Anda di halaman 1dari 26

CRITICAL BOOK REVIEW

SEJARAH INDONESIA MASA KEMERDEKAAN SAMPAI REFORMASI

DISUSUN OLEH :

NAMA : ARAWNA OLIVIA MARITO SINAGA


NIM : 3203321011
KELAS : D-REGULER 2020
MATKUL : SEJ.INDONESIA MASA KEMERDEKAAN SAMPAI REFORMASI
DOSPENG : RICU SIDIQ M.Pd & SAMSIDAR TANJUNG,M.Pd

S-1 PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya,
saya dapat menyelesaikan Critical Book Review ini untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah “ SEJARAH INDONESIA MASA KEMERDEKAAN SAMPAI REFORMASI”.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dosen Ricu
Sidiq,M.Pd selaku dosen pengampu dari mata kuliah “SEJARAH INDONESIA MASA
KEMERDEKAAN SAMPAI DENGAN REFORMASI”. dan semua rekan-rekan yang telah
terlibat didalam memberikan saran,pengarahan,bantuan serta dukungan kepada saya baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Penulis sangat berharap Critical Book Review ini dapat berguna bagi saya maupun orang
lain. Oleh karena itu,saya dengan segala kerendahan hati meminta maaf jika terdapat kesalahan
didalam penyusunan kata-kata dan saya juga mengharapkan kritik serta saran yang membangun
untuk meningkatkan mutu penulisan.

Medan, 27 Oktober 2022

Arawna Olivia Marito Sinaga


DAFTAR ISI
HALAMAN ISI SAMPUL................................................................................................1
KATA PENGANTAR.......................................................................................................1
DAFTAR ISI......................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A.Rasionalisasi Pentingnya CBR........................................................................................1
B. Tujuan CBR....................................................................................................................1
C.Manfaat CBR...................................................................................................................1
D.Identitas Buku Utama......................................................................................................1
E.Identitas Buku Pembanding.............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
A.Ringkasan Buku Utama...................................................................................................3
B.Ringkasan Buku Pembanding..........................................................................................5
BAB III ISI RINGKASAN................................................................................................9
A.Kelebihan Buku Utama....................................................................................................9
B.Kekurangan Buku Utama.................................................................................................13
BAB IV PENUTUP............................................................................................................29
A.KESIMPULAN................................................................................................................29
B.SARAN............................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................29
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................................29
BAB I
PENDAHULUAN
A. RASIONALISASI PENTINGNYA CBR
Dalam Critical Book Review sangat penting untuk kalangan pendidikan terutama untuk
mahasiswa ataupun mahasiswi,karena dengan mengkritik suatu buku maka mahasiswa dan
mahasiswi dapat membandingkan dua buku dengan tema atau judul yang berbeda.
Oleh karena itu,penulis membuat Critical Book Review ini untuk mempermudah
pembaca dalam memilih buku referensi, terkhusus pada pokok bahasan mata kuliah Sejarah
Pendidikan.
B. TUJUAN CBR
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan, mencari dan mengetahui
informasi yang ada di dalam kedua buku yang di review.
2. Untuk dapat melatih diri untuk berpikir kritis ketika menemukan informasi yang terkait
dengan setiap materi yang ada di dalam kedua buku tersebut.
3. Untuk menambah wawasan agar dapat memahami materi mata kuliah Sejarah
Pendidikan.
4. Untuk menguatkan informasi tentang kajian buku dari sumber buku utama dengan buku
pembanding.

C. MANFAAT CBR
1. Pembaca dapat lebih mengetahui informasi yang ada di dalam materi mata kuliah Sejarah
Pendidikan.
2. Penulis dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan dari isi buku.
3. Melatih kemampuan mahasiswa didalam membandingkan buku yang satu dengan buku
yang lain nya.
A.
B.
C.
D. IDENTITAS BUKU UTAMA
1. Judul Buku : Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966
2. Penulis : Rum Aly
3. Penerbit : Kata Hasta Pustaka
4. Tahun Terbit : 2006
5. Kota Terbit : Jakarta
6. ISBN : 979-1056-01-03
7. Desain Sampul : Razhar M.Januardi dan Wien Muldian
8. Edisi Buku :-
9. Tebal Buku : 350 Halaman

E. IDENTITAS BUKU PEMBANDING


1. Judul Buku : Sejarah Indonesia Modul
2. Penulis : Ricu Sidiq
3. Penerbit :-
4. Tahun Terbit :-
5. Kota Terbit :-
6. ISBN :-
7. Desain Sampul :-
8. Edisi Buku :-
9. Tebal Buku :-
BAB II
PEMBAHASAN
A. RINGKASAN BUKU UTAMA
BAB I TRADISI TUMBAL DARAH
Corak warna yang dominan dalam sejarah Indonesia dari abad keabad,adalah
merah,karena darah.Menjadi satu dengan itu,adalah rangkaian pertarungan kekuasaan.Perilaku
pemenuhan hasrat kekuasaan menjadi bagian utama karakter para pemuka kelompok masyarakat
dalam tata feodalistik,yang senantiasa membutuhkan tumbal darah rakyat.Kekuasaan colonial
ataupun kelompok kekuasaan bangsa sendiri. Kekuasaan berdasarkan kepentingan duniawi
maupun berdasar agama ( yang semsetinya lepas dari wujud kepentingan duniawi yang
vulgar).Hanya dalam keadaan tanpa adanya rakyat melawan,sejarah mencatat Nusantara menjadi
rangkaian kepulauan yang seakan damai,aman,tentram yang mencipta legenda tentang keindahan
dan kekayaan alam.
Pada satu peristiwa lain di ibukota propinsi,dengan mudah seorang pria yang sudah
beristri,ditembak begitu saja pada suatu maghrib diatas becak yang ditumpangi. Yang
memerintahkan eksekusi,menjadi rahasia umum,adalah seorang pria lainnya yang juga telah
beristeri,seorang tokoh yang terkenal di masyarakat dan pernah ‘ punya’ partai politik peserta
pemilihan umum 1955.Darah mengalir,hanya karena persaingan kedua itu memperebutkan cinta
seorang wanita idaman lain.Kedua peristiwa berdarah itu yang berpangkal pada masalah
asrama,meskipun menjadi kisah yang dimiliki masyarakat sebagai rahasia umum,tak pernah
diusut dan ditindaklanjuti penguasa daerah saat itu. Bahkan tak ‘terjamah’oleh seorang Jenderal
Jusuf sekalipun. Tetap tinggal sebagai dark number dalam X-File kejahatan kemanusiaan dan
pelanggaran hokum serta hak asasi manusia bersama sederetan panjang kasus lainnya di masa
pergolakan bersenjata di Sulawesi Selatan.
Kisah ketujuh.Segera setelah Peristiwa Gerakan 30 September 1965,proses penghancuran
PKI terjadi dengan cepat.Anggapan yang kuat bahwa peristiwa ini adalah pengkhianatan PKI
untuk keduakalinya setelah Peristiwa Madiun 17 tahun sebelumnya,ditambah tumpukan
kebencian yang tercipta akibat sepak terjang partai ini ketika berada diatas angina selama
bertahun-tahun dalam berbagai bentuk,mulai kekerasan fisik,maupun psikologis,menjadi
pendorong utama gerakan penghancuran yang melibatkan anggota masyarakat secara luas.Bila
pada awalnya,diwilayah perkotaan partai dan organisasi mantelnya,pada proses selanjutnya di
perkantoran partai dan organisasi mantelnya,pada proses nya selanjutnya di beberapa daerah
dengan cepat berubah menjadi kekerasan yang mengalirkan darah dan melenyapkan nyawa.
SOEKARNO DAN TENTARA MENINGGALKAN TITIK TAKDIR
Jakarta tahun 1959.Hari itu,5 Juli di Serambi depan Istana Merdeka,Kepala Staf
Angkatan Darat ( KASAD ) Jenderal Mayor Abdul Haris Nasution duduk dengan tenang namun
tidak cukup relaks lebih sering agak menunduk di tikungan deretan kursi,sudut kanan depan
barisan kiri. Di sisi kanan adalah koridor langsung dari pintu istana,yang mengantarai kursi
barisan kanan. Sang jenderal memakai seragam hijaunya,kemeja lengan panjang dengan celana
drill hijau yang mengkilap,peci perwira warna hitam di kepala.Ujung dasi hitamnya menyelip ke
arah kiri diantara kancing kedua dan ketiga kemejanya. Di sebelah kirinya dalam setelan jas
putih adalah Dr.Juanda,dan tepatnya di belakangnya pada deretan kedua,duduk Kepala
Kepolisian RI Soekanto yang memangku tongkat komandonya dan memasang topi petnya dilutut
kanan.Ia ini tampak lebih relaks dan lebih bersandar ke punggung kursi lipat.
Dari momentum 5 Juli 1959,dengan dukungan kuat militer yang berhasil diperolehnya
melalui pemugaran kembali hubungan baiknya dengan Nasution,soekarno bergerak
cepat.Dengan segera ia membenahi beberapa institusi kenegaraan. Ia membubarkan Kabinet
Karya yang dipimpin Ir.Juanda 10 Juli 1959,hanya lima hari setelah dekrit dan membentuk
Kabinet Kerja yang dipimpinnya sendiri selaku Perdana Menteri. Kedalam kabinet ini tergabung
menteri-menteri yang berasal dari partai-partai yang mendukungnya dalam masalah dekrit,tentu
saja terutama PNI dan tak terkecuali PKI.
DIPA NUSANTARA AIDIT MENGIBARKAN BENDERA MERAH
Selain tentara Angkatan Darat ada sejumlah kekuatan politik lainnya menjadi penopang
sebagai partner taksis soekarno,terutama sejak diletakkannya titik dasar baru bagi kekuasaannya
melalui Dekrit 5 Juli 1959.Setidaknya ada tiga kelompok kekuatan yang signifikan,yakni
kelompok politik islam yang terutama diwakili oleh Partai NU,kemudian PNI,dan PKI,yang
mewakili kelompok politik ideologi nasionalis ( marhaenis ) dan ideologi komunis. Ketiga-
tiganya termasuk 4 besar Pemilihan Umum 1955 bersama Masymi yang telah tersingkir setelah
dinyatakan sebagai partai terlarang oleh Soekarno dianggap terlibat dan mendukung
pemberontakan PRRI,Persemesta begitu pula nasib yang dialami PSI.
Setelah kegagalan pemberontakan tahun 1926-1927,tokoh-tokoh PKI yang tidak
tertangkap dan berhasil melarikan diri ke luar negeri,terpaksa bergerak di bawah tanah,namun
tak ada hasil yang signifikan untuk kepentingan partai.Sejak pertengahan 1928 hingga 1930an
dan awal 1940-an praktis PKI menjadi partai bawah tanah,namun tak ada hasil yang signifikan
untuk kepentingan partai. Sejak pertengahan 1928 hingg 1930-an dan awal 1940-an praktis PKI
menjadi partai bawah tanah dan baru kembali ke permukaan setelah Proklamasi.Di tahun 1935
Komintren ( Gerakan Komunis Internasional ) mengutus Muso kembali ke Indonesia untuk
menghidupkan lagi partai.Dengan bantuan beberapa tokoh komunis yang tersisa,Muso mencoba
mengorganisir suatu pergerakan PKI illegal,untuk meneruskan perjuangan,namun gagal dan
tahun berikutnya ia terpaksa lari kembali ke luar negeri.Praktis,sejak itu sampai masa
pendudukan Jepang,tak ada sesuatu kegiatan berarti dari PKI yang terlarang itu.
Partai Nasional Indonesia yang menjadi representan utama dari unsur nasional,antara 1959
hingga 1965,pada hakekatnya hanyalah partai ‘ milik’ Soekarno yang tak punya kemauan dan
sikap politik mandiri karena tak bisa keluar dari lindungan baying-bayangan charisma pribadi
Soekarno.Selain itu,suatu ‘ penyusupan’ yang amat signifikan terjadi atas dirinya,terutama dari
komunis,yang tercermin adalah dari didudukinya pada Sekretaris Jenderal partai oleh
Ir.Surachman yang berhaluan kiri dan lebih patuh kepada PKI.Ali Sastromidjo,sang Ketua umum
tersandera dalam rangkaian kebimbangan antara suara arus bawah dari sebagian warga kepala
benteng itu yang menyuarakan keinginan keterbatasan dan pengambilan inisiatif peran politik di
satu sisi,dan pada sisi lain ‘keharusan’ patuh terhadap pemikiran dan tindakan politik dengan
PKI. Pada masa demokrasi terpimpin 1959-1965 itu,dengan demikian setidaknya ada dua
kelompok yang berseteru didalam tubuh PNI,antara yang setuju dan tidak setuju dengan
kecenderungan politik kiri serta kehadiran unsur komunis di tubuh partai.
LETNAN JENDERAL AHMAD YANI DILEMA POLITICAN IN UNIFROM
Dalam berbagai peristiwa,di beberapa daerah,tentara ( AD) harus berhadapan dengan
PKI.Di tahun 1961,bulan November,terjadi Peristiwa Jengkol di Kediri.Ketika itu terjadi
Peristiwa Jengkol di Kediri.Ketika itu terjadi masalah dengan petani penggarap ( tanpa izin ) di
atas tanah pemerintah milik Perusahaan Perkebunan Negara,karena itu sudah akan digunakan
pihak perkebunan.Para petani penggarap telah diberi tanah pengganti dan sejumlah uang
pesangon. Bergeraknya soekarno makin kekiri secara subjektif didorong pula oleh kekecewaan
pribadinya yang menyebabkan perasaannya secara terluka dan dirinya. Pemberontakan sejumlah
tentara berhaluan kanan yang kecewa atas ketidakseimbangan serta ketidakadilan dalam
hubungan pusat dan daerah,melalui PRRI-Permesta,yang didukung As adalah factor-faktor awal
kerengangan Soekarno dan Washington. Suatu perjanjian ‘pembelian’ persenjataan besar-
besaran dari Uni Soviet ditandatangi Maret 1961 di Jakarta.Penandatangan dari pihak Indonesia
adalah Menteri Keamanan Nasional Jenderal A.H.Nasution.
Pada akhir tahun 1964,terjadi sedikit masalah ditubuh pasukan elite AD,RPKAD
( Resimen Para Komando Angkatan Darat).Seorang Mayor bernama Benny Moerdani mengeritik
secara terbuka atasannya,Komandan RPAD Kolonel Mung Parhadimuljo,dalam suatu
pertemuan,terkait soal ketidakefisienan penggunaan dana dan sumberdaya,Kolonel
Mung,meskipun cukup kesal terhadap serangan terbuka Benny yang oleh beberapa perwira lain
dianggap pembangkangan kepada atasan tidak sampai mengambil tindakan apapun terhadap
Benny.Maka,tampaknya persoalan tersebut takkan berkembang dan merembet lebih jauh,itulah
sebabnya,setelah penemuan itu,Benny sempat melanjutkan rencana pribadinya keluar Jakarta
untuk melaksanakan bulan madu dengan isteri yang dinikahinya.Akan tetapi,Letnal Kolonel
Sarwo Edhide Wibowo,wakil komandan pasukan elite Angkatan Darat tersebut,merasa perlu
untuk menyampaikan persoalan tersebut kepada Menteri / Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad
Yani.
BAB II DIBAWAH SELIMUT BENDERA REVOLUSI

Kekuasaan otoriter Soekarno ini bermula dan tercipta setelah Dekrit tahun 1959 yang tak
terlepas pula dari dukungan kuat militer Indonesia,terutama melalui peranan Jenderal Abdul
Harris Nasution,sehingga pusat kekuasaan politik dan negara kala itu sebenarnya ada pada
‘segitiga sama sisi’Soekarno PKI angkatan Darat.

Dalam pergulatan kekuasaan,sepanjang lima atau enam tahun itu,PKI dan organisasi-
organisasi pendukungnya setapak demi setapak berhasil menemoati posisi kokoh disisi Soekarno
dan mewarnai dengan kuat untuk tidak menyebutnya mendominasi kehidupan politik
Indonesia.Setengah perjalanan,tanda keunggulan PKI telah cukup jelas terlihat dalam peta
politik.Hingga pertengahan tahun 1965,PKI mengungguli kekuatan politik lainnya dalam
pergulatan kekuasaan dengan sikap ofensifnya yang mengalir bagaikan air bah yang tak kunjung
surut.Bahkan PKI berhasil menciptakan suatu tingkat suasana psikologis berupa ‘ketakutan’
kelompok politik lain untuk dikenakan 'stigma' komunisto phobia, kontra revolusi, anti
Nasakom, antek Nekolim (Neo Kolonialisme) dan aneka tudingan 'mengerikan' lainnya, seperti
kapitalis birokrat, setan kota, setan desa dan sebagainya. Sementara dari sekitar Soekarno sendiri
dengan mudah meluncur tudingan 'mendongkel Pemimpin Besar Revolusi bila ada yang bersikap
sedikit kritis atau berbeda. Ini semua tak terlepas dari makin menguatnya pola paternalisme yang
dari waktu ke waktu membawa Soekarno menuju posisi puncak piramida kekuasaan, kepada
siapa semua pihak harus menunjukkan kesetiaan jika tak mau tersisih dari lingkaran kekuasaan.
Soekarno pun makin terciptakan sebagai bapak yang tak mungkin salah dan merupakan sumber
segala kebenaran' dalam kehidupan politik dan kehidupan bernegara. Ia adalah Penyambung
Lidah Rakyat' yang paling mengetahui keinginan rakyat, lebih dari siapa pun. Dan PKI lah yang
paling berhasil mengelola dan menunggangi seluruh kondisi objektif yang ada itu, dan
memanfaatkan situasi psikologis Soekarno, lengkap dengan pemenuhan obsesi dan hasrat
romantika revolusioner sang pemimpin yang sedang berjalan menempuh fase usia 60-an tahun
itu.Tentu saja, sikap-sikap lunak dan kompromistis semasa Nasakom, bukan hanya milik partai-
partai ideologi Islam, melainkan juga diidap sejumlah tokoh dari partai Nasakom lainnya. Harry
Tjan menuturkan bahwa menjelang tengah malam, 28 September 1965, hanya dua hari sebelum
peristiwa pembunuhan enam jenderal dan satu perwira muda, bersama tokoh Partai Katolik IJ
Kasimo ia menemui Frans Seda yang waktu itu adalah Ketua Umum Partai Katolik sekaligus
Menteri Perkebunan. Kepada Frans Seda, Harry melaporkan "akan terjadi coup oleh PKI". Frans
menjawab, "Hal itu tidak betul". Bahwa AURI melatih Pemuda Rakyat dan yang lain lainnya, itu
"adalah pembagian tugas" yang sudah diatur oleh Pemimpin Besar Revolusi Bung
Karno."Janganlah khawatir, sebab semua itu dalam rangka revolusi ! Jangan ikut berpikir
demikian, karena bisa dikatakan komunisto phobia".Tetapi yang paling ironis dalam masalah
HMI ini sebenarnya adalah kenyataan bahwa ketika HMI sedang mengalami serangan golongan
politik kiri yang bertubi-tubi, justru 'sebagian' umat dan kekuatan politik Islam berangsur-angsur
meninggalkan HMI.

BAB III KONSPIRASI DAN PERTUMPAHAN DARAH

Pelopor hijrah dari HMI itu, masih pada saat tingkat keadaan belumlah betul-betul
berbahaya, dimulai oleh generasi muda lingkungan Nahdatul Ulama yang tadinya menjadi
anggota HMI, ketika NU mendirikan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) pada
tanggal 17 April 1960 di Surabaya. PMII sejak itu menjadi wadah bagi mahasiswa Islam
tradisional, dan dengan demikian tidak lagi 'memerlukan' HMI. Sekaligus ini semua dapat
diterjemahkan sebagai sikap NU menjauhkan diri dari segala sesuatu yang beraroma Masjumi.
Menurut Syamsir Alam (Lihat buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter', Rum Aly,
2004, referensi tema halaman 52), dalam situasi terjepit dan ditinggalkan pendukungnya, pada
Kongres VII di Jakarta tahun 1962 HMI menegaskan untuk memfokuskan diri pada program
kaderisasi dengan lebih intensif. "Jalan paling baik bagi HMI adalah membelokkan perhatiannya
dari politik praktis kepada kegiatan sosio edukasi. Berbagai lembaga kesehatan, seni dan
pertanian dibentuk untuk membantu kepentingan belajar dan kreasi mahasiswa
anggotanya".Sewaktu PSI dinyatakan terlarang oleh Soekarno, gerakan bawah tanah menjadi
pilihan para tokoh dan kader partai. Gerak membina, yang sudah biasa dilakukan sejak awal,
menjadi lebih penting. Bergerak secara ilegal, merupakan hal biasa bagi beberapa tokoh yang
kemudian hari bergabung dengan PSI, dan sudah dilakukan di zaman kolonial Belanda maupun
masa pendudukan Jepang. Pembinaan dan bimbingan di kalangan intelektual dilakukan oleh
tokoh-tokoh seperti Profesor Sarbini Soemawinata dan Soedjatmoko seorang cendekiawan
otodidak. "Soedjatmoko dan teman temannya berusaha membimbing kehidupan intelektual",
dengan cara 'mengumpulkan' orang-orang dari golongan intelektual dari pusat-pusat perguruan
tinggi "dalam arti seluas-luasnya", termasuk dari perguruan tinggi Islam dan Kristen. Pembinaan
kalangan intelektual yang dilakukan PSI, harus diakui cukup berhasil, bahkan ada yang
menganggap amat berhasil. Keberhasilan penggalangan kaum intelektual itu bahkan hampir
hampir menjadi mitos, sehingga setiap ciri dan perilaku intelektualitas senantiasa dikaitkan
dengan PSI. Sejumlah perwira intelektual, dikaitkan dengan PSI dan memang beberapa di
antaranya merupakan kenyataan. Namun tak jarang, seorang perwira yang memperlihatkan
tingkat intelektualitas tertentu, ikut dianggap Perwira PSI, meskipun ia samasekali tak punya
hubungan apapun dengan partai terlarang itu. Aktivitas pembinaan lainnya dilakukan pula antara
lain oleh Saroso Moerdianto. Beberapa nama lain dari barisan PSI ini adalah Djohan Sjahruzah,
Soedarpo yang bergerak di dunia usaha dan Rosihan Anwar yang aktif di bidang jurnalistik.
Nama lain, yang mobile bergerak di daerah-daerah adalah Soemarno. Soedjatmoko adalah ipar
Sjahrir, Djohan adalah keponakan Sjahrir, sedang Soedarpo adalah adik Soebadio. Kedekatan
Soedjatmoko dan Soemarno misalnya dengan kalangan militer, cukup signifikan. Beberapa nama
perwira yang yang disebutkan punya kedekatan dengan orang-orang PSI ini antara lain, perwira-
perwira teras di Markas Besar Angkatan Darat, yakni Mayjen Harjono Mas Tirtodarmo dan
Mayjen Suwondo Parman. Juga, Komandan Seskoad Mayjen Soewarto. Soedjatmoko pun kerap
berhubungan dengan teman lamanya, Dr. Soebandrio yang seorang dokter medikal. Agaknya,
PSI telah berpikir jauh ke depan.Bahwa PKI mempercayai adanya hubungan-hubungan intelejen
barat dengan tentara pada masa itu, bisa menjelaskan kenapa PKI menganggap Angkatan Darat
sebagai salah satu sumber bahaya utama bagi eksistensinya dan harus dihadapi dengan sejumlah
'counter attack'. Sementara itu pada sisi sebaliknya, sebagaimana yang pernah diakui oleh
seorang mantan intelejen Cekoslowakia, Ladislav Bittman, intelejen blok timur sayap Moskow
yang diwakili intel Ceko juga beroperasi di Indonesia untuk membendung operasi intelejen barat
dan membantu gerakan komunis dalam pertarungan politik dan kekuasaan di Indonesia. Salah
satu keterlibatan mereka adalah pemalsuan Dokumen Gilchrist. Pada saat bersamaan, intelejen
Angkatan Darat juga mencium adanya gerakan-gerakan intelejen Cina yang melakukan
kerjasama dengan BPI dan PKI sayap Peking, yang sempat diasosiasikan dengan kelompok Aidit
yang sedang menjadi pengendali utama partai.Pada tahun 1963 itu, keadaan ekonomi sehari-hari
amat buruk.Kebutuhan makan-minum sehari-hari naik dua kali lipat dari setahun sebelumnya,
dan dibandingkan dengan tahun 50-an, kenaikannya adalah lima sampai sepuluh kali lipat. Beras
bukan saja mengalami kenaikan harga terus menerus setiap hari, tetapi seringkali juga langka.
Untuk mengisi kekosongan pemerintah Soekarno mengimpor beras, antara lain dari RRT
(Republik Rakjat namun kualitasnya amat jelek. Minyak tanah lebih langka lagi. Pada tahun
1963 itu, di seluruh Indonesia, demikian pula di Bandung, untuk memperoleh minyak tanah tiga-
empat liter, masyarakat mulai harus antri di RT-RT dengan membawa kartu keluarga suatu
keadaan yang akan berlangsung dengan tingkat lebih parah lagi hingga tahun 1964, 1965 dan
1966. Begitu pula caranya untuk memperoleh gula, tepung terigu dan juga bahan sandang berupa
kain cita dan kain drill tmurahan buatan RRT. Di toko-toko, kalau ada, kebutuhan-kebutuhan itu
amat mahal dan beraf untuk dijangkau oleh masyarakat yang pada waktu bersamaan
pendapatannya makin tak berarti, tenggelam oleh inflasi. Kenaikan upah yang tiga kali lipat pun
tak berharga oleh kenaikan harga kebutuhan pokok yang sepuluh kali lipat. Hasjroel Mochtar
mencatat dalam bukunya, bahwa dalam keadaan ekonomi seperti itu, justru masyarakat etnis
Cina yang sejak dulu menguasai beberapa mata rantai kegiatan ekonomi tidak begitu merasakan
kesulitan ekonomi seperti kebanyakan rakyat pribumi. Sehingga timbul kecemburuan. "Apalagi
dengan sikap sikap sebagian dari mereka, khususnya generasi muda Cina yang suka pamer dan
rendah kesetiakawanan sosialnya, semakin meningkatkan kecemburuan dan sentimen
masyarakat terhadap mereka". Kekecewaan masyarakat secara vertikal kepada pemerintah yang
tak mampu meng hindarkan rakyat dari siksaan ekonomi, dan kecemburuan horizontal mencipta
bom waktu di tengah masyarakat yang hanya menunggu suatu pemicu bagi suatu
letupan.Sepuluh tahun setelah Peristiwa 10 Mei 1963, di Bandung terjadi lagi satu peristiwa bias
politik yang juga terpacu oleh aspek rasial yang berpada dengan fakta kesenjangan sosial akibat
kegagalan penanganan penguasa terhadap aspek sosial dan ekonomi, yakni Peristiwa 5 Agustus
1973. Setiap kali ada ketidakpuasan dalam masyarakat dan penguasa gagal mengelola nya, hanya
bertindak sebatas membendung dan meredam sindrom belaka akan terjadi penyaluran
ketidakpuasan dengan mendobrak beberapa mats rantai sosial yang terlemah yaitu sentimen
berdasar perbedaan ras, agama dan kesukuan. Kelompok etnis yang berada paling depan dalam
sentimen sentimen itu, adalah keturunan Cina, karena faktor historis dan beberapa hal yang
melekat, yakni perbedaan ras itu sendiri, dan biasanya pula mereka menganut agama-agama yang
berbeda dengan mayoritas anggota masyarakat. Ini semua lebih diperkuat lagi karena kesan
keunggulan mereka dalam peranan-peranan ekonomi, dan dengan demikian mereka pun lalu
berada di hadapan jurang perbedaan sosial. Sepanjang perjalanan sejarah Indonesia hingga kini,
tercatat betapa masalah Cina ini menjadi satu masalah yang belum berhasil tertangani dengan
baik dan dengan sendirinya belum berhasil terselesaikan.Secara umum, sumber dana untuk
segala kegiatan politik PKI tak banyak disinggung. Ini berbeda dengan kelompok jenderal yang
memegang kendali Angkatan Darat yang berhadapan dalam pertarungan politik dan kekuasaan
dengan PKI. Sumber dana 'non budgetair' para jenderal saat itu senantiasa dikaitkan dengan
perilaku korupsi, terutama karena posisi sejumlah jenderal atau perwira tentara dalam berbagai
badan usaha milik negara, yang sebagian adalah bekas perusahaan Belanda yang dinasionalisir
pada tahun 1957. Termasuk di sini adalah Pertamin dan Permina yang kemudian hari dilebur
menjadi Pertamina, dan diserahkan penanganannya kepada seorang dokter yang juga adalah
perwira Angkatan Darat, Ibnu Sutowo, yang berpangkat kolonel kemudian naik ke jenjang
jenderal. Beberapa posisi penting di bawahnya umumnya juga dipegang kalangan tentara.
Konsesi di perusahaan perminyakan ini diberikan sebagai bagian dari semacam deal politik
maupun saling pengertian-yang mungkin saja tak pernah diucapkan dengan cara yang betul-betul
terus terang- antara Soekarno dengan pihak militer di bawah Mayor Jenderal Nasution sebelum
Dekrit 1959.Berbeda dengan Angkatan Darat, sumber dana politik PKI sedikit lebih terselubung
dan nyaris tak terbuktikan karena tak ada pihak yang betul betul memiliki bukti-bukti hitam putih
aliran dana PKI. Sumber dana utama PKI di masa-masa awal sebelum Pemilihan Umum 1955
adalah dari gerakan dan jaringan komunis internasional. Selanjutnya, sumber dana itu bergeser
yang mulanya terutama datang dari Moskow untuk selanjutnya lebih banyak berasal dari Peking,
tatkala Aidit secara kasat mata membawa PKI lebih berkiblat ke Peking.Model Tentara Merah
sebagai sayap militer partai, semacam obsesi bagi para tokoh PKI yang menguasai kendali partai.
Ketika sudah berada di atas angin pada tahun 1964-1965 gagasan sayap militer kembali
dikembangkan, melalui infiltrasi ke tubuh tentara. Cukup memadai tetapi belum mencukupi
untuk suatu orientasi kekuasaan. Dan pada awal 1965, Aidit melontarkan gagasan pembentukan
Angkatan Kelima. Gagasan itu pertama kali dilontarkan oleh Dipa Nusantara Aidit, Kamis pagi
14 Januari, ketika akan dan sewaktu menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka. Inisiatif
politik Aidit, melontarkan gagasan Angkatan Kelima, sebenarnya adalah semacam take over atas
suatu gagasan yang muncul sebelumnya pada kwartal terakhir tahun 1964. Sewaktu Soekarno
berkunjung ke Cina, dalam suatu percakapan, Mao Tse-tung dan kemudian Chou mengusulkan
agar Soekarno mempersenjatai buruh dan tani bila ingin memperkokoh diri dan memenangkan
perjuangan melawan kaum imperialis, khususnya dalam konfrontasi terhadap Malaysia. Mao
yang merasa punya pengalaman historis dengan Tentara Merah yang revolusioner yang
menopang berdirinya Republik Rakyat Tjina, berkata tak cukup bila Soekarno hanya
mengandalkan tentaranya yang sekarang.Salah satu upacara yang tercatat pernah terjadi, adalah
di Sumatera yang dilakukan di Candi Padang Lawas, 100 kilometer dari Barus, kota pelabuhan di
pantai barat Sumatera, dekat Sibolga, yang pada abad 13 dan 14 juga merupakan pusat kegiatan
sufi dan penyebaran agama Islam. Di sinilah Hamzah Fansuri, seorang penyair sufi terkemuka
abad 16-17 dilahirkan dan dibesarkan. Pemujaan terhadap Heruka dalam Tantrisme Bhirawa
biasa dilakukan pada malam hari di tempat pembakaran mayat Mayat yang dibakar dijadikan
sajian sebagai persembahan kepada dewa mereka. Unsur utama pemujaan adalah pengurbanan
nyawa manusia melalui kobaran api yang mendatangkan bau tersendiri dan bau itulah yang
menimbulkan ekstase. Semakin memualkan bau daging manusia terbakar, semakin memberi
kenikmatan'. Mereka membandingkan bau tersebut dengan keharuman bunga yang mampu
membebaskan seseorang dari inkarnasi baru dan saamsara. Mayat dari manusia yang
dikorbankan diletakkan di tempat pemujaan dengan ditelentangkan, kaki dilipat di bawah paha,
tangan terikat dan kepala didongakkan. Dengan demikian, isi perut mudah dikeluarkan. Pendeta
membelah perut hingga ke rusuk bawah, lalu duduk di atasnya, merenggut jantung keluar dan
memenuhi batok tengkorak manusia dengan darah. Beberapa teguk darah diminum dan
dibayangkan sebagai anggur sorgawi yang lezat. Setelah itu, api unggun dinyalakan dan para
penuntut aliran tenggelam dalam meditasi. Selama meditasi berlangsung, Heruka terbayang
melalui kepulan asap. Ekstase dicapai saat tengah malam tiba. Pada saat demikian, mereka
menari-nari mengitari api unggun dengan 'kentongan' yang dibuat dari tulang belulang manusia,
sambil tertawa terbahak-bahak.

BAB IV MAHASISWA DAN PARA JENDERAL

Letnan Jenderal Ahmad Yani, pagi hari tanggal 30 September 1965 menuju Tanjung
Priok bersama Mayor Jenderal Soeprapto. Iring-iringan mobilnya yang didahului vorrijder dari
CPM (Corps Polisi Militer) sempat berpapasan dengan mobil Jenderal Abdul Harris Nasution
yang baru saja berlatih golf di Rawamangun. Mereka tak melihat Nasution, tapi Nasution melihat
mereka, karena mobilnya yang tanpa pengawalan terdesak ke pinggir dan terhenti untuk
memberi jalan. Pagi itu, sebagai Kepala Staf KOTI, Ahmad Yani memberikan piagam
penghargaan kepada sejumlah nakhoda kapal sipil, terutama dari Pelni (Pelayaran Nasional
Indonesia), karena jasa-jasa mereka dalam keikutsertaan pada berbagai operasi militer. Hari itu,
Ahmad Yani pulang ke rumah dari Markas Besar Angkatan Darat, pukul 14.00. In sempat
istirahat siang dan melakukan beberapa kegiatan rutinnya di rumah dan di luar seperti
kebiasaannya pada hari-hari lainnya.Tatkala telah berada kembali di kediamannya bersama
sejumlah staf, sekitar 10.30, Sarwo Edhie mendengar derum panser menuju ke tempatnya. Ia
bersikap waspada. Seorang Letnan Kolonel yang tak dikenal Sarwo meloncat turun dari panser.
Tetapi salah seorang stafnya yang mengenal perwira pendatang itu, memberi tahu Sarwo Edhie
bahwa sang perwira adalah Letnan Kolonel Herman Sarens Sudiro, seorang perwira yang
menangani logistik tempur dan penempatannya dilakukan atas perintah Letnan Jenderal Ahmad
Yani sendiri. Herman Sarens mengaku kepada Kolonel Sarwo bahwa ia diutus Panglima Kostrad
Mayor Jenderal Soeharto, dan untuk itu ia dibekali sepucuk surat, menjemputnya untuk bertemu
dengan sang Panglima Kostrad di Merdeka Timur. Belakang hari, Herman Sarens juga mengakui
bahwa ia masuk ke wilayah RPKAD kala itu dengan waspada karena sepengetahuannya sewaktu
berkunjung ke Batujajar, terdapat sejumlah instruktur RPKAD yang merupakan simpatisan PKI.
Dan sebelum ke Cijantung, pagi itu bersama Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah ia bertemu
Mayor Jenderal Soeharto, setelah ia mengetahui bahwa atasannya, Asisten Logistik AD Brigjen
DI Pandjaitan diculik dinihari tersebut. Di Markas Kostrad Herman Sarens mendapat informasi
perkiraan dari Soeharto bahwa pelaku penculikan ada kaitannya dengan PKI. Sekitar pukul 10.00
ia kemudian ditugaskan membawa surat Mayor Jenderal Soeharto kepada Kolonel Sarwo Edhie.

BAB V 1966 DALAM DILEMA DAN MITOS

Pada 11 Maret pagi hingga petang, sebenarnya terjadi beberapa benturan di berbagai
penjuru Jakarta. Catatan harian Yosar Anwar, adalah salah satu sumber yang tepat untuk dikutip
guna menggambarkan situasi har itu. Pagi-pagi, mahasiswa yang berada di kampus UI Salemba,
dikejutkan oleh suatu serangan mendadak dari segerombolan orang yang berbaju hitam hitam.
"Gerombolan berseragam hitam pagi itu datang dari arah Jalan Tegalan dan Matraman Raya.
Mereka menyerbu pos KAPPI di Jalan Salemba. Seorang luka, karena kena tusuk. Laskar S.
Parman dan Laskar A. Yani segera memberikan bantuan. Perang batu terjadi. Perkelahian seru
Akhirnya gerombolan liar ini mengundurkan diri. Pemuda Ansor yang tergabung dalam Banser
dari Jalan Pramuka ikut menghadang mereka. Keadaan kacau balau, karena perkelahian pada
front luas terbuka". Tetapi tiba-tiba, sepasukan Tjakrabirawa yang bersenjata lengkap datang
menyerbu. Mereka melepaskan tembakan hampir horizontal, peluru mendesing rendah di atas
kepala pelajar dan mahasiswa. Para mahasiswa yang bingung, tiarap. Terdengar seorang anggota
Tjakrabirawa dengan nyaring mengucapkan "Seratus mahasiswa tidak sanggup melawan seorang
anggota Tjakrabirawa". Tapi Tjakrabirawa yang telah berhasil membuat takut para mahasiswa,
akhirnya berlalu dengan membawa empat orang mahasiswa sebagai tawanan. Namun beberapa
jam kemudian, para mahasiswa itu dilepaskan. Biasanya pasukan pengawal presiden itu hanya
berada di sekitar istana, tapi hari itu mereka merambah ke mana-mana. Seterusnya, Yosar
mencatat bahwa "Di Jalan Salemba terjadi perang pamflet. Helikopter bertanda ALRI
menyebarkan fotokopi Pernyataan Kebulatan Tekad Partai-partai Politik. Fenomena yang tak
kalah menarik dari apa yang dilakukan Nurcholis dan Akbar ini, adalah arus masuknya tokoh-
tokoh pergerakan 1966 ke dalam pemerintahan, terutama di daerah-daerah, sesaat setelah
'usai'nya 'perjuangan 1966'. Praktis, menurut Ekky Sjahruddin, yang masuk itu hampir
seluruhnya adalah tokoh-tokoh HMI yang terkait dengan fakta bahwa di berbagai daerah
memang HMI-lah yang dominan dalam kesatuan aksi. Mereka masuk menjadi anggota Badan
Pemerintah Harian (BPH) yang punya peranan penentu di bawah Gubernur Kepala Daerah.
Tokoh HMI Sulawesi Selatan Rapiuddin Hamarung misalnya, adalah satu di antara yang masuk
menjadi BPH dan untuk selanjutnya menjalani karir yang cukup panjang dalam pemerintahan
daerah. Hal serupa terjadi di Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan berbagai
propinsi lainnya. Dalam pada itu, di Jakarta dan Bandung yang merupakan dua pusat pergerakan
tahun 1965-1966, arus masuk lebih kepada keikutsertaan dalam lembaga-lembaga legislatif atau
kepengurusan partai tingkat nasional bagi mereka yang berasal dari organisasi ekstra mahasiswa
yang berstatus organisasi sayap. Terdapat pula kelompok-kelompok yang masuk ke dalam pusat
pengaturan kekuasaan bersama Ali Moertopo seperti misalnya Lim Bian Kie dan Lim Bian
Koen, lalu Cosmas Batubara, Abdul Gafur dan kawan kawan.

BAB VI CATATAN DAN ANALISA AKHIR

Soekarno, misalnya, dari dirinyalah muncul cetusan untuk menindak para jenderal yang
tidak loyal, yang dilaporkan pada dirinya dalam pola intrik istana. Cetusannya itu, terutama
kepada Letnan Kolonel Untung. menjadi awal kematian enam jenderal dan seorang perwira
menengah, meskipun ia mungkin tidak 'mengharapkan' pembunuhan terjadi. Dipa Nusantara
Aidit, adalah orang yang mengantar terjadinya peristiwa menjadi kekerasan berdarah ketika ia
memanfaatkan Untung yang mendapat perintah penindakan dari Soekarno, dan mendorong
peristiwa itu terjadi sebagai masalah internal Angkatan Darat, sambil menjalankan rencana
jangka panjangnya sendiri. Dan pengelolaan atas masalah internal Angkatan Darat ini, mendapat
bentuk yang nyaris 'sempurna' sebagai makar dalam penanganan Sjam tokoh Biro Khusus PKI,
dengan mengoptimalkan peranan Letnan Kolonel Untung. Sjam merancang gerakan tanpa
melibatkan tokob tokoh lain di kalangan pimpinan PKI. Kalaupun ada pelibatan, itu dilakukan
selektif dengan informasi terbatas, karena memang dimaksudkan bahwa mereka yang dilibatkan
itu tidak perlu mengetahui gambaran menyeluruh dari rencana gerakan. Adalah karena ini pula,
gerakan mudah ditumpas, ketika ada kemelesetan pelaksanaan, terutama lolosnya Jenderal All
Nasution dari penyergapan. Sebagai partai, PKI tidak siap, baik sejumlah besar tokoh-tokoh
nasionalnya maupun di tingkat daerah, apalagi lapisan massanya yang sejauh itu hanya berada
dalam kondisi mental revolusioner namun tak siap 'berperang'. Penumpasan gerakan pada
tanggal 30 September 1965, yang dilancarkan oleh Mayor Jenderal Soeharto, yang justru well
informed melalui Letnan Kolonel Untung maupun Kolonel Latief, adalah kecelakaan' lainnya
bagi gerakan ini. Dan ini kemudian berlanjut dengan penumpasan besar-besaran terhadap PKI
dengan sebab musabab yang amat kompleks. Massa partai tidak siap dan 'kaget', ketika di mana-
mana mereka dikejar dan ditumpas oleh massa yang melakukan pembalasan' dan gelombang
penangkapan oleh pihak militer. Secara pahit dan pedas dari sisi pandang dan kepentingan yang
berbeda, tanpa salah satu mantan menteri rezim Soekarno, Oei Tjoe Tat SH, menulis "Bermimpi
jika orang mengira, demonstran-demonstran KAMI, KASI dan KAPPI berlangsung spontan
karena kekuatan dan wawasan sendiri ada dalang yang mengatur dari belakang, tanpa
perlindungan, tanpa pembinaan golongan yang pegang bedil". Untuk sebagian apa yang ditulis
Oei Tjoe Tat bisa saja benar, namun ia memang agak melebih-lebihkan menempatkan
mahasiswa sekedar sebagai objek dan tak ada sama sekali posisinya sebagai subjek yang juga
punya idealisme. Ia menempatkan mahasiswa dan kesatuan aksi sekedar dalam kategori alat
tentara. Oei Tjoe Tat telah melalui suatu pengalaman pahit dengan tentara dan mahasiswa. Maka
sudut pandangnya yang skeptis dan 'mengecilkan' peran mahasiswa, bisa dipahami.

B. RINGKASAN BUKU PEMBANDING

BAB I PERISTIWA SEKITAR PROKLAMASI KEMERDEKAAN

A. UPAYA MEMPERSIAPKAN KEMERDEKAAN INDONESIA


1. Pembentukan Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
( BPUPKI)

Badan pertama yang dibentuk ialah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Cosakai Badan ini dinbentuk oleh Jepang pada
tanggal 1 Maret 1945 dengan tujuan untuk menyelidiki hal-hal penting mengenai tata
pemerintahan Indonesia BPUPKI beranggotakan 60 orang, ditunjuk sebagai ketua adalah Mr.
Radjiman Wedyodiningrat. Wakil ketua terdiri atas seorang Indonesia (RP Suroso) dan
kebangsaan Jepang (Ichibangase).Kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik semakin jelas dengan
dijatuhkannya bom atom oleh Sekutu di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945 dan
Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945. Akibat peristiwa tersebut, kekuatan Jepang makin lemah.
Kepastian berita kekalahan Jepang terjawab ketika tanggal 15 Agustus 1945 dini hari, Sekutu
mengumumkan bahwa Jepang sudah menyerah tanpa syarat dan perang telah berakhir. Berita
tersebut diterima melalui siaran radio Jakarta oleh para pemuda yang termasuk orang-orang
Menteng Raya 31 seperti Chaerul Saleh, Abubakar Lubis, Wikana, dan lainnya.
BAB II PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berhasil dicapai pada tanggal 17 Agustus


1945, bukan berarti bahwa bangsa Indonesia telah terbebas dari segala bentuk penguasaan
bangsa asing. Pembentukan negara-negara boneka yang dilakukan oleh Belanda di wilayah
Indonesia bertujuan untuk mengepung kedudukan pemerintahan Republik Indonesia atau
mempersempit wilayah kekuasaan Republik Indonesia.Setelah munculnya Maklumat Pemerintah
No. X tanggal 3 Nopember 1945 yang menyatakan tentang pembentukan partai-partai politik
untuk menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia merupakan sebuah negara demokrasi, maka di
Indonesia mulai muncul partai politik dalam jumlah yang sangat bayak. Partai-partai politik yang
muncul dan berkembang di wilayah Indonesia pada awal kemerdekaannya memiliki beragam
ideologi, di antaranya ideologi yang bersifat nasional, keagamaan, sosialisme nasionalisme
komunisme atau ideologi lainnya.Terkadang terdapat partai politik yang memiliki kesamaan
ideologi,dan dapat mengadakan koalisi di antara partai-partai politik itu. Dalam menghadapi
perkembangan kekuasaan Belanda di Indonesia, berbagai cara dilakukan oleh partai-partai
politik yang ada pada masa itu.Setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945,
maka secara resmi bangsa Indonesia telah merdeka dan terbebas dari segala bentuk penindasan
serta penjajahan bangsa asing.Pemerintah Belanda masih tetap ingin menguasai wilayah
Indonesia Namun, kali ini kedatangan pasukan Belanda ke wilayah Indonesia bersama-sama
dengan pasukan Sekutu-Inggris.

BAB III INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL DAN DEMOKRASI


TERPIMPIN ( 1950-1965)

A. Kehidupan Politik Indonesia di masa Demokrasi Parlementer


1. Masa Demokrasi Parlementer

Pelaksanaan demokrasi liberal pada hakikatnya secara yuridis forma adalah wajar, sebab
sesuai dengan konstitusi yang berlaku saat itu yakn Undang-Undang Dasar Sementara 1960 yang
bernafaskan semangal liberal. Kemudian terbukti bahwa demokrasi parlementer atau liberal yang
meniru sistem parlementer model Eropa Barat kurang sesuai dengan kondisi politik dan karakter
rakyat Indonesia. Namun demikian, Indonesia pernah menerapkan sistem demokrasi liberal
dalam pemerintahannya.

A. Percobaan Sistem Politik Demokrasi Parlementer

Dalam kurun waktu antara tahun 1950 sampai dengan tahun 1959 merupakan masa
perkiprahannya partai-partai politik pemerintahan Republik Indonesia Kabinet-kabinet yang
pernah pada berkuasa setelah penyerahan kedaulatan dari tangan Belanda.

BAB IV TRAGEDI NASIONAL DAN GEJOLAK DAERAH

Ketika meletus Gerakan 30 September tahun 1965, daerah yang paling gawat keadaannya
adalah di Jakarta dan Jawa Tengah. Di kedua daerah itu pihak Gerakan 30 September 1965
mempergunakan kekuatan senjata, sedangkan di daerah lainnya secara umum kaum Gerakan 30
September 1965 itu tidak beraksi menggunakan kekuatan bersenjata.Kodam VIII/Diponegoro
memiliki tiga Brigade, yaitu Brigade 4, 5, 6. Sebagai hasil penggarapan Biro Khusus PKI,
anggota Brigade 4 dipergunakan oleh kaum Gerakan 30 September 1965 dan anggota Brigade 5
hanya sedikit berhasil dipengaruhi. Hanya anggota Brigade 6 yang tidak terpengaruh oleh
mereka Batalyon yang aktif dipergunakan oleh kaum Gerakan 30 September adalah Batalyon K
dan M yang berkedudukan di Solo Batalyon L dan C berkedudukan di Yogyakarta, serta
Batalyon D berkedudukan di Salatiga.Setelah Gerakan 30 September 1965 bergerak di Jakarta,
pada tanggal 1 Oktober 1965 gerakan itu juga memulai aksinya di daerah Jawa Tengah
Munculnya Gerakan 30 September 1965 di Jawa Tengah diawali dengan siaran RRI Semarang.
Melalui RRI Semarang itu, Asisten Kodam VII/Diponegoro, Kolonel Suhirman mengumumkan
dukungannya terhadap Gerakan 30 September 1965 pada daerah Tingkat Jawa Tengah. Mereka
berhasil menguasai Markas Kodam VII/Diponegoro dan kemudian dijadikan markas gerakannya
serta meluaskan gerakannya ke seluruh Korem dan Brigade di lingkungan Kodam
VII/Diponegoro. Di saming itu Gerakan 30 September 1965 mendatangkan pasukan pelindung,
di antaranya dari Solo. Batalyon K di bawah pimpinan Mayor Kadri dan dua kompi Batalyon D
dari Salatiga pimpinan Mayor Supardi, Pasukan ini ditempatkan di tempat tempat strategis
terutama di Makodam, RRI dan telekomunikasi. Selanjutnya, Kolonel Sahirman mengumumkan
bahwa Letnan Kolonel Sastrodibroto mengambil alih pimpinan setempat, di antaranya:
A. Markas komando resort militer ( Makorem ) 071/Purwokerto dipimpin oleh kepala staf
kenal kolonel soemito.
B. Makoren 072/Yogyakarta dipimpin oleh kepala seksi 5 mayor mulyono.
C. Markas brigade infrantri 6 dipimpin oleh Komandan kompi markas, kapten mintarso.

BAB V MASA ORDE BARU (1968-1998)

1. Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang isinya sebagai berikut.


A. Pembubaran PKI beserta organisasi massanya.
B. Pembersihan Kabinet Dwikora.
C. Penurunan harga-harga barang.
2. Pembangunan nasional yang selalu dikumandangkan tidak terlepas dari Trilogi
Pembangunan. Bunyi Trilogi Pembangunan itu adalah sebagai berikut:
A. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat.
B. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
C. Stabilitas Nasional yang sehat dan dinamis.
3. Revolusi Hijau.
A. Pembukaan lahan-lahan pertanian baru.
B. Mekanisasi pertanian
C. Penggunaan pupuk-pupuk baru
D. Mencari metode yang tepat untuk memberantas hama tanaman.

BAB VI MASA REFORMASI 1999

1. Krisis Politik

Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan permasalahan


politik. Salah satunya adalah ketidakpercayaan terhadap pemerintahan.Ketidakpercayaan itulah
yang menimbulkan munculnya gerakan reformasi Kaum reformis yang dipelopori oleh kalangan
mahasiswa yang didukung para dosen serta para rektornya mengajukan tuntutan untuk
mengganti reshuffle kabinet, dan menggelar Sidang Istimewa MPR dan melaksanakan pemilu
secepatnya.

2. Krisis Hukum
Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan.
Bahkan hukum sering dijadikan sebagai alat pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah
atau sering terjadi rekayasa dalam proses peradilan, apabila peradilan itu menyangkut diri
penguasa, keluarga kerabat atau para pejabat negara.Sejak munculnya gerakan reformasi yang
dimotori oleh kalangan mahasiswa, masalah hukum juga menjadi salah satu tuntutannya.
refromasi hukum hendaknya dipercepat untuk dilakukan, karena merupakan suatu tuntutan agar
slap menyongsong era keterbukaan ekonomi dan globalisasi.

3. Krisis Ekonomi

Krisis moneter yang melanda negara-negara di Asia Tenggara sejak Bulan Juli 1996, juga
mempengaruhi perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia ternyata tidak mampu untuk
menghadapi krisis global tersebut.

4. Krisis Kepercayaan

Krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan


masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Suharto Berbagai aksi damai dilakukan para
mahasiswa dan masyarakat. Demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa itu semakin
bertambah gencar setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM ongkos angkutan
pada tanggal 4 Mei 1998.Puncak aksi para mahasiswa itu terjadi tanggal 12 Mei 1998 di
Universitas Trisakti Jakarta Tragedi Trisakti itu telah mendorong munculnya solidaritas dari
kalangan kampus dan masyarakat yang menentang kebijakan pemerintah yang dipandang tidak
demokratis dan tidak merakyat. Tragedi Trisakti juga telah menyulut terjadinya kerusuhan dan
penjarahan tanggal 13 dan 14 Mei 1998 yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya.Setelah mahasiswa
menguasai Gedung DPR/MPR dan tuntutan rakyat Indonesia semakin meluas untuk menurunkan
Presiden Suharto, yang diperkuat oleh Ketua MPR., Pak Harmoko mengusulkan agar Suharto
mundur keprabon, akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Suharto menyatakan
mengundurkan diri sebagai Presiden, dan menyerahkan jabatan presiden kepada BJ. Habibie
selaku Wakil Presiden Indonesia, dan langsung diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung
sebagai Presiden RI yang baru di Istana Negara.

BAB III
ISI RINGKASAN
A. KELEBIHAN BUKU UTAMA
1. Buku utama ini sudah sangat bagus dijadikan sumber referensi mata kuliah sejarah
Indonesia masa reformasi.
2. Buku utama ini terdapat materi sudah terdapat materi yang sangat jelas sehingga penulis
lebih mengerti dengan penyajian materi tentang peristiwa gerakan 30 september 1965.
3. Buku utama ini identitas buku sudah sangat lengkap sehingga penulis sangat mengetahui
bahwa identitas buku utama ini resmi.
4. Buku utama ini terdapat daftar pustaka serta gambar penunjang materi buku sehingga
penulis tidak merasa bosan untuk membaca buku utama ini.
B. KEKURANGAN BUKU UTAMA
1. Buku utama ini terdapat materi sangat tebal singkat dan padat.
2. Buku utama ini terdapat submateri yang sangay banyak,sehingga buku utama ini tidak
menjelaskan secara keseluruhan inti sari dari buku utama.
C. KELEBIHAN BUKU PEMBANDING
1. Buku pembanding ini terdapat rangkuman materi sehingga penulis sangat mudah untuk
memahami informasi terkait peristiwa sekitar proklamasi kemerdekaan.
2. Buku pembanding ini sangat cocok dijadikan sumber referensi mata kuliah Sejarah
Indonesia Masa Reformasi Hingga Kemerdekaan.
3. Buku pembading ini terdapat keterangan gambar yang sangat jelas sehingga penulis
sangat menarik untuk membaca buku utama ini.
4. Buku pembanding ini penulisan kaidah bahasa sudah sangat jelas sehingga penulis sudah
sangat mengerti dengan penyampaian materi terkait kehidupan politik pada masa demokrasi
terpimpin.
D. KEKURANGAN BUKU PEMBANDING
1. Buku pembanding ini tidak terdapat identitas yang jelas sehingga penulis tidak dapat
mengetahui identitas buku pembanding ini resmi.
2. Buku pembanding ini tidak terdapat gambar penunjang disetiap materi penyampaian
didalam buku pembanding.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Peristiwa 30 September 1965 merupakan suatu peristiwa politik yang ditemukan tindak
kekerasan yang merenggut nyawa dan pengambilalihan kekuasaan pemerintahan dengan cara
yang bertentangan dengan hukum, yang mencakup kejahatan terhadap keamanan negara, maka
aspek hukum dari peristiwa 30 September 1965. peristiwa yang tidak sulit dibuktikan. Ada
peristiwa nyata, yakni pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat bersama seorang perwira
pertama ajudan dari Jenderal Abdul Harris Nasution, kematiannya seorang perwira polisi. Akan
tetapi di luar aspek hukum ada tindakan penggulingan kekuasaan rangkaian peristiwa 30
September 1965 merupakan masalah yang membuka tentang beberapa hal yang telah dilakukan
untuk mengatasi tindakan yang bisa dilakukan tindakan kekuasaan dan penggulingan
pemerintahan yang sah, terutama setelah berakhirnya kekuasaan Soeharto pada pengadilan saat
itu . Sepanjang kekuasaan Orde Baru kekuasaan dengan kekuatan PKI diakhir tahun 1965 itu
pada akhirnya melibatkan gerakan mahasiswa untuk menguasai presiden Soekarno dan memulai
naiknya Jenderal Soeharto dengan dukungan mahasiswa dan seluruh anti Soekarno dan anti PKI.
Dalam situasi tersebut, gerakan mahasiswa yang didirikan oleh kekuatan-kekuatan politik massa,
serta dilindungi Angkatan Darat. Pada awalnya dipilih bukan untuk mengganti presiden
Soekarno, justru yang menjadi utama adalah agar presiden segera membubarkan PKI dan
organisasi massa pendukungnya. Tetapi bagi pembubaran PKI Presiden Soekarno merupakan
masalah yang rumit secara pribadi dan sebagai Presiden pada waktu itu.
Ketika Supersemar muncul dalam proses perubahan kekuasaan dari latar belakang situasi
yang khas dan dengan cara yang khas pula. Dalam suatu kebetulan, baik kelompok 1966 maupun
kelompok tiga Jenderal sama-sama menjalankan peran signifikan dalam proses perubahan
kekuasaan di tahun 1966 itu, melalui dua nuansa, motivasi dan tujuan-tujuan yang idealistik, dan
tiga Jenderal berperan dalam titik awal kekuasaan kekuasaan yang sangat praktis. Ketika
Soeharto diangkat menjadi panglima Mandala 23 Januari 1962, sudah dengan pangkat Walikota
Jenderal per 1 Januari tahun itu juga, Brigadir Jenderal Jusuf adalah panglima kodam
hasanuddin. Pada yang sama, Soeharto juga diangkat sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur
menggantikan Mayjen Ahmad Yani. Meskipun sama-sama berkedudukan di Makasar, Soeharto
dan Jusuf tidak banyak memiliki keterkaitan hubungan kerja langsung. Sebagai panglima
mandala, konsentrasi Soeharto adalah pelaksanaan Trikora untuk Irian Barat, sementara sebagai
panglima hasanudin, Jusuf ditugaskan untuk menumpas DI-TII pimpinan Kahar Muzakkar
dengan catatan jangan sampai masalah DI-TII itu mengganggu tugas-tugas Komando mandala.
Persentase antara Soeharto dan Jusuf terjadi empat hari setelah peristiwa 30 September,
sepulangnya Jusuf dari Peking. Jusuf pada akhir September 1965 dalam delegasi besar Indonesia
yang menghadiri acara 1 Oktober, berbeda dengan umumnya anggota kelompok termasuk
Waperdam III Chaerul Saleh. Mayor Jenderal Basoeki Rachmat adalah yang paling senior dari
trio Jenderal 11 Maret ini. Saat peristiwa terjadi ia adalah panglima divisi Brawijaya. Hanya
beberapa jam sebelum para jenderal diculik dini hari 1 Oktober, Basoeki Rachmat bertemu
dengan Letnan Jenderal Ahmad Yani di kediaman Jalan Lembang. Ia adalah perwira tertinggi
pangkatnya yang teakhir bertemu Ynai dalam keadaan hidup.

B. SARAN
Buku ini sangat penulis sarankan bisa menjadi sumber referensi bahan bacaan
pembelajaran bagi perkembangan kondisi sosial politik kontemporer Indonesia. Jika dikaji
dengan situasi Indonesia modern, kondisi 1965-1966 masih tetap relevan untuk dijadikan sebagai
bahan pembelajaran.Buku ini bisa menjadi salah satu referensi menarik bagi peminat kondisi
sosial politik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Ricu Sidiq. (2022). Modul Sejarah Indonesia. Medan: Universitas Indonesia.

Rum Aly. (2006). Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 Mitos dan Dilema: Mahasiswa
dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970. Jakarta: KATA HASTA
PUSTAKA.
DAFTAR LAMPIRAN
BUKU UTAMA

BUKU PEMBANDING

Anda mungkin juga menyukai