ABSTRACT
History and literature are two of the many ways to describe the reality. These two ways have a
difference extremely. History must be tightly based on fact, while literature is fictional and imagina-
tive. However, between these two extreme points there is a slice. Its means that in history there is in
certain limits an element of imagination and in literature there is an element of fact although just a
name. Therefore, the reality of history can be used as a raw material of literature. In turn, therefore
literature can critically be used as a source of history. In Tatar Sunda there are a number of literary
works, especially in the form of lyrics Tembang Sunda, which the material is taken from historical
facts. The name most widely used materials of lyrics are Pajajaran and Siliwangi. These two names
refer to the golden age of the Sundanese throughout its history.
Pendahuluan
Tidak banyak nama atau peristiwa Gilang Pajajaran, Kidung Pangrajah, Ki-
dung Siliwangi, Wangsit Siliwangi, Daweung
yang bernuansa sejarah dijadikan tema Menak Pajajaran, Pancaniti Bingbang Rasa,
rumpaka (lirik) lagu atau karya sastra genre Dangiang Sunda, Pancaniti, Salaka Domas,
Sedih Kingkin, Seler Pakuan, Wawangi nu Di-
lainnya. Di antara yang tidak banyak itu kantun, dan sebagainya.
adalah nama ‘Pajajaran’ dan ‘Prabu Sili-
wangi’. Yang menarik adalah rumpaka atau Namun sayang rumpaka-rumpaka untuk
lirik yang mengambil setting cerita Pajaja- judul-judul lagu tersebut sebagian tidak
ran dan Prabu Siliwangi, atau setidaknya bisa dipastikan pengarangnya, sebagian
di dalamnya ada kata ‘Pajajaran’, dan atau lagi bahkan anonim, tidak diketahui siapa
‘Siliwangi’, bisa dikatakan sangat banyak. yang menulis atau membuatnya, dan tidak
Beberapa di antara judul lagu yang meng- diketahui kapan ditulisnya.
angkat kedua kata itu adalah: Judul artikel ini, sesungguhnya, meng-
gambarkan dua hal kontradiktif. Satu sisi,
Karatagan Pajajaran, Kidung Mapag Pajaja- kata ‘Pajajaran’ dan ‘Siliwangi’ merepre-
ran Pakeun Heubeul Jaya dina Buana Nanjer
Najurin, Papatet, Tejamantri, Laut Kidul, sentasikan konsep sejarah; sisi lain, kata
Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 2, April - Juni 2012: 139 - 146 140
ada satu pun karangan manusia yang bukanlah tujuan novel untuk merekon-
sanggup menggambarkan suatu realitas struksi peristiwa sejarah tertentu atau me-
yang sesungguhnya”. nyediakan sumber otentik untuk rekon-
Sesungguhnya, tak ada suatu peris- struksi sejarah. Kedua, sifat simbolik dari
tiwa sejarah apa pun yang mampu diung- novel membuat kepastian sejarah sangat
kapkan kembali secara total, objektif, dan problematik. Multi-interpretasi dari novel
netral. Demikian juga, tak ada karya sastra mungkin menjadi kesenangan yang este-
yang paling imajiner sekalipun yang me- tis, tapi merekonstruksi beberapa peris-
miliki otonomi mutlak, subjektif, dan tak tiwa sejarah darinya hampir tidak mung-
ada sangkut pautnya sama sekali dengan kin. Akan tetapi, pada satu sisi, novel
individu atau kalangan tertentu. Sebuah dapat merefleksikan perkembangan ide
karya sastra tak mungkin dapat meng- dan, pada sisi lain, dapat mengilustra-
huni suatu wilayah otonomi yang serba sikan karya struktural dari situasi sejarah
fiktif, imajiner, dan terlepas dari sangkut tertentu (Abdullah, 1986: 218).
pautnya dengan realitas individu atau ka- Novel dapat menjadi sumber-sum-
langan tertentu. Setiap karya sastra ditulis ber potensial untuk memperkaya pema-
oleh seorang manusia, pada suatu masa haman sejarah. Novel mengekspresikan
dalam sejarah, di suatu tempat. Sejauh- sikap, pendapat, dan khususnya suasana,
jauh seorang sastrawan hendak mengelak sentimen, dan perasaan. Dengan kata
dari segala fakta yang melahirkan, menga- lain, novel merupakan sumber yang sa-
suh, dan mendewasakannya ia tak bakal ngat diperlukan untuk sejarah intelektual.
mungkin membuat karya sastra yang sama Pada gilirannya, sejarah intelektual akan
sekali tak bersangkut paut dengan penga- menunjukkan dua hal. Pertama, sejarah
laman, pikiran, dan perasaannya sendiri intelektual menyajikan informasi tentang
(Heryanto, 1983: 185; Ricklefs, 1986: 199). kesinambungan dan perubahan budaya.
Meskipun sastra merupakan hasil Kedua, sejarah intelektual dapat menun-
imajinasi kreatif, namun sastra tidak bisa jukkan dinamika interaksi antara ide dan
dipisahkan begitu saja dari realitas em- nilai dengan perubahan realitas-reali-
piris. Oleh karena itu, meskipun karakter tas politik dan ekonomi (Abdullah, 1986:
karya sastra sangat personal, tapi sastra 233).
merefleksikan pengalaman kolektif penu- Bila karya sastra akan dijadikan seba-
lis. Demikian juga sastra merefleksikan gai sumber sejarah terlebih dahulu harus
suasana waktu kreasinya (Abdullah, 1986: dianalisis secara kritis sehingga diketahui
217). komposisi besaran atau perbandingan an-
Namun demikian, tidak ada peristiwa tara kadar faktisitasnya dan imajinasinya.
yang dikenal dengan sebutan ‘pilar se- Dari hasil analisis itu akan diketahui ada-
jarah’ dapat direkonstruksi secara tepat nya salah satu dari tiga kemungkinan
dari novel atau karya sastra lainnya. Per- berikut. Kemungkinan pertama adalah
tanyaan elementer tentang “apa, kapan, karya sastra yang kadar peristiwa sejarah
siapa, dan di mana“ tidak dapat dijawab sebagai aktualitas atau kadar faktisitasnya
secara memadai dengan menggunakan lebih tinggi daripada kadar imajinasinya.
novel atau karya sastra lainnya itu seba- Kemungkinan kedua adalah karya sastra
gai sumber. Sebabnya adalah pertama, yang kadar faktisitas dan kadar imajnasi-
Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 2, April - Juni 2012: 139 - 146 142