Anda di halaman 1dari 15

NASKAH SERAT SITI JENAR DALAM BERBAGAI VERSI

M. Afif Anshori Institut Agam Islam Negeri (IAIN) Raden Intan Bandar Lampung Abstrak Among Javanese Muslim society, Sheikh Siti Jenar was commonly perceived as a legendary figure popular with his opposing view against the mainstream of Muslems view at his time. The article studies the manuscripts of Serat, Suluk, Babad as well as oral tradition widely spread in the society in a comparative perspective pertaining to the figure. Dalam masyarakat Muslim Jawa, Sheikh Siti Jenar adalah tokoh penting yang dijadikan model penentangan terhadap pandangan mainstream kala itu. Tulisan ini mengulas dan membandingkan tiga manuskrip yang bercerita mengenai tokoh tersebut, yaitu Serat, Suluk, Babad, sekaligus cerita lisan yang berkembang di masyarakat. Kata Kunci: Siti Jenar, serat, suluk, babad A. Pendahuluan Dalam diskursus mistisisme Jawa, Syekh Siti Jenar adalah tokoh penting yang tidak dapat dikesampingkan peranannya. Tokoh yang diperkirakan hidup pada abad ke-14 ini memiliki pengaruh kuat terhadap corak-warna mistisisme Jawa pada era sesudahnya, bahkan sampai saat ini. Berdirinya Sarekat Abangan di Kartasura adalah salah satu fakta bahwa ajaran Syekh Siti Jenar bukan hanya sebuah ajaran mistik belaka,

M. Afif Anshori: Naskah Serat Siti Jenar dalam Berbagai Versi

melainkan lebih dari itu, ia adalah sebuah gerakan.1 Ajaran mistiknya yang terkenal dengan manunggaling kawula gusti adalah sebuah ajaran yang tetap tumbuh berkembang di kalangan masyarakat Jawa hingga saat ini. Polemik yang terjadi di kalangan peneliti filsafat mistik atau tasawuf falsafi Syekh Siti Jenar, umumnya berkisar pada persoalan historisitas keberadaan sang tokoh, orisinalitas ajaran yang dikembangkan dan keortodokannya. Di samping itu pula persoalan yang melatarbelakangi munculnya ajaran tersebut menjadi polemik juga, meski tidak setajam pada ketiga persoalan di atas.2 B. Syekh Siti Jenar dalam Berbagai Naskah Syekh Siti Jenar yang menjadi tokoh penting dalam diskursus mistisisme Jawa ini, berbeda dengan tokoh-tokoh mistik yang sealiran dengannya, seperti Hamzah Fansuri, 3 Syamsuddin Sumaterani, 4 Ranggawarsita, dan lain sebagainya.5 Ia tidak meninggalkan karya tulis sama sekali. Karena tidak ada satu pun naskah autentik yang lahir dari tangannya, sehingga penelitian terhadap ajaran tasawuf Syekh Siti Jenar ini sejak awal telah berhadapan dengan sebuah kesulitan besar. Dari persoalan inilah polemik tentang historisitas keberadaan sang tokoh dan keautentikan ajarannya berpangkal. Referensi primer dalam semua penelitian ajaran Syekh Siti Jenar ini mengacu pada Serat dan Suluk Syekh Siti Jenar, yakni sebuah naskah yang tidak mencantumkan nama penulis serta tahun penerbitannya.6 Tanpa data tersebut, maka validitas informasi yang termuat di dalamnya mengundang pertanyaan lebih jauh, apakah ajaran tasawuf yang dinisbatkan kepada
Bratakesawa, Filsafat Siti Djenar (Surabaya: Yayasan Penerbitan Djojobojo, 1995), hlm. 7-8. 2 P.J. Zoetmulder, P.J., Manunggaling Kawula Gusti, trans. Dick Hartoko (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990); Tanoyo (ed.), R., Suluk Wali Sanga (Surakarta: Tanoyo, 1954). 3 M. Afif Anshori, Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansuri (Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2004); Abdul Hadi W.M., Tasawuf Yang Tertindas (Jakarta: Paramadina, 2001). 4 Dahlan, Abdul Aziz, Tasawuf Syamsuddin Sumatrani (Jakarta: Disertasi Doktor IAIN Syarif Hidayatullah, 1992). 5 Simuh, Mistik Kejawen R.Ng. Ronggowarsito: Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Djati (Yogyakarta: Disertasi Doktor, 1985). 6 C.C. Berg, Penulisan Sejarah Jawa, trans. S. Gunawan (Jakarta: Bhratara, 1974), hlm. 171.
1

186 Mukaddimah, Vol. 16, No. 2, 2010

M. Afif Anshori: Naskah Serat Siti Jenar dalam Berbagai Versi

Syekh Siti Jenar adalah benar-benar ajaran tokoh tersebut ataukah sebenarnya ajaran itu adalah paham dari penulis serat itu sendiri.7 Dalam upaya pelacakan terbitnya suatu naskah yang tidak mencantumkan nama penulis dan tahun penerbitannya, langkah yang dilakukan oleh para ahli sejarah adalah meneliti bahasa yang dipergunakannya. Para ahli sejarah membedakan kesusasteraan Jawa berdasarkan bahasanya ke dalam tiga jenis: Jawa Kuno, Jawa Pertengahan dan Jawa Baru. Dominasi corak-warna Hindu-Buddha menjadi ciri yang membedakan antara sastra Jawa Kuno dan Pertengahan dengan Jawa Baru. Sementara sastra Jawa Baru ditandai dengan masuknya unsurunsur Islam. Sastra Jawa Baru ini diperkirakan berlangsung pasca periode Kartasura, yaitu tahun 1744.8 Naskah Serat Seh Siti Jenar yang di dalamnya telah banyak mengakses ayat-ayat al-Quran atau kitab-kitab tasawuf seperti Ihya Ulumuddin, Kitab Smarakandi, Kitab Talmisan mengindikasikan masuknya pengaruh Islam. Begitu pula dengan idiom-idiom doktrin sufistik lainnya. Namun, dalam mengakses ayat al-Quran, hadis Nabi maupun idiom doktrin sufistik yang berasal dari bahasa Arab, mengalami proses Jawanisasi, sehingga kalimatnya menjadi tidak utuh lagi. Perubahan ini terjadi karena beberapa hal: pertama, ungkapan-ungkapan bahasa Arab harus disesuaikan dengan guru lagu dan guru wilangan dalam tembang Jawa, sehingga secara struktur ilmu nahu dan saraf mengalami perubahan. Contoh, pada naskah Mangundarma, pupuh K pada 2 tertulis Ida jaa ajallihim layas takiru, padahal ayat al-Quran tersebut selengkapnya adalah:
(: (

Contoh lain misalnya pada pupuh W pada 6 tertulis waman ngasara rabahu wakat jai lannafsihi, jika dikembalikan pada teks Arab berbunyi . Kedua, pada umumnya lidah orang Jawa cukup sulit mengucapkan kata yang berasal dari bahasa Arab, sehingga terjadi perubahan ucapan. Jika tidak dikembalikan kepada asal kata, maka akan terjadi perubahan arti. Contoh, pada pupuh Z pada 4 tertulis wala umin . lakhotul ngarbi, sedangkan maksudnya adalah
Hamka, Sejarah Umat Islam (Jakarta: Nusantara, t.t.) Sartono Kartodirdjo, Beberapa Fatsal dari Historiografi Indonesia, dalam Lembaran Sejarah II (Agustus, 1968), hlm. 42.
7 8

Mukaddimah, Vol. 16, No. 2, 2010 187

M. Afif Anshori: Naskah Serat Siti Jenar dalam Berbagai Versi

Dari beberapa hal di atas, para ahli sejarah mengklasifikasikan Serat Seh Siti Jenar ke dalam jenis sastra Jawa Baru dan diduga kuat naskah tersebut terbit pasca era Kartasura. Asumsi ini didasarkan pada adanya penyebutan nama-nama kota yang sudah berkembang pesat. Selain itu, pada Naskah Mangundarma, pupuh C pada 24 ada penyebutan kata Belanda, padahal di era tersebut Belanda belum masuk ke nusantara. Naskah Serat Seh Siti Jenar yang beredar saat ini ada beberapa versi, yaitu: pertama, naskah yang terdapat di Perpustakaan Nasional Jakarta pada Peti 113, Kode KBG Nomor 673, judul Seh Siti Jenar, gubahan Mangundarma tahun 1901, Bahasa Jawa Aksara Jawa Rol. 128.02, selanjutnya disebut naskah Mangundarma.9 Naskah ini merupakan tulisan tangan pada kertas ukuran A4 (21 cm X 29,7 cm) dan berjumlah 58 halaman, beraksara Jawa dengan bahasa Jawa gaya Mataraman. Pencipta naskah ini tidak diketahui, satu-satunya informasi hanya terdapat pada halaman judul yang tertera kalimat Ing suwalik punika Serat Siti Jenar, Anyariyosaken Bab Nglmu Rahsa. Mangundarma. Artinya, di balik ini Serat Siti Jenar, Menuturkan Bab Ilmu Rahsa (Mistikisme). Mangundarma. Apakah Mangundarma ini sebagai penciptanya atau orang yang menuliskan kembali dari naskah sebelumnya, atau menulis dari tembang tutur yang populer waktu itu. Informasi yang ada hanya menyebutkan bahwa naskah ini mulai disalin pada hari Selasa manis, bulan Ramadan, tahun Dal tahun1901, dan selesai pada hari Sabtu legi tanggal 25 Januari 1902 atau tanggal 15 Syawal tahun Dal 1831. Namun, pada akhir halaman naskah ini tertera disalin kembali oleh Muhammad (ingkang nedhak, Muhammad). Alur narasi naskah ini tidak menggunakan sistematika logis, melainkan disusun secara kronologis laiknya sebuah cerita tutur: menggunakan tembang dalam susunan bait (pupuh), penuturannya dialogis, bahkan menggunakan episode tertentu. Dibandingkan dengan naskah Serat Siti Jenar versi lainnya, naskah Mangundarma nampaknya yang paling lengkap, terdiri dari beberapa episode: 1. Dialog Raden Patah dengan Raja Brawijaya di Majapahit. Kedatangannya ke Majapahit bertujuan untuk membujuk sang
T.E. Behrend, Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jilid 4 (Jakarta: Yayasan Obor & Ecole Franoise DExtreme Orient, 1998).
9

188 Mukaddimah, Vol. 16, No. 2, 2010

M. Afif Anshori: Naskah Serat Siti Jenar dalam Berbagai Versi

2.

3.

4.

5.

6.

ayah agar berpindah agama dari Syiwa-Budha ke Islam, namun Brawijaya menolaknya. Materi dialog ini berkaitan dengan masalah teologis, terutama mengenai hakikat orang beragama. Diskusi antara Pangeran Handayaningrat dengan Syekh Siti Jenar. Tokoh yang disebut pertama, kadang disingkat Dayaningrat atau Ki Kebokenongo atau Ki Ageng Pengging, adalah putera Brawijaya V dari selir dan beristerikan Ratu Pambayun. Episode ini disebutkan pada beberapa naskah lain, kendati menggunakan redaksi yang berbeda, namun esensinya sama. Menceriterakan visi keilmuan Ki Ageng Pengging yang langsung masuk Islam, setelah menerima ajaran Syekh Siti Jenar. Ki Dayaningrat mengajarkan ilmu kasempurnaan secara apa adanya (blaka suta) hingga tidak ada lagi rahasia dan tidak ada lagi tabir. Apa yang diajarkan oleh Ki Pengging Dayaningrat ini tersebar ke seluruh lapisan masyarakat, bahkan diisukan sedang membangun kekuasaan di Pengging dan tidak bersedia tunduk pada Kerajaan Bintara Demak. Hal inilah yang menimbulkan kemarahan Sultan Bintara Raden Patah. Menceriterakan Syekh Siti Jenar, yang dikatakan sebagai seorang wali sakti. Konon, dulu berasal dari cacing, yakni dari golongan sudra, yang memperoleh pencerahan batin, bahkan terbukanya mata hati. Ketika itu, Sunan Bonang sedang mengajarkan aqidah dan pengetahuan kepada Sunan Kalijaga di tengah rawa, seraya menaiki perahu megah. Dari sinilah Siti Jenar memperoleh pencerahan. Pada episode ini juga dipaparkan pokok-pokok ajaran Syekh Siti Jenar yang berseberangan dengan pandangan ulama pada umumnya, sampai tahap interogasi dari perutusan wali delapan. Kematian Syekh Siti Jenar di hadapan perutusan wali delapan, sampai tipu muslihat para wali pada prosesi pemakaman jenazah di masjid Demak. Juga tuntutan Ki Lonthang Semarang atas perlakuan para wali terhadap jenazah gurunya yang sangat tidak manusiawi. Dialog antara Ki Ageng Pengging dengan Ki Ageng Tingkir mengenai ketidaksediaannya menghadap Sultan Demak,
Mukaddimah, Vol. 16, No. 2, 2010 189

M. Afif Anshori: Naskah Serat Siti Jenar dalam Berbagai Versi

dilanjutkan dengan kelahiran Mas Karebet atau Jaka Tingkir, putra Ki Ageng Pengging (Kebo Kenanga). 7. Episode ini mengisahkan tentang pengadilan dan akhir hayat Ki Ageng Pengging Dayaningrat, setelah melalui dialog panjang dengan Sunan Kudus (Pangeran Ngudung), selaku perutusan Kerajaan Demak. 8. Episode ini menceriterakan tentang diskusi para wali dengan topik seputar ajaran tasawuf yang diamalkan oleh masingmasing. Diskusi yang dipimpin oleh Syeh Maulana Maghribi ini diikuti oleh Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Geseng, Pangeran Modang, Sunan Kudus, Sunan Ngampel serta puteranya, Sunan Giri, Sunan Prawata (Gunung), Syeh Domba, Syeh Bentong, serta para kyai lainnya. Semua yang hadir berbusana serba putih dengan jumlah kurang lebih mencapai 70 orang. Kedua, Serat Siti Jenar gubahan Harjawijaya yang diterbitkan oleh Tan Khoen Swie, selanjutnya disebut naskah Harjawijaya. Naskah yang diterbitkan oleh Javaansche Uitgaven van Widya Pustaka, dan dicetak oleh Indonesische Drukkerij di Weltevreden tahun 1917 merupakan karya Mas Ngabehi Mangunwijaya, seorang abdi dalem Mantri Miji (Urusan Khusus) di Surakarta, atas perintah Raden Mas Tumenggung Jayeng Irawan, Priyayi Agung Bupati Patih di Pakualaman, Yogyakarta. Penulisan naskah ini atas prakarsa Raden Mas Partawiraya di Wonogiri pada tahun 1874-1917. Awal penulisan naskah ini pada 1874 dengan sengkalan, Nabda Dadi Murtyng Rat. Materi naskah terdiri atas beberapa episode: 1. Secara naratif sama dengan naskah Mangundarma, yakni menceriterakan tentang pertemuan antara Syekh Siti Jenar dengan Ki Kebo Kenanga atau Ki Pengging Handayaningrat, seperti telah disebutkan pada episode kedua. Perbedaannya hanya terletak pada penuturannya saja. Jika pada naskah pertama dituturkan melalui tembang Sinom, maka pada naskah kedua menggunakan tembang Dandanggula. 2. Perubahan narasi baru dimulai pada pupuh C.1 C.16 melalui tembang Asmarandana yang menceriterakan tentang pribadi Syekh Siti Jenar, dan ini tidak ada pada naskah pertama. 3. Berisi tentang ajaran-ajaran pokok Syekh Siti Jenar, serta
190 Mukaddimah, Vol. 16, No. 2, 2010

M. Afif Anshori: Naskah Serat Siti Jenar dalam Berbagai Versi

4.

perilaku sebagian muridnya yang menghendaki kematian dengan cara membuat keonaran dan kerusuhan, yang berujung pada kematian lantaran dibunuh orang lain. Alur cerita berikutnya sama dengan naskah pertama, sebagaimana telah disebutkan, yang meliputi pengadilan Syekh Siti Jenar, sampai pembalasan Ki Lonthang Semarang.

Ketiga, Serat Seh Siti Djenar gubahan Raden Ngabehi Mangunwijaya tahun 1917, koleksi Prof.Dr. C.Snouck Hurgronje tahun 1936, selanjutnya disebut naskah Sasrawidjaja. Pada mulanya, naskah ini merupakan karya R.Sasrawidjaja (Raden Pandji Natarata) yang diterbitkan oleh H. Buning di Yogyakarta pada tahun 1900-an. Naskah ini pernah hilang, dan baru ditemukan kembali pada bulan Agustus 1955 berupa tulisan tangan, dan kemudian ditransliterasikan serta diterbitkan oleh Kaluwarga Bratakesawa Alur narasi naskah ini tidak berbeda dengan naskah pertama dan kedua yang memulai kisah dengan pertemuan antara Syekh Siti Jenar dengan Ki Kebo Kenanga, yang pada naskah pertama dituturkan mulai pupuh C.49 sampai Q.8. Perbedaannya sangat kecil, terutama pada beberapa kalimat tembang, meski secara esensial isinya sama. Ada pula beberapa pupuh pelengkap yang tidak disebutkan pada naskah pertama, tapi ada pada naskah ketiga ini. Naskah ketiga ini diakhiri dengan kisah keberhasilan Sunan Kudus menghabisi Ki Ageng Pengging Handayaningrat dalam pupuh XV tembang Asmarandana, sebagaimana naskah pertama pada pupuh Q.8. Naskah keempat, Suluk Seh Siti Jenar dialihbahasakan oleh Sutarti tahun 1981, selanjutnya disebut naskah Sutarti.10 Naskah ini hasil transliterasi yang dilakukan oleh Sutarti, dan diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah tahun 1981, yang sumbernya tidak jelas. Isinya sama dengan naskah ketiga (R.Sasrawidjaja) pupuh I XI, hanya ditambah pembukaan satu pupuh melalui tembang Dandanggula. Secara garis besar, isinya menggambarkan tentang ajaran tasawuf visi Syekh Siti Jenar, melalui penafsiran 20 sifat Allah: wujud, qidam, baqa, mukhalafah li al-hawadis, qiyamuhu bi nafsihi, wahdaniyat, qudrat, iradat,
Anonim, Suluk Seh Siti Jenar, trans. Sutarti (Jakarta: Depdikbud, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1981).
10

Mukaddimah, Vol. 16, No. 2, 2010 191

M. Afif Anshori: Naskah Serat Siti Jenar dalam Berbagai Versi

ilmu, hayat, sama, basar, kalam, qadiran, muridan, aliman, hayyan, samian, basiran, dan mutakalliman. Satu hal kekurangcermatan Sutarti dalam menerjemahkan naskah adalah adanya teks-teks bahasa Arab yang tidak diterjemahkan sebagaimana mestinya, melainkan dianggap sebagai bahasa Jawa. Contoh: Dhandanggula bait 19,
Seh Lemahbang rumaket jatining/ enng sirnaning antaya mulya/ dat kadimah budayan/ dalilnya ramahetu/ sah manganil kahub lirneki/ uculing jemparing plas/ gandwan embuh/ srengat tarekat kakekat/ myang makripat palastha tanpa kang budi/ dat tujalilning wanda. Sech Lemahbang terikat erat pada kebenaran di antara tiada dan adanya kemuliaan. Bagaikan kebudayaan yang mutlak (abadi). Hukumnya memang tidak nampak nyata. Inti maknanya ialah: seperti lepasnya anak panah yang tak tahu dari mana sumber pelepasnya. Demikian halnya dengan hakekat orang hidup beragama. Orang itu akan selalu percaya pada sifat Tuhan yang tak pernah habis kita pikirkan. Itulah kemuliaan Tuhan.

Di sini terlihat ada beberapa kata Arab yang tidak diterjemahkan sebagaimana mestinya, sehingga hasilnya rancu. Kata dimaksud yaitu: dat kadimah ( =) Dzat Yang Maha Awal; ramahetu sah manganil kahub (maksudnya= ( = Dan bukanlah engkau (wahai Muhammad) yang melempar ketika engkau melempar tetapi Allah jugalah yang melempar; srengat tarekat kakekat makripat ( - - - ;) dat tujalil () . Maka teks di atas jika diterjemahkan secara utuh menjadi:
Syekh Lemahbang secara esensial terikat pada sirnanya ada dan tiada kemuliaan, lantaran Dzat Qadimah (Tuhan) sudah menjadi bagian dari dirinya. Dalilnya ibarat lepasnya anak panah yang tak tahu dari mana sumber pelepasnya. Maka syariat, tarekat, hakikat sampai marifat lenyap tanpa disadari. Dzat (Tuhan) bertajalli (mengejawantah) dalam tubuh.

Kelima, Boekoe Siti Djenar Ingkang Toeln, gubahan Kanjeng Soenan Giri Kedaton yang ditulis pada tahun 1457 diterbitkan oleh Tan Khoen Swie Kediri tahun 1931, selanjutnya disebut naskah Giri Kedaton. Naskah ini menggunakan huruf Jawa cetakan (bukan tulisan tangan), yang dinyatakan sebagai karya Kanjeng Sunan Giri Kedhaton. Ditulis pada tahun 1457 dengan sengkalan Pandhita Misik Sucng Tyas. Alur cerita pada naskah ini agak berbeda dengan naskah pertama, kedua, ketiga dan
192 Mukaddimah, Vol. 16, No. 2, 2010

M. Afif Anshori: Naskah Serat Siti Jenar dalam Berbagai Versi

keempat. Diawali dengan Tembang Asmarandana, pada pupuh A.1. A.10, yang menuturkan latarbelakang penulisan naskah ini. Naskah Giri Kedaton ini memuat kisah Syekh Siti Jenar, yang digubah kembali dengan mengambil sumber yang asli dari Serat Walisana karya Kanjeng Sunan Giri Gajah. Awalnya ditulis oleh Ki Sasrawijaya Ngijon, kemudian digubah kembali oleh Kyai Mangunwijaya dari kota Wonogiri. Namun demikian, diakui bahwa sesungguhnya naskah ini masih menyimpang dari alur cerita yang sebenarnya, sebagaimana tertulis dalam Serat Walisana. Kanjeng Sunan Giri Gajah menyusun naskah Serat Walisana pada tahun 1457 dengan candra sengkala Pandhita Misik Sucng Tyas. Naskah ini berbeda dengan naskah sebelumnya. Jika pada naskah pertama, kedua, ketiga dan keempat narasi aktivitas Syekh Siti Jenar terfokus di Krendhasawa, Pengging, dan Demak, maka pada naskah Giri Kedaton fokusnya berada di Padhepokan Giri, Gresik. Beberapa episode yang ada pada naskah ini meliputi: 1. Kisah Syekh Siti Jenar berguru kepada Sunan Giri Gajah, yang tidak pernah diberi ilmu sedikit pun, sehingga ia berusaha mencuri waktu memperoleh pengajaran rahasia dengan cara merubah diri menjadi bangau putih (dhandhang seta) dan cacing kalung. 2. Setelah ilmu rahasia berhasil disadap, ia mendirikan perguruan sendiri di Siti Jenar (Kediri) dan memperoleh pengikut cukup besar. Lantaran besarnya perguruan Syekh Lemah Bang, sampai mampu mengosongkan masjid dan mengurangi para pengikut wali delapan. Banyak santri yang akhirnya takluk kepada Lemah Bang dan menjadi muridnya. Orang-orang dari keturunan Majapahit serta keturunan bangsawan Pengging, banyak yang datang dan berguru menganut ilmu sejati. Di antaranya Ki Ageng Tingkir, Pangeran Panggung, Ki Buyut Ngerang, dan Ki Ageng Pengging. 3. Karena ajarannya dianggap meresahkan, Sunan Giri mengirim utusan untuk memanggil Syekh Siti Jenar agar menghadap ke Giri Gajah. Pada mulanya ditolaknya, namun akhirnya bersedia datang ke Gresik. 4. Dialog antara Syekh Siti Jenar dengan para wali, seperti Sunan Bonang selaku pemrakarsa diskusi dan Sunan Kalijaga; Sunan
Mukaddimah, Vol. 16, No. 2, 2010 193

M. Afif Anshori: Naskah Serat Siti Jenar dalam Berbagai Versi

Cirebon beserta adindanya Pangeran Pandanaran; Sunan Majagung; sunan dari Banten serta Sunan Giri Gajah. 5. Ajaran Syekh Siti Jenar semakin berkembang dan menimbulkan kekhawatiran Sunan Giri, sehingga setelah dikonsultasikan dengan Sultan Demak Bintara, disetujui untuk dibunuh. Setelah dipanggil ke Gresik, Siti Jenar dibunuh dengan pedang. 6. Muslihat para wali mengganti jenazah Siti Jenar dengan batang pisang (gedebog pisang), agar tidak ada lagi pengikut yang mengamalkan ajaran sesat. Keenam, sumber informasi lain berkenaan dengan tokoh ini terdapat pada Naskah Purwaka Caruban Nagari dan Babad Cirebon, selanjutnya disebut naskah Cirebon, meskipun porsinya sangat sedikit. Berbeda dengan naskah sebelumnya, fokus narasi naskah ini berada di Cirebon, Jawa Barat. Naskah Purwaka Caruban Nagari ditulis pada tahun 1720 M oleh Pangeran Arya Carbon yang menjabat sebagai Ketua Jaksa Pepitu pada tahun 1651 dan juga seorang saudara Dalem Kraton Kasepuhan, bersumber kepada Kitab Negara Kertabumi. Ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa gaya Cirebonan, yang berbentuk semacam pupuh dalam tembang Jawa dan menggunakan huruf Jawa. Naskah ini kemudian ditransliterasikan ke dalam huruf Latin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh P.S. Sulendraningrat, Penanggung Jawab Sejarah Cirebon dan Staf Keprabon Lemahwungkuk Cirebon, kemudian diterbitkan oleh Bhratara, Jakarta pada tahun 1972. Sedangkan Babad Cirebon merupakan pengembangan dari naskah Purwaka Caruban Nagari, yang menceriterakan sejarah Kota Cirebon serta silsilah Kesultanan Cirebon sejak masa Pra Sejarah sampai masa modern. Sedangkan uraian yang sangat rinci mengenai Syekh Siti Jenar dapat diperoleh melalui penelitian Agus Sunyoto, M.Pd. dengan mengkombinasikan sumber-sumber Jawa Tengah, sebagaimana telah disebutkan di atas, dengan sumber Jawa Barat seperti Negara Kretabbhumi,11 Pustaka Rajya-Rajya I Bhumi Nusantara, Naskah Purwaka Caruban Nagari, dan Babad Cirebon. Hasil penelitian tersebut dikemas bukan
Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta, Nagarakretabhumi, ditransliterasikan dan disunting oleh Atja & Ayatrohaedi, diterbitkan oleh Proyek Penelitian & Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Depdikbud, Yogyakarta, 1984/1985.
11

194 Mukaddimah, Vol. 16, No. 2, 2010

M. Afif Anshori: Naskah Serat Siti Jenar dalam Berbagai Versi

menggunakan bahasa ilmiah, melainkan dinarasikan melalui bahasa fiksi, dengan judul Suluk Abdul Jalil: Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar buku I dan II; Sang Pembaharu: Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar, buku III, IV, V,12 Suluk Malang Sungsang: Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syaikh Siti Jenar, buku VI dan VII.13 Kembali kepada persoalan sumber, oleh karena faktor referensi yang tidak memiliki data yang dapat dipertanggung-jawabkan tingkat validitasnya, maka untuk memastikan apakah Islam esoteris (baca: tasawuf falsafi/falsafah mistik) Syekh Siti Jenar itu benar-benar ajaran yang dikembangkannya atau tidak, sangat sulit memastikan. Bratakesawa nampaknya tidak berani memastikan, sebagaimana ia juga sulit untuk memastikan historisitas tidaknya Syekh Siti Jenar.14 Walaupun demikian, naskah-naskah yang memuat riwayat hidup dan ajaran Syekh Siti Jenar memiliki arti sangat penting sebagai sebuah karya sastra yang di dalamnya memuat ajaran tentang sebuah realitas sosial dan keagamaan dalam suatu era.15 Adapun jika dikaji dari aspek stemma mengenai kronologi penulisan, rasanya sangat sulit memastikan, mana naskah induk dan mana salinannya. Namun jika dilihat dari aspek tahun penulisannya, publikasi pertama yang mengemukakan tentang Syekh Siti Jenar adalah Kitab Walisana karya Sunan Giri II, yang kemudian digubah menjadi Boekoe Siti Djenar Ingkang Toeln, dan ditulis pada tahun 1457 yang pada tulisan ini disebut naskah Giri Kedaton. Menurut Hasanu Simon, penulis berikutnya yang mempublikasikan Syekh Siti Jenar adalah Ki Panji Notoroto, seorang mantan pejabat Mataram Islam, yaitu Penewu Ngijon, yang meninggal dunia sekitar dekade 1930-an.16 Penulis yang disebut terakhir ini mempunyai banyak murid di sekitar Yogyakarta, sehingga mereka menamakan ajaran Ki Panji Notoroto dengan istilah Ajaran
Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil: Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar, jilid IV (Yogyakarta: LKiS, 2003-2004). 13 Agus Sunyoto, Suluk Malang Sungsang: Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syaikh Siti Jenar, buku VI dan VII (Yogyakarta: LKiS, 2005). 14 Bratakesawa, Filsafat Siti Djenar. hlm. 14. 15 Taufiq Abdullah, Di Sekitar Pembinaan Intern Umat Islam: Tinjauan Sejarah, dalam Islam dan Masyarakat, Jakarta: LP3ES, 1991. 16 Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar: Peranan Walisongo dalam MengIslamkan Tanah Jawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
12

Mukaddimah, Vol. 16, No. 2, 2010 195

M. Afif Anshori: Naskah Serat Siti Jenar dalam Berbagai Versi

Nataratan. Terjadinya berbagai penyimpangan dalam penafsiran Serat Siti Jenar, lebih banyak dilakukan oleh murid Panji Notoroto, karena hal ini sangat berbeda dengan karya gurunya seperti pada Serat Bayanullah dan Serat Kancil. Setiap ayat al-Quran yang disitir dalam Serat Syekh Siti Jenar tersebut hanya ditafsir menurut sudut pandang dan kepentingan murid Ki Panji Notoroto saja. Ayat-ayat al-Quran yang dipilih adalah yang dapat dijadikan titik-tolak untuk membentuk opini, khususnya di kalangan pengikut Syekh Siti Jenar, bahwa agama Islam itu jelek, atau setidaknya tidak lebih baik dengan agama-agama yang justru ditinggalkan oleh rakyat maupun para bangsawan dan pemimpin Jawa. Penulis berikutnya adalah Brotokesowo, seorang bangsawan kraton Yogyakarta yang kemudian mendirikan sebuah aliran kebatinan disebut Ajaran Brotokesowo. Metode penulisan Serat Syekh Siti Jenar yang ditulis dalam bentuk fragmen dengan dialog-dialog yang lugas dan mudah ditangkap oleh kalangan pembaca umum adalah salah satu faktor daya tarik tersendiri. Berbeda sekali dengan pengungkapan ajaran para ahli tasawuf lain yang ditulis dalam bentuk prosa atau puisi yang dikemas dengan wacana yang sangat sastrawi, sehingga tidak mudah dipahami oleh kebanyakan orang. Tetapi dalam Serat Syekh Siti Jenar, pembaca akan dibawa ke dalam dunia tasawuf tanpa merasakan kerumitan, karena pembaca tidak ubahnya seperti menyimak sebuah cerita, apalagi dikemas dalam bentuk tembang yang dapat dihapalkan dan dinyanyikan. Selain itu, Serat Syekh Siti Jenar ditulis dengan menggunakan tembang-tembang yang memungkinkan setiap orang dapat menyimaknya. Perpaduan penulisan yang berbentuk fragmen dan tembang ini memungkinkan Serat Syekh Siti Jenar menjadi kesenian rakyat yang sekaligus menyelipkan misi ajaran tasawuf yang sangat mudah dipahami dengan menggunakan wacana yang sangat akrab dengan lidah masyarakat Jawa. Dari aspek isi naskah, sebagaimana kepustakaan kejawen pada umumnya, semuanya mengandung muatan ajaran tasawuf dan budi pekerti luhur. Oleh karena itu, jarang sekali ditemukan aspek ajaran eksoterisme (syariah) dalam karya primbon,17 wirid maupun suluk. Bahkan terdapat pula pandangan bahwa demi perkembangan spiritualitas, ketaatan ritual yang
17

Simuh, Mistik Kejawen R.Ng. Ronggowarsito, hlm. 13.

196 Mukaddimah, Vol. 16, No. 2, 2010

M. Afif Anshori: Naskah Serat Siti Jenar dalam Berbagai Versi

dituntut syariat tidak diperlukan lagi.18 Apalagi sejarah pelaksanaan syariat di Jawa dikendalikan langsung oleh penguasa kerajaan yang cenderung berorientasi pada politik dan kekuasaan, di mana kenyataan tersebut dianggap berseberangan dengan ajaran tasawuf. Biasanya pula pendukung tasawuf secara politis berada dalam kelompok yang terpinggirkan. Oleh karena itu sangat wajar bahwa aspek syariat dalam ajaran kepustakaan kejawen kurang diprioritaskan. C. Kesimpulan Dari deskripsi di atas dapat dimengerti mengapa sampai sekarang polemik mengenai eksistensi dan ajaran Syekh Siti Jenar masih terus berlangsung. Ironisnya, secara stemmatis berbagai kepustakaan Islam Kejawen sering menghubungkan diri dengan ajaran Syekh Siti Jenar, termasuk yang sudah kehilangan ciri keIslamannya, seperti Serat Gatholoco dan Serat Sasongko Jati. Implikasi selanjutnya, ajaran Syekh Siti Jenar mengalami reduksi sehingga berkembang menjadi Aliran Kebatinan Jawa sehingga semakin memperkuat stigma negatif bagi kaum muslimin di Jawa. Wallahu alam bi al-shawab.

Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan (Yogyakarta: LKiS, 1999).
18

Mukaddimah, Vol. 16, No. 2, 2010 197

M. Afif Anshori: Naskah Serat Siti Jenar dalam Berbagai Versi

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufiq, Di Sekitar Pembinaan Intern Umat Islam: Tinjauan Sejarah, dalam Islam dan Masyarakat, Jakarta: LP3ES, 1991. Abdul Hadi WM., Tasawuf Yang Tertindas, Jakarta: Paramadina, 2001. Anonim, Suluk Seh Siti Jenar, trans. Sutarti, Jakarta: Depdikbud, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1981. Anshori, M. Afif, Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansuri, Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2004. Behrend, T.E., Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jilid 4, Jakarta: Yayasan Obor & Ecole Franoise DExtreme Orient, 1998. Berg, C.C., Penulisan Sejarah Jawa, trans. S. Gunawan, Jakarta: Bhratara, 1974. Bratakesawa, Filsafat Siti Djenar, Surabaya: Yayasan Penerbitan Djojobojo, 1995. Dahlan, Abdul Aziz, Tasawuf Syamsuddin Sumatrani, Jakarta: Disertasi Doktor IAIN Syarif Hidayatullah, 1992. Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Nusantara, t.t. Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta, Nagarakretabhumi , ditransliterasikan dan disunting oleh Drs. Atja & Dr. Ayatrohaedi, diterbitkan oleh Proyek Penelitian & Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Depdikbud, Yogyakarta, 1984/1985. Sartono Kartodirdjo, Beberapa Fatsal dari Historiografi Indonesia, dalam Lembaran Sejarah II (Agustus, 1968). Simon, Hasanu, Misteri Syekh Siti Jenar : Peranan Walisongo Dalam MengIslamkan Tanah Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Simuh, Mistik Kejawen R.Ng. Ronggowarsito: Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Djati, Yogyakarta: Disertasi Doktor, 1985. Sunyoto, Agus, Suluk Malang Sungsang: Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syaikh Siti Jenar, buku VI dan VII, Yogyakarta: LKiS, 2005. ----, Suluk Abdul Jalil: Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar, jilid IV , Yogyakarta: LKiS, 2003-2004.

198 Mukaddimah, Vol. 16, No. 2, 2010

M. Afif Anshori: Naskah Serat Siti Jenar dalam Berbagai Versi

Tanoyo (ed.), R., Suluk Wali Sanga, Surakarta: Tanoyo, 1954. Woodward, Mark R., Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, Yogyakarta: LKiS, 1999. Zoetmulder, P.J., Manunggaling Kawula Gusti, trans. Dick Hartoko, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990.

Mukaddimah, Vol. 16, No. 2, 2010 199

Anda mungkin juga menyukai