Anda di halaman 1dari 36

Supali Kasim

Menapak Jejak

SEJARAH
INDRAMAYU

Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU i


Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU

Penulis:
Supali Kasim

xxiv halaman + 230 halaman, 13,5 cm x 20 cm

ISBN:

Cetakan pertama, Oktober 2011


Cetakan kedua, Oktober 2017

Cover: Monumen-monumen di Indramayu dan Batik Paoman


motif Ganggeng
Desain cover dan isi: Prajnaparamita

Penerbit:
Rumah Pustaka
Jl. Nyi Endang Darma No.13 Cimanuk Barat Rt.23/Rw.06
Perumahan Taman Sindang,
Indramayu, Jawa Barat
HP/WA : 081223067807
Email : saptaguna_bumi@yahoo.com

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang


All rights reserved

ii Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU


Prakata Penulis

Membicarakan sejarah, apalagi sejarah sebuah daerah,


ternyata memiliki kesulitan tersendiri. Ketika membicarakan
sejarah Indramayu, ada semacam tuntutan “mengapa” tentang
historiografi tradisional yang selama ini sudah dikenal? Dan
“bagaimana” seharusnya menurut historiografi modern sebagai
sebuah kebenaran sejarah.
Di satu sisi masyarakat secara umum lebih mengenal
historiografi tradisional yang bersumber pada babad, legenda,
dongeng yang penuh dengan unsur mitologis dan legendaris.
Di sisi lain babad, legenda, atau dongeng, dalam ilmu sejarah
dikategorikan sebagai sumber sekunder, yang kedudukannya
sebagai pelengkap sumber primer. Itupun ada yang kadarnya
kuat, agak kuat, dan lemah. Dua buku yang sudah terbit, yang
menuliskan tentang sejarah Indramayu (khususnya bab
mengenai berdirinya Indramayu) ternyata keduanya bersumber
pada babad, yang kemudian diramu menjadi sastra-sejarah,
roman-sejarah, atau fiksi-sejarah. Artinya, keduanya
menggunakan sumber sekunder, kemudian dijadikan
kronologis kejadian dengan bumbu-bumbu penulisan sastra,
yang sekan-akan menceritakan peristiwa yang sudah terjadi.
Bukan menjelaskan peritiwa yang terjadi. Dua buku tersebut
adalah Sejarah Indramayu (H.A. Dasuki, dkk., 1977) dan
Dwitunggal Pendiri Darma Ayu Nagari (H.R. Sutadji K.S., 2003).
Meskipun demikian, diakui cara pandang seseorang
terhadap suatu peristiwa sejarah pasti akan berbeda antara satu
dengan lainnya. Cara pandang ini pada dasarnya secara
substansial merepresentasikan sebuah subjektivitas dalam
merekonstruksi sebuah bangunan sejarah. Bila kemudian dicari
analoginya dalam bentuk visual, bangunan sejarah produk
rekonstruktor tentunya lebih bisa dianalogikan dengan sebuah
rekonstruksi peristiwa sejarah yang sifatnya relatif utuh dan

Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU iii


lengkap, dan sejarah dalam arti subjektif tidak mungkin
mencapai itu semua, sementara lukisan merupakan hasil
sebuah rekonstruksi dari sudut pandang yang terbatas sehingga
sudah pasti tidak akan utuh dan lengkap sebagaimana yang
sesungguhnya tampak di permukaan (Rieza D. Dienaputra,
2006). Buku Dasuki maupun Sutadji lebih cenderung sebagai
menyerupai lukisan tersebut.
Kesulitan lainnya ketika membicarakan sejarah Indramayu
adalah soal materi yang dibicarakan. Ketika historiografi
tradisional, yang selama ini dijadikan pegangan masyarakat dan
pemerintah daerah, kemudian dibicarakan dan dikritisi, ada
semacam tuntutan seharusnya bukan hanya dibicarakan dan
dikritisi. Seharusnya lebih dari itu: menuliskan historiografi
modern! Mengenai hal ini dengan berbagai pertimbangan,
akhirnya pilihan jatuh pada pembicaraan untuk mengritisi
kedua buku yang sudah terbit. Pilihan itu setidak-tidaknya
diharapkan memiliki dua arti. Pertama, memberikan alternatif
pandangan yang selama ini menganggap historiografi
tradisional sudah final sebagai suatu kebenaran sejarah. Kedua,
membuka kembali pemikiran dan penafsiran pada historiografi
tradisional secara kritis sebagai gerbang menuju penulisan
historiografi modern.
Tidak dapat dipungkiri, saat proses mengritisi kedua buku
tentang sejarah Indramayu, ada efek psikologis yang dirasakan.
Bukankah kedua buku itu ditulis oleh orang-orang yang
dedikasinya tak diragukan lagi pada Indramayu dan sejarah
Indramayu. H.A. Dasuki adalah seorang intelektual yang
memiliki minat cukup besar pada sejarah dan sastra, yang
“tidak lazim” untuk ukuran orang Indramayu yang eksis pada
dekade 1940-an hingga 1970-an. Beliau juga pernah menjadi
bupati Indramayu dua periode (periode 1958-1960 dan 1960-
1965). H.R. Sutadji K.S. (menurut pengakuannya) adalah
keturunan ke-12 Arya Wiralodra, pendiri Indramayu pada abad
ke-16 (sumber lain menyebut abad ke-17). Beliau dan keluarga
besarnya hingga kini setia menyimpan beberapa peningalan

iv Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU


arkeologis nenek moyangnya. Efek psikologis lainnya adalah
berdasarkan buku H.A Dasuki telah ditetapkan secara resmi
oleh pemerintah daerah setempat tentang kronologis
berdirinya pedukuhan Indramayu yang kelak menjadi
kabupaten dan hari jadinya.
Ketika membicarakan dan mengritisi kedua buku itu
berarti sama saja mempertanyakan tiga hal tersebut di atas.
Lagi pula latar belakang penulis yang bukan sosok yang berada
pada “lingkungan ilmu sejarah” menjadi pertanyaan tersendiri
akan kapasitas dan kapabilitas penulis.
Kata sejarawan Prof. Dr. Taufik Abdullah, dalam situasi
seperti ini, tanpa diundang perdebatan sejarah pun akan datang
begitu saja. Kepastian sejarah sejak awal merupakan
perdebatan kultural dan teoritis. Pada tahap kedua kitapun
akan memasuki wilayah perdebatan antara sumber –ketika
historiografi tradisional (sesuatu yang dikatakan seorang
ilmuwan Belanda, Berg, lebih merupakan ekspresi kultural
daripada kesaksian sejarah) telah bisa dan harus
dipertentangkan dengan sumber-sumber asing yang mungkin
akurat, tetapi belum tentu tahu masalah yang dituliskannya
(pengantar buku Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, 2000).
Sejarawan memang mempunyai kebebasan dalam rekonstruksi.
Jika diiabaratkan korek api, yang mengikat sejarawan adalah
„batang korek‟ (yang berupa fakta sejarah), ia dapat
menyusunnya menjadi rumah-rumahan, orang-orangan, petak-
petakan, dan sebagainya. Sejarawan juga diibaratkan dalang. Ia
dapat memainkan apa saja, tetapi dibatasi oleh dua hal, yaitu
wayang dan lakon. Wayang sebagai fakta, dan lakon sebagai
tema yang dipilih. Meski demikian, sebagai ilmu, sejarah terikat
pada prosedur penelitian ilmiah. Sejarah juga terikat pada
penalaran yang bersandar pada fakta. Kebenaran sejarah
terletak dalam kesediaan sejarawan untuk meneliti sumber
sejarah secara tuntas, sehingga diharapkan ia akan
mengungkap secara objektif. Hasil akhir yang diharapkan ialah

Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU v


kecocokan antara pemahaman sejarawan dengan fakta (Prof.
Dr. Kuntowijoyo, 2005).
Lagi pula dalam pengantar buku sejarah Indramayu
tertulis, “…tidak tertutup kemungkinan bahwa semua
keputusan yang telah diambil oleh Team Peneliti Sejarah
Indramayu, baik mengenai penetapan Hari Jadi, maupun yang
berhubungan dengan penulisan Sejarah Indramayu akan
diperbaiki, diubah dan atau dibatalkan jika kelak di kemudian
hari ternyata ada fakta lain yang lebih objektif menunjukkan
ketentuan-ketentuan yang berbeda.”
Judul buku Menapak Jejak Sejarah Indramayu ini secara
sengaja dipilih sebagai sebuah kritik terhadap sejarah yang
masih diselimuti “kabut” mitologi dan mistikologi. Sesuatu
yang harus dikuak, dibuka, dibongkar, dan digugat. Upaya
tersebut tampaknya bukan hanya obsesi penulis seorang.
Kelahiran buku ini, tentu saja, bukan hanya dari obsesi semata.
Seminar Sejarah Indramayu (2007) yang diadakan penulis dan
kawan-kawan bersama Kantor Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Indramayu merupakan salah satu momen yang
banyak memberikan kontribusi penulisan.
Pada cetakan kedua ini ada tambahan berupa Bab XI
Upaya Pemetaan Sejarah Indramayu, sebagai upaya membuka
pintu gerbang sejarah daerah yang kini bernama Kabupaten
Indramayu. Tulisan tersebut juga merupakan makalah pada
seminar sejarah tahun 2016 di Indramayu pada perhelatan
Festival Cimanuk 2016.

Supali Kasim

vi Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU


Daftar Isi

Prakata Penulis ........................................................................... 5


Daftar Isi ..................................................................................... 9

PENDAHULUAN
Latar Belakang Geografis dan Sosio-kultural ....................... 1

BAB I
Indramayu dalam Tiga Naskah Sejarah.................................. 15

BAB II
Menapak Jejak dari Artefak ...................................................... 33

BAB III
Di Antara Pajajaran, Demak, Banten, dan Cirebon ............. 59

BAB IV
Pengaruh Mataram di Jawa Barat............................................ 79

BAB V
Wiralodra, Tokoh Sejarah Ataukah Fiksi? ............................. 97

BAB VI
Endang Dharma Ayu, Perempuan Berselubung Misteri .... 113

BAB VII
Tokoh-tokoh Lain dalam Perspektif Sejarah ........................ 139

BAB VIII
Dinasti Wiralodra dalam ”Tujuh Turunan” .......................... 151

Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU vii


BAB IX
Seputar Kontroversi Penetapan Hari Jadi.............................. 175

BAB X
Tradisi Lisan, Sejarah Lisan, dan ”Sejarah Peteng” .............. 189

BAB XI
Upaya Pemetaan Sejarah Indramayu ...................................... 199

Daftar Pustaka
Tentang Penulis

viii Menapak Jejak SEJARAH INDRAMAYU


BAB V
Wiralodra, Tokoh Sejarah
Ataukah Fiksi?

Kisah secara kronologis terjadinya daerah Indramayu pada


abad ke-16 (sumber lain menyebut abad ke-17) demikian
melekat dalam khazanah sejarah Indramayu, baik yang
berkembang dalam sastra lisan masyarakat maupun legitimasi
yang digunakan Pemerintah Kabupaten Indramayu. Ada
beberapa hal yang membuat kisah secara kronologis itu diakui
secara kultural masyarakat maupun struktural pemerintahan.
Secara kultural, sejak lama masyarakat mengenal kisah
tersebut melalui berbagai media. Pertama, tradisi sastra lisan,
berupa dongeng masyarakat dari mulut ke mulut, baik dari
orangtua kepada anak-anaknya menjelang tidur maupun antara
sahabat dengan sahabat dalam pergaulan sosial. Kedua, media
seni, berupa pertunjukan seni wayang golek cepak (wayang golek
menak) yang disampaikan Ki Dalang dan macapat (pujanggaan)
yang dibacakan pembaca atau penembang macapat. Ketiga,
terbitnya buku yang mengisahkan kronologis secara fiksi-
sejarah, yakni buku “Sejarah Indramayu” (1977) susunan H.A.
Dasuki, dkk., Caruban Nagari: Rakean Walangsungsang dan Syarif
Hidayat (2003) tulisan H.R. Sutadji K.A., dan Dwi Tunggal
Pendiri Darma Ayu Nagari (2003) susunan H.R. Sutadji K.S.
Secara struktural pemerintahan, kronologis itu juga diakui
secara formal. Pertama, legitimasi dimulai setelah selesai
disusunnya buku ―Sejarah Indramayu‖ yang disusun Tim
Penelitian Sejarah Indramayu berdasarkan Surat Keputusan
Bupati Indramayu Nomor 44/47/Ass.V/Huk/76 tanggal 13
September 1976. Tim itu diketuai H. Moh Kaya Nataprawira
(Wakil Ketua DPRD), yang kemudian membentuk Tim Kusus
yang terdiri dari H.A. Dasuki (ketua), Drs. J.P. Sarjono,
Sumarjo, dan Djamara (anggota). Kedua, berdasarkan dari isi
buku tersebut, juga telah ditetapkan Hari Jadi Indramayu
tanggal 7 Oktober 1527, berdasarkan Peraturan Daerah
Nomor 02/1977 tanggal 24 Juni 1977.
Pengakuan atas penetapan itu berimbas pada penetapan-
penetapan lain yang mengiringi kemudian, yakni setiap tanggal
7 Oktober diperingati sebagai Hari Jadi Indramayu dengan
agenda utama Sidang Paripurna DPRD Indramayu.
Penghargaan juga diberikan kepada nama-nama tokoh yang
disebut dalam ―sejarah‖ terjadinya Indramayu, seperti Raden
Aria Wiralodra, Nyi Mas Endang Dharma Ayu (istri
Wiralodra), dan Tumenggung Gagak Singalodra (ayah
Wiralodra). Sebagai bentuk penghargaan, nama-nama itu
diabadikan oleh pemerintah maupun masyarakat dalam
beberapa nama prasarana umum dan nama lainnya, seperti:
1. Jalan Wiralodra, yang terletak di daerah Sekober
Indramayu;
2. Universitas Wiralodra, yang berdiri sejak tahun 1981,
terletak di Jl. Ir. H. Djuanda, Singajaya Indramayu;
3. Toko Buku dan Alat Tulis ―Wiralodra‖, yang sebelumnya
terletak di Jl. Ahmad Yani, kemudian pindah ke Jl. Bima
Basuki Indramayu, sejak tahun 1980-an;
4. P.T. Bumi Wiralodra Indramayu (BWI), sebuah Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemerintah
Kabupaten Indramayu, yang kantornya menempati bekas
gedung BKPD, terletak di Jl. Jend. Sudirman Indramayu;
5. Wiralodra Centre, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) yang ada di Indramayu dan sekretariatnya di Jl. Yos
Sudarso Indramayu;

Tokoh legendaris dalam cerita babad maupun melalui


legitimasi pemerintah tersebut, ternyata memiliki versi cerita
yang berbeda menurut beberapa buku lain (yang bersumber
dari babad sejenis maupun babad lain) ataupun penafsiran
masing-masing penulisnya. Perbedaan itu terletak pada latar
belakang, kehadiran sebagai tokoh, dan tendensi keterlibatan
dalam panggung sejarah pada tokoh tersebut.

Figur Wiralodra
Ringkasan tentang Wiralodra dalam buku Sejarah
Indramayu susunan H.A. Dasuki, dkk. (1977) adalah sebagai
berikut:
Wiralodra berasal dari Banyuurip, Bagelen, Jawa Tengah.
Ia putra seorang tumenggung Banyuurip bernama Gagak
Wiralodra. Putra ketiga dari lima bersaudara, yakni Raden
Wangsanegara (putra pertama), Raden Ayu Wangsayudha
(putri kedua), Raden Aria Wiralodra (putra ketiga), Raden
Tanujaya (putra keempat), dan Raden Tanujiwa (putra kelima).
Sejak kecil Wiralodra senang ilmu kanuragan dan tirakat. Ia
bercita-cita membangun sebuah negara yang kelak akan
diwariskan kepada anak-cucunya. Saat remaja, ia memperoleh
wangsit, yakni saat ia bertapa di perbukitan Melaya, di kaki
gunung Sumbing selama tiga tahun. Wangsit itu berbunyi agar
ia segera pergi ke arah matahari terbenam (barat) dan carilah
lembah sungai Cimanuk. Di situlah ia diperintahkan untuk
menderikan sebuah negeri.
Perjalanan mencari Cimanuk diiringi berlangsung selama
tiga tahun diiringi Ki Tinggil, seorang abdi setia. Banyak
rintangan ditemui. Pertama kali ia menemukan sungai, ternyata
bukan Cimanuk, melainkan Citarum. Artinya, lokasi tersebut
justru lebih jauh dari Cimanuk. Hal itu diberitahu oleh seorang
kakek sakti bernama Ki Sidum, yang kemudian menghilang
seketika. Nama lain Ki Sidum adalah Kidang Pananjung,
seorang punakawan Prabu Siliwangi, yang kasihan melihat
Wiralodra tersasar. Kidang Pananjung masih seperguruan
dengan kakek Wiralodra, dan menganggap Wiralodra seperti
cucunya sendiri. Ki Sidum pulalah yang memandu Wiralodra
menemukan Cimanuk, dengan ilmu ―menghilang‖nya. Ketika
menemukan sungai berikutnya yang disangka Cimanuk,
ternyata sungai Pamanukan. Di situ ada seorang petani
bernama Wira Setra, yang juga berasal dari Bagelen.
Penemuan sungai yang ketiga, ternayata banyak
rintangannya. Di tepinya ada ladang dengan tanaman yang
subur. Seorang petani bernama Malikwarna tengah bekerja di
situ. Lelaki itu dengan kasar mengusir Wiralodra, sampai
akhirnya terjadi perkelahian, yang dimenangkan Wiralodra.
Namun kakek itu tiba-tiba menghilang. Ladang dan tanaman
juga lenyap. Muncul suara tanpa rupa yang menyebutkan,
Malikwarna itu tiada lain adalah Ki Sidum. Disebutkan pula,
sungai itu adalah Cipunagara. Wiralodra diperintahkan agar
terus ke timur. Jika menjumpai kijang bermata berlian, ikuti.
Jika lenyap, itulah daerah sungai Cimanuk.
Tak mudah mencapai Cimanuk. Wiralodra diserang
harimau, sehingga terjadilah perkelahian. Dengan senjata
cakra, Wiralodra menang, namun harimau itu kemudian lenyap
seketika. Begitu pula ketika diserang ular besar. Rintangan itu
juga datang dari seorang perempuan cantik yang ingin dinikahi
Wiralodra. Namanya Dewi Larawana. Wiralodra menolak,
sehingga terjadilah perkelahian, yang dimenangkan Wiralodra.
Lagi-lagi lenyap seketika, karena Larawana itu siluman.
Seketika Wiralodra melihat kijang bermata berlian. Cimanuk
pun diketemukan, yang kemudian dibangun menjadi sebuah
pedukuhan. Gangguan juga datang dari para penghuni dari
negeri siluman di sekitar Cimanuk, seperti yang dipimpin
rajanya, Budipaksa, dengan patih Bujarawis. Demikian pila dari
kerajaan siluman Pulo Mas yang dipimpin Pangeran
Werdinata. Semuanya dapat dikalahkan Wiralodra, bakan
Werdinata atas petunjuk Kala Cungkring dan Langlang Jagat,
akhirnya bersaabat dengan Wiralodra. Konon beberapa waktu
kemudian Werdinata menikah dengan putri Wiralodra, Nyi
Ayu Inten.
Ketika pedukuhan Cimanuk menjadi subur, banyak orang
dari daerah lain berdatangan, yang kemudian menjadi
penduduk daerah tersebut. Suatu hari Wiralodra ‖pulang
kampung‖ ke Bagelen. Di sana ia ikut memadamkan
pemberontakan Banyubiru atas Demak, dan berhasil. Saat itu
di Cimanuk datanglah seorang perempuan bernama Nyi
Endang Dharma Ayu yang disertai dua pembantunya, Tana
dan Tani. Perempuan cantik, sopan, dan sakti itu pandai
bercocok tanam, dan juga mengajarkan ilmu kanuragan. Konon
sampai terdengar ke Palembang, yang mendorong seorang
laki-laki bernama Pangeran Guru alias Arya Damar dan 24
murid-muridnya datang ke Cimanuk untuk menantang Endang
Dharma. Perkelahian keduanya tak terelakkan. Endang
Dharma di pihak yang menang.
Peristiwa itu dilaporkan Ki Tinggil kepada Wiralodra.
Endang Dharma dianggap salah karena berbuat onar.
Perkelahian antara pihak Wiralodra dengan pihak Endang
Dharma tak terelakkan. Saudara-saudara Wiralodra tak mampu
menandingi Endang Dharma. Akhirnya terjadilah pertempuran
seru antara Wiralodra dengan Endang Dharma, tetapi secara
diam-diam keduanya menyimpan api asmara. Pada bagaian ini,
penulis menafsirkan dua kemungkinan. Kemungkinan
pertama, Wiralodra dan Endang Dharma menikah lalu nama
Dharma Ayu diabadikan sebagai nama daerah. Kemugkinan
kedua, karena merasa kalah kemudian Endang Dharma
menceburkan diri ke sungai Cimanuk dan minta namanya
diabadikan sebagai nama pedukuan itu, yakni Dharma Ayu.
Penyebutan Dharma Ayu lama-lama menjadi Darmayu,
Dermayu, dan oleh orang Belanda disebut in-Dermayu, kemudian
menjadi Indramayu.
Pada bagian analisis dan kesimpulan disebutkan,
Wiralodra menikah dengan Endang Dharma (Dasuki 1977: 93)
di Pegaden disaksikan Wira Setra. Pada bagian lain, ia juga
pernah mendapat serangan dari Arya Kamuning karena
dianggap lancang membuka pedukuhan Cimanuk, tanpa
sepengetahuan Sunan Gunung Jati. Setelah bentrok itu,
Wiralodra berpikir untuk segera meresmikan pedukuan itu
pada tanggal 7 Oktober 1527 menjadi sebuah negeri (Dasuki
1977: 82-86).
Meski mengaitkan sebuah peristiwa yang cukup serius
dengan Arya Kamuning, dalam versi lain peristiwa itu tak
terungkap. Edi S. Ekadjati dalam buku ”Sejarah Kuningan dari
Masa Prasejarah hingga Terbentuknya Kabupaten” (2003) tak
mengungkapkan adanya peristiwa itu.
Buku Dwi Tunggal Pendiri Darma Ayu Nagari (2003)
susunan H.R. Sutadji K.S. menyebutkan latar belakang dan
keberadaan tokoh Wiralodra ini agak lengkap. Ada perbedaan
mendasar misi yang diemban Wiralodra. Ringkasannya sebagai
berikut:
Aria Wiralodra atau Aria Indrawijaya putra Singalodra
adalah mata-mata Kerajaan Islam Demak yang mendapat tugas
kusus dari Raden Patah untuk menguasai pelabuhan Cimanuk,
termasuk Galuh Kaler Nagari. Tujuannya membangun
dermaga untuk keperluan logistik Angkatan Laut Demak bila
saat ekspansi ke Pajajaran tiba. Perjalanan penuh rintangan ke
Cimanuk. Wiralodra ikut berjasa membantu kemenangan
Kesultanan Cirebon berperang melawan Galuh. Ia juga pada
akhirnya diangkat sebagai Adipati Praja Cimanuk tahun 1510
oleh raja Galuh, Prabu Cakraningrat.
Saat Endang Dharma menjadi pendatang ke pedukuan
Cimanuk, Wiralodra sedang ke Bagelen membantu Demak
memadamkan pemberontakan daerah-daerah yang masih taat
pada Majapahit, yaitu Banyubiru, Pamigit, Karangjati,
Banyuurip, dan Karanganyar. Pemberontakan itu bisa
dipadamkan. Dalam beberapa hal memiliki kesamaan peristiwa
dengan buku H.A. Dasuki, tetapi banyak pula yang berbeda.
Wiralodra akhirnya menikah dengan Endang Dharma tahun
1525.
Cerita lain mengenai Wiralodra bersumber dari babad,
seperti dituliskan dalam buku Sunan Gunungjati, Antara Fakta
dan Fiksi (Dadan Wildan):
Bagian Keempatpuluh Satu. Diberi judul Prabu
Indrawijaya/Arya Wiralodra Nungkul Islam Sarwi Nyerahaken
Wewengkone Indramayu Maring Cirebon ing 1528 (Prabu
Indrawijaya/Arya Wiralodra memeluk agama Islam sambil
menyerahkan daerahnya, Indramayu, kepada Cirebon pada
1528. Bagian ini menceritakan keinginan Pangeran Kuningan
untuk menyerang Dermayu (Indramayu) yang belum memeluk
Islam karena ia tidak berhasil meraih kemenangan ketika
melawan Rajagaluh, bahkan diselamatkan ole Ki Kuwu
Cakrabuana. Meskipun Sunan Gunung Jati melarangnya,
Pangeran Kuningan tetap saja berangkat menuju Dermayu.
Sang Prabu Dermayu yang bernama Prabu Indrawijaya
sedang mengadakan pertemuan dengan pembesar kerajaan
karena ia mendapat kabar akan diserang oleh Cirebon.
Sebenarnya, ia telah berniat untuk menyerahkan diri kepada
Sunan Gunung Jati. Untuk mengatasi serangan Pangeran
Kuningan, ia mengubah dirinya menjadi kijang dan memasang
jimat Lembu Tirta dan jimat Oyod di Kali Kamal. Pangeran
Kuningan yang tiba di Dermayu melihat kijang jelmaan Prabu
Indrawijaya. Ia bermaksud menangkapnya, namun tidak
berhasil, bakan terseret air sungai hingga terbawa arus ke
tengah laut dan terdampar di Pulau Menyawak. Di sana, ia
bertemu dengan seorang kakek yang memberinya jimat cupu
yang berkhasiat dapat mendatangkan ribuan prajurit. Dari
Pulau Menyawak, ia kembali ke Cirebon. Ketika itu, Sunan
Gunung Jati tengah menghadapi para tamu dari Dermayu yang
berniat memeluk Islam dan menyerahkan kekuasaannya berada
di bawah naungan Cirebon. Selain itu, berdatangan pula para
pembesar dan para dipati dari tanah Pasundan, Sukapura, dan
Karawang yang bermaksud memeluk agama Islam.
Hal yang sama juga ada pada buku H.R. Sutadji K.S. yang
disebutnya sebagai ―Peristiwa Kali Kamal‖. Pada tahun 1528,
Pamanggul Yuda Caruban nagari, Arya Kamuning (Prabu
Surangga Jaya) dalam mabuk kemenangan setelah
mengalahkan Galuh Kaler Nagari, membawa pasukan
bersenjata api dan meriam langsung menyerang Darma Ayu,
tetapi gagal. Mereka hanya bisa berputar-putar. Ketika merasa
telah tiba di alun-alun Indramayu, justru yang terjadi di alun-
alun Cirebon. Hal itu karena terkena jimat oyod mingmang.
Mereka terheran-heran, lalu masuk ke Keraton Pakungwati.
Keberadaan Wiralodra –dengan ilustrasi seperti cerita di
atas—ternyata berbeda dengan sumber-sumber lain. Sumber
lain tersebut adalah buku Sundakala (2005: 144-145) susunan
Ayatrohaedi, yang bersumber dari Naskah Wangsakerta. Buku
tersebut menyebutkan Wiralodra adalah anggota Laskar
Mataram dari Bagelen dalam penyerbuan ke Batavia tahun
1627. Selain dari Bagelen, Pasukan Mataram yang lain berasal
dari Madura, Surabaya, Brebes, Tegal, Gombong, Nambeng,
Wiradesa, Batang, Kendal, Kaliwungu, Gresik, Lamongan,
Tuban, Lasem, Sedayu, Demak, Kudus, Jepara, Juwana,
Pekalongan, Rembang, dan Sumedang. Pasukan Mataram yang
berasal dari Bagelen di bawah pimpinan Senapati Wiralodra,
setelah penyerangan itu tidak kembali ke Mataram. Wiralodra
ditugasi untuk menjaga daerah perbatasan sebelah barat
kerajaan Cirebon yang kian terdesak oleh Belanda.
Demikianlah, Belanda pada waktu itu dikepung oleh pasukan
Banten di sebelah barat, sedangkan di sepanjang Ci Manuk dan
Indramayu, mereka dijaga oleh pasukan Cirebon dan Mataram.
Wiralodra kemudian menjadi Adipati Dermayu dan dianggap
sebagai cikal-bakal Indramayu.
Hal yang hampir sama disebutkan buku Kerajaan Cerbon
1479-1809 susunan R.H. Unang Sunardjo (1983:117-120).
Disebutkan:
Dalam rangka mengusir VOC, Sultan Agung (Mataram)
melancarkan serangan ke Jayakarta taun 1628 dengan kekuatan
hampir 10.000 orang yang diambil dari berbagai daerah
bawahan di pesisir utara, dari Demak sampai Tegal dibantu
laskar Kerajaan Cerbon dan Banten. Serangan itu gagal.
Disusul serangan kedua (1629) juga dengan pasukan besar
yang dibantu tambahan dari Priangan dan Bandung (Ukur).
Ternyata gagal pula akibat unsur logistik dan koordinasi.
Sultan Agung memperkirakan VOC akan berbalik
menghancurkan kekuasaan Mataram di Tanah Jawa. Hal itu
terlihat karena VOC membuat pangkalan armada lautnya di
pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk
membendung hal itu, Sultan Agung membuat strategi baru di
pesisir utara Jawa Barat. Sejumlah penduduk dari Jawa Tengah,
baik petani, veteran perang dipindahkan ke pesisir utara Jawa
Barat hingga tahun 1632, seperti ‖transmigrasi lokal‖. Mereka
ditempatkan di Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu.
Buku lain cenderung mendukung pendapat tersebut,
seperti dalam buku Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan
Watak tertulis:

Wong Banyumasan bisa juga mereka yang sejak semula


telah bertempat tinggal di luar batas wilayah Kadipaten
Pasirluhur, Wirasaba, Banyumas, dan Bagelen Barat (kini
Kebumen). Mereka umumnya adalah keturunan penduduk
biasa dari wilayah eks Kadipaten-kadipaten Wirasaba I (kuno),
Pasirluhur I (kuno), Wirasaba II (Islam), dan Pasirluhur
II/Pasirbatang (Islam) yang meninggalkan asalnya karena
dipindahkan atau mengikuti kepindahan pimpinan daerahnya,
seperti misalnya tahun 1652 Amangkurat I memindahkan
Ngabehi Kiai Singaperbangsa II yang diikuti oleh 2000 jiwa
penduduk Pasir ke Karawang, Jawa Barat. Amangkurat I juga
yang menunjuk Adipati Panjer Gunung (Bagelen) Tumenggung
Kelapa Aking pada masa Perang Trunojoyo, di mana Kelapa
Aking menyusun pasukannya yang terdiri dari orang-orang
Banyumas dan bersama dengan pasukan Tumenggung
Mertanegara (Mertayuda II = Tumenggung Yudanegara I)
menyerang Kerta, ibukota Mataram yang diduduki Trunojoyo
(Herusatoto, 2008:19)

Keterkaitan Bagelen (sebagai daerah asal Wiralodra)


dengan Mataram juga disebut dalam buku Awal Kebangkitan
Mataram Masa Pemerintahan Senapati, seperti berikut ini:
Bagaimana dan kapan kekuasaan Mataram ditegakkan di
wilayah barat, tidaklah amat terang. Kita sudah melihat bahwa
para pemimpin rakyat Bagelen, mantri-mantri pamajegan,
dalam perjalanan ke Pajang untuk menyampaikan sembah,
mengakui Senapati sebagai gusti (de Graaf, 1987:148).

Lima buku yang berkenaan dengan Indramayu pada era


kedatangan Wiralodra memiliki perspektif yang berbeda-beda.
Ada yang sumbernya sama tetapi interpretasinya berbeda. Ada
pula yang sumbernya berbeda dengan tampilan kronologis
yang berbeda jauh.

Tentang Bagelen
Sumber dari naskah Babad Dermayu menyebutkan, asal-
usul Wiralodra dari Bagelen (sekarang bagian dari Kabupaten
Purworejo, Jateng). Digambarkan pula, Wiralodra berasal dari
keluarga ningrat. Ayahnya adalah seorang adipati Bagelen
bernama Singalodra.
Beberapa sumber mengenai Bagelen, ternyata agak sulit
menemukan data tersebut. Dari sumber-sumber catatan yang
ada mengenai Bagelen, tak satupun yang mengungkapkan
tentang Wiralodra, Adipati Singalodra, maupun Keadipatian
(Kadipaten) Bagelen di bawah pimpinan keluarga Wiralodra
dengan segala kiprah heroiknya, maupun hal-hal yang
berhubungan dengan Indramayu.
Tulisan Burhanudin berjudul “Bagelen, Potret Sebuah
Akulturasi Islam-Jawa” menyebutkan, pada akhir abad ke-15
Bagelen masih hutan belantara dan penduduknya belum
beragama Islam. Bagelen meliputi wilayah Purworejo,
Kebumen, sebagian Wonosobo, dan Kutoarjo. Sunan Kalijaga
mengislamkan wilayah tersebut dibantu tokoh setempat yang
terlebih dahulu diislamkan, yaitu Cakrajaya atau Sunan Geseng,
keturunan dari Nyai Bagelen. Dakwah yang dilakukan
mengakomodir ajaran Syiwa-Buddha dalam Islam, sehingga
terjadilah akulturasi, yang menghasilkan komunitas Islam-
kejawen yang cukup kuat.
Perpaduan tersebut menjadikan masyarakat Bagelen
memiliki karakter khas. Sejak dulu warga Bagelen dikenal
pemberani, jujur, setia, dan berjiwa besar. Tak ayal bila
Panembahan Senopati (Raja Mataram Islam pertama) banyak
merekrut orang Bagelen untuk perang melawan adipati di Jawa
Timur yang menolak tunduk. Pada zaman kolonial Belanda,
Bagelen adalah medan tempur Pangeran Diponegoro. Banyak
prajurit Diponegoro dari Bagelen. Sejak zaman kerajaan
Galuh-Tarumanegara, Bagelen dikenal sebagai pusat
perkembangan agama Syiwa-Budha di Jawa Tengah.
Begelen yang dulu juga meliputi sebagian Wonosobo
dikenal sebagai tempat pelarian pangeran dari kesatria
Majapahit. Salah satunya adalah Pangeran Jayakusuma. Juga,
Raden Caranggasing dari Jenggala. Di Bagelen bagian selatan
banyak pendeta Bairawa Tantra yang sakti. Maka, banyak
prajurit tangguh dari wilayah ini. Secara geografis sebelum
tahun 1830 Bagelen meliputi Berangkal (kini Purworejo),
Semawung (Kutoarjo), Ngaran (Kebumen), dan Karangduwur
(Wonosobo bagian selatan). Setelah tahun 1830 Bagelen
tinggal wilayah seluas empat kecamatan di sebelah timur
Purworejo. Pengerdilan wilayah tersebut merupakan upaya
Belanda untuk menghentikan perlawanan sisa pengikut
Diponegoro di wilayah ini.
Sumber tulisan lain menyebutkan, tokoh yang dikenal di
Bagelen adalah Nyi Ratu Agung Bagelen, seperti dituturkan Ki
Asman Budi Prayitno. Di Purworejo bagian selatan ada
peninggalan sejarah yang disebut Kerajaan Bagelen (dulu
Mataram Purba). Makam keramat yang ramai dikunjungi
adalah makam Nyi Ratu Agung Bagelen, yang sewaktu muda
bernama Dyah Trimurti atau Ratu Agung Lara Wetan atau Nyi
Bagelen.
Tulisan dari Humas Pemkab Purwotejo juga tak jauh
berbeda. Kronologi sejarahnya sejak Kerajaan Mataram Kuno
dengan tokoh Sri Maharaja Balitung. Kawasan Bagelen
berperan besar dalam perjalanan kerajaan tersebut. Pada
zaman perkembangan Islam, penyebaran dilakukan Sunan
Geseng (Cakrajaya). Pada zaman Mataram Islam, Sultan
Agung banyak merekrut pasukan dari Bagelen untuk
menyerang Batavia
Buku “Potensi Wisata Purworejo”, menyebutkan, asal-usul
wilayah Bagelen sebelumnya merupakan wilayah yang masuk
Kerajaan Galuh. Prof. Purbacaraka menafsirkan, wilayah
tersebut dikenal sebagai Pagaluhan. Dalam bahasa Jawa
dinamakan Pagalihan. Lama-lama menjadi Pagalen dan
terakhir menjadi Bagelen.
Tak satupun sumber-sumber itu yang menyebutkan
Wiralodra, Singalodra, Kadipaten Bagelen, ataupun hubungan
historis dengan Indramayu.

Manuskrip Wiralodra
Secara arkeologi, arti prasasti adalah batu bertulis, yang
merupakan peninggalan dari masa lalu. Artinya, prasasti lebih
mengacu pada bendanya (batu yang bertulis), bukan pada
tulisannya (naskah di lembaran). Pengertian tersebut hingga
kini di Indramayu dipahami sebagai isi naskah, meskipun
naskah itu bukan pada batu. Pada sehelai kulit menjangan
tinggalan Wiralodra I tertulis naskah yang berbunyi:

Nanging banjur Allah nyukani


karahmatan kang linuwih
Darma Ayu mulih harja
Tan ana sawiji-wiji
Pratelanya yen wonten taksaka nyabrang
Kali Cimanuk pernahnya
Sumur kejayan dres mili
Delupak murub tanpa patra
Sedaya pan mukti malih
Somahan lawan prajurit
Rowang kaliyan priyagung
Samya tentrem atinya
Sedaya harja tumuli
Ing sakehing negara pada raharja

(Tetapi kemudian Allah memberi


Kerahmatan yang melimpah
Darma Ayu kembali makmur
Tak ada suatu halangan
Tandanya kalau ada ular menyebrangi
Sungai Cimanuk
Sumur kejayaan mengalir dengan derasnya
Lampu menyala tanpa minyak
Semuanya makmur kembali
Manunggal dengan prajurit
Bahu-membahu dengan pejabat
Hatinya merasa tenteram dan aman
Rakyat hidup makmur
Di seluruh negara mengalami kemakmuran)

(buku Sejarah Indramayu, 1977)

Interpretasi masyarakat terhadap isi naskah itu setidaknya


ada tiga hal pengertian. Pertama, adanya rahmat dan karunia
Allah SWT terhadap Indramayu, sehingga menjadi daerah yang
kembali makmur. Kedua, adanya beberapa bukti kemakmuran
yang kemudian dihubungkan dengan realitas kekinian. ‖Ular
menyeberangi sungai Cimanuk‖ diinterpretasikan sebagai pipa-
pipa minyak Pertamina yang banyak banyak melalui daerah di
Indramayu, lalu mendistribusikannya ke luar daerah. ‖Lampu
menyala tanpa minyak‖ ditafsirkan sebagai lampu-lampu
listrik, yang memang tampak menyala meskipun tanpa minyak.
‖Manunggal dengan prajurit‖ sebagai pengejawantahan TNI
Masuk Desa, tentara bersama rakyat membangun desa. ‖Bahu-
membahu dengan pejabat‖ adalah eratnya kerjasama antara
pemerintah dengan rakyat dalam membangun Indramayu.
Ketiga, adanya kesimpulan bahwa Indramayu kembali makmur.
Rakyat hidup makmur, aman dan tenteram.
Interpretasi itu dianggap faktual dan aktual pada
pemerintahan era kini. Ada semacam legitimasi ideologi
―pembangunannisme‖ pada era kekinian untuk memiliki dasar
yang kuat atas petunjuk leluhur. Penyebutan naskah itu dalam
beberapa kesempatan sebagai ―prasasti‖ menjadi semakin
berwibawa dan memiliki nilai ―magis‖ yang dalam dan
menggetarkan. Lebih dari itu seakan-akan menjadi ―gong‖
Wiralodra, sebagai pesan terakhir Wiralodra kepada rakyatnya,
yang menyatakan bahwa Indramayu kembali makmur dengan
beberepa prasyarat dan tanda-tanda. Prasyarat dan tanda-tanda
itu diyakini sebagai masa kini, yang dihubungkan dengan
pembangunan fisik yang terlihat.
Perbedaan Penafsiran
Wiralodra menjadi tokoh sentral berdirinya Indramayu.
Dinasti Wiralodra juga memerintah Indramayu hingga zaman
VOC. Meski demikian agak sulit menemukan kejelasan tokoh
ini, baik dilihat dari jatidiri, kiprah secara rinci, maupun tahun-
tahun pengabdiannya di Indramayu. Ketidakjelasan itu seakan-
akan tampak gamblang jika melihat jalinan cerita Wiralodra
dalam buku Dasuki (1977) maupun Sutadji (2003). Hal itu
karena adanya pencampuran tradisi tulisan (lontar) dengan
tradisi lisan (cerita turun-temurun, termasuk dalam lakon seni
pertunjukan wayang golek cepak menjadi cerita prosa yang
dianggap sebagai kejadian yang sunggu-sungguh terjadi).
Dengan interpretasi dari sudut pandang sastra, sangat
mungkin terjadi perbedaan penafsiran yang pokok antara
Dasuki (1977) dengan Sutadji (2003), meski berasal dari
sumber yang sama, yakni Babad Dermayu. Lihat pada tabel
berikut ini:

Versi Dasuki
Tahun Nama Adipati Gelar
1527-.... Wiralodra Indrawijaya
- - -
- - -
- - -
1653-1665 Surajaya Tumenggung Pati
1681-1703 Krestal Wiralodra
1704-1726 Wirapati Wiralodra
1727-1746 Benggala Wiralodra
1747-1785 Benggali Wiralodra
1786-1822 Semangun Wiralodra
1823-857 Krestal Wiralodra

Versi Sutadji
Tahun Nama Adipati Gelar
1510-1575 R. Wiralodra I Indrawijaya
1576-1616 R. Wirapati Wiralodra II
1617-1680 R. Sawerdi Wiralodra III
1781-1771 R. Benggala Wiralodra IV
1712-1752 R. Benggali Wiralodra V
1753-1815 R. Semangun Wiralodra VI
1815-1859 R. Krestal Wiralodra VII
1860-1892 R. Marngali Wirakusuma
Versi Babad Dermayu (1900)
Tahun Nama Adipati Gelar
- R. Wiralodra I Indrawijaya
- R. Wirapati Wiralodra II
- R. Sumerdi/Suwerdi Wiralodra III
- R. Benggala Wiralodra IV
- R. Benggali (Singalodraka) Wiralodra V
- R. Semangun Wiralodra VI
- R. Kerstal Wiralodra VII

Dasuki (1977) menyebutkan, sosok penguasa Indramayu


dimulai dari Wiralodra (Indrawijaya, 1527-1575), selanjutnya
No. 2-4 tidak diketahui dengan jelas (No. 1-4 berdasarkan
sejarah tradisional), kemudian Surajaya (Tumenggung Pati,
1653-1665), Krestal (Wiralodra, 1665-1680), Wirapati
(Wiralodra, 1681-1703), (No. 5-7 berdasarkan Daagh Register
VOC), Raden Suwardi (Wiralodra, 1704-1726), Raden
Benggala (Wiralodra, 1727-1746), Raden Benggali (Wiralodra,
1747-1785), Raden Semangun (Wiralodra, 1786-1822), Krestal
(Wiralodra, 1823-1906) (No. 7-12 masa jabatannya
berdasarkan perkiraan). Selanjutnya dimulai dari Suranegara
alias raden Tumenggung (1860-1892) sampai seterusnya tidak
bergelar Wiralodra (berdasarkan Regerings Almanak voor
Nederlands Indie 1869).
Sutadji (2003) menyebutkan Wiralodra I alias Indrawijaya,
Tumenggung Pati atau Wirapati (Wiralodra II) adalah menantu
Wiralodra I, raden Suwardi (Wiralodra III, pertengahan abad
ke-17), raden Benggala (Wiralodra IV, 1704), Raden Benggali
(Wiralodra V), Raden Semangun (Wiralodra VI).
Keduanya bersumber dari naskah tradisional, babad
Dermayu, berupa wawacan atau macapat/tembang pupuh.
Naskah seperti itu tidak hanya satu yang ditulis orang. Salah
satu sumber tradisional itu berhasil ditransliterasi dan
diterjemahkan Masyarakat Pernaskahan Nusantara Cabang
Bandung Jawa Barat tahun 2008, yakni naskah Babad
Dermayu/Babad Carbon 2, yang penulisnya tak dikenal dan
ditulis tahun 1900. Pada beberapa bagian kertasnya ada yang
sobek atau terkepit, sehingga ada beberapa kata yang tak
terbaca, lalu penerjemahannya diberi kode ... (titik-titik) saja.
Pada naskah tersebut, sislsilah keluarga Wiralodra ditulis agak
lengkap sebagai berikut:

Asal-usul Wiralodra
Dalem yang membangun negara, (letaknya di) Darmayu
sebelah barat, telah selesai. Yang memiliki tanah di Kedu (dan)
Bagelén, mempunyai suami putra dari Pajajaran, bernama Jaka
Kuwat. Selanjutnya berputra bernama Mangkuyuda
Tumenggung Metaram. Mangkuyuda Tumenggung Metaram
berputra Wiraseca (yang menjadi) ngabéhi. Ngabehi Wiraseca
berputra Kartawangsa tumenggung Metaram, sampai anak
cucu Kyahi Belara. Kyahi Belara berputra Radén Lowana,
Tumenggung Bagelén.

Radén Lowan[n]a, Tumenggung Bagelén berputra:


1. Gagak Pernala Tumenggung Bagelén
2. Gagak Kumitir di Bagelén
3. Gagak Wirawijaya Tumenggung Tegal
4. Gagak Pringgawipura Tumenggung Ngayogya
5. Gagak Klanaprawira Tumenggung Karangjati
Radén Gagak Pernala Tumenggung Bagelén berputra:
1. Radén Wirapati
2. Radén Wiraseca
3. Radén Wirakusuma
4. Radén Singalodraka

Radén Singalodraka berputra:


1. Radén Jaka Kuwat
2. Radén Kumbabocor
3. Bayu Mangkuyuda

Radén Wiraseca berputra:


1. Perempuan, Nyayu Wangsanegara
2. Perempuan, Nyayu Wangsayuda
3. Laki-laki, Radén Kerstal alias Wiralodra I, waktu itu(di)
Bagelén
4. Laki-laki, Radén Tanujaya
5. Laki-laki Radén Tanujiwa

Sesudah Radén Kerstal aliyas Wiralodra I berkelana (dan)


menemukan Kali Cimanuk, sesudah bertemu kali Cimanuk
terus masuk hutan di seberang barat kali Cimanuk, dan
bertemu Nyi Darma. lalu …dengan Nyi Darma. Karena Nyi
Darma orangnya cantik, jadi negara dinamai Darmayu.
Nyi Darma menghilang di hulu kali Cimanuk. Sesudah
lama Wiralodra I berputra empat (orang), bernama:
1. Laki-laki, Radén Sutamerta
2. Laki-laki, Radén Wirapati menggantikan ayahnya menjadi
bupati
3. Perempuan, Nyayu Hinten menjadi istri Ratu Pulo Mas
bernama Werdinata
4. Laki-laki, Radén Driyantaka

Yang menggantikan Radén Wirapati ialah putranya dinamai


Radén Wiralodra II. Wiralodra II Dalem Darmayu sebelah
barat mempunyai putra 13 (yaitu):
1. Laki-laki, Radén Kowi
2. Laki-laki, Radén Timur
3. Laki-laki, Radén Sumerdi yang menggantikan jadi bupati
4. Laki-laki, Radén Wirantaka
5. Laki-laki, Radén Wiratmaja
6. Perempuan, Hajeng Raksawiwangsa
7. Perempuan, Hajeng Sutamerta
8. Perempuan, Hajeng Nayawangsa
9. Perempuan, Hajeng Wiralaksan[n]a
10. Perempuan, Hajeng Hadiwangsa
11. Perempuan, Hajeng Wilastro
12. Perempuan, Hajeng Puspatarun[n]a
13. Perempuan, Hajeng Patranaya

(Yang menjadi) pengganti bupati (yaitu) putranya bernama


Radén Sumerdi, diberi gelar Wiralodra III. Wiralodra (III)
Dalem Darmayu sebelah barat memiliki putra kembar
bernama:
1. Laki-laki, Radén Benggala
2. Laki-laki, Radén Benggali kembarannya
3. Perempuan, Hajeng Singawijaya
4. Perempuan, Hajeng Raksawinata

Pengganti bupati putranya bernama Radén Benggala diberi


gelar Wiralodra IV. Wiralodra IV Dalem Darmayu sebelah
barat setelah 3 tahun lamanya dan berputra 8 orang:
1. Laki-laki, Radén Lahut
2. Laki-laki, Radén Ganar
3. Perempuan, Hajeng Parwawinata
4. Laki-laki, Radén Solo alias Kartawijaya
5. Perempuan, Hajeng Nahiyasta
6. Perempuan, Hajeng Gembrak
7. Perempuan, Hajeng Tayub
8. Perempuan, Hajeng Moka

Sesudah 3 tahun diganti lagi, (adiknya) yang menjadi


dalem yaitu Radén Benggali diberi gelar Singalodraka pangkat
dalem no. 5.
Singalodraka Dalem Darmayu sebelah barat berputra:
1. Radén Semangun mengganti dalem bergelar Wiralodra VI

Wiralodra VI Dalem Darmayu sabrang kulon berputra 4


orang:
1. Laki-laki, Radén Suryapati
2. Laki-laki, Radén Suryabrata
3. Laki-laki, Radén Suryawijaya
4. Laki-laki, Radén Kerstal

Yang menggantikan menjadi dalem putranya bernama


Radén Kerstal bergelar Wiralodra VII.
Wiralodra Dalem Darmayu sebelah barat sesudah lamanya
terus kosong tidak ada Dalem. (Dalem ini) memiliki banyak
putra, bernama:
1. Laki-laki, Radén Marngali Wirakusuma Demang
Bébersindang
2. Perempuan, Nyayu Wiradibrata menjadi rangga
3. Perempuan, Nyayu Malayakusuma Demang Plumbon
4. Perempuan, Nyayu Hékasubrata Demang Anjatan
5. Perempuan, Nyayu Suradisastra ulu-ulu
6. Perempuan, Nyayu Hanjani mantri tanah
7. Laki-laki, Radén Yogya Kartawilasa
8. Laki-laki, Radén Kalid Wiradaksana Demang Lobener
9. Laki-laki, Radén Prawiradirja Wiradaksana Demang Losari

Demang Ngabéhi Radén Wirakusuma memiliki putra 4:


1. Laki-laki, Radén Wirasentika Demang Lobener
2. Perempuan, Nyayu Sastrakusuma menjadi jurutulis
Demang Brengenyéber
3. Perempuan, Nyayu Wiradibrata Wékling
4. Perempuan, Nyayu Patimah Demang Leléya

Radén Yogya Kartawilasa berputra dua (orang, yaitu):


1. Radén Madi Wirasomantri
2. Nyayu Cilik

Radén Kalid Wiradaksana berputra tiga (orang, yaitu):


1. Radén Wirasaputra menjadi demang
2. (Radén) Wirahatmaja
3. Perempuan, Nyayu Sumbadra

Radén Prawiradirja Demang Losari berputra 2 orang


1. Perempuan, Nyayu Wiradiwangsa
2. Radén Prawirakusuma

(Kang)jeng Wirabrata rangga berputra 4 orang


1. Radén Wiramadengda
2. Perempuan, Nyayu Sumaga

3. Radén Mardada Wiradibrata


4. Radén Marsada

Nyayu Malayakusuma demang berputra 2 orang


1. Radén Perdata Wirahastabrata
2. Radén Sumarga Wirasudirga

Sumber lainnya yang juga berasal dari naskah tradisional


hanya menyebutkan nama Wiralodra, tanpa silsilah berikutnya
maupun uraian lengkapnya. Sumber yang pertama, Babad
Cirebon, bagian keempatpuluh satu: ‖Prabu Indrawijaya / Arya
Wiralodra memeluk agama Islam sambil menyerahkan
daerahnya, Indramayu, kepada Cirebon tahun 1528 (Dadan
Wildan, 2002). Sumber yang kedua berasal dari Naskah
Wangsakerta yang menyebutkan Wiralodra ke Indramayu
karena diutus Mataram (Ayatrohaedi, 2005).
Uraian di atas menyiratkan tiga hal mengenai tokoh
Wiralodra. Pertama, terjadi perbedaan mendasar apakah
Wiralodra utusan Demak ataukah Mataram? Dua kerajaan
yang berbeda masa yang cukup jauh. Dinasti Demak berdiri
tahun 1475 hingga 1546, dengan silsilah terdiri dari Raden
Patah, Dipati Unus, Sekar Seda Lepen, hingga Pangeran
Trenggana. Sedangkan Mataram dimulai tahun 1582-1601
(Senopati), kemudian 1613-1645 (Sultan Agung), 1645-1677
(Amangkurat I), 1677-1703 (Amangkurat II), 1703-1705
(Amangkurat III), 1705-1719 (Pakubuwana I), 1719-1725
(Amangkurat IV), dan 1725-1749 (Pakubuwana II), 1749-1788
(Pakubuwana III), dan 1788-1820 (Amangkurat IV).
Jika berpegang sebagai agen Demak, acuan sumbernya
adalah Babad Dermayu, yang tergolong sumber sekunder. Jika
mengacu sebagai laskar Mataram, acuannya adalah Naskah
Wangsakerta, yang juga tergolong sumber sekunder. Keduanya
belum dikuatkan oleh fakta lain dari sumber primer. Meski
demikian, keduanya memiliki argumentasi rentetan peristiwa
yang mengiringi. Sebagai agen Demak (abad ke-16), Wiralodra
memiliki aregumentasi untuk membangun pelabuhan/dermaga
yang kelak digunakan dalam rangka penyerangan Demak
terhadap Pajajaran. Tugas itu dilakukan secara rahasia,
sehingga tampak ia pun tunduk kepada Rajagaluh yang
menguasai Cimanuk, yang merupakan bawahan Pajajaran.
Kelemahan argumentasi itu adalah tak dijelaskan misi itu
gagal atau berhasil, sebab yang terlihat kemudian tak ada
keterlibatan Dermayu dalam konflik Demak dengan Pajajaran.
Yang tampak adalah keterlibatan Cirebon dan Demak dalam
penyerbuan ke Sundakelapa ataupun ke Rajagaluh, yang
keduanya merupakan wilayah Pajajaran. Tak ada penegasan
kelanjutan misi Wiralodra itu, tetapi hanya terkesan misi itu
sesuatu yang tidak argumentatif dan cenderung bersembunyi
sebagai sebuah cerita fiksi yang tak logis.
Jika Wiralodra sebagai laskar Mataram (abad ke-17) yang
ditugaskan Sultan Agung ke Indramayu, argumentasinya
adalah sebagai persiapan lebih dini penyerangan Mataram ke
Batavia atau bersiap menghadapi balasan Kompeni, setelah
penyerangan sebelumnya gagal (1628-1629). Evaluasi
kegagalan itu menyimpulkan karena masalah logistik dan
komunikasi. Beberapa sumber lain menyebut nama
Wiraperbangsa (Singaperbangsa) yang juga ditugaskan Sultan
Agung ke Karawang. Momen tersebut dikenal sebagai
‖transmigrasi lokal‖ ribuan petani dan veteran perang
Mataram dari Jawa Tenga ke pantai utara Jawa Barat.
Argumentasi lain adalah pada kurun waktu bersamaan
Mataram menguasai hampir seluruh daerah Jawa Barat selama
57 tahun, termasuk menetapkan kepala pemerintahan secara
resmi di Tasikmalaya, Bandung, Sumedang, dan daerah
lainnya.
Kelemahan argumentasi tersebut adalah belum adanya
sumber lain (baik primer maupun sekuender) secara tegas yang
menyebutkan Wiralodra adalah laskar Mataram yang
ditugaskan di Indramayu kemudian mendirikan Indramayu.
Yang ada hanyalah bersumber dari Naskah Wangsakerta, yaitu
Pustaka Nagarakrtabumi, (parwa 1 sargah 4) yang disusun pada
tanggal 11 Paro Gelap bulan Kartika tahun 1617 Saka (=1695
M). Secara sepintas disebutkan pula dalam buku Sundakala
(Ayatrohaedi, 2005).
Kedua, apakah Wiralodra mendirikan Indramayu tahun
1527 atau 1510 (misi Demak) ataukah pada abad ke-17 (misi
Mataram)?

Dari beberapa sumber itu terdapat sejumlah kesangsian


tahun, yaitu sebagai berikut:
- Tahun 1510 Wiralodra diangkat oleh Prabu Cakraningrat
dari Galuh sebagai Adipati Cimanuk dengan gelar
Indrawijaya.
- Tahun 1510 Wiralodra ke Bagelen, karena ada
pemberontakan Banyubiru teradap Demak. Ia membela
Demak, dan pemberontakan itu dapat dipadamkan.
- Tahun 1528 Rajagaluh ditaklukkan Cirebon. Salah satu
komandan pasukannya adalah Arya Kamuning.
- Tahun 1528 terjadi peristiwa Wiralodra bentrok dengan
Arya Kamuning, karena Arya Kamuning menuduh
Wiralodra tidak izin dulu ke Cirebon untuk membuka
pedukuhan Cimanuk. Saat itulah Arya Kamuning mabuk
kemenangan seusai mengalahkan Cakraningrat dari
Rajagaluh.
- Setelah peristiwa itu Wiralodra segera meresmikan
pedukuhan Cimanuk pada tanggal 7 Oktober 1527.

Penentuan tanggal 1527 itu ternyata tidak logis jika


megacu pada urutan kronologis waktu dari beberapa peristiwa
yang melibatkan Wiralodra. Momentum peresmian pedukuhan
setelah peristiwa bentrok dengan Arya Kamuning, justru
penentuannya jatuh pada tahun 1527, padahal peristiwa
bentrok itu pada tahun 1528.
Kesangsian juga pada beberapa peristiwa yang melibatkan
Wiralodra dari beberapa sumber itu, yakni:
- Perang Cirebon–Rajagaluh juga melibatkan Wiralodra yang
membantu Cirebon, selain tokoh lain, seperti Arya
Kamuning. Di satu sisi Wiralodra diangkat sebagai adipati
dengan gelar Indrawijaya, justru oleh Prabu Cakraningrat
dari Rajagaluh.
- Setelah perang dengan Rajagaluh, terjadi bentrok
Wiralodra dengan Arya Kamuning, karena Arya Kamuning
menuduh Wiralodra tidak izin kepada Sunan Gunungjati
saat membuka pedukuhan Cimanuk.

Dua hal itu juga saling bertentangan. Jika saat perang


Cirebon-Rajagaluh Wiralodra suda menjadi bagian dari laskar
Sunan Gunung Jati, tidak mungkin ada tuduhan tak berizin
saat membuka pedukuan Cimanuk. Jika belum ada komunikasi
dan izin, tidak mungkin ada tuduhan seperti itu.
Ada beberapa uraian Dasuki (1977) yang memunculkan
kesan sebagai sikap ambigu. Pada kronologi kedatangan
Wiralodra, diceritakan berasal dari dasar wangsit, tetapi pada
analisisnya justru disebutkan bahwa Wiralodra sebagai agen
Demak. Sikap mendua juga ada pada kronologi Endang
Dharma yang menceburkan diri ke sungai Cimanuk lalu minta
namanya diabadikan menjadi nama daerah. Pada bagian
analisisnya, justru berkesimpulan Wiralodra dengan Endang
Dharma justru menikah di Pegaden secara rahasia.
Kesangsian tersebut bisa terjadi karena keberadaan tokoh
Wiralodra mengambang antara tokoh faktual dan fiksional,
seperti diungkapkan makalah Eddy Sunarto (2007), bahwa
‖sejarah‖ yang ditampilkan dalam Wiralodra yang kemudian
menjadi legenda merupakan sebuah kreativitas pengarang yang
mencampurbaurkan tokoh-tokoh historis dengan tokoh-tokoh
fiktif. Dari sudut pandang cerita Wiralodra merupakan karya
sastra dengan tokohnya sebagai tokoh historis, bukan tokoh
fiktif yang dikemas dalam naskah-naskah tradisi masyarakat
Indramayu dan sekitarnya.
Ketiga, selain naskah tradisional (Babad Dermayu, Babad
Cirebon, dan naskah Pangeran Wangsakerta), belum diketemukan
sumber lain yang menyebutkan tokoh Wiralodra, baik sumber
tradisional lain maupun sumber asing. Babad Dermayu ditulis
pada abad ke-19 yang menceritakan kejadian abad ke-16 atau
kejadian 300 tahun yang lalu. Itupun belum diketahui, apakah
naskah itu asli, salinan dari aslinya, ataukah salinan atas salinan
sebelumnya. Babad Cirebon juga tak jauh berbeda. Begitu pula
naskah PW, sebuah naskah yang sebenarnya cukup lengkap
dan cenderung ilmiah, tetapi belum bisa dijadikan sumber
primer. Artinya, tokoh Wiralodra hanya ada pada sumber yang
termasuk sumber sekunder. Meski demikian, ketiadaan sumber
primer menjadikan sumber sekunder bisa dipergunakan
sebagai sumber sejarah. Yang menjadi permasalahan adalah
tiga sumber sekunder itu memiliki perbedaan mendasar.
Tentang nama Wiralodra yang menjadi gelar hingga
generasi ketujuh, tentu saja dipilih sebagai suatu penghormatan
terhadap generasi pertama yang memiliki jasa sangat besar
dalam mendirikan daerah. Pemilihan nama tersebut, secara
etimologi dapat dihubungkan pada kecenderungan
kepemimpinan dan kekuasaan. Artinya, bukanlah nama biasa
yang tak memiliki arti secara sosiologis maupun psikologis.
Nama Wiralodra sendiri menarik untuk dibahas, sebab
sangat mungkin pengucapan semula dari Wiralodra adalah
Wirarodra atau Wirarudra. Dalam linguistik Nusantara,
pelafalan huruf l dan r sering dipertukarkan, contohnya kata
rara menjadi lara (sakit), dan rare menjadi lare(h) (anak). Nama
tokoh pembuka daerah Dermayu itu terdiri dari dua kata, yaitu
wira + rudra. Wira artinya pahlawan yang gagah berani,
sedangkan Rudra adalah nama lain dari dewa Siwa sebagai
dewa penghancur (Zoetmulder 1995, 2:1444 dan 958). Dapat
ditafsirkan bahwa pemilik nama itu diharapkan dapat bertindak
sebagai pahlawan yang gagah berani dan menghancurkan
musuh-musuhnya (Munandar, 2007).
Menyandang nama yang demikian gagah-berani dan dapat
menghancurkan musuh-musuhnya merupakan syarat utama
seorang ‖raja‖. Dilihat dari nama, secara sosiologis dan
psikologis akan dapat menggetarkan musuh-musuhnya dan
meningkatkan dukungan rakyatnya hingga ke tingkat fanatis.
Nama itulah yang kemudian layak dijadikan nama-nama gelar
hingga generasi berikutnya dalam sebuah dinasti. Dengan kata
lain, tanpa menyandang nama Wiralodra, akan sulit bahkan
tidak mungkin menjadi penerus kepemimpinan pada kurun
waktu tersebut. Di sisi lain, kegelapan justru tampak pada asal-
usul jatidiri Wiralodra di daerah asalnya, Bagelen. Tak ada
naskah yang menyebutkan tentang Wiralodra maupun
Kadipaten Bagelen yang dipimpin ayahnya (Singalodra)
maupun hubungan historis dengan Indramayu. Nama
Wiralodra, Singalodra, maupun keluarganya dan kronologi
historisnya justru tak dikenal di Bagelen. Tulisan tentang
sejarah yang dikeluarkan Pemkab Purworejo maupun dari
masyarakat, sama sekali tak menyentuhnya.
Mengenai prasasti Wiralodra sebagai pesan terakhir
kepada rakyat Indramayu, ternyata asal-usul penyebutan
‖prasasti‖ itu berasal dari buku Sejarah Indramayu (Dasuki
1977), yang memberi istilah ‖semacam prasasti‖. Istilah itu
dikemukakan setelah diketemukakannya kulit menjangan berisi
naskah. Penyebutan ‖semacam prasasti‖ itu lama-lama terjadi
distorsi yang tampaknya disengaja, sehingga pada akhirnya
seolah-olah menjadi ‖prasasti‖.***

Anda mungkin juga menyukai