DISUSUN OLEH :
C. MANFAAT CBR
1. Pembaca dapat lebih mengetahui informasi yang ada di dalam materi mata kuliah Sejarah
Pendidikan.
2. Penulis dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan dari isi buku.
3. Melatih kemampuan mahasiswa didalam membandingkan buku yang satu dengan buku
yang lain nya.
A.
B.
C.
D. IDENTITAS BUKU UTAMA
1. Judul Buku : Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966
2. Penulis : Rum Aly
3. Penerbit : Kata Hasta Pustaka
4. Tahun Terbit : 2006
5. Kota Terbit : Jakarta
6. ISBN : 979-1056-01-03
7. Desain Sampul : Razhar M.Januardi dan Wien Muldian
8. Edisi Buku :-
9. Tebal Buku : 350 Halaman
Kekuasaan otoriter Soekarno ini bermula dan tercipta setelah Dekrit tahun 1959 yang tak
terlepas pula dari dukungan kuat militer Indonesia,terutama melalui peranan Jenderal Abdul
Harris Nasution,sehingga pusat kekuasaan politik dan negara kala itu sebenarnya ada pada
‘segitiga sama sisi’Soekarno PKI angkatan Darat.
Dalam pergulatan kekuasaan,sepanjang lima atau enam tahun itu,PKI dan organisasi-
organisasi pendukungnya setapak demi setapak berhasil menemoati posisi kokoh disisi Soekarno
dan mewarnai dengan kuat untuk tidak menyebutnya mendominasi kehidupan politik
Indonesia.Setengah perjalanan,tanda keunggulan PKI telah cukup jelas terlihat dalam peta
politik.Hingga pertengahan tahun 1965,PKI mengungguli kekuatan politik lainnya dalam
pergulatan kekuasaan dengan sikap ofensifnya yang mengalir bagaikan air bah yang tak kunjung
surut.Bahkan PKI berhasil menciptakan suatu tingkat suasana psikologis berupa ‘ketakutan’
kelompok politik lain untuk dikenakan 'stigma' komunisto phobia, kontra revolusi, anti
Nasakom, antek Nekolim (Neo Kolonialisme) dan aneka tudingan 'mengerikan' lainnya, seperti
kapitalis birokrat, setan kota, setan desa dan sebagainya. Sementara dari sekitar Soekarno sendiri
dengan mudah meluncur tudingan 'mendongkel Pemimpin Besar Revolusi bila ada yang bersikap
sedikit kritis atau berbeda. Ini semua tak terlepas dari makin menguatnya pola paternalisme yang
dari waktu ke waktu membawa Soekarno menuju posisi puncak piramida kekuasaan, kepada
siapa semua pihak harus menunjukkan kesetiaan jika tak mau tersisih dari lingkaran kekuasaan.
Soekarno pun makin terciptakan sebagai bapak yang tak mungkin salah dan merupakan sumber
segala kebenaran' dalam kehidupan politik dan kehidupan bernegara. Ia adalah Penyambung
Lidah Rakyat' yang paling mengetahui keinginan rakyat, lebih dari siapa pun. Dan PKI lah yang
paling berhasil mengelola dan menunggangi seluruh kondisi objektif yang ada itu, dan
memanfaatkan situasi psikologis Soekarno, lengkap dengan pemenuhan obsesi dan hasrat
romantika revolusioner sang pemimpin yang sedang berjalan menempuh fase usia 60-an tahun
itu.Tentu saja, sikap-sikap lunak dan kompromistis semasa Nasakom, bukan hanya milik partai-
partai ideologi Islam, melainkan juga diidap sejumlah tokoh dari partai Nasakom lainnya. Harry
Tjan menuturkan bahwa menjelang tengah malam, 28 September 1965, hanya dua hari sebelum
peristiwa pembunuhan enam jenderal dan satu perwira muda, bersama tokoh Partai Katolik IJ
Kasimo ia menemui Frans Seda yang waktu itu adalah Ketua Umum Partai Katolik sekaligus
Menteri Perkebunan. Kepada Frans Seda, Harry melaporkan "akan terjadi coup oleh PKI". Frans
menjawab, "Hal itu tidak betul". Bahwa AURI melatih Pemuda Rakyat dan yang lain lainnya, itu
"adalah pembagian tugas" yang sudah diatur oleh Pemimpin Besar Revolusi Bung
Karno."Janganlah khawatir, sebab semua itu dalam rangka revolusi ! Jangan ikut berpikir
demikian, karena bisa dikatakan komunisto phobia".Tetapi yang paling ironis dalam masalah
HMI ini sebenarnya adalah kenyataan bahwa ketika HMI sedang mengalami serangan golongan
politik kiri yang bertubi-tubi, justru 'sebagian' umat dan kekuatan politik Islam berangsur-angsur
meninggalkan HMI.
Pelopor hijrah dari HMI itu, masih pada saat tingkat keadaan belumlah betul-betul
berbahaya, dimulai oleh generasi muda lingkungan Nahdatul Ulama yang tadinya menjadi
anggota HMI, ketika NU mendirikan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) pada
tanggal 17 April 1960 di Surabaya. PMII sejak itu menjadi wadah bagi mahasiswa Islam
tradisional, dan dengan demikian tidak lagi 'memerlukan' HMI. Sekaligus ini semua dapat
diterjemahkan sebagai sikap NU menjauhkan diri dari segala sesuatu yang beraroma Masjumi.
Menurut Syamsir Alam (Lihat buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter', Rum Aly,
2004, referensi tema halaman 52), dalam situasi terjepit dan ditinggalkan pendukungnya, pada
Kongres VII di Jakarta tahun 1962 HMI menegaskan untuk memfokuskan diri pada program
kaderisasi dengan lebih intensif. "Jalan paling baik bagi HMI adalah membelokkan perhatiannya
dari politik praktis kepada kegiatan sosio edukasi. Berbagai lembaga kesehatan, seni dan
pertanian dibentuk untuk membantu kepentingan belajar dan kreasi mahasiswa
anggotanya".Sewaktu PSI dinyatakan terlarang oleh Soekarno, gerakan bawah tanah menjadi
pilihan para tokoh dan kader partai. Gerak membina, yang sudah biasa dilakukan sejak awal,
menjadi lebih penting. Bergerak secara ilegal, merupakan hal biasa bagi beberapa tokoh yang
kemudian hari bergabung dengan PSI, dan sudah dilakukan di zaman kolonial Belanda maupun
masa pendudukan Jepang. Pembinaan dan bimbingan di kalangan intelektual dilakukan oleh
tokoh-tokoh seperti Profesor Sarbini Soemawinata dan Soedjatmoko seorang cendekiawan
otodidak. "Soedjatmoko dan teman temannya berusaha membimbing kehidupan intelektual",
dengan cara 'mengumpulkan' orang-orang dari golongan intelektual dari pusat-pusat perguruan
tinggi "dalam arti seluas-luasnya", termasuk dari perguruan tinggi Islam dan Kristen. Pembinaan
kalangan intelektual yang dilakukan PSI, harus diakui cukup berhasil, bahkan ada yang
menganggap amat berhasil. Keberhasilan penggalangan kaum intelektual itu bahkan hampir
hampir menjadi mitos, sehingga setiap ciri dan perilaku intelektualitas senantiasa dikaitkan
dengan PSI. Sejumlah perwira intelektual, dikaitkan dengan PSI dan memang beberapa di
antaranya merupakan kenyataan. Namun tak jarang, seorang perwira yang memperlihatkan
tingkat intelektualitas tertentu, ikut dianggap Perwira PSI, meskipun ia samasekali tak punya
hubungan apapun dengan partai terlarang itu. Aktivitas pembinaan lainnya dilakukan pula antara
lain oleh Saroso Moerdianto. Beberapa nama lain dari barisan PSI ini adalah Djohan Sjahruzah,
Soedarpo yang bergerak di dunia usaha dan Rosihan Anwar yang aktif di bidang jurnalistik.
Nama lain, yang mobile bergerak di daerah-daerah adalah Soemarno. Soedjatmoko adalah ipar
Sjahrir, Djohan adalah keponakan Sjahrir, sedang Soedarpo adalah adik Soebadio. Kedekatan
Soedjatmoko dan Soemarno misalnya dengan kalangan militer, cukup signifikan. Beberapa nama
perwira yang yang disebutkan punya kedekatan dengan orang-orang PSI ini antara lain, perwira-
perwira teras di Markas Besar Angkatan Darat, yakni Mayjen Harjono Mas Tirtodarmo dan
Mayjen Suwondo Parman. Juga, Komandan Seskoad Mayjen Soewarto. Soedjatmoko pun kerap
berhubungan dengan teman lamanya, Dr. Soebandrio yang seorang dokter medikal. Agaknya,
PSI telah berpikir jauh ke depan.Bahwa PKI mempercayai adanya hubungan-hubungan intelejen
barat dengan tentara pada masa itu, bisa menjelaskan kenapa PKI menganggap Angkatan Darat
sebagai salah satu sumber bahaya utama bagi eksistensinya dan harus dihadapi dengan sejumlah
'counter attack'. Sementara itu pada sisi sebaliknya, sebagaimana yang pernah diakui oleh
seorang mantan intelejen Cekoslowakia, Ladislav Bittman, intelejen blok timur sayap Moskow
yang diwakili intel Ceko juga beroperasi di Indonesia untuk membendung operasi intelejen barat
dan membantu gerakan komunis dalam pertarungan politik dan kekuasaan di Indonesia. Salah
satu keterlibatan mereka adalah pemalsuan Dokumen Gilchrist. Pada saat bersamaan, intelejen
Angkatan Darat juga mencium adanya gerakan-gerakan intelejen Cina yang melakukan
kerjasama dengan BPI dan PKI sayap Peking, yang sempat diasosiasikan dengan kelompok Aidit
yang sedang menjadi pengendali utama partai.Pada tahun 1963 itu, keadaan ekonomi sehari-hari
amat buruk.Kebutuhan makan-minum sehari-hari naik dua kali lipat dari setahun sebelumnya,
dan dibandingkan dengan tahun 50-an, kenaikannya adalah lima sampai sepuluh kali lipat. Beras
bukan saja mengalami kenaikan harga terus menerus setiap hari, tetapi seringkali juga langka.
Untuk mengisi kekosongan pemerintah Soekarno mengimpor beras, antara lain dari RRT
(Republik Rakjat namun kualitasnya amat jelek. Minyak tanah lebih langka lagi. Pada tahun
1963 itu, di seluruh Indonesia, demikian pula di Bandung, untuk memperoleh minyak tanah tiga-
empat liter, masyarakat mulai harus antri di RT-RT dengan membawa kartu keluarga suatu
keadaan yang akan berlangsung dengan tingkat lebih parah lagi hingga tahun 1964, 1965 dan
1966. Begitu pula caranya untuk memperoleh gula, tepung terigu dan juga bahan sandang berupa
kain cita dan kain drill tmurahan buatan RRT. Di toko-toko, kalau ada, kebutuhan-kebutuhan itu
amat mahal dan beraf untuk dijangkau oleh masyarakat yang pada waktu bersamaan
pendapatannya makin tak berarti, tenggelam oleh inflasi. Kenaikan upah yang tiga kali lipat pun
tak berharga oleh kenaikan harga kebutuhan pokok yang sepuluh kali lipat. Hasjroel Mochtar
mencatat dalam bukunya, bahwa dalam keadaan ekonomi seperti itu, justru masyarakat etnis
Cina yang sejak dulu menguasai beberapa mata rantai kegiatan ekonomi tidak begitu merasakan
kesulitan ekonomi seperti kebanyakan rakyat pribumi. Sehingga timbul kecemburuan. "Apalagi
dengan sikap sikap sebagian dari mereka, khususnya generasi muda Cina yang suka pamer dan
rendah kesetiakawanan sosialnya, semakin meningkatkan kecemburuan dan sentimen
masyarakat terhadap mereka". Kekecewaan masyarakat secara vertikal kepada pemerintah yang
tak mampu meng hindarkan rakyat dari siksaan ekonomi, dan kecemburuan horizontal mencipta
bom waktu di tengah masyarakat yang hanya menunggu suatu pemicu bagi suatu
letupan.Sepuluh tahun setelah Peristiwa 10 Mei 1963, di Bandung terjadi lagi satu peristiwa bias
politik yang juga terpacu oleh aspek rasial yang berpada dengan fakta kesenjangan sosial akibat
kegagalan penanganan penguasa terhadap aspek sosial dan ekonomi, yakni Peristiwa 5 Agustus
1973. Setiap kali ada ketidakpuasan dalam masyarakat dan penguasa gagal mengelola nya, hanya
bertindak sebatas membendung dan meredam sindrom belaka akan terjadi penyaluran
ketidakpuasan dengan mendobrak beberapa mats rantai sosial yang terlemah yaitu sentimen
berdasar perbedaan ras, agama dan kesukuan. Kelompok etnis yang berada paling depan dalam
sentimen sentimen itu, adalah keturunan Cina, karena faktor historis dan beberapa hal yang
melekat, yakni perbedaan ras itu sendiri, dan biasanya pula mereka menganut agama-agama yang
berbeda dengan mayoritas anggota masyarakat. Ini semua lebih diperkuat lagi karena kesan
keunggulan mereka dalam peranan-peranan ekonomi, dan dengan demikian mereka pun lalu
berada di hadapan jurang perbedaan sosial. Sepanjang perjalanan sejarah Indonesia hingga kini,
tercatat betapa masalah Cina ini menjadi satu masalah yang belum berhasil tertangani dengan
baik dan dengan sendirinya belum berhasil terselesaikan.Secara umum, sumber dana untuk
segala kegiatan politik PKI tak banyak disinggung. Ini berbeda dengan kelompok jenderal yang
memegang kendali Angkatan Darat yang berhadapan dalam pertarungan politik dan kekuasaan
dengan PKI. Sumber dana 'non budgetair' para jenderal saat itu senantiasa dikaitkan dengan
perilaku korupsi, terutama karena posisi sejumlah jenderal atau perwira tentara dalam berbagai
badan usaha milik negara, yang sebagian adalah bekas perusahaan Belanda yang dinasionalisir
pada tahun 1957. Termasuk di sini adalah Pertamin dan Permina yang kemudian hari dilebur
menjadi Pertamina, dan diserahkan penanganannya kepada seorang dokter yang juga adalah
perwira Angkatan Darat, Ibnu Sutowo, yang berpangkat kolonel kemudian naik ke jenjang
jenderal. Beberapa posisi penting di bawahnya umumnya juga dipegang kalangan tentara.
Konsesi di perusahaan perminyakan ini diberikan sebagai bagian dari semacam deal politik
maupun saling pengertian-yang mungkin saja tak pernah diucapkan dengan cara yang betul-betul
terus terang- antara Soekarno dengan pihak militer di bawah Mayor Jenderal Nasution sebelum
Dekrit 1959.Berbeda dengan Angkatan Darat, sumber dana politik PKI sedikit lebih terselubung
dan nyaris tak terbuktikan karena tak ada pihak yang betul betul memiliki bukti-bukti hitam putih
aliran dana PKI. Sumber dana utama PKI di masa-masa awal sebelum Pemilihan Umum 1955
adalah dari gerakan dan jaringan komunis internasional. Selanjutnya, sumber dana itu bergeser
yang mulanya terutama datang dari Moskow untuk selanjutnya lebih banyak berasal dari Peking,
tatkala Aidit secara kasat mata membawa PKI lebih berkiblat ke Peking.Model Tentara Merah
sebagai sayap militer partai, semacam obsesi bagi para tokoh PKI yang menguasai kendali partai.
Ketika sudah berada di atas angin pada tahun 1964-1965 gagasan sayap militer kembali
dikembangkan, melalui infiltrasi ke tubuh tentara. Cukup memadai tetapi belum mencukupi
untuk suatu orientasi kekuasaan. Dan pada awal 1965, Aidit melontarkan gagasan pembentukan
Angkatan Kelima. Gagasan itu pertama kali dilontarkan oleh Dipa Nusantara Aidit, Kamis pagi
14 Januari, ketika akan dan sewaktu menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka. Inisiatif
politik Aidit, melontarkan gagasan Angkatan Kelima, sebenarnya adalah semacam take over atas
suatu gagasan yang muncul sebelumnya pada kwartal terakhir tahun 1964. Sewaktu Soekarno
berkunjung ke Cina, dalam suatu percakapan, Mao Tse-tung dan kemudian Chou mengusulkan
agar Soekarno mempersenjatai buruh dan tani bila ingin memperkokoh diri dan memenangkan
perjuangan melawan kaum imperialis, khususnya dalam konfrontasi terhadap Malaysia. Mao
yang merasa punya pengalaman historis dengan Tentara Merah yang revolusioner yang
menopang berdirinya Republik Rakyat Tjina, berkata tak cukup bila Soekarno hanya
mengandalkan tentaranya yang sekarang.Salah satu upacara yang tercatat pernah terjadi, adalah
di Sumatera yang dilakukan di Candi Padang Lawas, 100 kilometer dari Barus, kota pelabuhan di
pantai barat Sumatera, dekat Sibolga, yang pada abad 13 dan 14 juga merupakan pusat kegiatan
sufi dan penyebaran agama Islam. Di sinilah Hamzah Fansuri, seorang penyair sufi terkemuka
abad 16-17 dilahirkan dan dibesarkan. Pemujaan terhadap Heruka dalam Tantrisme Bhirawa
biasa dilakukan pada malam hari di tempat pembakaran mayat Mayat yang dibakar dijadikan
sajian sebagai persembahan kepada dewa mereka. Unsur utama pemujaan adalah pengurbanan
nyawa manusia melalui kobaran api yang mendatangkan bau tersendiri dan bau itulah yang
menimbulkan ekstase. Semakin memualkan bau daging manusia terbakar, semakin memberi
kenikmatan'. Mereka membandingkan bau tersebut dengan keharuman bunga yang mampu
membebaskan seseorang dari inkarnasi baru dan saamsara. Mayat dari manusia yang
dikorbankan diletakkan di tempat pemujaan dengan ditelentangkan, kaki dilipat di bawah paha,
tangan terikat dan kepala didongakkan. Dengan demikian, isi perut mudah dikeluarkan. Pendeta
membelah perut hingga ke rusuk bawah, lalu duduk di atasnya, merenggut jantung keluar dan
memenuhi batok tengkorak manusia dengan darah. Beberapa teguk darah diminum dan
dibayangkan sebagai anggur sorgawi yang lezat. Setelah itu, api unggun dinyalakan dan para
penuntut aliran tenggelam dalam meditasi. Selama meditasi berlangsung, Heruka terbayang
melalui kepulan asap. Ekstase dicapai saat tengah malam tiba. Pada saat demikian, mereka
menari-nari mengitari api unggun dengan 'kentongan' yang dibuat dari tulang belulang manusia,
sambil tertawa terbahak-bahak.
Letnan Jenderal Ahmad Yani, pagi hari tanggal 30 September 1965 menuju Tanjung
Priok bersama Mayor Jenderal Soeprapto. Iring-iringan mobilnya yang didahului vorrijder dari
CPM (Corps Polisi Militer) sempat berpapasan dengan mobil Jenderal Abdul Harris Nasution
yang baru saja berlatih golf di Rawamangun. Mereka tak melihat Nasution, tapi Nasution melihat
mereka, karena mobilnya yang tanpa pengawalan terdesak ke pinggir dan terhenti untuk
memberi jalan. Pagi itu, sebagai Kepala Staf KOTI, Ahmad Yani memberikan piagam
penghargaan kepada sejumlah nakhoda kapal sipil, terutama dari Pelni (Pelayaran Nasional
Indonesia), karena jasa-jasa mereka dalam keikutsertaan pada berbagai operasi militer. Hari itu,
Ahmad Yani pulang ke rumah dari Markas Besar Angkatan Darat, pukul 14.00. In sempat
istirahat siang dan melakukan beberapa kegiatan rutinnya di rumah dan di luar seperti
kebiasaannya pada hari-hari lainnya.Tatkala telah berada kembali di kediamannya bersama
sejumlah staf, sekitar 10.30, Sarwo Edhie mendengar derum panser menuju ke tempatnya. Ia
bersikap waspada. Seorang Letnan Kolonel yang tak dikenal Sarwo meloncat turun dari panser.
Tetapi salah seorang stafnya yang mengenal perwira pendatang itu, memberi tahu Sarwo Edhie
bahwa sang perwira adalah Letnan Kolonel Herman Sarens Sudiro, seorang perwira yang
menangani logistik tempur dan penempatannya dilakukan atas perintah Letnan Jenderal Ahmad
Yani sendiri. Herman Sarens mengaku kepada Kolonel Sarwo bahwa ia diutus Panglima Kostrad
Mayor Jenderal Soeharto, dan untuk itu ia dibekali sepucuk surat, menjemputnya untuk bertemu
dengan sang Panglima Kostrad di Merdeka Timur. Belakang hari, Herman Sarens juga mengakui
bahwa ia masuk ke wilayah RPKAD kala itu dengan waspada karena sepengetahuannya sewaktu
berkunjung ke Batujajar, terdapat sejumlah instruktur RPKAD yang merupakan simpatisan PKI.
Dan sebelum ke Cijantung, pagi itu bersama Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah ia bertemu
Mayor Jenderal Soeharto, setelah ia mengetahui bahwa atasannya, Asisten Logistik AD Brigjen
DI Pandjaitan diculik dinihari tersebut. Di Markas Kostrad Herman Sarens mendapat informasi
perkiraan dari Soeharto bahwa pelaku penculikan ada kaitannya dengan PKI. Sekitar pukul 10.00
ia kemudian ditugaskan membawa surat Mayor Jenderal Soeharto kepada Kolonel Sarwo Edhie.
Pada 11 Maret pagi hingga petang, sebenarnya terjadi beberapa benturan di berbagai
penjuru Jakarta. Catatan harian Yosar Anwar, adalah salah satu sumber yang tepat untuk dikutip
guna menggambarkan situasi har itu. Pagi-pagi, mahasiswa yang berada di kampus UI Salemba,
dikejutkan oleh suatu serangan mendadak dari segerombolan orang yang berbaju hitam hitam.
"Gerombolan berseragam hitam pagi itu datang dari arah Jalan Tegalan dan Matraman Raya.
Mereka menyerbu pos KAPPI di Jalan Salemba. Seorang luka, karena kena tusuk. Laskar S.
Parman dan Laskar A. Yani segera memberikan bantuan. Perang batu terjadi. Perkelahian seru
Akhirnya gerombolan liar ini mengundurkan diri. Pemuda Ansor yang tergabung dalam Banser
dari Jalan Pramuka ikut menghadang mereka. Keadaan kacau balau, karena perkelahian pada
front luas terbuka". Tetapi tiba-tiba, sepasukan Tjakrabirawa yang bersenjata lengkap datang
menyerbu. Mereka melepaskan tembakan hampir horizontal, peluru mendesing rendah di atas
kepala pelajar dan mahasiswa. Para mahasiswa yang bingung, tiarap. Terdengar seorang anggota
Tjakrabirawa dengan nyaring mengucapkan "Seratus mahasiswa tidak sanggup melawan seorang
anggota Tjakrabirawa". Tapi Tjakrabirawa yang telah berhasil membuat takut para mahasiswa,
akhirnya berlalu dengan membawa empat orang mahasiswa sebagai tawanan. Namun beberapa
jam kemudian, para mahasiswa itu dilepaskan. Biasanya pasukan pengawal presiden itu hanya
berada di sekitar istana, tapi hari itu mereka merambah ke mana-mana. Seterusnya, Yosar
mencatat bahwa "Di Jalan Salemba terjadi perang pamflet. Helikopter bertanda ALRI
menyebarkan fotokopi Pernyataan Kebulatan Tekad Partai-partai Politik. Fenomena yang tak
kalah menarik dari apa yang dilakukan Nurcholis dan Akbar ini, adalah arus masuknya tokoh-
tokoh pergerakan 1966 ke dalam pemerintahan, terutama di daerah-daerah, sesaat setelah
'usai'nya 'perjuangan 1966'. Praktis, menurut Ekky Sjahruddin, yang masuk itu hampir
seluruhnya adalah tokoh-tokoh HMI yang terkait dengan fakta bahwa di berbagai daerah
memang HMI-lah yang dominan dalam kesatuan aksi. Mereka masuk menjadi anggota Badan
Pemerintah Harian (BPH) yang punya peranan penentu di bawah Gubernur Kepala Daerah.
Tokoh HMI Sulawesi Selatan Rapiuddin Hamarung misalnya, adalah satu di antara yang masuk
menjadi BPH dan untuk selanjutnya menjalani karir yang cukup panjang dalam pemerintahan
daerah. Hal serupa terjadi di Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan berbagai
propinsi lainnya. Dalam pada itu, di Jakarta dan Bandung yang merupakan dua pusat pergerakan
tahun 1965-1966, arus masuk lebih kepada keikutsertaan dalam lembaga-lembaga legislatif atau
kepengurusan partai tingkat nasional bagi mereka yang berasal dari organisasi ekstra mahasiswa
yang berstatus organisasi sayap. Terdapat pula kelompok-kelompok yang masuk ke dalam pusat
pengaturan kekuasaan bersama Ali Moertopo seperti misalnya Lim Bian Kie dan Lim Bian
Koen, lalu Cosmas Batubara, Abdul Gafur dan kawan kawan.
Soekarno, misalnya, dari dirinyalah muncul cetusan untuk menindak para jenderal yang
tidak loyal, yang dilaporkan pada dirinya dalam pola intrik istana. Cetusannya itu, terutama
kepada Letnan Kolonel Untung. menjadi awal kematian enam jenderal dan seorang perwira
menengah, meskipun ia mungkin tidak 'mengharapkan' pembunuhan terjadi. Dipa Nusantara
Aidit, adalah orang yang mengantar terjadinya peristiwa menjadi kekerasan berdarah ketika ia
memanfaatkan Untung yang mendapat perintah penindakan dari Soekarno, dan mendorong
peristiwa itu terjadi sebagai masalah internal Angkatan Darat, sambil menjalankan rencana
jangka panjangnya sendiri. Dan pengelolaan atas masalah internal Angkatan Darat ini, mendapat
bentuk yang nyaris 'sempurna' sebagai makar dalam penanganan Sjam tokoh Biro Khusus PKI,
dengan mengoptimalkan peranan Letnan Kolonel Untung. Sjam merancang gerakan tanpa
melibatkan tokob tokoh lain di kalangan pimpinan PKI. Kalaupun ada pelibatan, itu dilakukan
selektif dengan informasi terbatas, karena memang dimaksudkan bahwa mereka yang dilibatkan
itu tidak perlu mengetahui gambaran menyeluruh dari rencana gerakan. Adalah karena ini pula,
gerakan mudah ditumpas, ketika ada kemelesetan pelaksanaan, terutama lolosnya Jenderal All
Nasution dari penyergapan. Sebagai partai, PKI tidak siap, baik sejumlah besar tokoh-tokoh
nasionalnya maupun di tingkat daerah, apalagi lapisan massanya yang sejauh itu hanya berada
dalam kondisi mental revolusioner namun tak siap 'berperang'. Penumpasan gerakan pada
tanggal 30 September 1965, yang dilancarkan oleh Mayor Jenderal Soeharto, yang justru well
informed melalui Letnan Kolonel Untung maupun Kolonel Latief, adalah kecelakaan' lainnya
bagi gerakan ini. Dan ini kemudian berlanjut dengan penumpasan besar-besaran terhadap PKI
dengan sebab musabab yang amat kompleks. Massa partai tidak siap dan 'kaget', ketika di mana-
mana mereka dikejar dan ditumpas oleh massa yang melakukan pembalasan' dan gelombang
penangkapan oleh pihak militer. Secara pahit dan pedas dari sisi pandang dan kepentingan yang
berbeda, tanpa salah satu mantan menteri rezim Soekarno, Oei Tjoe Tat SH, menulis "Bermimpi
jika orang mengira, demonstran-demonstran KAMI, KASI dan KAPPI berlangsung spontan
karena kekuatan dan wawasan sendiri ada dalang yang mengatur dari belakang, tanpa
perlindungan, tanpa pembinaan golongan yang pegang bedil". Untuk sebagian apa yang ditulis
Oei Tjoe Tat bisa saja benar, namun ia memang agak melebih-lebihkan menempatkan
mahasiswa sekedar sebagai objek dan tak ada sama sekali posisinya sebagai subjek yang juga
punya idealisme. Ia menempatkan mahasiswa dan kesatuan aksi sekedar dalam kategori alat
tentara. Oei Tjoe Tat telah melalui suatu pengalaman pahit dengan tentara dan mahasiswa. Maka
sudut pandangnya yang skeptis dan 'mengecilkan' peran mahasiswa, bisa dipahami.
Badan pertama yang dibentuk ialah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Cosakai Badan ini dinbentuk oleh Jepang pada
tanggal 1 Maret 1945 dengan tujuan untuk menyelidiki hal-hal penting mengenai tata
pemerintahan Indonesia BPUPKI beranggotakan 60 orang, ditunjuk sebagai ketua adalah Mr.
Radjiman Wedyodiningrat. Wakil ketua terdiri atas seorang Indonesia (RP Suroso) dan
kebangsaan Jepang (Ichibangase).Kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik semakin jelas dengan
dijatuhkannya bom atom oleh Sekutu di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945 dan
Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945. Akibat peristiwa tersebut, kekuatan Jepang makin lemah.
Kepastian berita kekalahan Jepang terjawab ketika tanggal 15 Agustus 1945 dini hari, Sekutu
mengumumkan bahwa Jepang sudah menyerah tanpa syarat dan perang telah berakhir. Berita
tersebut diterima melalui siaran radio Jakarta oleh para pemuda yang termasuk orang-orang
Menteng Raya 31 seperti Chaerul Saleh, Abubakar Lubis, Wikana, dan lainnya.
BAB II PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN
Pelaksanaan demokrasi liberal pada hakikatnya secara yuridis forma adalah wajar, sebab
sesuai dengan konstitusi yang berlaku saat itu yakn Undang-Undang Dasar Sementara 1960 yang
bernafaskan semangal liberal. Kemudian terbukti bahwa demokrasi parlementer atau liberal yang
meniru sistem parlementer model Eropa Barat kurang sesuai dengan kondisi politik dan karakter
rakyat Indonesia. Namun demikian, Indonesia pernah menerapkan sistem demokrasi liberal
dalam pemerintahannya.
Dalam kurun waktu antara tahun 1950 sampai dengan tahun 1959 merupakan masa
perkiprahannya partai-partai politik pemerintahan Republik Indonesia Kabinet-kabinet yang
pernah pada berkuasa setelah penyerahan kedaulatan dari tangan Belanda.
Ketika meletus Gerakan 30 September tahun 1965, daerah yang paling gawat keadaannya
adalah di Jakarta dan Jawa Tengah. Di kedua daerah itu pihak Gerakan 30 September 1965
mempergunakan kekuatan senjata, sedangkan di daerah lainnya secara umum kaum Gerakan 30
September 1965 itu tidak beraksi menggunakan kekuatan bersenjata.Kodam VIII/Diponegoro
memiliki tiga Brigade, yaitu Brigade 4, 5, 6. Sebagai hasil penggarapan Biro Khusus PKI,
anggota Brigade 4 dipergunakan oleh kaum Gerakan 30 September 1965 dan anggota Brigade 5
hanya sedikit berhasil dipengaruhi. Hanya anggota Brigade 6 yang tidak terpengaruh oleh
mereka Batalyon yang aktif dipergunakan oleh kaum Gerakan 30 September adalah Batalyon K
dan M yang berkedudukan di Solo Batalyon L dan C berkedudukan di Yogyakarta, serta
Batalyon D berkedudukan di Salatiga.Setelah Gerakan 30 September 1965 bergerak di Jakarta,
pada tanggal 1 Oktober 1965 gerakan itu juga memulai aksinya di daerah Jawa Tengah
Munculnya Gerakan 30 September 1965 di Jawa Tengah diawali dengan siaran RRI Semarang.
Melalui RRI Semarang itu, Asisten Kodam VII/Diponegoro, Kolonel Suhirman mengumumkan
dukungannya terhadap Gerakan 30 September 1965 pada daerah Tingkat Jawa Tengah. Mereka
berhasil menguasai Markas Kodam VII/Diponegoro dan kemudian dijadikan markas gerakannya
serta meluaskan gerakannya ke seluruh Korem dan Brigade di lingkungan Kodam
VII/Diponegoro. Di saming itu Gerakan 30 September 1965 mendatangkan pasukan pelindung,
di antaranya dari Solo. Batalyon K di bawah pimpinan Mayor Kadri dan dua kompi Batalyon D
dari Salatiga pimpinan Mayor Supardi, Pasukan ini ditempatkan di tempat tempat strategis
terutama di Makodam, RRI dan telekomunikasi. Selanjutnya, Kolonel Sahirman mengumumkan
bahwa Letnan Kolonel Sastrodibroto mengambil alih pimpinan setempat, di antaranya:
A. Markas komando resort militer ( Makorem ) 071/Purwokerto dipimpin oleh kepala staf
kenal kolonel soemito.
B. Makoren 072/Yogyakarta dipimpin oleh kepala seksi 5 mayor mulyono.
C. Markas brigade infrantri 6 dipimpin oleh Komandan kompi markas, kapten mintarso.
1. Krisis Politik
2. Krisis Hukum
Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan.
Bahkan hukum sering dijadikan sebagai alat pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah
atau sering terjadi rekayasa dalam proses peradilan, apabila peradilan itu menyangkut diri
penguasa, keluarga kerabat atau para pejabat negara.Sejak munculnya gerakan reformasi yang
dimotori oleh kalangan mahasiswa, masalah hukum juga menjadi salah satu tuntutannya.
refromasi hukum hendaknya dipercepat untuk dilakukan, karena merupakan suatu tuntutan agar
slap menyongsong era keterbukaan ekonomi dan globalisasi.
3. Krisis Ekonomi
Krisis moneter yang melanda negara-negara di Asia Tenggara sejak Bulan Juli 1996, juga
mempengaruhi perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia ternyata tidak mampu untuk
menghadapi krisis global tersebut.
4. Krisis Kepercayaan
BAB III
ISI RINGKASAN
A. KELEBIHAN BUKU UTAMA
1. Buku utama ini sudah sangat bagus dijadikan sumber referensi mata kuliah sejarah
Indonesia masa reformasi.
2. Buku utama ini terdapat materi sudah terdapat materi yang sangat jelas sehingga penulis
lebih mengerti dengan penyajian materi tentang peristiwa gerakan 30 september 1965.
3. Buku utama ini identitas buku sudah sangat lengkap sehingga penulis sangat mengetahui
bahwa identitas buku utama ini resmi.
4. Buku utama ini terdapat daftar pustaka serta gambar penunjang materi buku sehingga
penulis tidak merasa bosan untuk membaca buku utama ini.
B. KEKURANGAN BUKU UTAMA
1. Buku utama ini terdapat materi sangat tebal singkat dan padat.
2. Buku utama ini terdapat submateri yang sangay banyak,sehingga buku utama ini tidak
menjelaskan secara keseluruhan inti sari dari buku utama.
C. KELEBIHAN BUKU PEMBANDING
1. Buku pembanding ini terdapat rangkuman materi sehingga penulis sangat mudah untuk
memahami informasi terkait peristiwa sekitar proklamasi kemerdekaan.
2. Buku pembanding ini sangat cocok dijadikan sumber referensi mata kuliah Sejarah
Indonesia Masa Reformasi Hingga Kemerdekaan.
3. Buku pembading ini terdapat keterangan gambar yang sangat jelas sehingga penulis
sangat menarik untuk membaca buku utama ini.
4. Buku pembanding ini penulisan kaidah bahasa sudah sangat jelas sehingga penulis sudah
sangat mengerti dengan penyampaian materi terkait kehidupan politik pada masa demokrasi
terpimpin.
D. KEKURANGAN BUKU PEMBANDING
1. Buku pembanding ini tidak terdapat identitas yang jelas sehingga penulis tidak dapat
mengetahui identitas buku pembanding ini resmi.
2. Buku pembanding ini tidak terdapat gambar penunjang disetiap materi penyampaian
didalam buku pembanding.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Peristiwa 30 September 1965 merupakan suatu peristiwa politik yang ditemukan tindak
kekerasan yang merenggut nyawa dan pengambilalihan kekuasaan pemerintahan dengan cara
yang bertentangan dengan hukum, yang mencakup kejahatan terhadap keamanan negara, maka
aspek hukum dari peristiwa 30 September 1965. peristiwa yang tidak sulit dibuktikan. Ada
peristiwa nyata, yakni pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat bersama seorang perwira
pertama ajudan dari Jenderal Abdul Harris Nasution, kematiannya seorang perwira polisi. Akan
tetapi di luar aspek hukum ada tindakan penggulingan kekuasaan rangkaian peristiwa 30
September 1965 merupakan masalah yang membuka tentang beberapa hal yang telah dilakukan
untuk mengatasi tindakan yang bisa dilakukan tindakan kekuasaan dan penggulingan
pemerintahan yang sah, terutama setelah berakhirnya kekuasaan Soeharto pada pengadilan saat
itu . Sepanjang kekuasaan Orde Baru kekuasaan dengan kekuatan PKI diakhir tahun 1965 itu
pada akhirnya melibatkan gerakan mahasiswa untuk menguasai presiden Soekarno dan memulai
naiknya Jenderal Soeharto dengan dukungan mahasiswa dan seluruh anti Soekarno dan anti PKI.
Dalam situasi tersebut, gerakan mahasiswa yang didirikan oleh kekuatan-kekuatan politik massa,
serta dilindungi Angkatan Darat. Pada awalnya dipilih bukan untuk mengganti presiden
Soekarno, justru yang menjadi utama adalah agar presiden segera membubarkan PKI dan
organisasi massa pendukungnya. Tetapi bagi pembubaran PKI Presiden Soekarno merupakan
masalah yang rumit secara pribadi dan sebagai Presiden pada waktu itu.
Ketika Supersemar muncul dalam proses perubahan kekuasaan dari latar belakang situasi
yang khas dan dengan cara yang khas pula. Dalam suatu kebetulan, baik kelompok 1966 maupun
kelompok tiga Jenderal sama-sama menjalankan peran signifikan dalam proses perubahan
kekuasaan di tahun 1966 itu, melalui dua nuansa, motivasi dan tujuan-tujuan yang idealistik, dan
tiga Jenderal berperan dalam titik awal kekuasaan kekuasaan yang sangat praktis. Ketika
Soeharto diangkat menjadi panglima Mandala 23 Januari 1962, sudah dengan pangkat Walikota
Jenderal per 1 Januari tahun itu juga, Brigadir Jenderal Jusuf adalah panglima kodam
hasanuddin. Pada yang sama, Soeharto juga diangkat sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur
menggantikan Mayjen Ahmad Yani. Meskipun sama-sama berkedudukan di Makasar, Soeharto
dan Jusuf tidak banyak memiliki keterkaitan hubungan kerja langsung. Sebagai panglima
mandala, konsentrasi Soeharto adalah pelaksanaan Trikora untuk Irian Barat, sementara sebagai
panglima hasanudin, Jusuf ditugaskan untuk menumpas DI-TII pimpinan Kahar Muzakkar
dengan catatan jangan sampai masalah DI-TII itu mengganggu tugas-tugas Komando mandala.
Persentase antara Soeharto dan Jusuf terjadi empat hari setelah peristiwa 30 September,
sepulangnya Jusuf dari Peking. Jusuf pada akhir September 1965 dalam delegasi besar Indonesia
yang menghadiri acara 1 Oktober, berbeda dengan umumnya anggota kelompok termasuk
Waperdam III Chaerul Saleh. Mayor Jenderal Basoeki Rachmat adalah yang paling senior dari
trio Jenderal 11 Maret ini. Saat peristiwa terjadi ia adalah panglima divisi Brawijaya. Hanya
beberapa jam sebelum para jenderal diculik dini hari 1 Oktober, Basoeki Rachmat bertemu
dengan Letnan Jenderal Ahmad Yani di kediaman Jalan Lembang. Ia adalah perwira tertinggi
pangkatnya yang teakhir bertemu Ynai dalam keadaan hidup.
B. SARAN
Buku ini sangat penulis sarankan bisa menjadi sumber referensi bahan bacaan
pembelajaran bagi perkembangan kondisi sosial politik kontemporer Indonesia. Jika dikaji
dengan situasi Indonesia modern, kondisi 1965-1966 masih tetap relevan untuk dijadikan sebagai
bahan pembelajaran.Buku ini bisa menjadi salah satu referensi menarik bagi peminat kondisi
sosial politik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Rum Aly. (2006). Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 Mitos dan Dilema: Mahasiswa
dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970. Jakarta: KATA HASTA
PUSTAKA.
DAFTAR LAMPIRAN
BUKU UTAMA
BUKU PEMBANDING