Menapak Jejak
SEJARAH
INDRAMAYU
Penulis:
Supali Kasim
ISBN:
Penerbit:
Rumah Pustaka
Jl. Nyi Endang Darma No.13 Cimanuk Barat Rt.23/Rw.06
Perumahan Taman Sindang,
Indramayu, Jawa Barat
HP/WA : 081223067807
Email : saptaguna_bumi@yahoo.com
Supali Kasim
PENDAHULUAN
Latar Belakang Geografis dan Sosio-kultural ....................... 1
BAB I
Indramayu dalam Tiga Naskah Sejarah.................................. 15
BAB II
Menapak Jejak dari Artefak ...................................................... 33
BAB III
Di Antara Pajajaran, Demak, Banten, dan Cirebon ............. 59
BAB IV
Pengaruh Mataram di Jawa Barat............................................ 79
BAB V
Wiralodra, Tokoh Sejarah Ataukah Fiksi? ............................. 97
BAB VI
Endang Dharma Ayu, Perempuan Berselubung Misteri .... 113
BAB VII
Tokoh-tokoh Lain dalam Perspektif Sejarah ........................ 139
BAB VIII
Dinasti Wiralodra dalam ”Tujuh Turunan” .......................... 151
BAB X
Tradisi Lisan, Sejarah Lisan, dan ”Sejarah Peteng” .............. 189
BAB XI
Upaya Pemetaan Sejarah Indramayu ...................................... 199
Daftar Pustaka
Tentang Penulis
Figur Wiralodra
Ringkasan tentang Wiralodra dalam buku Sejarah
Indramayu susunan H.A. Dasuki, dkk. (1977) adalah sebagai
berikut:
Wiralodra berasal dari Banyuurip, Bagelen, Jawa Tengah.
Ia putra seorang tumenggung Banyuurip bernama Gagak
Wiralodra. Putra ketiga dari lima bersaudara, yakni Raden
Wangsanegara (putra pertama), Raden Ayu Wangsayudha
(putri kedua), Raden Aria Wiralodra (putra ketiga), Raden
Tanujaya (putra keempat), dan Raden Tanujiwa (putra kelima).
Sejak kecil Wiralodra senang ilmu kanuragan dan tirakat. Ia
bercita-cita membangun sebuah negara yang kelak akan
diwariskan kepada anak-cucunya. Saat remaja, ia memperoleh
wangsit, yakni saat ia bertapa di perbukitan Melaya, di kaki
gunung Sumbing selama tiga tahun. Wangsit itu berbunyi agar
ia segera pergi ke arah matahari terbenam (barat) dan carilah
lembah sungai Cimanuk. Di situlah ia diperintahkan untuk
menderikan sebuah negeri.
Perjalanan mencari Cimanuk diiringi berlangsung selama
tiga tahun diiringi Ki Tinggil, seorang abdi setia. Banyak
rintangan ditemui. Pertama kali ia menemukan sungai, ternyata
bukan Cimanuk, melainkan Citarum. Artinya, lokasi tersebut
justru lebih jauh dari Cimanuk. Hal itu diberitahu oleh seorang
kakek sakti bernama Ki Sidum, yang kemudian menghilang
seketika. Nama lain Ki Sidum adalah Kidang Pananjung,
seorang punakawan Prabu Siliwangi, yang kasihan melihat
Wiralodra tersasar. Kidang Pananjung masih seperguruan
dengan kakek Wiralodra, dan menganggap Wiralodra seperti
cucunya sendiri. Ki Sidum pulalah yang memandu Wiralodra
menemukan Cimanuk, dengan ilmu ―menghilang‖nya. Ketika
menemukan sungai berikutnya yang disangka Cimanuk,
ternyata sungai Pamanukan. Di situ ada seorang petani
bernama Wira Setra, yang juga berasal dari Bagelen.
Penemuan sungai yang ketiga, ternayata banyak
rintangannya. Di tepinya ada ladang dengan tanaman yang
subur. Seorang petani bernama Malikwarna tengah bekerja di
situ. Lelaki itu dengan kasar mengusir Wiralodra, sampai
akhirnya terjadi perkelahian, yang dimenangkan Wiralodra.
Namun kakek itu tiba-tiba menghilang. Ladang dan tanaman
juga lenyap. Muncul suara tanpa rupa yang menyebutkan,
Malikwarna itu tiada lain adalah Ki Sidum. Disebutkan pula,
sungai itu adalah Cipunagara. Wiralodra diperintahkan agar
terus ke timur. Jika menjumpai kijang bermata berlian, ikuti.
Jika lenyap, itulah daerah sungai Cimanuk.
Tak mudah mencapai Cimanuk. Wiralodra diserang
harimau, sehingga terjadilah perkelahian. Dengan senjata
cakra, Wiralodra menang, namun harimau itu kemudian lenyap
seketika. Begitu pula ketika diserang ular besar. Rintangan itu
juga datang dari seorang perempuan cantik yang ingin dinikahi
Wiralodra. Namanya Dewi Larawana. Wiralodra menolak,
sehingga terjadilah perkelahian, yang dimenangkan Wiralodra.
Lagi-lagi lenyap seketika, karena Larawana itu siluman.
Seketika Wiralodra melihat kijang bermata berlian. Cimanuk
pun diketemukan, yang kemudian dibangun menjadi sebuah
pedukuhan. Gangguan juga datang dari para penghuni dari
negeri siluman di sekitar Cimanuk, seperti yang dipimpin
rajanya, Budipaksa, dengan patih Bujarawis. Demikian pila dari
kerajaan siluman Pulo Mas yang dipimpin Pangeran
Werdinata. Semuanya dapat dikalahkan Wiralodra, bakan
Werdinata atas petunjuk Kala Cungkring dan Langlang Jagat,
akhirnya bersaabat dengan Wiralodra. Konon beberapa waktu
kemudian Werdinata menikah dengan putri Wiralodra, Nyi
Ayu Inten.
Ketika pedukuhan Cimanuk menjadi subur, banyak orang
dari daerah lain berdatangan, yang kemudian menjadi
penduduk daerah tersebut. Suatu hari Wiralodra ‖pulang
kampung‖ ke Bagelen. Di sana ia ikut memadamkan
pemberontakan Banyubiru atas Demak, dan berhasil. Saat itu
di Cimanuk datanglah seorang perempuan bernama Nyi
Endang Dharma Ayu yang disertai dua pembantunya, Tana
dan Tani. Perempuan cantik, sopan, dan sakti itu pandai
bercocok tanam, dan juga mengajarkan ilmu kanuragan. Konon
sampai terdengar ke Palembang, yang mendorong seorang
laki-laki bernama Pangeran Guru alias Arya Damar dan 24
murid-muridnya datang ke Cimanuk untuk menantang Endang
Dharma. Perkelahian keduanya tak terelakkan. Endang
Dharma di pihak yang menang.
Peristiwa itu dilaporkan Ki Tinggil kepada Wiralodra.
Endang Dharma dianggap salah karena berbuat onar.
Perkelahian antara pihak Wiralodra dengan pihak Endang
Dharma tak terelakkan. Saudara-saudara Wiralodra tak mampu
menandingi Endang Dharma. Akhirnya terjadilah pertempuran
seru antara Wiralodra dengan Endang Dharma, tetapi secara
diam-diam keduanya menyimpan api asmara. Pada bagaian ini,
penulis menafsirkan dua kemungkinan. Kemungkinan
pertama, Wiralodra dan Endang Dharma menikah lalu nama
Dharma Ayu diabadikan sebagai nama daerah. Kemugkinan
kedua, karena merasa kalah kemudian Endang Dharma
menceburkan diri ke sungai Cimanuk dan minta namanya
diabadikan sebagai nama pedukuan itu, yakni Dharma Ayu.
Penyebutan Dharma Ayu lama-lama menjadi Darmayu,
Dermayu, dan oleh orang Belanda disebut in-Dermayu, kemudian
menjadi Indramayu.
Pada bagian analisis dan kesimpulan disebutkan,
Wiralodra menikah dengan Endang Dharma (Dasuki 1977: 93)
di Pegaden disaksikan Wira Setra. Pada bagian lain, ia juga
pernah mendapat serangan dari Arya Kamuning karena
dianggap lancang membuka pedukuhan Cimanuk, tanpa
sepengetahuan Sunan Gunung Jati. Setelah bentrok itu,
Wiralodra berpikir untuk segera meresmikan pedukuan itu
pada tanggal 7 Oktober 1527 menjadi sebuah negeri (Dasuki
1977: 82-86).
Meski mengaitkan sebuah peristiwa yang cukup serius
dengan Arya Kamuning, dalam versi lain peristiwa itu tak
terungkap. Edi S. Ekadjati dalam buku ”Sejarah Kuningan dari
Masa Prasejarah hingga Terbentuknya Kabupaten” (2003) tak
mengungkapkan adanya peristiwa itu.
Buku Dwi Tunggal Pendiri Darma Ayu Nagari (2003)
susunan H.R. Sutadji K.S. menyebutkan latar belakang dan
keberadaan tokoh Wiralodra ini agak lengkap. Ada perbedaan
mendasar misi yang diemban Wiralodra. Ringkasannya sebagai
berikut:
Aria Wiralodra atau Aria Indrawijaya putra Singalodra
adalah mata-mata Kerajaan Islam Demak yang mendapat tugas
kusus dari Raden Patah untuk menguasai pelabuhan Cimanuk,
termasuk Galuh Kaler Nagari. Tujuannya membangun
dermaga untuk keperluan logistik Angkatan Laut Demak bila
saat ekspansi ke Pajajaran tiba. Perjalanan penuh rintangan ke
Cimanuk. Wiralodra ikut berjasa membantu kemenangan
Kesultanan Cirebon berperang melawan Galuh. Ia juga pada
akhirnya diangkat sebagai Adipati Praja Cimanuk tahun 1510
oleh raja Galuh, Prabu Cakraningrat.
Saat Endang Dharma menjadi pendatang ke pedukuan
Cimanuk, Wiralodra sedang ke Bagelen membantu Demak
memadamkan pemberontakan daerah-daerah yang masih taat
pada Majapahit, yaitu Banyubiru, Pamigit, Karangjati,
Banyuurip, dan Karanganyar. Pemberontakan itu bisa
dipadamkan. Dalam beberapa hal memiliki kesamaan peristiwa
dengan buku H.A. Dasuki, tetapi banyak pula yang berbeda.
Wiralodra akhirnya menikah dengan Endang Dharma tahun
1525.
Cerita lain mengenai Wiralodra bersumber dari babad,
seperti dituliskan dalam buku Sunan Gunungjati, Antara Fakta
dan Fiksi (Dadan Wildan):
Bagian Keempatpuluh Satu. Diberi judul Prabu
Indrawijaya/Arya Wiralodra Nungkul Islam Sarwi Nyerahaken
Wewengkone Indramayu Maring Cirebon ing 1528 (Prabu
Indrawijaya/Arya Wiralodra memeluk agama Islam sambil
menyerahkan daerahnya, Indramayu, kepada Cirebon pada
1528. Bagian ini menceritakan keinginan Pangeran Kuningan
untuk menyerang Dermayu (Indramayu) yang belum memeluk
Islam karena ia tidak berhasil meraih kemenangan ketika
melawan Rajagaluh, bahkan diselamatkan ole Ki Kuwu
Cakrabuana. Meskipun Sunan Gunung Jati melarangnya,
Pangeran Kuningan tetap saja berangkat menuju Dermayu.
Sang Prabu Dermayu yang bernama Prabu Indrawijaya
sedang mengadakan pertemuan dengan pembesar kerajaan
karena ia mendapat kabar akan diserang oleh Cirebon.
Sebenarnya, ia telah berniat untuk menyerahkan diri kepada
Sunan Gunung Jati. Untuk mengatasi serangan Pangeran
Kuningan, ia mengubah dirinya menjadi kijang dan memasang
jimat Lembu Tirta dan jimat Oyod di Kali Kamal. Pangeran
Kuningan yang tiba di Dermayu melihat kijang jelmaan Prabu
Indrawijaya. Ia bermaksud menangkapnya, namun tidak
berhasil, bakan terseret air sungai hingga terbawa arus ke
tengah laut dan terdampar di Pulau Menyawak. Di sana, ia
bertemu dengan seorang kakek yang memberinya jimat cupu
yang berkhasiat dapat mendatangkan ribuan prajurit. Dari
Pulau Menyawak, ia kembali ke Cirebon. Ketika itu, Sunan
Gunung Jati tengah menghadapi para tamu dari Dermayu yang
berniat memeluk Islam dan menyerahkan kekuasaannya berada
di bawah naungan Cirebon. Selain itu, berdatangan pula para
pembesar dan para dipati dari tanah Pasundan, Sukapura, dan
Karawang yang bermaksud memeluk agama Islam.
Hal yang sama juga ada pada buku H.R. Sutadji K.S. yang
disebutnya sebagai ―Peristiwa Kali Kamal‖. Pada tahun 1528,
Pamanggul Yuda Caruban nagari, Arya Kamuning (Prabu
Surangga Jaya) dalam mabuk kemenangan setelah
mengalahkan Galuh Kaler Nagari, membawa pasukan
bersenjata api dan meriam langsung menyerang Darma Ayu,
tetapi gagal. Mereka hanya bisa berputar-putar. Ketika merasa
telah tiba di alun-alun Indramayu, justru yang terjadi di alun-
alun Cirebon. Hal itu karena terkena jimat oyod mingmang.
Mereka terheran-heran, lalu masuk ke Keraton Pakungwati.
Keberadaan Wiralodra –dengan ilustrasi seperti cerita di
atas—ternyata berbeda dengan sumber-sumber lain. Sumber
lain tersebut adalah buku Sundakala (2005: 144-145) susunan
Ayatrohaedi, yang bersumber dari Naskah Wangsakerta. Buku
tersebut menyebutkan Wiralodra adalah anggota Laskar
Mataram dari Bagelen dalam penyerbuan ke Batavia tahun
1627. Selain dari Bagelen, Pasukan Mataram yang lain berasal
dari Madura, Surabaya, Brebes, Tegal, Gombong, Nambeng,
Wiradesa, Batang, Kendal, Kaliwungu, Gresik, Lamongan,
Tuban, Lasem, Sedayu, Demak, Kudus, Jepara, Juwana,
Pekalongan, Rembang, dan Sumedang. Pasukan Mataram yang
berasal dari Bagelen di bawah pimpinan Senapati Wiralodra,
setelah penyerangan itu tidak kembali ke Mataram. Wiralodra
ditugasi untuk menjaga daerah perbatasan sebelah barat
kerajaan Cirebon yang kian terdesak oleh Belanda.
Demikianlah, Belanda pada waktu itu dikepung oleh pasukan
Banten di sebelah barat, sedangkan di sepanjang Ci Manuk dan
Indramayu, mereka dijaga oleh pasukan Cirebon dan Mataram.
Wiralodra kemudian menjadi Adipati Dermayu dan dianggap
sebagai cikal-bakal Indramayu.
Hal yang hampir sama disebutkan buku Kerajaan Cerbon
1479-1809 susunan R.H. Unang Sunardjo (1983:117-120).
Disebutkan:
Dalam rangka mengusir VOC, Sultan Agung (Mataram)
melancarkan serangan ke Jayakarta taun 1628 dengan kekuatan
hampir 10.000 orang yang diambil dari berbagai daerah
bawahan di pesisir utara, dari Demak sampai Tegal dibantu
laskar Kerajaan Cerbon dan Banten. Serangan itu gagal.
Disusul serangan kedua (1629) juga dengan pasukan besar
yang dibantu tambahan dari Priangan dan Bandung (Ukur).
Ternyata gagal pula akibat unsur logistik dan koordinasi.
Sultan Agung memperkirakan VOC akan berbalik
menghancurkan kekuasaan Mataram di Tanah Jawa. Hal itu
terlihat karena VOC membuat pangkalan armada lautnya di
pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk
membendung hal itu, Sultan Agung membuat strategi baru di
pesisir utara Jawa Barat. Sejumlah penduduk dari Jawa Tengah,
baik petani, veteran perang dipindahkan ke pesisir utara Jawa
Barat hingga tahun 1632, seperti ‖transmigrasi lokal‖. Mereka
ditempatkan di Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu.
Buku lain cenderung mendukung pendapat tersebut,
seperti dalam buku Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan
Watak tertulis:
Tentang Bagelen
Sumber dari naskah Babad Dermayu menyebutkan, asal-
usul Wiralodra dari Bagelen (sekarang bagian dari Kabupaten
Purworejo, Jateng). Digambarkan pula, Wiralodra berasal dari
keluarga ningrat. Ayahnya adalah seorang adipati Bagelen
bernama Singalodra.
Beberapa sumber mengenai Bagelen, ternyata agak sulit
menemukan data tersebut. Dari sumber-sumber catatan yang
ada mengenai Bagelen, tak satupun yang mengungkapkan
tentang Wiralodra, Adipati Singalodra, maupun Keadipatian
(Kadipaten) Bagelen di bawah pimpinan keluarga Wiralodra
dengan segala kiprah heroiknya, maupun hal-hal yang
berhubungan dengan Indramayu.
Tulisan Burhanudin berjudul “Bagelen, Potret Sebuah
Akulturasi Islam-Jawa” menyebutkan, pada akhir abad ke-15
Bagelen masih hutan belantara dan penduduknya belum
beragama Islam. Bagelen meliputi wilayah Purworejo,
Kebumen, sebagian Wonosobo, dan Kutoarjo. Sunan Kalijaga
mengislamkan wilayah tersebut dibantu tokoh setempat yang
terlebih dahulu diislamkan, yaitu Cakrajaya atau Sunan Geseng,
keturunan dari Nyai Bagelen. Dakwah yang dilakukan
mengakomodir ajaran Syiwa-Buddha dalam Islam, sehingga
terjadilah akulturasi, yang menghasilkan komunitas Islam-
kejawen yang cukup kuat.
Perpaduan tersebut menjadikan masyarakat Bagelen
memiliki karakter khas. Sejak dulu warga Bagelen dikenal
pemberani, jujur, setia, dan berjiwa besar. Tak ayal bila
Panembahan Senopati (Raja Mataram Islam pertama) banyak
merekrut orang Bagelen untuk perang melawan adipati di Jawa
Timur yang menolak tunduk. Pada zaman kolonial Belanda,
Bagelen adalah medan tempur Pangeran Diponegoro. Banyak
prajurit Diponegoro dari Bagelen. Sejak zaman kerajaan
Galuh-Tarumanegara, Bagelen dikenal sebagai pusat
perkembangan agama Syiwa-Budha di Jawa Tengah.
Begelen yang dulu juga meliputi sebagian Wonosobo
dikenal sebagai tempat pelarian pangeran dari kesatria
Majapahit. Salah satunya adalah Pangeran Jayakusuma. Juga,
Raden Caranggasing dari Jenggala. Di Bagelen bagian selatan
banyak pendeta Bairawa Tantra yang sakti. Maka, banyak
prajurit tangguh dari wilayah ini. Secara geografis sebelum
tahun 1830 Bagelen meliputi Berangkal (kini Purworejo),
Semawung (Kutoarjo), Ngaran (Kebumen), dan Karangduwur
(Wonosobo bagian selatan). Setelah tahun 1830 Bagelen
tinggal wilayah seluas empat kecamatan di sebelah timur
Purworejo. Pengerdilan wilayah tersebut merupakan upaya
Belanda untuk menghentikan perlawanan sisa pengikut
Diponegoro di wilayah ini.
Sumber tulisan lain menyebutkan, tokoh yang dikenal di
Bagelen adalah Nyi Ratu Agung Bagelen, seperti dituturkan Ki
Asman Budi Prayitno. Di Purworejo bagian selatan ada
peninggalan sejarah yang disebut Kerajaan Bagelen (dulu
Mataram Purba). Makam keramat yang ramai dikunjungi
adalah makam Nyi Ratu Agung Bagelen, yang sewaktu muda
bernama Dyah Trimurti atau Ratu Agung Lara Wetan atau Nyi
Bagelen.
Tulisan dari Humas Pemkab Purwotejo juga tak jauh
berbeda. Kronologi sejarahnya sejak Kerajaan Mataram Kuno
dengan tokoh Sri Maharaja Balitung. Kawasan Bagelen
berperan besar dalam perjalanan kerajaan tersebut. Pada
zaman perkembangan Islam, penyebaran dilakukan Sunan
Geseng (Cakrajaya). Pada zaman Mataram Islam, Sultan
Agung banyak merekrut pasukan dari Bagelen untuk
menyerang Batavia
Buku “Potensi Wisata Purworejo”, menyebutkan, asal-usul
wilayah Bagelen sebelumnya merupakan wilayah yang masuk
Kerajaan Galuh. Prof. Purbacaraka menafsirkan, wilayah
tersebut dikenal sebagai Pagaluhan. Dalam bahasa Jawa
dinamakan Pagalihan. Lama-lama menjadi Pagalen dan
terakhir menjadi Bagelen.
Tak satupun sumber-sumber itu yang menyebutkan
Wiralodra, Singalodra, Kadipaten Bagelen, ataupun hubungan
historis dengan Indramayu.
Manuskrip Wiralodra
Secara arkeologi, arti prasasti adalah batu bertulis, yang
merupakan peninggalan dari masa lalu. Artinya, prasasti lebih
mengacu pada bendanya (batu yang bertulis), bukan pada
tulisannya (naskah di lembaran). Pengertian tersebut hingga
kini di Indramayu dipahami sebagai isi naskah, meskipun
naskah itu bukan pada batu. Pada sehelai kulit menjangan
tinggalan Wiralodra I tertulis naskah yang berbunyi:
Versi Dasuki
Tahun Nama Adipati Gelar
1527-.... Wiralodra Indrawijaya
- - -
- - -
- - -
1653-1665 Surajaya Tumenggung Pati
1681-1703 Krestal Wiralodra
1704-1726 Wirapati Wiralodra
1727-1746 Benggala Wiralodra
1747-1785 Benggali Wiralodra
1786-1822 Semangun Wiralodra
1823-857 Krestal Wiralodra
Versi Sutadji
Tahun Nama Adipati Gelar
1510-1575 R. Wiralodra I Indrawijaya
1576-1616 R. Wirapati Wiralodra II
1617-1680 R. Sawerdi Wiralodra III
1781-1771 R. Benggala Wiralodra IV
1712-1752 R. Benggali Wiralodra V
1753-1815 R. Semangun Wiralodra VI
1815-1859 R. Krestal Wiralodra VII
1860-1892 R. Marngali Wirakusuma
Versi Babad Dermayu (1900)
Tahun Nama Adipati Gelar
- R. Wiralodra I Indrawijaya
- R. Wirapati Wiralodra II
- R. Sumerdi/Suwerdi Wiralodra III
- R. Benggala Wiralodra IV
- R. Benggali (Singalodraka) Wiralodra V
- R. Semangun Wiralodra VI
- R. Kerstal Wiralodra VII
Asal-usul Wiralodra
Dalem yang membangun negara, (letaknya di) Darmayu
sebelah barat, telah selesai. Yang memiliki tanah di Kedu (dan)
Bagelén, mempunyai suami putra dari Pajajaran, bernama Jaka
Kuwat. Selanjutnya berputra bernama Mangkuyuda
Tumenggung Metaram. Mangkuyuda Tumenggung Metaram
berputra Wiraseca (yang menjadi) ngabéhi. Ngabehi Wiraseca
berputra Kartawangsa tumenggung Metaram, sampai anak
cucu Kyahi Belara. Kyahi Belara berputra Radén Lowana,
Tumenggung Bagelén.