Anda di halaman 1dari 31

Supali Kasim

Menapak Jejak

SEJARAH
INDRAMAYU

Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU i


Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU

Penulis:
Supali Kasim

xxiv halaman + 230 halaman, 13,5 cm x 20 cm

ISBN:

Cetakan pertama, Oktober 2011


Cetakan kedua, Oktober 2017

Cover: Monumen-monumen di Indramayu dan Batik Paoman


motif Ganggeng
Desain cover dan isi: Prajnaparamita

Penerbit:
Rumah Pustaka
Jl. Nyi Endang Darma No.13 Cimanuk Barat Rt.23/Rw.06
Perumahan Taman Sindang,
Indramayu, Jawa Barat
HP/WA : 081223067807
Email : saptaguna_bumi@yahoo.com

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang


All rights reserved

ii Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU


Prakata Penulis

Membicarakan sejarah, apalagi sejarah sebuah daerah,


ternyata memiliki kesulitan tersendiri. Ketika membicarakan
sejarah Indramayu, ada semacam tuntutan “mengapa” tentang
historiografi tradisional yang selama ini sudah dikenal? Dan
“bagaimana” seharusnya menurut historiografi modern sebagai
sebuah kebenaran sejarah.
Di satu sisi masyarakat secara umum lebih mengenal
historiografi tradisional yang bersumber pada babad, legenda,
dongeng yang penuh dengan unsur mitologis dan legendaris.
Di sisi lain babad, legenda, atau dongeng, dalam ilmu sejarah
dikategorikan sebagai sumber sekunder, yang kedudukannya
sebagai pelengkap sumber primer. Itupun ada yang kadarnya
kuat, agak kuat, dan lemah. Dua buku yang sudah terbit, yang
menuliskan tentang sejarah Indramayu (khususnya bab
mengenai berdirinya Indramayu) ternyata keduanya bersumber
pada babad, yang kemudian diramu menjadi sastra-sejarah,
roman-sejarah, atau fiksi-sejarah. Artinya, keduanya
menggunakan sumber sekunder, kemudian dijadikan
kronologis kejadian dengan bumbu-bumbu penulisan sastra,
yang sekan-akan menceritakan peristiwa yang sudah terjadi.
Bukan menjelaskan peritiwa yang terjadi. Dua buku tersebut
adalah Sejarah Indramayu (H.A. Dasuki, dkk., 1977) dan
Dwitunggal Pendiri Darma Ayu Nagari (H.R. Sutadji K.S., 2003).
Meskipun demikian, diakui cara pandang seseorang
terhadap suatu peristiwa sejarah pasti akan berbeda antara satu
dengan lainnya. Cara pandang ini pada dasarnya secara
substansial merepresentasikan sebuah subjektivitas dalam
merekonstruksi sebuah bangunan sejarah. Bila kemudian dicari
analoginya dalam bentuk visual, bangunan sejarah produk
rekonstruktor tentunya lebih bisa dianalogikan dengan sebuah
rekonstruksi peristiwa sejarah yang sifatnya relatif utuh dan

Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU iii


lengkap, dan sejarah dalam arti subjektif tidak mungkin
mencapai itu semua, sementara lukisan merupakan hasil
sebuah rekonstruksi dari sudut pandang yang terbatas sehingga
sudah pasti tidak akan utuh dan lengkap sebagaimana yang
sesungguhnya tampak di permukaan (Rieza D. Dienaputra,
2006). Buku Dasuki maupun Sutadji lebih cenderung sebagai
menyerupai lukisan tersebut.
Kesulitan lainnya ketika membicarakan sejarah Indramayu
adalah soal materi yang dibicarakan. Ketika historiografi
tradisional, yang selama ini dijadikan pegangan masyarakat dan
pemerintah daerah, kemudian dibicarakan dan dikritisi, ada
semacam tuntutan seharusnya bukan hanya dibicarakan dan
dikritisi. Seharusnya lebih dari itu: menuliskan historiografi
modern! Mengenai hal ini dengan berbagai pertimbangan,
akhirnya pilihan jatuh pada pembicaraan untuk mengritisi
kedua buku yang sudah terbit. Pilihan itu setidak-tidaknya
diharapkan memiliki dua arti. Pertama, memberikan alternatif
pandangan yang selama ini menganggap historiografi
tradisional sudah final sebagai suatu kebenaran sejarah. Kedua,
membuka kembali pemikiran dan penafsiran pada historiografi
tradisional secara kritis sebagai gerbang menuju penulisan
historiografi modern.
Tidak dapat dipungkiri, saat proses mengritisi kedua buku
tentang sejarah Indramayu, ada efek psikologis yang dirasakan.
Bukankah kedua buku itu ditulis oleh orang-orang yang
dedikasinya tak diragukan lagi pada Indramayu dan sejarah
Indramayu. H.A. Dasuki adalah seorang intelektual yang
memiliki minat cukup besar pada sejarah dan sastra, yang
“tidak lazim” untuk ukuran orang Indramayu yang eksis pada
dekade 1940-an hingga 1970-an. Beliau juga pernah menjadi
bupati Indramayu dua periode (periode 1958-1960 dan 1960-
1965). H.R. Sutadji K.S. (menurut pengakuannya) adalah
keturunan ke-12 Arya Wiralodra, pendiri Indramayu pada abad
ke-16 (sumber lain menyebut abad ke-17). Beliau dan keluarga
besarnya hingga kini setia menyimpan beberapa peningalan

iv Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU


arkeologis nenek moyangnya. Efek psikologis lainnya adalah
berdasarkan buku H.A Dasuki telah ditetapkan secara resmi
oleh pemerintah daerah setempat tentang kronologis
berdirinya pedukuhan Indramayu yang kelak menjadi
kabupaten dan hari jadinya.
Ketika membicarakan dan mengritisi kedua buku itu
berarti sama saja mempertanyakan tiga hal tersebut di atas.
Lagi pula latar belakang penulis yang bukan sosok yang berada
pada “lingkungan ilmu sejarah” menjadi pertanyaan tersendiri
akan kapasitas dan kapabilitas penulis.
Kata sejarawan Prof. Dr. Taufik Abdullah, dalam situasi
seperti ini, tanpa diundang perdebatan sejarah pun akan datang
begitu saja. Kepastian sejarah sejak awal merupakan
perdebatan kultural dan teoritis. Pada tahap kedua kitapun
akan memasuki wilayah perdebatan antara sumber –ketika
historiografi tradisional (sesuatu yang dikatakan seorang
ilmuwan Belanda, Berg, lebih merupakan ekspresi kultural
daripada kesaksian sejarah) telah bisa dan harus
dipertentangkan dengan sumber-sumber asing yang mungkin
akurat, tetapi belum tentu tahu masalah yang dituliskannya
(pengantar buku Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, 2000).
Sejarawan memang mempunyai kebebasan dalam rekonstruksi.
Jika diiabaratkan korek api, yang mengikat sejarawan adalah
„batang korek‟ (yang berupa fakta sejarah), ia dapat
menyusunnya menjadi rumah-rumahan, orang-orangan, petak-
petakan, dan sebagainya. Sejarawan juga diibaratkan dalang. Ia
dapat memainkan apa saja, tetapi dibatasi oleh dua hal, yaitu
wayang dan lakon. Wayang sebagai fakta, dan lakon sebagai
tema yang dipilih. Meski demikian, sebagai ilmu, sejarah terikat
pada prosedur penelitian ilmiah. Sejarah juga terikat pada
penalaran yang bersandar pada fakta. Kebenaran sejarah
terletak dalam kesediaan sejarawan untuk meneliti sumber
sejarah secara tuntas, sehingga diharapkan ia akan
mengungkap secara objektif. Hasil akhir yang diharapkan ialah

Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU v


kecocokan antara pemahaman sejarawan dengan fakta (Prof.
Dr. Kuntowijoyo, 2005).
Lagi pula dalam pengantar buku sejarah Indramayu
tertulis, “…tidak tertutup kemungkinan bahwa semua
keputusan yang telah diambil oleh Team Peneliti Sejarah
Indramayu, baik mengenai penetapan Hari Jadi, maupun yang
berhubungan dengan penulisan Sejarah Indramayu akan
diperbaiki, diubah dan atau dibatalkan jika kelak di kemudian
hari ternyata ada fakta lain yang lebih objektif menunjukkan
ketentuan-ketentuan yang berbeda.”
Judul buku Menapak Jejak Sejarah Indramayu ini secara
sengaja dipilih sebagai sebuah kritik terhadap sejarah yang
masih diselimuti “kabut” mitologi dan mistikologi. Sesuatu
yang harus dikuak, dibuka, dibongkar, dan digugat. Upaya
tersebut tampaknya bukan hanya obsesi penulis seorang.
Kelahiran buku ini, tentu saja, bukan hanya dari obsesi semata.
Seminar Sejarah Indramayu (2007) yang diadakan penulis dan
kawan-kawan bersama Kantor Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Indramayu merupakan salah satu momen yang
banyak memberikan kontribusi penulisan.
Pada cetakan kedua ini ada tambahan berupa Bab XI
Upaya Pemetaan Sejarah Indramayu, sebagai upaya membuka
pintu gerbang sejarah daerah yang kini bernama Kabupaten
Indramayu. Tulisan tersebut juga merupakan makalah pada
seminar sejarah tahun 2016 di Indramayu pada perhelatan
Festival Cimanuk 2016.

Supali Kasim

vi Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU


Daftar Isi

Prakata Penulis ........................................................................... 5


Daftar Isi ..................................................................................... 9

PENDAHULUAN
Latar Belakang Geografis dan Sosio-kultural ....................... 1

BAB I
Indramayu dalam Tiga Naskah Sejarah.................................. 15

BAB II
Menapak Jejak dari Artefak ...................................................... 33

BAB III
Di Antara Pajajaran, Demak, Banten, dan Cirebon ............. 59

BAB IV
Pengaruh Mataram di Jawa Barat............................................ 79

BAB V
Wiralodra, Tokoh Sejarah Ataukah Fiksi? ............................. 97

BAB VI
Endang Dharma Ayu, Perempuan Berselubung Misteri .... 113

BAB VII
Tokoh-tokoh Lain dalam Perspektif Sejarah ........................ 139

BAB VIII
Dinasti Wiralodra dalam ”Tujuh Turunan” .......................... 151

Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU vii


BAB IX
Seputar Kontroversi Penetapan Hari Jadi.............................. 175

BAB X
Tradisi Lisan, Sejarah Lisan, dan ”Sejarah Peteng” .............. 189

BAB XI
Upaya Pemetaan Sejarah Indramayu ...................................... 199

Daftar Pustaka
Tentang Penulis

viii Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU


BAB VIII
Dinasti Wiralodra
dalam ’Tujuh Turunan’

Mencari jejak keturunan Wiralodra ataupun silsilahnya,


tentu saja bukan sesuatu yang mudah. Keremangan memang
sejak awal menghadang penelisikan riwayat masa lalu pada
jatidiri ayahnya, Gagak Singalodra. Sumber mengenai
Wiralodra pun hanya tegas disebutkan dalam naskah
tradisional Babad Dermayu, konon ada yang ditulis pada abad
ke-15, ataupun Serat Babad Dermayu yang disalin ulang R.B.
Muada (1820) yang sebenarnya belum pernah diteliti filolog.
Meski demikian salah satu naskah tradisional yang ada, dari
(mungkin) sekian banyak naskah babad Dermayu lainnya,
berhasil diketemukan Museum Sri Baduga Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, lalu dilakukan
transliterasi dan terjemahan oleh Masyarakat Pernaskahan
Nusantara Cabang Bandung Jawa Barat tahun 2008. Naskah
lama berbahasa Jawa-Cirebon dan beraksara Cacarakan-Jawa itu
ditulis tahun 1900.
Sumber dari Babad Dermayu secara sepintas malah
mengetengahkan masa yang kontradiktif dalam penyebutan
Wiralodra ke Indramayu. Sumber tersebut mengungkapkan

Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU 1


Wiralodra sebagai utusan Raden Patah dari Demak (abad ke-
16), sedangkan sumber dari Naskah Wangsakerta menyebut
sebagai utusan Sultan Agung dari Mataram (abad ke-17).
Sebuah perbedaan dengan rentang waktu yang mencapai
sekitar satu abad.
Sebagaimana raja-raja di Jawa, silsilah senantiasa diperkuat
dengan garis keturunan yang mampu memperkukuh legitimasi
kedudukan raja. Unsur mitologis yang berasal dari legenda,
riwayat orang-orang besar, hingga keagamaan seringkali
mewarnai silsilah. Tidaklah aneh jika ada raja yang silsilahnya
berhulu pada makhluk halus, raksasa, wayang, raja-raja besar
sebelumnya, ataupun Nabi. Lebih dari itu diinterpretasikan
bahwa raja adalah wakil Tuhan di dunia. Hal ini merupakan
kontinuitas yang dipertahankan sebagai alat legitimasi untuk
memperkukuh kedudukan secara turun-temurun. Tidak hanya
itu, pemeliharaan status quo ini juga menjadi bagian untuk
mempertahankan eksistensi rezim dari perubaan politik yang
berlangsung dinamis pada beberapa kurun waktu.
Di dalam Serat Wulangreh disebutkan, bahwa raja
berkedudukan sebagai wakil Tuhan dan memerintah
berdasarkan hukum keadilan, oleh sebab itu rakyat wajib
mengikutinya. Orang yang tidak mengikuti raja atau menolak
perintahnya berarti ia menentang kehendak Tuhan (Darsiti,
2000 dalam Purwadi, 2004:5).

Memiliki silsilah dengan berpangkal pada ketokohan figur-


figur kuat sangat terlihat di tatar Priangan. Hal itu terlihat jelas
dengan genealogi yang berpangkal pada kebesaran Prabu
Siliwangi. Hampir semua historiografi tradisional yang
dihasilkan pada abad ke-19 –-Sajarah Sukapura, Babad
Limbangan dan Timbanganten, Sajarah Cikundul-– atau
historiografi bercorak khusus yang ditulis pada awal abad ke-
20, seperti Babad Sumedang dan Babad Raden Adipati Aria
Martanagara, mencantumkan Prabu Siliwangi dari Kerajaan
Pajararan sebagai leluhurnya. Begitu pula dalam naskah abad

2 Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU


ke-18 dan ke-19 seperti Babad Pajajaran, Carita Waruga Guru,
Kitab Pancakaki Masalah, Karuhun Kabeh, Carita Ratu Pakuan,
Babad Sumedang, dan Pustaka Pakungwati Cirebon. Ada dua hal
yang bisa disimpulkan dari penulisan semacam itu dengan
melihat situasi politik pada kurun waktu tersebut. Pertama,
silsilah itu dibuat untuk kepentingan pribadi tokoh elit politik
pribumi sebagai bawahan pemerintah Hindia Belanda. Kedua,
untuk kepentingan elit politik pribumi (Jawa) sebagai
pemimpin rakyat (Nina H. Lubis, 2000: 19-33). Sultan Cirebon
juga memiliki dinasti yang kuat, yakni dari garis ayah
berpangkal pada Nabi Muhammad SAW, sedangkan dari garis
ibu pada Siliwangi hingga Prabu Panji Kuda Lelean (Maharaja
Adimulya).
Terlepas dari dua simpulan yang menjadi latar belakang
penulisan silsilah, tampaknya genealogi dinasti Wiralodra pun
tidak jauh berbeda. Pangkal silsilah secara tertulis pada dua dua
sosok yang sangat dikenal dalam masyarakat Jawa dan umat
Islam, yakni Gajah Mada dan Nabi Muammad SAW. Sebagai
sebuah icon, Gajah Mada dan Nabi Muhammad SAW memiliki
legitimasi kuat yang mengakar dalam dan kokoh pada
masyarakat. Gajah Mada adalah mahapatih Majapahit yang
mampu mempersatukan nusantara dan mengantarkan masa
kejayaan dan keemasan Prabu Hayam Wuruk. Nabi
Muhammad SAW adalah penerima wahyu sekaligus penyebar
agama Islam, yang kemudian menjadi agama terbesar di dunia.
Dua icon itu bersatu pada diri Wiralodra dan Endang Dharma,
yang kemudian menurunkan dinasti pemerintahan di
Indramayu.
Berdasarkan dokumen yang disimpan keturunan ke-12
Wiralodra, H.R. Sutadji K.S., silsilah Wiralodra berhulu pada
Mahapatih Majapahit yang terkenal, Gajahmada. Urutannya
adalah Wiralodra anak dari Gagak Singalodra. Singalodra anak
dari Gagak Handaka. Gagak Handaka anak dari Mangkuyuda.
Mangkuyuda anak dari Anggayuda. Anggayuda anak dari Jaka
Kuat. Jaka Kuat anak dari Gajah Mada.

Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU 3


Versi Babad Dermayu ataupun dokumen keluarga
menyebutkan, istri Wiralodra adalah Endang Dharma Ayu.
Jika silsilah Wiralodra berujung pada Gajah Mada, silsilah
Endang Dharma tidak kalah hebatnya yakni berhulu pada
Nabi Muhammad SAW. Disebutkan, nama lain Endang
Darma adalah Siti Maemunah atau Nyi Mas Gandasari, yang
merupakan putri dari Mahdlar Ibrahim. Mahdlar Ibrahim anak
dari Maulana Malik Ibrahim. Maulana Malik Ibrahim anak dari
Maulana Jumadil Kubro. Maulana Jumadil Kubro keturunan
dari Zainal Abidin. Zaenal Abidin anak dari Hasan bin Ali.
Hasan bin Ali anak dari Fatimah dan Ali bin Abu Thalib.
Fatimah anak dari Nabi Muhammad SAW.

4 Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU


Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU 5
6 Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU
Silsilah Wiralodra menurut babad Dermayu versi Raffan S.
Hasyim adalah sebagai berikut:

Mitologi Wayang
Bagi orang Jawa, wayang tak sekadar sebuah pertunjukan
kesenian atau hiburan semata. Wayang tak hanya benda mati
dari kulit kerbau yang dimainkan dalang, diiringi gamelan, dan
ditingkahi tembang pesinden. Wayang juga bermakna
sosiologis dan psikologis yang menyentuh nilai-nilai kehidupan
dengan berbagai dimensi kepercayaan (agama),
kemasyarakatan, bahkan kekuasaan. Mitologi wayang Jawa
merupakan upaya untuk menyelidiki secara puitis posisi
eksistensial orang Jawa, hubungannya dengan tatanan alam
kodrati dan adikodrati, dengan orang lain –-dan dengan dirinya
sendiri. Relasi kemasyarakatan dan kekuasaan sesungguhnya
dijelaskan dalam wayang melalui keseimbangan adanya Pendawa
dan Kurawa sebagai simbol sosial-politik yang menempatkan
tokoh-tokoh pada posisi “kanan” dan “kiri”. Suatu
keseimbangan antara “pemerintah” dan “pengontrol”
(oposan), yang disimpulkna Claire Holt sebagai “suatu dunia
yang stabil berdasarkan konflik” (Anderson, 2000).

Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU 7


Meski demikian, kecenderungan idola tetap mengarah
pada sosok yang menempati posisi “kanan” sebagai
representasi kebaikan dan kebenaran. Mitologi wayang seperti
itu demikian meresap dalam filsafat orang Jawa dalam
hubungannya dengan fenomena kemasyarakatan dan
kekuasaan. Entah kebetulan atau tidak, unsur mitologi juga ada
pada jumlah Wiralodra bersaudara sebanyak lima orang. Ada
tengara bahwa unsur pewayangan, yakni Pendawa Lima, melekat
erat dalam jumlah saudara ini. Hal itu dipertegas dengan anak
ke-4 dan ke-5 yang “tampaknya” kembar, Tanujaya dan
Tanujiwa, sebegai representasi dari si kembar dalam Pendawa
Lima, Nakula dan Sadewa. Wiralodra berada pada nomor ke-3
yang didentikkan sebagai Arjuna, sosok yang cakap dan sakti.
Anak pertama dan kedua adalah Wangsanegara dan
Wangsayudha.
Entah secara sengaja atau tidak, pengambilan gambaran
persaudaraan dalam wayang seakan-akan menjelaskan posisi
orang Jawa dan kekuasaannya yang memiliki “kiblat” pada
keteladanan wayang. Tradisi ini memancarkan sikap untuk
menjelaskan kedudukan dan fungsi seseorang atau keluarga
dalam kemasyarakatan dan ketatanegaraan. Dipilihnya Pendawa
Lima merupakan simbol persaudaraan yang utuh, kompak, dan
menjelaskan karakter-karakter kepemimpinan yang kuat dalam
ketatanegaraan.
Mitos lain adalah adanya “tujuh turunan” dalam dinasti
Wiralodra. Istilah tujuh turunan seringkali dipakai dalam
kehidupan sosial orang Jawa untuk menggambarkan batas
betapa besarnya jumlah kekayaan dan kekuasaan seseorang
yang tergolong orang kaya atau orang besar. Dinasti kekuasaan
Wiralodra di Indramayu, berdasarkan dokumen keturunannya,
ternyata hingga mencapai generasi ke tujuh. Dengan kata lain
yang menjabat sebagai adipati (bupati) di Indramayu hingga
mencapai tujuh turunan. Generasi berikutnya, meskipun masih
keturunan Wiralodra tidak menduduki kursi adipati, akan
tetapi hanya mencapai jabatan Demang ataupun Rangga. Hal itu

8 Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU


berkaitan dengan masuknya zaman VOC, yang mengatur
wilayah hingga tata pemerintahan kerajaan-kerajaan dan
daerah. Adipati/Bupati di Indramayu tidak lagi berdasarkan
geneologis dinasti Wiralodra, tetapi ditunjuk dan ditetapkan
VOC. Dinasti Wiralodra yang memerintah Indramayu pun
berakhir hingga generasi ketujuh.

Versi Sutadji
Generasi
Tahun Nama Adipati Gelar
ke
I 1510-1575 R. Wiralodra I Indrawijaya
II 1576-1616 R. Wirapati Wiralodra II
III 1617-1680 R. Sawerdi Wiralodra III
IV dan V 1781-1771 R. Benggala Wiralodra IV
IV dan V 1712-1752 R. Benggali Wiralodra V
VI 1753-1815 R. Semangun Wiralodra VI
VII 1815-1859 R. Krestal Wiralodra VII

Versi Babad Dermayu 1900


Generasi
Tahun Nama Adipati Gelar
ke
I - R. Kerstal Wiralodra I
II - R. Wirapati Wiralodra II
III - R. Sumerdi Wiralodra III
IV dan V - R. Benggala Wiralodra IV
IV dan V - R. Benggali Wiralodra V
VI - R. Semangun Wiralodra VI
VII - R. Kerstal Wiralodra VII

Meski secara lengkap menggambarkan pemerintahan dari


generasi ke generasi Wiralodra, mengenai tahun
pemerintahannya disebutkan sebagai perkiraan. Tentang nama
Wiralodra yang menjadi gelar hingga generasi ketujuh (atau
sampai Wiralodra bergelar ketujuh), tentu saja, dipilih sebagai
suatu penghormatan teradap generasi pertama yang memiliki
jasa sangat besar dalam mendirikan daera. Pemilihan nama
tersebut, secara etimologi dapat dihubungkan pada
kecenderungan kepemimpinan dan kekuasaan. Artinya,
Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU 9
bukanlah nama biasa yang tak memiliki arti secara sosiologis
maupun psikologis.
Menyandang nama yang demikian gagah berani dan dapat
menghancurkan musuh-musuhnya merupakan syarat utama
seorang ”raja”. Dilihat dari nama, secara sosiologis dan
psikologis akan mampu menggetarkan musuh-musuhnya dan
meningkatkan dukungan rakyatnya hingga ke tingkat fanatis.
Nama itulah yang kemudian layak dijadikan nama-nama gelar
hingga generasi berikutnya dalam sebuah dinasti. Dengan kata
lain, tanpa menyandang nama Wiralodra, akan sulit bahkan
tidak mungkin menjadi penerus kepemimpinan pada kurun
waktu tersebut.

Generasi Wiralodra
Secara agak lengkap menurut catatan H.R. Sutadji K.S.,
putra-putri atau keturunan Raden Gagak Singalodra terdiri dari
beberapa generasi, yang kemudian menjadi dinasti
pemerintahan di Indramayu (yang huruf tebal-tegak menjadi
adipati di Indramayu), yaitu Generasi I: R. Wangsanegara, R.
Wangsayuda, R. Wiralodra I, R. Tanujaya, R. Tanujiwa.
Generasi II, dari keturunan Wiralodra I, yaitu: R. Suramerta,
R. Wirapati (R. Wiralodra II), R.A. Inten, R. Driyantaka.
Generasi III, dari keturunan Wiralodra II: R. Koni, R.
Tenur, R. Sawerdi (R. Wiralodra III), R. Wirantaka, R.
Wiraatmaja, R. Trasuta, R. Raksawinata, R. Mayawangsa, R.
Wiralaksana, R. Adiwangsa, R. Mayasuta, R. Puspataruna, R.
Ratramaya.
Generasi IV dan V, dari keturunan Wiralodra III: R.
Benggala (R. Wiralodra IV), R. Benggali (R. Wiralodra
V), R. Singawijaya, R. Raksaminata. Mengenai akhir dari
generasi ke-4 yakni Benggala, tidak menyerahkan
pemerintahan kepada anaknya, akan tetapi kepada adiknya,
Benggali. Hal itu disebabkan ada perselisihan yang berakhir
pada penyerahan tahta kepada sang adik sebagai generasi ke-5.

10 Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU


Generasi VI, dari keturunan Wiralodra IV: R. Laut, R.
Ganjur, R. Purwadinata, R. Kartawijaya, R.A. Nayasastra, R.A.
Gembruk, R.A. Toyibah, R.A. Moka, sedangkan dari
keturunan Wiralodra V adalah R. Semangun (R. Wiralodra
VI).
Generasi VII, dari keturunan Wiralodra VI: R.
Suryawijaya, R. Suryaputra, R. Suryabrata, R. Krestal (R.
Wiralodra VII), R.A. Suma, R.A. Suruh, R. Kartawijaya, R.
Sutapraja, R.A. Ireng, R.A. Kuning. R. Kartakusuma. Dari R.
Kartawijaya melalui garis keturunan Wiralodra IV adalah R.
Kartakusuma.
Mengenai jejak keturunan dan silsilah Wiralodra
sebenarnya ada dalam isi lontar Babad Dermayu. Hal ini
dikemukakan keturunan ke-12 Wiralodra, H.R. Sutadji K.S.
Lontar berupa tembang macapat itu ditulis secara turun-
temurun oleh para keturunan Wiralodra dalam huruf Jawa
berbahasa Jawa. Penyalinan juga dilakukan dengan huruf latin.
Generasi Wiralodra berikutnya sesudah putusnya dinasti
Wiralodra sebagai adipati di Indramayu tak sedikit yang
memegang jabatan lain sebagai demang ataupun rangga. Hal
itu tampak pada generasi ke-8, Kartawiguna bergelar
Wiradibrata I sebagai rangga/onder regent, ataupun R. Marngali
Wirakusuma sebagai demang ngabehi. Kelanjutan setelah tujuh
turunan (yang berhuruf tebal-tegak adalah demang/rangga)
itu adalah: Generasi VIII, dari keturunan R. Kartakusuma
(generasi VII) dari R. Kartawijaya (generasi VI) adalah
Wiradibrata I (Kartawiguna), sedangkan dari Wiralodra VII
adalah R. Marngali, R.A. Widuri (Nyi Rangga Wiradibrata I),
R.A. Malayadirja, R. Wiralaksana, R. Wirantabrata, R.
Wiradaksana, R. Wirasubrata, R.A. Tursinah, R. Kartawilasa,
R.A. Anjani.
Generasi IX dari R. Marngali adalah R. Wirasentika, R.A.
Pertiwi, R.A. Sukinih-R. Nistura, R.A. Patimah, sedangkan dari
pasangan Wiradibrata I-R.A. Widuri adalah R. Wiramadenda,
R. Mardada (Wiradibrata II), R. Sumbaga, R. Nistura

Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU 11


Wiradibrata. Generasi X dari Wirasentika adalah R.
Wirawidura, R. Wirasuteja, R. Wirasudarma. Dari
Wiramadenda adalah R. Wirasujana, R. Wirataruna, R.
Wiraudara, R. Wiradisastra. Dari Wiradibrata II adalah R.
Suprapta. Dari Nistura Wiradibrata adalah R. Wiradipraja, R.
Krestal Wiradibrata, R.A. Sesuruh.
Generasi XI dari Wiradisastra adalah R. Darmawiraka, R.
Ardimalaya, R. Jayusman, R.A. Jaenah. Dari R. Suprapta
adalah R. Arkat Kartasujatma. Dari R. Krestal Wiradibrata
adalah R. Eliyas, R. Daniel, R. Musa, R. Muchidin, R. Kasan
Wiradibrata, R. Kusen. Generasi XII dari R. Arkat
Kartasujatma adalah R.A. Nurilah, R. Nuralim, R. Sutadji, R.
Suhardjo, R. Sunardi, R. Sumarta, R.A. Nuraeni, R. Sudarto,
R.A. Nurhayati, R. Sutrisno.
Di samping itu, jika ditelisik lebih jauh, tentu saja akan
makin banyak lagi keturunan dari tiap generasi itu. Yang
disebutkan di atas hanyalah dari seorang keturunan saja, yakni
dari keluarga H.R. Sutadji K.S.
Versi yang agak berbeda tertulis pada bagian akhir dalam
naskah Babad Dermayu tahun 1900. Generasi I: Nyayu
Wangsanegara, Nyayu Wangsayuda, R. Kerstal (Wiralodra I),
R. Tanujaya, R. Tanujiwa. Generasi II dari Wiralodra I: R.
Sutamerta, R. Wirapati (Wiralodra II), Nyayu Hinten (istri
Ratu Pulo Mas, Werdinata), R. Driyantaka.
Generasi III dari Wiralodra II: R. Kowi, R. Timur, R.
Sumerdi (Wiralodra III), R. Wirantaka, R. Wiratmaja,
Hajeng Raksawiwangsa, Hajeng Sutamerta, Hajeng
Nayawangsa, Hajeng Wiralaksan[n]a, Hajeng Hadiwangsa,
Hajeng Wilastro, Hajeng Puspatarun[n]a, Hajeng Patranaya.
Generasi IV dan V dari Wiralodra III: R. Benggala
(Wiralodra IV), R. Benggali (Wiralodra V, gelar
Singalodraka), Hajeng Singawijaya, Hajeng Raksawinata.
Generasi VI dari Wiralodra IV: R. Lahut, R. Ganar,
Hajeng Parwawinata, R. Solo alias Kartawijaya, Hajeng
Nahiyasta, Hajeng Gembrak, Hajeng Tayub, Hajeng Moka.

12 Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU


Sedangkan dari Wiralodra V adalah R. Semangun (Wiralodra
VI). Generasi VII dari Wiralodra VI: R. Suryapati, R.
Suryabrata, R. Suryawijaya, R. Kerstal (Wiralodra VII).
Serelah generasi VII, tak ada gelar Wiralodra berikutnya.
Adapun Generasi VIII dari Wiralodra VII adalah R. Marngali
Wirakusuma (Demang Bébersindang), Nyayu Wiradibrata
(rangga), Nyayu Malayakusuma (Demang Plumbon), Nyayu
Hékasubrata (Demang Anjatan), Nyayu Suradisastra (ulu-ulu),
Nyayu Hanjani (mantri tanah), R. Yogya Kartawilasa, R. Kalid
Wiradaksana (Demang Lobener), R. Prawiradirja Wiradaksana
(Demang Losari).
Generasi IX dari R. Wirakusuma: R. Wirasentika
(Demang Lobener), Nyayu Sastrakusuma (jurutulis Demang
Brengenyéber), Nyayu Wiradibrata Wékling, Nyayu Patimah
(Demang Leléya).
Generasi IX dari R. Yogya Kartawilasa: R. Madi
Wirasomantri, Nyayu Cilik. Generasi IX dari R. Kalid
Wiradaksana: R.Wirasaputra (demang), R. Wirahatmaja, Nyayu
Sumbadra. Generasi IX dari R. Prawiradirja: Nyayu
Wiradiwangsa, R. Prawirakusuma. Generasi IX dari
(Kang)jeng Wirabrata: R. Wiramadengda, Nyayu Sumaga, R.
Mardada Wiradibrata, R. Marsada. Generasi IX dari Nyayu
Malayakusuma: R. Perdata Wirahastabrata, R. Sumarga
Wirasudiga
Versi yang juga agak berbeda dikemukakan Raffan S.
Hasyim (makalah, 2007) tentang silsilah berdasarkan naskah
babad Dermayu. Naskah tersebut merupakan hasil tulisan pada
bulan Juni 1913 di Kandanghaur dan disalin dari aksara Jawa
ke dalam aksara Pegon oleh Raden Syarief Rochani
Kusumawijaya pada tanggal 15 Pebruari 1957. Naskah itu pada
tanggal 26 September 1977 disalin kembali ke dalam aksara
Latin oleh Raden Syarief Zaenal Asyikin Tirtawijaya. Sebuah
naskah yang merupakan salinan atas salinan-salinan
sebelumnya.

Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU 13


Urutan generasinya adalah sebagai berikut: Generasi I:
Wangsa Negara, Wangsayuda, Wiralodra (Dalem Dermayu
I/Wiralodra I), Tanujaya, Tanujiwa. Generasi II, dari Wiralodra
I: Sutamerta, Wirapati (Dalem Dermayu II/Wiralodra II),
Nyai Ayu Inten, Trajata. Generasi III, dari Wiralodra II: Raden
Kai. Generasi IV dari Raden Kai: Benggala (Singa Lodraka),
Benggali, Singawijaya, Rara Winata. Generasi V dari Benggala:
Semangun (Wiralodra III).
Ada hal yang berbeda dari tiga sumber itu. Versi Raffan S.
Hasyim hanya menyatakan tiga dinasti kekuasaan, yaitu
Wiralodra I, Wiralodra II (Wirapati), dan Wiralodra III
(Semangun), sedangkan versi keluarga Sutadji maupun Babad
Dermayu 1900 menyebutkan hingga tujuh dinasti kekuasaan,
yaitu Wiralodra I, Wiralodra II (Wirapati), Wiralodra III
(Sawerdi/Sumerdi), Wiralodra IV (Benggala), Wiralodra V
(Benggali), Wiralodra VI (Semangun), dan Wiralodra VII
(Krestal/Kerstal).

14 Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU


Secara lengkap perbandingan dari ketiga versi itu adalah sebagai berikut:
Versi Babad Dermayu Versi Babad Dermayu RS
Generasi Versi Babad Dermayu 1900
Kel. Sutadji Hasyim
Jaka Kuwat (putra dari Pajajaran)
Mangkuyuda (Tumenggung
Mataram)
Gajah Mada Ngabehi Wiraseca Kyai Batara (Seda ing Gunung
Kumbing)
Jaka Kuat Kartawangsa (Tumenggung Pangeran Adipati Suwanah
Mataram) (Bagelen)
Anggayuda Kyahi Belara Tumenggung Gagak Pernala
Mangkuyuda Raden Lowana (Tumenggung R. Gagak Kumitir, R. Gagak
Bagelen) Wira, R. Gagak Pringgading, R.
Gagak Klana Prawira.
Gagak Handaka Gagak Pernala (Tumenggung R. Gagak Singa Lodraka
Bagelen), Gagak Kumitir (Bupati Bagelen)
(Bagelen), Gagak Wirawijaya
(Tumenggung Tegal), Gagak
Pringgawipura (Tumenggung
Ngayogya), Gagak Klanaprawira
(Tumenggung Karangjati)
Gagak Singalodra R. Wirapati, R. Wiraseca, R. R. Jaka Kuwat, R. Kumba
Wirakusuma, R. Singa-lodraka. Bocor, R. Mangku Yuda, R.
Gagak Wirosetyo
Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU 165
Versi Babad Dermayu Versi Babad Dermayu RS
Generasi Versi Babad Dermayu 1900
Kel. Sutadji Hasyim
Generasi I Dari Gagak Singalodra: Dari Raden Wiraseca: Dari Gagak Wirosetyo:
Wangsanegara, Wangsayuda, Wangsanegara, Wangsayuda, R. Wangsa Negara, Wangsayuda,
Wiralodra I, Tanujaya, Tanujiwa. Krestal (Wiralodra I), Tanujaya, Wiralodra I, Tanujaya,
Tanujiwa. Dari R. Tanujiwa.
Singalodraka: R. Jaka Kuwat, R.
Kumbabocor, Bayu Mangkuyuda
Generasi II R. Sutamerta, R. Wirapati R. Sutamerta, R. Wirapati Sutamerta, Wirapati (Wiralodra
(Wiralodra II), R.A. Inten, R. (Wiralodra II), Nyayu Hinten, R. II), Nyai Ayu Inten, Trajata
Driyantaka Driyantaka
Generasi R. Koni, R. Tenur, R. Sawerdi R. Kowi, R. Timur, R. Sumerdi R. Kai
III (Wiralodra III), R. Wirantaka, R. (Wiralodra III), R. Wirantaka, R.
Wiraatmaja, R. Trasuta, R. Wiratmaja, ajeng Raksawiwangsa,
Raksawinata, R. Mayawangsa, R. Hajeng Sutamerta, Haajeng
Wiralaksana, R. Adiwangsa, R. Nayawangsa, Hajeng
Mayasuta, R. Puspataruna, R. Wiralaksana, Hajeng Hadiwangsa,
Ratramaya ajeng Wilastro, Hajeng
Puspataruna, Hajeng Patranaya
Generasi R. Benggala (Wiralodra IV), R. R. Benggala (Wiralodra IV), R. Dari R. Kai: Benggala (Singa
IV & V Benggali (Wiralodra V), R. Benggali (Wiralodra V, gelar Lodraka), Benggali, Singawijaya,
Singawijaya, R. Raksaminata Singalodraka), Hajeng Rara Winata.
Singawijaya, Hajeng Raksawinata Dari Benggala: Semangun
(Wiralodra III)
166 Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU
Versi Babad Dermayu Versi Babad Dermayu RS
Generasi Versi Babad Dermayu 1900
Kel. Sutadji Hasyim
Generasi Dari Wiralodra IV: R. Laut, R. Dari Wiralodra IV: R. Lahut, R. -
VI Ganjur, R. Purwadinata, R. Ganar, Hajeng Parwawinata, R.
Kartawijaya, R.A. Nayasastra, Solo alias Kartawijaya, Hajeng
R.A. Gembruk, R.A. Toyibah, Nahiyasta, Hajeng Gembrak,
R.A. Moka. Hajeng Tayub, Hajeng Moka.
Dari Wiralodra V: R. Semangun Dari Wiralodra V: R. Semangun
(Wiralodra VI) (Wiralodra VI)
Generasi R. Suryawijaya, R. Suryaputra, R. R. Suryapati, R. Suryabrata, R. -
VII Suryabrata, R. Krestal (Wiralodra Suryawijaya, R. Kerstal
VII), R.A. Suma, R.A. Suruh, R. (Wiralodra VII).
Kartawijaya, R. Sutapraja, R.A.
Ireng, R.A. Kuning, R.
Kartakusuma.
Generasi Dari R. Kartakusuma: Dari Wiralodra VII: R. Marngali -
VIII - Wirakusuma, Nyayu Wiradibrata,
Dari R. Kartawijaya: Nyayu Malayakusuma, Nyayu
Wiradibrata. Dari Wiralodra Hekasubrata, Nyayu Suradisastra,
VII: R. Marngali, R.A. Widuri, Nyayu Hanjani, R. Yogya
R.A. Malayadirja, R. Wira-laksana, Kartawilasa, R. Kalid
R. Wirantabrata, R. Wiradaksana, Wiradaksana, R. Prawiradirja
R. Wirasubrata, R.A. Tursinah, R. Wiradaksana.
Kartawilasa, R.A. Anjani.
Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU 167
Versi Babad Dermayu Versi Babad Dermayu RS
Generasi Versi Babad Dermayu 1900
Kel. Sutadji Hasyim
Generasi Dari R. Marngali: R. Wira- Dari R. Marngali Wira- -
IX sentika, R.A. Pertiwi, R.A. kusuma: R. Wirasentika, Nyayu
Sukinih, R. Nistura, R.A. Sastrakusuma, Nyayu
Patimah. Dari Wiradibrata: R. Wiradibrata, Nyayu Patimah.
Wiramadenda, R. Mardada, R. Dari R. Yogya Kartawilasa: R.
Sumbaga, R. Nistura Wiradibrata. Madi Wirasomantri, Nyayu Cilik.
Dari R. Kalid Wiradak-sana: R.
Wirasaputra, R. Wirahatmaja,
Nyayu Sumbadra. Dari R.
Prawiradirja: Nyayu
Wiradiwangsa, R. Prawirakusuma.
Dari Kangjeng Wirabrata: R.
Wiramadengda, Nyayu Sumaga,
R. Mardada Wiradibrata, R.
Marsada. Dari Nyayu Malaya-
kusuma: R. Perdata
Wiraastabrata, R. Sumarga
Wirasudiga.
Generasi X Dari R. Wirasentika: R. - -
Wirawidura, R. Wirasuteja, R.
Wirasudarma. Dari
Wiramadenda: R. Wirasujana, R.
Wirataruna, R. Wiraudara, R.
168 Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU
Versi Babad Dermayu Versi Babad Dermayu RS
Generasi Versi Babad Dermayu 1900
Kel. Sutadji Hasyim
Wiradisastra. Dari Wiradibrata
II: R. Suprapta. Dari Nistura
Wiradibrata: R. Wiradipraja, R.
Krestal Wiradibrata, R.A.
Sesuruh.
Generasi Dari Wiradisastra: R. - -
XI Darmawiraka, R. Ardimalaya, R.
Jayusman, R.A. jaenah, Dari R.
Suprapta: R. Arkat Kartasujatma.
Dari R. Krestal Wiradibrata: R.
Eliyas, R. Daniel, R. Musa, R.
Muchidin, R. Kasan Wiradibrata,
R. Kusen.
Generasi Dari R. Arkat Kartasujatma: - -
XII R.A. Nurilah, R. Nuralim, R.
Sutadji, R. Suharjo, R. Sunardi, R.
Sumarta, R.A. Nuraeni, R.
Sudarto, R.A. Nurhayati, R.
Sutrisno.
*keterangan:
Pada Generasi X hingga XII silsilah diarahkan ke keluarga Sutadji (dokumen keluarga). Di luar itu silsilah masih lebih melebar lagi.
Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU 169
Versi Pemkab
Nama-nama bupati/adipati yang dikeluarkan Pemerintah
Kabupaten Indramayu justru tampak tidak memiliki dasar yang
jelas. Dalam perayaan Hari Jadi setiap tahun, buku panduan
yang memuat nama-nama tersebut tidak bersumber pada buku
Dasuki (1977) atau buku Sutadji (2003), yang keduanya
bersumber Babad Dermayu, ataupun sumber lain. Sebagai
contoh Singalodra disebut sebagai Wiralodra I, selanjutnya
Wirapati (Wiralodra II), Sawedi (Wiralodra III), Banggala
(Wiralodra IV), Banggali (Wiralodra V), Samaun (Wiralodra
VI), dan Mangali (Wiralodra VII).
Selama ini tidak ada sumber yang menyebutkan
Singalodra adalah Wiralodra I maupun Mangali (mungkin
maksudnya Marngali) sebagai Wiralodra VII. Sumber tersebut
menyebutkan Singalodra adalah ayah Wiralodra I, sedangkan
Marngali bukan bupati/adipati melainkan demang. Jika yang
dimaksud Mangali adala Marngali Wirakusuma, menurut Babad
Dermayu 1900, ia adalah putra pertama Wiralodra VII (Raden
Kerstal). Marngali adalah seorang demang Bebersindang.
Ketakakuratan juga pada penulisan nama-nama lain.

Tak Ada Matahari Kembar


Sumber mengenai dinasti dan silsilah Wiralodra berasal
dari Babad Dermayu dan dokumen keluarga H.R. Sutadji K.S.
(keturunan ke-12 Wiralodra) maupun yang diungkapkan
Raffan S. Hasyim (makalah, 2007) merupakan sumber
sekunder, yang harus diperbandingkan lagi dengan sumber
primer. Hingga kini sumber primer mengenai dinasti dan
silsilah Wiralodra belum ada atau belum diketemukan.
Adanya unsur mitologi, seperti silsilah yang berhulu pada
orang-orang besar zaman dulu (hingga Gajah Mada) dan tokoh
agama Islam (hingga Nabi Muhammad SAW) bisa jadi sebuah
kelaziman yang dilakukan penguasa untuk legitimiasi
kekuasannya. Adanya kemiripan jumlah saudara dengan tokoh
pewayangan Pendawa Lima, termasuk urutan keempat dan

170 Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU


kelima yang kembar, bisa jadi pula sebagai representasi dari
ketokohan Pendawa Lima yang merupakan obsesi dan idola
publik. Pemikiran semacam itu kemudian dikelola penguasa
sebagai simbol persaudaraan yang saling bahu-membahu
dalam sebuah tata pemerintahan menuju negara yang sejahtera,
adil, dan makmur.
Fenomena di atas merupakan suatu kelaziman pada
penulisan silsilah, yang cenderung sebagai “sejarah peteng”,
sebuah kegelapan sejarah yang isinya lebih mengandalkan
mitologi dan legenda sebagai sumbernya. Babad Tana Jawi,
misalnya, yang dikumpulkan W.L. Olthof di Belanda tahun
1941 memuat “sejarah peteng” tentang berbagai hal dari Nabi
Adam sampai tahun 1647. Bab mengenai Asal-muasal Tanah
Jawa dimulai dari Nabi Adam, kemudian Sis, Nurcahya,
Nurasa, Sanghyang Wening, Sanghyang Tunggal, Batara Guru,
Batara Sambo, Batara Brama, Batara Maha-Dewa, Batara
Wisnu, Dewi Sri. Batara Wisnu menjadi raja di Pulau Jawa
bergelar Prabu Set.
Ada penyesuaian secara “sinkretik” antara unsur agama
dengan nilai-nilai kepercayaan Jawa, yang dalam babad
memang sangat memungkinkan. Begitu pula “sejarah peteng”
Cirebon menyebutkan silsilah Pangeran Cakrabuana dan Ratu
Mas Rarasantang dimulai dari Nabi Adam kemudian figur-
figur lain yang cenderung sinkretis (Yoseph Iskandar,
2000:103). Urutannya adalah Nabi Adam, Nabi Sis, Sayid
Anwar (Sanghyang Nurcahya), Nuruhu (Sanghyang Nurasa),
Suur (Sangyang Wenang), Nubuh (Sanghyang Tunggal), Jalalu
Purba (Batara Guru), Manyikeru (Batara Brahma), Marij
(Nibrahma, menurunkan jin dan setan), Sang Tritusta,
Kanikanan, Nukmonas, Batara Sukrem, Batara Sakri, Begawan
Palasara, Begawan Abiasa, Pandu Dewanata, Adipati Suryalaga
(Arjuna), Anom Permadi (Abimanyu), Prabu Parikesit, Prabu
Udayana, Gendrayana, Jayabaya, Jayamijaya, Jayamisena,
Kusuma Wicitra, Citrasoma, Pancadriya, Anglingdriya, Angling
Darma (identik Purnawarman di Tarumanagara), Sri Maha

Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU 171


Punggung, Dewa Natacengkar (identik Prabu Kandiawan, raja
Kahuripan), Resi Kenduyuhan, Prabu Lembu Amiluhur,
Adipati Kasatrian, Panji Lelean, Raja Adimulya (raja Galuh
Pakwan), Ciung Wanara, Purbasari, Linggyang, Linggawesi,
Wastu Kencana, Susuk Tunggal, Banyak Larang, Banyak
Wangi, Munding Kawati, Anggalarang, Siliwangi, kemudian a.
Cakrabuana dan b. Rara Santang.
Silsilah kekuasaan secara genealogis memang berakhir
ketika Pemerintah Hindia Belanda mengambil alih kekuasaan
pada tahun 1808 dari tangan VOC. Gubernur Jenderal
Daendels (1808-1811) melakukan kebijakan penurunan posisi
bupati, dari pemimpin rakyat menjadi pegawai negeri biasa.
Prinsip pewarisan jabatan tidak diakui sama sekali. Kebijakan
itu berlanjut pada era Raffles (1811-1816), yang bahkan sosok
bupati hanya berfungsi sebagai pengawas keamanan (polisi) di
daerahnya. Kebijakan itu berubah saat dipegang Van der
Capellen (1817-1826) hingga penggantinya, Van den Bosch
dan Pahud yang mengembalikan posisi bupati. Secara implisit,
diakui prinsip pewarisan jabatan untuk pengganti bupati,
meskipun ada persyaratan khusus seperti harus rajin, dapat
dipercaya, dan tulus hati (Nina H. Lubis, 2000:24).
Kekuatan genealogis untuk melanggengkan sebuah dinasti
pada era republik (orla, orba, dan reformasi) memang seperti
terputus, jika yang dilihat silsilah secara biologis. Kekuatan itu
dimanfaatkan dengan mengungkapkan genealogi secara
psikologis, yakni adanya keterpautan realistis antara kekuasaan
sekarang dengan kekuasaan sebelumnya pada sebuah daerah
berdasarkan daftar urut yang diungkapkan kembali. Meskipun
silsilah itu hanya berdasarkan sumber sekunder yang penuh
dengan unsur mitologis dan legendaris, penguasa secara
sengaja memanfaatkannya untuk memperkuat legitimasi
kedudukan kekuasannya. Pada sisi lain, masyarakat yang sudah
dibiasakan dengan hal-hal yang irasional, dan kaum yang
diuntungkan oleh kelanggengan kekuasaan itu, menganggap
genealogi semacam itu sebagai sesuatu yang sah dan lazim.

172 Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU


Dinasti dengan gelar Wiralodra mengandung arti, hanya
generasi wiralodra-lah yang ber-“darah biru”, darah
bangsawan, yang memiliki hak untuk menjadi penguasa. Di
luar itu, meski memiliki integritas, kapabilitas, dan kekuatan
lainnya, dianggap tak memiliki hak secara genealogis untuk
menduduki “tahta”. Istilah Jawa yang tepat menggambarkan
fenomena ini berbunyi endi ana surya kembar? (mana ada mataari
kembar?) yang mengisyaratkan kekuasaan haruslah tunggal
pada diri seorang penguasa. Artinya, pada era kekinian yang
menjunjung nilai-nilai demokrasi dan meninggalkan
feodalisme, ketika ada sosok lain yang berpotensi akan menjadi
“matahari baru”, harus segera disingkirkan dan dihabisi.
Penyingkiran dan upaya menghabisi sosok-sosok yang
menjadi pesaing dan potensial menjadi “matahari baru” itu,
seringkali dilakukan dengan berbagai cara, termasuk cara-cara
yang diajurkan filsuf Italia, Nicollo Machiavelli (1469-1527):
Raihlah dan pertahankan kekuasaan walau dengan berbagai
cara, termasuk cara-cara yang tidak halal. Petuah yang banyak
dikecam orang, tetapi secara sadar atau tidak sadar, secara
diam-diam atau terang-terangan, justru banyak yang
menjalankannya. Demi kekuasaan!***

Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU 173

Anda mungkin juga menyukai