Tulisan sejarah ada kalanya memiliki kesalahan atau kelemahan, dan hal
itu memang lumrah terjadi, apalagi bila penulisan sejarah dilakukan oleh
sejarawan amatir. Hal ini antara lain terjadi dalam buku Sejarah Indramayu yang
ditulis oleh sebuah tim bentukan Pemerintah Kabupaten Indramayu tahun 1970.
dari sejumlah tokoh Indramayu pecinta sejarah. Oleh karena itu mereka
Jalan D.I. Panjaitan Indramayu, difasilitasi oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Indramayu.
pemerhati sejarah). Penulis diminta oleh panitia untuk secara khusus menanggapi
buku Sejarah Indramayu dari segi metodologi. Tanggapan itulah yang dituangkan
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
PENDAHULUAN 1
TANGGAPAN UMUM 4
TANGGAPAN KHUSUS 6
PENUTUP 10
SUMBER ACUAN 11
ii
BUKU SEJARAH INDRAMAYU (1977)
TANGGAPAN DARI SEGI METODOLOGI
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
PENDAHULUAN
Keberadaan buku Sejarah Indramayu atas prakarsa Pemerintah Kabupaten
Indramayu, menunjukkan adanya kesadaran akan pentingnya sejarah, khususnya
sejarah daerah. Dalam hal ini, sejujurnya saya mengucapkan salut akan hal itu,
karena bangsa Indonesia umumnya kurang memiliki kesadaran sejarah. Penelitian
beberapa waktu yang lalu menghasilkan kesimpulan, bahwa di antara bangsa-
bangsa di Asia, bangsa Indonesia umumnya termasuk bangsa yang kesadaran akan
sejarahnya, lemah.
Pemahaman akan sejarah penting artinya, baik bagi pemerintah maupun
bagi masyarakat, karena sejarah mengandung pelajaran menyangkut kebijakan,
kearifan, moral, politik, dan lain-lain. Pentingnya arti sejarah, disadari atau pun
tidak, sebenarnya sudah dipahami secara umum. Hal itu tercermin dari ungkapan :
"Belajarlah dari sejarah", "Sejarah adalah obor kebenaran", "Sejarah pedoman
untuk membangun masa depan", dan lain-lain. Atas dasar itulah, Bung Karno
(almarhum) berpesan : "Jangan sekali-kali melupakan sejarah" ("Jas Merah").
Dalam budaya Sunda, pentingnya arti sejarah (sebagai peristiwa) biasa dijadikan
nasehat : "Kudu ngeunteung ka nu enggeus, nyonto ka nu bareto, diajar tina
pangalaman, pikeun nyanghareupan kiwari jeung nyawang nu bakal datang".
Memahami hal-hal yang sudah terjadi dengan arif, penting artinya untuk
menghadapi kehidupan masa kini dan memprediksi kehidupan di masa
mendatang.
∗)
Sejarawan Fakultas Sastra Unpad dan FKIP Unigal (Univ. Galuh) Ciamis.
1
2
Oleh karena itu peristiwa sejarah harus ditulis (direkonstruksi) dengan baik
dan benar, agar tidak terjadi salah pemahaman akan hal-hal tertentu dalam sejarah.
Kalaupun dalam penulisan sejarah mengandung unsur subyektif dari penulis, sifat
subyektif itu harus subyektif rasional, bukan subyektif emosional.
Kesalahan atau kelemahan dalam penulisan sejarah memang lumrah
terjadi. Biasanya faktor mendasar yang menjadi penyebab adalah ketidak-tuntasan
menemukan sumber atau kesalahan penggunaan sumber, sehingga verifikasi
(pembuktian) atau interpretasi mengenai hal tertentu pun menjadi salah. Oleh
karena itu, tulisan sejarah ada kalanya direvisi, bahkan ditulis ulang. Revisi atau
penulisan ulang sejarah wajib dilakukan apabila ditemukan sumber yang memuat
fakta baru dan/atau munculnya interpretasi baru mengenai suatu hal yang telah
dikemukakan dalam tulisan terdahulu.
Saya kira, atas dasar itu pula, para pemerhati sejarah di Indramayu merasa
perlu untuk mengkaji buku Sejarah Indramayu, sehingga seminar membahas buku
tersebut bertema "Rekonstruksi Pemikiran dan Penafsiran Sejarah Indramayu".
Dalam seminar ini, -- seperti tertulis dalam agenda seminar – saya mendapat
kepercayaan dari panitia untuk membahas buku Sejarah Indramayu cetakan ke-3
tahun 1977, khususnya Bab V. Bab ini berjudul "Kedatangan Wiralodra di
Indramayu", yang isinya antara lain mencakup uraian lahirnya nama Indramayu
(subbab 5.5).
Panitia menegaskan bahwa tujuan seminar adalah "merekonstruksi
pemikiran dan penafsiran terhadap buku tersebut di atas, dan memberikan wacana
kritis atas fenomena dan dinamika dari 'dampak sejarah' pada bidang sosial,
politik, dan budaya yang berkembang di masyarakat". Sejalan dengan hal itu,
panitia juga menegaskan, bahwa "forum seminar diharapkan mampu memberikan
pikiran dan wacana dari berbagai perspektif. Tidak hanya penulisan secara
'tradisional', tetapi juga berdasarkan ilmu sejarah".
Mengacu pada tujuan seminar, berarti buku Sejarah Indramayu harus
dibahas atau ditanggapi dari segi metodologi dalam ilmu sejarah. Tegasnya, hal-
hal yang harus ditanggapi dalam buku tersebut adalah bagian-bagian yang
3
Oleh karena itu, dalam tulisan sejarah populer biasanya campuraduk antara
mitos/dongeng dengan sejarah. Tidak dibedakan secara tegas, mana mitos/
dongeng dan mana sejarah. Dalam hal ini perlu dikemukakan, bila keterangan atau
uraian tentang suatu hal tidak dijelaskan bahwa itu mitos/dongeng, dampaknya
akan menyesatkan pengetahuan pembaca, sehingga pembaca akan memiliki
pemahaman yang salah mengenai peristiwa atau masalah yang diceriterakan
dalam tulisan.
Hal-hal itulah yang menjadi landasan dalam menanggapi buku sejarah
yang menjadi obyek bahasan dalam seminar.
TANGGAPAN UMUM
Telah disebutkan, bahwa "forum seminar diharapkan mampu memberikan
pemikiran dan wacana dari berbagai perspektif." Atas dasar itu, sebelum
menanggapi uraian Bab V dalam buku yang dibahas, kiranya tidak berlebihan
apabila terlebih dahulu disampaikan tanggapan umum, sebagai tambahan
sumbangsih pemikiran, sesuai dengan tujuan seminar.
Dari segi sumber yang digunakan dan sistem penunjukkan sumber acuan
dalam uraian (footnote), buku Sejarah Indramayu cetakan ke-3 tahun 1977, pada
dasarnya termasuk ke dalam kategori tulisan semi-ilmiah populer. Dikatakan
demikian, karena penulisan buku tersebut, selain menggunakan babad sebagai
sumber acuan, juga menggunakan sejumlah buku sejarah hasil penelitian. Namun
uraian isi buku tersebut ternyata bukan sepenuhnya sejarah, tetapi gabungan
"sejarah" dan budaya (Bab XII: Upacara tradisional dan Bab XIII: Volklore).
Dengan demikian, seharusnya buku itu berjudul "Sejarah dan Budaya Indramayu".
Terkesan penggunaan sumber babad tidak lebih dahulu dikaji dari segi
filologi. Cerita dalam babad hanya disadur. Oleh karena itu, uraian isi buku
campuraduk antara dongeng/mitos dengan sejarah. Babad tidak dapat langsung
dijadikan sumber penulisan sejarah, tanpa terlebih dahulu dikaji oleh metode
filologi.
5
Dalam uraian yang kental bersifat sejarah (Bab VI s.d Bab XI), di sana-
sini terdapat ketidakakuratan fakta. Contoh, disebutkan bahwa "Daendels datang
ke Indonesia sebagai Gubernur Jenderal pada tahun 1806" (hal. 193). "Daendels
memulai pekerjaannya pada tahun 1807 dengan membuat jalan Anyer-Panarukan"
(hal. 194). Perlu diketahui bahwa tahun 1806-1807 Daendels masih berada di
Eropa. Menurut dokumen dan sumber akurat lainnya, Daendels diangkat menjadi
Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 18 Januari 1807. Ia baru tiba di Anyer
(Jawa Barat) pada 1 Januari 1808. Tanggal 14 Januari 1808 terjadi timbang terima
kekuasaan dari Gubernur Jenderal Kompeni A.J. Wiese kepada Gubernur Jenderal
H.W. Daendels (Kleyn, 1889 dan Kern, 1898). Pembangunan jalan Anyer-
Panarukan (Grote Postweg) dimulai pertengahan tahun 1808 (Reitsma, 1912; de
Haan, IV, 1912, dan Campbell, II, 1915).
Contoh ketidakakuratan fakta dan salah interpretasi antara lain terlihat
dalam daftar nama Residen Cirebon (hal. 407). Pada zaman Kompeni/VOC di
Indonesia (Nusantara), belum ada jabatan residen. Pejabat pemerintah kolonial
setingkat residen baru ada zaman pemerintahan Gubernur Jenderal H.W. Daendels
(1808-1811), tetapi sebutannya prefect kemudian berubah menjadi landdrost. Dari
segi penamaan atau istilah, sebutan residen (resident) yang mengacu pada jabatan,
baru ada mulai pemerintahan Letnan Gubernur Jenderal T.S. Raffles (1811-1816).
Kekeliruan seperti itu perlu dibetulkan.
Dalam buku tersebut, informasi mengenai hal-hal tertentu menyangkut
fakta sejarah, mungkin benar. Namun sayang, penunjukkan sumber dalam uraian
(sistem footnote) tidak konsisten. Dari isi uraian berjumlah 390 halaman (hal. 7 -
396), hanya 69 halaman yang memuat penunjukkan sumber. Sejumlah sumber
yang terdaftar dalam kepustakaan, penggunaannya tidak jelas.
Disayangkan pula, sistematika uraian, kacau. Hal itu terlihat dari
hubungan antar bab dan hubungan antar subbab hampir pada setiap bab.
Pembagian bab tidak sepenuhnya berdasarkan periodisasi, juga tidak sepenuhnya
berdasarkan tematis, melainkan gabungan keduanya. Berarti dasar pembagian bab,
kacau. Adanya Bab XII tentang upacara tradisional dan Bab XIII tentang volklore
6
TANGGAPAN KHUSUS
Tanggapan/bahasan mengenai uraian Bab V: "Kedatangan Wiralodra di
Indramayu", adalah sebagai berikut.
uraian subbab yang bersangkutan maupun dalam Subbab 5.2: Analisa dan
kesimpulan.
Dalam subbab itu, mengenai Wiralodra hanya dianalisa dengan
menghubungkan cerita dalam Babad Dermayu dengan cerita dalam Babad
Cirebon. Kesimpulannya, "Wiralodra identik dengan Indrawijaya" penguasa
Indramayu (hal. 89). Disimpulkan pula, bahwa "kehadiran Wiralodra di
Indramayu sebagai 'agen' Demak" (hal. 91). Namun tidak dijelaskan, apa atau
bagaimana hubungan Wiralodra dengan penguasa Demak. Kedua kesimpulan itu
tidak dilandasi oleh fakta sejarah.
Analisa mengenai Nyi Endang Darma, juga hanya didasarkan pada
informasi dalam Babad Dermayu, dikaitkan dengan informasi dalam Babad
Cirebon. Berdasarkan kedua sumber tersebut, disimpulkan bahwa Nyi Endang
Darma adalah istri Wiralodra yang identik dengan Nyi Mas Gandasari (hal. 93).
Padahal dalam uraian subbab sebelumnya (Subbab 5.1) disebutkan, bahwa setelah
Nyi Endang Darma merasa kewalahan dalam adu kesaktian dengan Wiralodra,
Nyi Endang Darma terjun ke sungai Cimanuk dan hilang entah ke mana (hal. 81).
Mengacu pada cerita itu, pertanyaannya adalah: Kapan Wiralodra menikah
dengan Nyi Endang Darma? Apakah Nyi Endang Darma menjelma menjadi Nyi
Mas Gandasari?!
Oleh karena cerita tentang Wiralodra dan Nyi Endang Darma dalam babad
tidak ditunjang oleh sumber sejarah yang akurat, maka keberadaan kedua tokoh
tersebut sangat diragukan. Dengan kata lain, selama belum ditemukan sumber
sejarah yang menyebut kedua tokoh dimaksud, maka Wiralodra dan Nyi Endang
Darma bukan tokoh sejarah, melainkan tokoh mitos.
Analisa mengenai peresmian pemukiman yang didirikan oleh Wiralodra,
yaitu Dermayu, kemudian menjadi Indramayu, juga mengandung kelemahan.
Pertama, tidak dijelaskan dari mana (dari sumber apa) diperoleh tanggal 1 Sura
1440 Saka? Kedua, tidak dijelaskan, apa dasar penafsiran yang digunakan,
sehingga tanggal itu dianggap identik dengan tanggal 1 Muharam 934 H dan
tanggal 7 Oktober 1527? Tulisan sejarah dituntut untuk memberikan eksplanasi
8
∗)
Seharusnya identitas sumber itu ditulis dalam ejaan lama, karena terbitnya tahun 1961.
10
PENUTUP
Berdasarkan tanggapan tersebut, dapat dikatakan bahwa dari segi
metodologi (metode sejarah), uraian Bab V lebih cenderung bersifat tulisan
populer. Kelemahan utamanya adalah ketidakakuratan fakta, ditambah oleh
kacaunya sistematika uraian menyangkut kronologi dan hubungan permasalahan.
Dua masalah penting yang patut dikaji ulang adalah masalah Wiralodra
dan Nyi Endang Darma serta perolehan tanggal 1 Sura 1449 Saka yang ditafsir
kan identik dengan tanggal 1 Muharam 943 H atau 7 Oktober 1527. Selama belum
ditemukan sumber akurat (sumber sejarah) yang memuat fakta adanya kedua
tokoh tersebut, maka kita harus berani dan rela mengatakan, bahwa Wiralodra dan
Nyi Endang Darma adalah tokoh mitos. Demikian pula, tanggal 7 Oktober 1527
tafsiran dari tanggal 1 Sura 1449 Saka, meskipun telah ditetapkan sebagai Hari
Jadi Indramayu, namun bila ternyata sumbernya lemah dan penafsirannya salah,
kesalahan itu wajib diperbaiki, seperti ditegaskan dalam salah satu kesimpulan
Rapat Gabungan Komisi II dan Komisi III DPRD Kabupaten Indramayu tanggal
25-28 Mei 1977. Berarti koreksi atas tanggal Hari Jadi Indramayu atau penulisan
ulang Sejarah Indramayu bukan hal yang tabu.
Mudah-mudahan sumbangsih pemikiran dalam bentuk tanggapan tersebut
di atas, bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
SUMBER ACUAN
(Landasan Tanggapan)