Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR

Tulisan sejarah ada kalanya memiliki kesalahan atau kelemahan, dan hal

itu memang lumrah terjadi, apalagi bila penulisan sejarah dilakukan oleh

sejarawan amatir. Hal ini antara lain terjadi dalam buku Sejarah Indramayu yang

ditulis oleh sebuah tim bentukan Pemerintah Kabupaten Indramayu tahun 1970.

Kesalahan dan kelemahan dalam buku tersebut mendapat perhatian khusus

dari sejumlah tokoh Indramayu pecinta sejarah. Oleh karena itu mereka

berinisiatif untuk menyelenggarakan seminar guna membahas kualitas isi buku

tersebut. Seminar berlangsung tanggal 10-11 September 2007 di Hotel Prima

Jalan D.I. Panjaitan Indramayu, difasilitasi oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Kabupaten Indramayu.

Panitia seminar menghadirkan beberapa orang pembicara (pakar dan

pemerhati sejarah). Penulis diminta oleh panitia untuk secara khusus menanggapi

buku Sejarah Indramayu dari segi metodologi. Tanggapan itulah yang dituangkan

dalam tulisan ini.

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

PENDAHULUAN 1

TANGGAPAN UMUM 4

TANGGAPAN KHUSUS 6

a. Uraian dan Keakuratan Fakta 6

b. Sistematika dan Sifat Uraian 8

c. Konsistensi dan Masalah Sumber 9

PENUTUP 10

SUMBER ACUAN 11

ii
BUKU SEJARAH INDRAMAYU (1977)
TANGGAPAN DARI SEGI METODOLOGI
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Dr. A. Sobana Hardjasaputra, S.S., M.A.∗)

PENDAHULUAN
Keberadaan buku Sejarah Indramayu atas prakarsa Pemerintah Kabupaten
Indramayu, menunjukkan adanya kesadaran akan pentingnya sejarah, khususnya
sejarah daerah. Dalam hal ini, sejujurnya saya mengucapkan salut akan hal itu,
karena bangsa Indonesia umumnya kurang memiliki kesadaran sejarah. Penelitian
beberapa waktu yang lalu menghasilkan kesimpulan, bahwa di antara bangsa-
bangsa di Asia, bangsa Indonesia umumnya termasuk bangsa yang kesadaran akan
sejarahnya, lemah.
Pemahaman akan sejarah penting artinya, baik bagi pemerintah maupun
bagi masyarakat, karena sejarah mengandung pelajaran menyangkut kebijakan,
kearifan, moral, politik, dan lain-lain. Pentingnya arti sejarah, disadari atau pun
tidak, sebenarnya sudah dipahami secara umum. Hal itu tercermin dari ungkapan :
"Belajarlah dari sejarah", "Sejarah adalah obor kebenaran", "Sejarah pedoman
untuk membangun masa depan", dan lain-lain. Atas dasar itulah, Bung Karno
(almarhum) berpesan : "Jangan sekali-kali melupakan sejarah" ("Jas Merah").
Dalam budaya Sunda, pentingnya arti sejarah (sebagai peristiwa) biasa dijadikan
nasehat : "Kudu ngeunteung ka nu enggeus, nyonto ka nu bareto, diajar tina
pangalaman, pikeun nyanghareupan kiwari jeung nyawang nu bakal datang".
Memahami hal-hal yang sudah terjadi dengan arif, penting artinya untuk
menghadapi kehidupan masa kini dan memprediksi kehidupan di masa
mendatang.

∗)
Sejarawan Fakultas Sastra Unpad dan FKIP Unigal (Univ. Galuh) Ciamis.

1
2

Oleh karena itu peristiwa sejarah harus ditulis (direkonstruksi) dengan baik
dan benar, agar tidak terjadi salah pemahaman akan hal-hal tertentu dalam sejarah.
Kalaupun dalam penulisan sejarah mengandung unsur subyektif dari penulis, sifat
subyektif itu harus subyektif rasional, bukan subyektif emosional.
Kesalahan atau kelemahan dalam penulisan sejarah memang lumrah
terjadi. Biasanya faktor mendasar yang menjadi penyebab adalah ketidak-tuntasan
menemukan sumber atau kesalahan penggunaan sumber, sehingga verifikasi
(pembuktian) atau interpretasi mengenai hal tertentu pun menjadi salah. Oleh
karena itu, tulisan sejarah ada kalanya direvisi, bahkan ditulis ulang. Revisi atau
penulisan ulang sejarah wajib dilakukan apabila ditemukan sumber yang memuat
fakta baru dan/atau munculnya interpretasi baru mengenai suatu hal yang telah
dikemukakan dalam tulisan terdahulu.
Saya kira, atas dasar itu pula, para pemerhati sejarah di Indramayu merasa
perlu untuk mengkaji buku Sejarah Indramayu, sehingga seminar membahas buku
tersebut bertema "Rekonstruksi Pemikiran dan Penafsiran Sejarah Indramayu".
Dalam seminar ini, -- seperti tertulis dalam agenda seminar – saya mendapat
kepercayaan dari panitia untuk membahas buku Sejarah Indramayu cetakan ke-3
tahun 1977, khususnya Bab V. Bab ini berjudul "Kedatangan Wiralodra di
Indramayu", yang isinya antara lain mencakup uraian lahirnya nama Indramayu
(subbab 5.5).
Panitia menegaskan bahwa tujuan seminar adalah "merekonstruksi
pemikiran dan penafsiran terhadap buku tersebut di atas, dan memberikan wacana
kritis atas fenomena dan dinamika dari 'dampak sejarah' pada bidang sosial,
politik, dan budaya yang berkembang di masyarakat". Sejalan dengan hal itu,
panitia juga menegaskan, bahwa "forum seminar diharapkan mampu memberikan
pikiran dan wacana dari berbagai perspektif. Tidak hanya penulisan secara
'tradisional', tetapi juga berdasarkan ilmu sejarah".
Mengacu pada tujuan seminar, berarti buku Sejarah Indramayu harus
dibahas atau ditanggapi dari segi metodologi dalam ilmu sejarah. Tegasnya, hal-
hal yang harus ditanggapi dalam buku tersebut adalah bagian-bagian yang
3

menjadi obyek telaah metode sejarah. Bagian-bagian dimaksud terutama


menyangkut masalah berikut :
isi uraian dan keakuratan fakta;
sistematika dan sifat uraian;
konsistensi dan masalah sumber.

Dengan demikian, tanggapan itu tentu banyak bernada mengkritisi hal-hal


tersebut. Namun harap dipahami, bahwa kritik itu bukan bermaksud melecehkan
(mendeskreditkan) tim penulis buku atau menggurui siapapun, karena kritik itu
bersifat kritik konstruktif untuk kepentingan revisi atau penulisan sejarah.
Dari segi metode sejarah, secara garis besar tulisan sejarah terbagi atas dua
kategori. Pertama, tulisan sejarah ilmiah; kedua, tulisan sejarah populer, termasuk
semi-ilmiah populer. Penulisan sejarah ilmiah, mulai pencarian dan pengumpulan
sumber (heuristik), seleksi sumber (kritik intern dan ekstern), pengolahan data dan
seleksi fakta hasil interpretasi, sampai dengan proses penulisan (historiografi),
dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah metode sejarah. Tulisan sejarah ilmiah
memiliki ciri-ciri keilmiahan yang antara lain ditunjukkan oleh sistematika uraian
(kronologis-diakronis); sifat uraian deskriptif-analisis; menunjukkan aspek
kausalitas (sebab-akibat) sebagai "hukum sejarah", sehingga diperoleh kejelasan
(eksplanasi) sebagai jawaban atas pertanyaan mengapa. Mengapa peristiwa atau
masalah itu terjadi? Apabila kegiatan dalam proses penulisan sejarah ilmiah hanya
dilakukan sebagian, sehingga tulisan sejarah yang dihasilkan hanya memiliki
sebagian dari ciri-ciri sejarah ilmiah, maka tulisan itu termasuk ke dalam kategori
semi-ilmiah populer.
Penulisan sejarah populer, yang umumnya dilakukan oleh "sejarawan
amatir", biasanya kegiatan dalam proses penulisan tidak/kurang memperhatikan
kaidah-kaidah metode sejarah. Dalam penulisan sejarah populer, biasanya kritik
sumber dan seleksi data/fakta tidak dilakukan. Kalaupun dilakukan, tidak
sepenuhnya berdasarkan kaidah metode sejarah. Demikian pula dalam proses
penulisannya, penulisan sejarah populer umumnya tidak memperhatikan ciri-ciri
tulisan sejarah ilmiah atau ciri-ciri sejarah sebagai ilmu.
4

Oleh karena itu, dalam tulisan sejarah populer biasanya campuraduk antara
mitos/dongeng dengan sejarah. Tidak dibedakan secara tegas, mana mitos/
dongeng dan mana sejarah. Dalam hal ini perlu dikemukakan, bila keterangan atau
uraian tentang suatu hal tidak dijelaskan bahwa itu mitos/dongeng, dampaknya
akan menyesatkan pengetahuan pembaca, sehingga pembaca akan memiliki
pemahaman yang salah mengenai peristiwa atau masalah yang diceriterakan
dalam tulisan.
Hal-hal itulah yang menjadi landasan dalam menanggapi buku sejarah
yang menjadi obyek bahasan dalam seminar.

TANGGAPAN UMUM
Telah disebutkan, bahwa "forum seminar diharapkan mampu memberikan
pemikiran dan wacana dari berbagai perspektif." Atas dasar itu, sebelum
menanggapi uraian Bab V dalam buku yang dibahas, kiranya tidak berlebihan
apabila terlebih dahulu disampaikan tanggapan umum, sebagai tambahan
sumbangsih pemikiran, sesuai dengan tujuan seminar.
Dari segi sumber yang digunakan dan sistem penunjukkan sumber acuan
dalam uraian (footnote), buku Sejarah Indramayu cetakan ke-3 tahun 1977, pada
dasarnya termasuk ke dalam kategori tulisan semi-ilmiah populer. Dikatakan
demikian, karena penulisan buku tersebut, selain menggunakan babad sebagai
sumber acuan, juga menggunakan sejumlah buku sejarah hasil penelitian. Namun
uraian isi buku tersebut ternyata bukan sepenuhnya sejarah, tetapi gabungan
"sejarah" dan budaya (Bab XII: Upacara tradisional dan Bab XIII: Volklore).
Dengan demikian, seharusnya buku itu berjudul "Sejarah dan Budaya Indramayu".
Terkesan penggunaan sumber babad tidak lebih dahulu dikaji dari segi
filologi. Cerita dalam babad hanya disadur. Oleh karena itu, uraian isi buku
campuraduk antara dongeng/mitos dengan sejarah. Babad tidak dapat langsung
dijadikan sumber penulisan sejarah, tanpa terlebih dahulu dikaji oleh metode
filologi.
5

Dalam uraian yang kental bersifat sejarah (Bab VI s.d Bab XI), di sana-
sini terdapat ketidakakuratan fakta. Contoh, disebutkan bahwa "Daendels datang
ke Indonesia sebagai Gubernur Jenderal pada tahun 1806" (hal. 193). "Daendels
memulai pekerjaannya pada tahun 1807 dengan membuat jalan Anyer-Panarukan"
(hal. 194). Perlu diketahui bahwa tahun 1806-1807 Daendels masih berada di
Eropa. Menurut dokumen dan sumber akurat lainnya, Daendels diangkat menjadi
Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 18 Januari 1807. Ia baru tiba di Anyer
(Jawa Barat) pada 1 Januari 1808. Tanggal 14 Januari 1808 terjadi timbang terima
kekuasaan dari Gubernur Jenderal Kompeni A.J. Wiese kepada Gubernur Jenderal
H.W. Daendels (Kleyn, 1889 dan Kern, 1898). Pembangunan jalan Anyer-
Panarukan (Grote Postweg) dimulai pertengahan tahun 1808 (Reitsma, 1912; de
Haan, IV, 1912, dan Campbell, II, 1915).
Contoh ketidakakuratan fakta dan salah interpretasi antara lain terlihat
dalam daftar nama Residen Cirebon (hal. 407). Pada zaman Kompeni/VOC di
Indonesia (Nusantara), belum ada jabatan residen. Pejabat pemerintah kolonial
setingkat residen baru ada zaman pemerintahan Gubernur Jenderal H.W. Daendels
(1808-1811), tetapi sebutannya prefect kemudian berubah menjadi landdrost. Dari
segi penamaan atau istilah, sebutan residen (resident) yang mengacu pada jabatan,
baru ada mulai pemerintahan Letnan Gubernur Jenderal T.S. Raffles (1811-1816).
Kekeliruan seperti itu perlu dibetulkan.
Dalam buku tersebut, informasi mengenai hal-hal tertentu menyangkut
fakta sejarah, mungkin benar. Namun sayang, penunjukkan sumber dalam uraian
(sistem footnote) tidak konsisten. Dari isi uraian berjumlah 390 halaman (hal. 7 -
396), hanya 69 halaman yang memuat penunjukkan sumber. Sejumlah sumber
yang terdaftar dalam kepustakaan, penggunaannya tidak jelas.
Disayangkan pula, sistematika uraian, kacau. Hal itu terlihat dari
hubungan antar bab dan hubungan antar subbab hampir pada setiap bab.
Pembagian bab tidak sepenuhnya berdasarkan periodisasi, juga tidak sepenuhnya
berdasarkan tematis, melainkan gabungan keduanya. Berarti dasar pembagian bab,
kacau. Adanya Bab XII tentang upacara tradisional dan Bab XIII tentang volklore
6

(cerita rakyat), menambah kacaunya sistematika dan kronologi uraian secara


keseluruhan. Kronologi adalah salah satu ciri karya sejarah.
Oleh karena itu, informasi penting bersifat positif dalam buku tersebut,
menjadi rusak oleh banyaknya kelemahan. Di antara kelemahan-kelemahan itu,
kelemahan utama menyangkut ketidakakuratan fakta. Sejarah harus ditulis
berdasarkan fakta, tetapi tidak segala fakta adalah fakta sejarah. Dalam penulisan
sejarah, fakta yang digunakan adalah hasil seleksi dan interpretasi sejarawan.

TANGGAPAN KHUSUS
Tanggapan/bahasan mengenai uraian Bab V: "Kedatangan Wiralodra di
Indramayu", adalah sebagai berikut.

a. Uraian dan Keakuratan Fakta


Uraian Bab V banyak mengandung kelemahan, karena tidak ditunjang
oleh fakta sejarah yang akurat. Hal itu terjadi karena sumber acuan utamanya
adalah babad. Seperti telah disebutkan, terkesan penggunaan sumber itu tidak
terlebih dahulu dikaji dari segi filologi. Cerita dalam babad dikemukakan
sebagaimana adanya atau disadur. Hal itu antara lain ditunjukkan oleh adanya
"kata sohibul hikayat", "konon", dan "syahdan" di awal cerita. Ketiga istilah itu
menunjukkan cerita yang dikemukakan adalah dongeng, karena tidak berdasar
pada sumber yang jelas. Bahwa cerita dalam babad itu dongeng, juga ditunjukkan
oleh banyak hal yang tidak rasional. Contoh, orang muncul dan lenyap secara
tiba-tiba (hal. 59 dan 63), orang menjelma menjadi kijang, ular, burung garuda,
danau, bukit, dan petir (hal. 64 dan 81).
Informasi tetang Wiralodra dan Nyi Endang Darma, hanya didasarkan
pada babad, yaitu Babad Dermayu, tidak ditunjang oleh sumber sejarah yang
akurat. Bagian cerita dalam babad itu antara lain menyebutkan, bahwa "Wiralodra
dan kakeknya, Pangeran Guru adalah keturunan dari Majapahit" (hal. 66 dan 76).
Terhadap informasi itu samasekali tidak ada tanggapan atau komentar, baik dalam
7

uraian subbab yang bersangkutan maupun dalam Subbab 5.2: Analisa dan
kesimpulan.
Dalam subbab itu, mengenai Wiralodra hanya dianalisa dengan
menghubungkan cerita dalam Babad Dermayu dengan cerita dalam Babad
Cirebon. Kesimpulannya, "Wiralodra identik dengan Indrawijaya" penguasa
Indramayu (hal. 89). Disimpulkan pula, bahwa "kehadiran Wiralodra di
Indramayu sebagai 'agen' Demak" (hal. 91). Namun tidak dijelaskan, apa atau
bagaimana hubungan Wiralodra dengan penguasa Demak. Kedua kesimpulan itu
tidak dilandasi oleh fakta sejarah.
Analisa mengenai Nyi Endang Darma, juga hanya didasarkan pada
informasi dalam Babad Dermayu, dikaitkan dengan informasi dalam Babad
Cirebon. Berdasarkan kedua sumber tersebut, disimpulkan bahwa Nyi Endang
Darma adalah istri Wiralodra yang identik dengan Nyi Mas Gandasari (hal. 93).
Padahal dalam uraian subbab sebelumnya (Subbab 5.1) disebutkan, bahwa setelah
Nyi Endang Darma merasa kewalahan dalam adu kesaktian dengan Wiralodra,
Nyi Endang Darma terjun ke sungai Cimanuk dan hilang entah ke mana (hal. 81).
Mengacu pada cerita itu, pertanyaannya adalah: Kapan Wiralodra menikah
dengan Nyi Endang Darma? Apakah Nyi Endang Darma menjelma menjadi Nyi
Mas Gandasari?!
Oleh karena cerita tentang Wiralodra dan Nyi Endang Darma dalam babad
tidak ditunjang oleh sumber sejarah yang akurat, maka keberadaan kedua tokoh
tersebut sangat diragukan. Dengan kata lain, selama belum ditemukan sumber
sejarah yang menyebut kedua tokoh dimaksud, maka Wiralodra dan Nyi Endang
Darma bukan tokoh sejarah, melainkan tokoh mitos.
Analisa mengenai peresmian pemukiman yang didirikan oleh Wiralodra,
yaitu Dermayu, kemudian menjadi Indramayu, juga mengandung kelemahan.
Pertama, tidak dijelaskan dari mana (dari sumber apa) diperoleh tanggal 1 Sura
1440 Saka? Kedua, tidak dijelaskan, apa dasar penafsiran yang digunakan,
sehingga tanggal itu dianggap identik dengan tanggal 1 Muharam 934 H dan
tanggal 7 Oktober 1527? Tulisan sejarah dituntut untuk memberikan eksplanasi
8

(kejelasan). Penulisan sejarah bukan hanya menceritakan kejadian, tetapi


bertujuan menerangkan kejadian.
Contoh lain – meskipun bukan bagian inti uraian – adalah pernyataan,
bahwa Prabu Siliwangi identik dengan Sri Baduga Maharaja (hal. 96), raja Sunda.
Sampai sekarang belum ditemukan sumber akurat mengenai sejarah Sunda yang
menyatakan adanya raja Sunda bernama Prabu Siliwangi. Nama itu hanya disebut
dalam sumber berupa naskah.
Itulah beberapa contoh kelemahan dalam uraian Bab V yang menyangkut
ketidakakuratan fakta.

b. Sistematika dan Sifat Uaraian


Terlepas dari benar-tidaknya keberadaan tokoh-tokoh yang diceritakan,
sistematika uaraian Bab V, kacau. Secara garis besar, hal itu terlihat dari kerangka
tulisan (dikutip sesuai aslinya).
BAB V: KEDATANGAN WIRALODRA DI INDRAMAYU
1. Sejarah tradisional tentang kedatangan Wiralodra di Indramayu
2. Analisa dan kesimpulan
3. Penyerbuan tentara Demak ke Banten dan Sunda Kalapa
4. Situasi politik di Indramayu
5. Lahirnya nama Indramayu
6. Wiralodra dan Arya Kemuding

Kerangka tulisan itu menunjukkan kelemahan atau kekacauan hubungan


judul bab dengan sub-sub bab dan hubungan antar subbab. Pokok-pokok masalah
dalam subbab tidak menerminkan judul bab. Hubungan masalah antar subbab,
kacau dan tidak kronologis serta mengabaikan aspek kausalitas (sebab-akibat).
Oleh karena itu, sifat uraian Bab V secara keseluruhan, tidak diakronis
(memanjang dalam urutan waktu), tetapi cenderung sinkronis (melebar dalam
ruang). Rupanya hal itu terjadi – maaf – karena lupa, bahwa sejarah merupakan
proses berkesinambungan yang menyangkut kausalitas.
9

c. Konsistensi dan Masalah Sumber


Sama halnya dengan uraian bab-bab lain, dalam uraian Bab V juga
terdapat kelemahan mengenai teknis penyajian tulisan. Kelemahan itu antara lain
menyangkut konsistensi dan penggunaan sumber. Ketidakkonsistenan yang paling
terlihat adalah dalam penunjukkan sumber acuan pada uraian. Dari 53 halaman
uraian Bab V (hal. 57-110), hanya 10 halaman yang memuat penunjukkan sumber
(sistem footnote). Penulisan sejarah menuntut ketelitian penggunaan dan
penunjukkan sumber acuan.
Dalam hal sumber, juga mengandung kelemahan. Sejumlah sumber yang
terdaftar dalam kepustakaan, tidak jelas penggunaannya. Sebaliknya, sumber yang
jelas-jelas dijadikan acuan dalam uraian – contoh, Asikin Wijayakusumah,
Riwayat Kemerdekaan Bangsa Sunda saruntagna Karajaan Pajajaran dina taun
1580. Kalawarta Kujang. Bandung, 1961∗) (footnote 45 hal. 101) – tidak terdaftar
dalam kepustakaan. Disadari atau tidak, hal itu terjadi akibat tidak konsisten
dalam penunjukkan sumber, sehingga tidak terkontrol, sumber-sumber mana yang
sudah digunakan.
Di kalangan sejarawan, buku Sanusi Pane: Sedjarah Indonesia I-II (1965)
sudah tidak lazim digunakan lagi, karena banyak kelemahan dan informasinya
sudah ketinggalan zaman (out of date). Penggunaan buku Sejarah Nasional
Indonesia (1975) harus ekstra hati-hati, karena di dalamnya banyak kekeliruan,
termasuk kekeliruan menyangkut fakta. Oleh karena itu, sekarang buku tersebut
sedang ditulis ulang.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka bila dalam seminar ini, isi buku
Sejarah Indramayu banyak dikritisi, tim penulis tidak perlu kecil hati dan merasa
dideskreditkan. Kritik konstruktif merupakan "warna" atau nuansa dalam forum
ilmiah, seperti seminar dan forum ilmah lainnya.

∗)
Seharusnya identitas sumber itu ditulis dalam ejaan lama, karena terbitnya tahun 1961.
10

PENUTUP
Berdasarkan tanggapan tersebut, dapat dikatakan bahwa dari segi
metodologi (metode sejarah), uraian Bab V lebih cenderung bersifat tulisan
populer. Kelemahan utamanya adalah ketidakakuratan fakta, ditambah oleh
kacaunya sistematika uraian menyangkut kronologi dan hubungan permasalahan.
Dua masalah penting yang patut dikaji ulang adalah masalah Wiralodra
dan Nyi Endang Darma serta perolehan tanggal 1 Sura 1449 Saka yang ditafsir
kan identik dengan tanggal 1 Muharam 943 H atau 7 Oktober 1527. Selama belum
ditemukan sumber akurat (sumber sejarah) yang memuat fakta adanya kedua
tokoh tersebut, maka kita harus berani dan rela mengatakan, bahwa Wiralodra dan
Nyi Endang Darma adalah tokoh mitos. Demikian pula, tanggal 7 Oktober 1527
tafsiran dari tanggal 1 Sura 1449 Saka, meskipun telah ditetapkan sebagai Hari
Jadi Indramayu, namun bila ternyata sumbernya lemah dan penafsirannya salah,
kesalahan itu wajib diperbaiki, seperti ditegaskan dalam salah satu kesimpulan
Rapat Gabungan Komisi II dan Komisi III DPRD Kabupaten Indramayu tanggal
25-28 Mei 1977. Berarti koreksi atas tanggal Hari Jadi Indramayu atau penulisan
ulang Sejarah Indramayu bukan hal yang tabu.
Mudah-mudahan sumbangsih pemikiran dalam bentuk tanggapan tersebut
di atas, bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Bandung, 26 Agustus 2007


11

SUMBER ACUAN
(Landasan Tanggapan)

Bachtiar, Harsya W. 1991.


"Fakta dalam Penulisan Sejarah Indonesia", Sub Tema Historiografi
(Kumpulan Makalah Seminar Sejarah Nasional IV). Jakarta: Depdikbud.
Disjarahnitra. Proyek IDSN.
Car, E.H. 1990.
What is History? London: Penguin Books.
Hardjasaputra, A. Sobana. 2005.
Bimbingan Penelitian dan Penulisan Sejarah. Jatinangor: Jurusan Ilmu
Sejarah Fakultas Sastra Unpad.
Kartodirdjo, Sartono. 1982.
Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia; Suatu Alternatif.
Jakarta: Gramedia.
---------. 1993.
Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Kent, Sherman. 1967.
Writing History. 2nd ed. New York: Appleton-Century-Crofts.
Kuntowijoyo. 2001.
Pengantar Ilmu Sejarah. Cetakan ke-4. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya.
Purwanto, Bambang dan Asvi Warman Adam.2005.
Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Renier, G.J. 1997.
Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah. Terjemahan Muin Umar. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Surjomihardjo, Abdurrachman. 1979.
Pembinaan Bangsa dan Masalah Historiografi. Jakarta: Yayasan Idayu.

Anda mungkin juga menyukai