu. Keterkaitan antara ekspresi jiwa pengarang dengan makna simbolitas hidup masyarakat Madura dalam syair lagu daerah Dua puluh lima lagu yang dianalisis diatas merupakan ekspresi pengarang yang erat kaitannya dengan simbolitas atau kondisi kehidupan nyata masyarakat Madura. Sebagaimana telah diperbincangkan di atas, lagu-lagu tersebut merupakan ekspresi jiwa pengarang yang timbul dari pengamatannya terhadap kondisi sosial budaya masyarakat Madura. Lagu-lagu tersebut merupakan cermin yang merefleksikan kebudayaan, karakter dasar, pola perilaku, etos kerja dan cara hidup masyarakat Madura yang sebagian bekerja sebagai petani, nelayan dan pedagang serta pekerjaan sektor informal lainnya. Ada beberapa karakter dasar yang ingin disampaikan dalam lagu-lagu tersebut. Beberapa karakter dasar tersebut antara lain adalah patriotisme, keuletan dalam berusaha, kegigihan, keberanian, kepantangan menyerah terhadap nasib, semangat gotong-royong, kekeluargaan dan lain-lain. Di samping itu, melalui lagu-lagu tersebut pengarang berusaha menggambarkan aktivitas yang dilakukan masyarakat Madura dalam menjalani kehidupan. Dalam hal ini, pengarang berusaha menggambarkan kehidupan petani, nelayan, pedagang dan orang-orang dengan profesi-profesi lainnya serta bagaimana mereka menjalani profesinya

56

masing-masing untuk menghidupi keluarganya. Selain itu, kondisi alam Madura juga tidak lupa digambarkan dalam lagu-lagu tersebut. Melalui lagu-lagu yang diciptakannya pengarang berusaha mengungkap dan menggambarkan orang Madura dengan segala kehidupan sosial budaya, perilaku dan sifatnya serta aktivitas kehidupan kesehariannya. Dalam hal ini, pengarang juga merupakan anggota dari masyarakat yang digambarkannya. Ketika karya berada dalam proses penciptaan, pengarang menempatkan dirinya sebagai seorang pengamat independen terhadap kondisi sosial budaya suatu masyarakat. Pada tahap ini, dia berusaha menjelaskan dan menggambarkan kondisi sosial masyarakat secara obyektif melalui karyanya Namun, ketika karya sudah tercipta dia telah menjadi bagian dari masyarakat yang digambarkannya. Dalam tahapan ini, pengarang tidak lagi menjadi pengarang tetapi ia telah beralih menjadi bagian dari masyarakat yang digambarkannya tersebut. Begitulah keterkaitan antara pengarang dan hasil karya yang diciptakannya terjalin. Karya sastra (dalam hal ini lagu daerah) telah menjadi milik bersama di mana posisi pengarang telah berubah menjadi penikmat. Tidak salah kalau dikatakan bahwa lagu-lagu daerah dilahirkan oleh masyarakat dan untuk masyarakat yang melahirkannya itu sendiri. Mereka merupakan cermin sosial budaya masyarakat itu sendiri. Meskipun lagu-lagu daerah tersebut tidak secara gamblang dan detail menjelaskan kondisi sosial budaya kehidupan masyarakat, setidaknya melaluinya dapat dipahami dan ditafsirkan keadaan sosial budaya masyarakat tersebut. Namun, harus diingat bahwa lagu-lagu daerah tidak sepenuhnya menjelaskan atau merepresentasikan kondisi sosial budaya suatu masyarakat, karena banyak hal yang mungkin tidak dapat digambarkan hanya melalui beberapa kata dalam syairsyair lagu. Namun, setidaknya lagu-lagu daerah tersebut mampu memberikan sedikit gambaran ataupun interpretasi terhadap kondisi sosial budaya masyarakat. Lagu-lagu daerah yang merupakan hasil interpretasi dan imajinasi pengarang berfungsi sebagai simplifikasi gambaran kehidupan sosial budaya masyarakat. Dari analisis terhadap 25 lagu daerah yang telah dipresentasikan sebelumnya dapat ditemukan benang merah yang menjelaskan keterkaitan erat antara ekspresi pengarang dengan makna simbolitas hidup masyarakat Madura. Pengarang merupakan anggota masyarakat itu sendiri yang berusaha mengungkapkan apa yang dialaminya melalui lagu-lagu yang diciptakannya. Karena pengalaman tersebut diperoleh melalui interaksinya dalam kehidupan bersosial dan bermasyarakat, tidak dapat dipungkiri bahwa lagu-lagu yang dihasilkannya tersebut merupakan gambaran ekspresi kehidupan sosial dan budaya tempat para pengarang itu dilahirkan dan dibesarkan. Dalam hal ini, lagulagu tersebut telah menjadi simbol kehidupan sosial budaya beserta segala aktivitas kehidupan yang terjadi di dalamnya.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap 25 lagu daerah Madura dalam penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa lagu-lagu daerah tersebut merupakan bentuk ekspresi pengarang yang berusaha merepresentasikan kondisi sosial budaya dan kehidupan masyarakat Madura. 57

Makna kehidupan masyarakat Madura dalam simbolitas syair lagu daerah asli Madura dikelompokkan menjadi empat tema besar, yaitu (1) lagu rakyat yang bertemakan dongeng rakyat dan kepahlawanan, (2) lagu rakyat yang bertemakan karakter dasar dan perilaku positif orang Madura, (3) lagu rakyat yang bertemakan kondisi alam dan aktivitas kehidupan sehari-hari orang Madura, dan (4) lagu rakyat yang bertemakan percintaan di antara kaum muda-mudi. Dua puluh lima lagu yang dianalisis diatas merupakan ekspresi pengarang yang erat kaitannya dengan simbolitas atau kondisi kehidupan nyata masyarakat Madura. Lagu-lagu tersebut merupakan ekspresi jiwa pengarang yang timbul dari pengamatannya terhadap kondisi sosial budaya masyarakat Madura. Mereka merupakan cermin yang merefleksikan kebudayaan, karakter dasar, pola perilaku, etos kerja dan cara hidup masyarakat Madura yang sebagian bekerja sebagai petani, nelayan, pedagang dan pekerjaan di sektor informal lainnya. Dari hasil analisis terungkap bahwa ada hubungan erat antara ekspresi pengarang dalam lagu-lagu yang dihasilkannya dengan simbolitas kehidupan sosial budaya masyarakat Madura yang digambarkannya. Pengarang dalam hal ini berusaha menjelaskan kondisi kemasyarakatan dan kebudayaan Madura melalui lagu-lagu yang diciptakannya. Saran Penelitian ini sebatas membahas simbolitas kehidupan masyarakat Madura sebagaimana terekspresikan dalam sejumlah lagu daerah asli Madura. Penelitian ini belum sampai pada usaha pengidentikasian dan pemetaan jenis-jenis syair lagu daerah sesuai dengan karakter masing-masing masyarakat di empat kabupaten di Madura. Untuk tujuan tersebut, penelitian yang akan datang sebaiknya dilakukan secara kualitatif deskriptif dan lebih menitikberatkan pada proses identifikasi syair lagu dan hasil pemetaan tersebut dipublikasikan secara luas melalui penulisan buku dan media massa. Upaya rencana penelitian lanjutan ini diharapkan mampu meredam perubahan sosial yang berdampak destruktif terhadap masa depan bahasa dan karya sastra Madura sehingga kelestariannya tetap terjaga dan dapat dituturkan serta dinikmati oleh generasi yang akan datang.

58

SINOPSIS
JUDUL: Pemetaan Syair Lagu Madura Berdasarkan Karakteristik

Masyarakat di Kabupaten Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep)

Akhir-akhir ini para ahli bahasa atau pengamat kebudayaan telah memprediksikan bahwa dalam kurun waktu mendatang akan banyak bahasa daerah atau bahasa lokal yang mengalami kepunahan, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di belahan bumi yang lain. Kepunahan bahasa akan lebih mudah terjadi pada bahasa-bahasa yang memiliki jumlah penutur yang sedikit. Kepunahan bahasa-bahasa daerah di Indonesia ini berpengaruh juga pada karya-karya sastra daerah lainnya. Karya sastra daerah seiring dengan kepunahan bahasa daerah juga mengalami kepunahan secara perlahan-lahan dengan berkurangnya minat pengarang atau pun penikma karya sastra daerah tersebut. Salah satu gugusan pulau di Indonesia yang memiliki kekayaan sastra daerah adalah Madura. Pulau Madura yang dekat dengan Jawa dan Bali

mempunyai kekhasan sendiri dalam sastra daerahnya. Kekayaan sastra daerah yang ada di Madura dibangun dari berbagai unsur budaya yang dipengaruhi paham animisme, hinduisme dan islam. Secara garis besar sastra daerah Madura diklasifikasi menjadi dua kelompok yakni, sastra tertulis dan sastra lisan. Pada perkembangan saat ini, sastra daerah Madura mengalami penurunan kualitas baik dari sisi kuantitas pengarang dan penikmat maupun kualitas karya dan kritik terhadap karya. Kerisauan dan kecemasan para ahli atau pengamat budaya terhadap kepunahan bahasa dan sastra daerah tidak semata-mata difokuskan pada hilangnya entitas bahasa sebagai sarana komunikasi atau interaksi antarsesama dalam menghasilkan karya sastra daerah, tetapi lebih pada persoalan sirnanya konsep dan nilai-nilai budaya lokal yang terkandung di dalam simbol-simbol atau ungkapan kebahasaannya. Nilai-nilai itu merupakan kekayaan peradaban manusia dan pencerminan interaksi manusia dengan lingkungannya.

59

Kearifan-kearifan lokal dapat teraktualisasi dalam ungkapan serta karyakarya sastra yang ada baik tulisan maupun lisan. Hal seperti ini yang tidak bisa dikompensasikan oleh peranan pengganti dari bahasa yang lain misalnya bahasa nasional (Indonesia) karena bahasa dan karya sastra daerah tersebut sesungguhnya merupakan unsur penting identitas budaya masyarakat penuturnya. Kepunahan bahasa dan karya sastra daerah salah satunya syair lagu seperti yang ada di Madura merupakan fenomena global seiring dengan perubahanperubahan besar di berbagai bidang kehidupan manusia. Revolusi di bidang ekonomi-industri dan teknologi informasi komunikasi yang memperkuat gejala kapitalisme global memiliki andil yang sangat besar di dalam akselerasi pemunahan bahasa daerah maupun karya sastranya. Penetrasi insentif dari gejala sosial-ekonomi tersebut telah menyulap masyarakat pedesaan menjadi bagian dari masyarakat global. Daerah-daerah sedang berkembang menjadi daerah-daerah global. Kecenderungan demikian yang terus meningkat di masa mendatang akan membawa konsekuensi-konsekuensi logis di bidang kehidupan sosial budaya masyarakat lokal khususnya aspek bahasa dan sastra. Perspektif pemikiran di atas yang akan digunakan untuk memahami kelangsungan hidup sastra daerah Madura khususnya syair lagu daerah Madura. Penelitian yang telah dilakukan terhadap Ekspresi Jiwa pengarang Syair lagu Madura menunjukkan bahwa syair-syair lagu madura sarat akan makna kehidupan yang mengandung nilai-nilai relegiusitas, sosial dan budaya masyarakat Madura (Misnadin, 2007). Sebagai salah satu karya sastra Madura, syair lagu Madura di masa depan tidak akan terbebas dari dampak kecenderungan gejala kepunahan. Berbagai upaya, seperti kajian ilmiah dan kegiatan penelitian bertujuan untuk menjaga kelangsungan hidup karya sastra Madura telah dilakukan oleh berbagai pihak-pihak yang memiliki kepedulian terhadap sastra daerah. Rencana penelitian lanjutan ini dalam rangka mengetahui seberapa jauh syair-syair lagu daerah di empat kabupaten yakni Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan sumenep telah diidentifikasi baik secara ilmiah maupun alamiah. Identifikasi akan dilakukan dengan memetakan jenis-jenis syair lagu daerah sesuai dengan karakter masing-masing masyarakat di empat kabupaten tersebut di

60

Madura. Metode penelitian akan dilakukan dengan kualitatif deskriptif dan lebih menitikberatkan pada proses identifikasi syair lagu. Hasil pemetaan akan dipublikasikan secara luas melalui penulisan buku dan media massa. Upaya rencana penelitian lanjutan ini diharapkan mampu meredam perubahan sosial yang berdampak destruktif terhadap masa depan bahasa dan karya sastra Madura sehingga kelestariannya tetap terjaga dan dapat dituturkan serta dinikmati oleh anak-cucu nanti.

61

LAMPIRAN PERSONALIA PENELITI :

1. Ketua Peneliti a. Nama lengkap b. Jenis Kelamin c. Golongan/Pangkat dan NIP d. Jabatan fungsional e. Jabatan Struktural f. Fakultas/Program Studi g. Perguruan Tinggi h. Bidang Keahlian i. Waktu untuk penelitian ini : : : : : : : : : Misnadin, S.S. L III-a/Penata Muda/132304312 Asisten Ahli Hukum/Sosiologi Universitas Trunojoyo Bahasa Inggris 20 jam/minggu

Pengalaman Memberi Kuliah : No 1. 2. 3. 4. Mata Kuliah No Tahun 2003-Sekarang 2003-Sekarang 2005 2006 Program S-1 S-1 S-1 S-1

Bahasa Inggris untuk Sosiologi Bahasa Inggris untuk Ilmu Hukum Bahasa Inggris untuk Ilmu Komunikasi English For Communications

Pelatihan/Seminar yang telah diikuti : No. 1. Nama Pelatihan/Seminar Lokakarya Peningkatan Kualitas Peneliti Muda Lokakarya Penulisan Karya Tulis Bahasa Inggris Lokakarya Intensive English Course Pelatihan Pendidikan Kewarganegaraan Tahun 2003 Tempat LPPM Unijoyo Univ.Malang Univ.Malang DIKTI-JKT

2. 3. 4.

2005 2005 2005

62

Penelitian yang pernah dilakukan: No 1. Judul Penelitian Studi Pemertahanan Bahasa Madura di Surabaya (Dana Mandiri) Studi Tentang Kursus Intensif Bahasa Inggris di Lingkungan Universitas Trunojoyo (Dana Dikti-DP2M) Tahun Lokasi

1999

Surabaya

2.

2005

Bangkalan Madura

Dengan ini saya menyatakan kebenaran atas keterangan yang termuat dalam daftar riwayat hidup ini.

Bangkalan, 22 November 2007

(Misnadin,S.S.)

63

2. Anggota Peneliti
a. Nama lengkap b. Jenis Kelamin c. Golongan/Pangkat dan NIP d. Jabatan fungsional e. Jabatan Struktural f. Fakultas/Program Studi g. Perguruan Tinggi h. Bidang Keahlian i. Waktu untuk penelitian ini Pengalaman Memberi Kuliah : No 1. 2. 3. 4. Mata Kuliah Bahasa Indonesia Sosiologi Budaya Sosiologi Lingkungan No Tahun 2004-Sekarang 2004-Sekarang 2005-Sekarang 2005-Sekarang Program S-1 S-1 S-1 S-1 : : : : : : : : : Ekna Satriyati,S.S.,M.Hum. P III-b/Penata Muda Tk.1/132304323 Asisten Ahli Hukum/Sosiologi Universitas Trunojoyo Sistem Sosial Budaya Indonesia 10 jam/minggu

Sistem Sosial Budaya Indonesia

Pelatihan/Seminar yang telah diikuti : Nama Pelatihan/Seminar No. 1. 2. 3. Lokakarya Peningkatan Kualitas Peneliti Muda Lokakarya Penulisan Artikel Berbahasa Inggris Lokakarya Dosen Ilmu Budaya Dasar 2003 2004 2004 LPPM Unijoyo DIKTI-Bdg DIKTI-Bali Tahun Tempat

Penelitian yang pernah dilakukan: No Judul Penelitian Makna Mitos Cindelaras dalam Kehidupan Masyarakat Jawa Barat (Dana Mandiri) Tahun Lokasi Majalaya Jawa Barat

1.

1999

64

2.

Respon Anak-anak terhadap Alokasi Waktu yang diterapkan dikalangan Keluarga Jawa (Dana Mandiri) Strategi Penyelesaian Konflik Sosial-Ekonomi Pada Masyarakat Nelayan (Dana Dikti DP2M)

2000

Yogyakarta

3.

2005

BangkalanMadura

Dengan ini saya menyatakan kebenaran atas keterangan yang termuat dalam daftar riwayat hidup ini.

Bangkalan, 22 November 2007

(Ekna Satriyati,S.S.,M.Hum)

65

PERNYATAAN PENGANTIAN ANGGOTA PENELITI Bersama laporan hasil penelitian ini, saya selaku Ketua Peneliti: Nama : NIP : Misnadin, S.S. 132 304 312

Menyatakan pengantian anggota peneliti lama yakni : Nama : NIP : Yan Ariyani, S.Psi 132 308 996

Diganti dengan anggota peneliti yang baru yakni : Nama : NIP : Ekna Satriyati, S.S.,M.Hum. 132 304 323

Hal tersebut dikarenakan anggota peneliti lama mempunyai jadual kesibukan akademis yang cukup padat sebagai pengelola Program Studi Psikologi di Universitas Trunojoyo yang baru berdiri tahun ini yakni 2007.

Bangkalan, 28 September 2007 Pembuat Pernyataan :

(Misnadin,S.S.)

66

Anda mungkin juga menyukai