Anda di halaman 1dari 100

PERANAN MOCHTAR LUBIS

DALAM PERKEMBANGAN PERS INDONESIA

( Studi Kasus Harian Indonesia Raya Mengungkap Korupsi

Masa Awal Orde Baru 1966-1974)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum.)

Oleh

NENENG KURNIAWATI
NIM: 102022024376

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429H / 2008M

i
PERANAN MOCHTAR LUBIS

DALAM PERKEMBANGAN PERS INDONESIA

( Studi Kasus Harian Indonesia Raya Mengungkap Korupsi

Masa Awal Orde Baru 1966-1974)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora

Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum.)

Oleh:

NENENG KURNIAWATI
NIM: 102022024376

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing,

Drs. H. D. Sirojuddin AR, M. Ag


NIP: 150 234 057

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429H / 2008M

ii
ABSTRAKSI

Skripsi ini bermaksud membahas peranan pers, khususnya upaya

seorang wartawan yaitu Mochtar Lubis dalam mengungkap kasus-kasus korupsi

pada masa awal Orde Baru. Skripsi ini membahas tiga permasalahan utama,

Pertama, apa pandangan Mochtar Lubis terhadap korupsi? Kedua, mengapa

Mochtar Lubis mengungkap korupsi? Ketiga, bagaimana peranan Mochatar Lubis

dalam mengungkap kasus korupsi masa awal Orde Baru 1966-1974.

Perubahan situasi politik setelah tumbangnya Orde Lama dan munculnya

Orde Baru telah membawa suasana baru dalam kehidupan pers di Indonesia.

Kebebasan pers telah mendapatkan tempatnya tersendiri pada masa Awal Orde

Baru, kekangan pada periode sebelumnya telah membawa kemenangan kebebasan

pers pada masa awal Orde Baru. Sehingga pers-pers baru dan pers yang pernah

dibredel pada masa Orde Lama bermunculan kembali, salah satunya Harian

Indonesia Raya, yang merupakan harian terunik karena sifatnya yang khas dan

gencar mengungkap kasus-kasus korupsi pada masa Awal Orde Baru. Hal ini

tidak terlepas dari peranan Mochtar Lubis sebagai pemimpin redaksi harian

tersebut.

iii
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan nikmat Iman dan Islam. Salawat serta Salam semoga selalu tercurah

kepada nabi akhir zaman nabi Muhamad SAW, yang telah membawa umatnya

dari zaman kejahiliyahan hingga zaman yang penuh ilmu dan pencerahan.

Setelah berupaya dengan segala kemampuan, akhirnya penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “PERANAN MOCHTAR LUBIS DALAM

PERKEMBANGAN PERS INDONESIA (Studi Kasus Harian Indonesia

Raya Mengungkap Korupsi Masa Awal Orde Baru 1966-1974)” sebagai

persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora pada program studi

Sejarah Peradaban Islam.

Berbagai kesulitan dan hambatan penulis temui dalam mencari sumber

pustaka, namun banyak pengalaman yang penulis dapat dari kesulitan dan

hambatan tersebut. Alhamdulillah hal tersebut dapat teratasi berkat bimbingan-

Nya dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis

ingin menyampaikan ungkapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Dr. H. Abdul Chair, MA. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora.

2. Drs. H. Ma’ruf Misbah, MA, dan Bapak Usep Abdul Matin, S. Ag., MA.,

MA. Masing-masing sebagai Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Sejarah

Peradaban Islam.

3. Drs. H. D. Sirojuddin AR, M. Ag. Pembimbing skripsi yang sangat baik

dan bersahabat dalam membimbing dan mengarahkan penulis hingga

karya tulis ini selesai.

iv
4. Drs. H. Azhar Saleh, MA. Selaku pembimbing akademik yang telah

membantu dalam pengajuan judul skripsi ini sehingga dapat disusun dan

diselesaikan dengan baik.

5. Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan bekal ilmu dan

pengetahuan yang sangat bermanfaat kepada penulis sehingga mudah-

mudahan nanti dapat diamalkan dan berguna bagi agama, nusa dan bangsa.

6. Untuk seluruh teman-teman terbaik di SPI 2002 yang selalu memberi

kesan tersendiri di hati penulis, Tim kreatif SKETSA “Berlayarlah dan

arungi samudera cita-citamu, senja itu sudah berganti awan biru, smoga,

temukanlah pelabuhan terbaikmu, kita hanya manusia biasa yang tak akan

mengerti makna sesungguhnya rasa itu.” Dan semua adik-adik di Fakultas

Adab dan Humaniora yang telah menjadi teman yang baik ketika penulis

mengejar mata kuliah yang tertinggal, terima kasih atas “spirit”nya, sukses

dan pantang mundur.!!!

7. Untuk ibu dan Bapak (alm) tercinta, terima kasih atas semua cinta yang

kau beri. Suami tersayang, kamu adalah salah satu anugerah terbaik yang

diberi Allah SWT untuk mendampingi penulis. Anak-anakku tercinta,

terkasih dan tersayang Chaliph Ramaditya Akbar dan janin 3 bulan yang

kukandung, kalian akan selalu menjadi inspirasi, sumber kekuatan dan

motivator terbaik bagi penulis untuk menjalani hidup dengan tegar.

Kakak-kakakku yang selalu percaya dan memberikan dukungan kepada

penulis untuk menyelesaikan kuliah, terima kasih yang tak terhingga

v
semoga Allah senantiasa menerangi jalan hidup kita, menjadi muslim yang

dicintai Allah SWT dan selalu mengharmoniskan silaturahim kita,

InsyaAllah.!

8. Seluruh staf akademik di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan yang baik.

Kepada semua pihak, semoga bantuan dan dukungan yang telah diberikan

dapat dinilai sebagai amal ibadah di hadapan Allah SWT, amien.

Ciputat, 28 Februari 2008

Penulis

vi
DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI .................................................................................................. i

KATA PENGANTAR.................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. v

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah......................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................... 10

D. Metode Penelitian .................................................................. 11

E. Landasan Teoritis................................................................... 15

F. Survei Pustaka ....................................................................... 19

G. Sistematika Penulisan ............................................................ 20

BAB II RIWAYAT HIDUP MOCHTAR LUBIS.................................. 22

A...........................................................................................Bio

grafi ....................................................................................... 22

B...........................................................................................Per

jalanan Karir .......................................................................... 24

1. .....................................................................................Akt

ivitas Dalam Harian IR Pada Masa ORLA........................ 28

vii
2. .....................................................................................Akt

ivitas Dalam Harian IR Pada Masa ORBA........................ 38

BAB III PERKEMBANGAN PERS INDONESIA DI AWAL ORDE

BARU 1966-1974 ....................................................................... 47

A...........................................................................................Tin

jauan Historis......................................................................... 47

B...........................................................................................Per

kembangan Pers Indonesia Di Awal Orde Baru...................... 53

1. .....................................................................................Per

ubahan Peta Ideologis Pers............................................... 55

2. .....................................................................................Ke

bijakan Dan Kebebasan Pers Di Awal Orde Baru ............. 58

BAB IV MOCHTAR LUBIS MENGUNGKAP KASUS-KASUS

KORUPSI DI AWAL ORDE BARU ........................................ 63

A. Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani Kasus Korupsi Di

Indonesi ................................................................................. 63

1. Tim Pemberantasan Korupsi (TPK).................................. 63

2. Tim-tim Anti Korupsi Lainnya ......................................... 66

3. UU Anti Korupsi Dan UU Pertamina ............................... 69

B. Mochtar Lubis Dalam Harian IR Mengungkap Kasus-kasus

Korupsi 1966-1974 ................................................................ 70

1. Kasus Korupsi Coopa Dan Ciba ....................................... 70

viii
2. Kasus Korupsi Pertamina ................................................. 73

3. Kasus-kasus Korupsi Lain................................................ 78

C. Kekecewaan Mochtar Lubis................................................... 81

BAB V PENUTUP.................................................................................. 85

A. Kesimpulan............................................................................ 85

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pers atau surat kabar dalam jajaran media massa modern (radio,

televisi, film) merupakan media komunikasi tertua yang dikenal dalam

sejarah. Asal usul atau tempat lahirnya mula-mula dari Eropa Barat, kemudian

berkembang pesat di belahan bumi Barat pada umumnya sejalan dengan

perkembangan ekonomi-industri, ilmu pengetahuan dan teknologi.1 Sebagai

media informasi, pers bertugas memberikan informasi untuk kepentingan

masyarakat, di samping itu fungsi dan peranan pers di dalam masyarakat

berperan sebagai alat pendidikan, alat kontrol sosial, alat penyalur dan

pembentuk pendapat umum. Bahkan dapat berperan aktif dalam peningkatan

kesadaran politik rakyat dan dalam penegakkan disiplin nasional. 2 Peranan

pers dalam memberikan informasi tidak terlepas dengan kondisi sosial-politik-

ekonomi pada masa pers itu berada, di antaranya informasi yang terkait

dengan korupsi.3

1
T. Atmadi, ed., Bunga Rampai Sistem Pers Indonesia (Jakarta: PT Pantja Simpati
Jakarta, 1985), h. 353.
2
Ibid., h. 354.
3
Lihat Onghokham, “Tradisi dan Korupsi”, dalam Mochtar Lubis dan James Scoot,
Bunga Rampai Korupsi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), h. 115—116. Kata korupsi
berasal dari bahasa latin tua yaitu corrumpere kemudian berkembang menjadi corruptio atau
corruptus, lalu berkembang ke dalam bahasa-bahasa Eropa seperti corruption (Francis).
corrupt/Corruption (Inggris), corruptie/korruptie (Belanda), yang berarti kebusukan, keburukan,
kejahatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-
kata/ucapan menghina. Lihat Andi Hamzah, Korupsi Di Indonesia Masalah dan Pemecahannya
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 7.

x
Informasi awal mengenai kasus korupsi di Indonesia pasca

kemerdekaan telah muncul sejak tahun 1950-an yaitu pada masa kabinet Ali

Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955). Menurut Herbert Feith, pada masa itu

korupsi kecil-kecilan yang dilakukan oleh pegawai rendahan yang disebabkan

oleh kecilnya gaji pegawai negeri sudah mewarnai kehidupan birokrasi.

Herbert Feith juga mengemukakan bahwa selama periode kabinet Ali

Sastroamidjojo I volume korupsi meningkat secara drastis.4 Faktor inflasi

yang tinggi dan jumlah gaji yang tidak memadai menjadi faktor dominan

penyebab terjadinya korupsi di birokrasi pemerintah.

Pada waktu itu yang terjadi bukan hanya korupsi yang berskala kecil

namun praktek-praktek korupsi yang berskala besar pun sudah marak.

Fenomena pembelian bungalow di wilayah puncak sudah menjadi fenomena

tersendiri oleh para pejabat tinggi pemerintah. Kemudian kabinet Ali

Sastroamidjojo I mengundurkan diri lalu digantikan oleh kabinet

Boerhanuddin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956) yang merupakan tokoh

Masyumi.

Pada masa kabinet Burhanuddin Harahap telah mulai ada upaya

penyusunan undang-undang anti-korupsi dan tindakan pemberantasan

korupsi.5 Pada masa itu banyak pejabat kabinet yang ditangkap khususnya dari

Partai Nasional Indonesia (PNI) Mr.Iskaq Tjokrodisudirjo mantan Menteri

Perekonomian dan beberapa partai lainnya, seperti penahanan terhadap

4
Herbert Feith. 1962, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca and
London: Cornell University Press, 1976), h. 406.
5
Badaruzzaman Busyairi, Boerhanoeddin Harahap Pilar Demokrasi (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1989), h.55.

xi
mantan Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo dari Partai Rakyat Nasional

(PRN), yang menjabat pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo I, tindakan

pemerintah Boerhanuddin Harahap ini adalah murni untuk memberantas

korupsi yang tidak memandang bulu, pemerintah tetap berlaku obyektif dan

penuh hati-hati, tidak asal tangkap.6

Pada masa kabinet selanjutnya yaitu kabinet Ali Sastroamidjojo II

telah muncul juga kasus korupsi yang melibatkan anggota kabinet Ali

Sastroamidjojo I, di antaranya adalah kasus korupsi Ir, Han Swie Tik dan Lie

Hok Thay yang merupakan pegawai Percetakan Negara, Lukman Wiriadinata

dari PSI dan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdul Gani termasuk pejabat yang

ditangkap. Pada masa itu upaya untuk menyelesaikan undang-undang anti-

korupsi terus berlangsung. Upaya pemberantasan korupsi juga mendapat

dukungan dari pers di antaranya oleh dua harian terkemuka pada masa itu,

yaitu harian Indonesia Raya (IR) yang dipimpin oleh Mochtar Lubis dan

harian Pedoman yang dipimpin oleh Rosihan Anwar.7

Periode Demokrasi Terpimpin umumnya dikatakan orang sebagai

periode terburuk bagi sejarah perkembangan pers di Indonesia. Hal ini bisa

dimaklumi karena persepsi, sikap dan perlakuan penguasa terhadap pers

Indonesia telah melampui batas-batas toleransi. Penguasa Demokrasi

Terpimpin memandang pers semata-mata dari sudut kemampuannya dalam

memobilisasi massa dan opini publik, hal ini terlihat dalam sikap politik

Soekarno yang kerap kali memandang partai politik yang ada sebagai basis
6
Ibid. Sikapnya itu disampaikannya dihadapan para anggota DPR yang bersidang khusus
masalah penahanan itu pada tanggal 14 Oktober 1955.
7
Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, h. 427.

xii
kekuatan pendukung kebijakannya sehingga pers yang ada sebisa mungkin

harus merupakan pers yang mendukung dan mensosialisasikan kebijakan-

kebijakan politiknya untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya,

sedangkan pers yang berada dalam pihak oposisi dibatasi bahkan dibredel

keberadannya agar tidak membahayakan opini publik tentang pemerintah. Pers

dianggap sebagai alat “revolusi” yang besar pengaruhnya untuk

menggerakkan atau meradikalisasi massa untuk menyelesaikan sebuah

revolusi. Pandangan ini dapat dilihat pada bagian pendahuluan dari Pedoman

Penguasa Perang Tertinggi, 12 Oktober 1960 untuk pers Indonesia.8

Oleh karena itu, rezim Demokrasi Terpimpin merasa perlu menguasai

pers, yang dalam praktek bukannya untuk memperbaiki kehidupan sosial,

ekonomi dan politik masyarakat, tetapi untuk revolusi kekuasaan rezim itu

sendiri.9 Menurut Ashadi Siregar sejak periode inilah dimulai era lisensi untuk

dunia penerbitan pers Indonesia, dengan kata lain dimulailah tradisi regulasi

atas pers Indonesia.

Pada masa Orde Lama isu korupsi hampir tenggelam seiring dengan

gelora revolusi yang disuarakan oleh Soekarno. Pada kondisi ini bukan berarti

korupsi tidak ada pada masa Orde Lama, gejala inflasi yang tinggi, dominasi

militer dalam bisnis dan ekonomi negara, serta peranan Soekarno yang sangat

mencampuri bidang ekonomi, menjadi peluang munculnya potensi korupsi.

8
Bunyi Pedoman tersebut adalah: “Sebagaimana kita semua telah memaklumi, surat
kabar dan majalah adalah merupakan alat publikasi yang dapat dipergunakan untuk mempengaruhi
pendapat umum. Oleh karena itu, maka surat kabar dan majalah tersebut dapat dipergunakan
sebagai alat penggerak massa untuk menyelesaikan revolusi Indonesia menuju pada masyarakat
adil dan makmur.” ( dalam Abdurrahman Surjomiharjo, ed., 1980:307.) Akhmad Zaini Abar,
Kisah Pers Indonesia 1966-1974 ( Jakarta: LKiS, 1995), h. 60.
9
Ibid, h. 60.

xiii
Selain itu, kondisi pers yang mendapat tekanan dalam menyuarakan isu

korupsi dan penyimpangan telah memburamkan gambaran mengenai korupsi

pada masa Orde Lama.10 Pernah tercatat beberapa kasus korupsi yang terjadi

pada masa Orde Lama yang sempat dibawa ke pengadilan seperti kasus

korupsi Teuku Yusuf Muda Dalam, yang merupakan Gubernur Bank Sentral

sekaligus anggota kabinet pada tahun 1963 dengan sebutan Menteri Urusan

Bank Sentral.11

Kondisi tersebut mengalami perubahan ketika munculnya masa awal

Orde Baru, pada periode awal kebangkitannya, persepsi, sikap dan perlakuan

penguasa Orde Baru terhadap pers, terutama pers non / anti komunis, telah

berubah secara berarti, penguasa memandang dan memperlakukan pers non /

anti komunis sebagai partner of power-nya untuk “mengganyang” PKI dan

simpatisan-simpatisannya dan kemudian untuk meruntuhkan kekuasaan

Soekarno. Hubungan antara penguasa Orde Baru dengan pers pada tahun-

tahun pertama ini diistilahkan sebagai “bulan madu” oleh Mochtar Lubis. 12

Pada masa awal Orde Baru keinginan untuk memerangi korupsi menjadi

sebuah fenomena suatu gerakan, yaitu gerakan untuk memerangi korupsi atau

tuntutan masyarakat kepada pemerintah agar memberantas korupsi. Gerakan

ini lebih dikenal dengan istilah gerakan anti-korupsi (GAK). GAK adalah

sebuah fenomena yang terjadi pada masa awal Orde Baru, yang banyak

dimotori oleh aksi gerakan mahasiswa pada waktu itu. Aksi-aksi GAK banyak

10
M. Dawam Rahardjo, ‘Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) Kajian Konseptual dan
Sosio-Kultural” dalam Edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti, ed., Menyingkap Korupsi,
kolusi dan Nepotisme di Indonesia (Jakarta: Aditya Media, 1999), h. 30.
11
M. Dawam Rahardjo, (et.al.) Bank Indonesia dalam Kisaran Sejarah Bangsa (Jakarta:
LP3ES, 1995), h. 114.
12
Abar, Kisah Pers di Indonesia 1966-1974, h. 65.

xiv
dilakukan di wilayah Jakarta dan Bandung, terutama sepanjang tahun 1970.

Nama-nama aksinya di antaranya adalah Forum Kita Ingin Tahu, Mahasiswa

Menggugat (MM), Bandung Bergerak (BB), dan Komite Anti-Korupsi

(KAK).13 Selain itu, di Jogjakarta terdapat aksi serupa yang bernama Pemuda

Bergerak, di Medan ada juga aksi-aksi pelajar dan mahasiswa yang bernama

Aksi Generasi Muda 70.14

Kondisi politik pada masa awal Orde Baru, pers dikondisikan untuk

bersemi dengan mengangkat slogan “kebebasan pers”. Pers masa awal Orde

Baru memiliki model pers yang populis dan kritis.15 Pers pada masa itu

sedang mengalami “euphoria” kebebasan, sebab pada masa sebelumnya yaitu

pada masa Orde Lama, pers banyak mengalami hambatan dan pembatasan

termasuk di antaranya adalah pembredelan. Pada masa awal Orde Baru

banyak surat kabar yang sebelumnya sempat dibredel,16 diberi ijin terbit

kembali di antaranya adalah harian Nusantara (Maret 1967), Indonesia Raya

(Oktober 1968), Pedoman (November 1968) dan Abadi (Desember 1968).17

13
BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), Strategi Pemberantasan
Korupsi Nasional (Jakarta: Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawasan BPKP, 1999), h.318.
14
Harian Indonesia Raya, 22 Januari 1970.
15
Sikap populis dan kritis pers Indonesia baru muncul pada masa akhir pemerintahan
Soekarno yang sedang mengalami krisis kepemimpinan, pers pada waktu itu sudah tidak lagi setia
terhadap konsep-konsep politik Soekarno, pers lebih objektif dan kritis terhadap Soekarno.
Populisme dan sikap kritis pers mulai meningkat pada tahun 1967, terutama terhadap hal yang
terkait dengan kritik dan kecaman mengenai korupsi dan dukungan kritis terhadap pemerintah
Orde Baru, Lihat Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974, h. 77-88.
16
Istilah “bredel” berasal dari kata Belanda yaitu breidelen yang artinya
kekangan/mengekang, lihat S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia (Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve: Jakarta, 2000), hlm. 106. Peraturan mengenai pembredelan pers mulai ada ketika
Gubernur Jendral Hindia Belanda pada tanggal 7 September 1931 mengeluarkan peraturan yang
disebut Persbreidel Ordonanntie, yang bertujuan untuk melarang terbitan yang dianggap
mengganggu ketertiban umum. Ignatius Haryanto, Pembredelan Pers di Indonesia: Kasus Koran
Indonesia Raya (Jakarta: LSPP, 1995), h. 41.
17
Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974, h. 56.

xv
Salah satu harian yang gencar dalam upaya mengungkap berbagai

kasus korupsi pada masa awal Orde Baru adalah IR ( Indonesia Raya ) harian

ini bisa dikatakan sebagai harian nasional yang sangat unik. Keunikannya di

antaranya adalah sering dibredelnya harian ini karena sikapnya yang sangat

kritis terhadap pemerintah. Menurut Atmakusumah,18 IR dikatakan sebagai

harian yang kontroversial, dalam arti bahwa penyajian berita IR sering

menggunakan bahasa yang populer, tidak memakai perumpamaan, juga

kritiknya yang tajam dan langsung pada permasalahan. Berbagai berita yang

dimunculkan sering mencerminkan karakter atau sikap perjuangan melawan

apa yang dipandang sebagai korupsi, penyalahgunaan kekuasaan,

ketidakadilan, membela penindasan terhadap rakyat kecil dan melawan

ketidakbenaran.

Karakter atau sikap perjuangan IR tidak terlepas dari sosok Mochtar

Lubis yang merupakan pemimpin redaksi dan pemimpin umum IR yang

sangat dominan. Maka wajar saja kalau Mochtar Lubis dijuluki sebagai

personal journalism19 yang selalu bertindak pada apa yang ia anggap benar.

Sehingga Mochtar Lubis pernah masuk penjara, pada masa pemerintahan

Soekarno maupun pemerintahan Soeharto. Peranan IR dalam upaya

mengungkap kasus korupsi yang terjadi di lembaga pemerintahan, pada masa

awal Orde Baru (1968-1974), cukup mendapat perhatian dari masyarakat luas,

18
Beliau adalah mantan Redaktur Dalam Negeri dan Redaktur Pelaksana IR pada periode
kedua (1968-1974).
19
Menurut Atmakusumah personal journalism yaitu jurnalisme yang tampil secara
signifikan di muka umum dengan suara dan sikap yang seirama dengan pikiran, pandangan dan
idealisme pemimpin redaksinya. Lihat juga Atmakusumah, ed., “Mochtar Lubis dan Indonesia
Raya” dalam Mochtar Lubis Wartawan Jihad (Jakarta: KOMPAS, 1992), h. 22.

xvi
terutama terhadap kasus korupsi yang terjadi di perusahaan-perusahaan

negara. Beberapa kasus korupsi yang pernah diungkap oleh IR selama tahun

1968 sampai 1974 antara lain adalah kasus Bulog, Pertamina, Coopa,

Mantrust, Ciba, Bea Cukai (penyelundupan), LST, Al-Ichlas, PN Jiwasraya,

PN Pusri, PN Telekomunikasi dan lain-lain. Selain itu, ada beberapa kasus-

kasus swasta yang sempat menjadi sorotan Mochtar Lubis seperti kasus Hotel

Indonesia, PT Kapok, PT Bluntas,20 Mexim dan lain-lain.

Sorotan Mochtar Lubis terhadap upaya mengungkap korupsi di

lembaga pemerintah mendapat reaksi dari pemerintah, terutama dari kalangan

ABRI yang merasa dipojokkan karena banyak anggota-anggota ABRI yang

menjadi sasaran pemberitaan IR, antara lain Jenderal Ibnu Sutowo

(Pertamina), Jenderal Achmad Tirtosudiro (Bulog), Jenderal Soerjo (Coopa),

Padang Sudirdjo (Bea dan Cukai) dan lain-lain.21 Reaksi-reaksi tersebut

biasanya disalurkan melalui surat-surat kabar pembawa suara ABRI, di

antaranya adalah harian Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha.

Pemilihan judul Peranan Mochtar Lubis Dalam Perkembangan Pers

Indonesia : Studi Kasus Harian Indonesia Raya Mengungkap Kasus Korupsi

Dimasa Awal Orde Baru, menurut penulis merupakan pilihan judul yang

sesuai dengan permasalahan dalam penelitian. Istilah kata “Peranan” dapat

diartikan sebagai Kontribusi atau pengaruh Mochtar Lubis dalam Harian

Indonesia Raya sebagai pers dalam upaya memberikan informasi mengenai

20
Harian Indonesia Raya, 20 Februari 1969. Pembentukan PT Bluntas merupakan
inisiatif dari Gubernur Bank Sentral Teuku Yusuf Muda Dalam, PT Bluntas terlibat dalam kasus
korupsi senilai 850 juta rupiah yang melibatkan direktur utamanya.
21
Mochtar Lubis, Bangsa Indonesia Masa Lampau, Masa Kini, Masa Depan ( Jakarta:
Yayasan Idayu, 1978), h. 36.

xvii
kasus korupsi kepada masyarakat dan pemerintah, sedangkan kata

“mengungkap” diartikan sebagai pemberitaan yang sumber informasinya

diperoleh dari narasumber non-pemerintah. Kata “mengungkap” dipilih karena

kata-kata tersebut sering digunakan dalam redaksional IR terutama dalam

tajuk-tajuk rencana, walaupun kata “membongkar” juga sering digunakan

namun kata tersebut menurut penulis terlalu bermakna hiperbola (berlebihan).

Sedangkan istilah awal Orde Baru diambil dari konsep empat langkah strategi

Orde Baru,22 yaitu langkah awal Orde Baru tahap pertama, melakukan

sentralisasi atau konsolidasi kekuasaan antara tahun 1966-1974.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalahan

Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian skripsi ini adalah

mengenai peranan Mochtar Lubis dalam harian IR dalam mengungkap kasus

korupsi pada masa awal Orde Baru 1968-1974. Pertanyaan-pertanyaan

penelitian yang diajukan oleh penulis antara lain: Bagaimana latar belakang

kehidupan Mochtar Lubis yang meliputi: keluarga, pendidikan, kepribadian,

serta perjalanan karirnya, Apa pandangannya terhadap korupsi, serta peranan

Mochtar Lubis dalam harian IR dalam mengungkap korupsi. Ketiga

pertanyaan penelitian tersebut merupakan satu kesatuan dalam upaya

memecahkan permasalahan mengenai peranan Mochtar Lubis dalam

mengungkap kasus korupsi pada masa awal Orde Baru. Persepsi atau

22
Empat langkah proses perjalanan Orde Baru terdiri dari: pertama fase
sentralisasi/konsolidasi, kedua fase otonomisasi, ketiga fase personalisasi dan keempat fase
sakralisasi. Lihat Eep Saefullah Fatah, Bangsa Saya Yang Menyebalkan: Catatan Tentang
Kekuasaan Yang Pongah (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1998. Juga dapat dilihat dari tulisan
Francois Raillon Politik dan Idiologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsilidasi orde
baru 1966-1974 (Jakarta: LP3ES, 1988).

xviii
pandangan Mochtar Lubis terhadap korupsi perlu diketahui karena menjadi

nilai yang penting terutama mengenai latar belakang pengalaman pendidikan

dalam mengungkap kasus korupsi sehingga dapat menjawab alasan mengapa

Mochtar Lubis berkeinginan untuk mengungkap korupsi, yang merupakan

landasan dari peranan Mochtar Lubis dalam Harian IR dalam mengungkap

kasus korupsi.

Mochtar Lubis dalam harian IR dipilih sebagai objek penelitian karena

Mochtar Lubis menurut penulis dapat merepresentasikan tokoh pers dan

harian yang gencar mengungkap kasus korupsi, terutama yang pernah

dilakukan Mochtar Lubis dalam mengungkap kasus korupsi di Pertamina. Hal

inilah yang menjadi landasan pemikiran penulis untuk melihat intensitas

pemberitaan korupsi dalam harian IR yang diperankan Mochtar Lubis pada

masa awal Orde Baru. Pembatasan berita-berita pengungkapan kasus korupsi

yang dilakukan Mochtar Lubis dalam harian IR, oleh penulis hanya dibatasi

pada kasus-kasus korupsi yang terkait dengan lembaga pemerintah atau

melibatkan pihak swasta namun masih ada hubungannya dengan lembaga

pemerintah. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa lembaga-lembaga

pemerintah sangat terkait dengan kepentingan umum dan berdampak luas

terhadap masyarakat.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan ini antara lain untuk memperkaya khasanah

literatur studi mengenai pers di Indonesia. Selama ini studi mengenai pers

xix
lebih banyak memakai pendekatan ilmu komunikasi. Menurut penulis belum

banyak peneliti yang memakai pendekatan ilmu sejarah. Meskipun pendekatan

dua disiplin ilmu tersebut memungkinkan untuk bisa dipadukan. Maka dengan

dasar itu penelitian skripsi ini mencoba memadukan dua pendekatan disiplin

ilmu tersebut menjadi sebuah tulisan deskriptif-analisis. Agar bisa

mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai gambaran dan analisa

peranan Mochtar Lubis dalam harian IR terhadap upayanya melakukan

pengungkapan kasus korupsi pada masa awal Orde Baru. Penelitian skripsi ini

juga diharapkan dapat bermanfaat bagi kajian sejarah pers yang terdapat di

program Jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode sejarah.23 Pertama adalah tahapan

heuristik, pada tahapan ini penulis mengumpulkan bahan atau sumber-sumber

yang menurut penulis terkait dengan topik penulisan, lalu penulis

mengembangkan pencarian dan mengumpulkan sumber-sumber lainnya. Di

antaranya adalah beberapa buku yang terkait dengan masalah topik korupsi

dan pers. Selain itu, penulis mencoba mencari dan mengumpulkan sumber-

sumber sejaman yaitu seperti harian KOMPAS, dan khususnya IR.

Sebagian besar sumber penelitian ini memakai sumber IR, terutama

terhadap berita-berita dan tajuk-tajuk rencana IR. Penulis juga menyeleksi

tajuk-tajuk rencana IR, khususnya tajuk-tajuk rencana IR yang ditulis oleh


23
Metode Sejarah adalah proses menguji secara kritis peninggalan dan rekaman masa
lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh berbagai macam proses. Lihat karya
Louis Gottschalk, (terj. Nugroho Notosusanto) Mengerti Sejarah (Jakarta: UI Press, 1986), h. 32.

xx
Mochtar Lubis dari tanggal 30 Oktober 1968 sampai 21 Januari 1974. Tajuk-

tajuk rencana Mochtar Lubis dijadikan sumber utama karena jumlah tajuk

rencana yang ditulis oleh Mochtar Lubis pada periode kedua IR sangat

dominan, setidaknya selama periode kedua, dua pertiga dari sekitar 1500 tajuk

rencana IR diisi oleh tulisan-tulisan Mochtar Lubis, selebihnya ditulis oleh

wakil pemimpin redaksi atau redaktur pelaksana IR.

Ciri utama tajuk rencana Mochtar Lubis adalah umumnya pendek-

pendek, pada kalimat-kalimat awal biasanya langsung mengarah pada

permasalahan pokok. Ciri yang paling mudah dikenali adalah adanya tanda

tiga asterik (.*.) di setiap ujung tajuk rencana, bahkan ia juga sering

membubuhkan tanda tangannya. Sumber-sumber tersebut iuga diperkaya

dengan beberapa artikel di IR, beberapa majalah di antaranya majalah Prisma,

Tempo, BIES, ASIAN SURVEY.

Pada tahapan heuristik penulis mengalami hambatan dan kesulitan

terutama mengenai upaya penulis mendapatkan sumber asli yang terkait

dengan dokumen-dokumen bukti kasus korupsi di Pertamina dan Bulog yang

dimiliki secara pribadi oleh Mochtar Lubis karena keberadaannya sudah tidak

diketahui namun penulis masih mendapatkan beberapa cetakan dokumen-

dokumen tersebut yang dimuat di beberapa edisi IR. Selain itu, penulis juga

tidak sempat mewawancarai Mochtar Lubis sebagai tokoh utama IR karena ia

sudah meninggal pada bulan April 2004.

Kedua, pada tahapan ini penulis melakukan kritik, tahapan kritik

terbagi dua proses yaitu kritik interen dan eksteren. Kritik interen dapat

xxi
dilakukan dengan cara melakukan perbandingan (uji silang) dari beberapa

sumber yang ditemukan penulis seperti buku dan karya-karya tulis lainnya.

Sebagai contoh buku yang berjudul Pertamina: Perusahaan Minyak Nasional

karya Anderson G. Bartlett III (et.al.). Karya skripsi Fakultas Sastra

Universitas Indonesia Karya Djoko Prasetyo yang berjudul "Perkembangan

Perusahaan Tambang Minyak dan Gas Bumi (Pertamina): Isu-isu Korupsi."

Pada buku dan karya skripsi itu berisi kutipan tanggal, bulan dan tahun

kemunculan harian IR periode kedua. Menurut buku Anderson G. Bartlett III

(et.al.), tanggal 29 Oktober 1968 adalah tanggal pertama terbitnya harian IR

pada periode kedua. Menurut karya Djoko Prasetyo adalah tanggal 29 Oktober

1969. Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis terhadap lembaran edisi

perdana periode kedua IR. ternyata penulis menemukan data lain, bahwa

tanggal pertama atau edisi perdana IR pada kemunculannya yang kedua adalah

tanggal 30 Oktober 1968, bukan 29 Oktober 1968 ataupun 29 Oktober 1969.

Kritik interen harus diperkuat dengan melakukan kritik ekstern. Tujuannya

adalah untuk memastikan sumber tersebut asli atau tidak asli, sehingga dapat

dijadikan pertimbangan sebagai sumber penelitian.

Ketiga, adalah tahapan interpretasi, pada tahapan ini penulis

melakukan interpretasi dari berbagai data telah ditemukan dan sudah dikritik

oleh penulis (fakta). Pada tahapan interpretasi ini penulis akan menggunakan

analisis, yaitu mengurai beberapa sejumlah fakta dari sumber-sumber yang

ada. Pada penelitian ini penulis menempatkan isi berita dan isi tajuk rencana

sebagai sumber analisis. Analisis isi berita dan isi tajuk rencana merupakan

hal penting karena dengan melakukan analisis berita-berita korupsi maka

xxii
dapat terlihat kuantitas dan kualitas pemberitaan (news) harian IR terhadap

masalah kasus korupsi pada masa awal Orde Baru. Sedangkan analisis isi

tajuk rencana sangat membantu penulis dalam memahami pandangan-

pandangan (view), opini dan motivasi Mochtar Lubis terhadap masalah kasus

korupsi. Selan itu, tajuk rencana bisa dikatakan sebagai jiwa dalam sebuah

surat kabar yang merupakan karakter dan falsafah surat kabar. Falsafah sebuah

surat kabar erat dengan cita-cita, refleksi, sikap, serta pandangan para

pengasuhnya, termasuk di dalamnya pemimpin umum dan pemimpin

redaksinya (Mochtar Lubis). Memahami pandangan Mochtar Lubis terhadap

masalah korupsi penting artinya sebab biasanya pandangan pers identik

terhadap persoalan atau kondisi zaman, dalam hal ini persoalan maraknya

korupsi pada masa awal Orde Baru. Bahkan Sartono Kartodirdjo memiliki

istilah sendiri terhadap pandangan pers terhadap kondisi zamanya, yaitu

dengan istilah menti-fakta.24 Menti-fakta dapat diartikan sebagai fakta yang

lebih bersifat mental, sebab merupakan sebuah sikap, pendirian dan juga

pandangan individu atau kelompok dalam memaknai realitas sosial yang ada

pada masanya. Pengertian menti-fakta tidaklah sama dengan istilah fakta

secara umum, sebab menti-fakta merupakan konstruksi mental sedangkan

fakta adalah bukti-bukti dari realitas sosial.

Keempat, tahapan historiografi (penulisan), pada tahapan ini penulis

merangkai fakta-fakta yang dianalisis, dari berbagai sumber baik primer

maupun sekunder menjadi sebuah tulisan. Untuk merangkainya menjadi

sebuah karya tulisan sejarah yang baik maka penulis perlu memakai sistem

24
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu
Alternatif (Jakarta: PTGramedia, 1982), h. 115-116.

xxiii
penulisan. Sistem penulisan dalam penelitian ini menggunakan sistem

penulisan deskriptif-analisis yaitu penulis akan mencoba menggambarkan dan

menganalisis rangkaian-rangkain peristiwa yang terkait dengan peranan

Mochtar Lubis dalam harian IR dalam mengungkap kasus korupsi pada masa

awal Orde Baru.

E. Landasan Teoritis

Mengkaji tentang pers dalam suatu negara atau tepatnya pers dan

politik terutama di Indonesia memiliki sejarah perkembangan yang sangat

panjang. Untuk melihat serta mengetahui dinamika pers di Indonesia dari

masa dahulu hingga kini dalam tingkat tertentu masih terasa pengaruhnya.

Kedudukan pers dalam satu Negara sangat penting, karena pers sebagai media

informasi sangat dibutuhkan dalam suatu masyarakat. Karena itu H. G Wells

pernah mengatakan bahwa suatu ketika kerajaan Romawi tidak lagi mampu

menahan penderitaannya karena tidak ada surat kabar, yang dapat

memberitahukan berapa biaya hidup orang-orang di pusat Kerajaan itu.25

Tidak ada lagi alat yang teruji dapat membuat suasana menjadi transparan

seperti apa yang dikehendaki rakyat yang dipimpinnya, kecuali pers.

Karena begitu pentingnya pers pers terutama dalam usaha membangun

peradaban suatu bangsa, James Russel Wiggin, seorang redaktur utama The

St. Paul Pioneer Press dan terakhir sebagai pemimpin redaksi The Washington

Post, pernah menegaskan bahwa perdaban itu tidak dapat muncul jika tidak

ada fasilitas bagi penyebaran berita. Peradaban islam di Baghdad, perdaban

25
Asep Saepul Muhtadi, Jurnalistik (Pendekatan Teori dan Praktek), Jakarta: Logos,
1999, h. 5.

xxiv
Mesir kuno, peradaban Arya di sepanjang sungai Indus India dan lain

sebagainya, berkembang karena didukung oleh fasilitas bagi penyebaran berita

khususnya tentang ilmu dan kebudayaan yang dikembangkan.26 Tanpa berita,

masyarakat akan kekurangan rasa persamaannya. Persamaan hak dan

kewajiban, persamaan status, fungsi dan perannya sebagai manusia. Melalui

media masyarakat dapat menikmati keterbukaan dan demokratisasi.

Lebih dari pada itu, apa yang membuat pers berkuasa sehingga

memiliki kekuatan dalam membangun peradaban masyarakat, sesungguhnya

terletak pada kekuatan efek informasi yang disebarkannya lewat pesan-pesan

yang sangat persuasife diterima publik. McLuhan lewat teorinya yang disebut”

teori perpanjangan tangan alat indera” menyatakan bahwa media merupakan

perluasan dari alat indera manusia. Pers memiliki beberapa fungsi27 dii

antaranya:

1. Fungsi Menyiarkan Informasi : Pers berfungsi melayani kebutuhan

masyarakat akan informasi, khalayak perlu mendapatkan kabar tentang

segala sesuatu yang berkembang, baik tentang peristiwa besar maupun

kecil, gagasan dan pemikiran orang yang sedang ramai dibicarakan.

2. Fungsi Mendidik : Media tenyata memiliki kekuatan raksasa dalam

mempengaruhi sekaligus mengubah pola pikir, perilaku dan sikap perilaku

publik.

3. Fungsi Menghibur : Dalam surat kabar biasanya dimuat cerita pendek,

cerita bersambung, teka-teki silang, karikatur, dan berita-berita bergambar.

26
Ibid.
27
Ibid., h. 28.

xxv
4. Fungsi Mempengaruhi : Pers mencoba menguasai pendapat umum melalui

rangkaian huruf-huruf yang tercetak rapi, kartun dan karikatur, serta

gambar-gambar yang sarat akan makna. Dengan pers orang dapat dengan

mudah mengatur kesan, membentuk opini, inilah fungsi yang paling

penting yang berperan dalam masyarakat. Karena kekuatan ini pula

Napoleon pernah mengatakan dalam masa jayanya bahwa ia lebih takut

kepada empat surat kabar yang terbit pada masa pemerintahannya dari

pada seratus serdadu dengan senjata terhunus.

Tiap struktur politik dalam suatu Negara besar pengaruhnya terhadap

kedudukan dan kebebasan pers di Negara yang bersangkutan. Siebert,

Peterson dan Schrammdalambukunya yang terkenal Four Theories of The

Press, menyatakan bahwa kedudukan pers dalam berbagai Negara di dunia

dapat dibagai dalam empat golongan28 yaitu :

1. Pers dalam Negara Otoriter : Tugasnya adalah untuk mendukung dan

membantu politik pemerintah yang berkuasa dan untuk mengabdi kepada

Negara. Kritik terhadap alat-alat Negara dan penguasa dilarang.

2. Pers dalam Negara Libertarian : Bertujuan untuk melakukan pengawasan

terhadap tindak tanduk pemerintah, namun pers dalam negara ini tidak

leluasa untuk memfitnah, menyiarkan tulisan cabul, atau untuk menghasut.

3. Pers dengan tanggung jawab sosial adalah forum untuk mendiskusikan

berbagai masalah dalam rangka tanggung jawab terhadap masyarakat.

4. Pers dalamnegara Totaliter Komunis : dimiliki oleh Negara dan

tujuannnya adalah untuk mensukseskan dan melestarikan sistem sosialis

28
Atmadi, ed., Bunga Rampai Sistem Pers Indonesia, h.106.

xxvi
Soviet dan terutama kediktatoran partai. Kritik terhadap partai tidak

diperbolehkan.

Di Indonesia sejarah persurat kabaran mengalami pasang surut sesuai

dengan dinamika politik dalam pemerintahan. Pada masa revolusi pers

bersama-sama pemerintahan republik yang baru terbentuk, secara bersama-

sama menyuarakan kemerdekaan disegala penjuru wilayah Indonesia untuk

bersatu padu melawan kolonialisasi penjajah. Pada zaman Orde Lama pers

dijadikan alat oleh pemerintah untuk mendukung berbagai kebijakannya-

kebijakannya, meskipun Soekarno dalam pemerintahaannya menerapkan

sistem Demokrasi Terpimpin, namun pers pada masa itu bisa digambarkan

seperti pers dalam negara totaliter komunis, pers yang berada dalam pihak

oposisi terhadap pemerintah mengalami pembredelan dan wartawannya

dipenjarakan, seperti kasus yang terjadi pada Mochtar Lubis yang dipenjara

selam 9 tahun dan hariannya Indonesia Raya ditutup. Pada zaman Orde Baru

pers pada awal mulanya bersama-sama dengan pemerintah menumbangkan

kekuasan Orde Lama yang dinilai tidak dapat mengatasi kemelut-kemelut

yang terjadi dalam pemerintahan, namun dalam perkembangannya ketika pers

dinilai tidak menguntungkan lagi bagi pemerintah malah condong dinilai

membahayakan kekuasaan Orde Baru, pemerintah memberlakukan kebijakan-

kebijakan yang dinilai lebih kejam dibanding Orde Lama terhadap pers,

melalui ketentuan UU dan tindakan-tindakan penculikan oleh aparat. Sehingga

pers yang ada pada saat itu adalah pers dalam negara otoriter yang bertugas

mendukung segala kebijakan pemerintah dan tidak diperbolehkan melakukan

kritik, maka Mochtar Lubis dan hariannya pada tahun 1974 untuk kedua

kalinya mengalami pemredelan hingga dibatasinya ruang gerak Mochtar Lubis

dalam dunia pers.

xxvii
F. Survei Pustaka

Khasanah kepustakaan di Indonesia telah ada yang membahas

mengenai Mochtar Lubis. Berdasarkan penelusuran literatur yang dilakukan

oleh penulis, yang membahas khusus Mochtar Lubis dalam upayanya

mengungkap kasus korupsi pada masa awal Orde Baru menurut hemat penulis

belum ada. Beberapa literatur yang dimaksud antara lain adalah buku yang

berjudul Mochtar Lubis Wartawan Jihad penyunting Atmakusumah,

Pembredelan Pers Di Indonesia: Kasus Koran Indonesia Raya, karya Ignatius

Haryanto. Selain itu, ada juga karya dari Akhmad Zaini Abar, yang berjudul

Kisah Pers Indonesia 1966-1974. Buku karya yang berjudul Mochtar Lubis

Wartawan Jihad penyunting Atmakusumah merupakan buku yang berisi

Biografi Mochtar Lubis yang memuat perjalanan karir beliau, sedangkan

Ignatius haryanto merupakan studi ilmu Komunikasi yang mengangkat

masalah hubungan pers dengan pemerintah, selama kurun waktu yang pendek

yaitu 1972-1974, sedangkan buku karya Akhmad Zaini Abar lebih

menekankan pada pembahasan umum dari kondisi pers pada masa awal Orde

Baru, yang menggambarkan hubungan “bulan madu” antara pers dan

pemerintah selama kurun waktu 1966-1974.

Selain itu, ada beberapa karya lainnya seperti buku, Beberapa Segi

Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia penyunting Abdurrachman

Soerjomihardjo. Beberapa penulis asing pun pernah menulis diantaranya Henri

Chambert-Loir dengan beberapa judul, Mochtar Lubis: Line Vision de

Indonesia Contemperaine, "Indonesia Raya: Suatu Gambaran Keaktualan"

(terj. LEKNA.S LIPI). David T. Hill juga pernah menulis dalam bentuk karya

tesis doktor dengan judul Mochtar Lubis: Author, Editor and Political Actor

dan lain-lain.

xxviii
G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku Pedoman Penulisan

Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) Disusun oleh Idris Thaha ed., yang

diterbitkan CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

BAB I : Bab ini menjelaskan latar belakang masalah, alasan

pemilihan judul, permasalahan, ruang lingkup permasalahan, tujuan penulisan,

metode penelitian, sistematika penulisan.

BAB II : Bab ini menjelaskan riwayat hidup Mochtar Lubis, yang

mencakup biografi dan perjalanan karir beliau, khususnya dalam harian

Indonesia Raya.

BAB III: Bab ini menjelaskan mengenai sejarah pers di Indonesia

yang mencakup tinjauan historis, perkembangan pers Indonesia dimasa awal

orde baru, perubahan peta ideologi pers dan kebijakan serta kebebasan pers

diawal Orde.

BAB IV: Bab ini menjelaskan mengenai kontribusi dan bagaimana

peranan Mochtar Lubis dalam harian Indonesia Raya dalam mengungkap

kasus-kasus korupsi yang meliputi: kebijakan pemerintah dalam menangani

kasus korupsi, peran Mochtar Lubis dalam IR mengungkap korupsi dan

kekecewaan Mochtar Lubis terhadap pemerintah.

BAB V: Merupakan bab terakhir dari tulisan ini, yang membahas

mengenai kesimpulan. Kesimpulan sangat diperlukan untuk mengetahui

secara umum hasil permasalahan-permasalahan yang diangkat dan

menyatukannya, sehingga akan didapatkan benang merah terhadap

permasalahan penelitian yang diangkat. Pertama jawaban terhadap latar

xxix
belakang atau riwayat hidup Mochtar Lubis, kedua pandangan Mochtar Lubis

terhadap korupsi, ketiga bagaimana peranan Mochtar Lubis dalam

mengungkap kasus korupsi pada harian IR.

xxx
BAB II

RIWAYAT HIDUP MOCHTAR LUBIS

A. Biografi

Mochtar Lubis dilahirkan di Padang pada 7 Maret 1922, ayahnya Raja

Pandapotan Lubis, adalah bangsawan Mandailing yang menjabat asisten

demang di kota kelahiran Mochtar antara tahun 1915 dan 1929,29 ibunya

bernama Siti Madinah Nasution, juga keturunan bangsawan Mandailing yang

merupakan anak dari kepala kuria atau induk kampung di daerah Batak yang

bergelar Mangaraja Sorik Merapi. Mereka tinggal di kota kecil Sungai Penuh,

Mochtar Lubis biasa menggambarkan ayahnya sebagai seorang yang berwatak

keras, pekerja keras, dan berdisiplin, sedangkan ibunya dilukiskan sebagai

seorang wanita yang lembut dan periang. Mochtar adalah anak keenam, atau

anak lelaki ketiga dari sepuluh bersaudara.30

Di Sungai Penuh, Mochtar Lubis mengikuti pendidikan di Sekolah Rakyat

hanya selama setahun, setelah itu ia pindah ke HIS (Hollandsch Inlandsche

School), sekolah dasar berbahasa Belanda yang baru dibuka dikota kecil itu.

Selepas sekolah dasar pada tahun 1935, ayahnya menganjurkan agar

melanjutkan pendidikan ke Sekolah Ekonomi di Kayutanam, Sumatra Barat.

Sekolah ini mengembangkan semangat gerakan nasionalis dan didirikan serta

29
Gelar “raja” dimuka nama ayahnya menunjukkan bahwa ia adalah seorang kepala suku.
Ia berasal dari desa Muara Soro, dekat Kotanopan, Kabupaten Tapanuli Selatan, sekitar 180
kilometer di selatan Padangsidempuan. Pada tahun 1929 ia mendapat kenaikan pangkat sebagai
demang distrik Kerinci, masih di Sumatra Barat, tetapi sekarang menjadi bagian propinsi Jambi.
30
Atmakusumah ed., Mochtar Lubis Wartawan Jihad (Jakarta: PT Gramedia, 1992),
h.48.

xxxi
dipimpin oleh Soetan Mahmoed Latif, seorang pendidik lulusan sekolah

Tinggi Pertanian di Wageningen, Negri Belanda. Setelah menyelesaikan

pendidikannya itu beliau masuk kesekolah pendidikan nasional INS

(Indonesische Nationale School).31 Di sekolah ini Mochtar Lubis banyak

mendapat wawasan mengenai kesadaran perjuangan kemerdekaan, terutama

peranan para gurunya dalam memberikan wawasan tersebut dan lewat

beberapa surat kabar dan majalah nasionalis Indonesia. Pada masa-masa

menimba ilmu di sekolah ini Mochtar Lubis juga mulai berminat pada

perkembangan pers Indonesia, dengan mengamati perjuangan para wartawan

nasionalis Indonesia yang harus berhadapan dengan UU kolonial yang sangat

membatasi dan menjerat para wartawan dan tokoh nasionalis Indonesia yang

bertentangan dengan pemerintah kolonial Belanda.

Setelah lulus dari Kayutanam, ia menjadi guru di HIS Teluk Dalam di

Pulau Nias. Disana ia mengajarkan ilmu hitung dan bahasa Belanda, tetapi

tidak lama ia mengajar disekolah itu kurang dari setahun kontrolil Belanda

memintanya untuk meninggalkan Pulau Nias, dengan tuduhan telah

menyebarkan paham nasionalisme di sekolah itu dan mengajak murid-

muridnya untuk menyanyikan lagu “Indonesia Raya” di bawah kibaran Sang

Saka Merah Putih.32

Setelah meninggalkan Pulau Nias, beliau berhijrah ke Batavia. Pada masa

pendudukan militer Jepang Mochtar Lubis berkenalan dengan gadis Sunda

yang bernama, Siti Halimah Kartawidjaja atau biasa dipanggil Hally, yang

31
Ibid., h.52.
32
Ibid., h.52-53.

xxxii
waktu itu menjadi pegawai Asia Raya. Asia Raya adalah surat kabar

berbahasa Indonesia pertama yang boleh terbit pada masa pendudukan Jepang.

Setelah kurang lebih satu tahun saling mengenal, merekapun menikah di

Jakarta pada 1 Juli 1945, hanya sebulan menjelang proklamasi kemerdekaan.33

Pada masa kemerdekaan Mochtar Lubis menimba ilmu di Jefferson

Fellowship, East-West Center, University of Hawaii, Amerika Serikat. Sosok

Mochtar Lubis adalah orang yang memiliki segudang kegiatan dan sangat hobi

dengan kegiatan-kegiatan outdoor seperti berkelana dalam rimba, naik

gunung, berenang, tennis, perahu layar, dan sudah mencapai terbang Solo

ketika berlatih di tahun-tahun pertama setelah pengakuan kedaulatan Republik

Indonesia oleh Belanda. Gemar pada tanaman, bunga, termasuk anggrek.34

B. Perjalanan Karir

Setelah sempat menjadi guru di Pulau Nias, ia memutuskan untuk

merantau lebih jauh lagi, menyusul kakaknya yang sudah tinggal dan bekerja

di Batavia, Bachtar Lubis. Usia Mochtar Lubis pada saat itu sekitar 18 tahun.

Mula-mula ia bekerja di perusahaan farmasi, tetapi tidak lama. Kemudian

pindah ke Bank Factorij, yang berkantor didaerah Glodok, Jakarta Kota, bank

swasta terbesar di Hindia Belanda yang membiayai pabrik-pabrik gula.35

33
Ibid., h. 60.
34
Mochtar Lubis, Budaya, Masyarakat dan Manusia Indonesia: Himpunan “Catatan
Kebudayaan” Mochtar Lubis di majalah HORISON (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), h.
300.
35
Atmakusumah ed., Wartawan Jihad, h. 53.

xxxiii
Hanya beberapa tahun kemudian balatentara Jepang pun masuk ke Indonesia

pada 5 Maret 1942. Selama pendudukan militer Jepang itulah ia mulai mengenal

dunia pers, walaupun belum memulai kariernya dibidang ini. Ia bekerja sebagai

anggota staf dinas monitoring siaran radio luar negri KONIANDO, bagian dari

Komando Tinggi Militer Jepang, yang berkantor di Jalan Biliton, daerah Menteng

di Jakarta Pusat. Dinas itu bertugas memantau siaran radio negara-negara Sekutu

seperti yang dipancarkan oleh Voice of America (VOA), Radio Australia, dan

BBC London. Laporan dari hasil pemantauan itu kemudian dipelajari oleh staf

Jepang. Di kantor itu juga bekerja sejumlah wartawan, orang Belanda dan

Indonesia, dari kantor berita Belanda Aneta (Algemeen Nieuws-en Telegraf

Agentschap) yang sudah ditutup oleh Jepang.36

Mochtar Lubis mulai sungguh-sungguh terjun dalam profesi jurnalistik

sebagai wartawan setelah Perang Dunia II berakhir. Ia menjadi wartawan harian

Merdeka, yang mulai diterbitkan oleh BM.Diah pada 1 Oktober 1945. Ia juga

bekerja di Antara, terakhir sebagai redaktur hubungan luar negeri sebelum

meninggalkan kantor berita nasional itu tahun 1950 karena berselisih paham

dengan Djawoto yang berhaluan kiri. Dengan demikian ia dapat sepenuhnya

memimpin harian Indonesia Raya yang sudah diterbitkan sejak tahun 1949. Pada

waktu menjadi wartawan Antara itulah ia tidak dapat melaksanakan keinginannya

yang lain, selain menjadi dokter, yaitu menjadi tentara. Ketika masih menjadi

wartawan Antara itu pula ia ditangkap di rumahnya di Jalan Bonang oleh pasukan

36
Ibid., h. 52.

xxxiv
Kapten Raymond (Turk) Westerling pada petang hari 18 Desember 1948.37 Selain

bekerja di harian Merdeka selama beberapa bulan dan di kantor berita selama lima

tahun, pada masa awal kemerdekaan itu ia juga ikut mengasuh beberapa majalah

di Jakarta yang pada umumnya tidak mampu bertahan lama. Antara lain, ia

bekerja di majalah mingguan Masa Indonesia yang terbit sejak tahun 1947 dan

menjadi pemimpin redaksi majalah Masa pada tahun 1948.38

Meskipun sosok Mochtar Lubis tidak terlalu dikenal didalam negeri, namun

Mochtar Lubis adalah orang yang sangat disegani dan memiliki hubungan yang

cukup baik dengan dunia internasional, sehingga beliau dipercaya untuk menjabat

beberapa jabatan tinggi dan memiliki kegiatan yang begitu banyak setelah beliau

bebas dari tahanan Orde Baru yaitu: Direktur Jenderal Press Foundation of Asia

(Manila); Associate Editor Worldpaper yang terbit di Boston untuk Asia

Tenggara; Penanggung jawab majalah sastra Horison (Jakarta); menulis kolom

dalam majalah Suara Alam dan The Voice of Nature (Jakarta); dan untuk beberapa

waktu menulis kolom dalam majalah Newsweek; sebelum SIT-nya dicabut,

memegang jabatan penerbit dan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya;

anggota Yayasan Indonesia Hijau (Mengenai Lingkungan Hidup, Jakarta), Wakil

Ketua Akademi Jakarata; anggota kelompok pemberi bantuan dana pada para

pemenang Hadiah Magsaysay untuk meneruskan dan meluaskan program atau

proyek mereka yang telah membuat mereka mendapat hadiah Magsaysay

(Manila), Ketua Dewan Redaksi majalah Solidarity (Manila), penasihat Redaksi

bidang komunikasi majalah Impact (Manila), anggota International Press Institute


37
Edward C. Smith, Pembreidelan Pers Di Indonesia ( Jakarta: Pustaka Grafiti Pers,
1986), h. 84.
38
Atmakusumah ed., Wartawan Jihad, h. 61.

xxxv
(London), anggota ISWA (International Science Writers Association), Amerika

Serikat; anggota kelompok penasihat harian Asahi Shimbun, Tokyo; anggota

kelompok penggerak pertemuan sastra ASEAN tiap dua tahun (Manila); anggota

kelompok studi internasional “Rethinking International Governence” (Harold E.

Stasses Center for World Peace-Hubert H.Humprey Institute of Public Affairs,

University of Minnesota); anggota UNESCO Mc Bride Commision on

Communication and Information (UNESCO, Paris); Ketua Yayasan Obor

Indonesia (penerbitan buku, Jakarta); pernah menjadi Aspen Institute Fellow.

Buku-buku yang ditulisnya (sastra dan lain-lain) telah diterbitkan dalam berbagai

bahasa asing: Inggris, Belanda, Jerman, Spanol, Jepang, Korea, Hindi, Tagalog,

Itala, Rusia, Thai.39

Selama dalam tahanan Orde Lama Mochtar Lubis melatih diri sendiri

memahat patung dan mengukir dengan memakai bahan kayu. Ia juga melukis

memakai cat air, minyak, akrilik, dan suka membuat sketsa dengan tinta hitam,

potlot, pastel. Aktif terus menerus dalam berbagai kegiatan internasional dan

nasional meliputi lingkungan hidup,, hak buruh anak-anak, masa depan, budaya,

masalah internasional, sastra, dan sebagainya; antara lain mengikuti pertemuan

yang diselenggarakan UNESCO mengenai The Diversity of Culture as Against

the University of Science and Technology (Paris, 5-10 agustus 1968), Pacificism

and Violence-their uses and limitations as instrumenta of change (International

Association for Cultural Freedom, Paris, November 14-17 tahun 1969), The

Second International Conference of the Problems of Modernizations in Asia and

39
Lubis, Budaya, Masyarakat dan Manusia Indonesia: Himpunan “Catatan
Kebudayaan” Mochtar Lubis di majalah HORISON, h. 300-301.

xxxvi
the Pacific (East-West Center, Agustus 9-15 1970), Culture and Science

(UNESCO, Paris, September 6-10 tahun 1971), the Modernization of Asia,

University of Malaysia, Penang (September 3-8 tahun 1972), New Structures for

Economic Independence, The Aspen Institute for Humanistic Studies (Mei 15-18

tahun 1975), Common Tokyo, Konperensi Komunikasi Dunia, Tokyo (September

12-14 tahun 1983), Economic Growth, Democracy and Human Rights, are they

interrelated? Diselenggarakan oleh Jan Pork, Menteri Kerja sama Pembangunan

Belanda (November, 7-8 tahun 1990), Konperensi Culture and Democracy,

UNESCO dan Presiden Havel, Praha (September tahun 1991); anggota dewan juri

“International Water Tribunal” Amsterdam (16-21 Februari tahun 1992).40

1. Aktivitas Dalam Harian IR Pada Masa Orde Lama

Harian Indonesia Raya periode pertama (1949-1958) lahir melalui edisi

tanggal 29 Desember 1949, hanya dua hari sesudah penandatanganan

pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan RI oleh Belanda pada 27 Desember.

Indonesia Raya mula-mula terbit sore hari, tetapi sejak tahun 1955 diubah

menjadi pagi hari agar percetakan dapat mencetaknya pada malam hari. Surat

kabar ini mengibarkan motto “Dari Rakyat Oleh Rakyat Untuk Rakyat” di

bawah logonya. Pada periode terbitnya yang kedua (1968-1974), beberapa

waktu setelah mulai terbit, motto itu diperpanjang menjadi “Suara

Pembaharuan Dari Rakyat Oleh Rakyat Untuk Rakyat”.41

40
Ibid., h. 301-302.
41
Atmakusumah ed., Mochtar Lubis Wartawan Jihad, h. 61.

xxxvii
Pemimpin redaksinya yang pertama adalah Hiswara Darma putra bersama-

sama Mochtar Lubis, waktu itu Mochtar masih berkerja di Antara sampai kira-

kira 8 bulan setelah Indonesia Raya terbit. Pemimpin Umum dijabat oleh

Jullie Effendi bersama Hiswara, setelah kedua orang tersebut mengundurkan

diri Mochtar Lubis menjadi pemimpin redaksi tunggal sejak Agustus 1950,

kemudian Mochtar berhenti dari Antara. Sikap surat kabar ini, yang sejauh

mungkin hendak mengembangkan independensi dalam kebijaksanaan

pemberitaannya, tercermin jelas dalam tajuk rencana edisi pertama, 29

Desember 1949:

“Dalam badan penerbitan ini tergabung wartawan-wartawan


Indonesia yang berpendirian merdeka, wartawan-wartawan yang
tidak diikat oleh pendirian partai atau suatu golongan. Yang
dikejar oleh mereka hanya tujuan-tuijian jurnalistik semata-mata,
yaitu mempertahankan kemerdekaan pers nasional yang kuat dan
bebas dan mempertinggi mutunya jurnalistik Indonesia sejalan
dengan kemajuan dilain lapangan yang kini diperjuangkan
dengan hebat oleh segenap bangsa Indonesia. Oleh sebab itu
maka pada dasarnya Indonesia Raya berdiri di luar segala partai-
partai politik atau aliran-aliran politik. Bagi kami terutama sekali
kebenaran dan obyektivitas akan terus menjadi obor dan
pegangan dalam usaha. Kami akan menghindarkan diri dari
politik pemberitaan yang berat sebelah, yang menguntungkan
satu golongan dan merugikan golongan lain …”

Tajuk ini, seperti juga pendirian yang seterusnya dianut Indonesia Raya,

mencerminkan sikap partisan dalam menghadapi “hal-hal yang merugikan

kepentingan umum”. Karena itu, surat kabar ini digolongkan sebagai penganut

advocacy journalism, gaya jurnalistik yang amat teguh dalam

mendesakkan/memegang teguh pendiriannya untuk sesuatu “perbaikan

keadaan”. Karena sikap idealisme yang diusung surat kabar ini dalam memuat

berbagai pemberitaan-pemberitaannya, membuat surat kabar ini berbenturan

xxxviii
dengan pihak-pihak yang merasa terancam kedudukannya karena pemberitaan

yang dimuat Mochtar Lubis dalam harian Indonesia Raya tentang berita surat-

surat pembelaan diri Letnan Zulkifli Lubis.42

ZulkifliLubis adalah seorang perwira angkatan darat yang berpangkat

wakil KSAD, namun beliau memiliki perbedaan pandangan dengan Jenderal

A.H Nasution sebagai ketua KSAD, Zulkifli Lubis terlibat dalam peristiwa 17

Oktober 1952, yaitu peristiwa demonstrasi rakyat yang menganggap bahwa

parlemen tidak bekerja dengan baik,43 dan beliau juga membentuk dewan

Banteng di Sumatra Barat bersama-sama Simbolon dan perwira lainnya yang

kecewa dengan pemerintahan Republik di Jawa, yang dinilai telah melenceng

dari cita-cita revolusi, karena banyaknya tindakan korupsi oleh pejabat namun

tidak ditindak oleh pemerintah dan didominasinya pemerintahan oleh etnis

Jawa.44 Hubungan antara Mochtar Lubis dengan Zulkifli Lubis tidak ada

hubungan kekeluargaan, hanya kebetulan satu marga, seperti yang dikatakan

sendiri oleh Zulkifli Lubis dalam buku Atmakusumah ed. Mochtar Lubis

Wartawan Jihad , bahwa mereka hanya berteman dan sangat sering berbeda

pandangan seperti pada peristiwa 17 Oktober 1952 Mochtar Lubis termasuk

orang yang kontra terhadap peristiwa tersebut sedangkan Zulkifli Lubis

sebaliknya, namun mereka satu pandangan terhadap peristiwa korupsi yang

dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Roeslan Abdul Gani.

42
Smith, Pembreidelan Pers Di Indonesia, h. 143.
43
Atmakusumah ed., Mochtar Lubis Wartawan Jihad, h. 149.
44
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern1200-2004 ( Jakarta: PT SERAMBI ILMU
SEMESTA, 2007), h. 501.

xxxix
Puncaknya Mochtar Lubis dikenakan tahanan rumah sejak 5 Januari 1957

selama 4 tahun terus menerus dengan alasan demi keamanan dan tanpa pernah

diperiksa kembali. Ia tidak diizinkan menulis untuk surat kabarnya,

memberikan wawancara, mengadakan hubungan telepon, dan menerima tamu

– walaupun dalam kenyataan para tamu oleh petugas penjaganya dibiarkan

menemui Mochtar Lubis. Ia juga masih aktif menulis tajuk rencana asuhan

Mas Kluyur, Naskah-naskah itu diam-diam dibawa kerumah Hasyim Mahdan

oleh Halimah (istri), anaknya yang masih kecil, atau iparnya untuk

diterbitkan.45

Selama beberapa malam setelah penahanan Mochtar Lubis, para petugas

CPM ditempatkan dipercetakan tempat Indonesia Raya dicetak dan

menyensor naskah yang akan dimuat. Oleh redaksi kolom-kolom yang

disensor itu tetap tidak diisi, “Pemutihan” oleh redaksi seperti ini berulang

sepuluh bulan kemudian, 16 Oktober 1957, ketika penguasa militer Letnan

Kolonel E. Dachjar melarang semua media pers memberitakan penahanan

Mochtar Lubis. Bahkan anggota parlemen dilarang memberikan wawancara

tentang persoalan Mochtar Lubis.46

Tekanan politik terhadap Indonesia Raya akhirnya memuncak bulan

Agustus 1958. Mochtar Lubis masih dalam status tahanan rumah ketika surat

kabarnya terlibat dalam percekcokan intern akibat tekanan dari luar,47 ajakan

45
Lubis, Catatan Subversif , h. 27.
46
Ibid..
47
Menteri Penerangan Sudibjo menyampaikan usul kompromi kepada Hasjim Mahdaan,
seorang dari tiga pemegang saham selain Mochtar Lubis dan Sarhindi. “Ia mengatakan bahwa
surat kabar ini akan dibolehkan terus terbit, bahkan akan diberi bantuan keuangan jika Mochtar

xl
Hasjim Mahdan agar Indonesia Raya tidak beroposisi terhadap pemerintah

dan menerima tawaran Menteri Penerangan, ditolak oleh Mochtar Lubis.

Mochtar juga tidak bersedia bersikap netral sekalipun terhadap pemerintah,

pada 21 Agustus 1958 kelompok Hasjim Mahdan mengumumkan bahwa

Dewan Komisaris telah memberhentikan Mochtar Lubis sebagai direktur

mulai 20 Agustus.48

Ini berarti ia tidak lagi menjabat pemimpin umum harian itu. Juga

diumumkan bahwa jabatan penanggung jawab harian dan mingguan

Indonesia Raya akan diserahkan kepada seseorang dari luar harian itu.

Keputusan ini ditolak oleh seluruh staf redaksi Indonesia Raya dan masalah

intern itu mereka ungkapkan dihalaman muka edisi 1 September 1958. Mereka

juga menyatakan bahwa para anggota redaksi tetap mendukung Mochtar

Lubis.49

Karena sikap dan tekad Mochtar Lubis untuk berjuang dalam bidang pers,

dengan memberikan informasi kepada masyarakat dan konsistensi

perjuangannnya pada tanggal 10 Agustus dari Manila disiarkan berita bahwa

Mochtar Lubis terpilih sebagai salah seorang diantara dua pemenang Ramon

Magsaysay Journalism and Literature Award untuk tahun 1958. Ia menjadi

orang Indonesia pertama yang menerima penghargaan itu, penghargaan ini

merupakan pengakuan terhadap kegigihannya memperjuangkan kebebasan

pers. Tetapi penghargaan itu baru dapat diterimanya delapan tahun kemudian,

Lubis mengundurkan diri. Waktu itu Indonesia Raya baru saja mengalami pembredelan agak lama
antara 26 Juli dan 14 Agustus 1958.
48
Atmakusumah ed., Mochtar Lubis Wartawan Jihad, h. 81.
49
Ibid, h. 89.

xli
setelah ia bebas dari tahanan dan dapat berkunjung ke Filipina. Pada tahun

1966, ia juga memperoleh penghargaan Hadiah Pena Emas untuk

Kemerdekaan Pers dari Federasi Penerbit Surat Kabar Internasional

(Federation Internationale des Editeurs de Journaux at Publications, FIEJ) di

Paris.50

Bulan madu antara pers dan pemerintah pada waktu itu memang telah

berakhir. Permasalahan Mochtar Lubis dan Indonesia Raya hanyalah

merupakan suatu bagian saja dari keseluruhan konflik yang berkembang

antara pers dan pemerintah, lebih-lebih setelah diberlakukan SOB (Staat van

Oorlog en Beleg, keadaan darurat militer dan keadaan perang) pada 14 Maret

1957.51 Kebebasan menyatakan pendapat sangat dibatasi dan tentara

mengeluarkan berbagai macam peraturan pers. Para wartawan dapat ditahan

dengan alasan sekecil apapun dan larangan terbit tidak lagi dianggap aneh.52

Kemunculan 1R tidak terlepas dengan kondisi kehidupan pers pada masa

sebelum pengakuan kedaulatan (1949) yaitu berada dalam suasana revolusi.53

Kondisi pers pada masa revolusi sangat terbatas sarana dan prasarana dalam

mendukung proses pengelolaan pers. Pada masa revolusi persediaan jumlah

kertas koran terbatas bahkan harus memakai kertas merang yang kasar, juga

50
Smith, Pembreidelan Pers Di Indonesia, h. 84.
51
Ibid, h. 118.
52
Atmakusumah ed., Mochtar Lubis Wartawan Jihad, h. 83
53
Pers pada masa revolusi Indonesia memiliki corak 2 hal: (1) pers mampu
mengekspresikan dan mengartikulasikan visi politiknya secara bebas dimana kebebasan itu sendiri
merupakan manifestasi dari nilai-nilai dan semangat kemerdekaan; (2) Pers mampu memainkan
perannya sebagai media koordinatif antara hasrat rakyat Indonesia yang ingin lepas dan merdeka
disatu sisi, dengan visi elit politik Indonesia tentang wuju kemerdekaan yang dicta-citakan disisi
lain. Dalam Arung Samudra (ed), Andi Suwirta, Pers, revolusi dan Demokratisasi: Kehidupan dan
Pandangan Surat Kabar di Jawa Pada Masa Revolusi Indonesia 1945-1947,Jakarta: Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penlitian UI, Depok, 2001, h. 274.

xlii
alat-alat cetak yang tidak memadai. Pada masa awal revolusi kurang lebih

tercatat ada 15 surat kabar nasional, namun jumlahnya secara keseluruhan

tidak dapat diketahui dengan pasti. Surat kabar yang pertama kali muncul

sesudah kemerdekaan adalah Berita Indonesia yang dipimpin oleh B.

M.Diah.54

Pers pada masa revolusi memiliki peranan penting dalam upaya

menyebarluaskan gagasan mengenai kemerdekaan, di antaranya harian

Merdeka, Masa Indonesia, Soeara Merdeka, Berita Indonesia dan lain-lain.

Hingga tahun 1948 banyak surat kabar bermunculan, terdapat kurang lebih 75

surat kabar yang terbit, mencapai oplah kurang lebih 400.000 eksemplar,

termasuk harian berbahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Belanda dan Cina.

Lahirnya Negara RI yang baru tidak lepas dari dukungan pers yang berjiwa

“republiken”, dalam hal ini hampir di setiap kota penting di Jawa memiliki

penerbitan surat kabar.55 Suburnya kehidupan pers pada masa itu selain

didorong oleh pemerintah juga karena kesadaran para insan pers yang ingin

memberikan kontribusi kepada bangsa Indonesia. Pers Indonesia pada masa

awal setelah pengakuan kedaulatan mengalami masa kondusif karena

kebebasan pers mendapat tempat seluas-luasnya untuk menyuarakan

kebebasan. Semangat dan suasana kemerdekaan sangat mewarnai kehidupan

pers, juga dukungan pemerintah terhadap pers sangat besar dalam mendukung

kehidupan pers. Dukungan pemerintah terhadap pers dapat terlihat melalui

bantuan pemerintah, seperti impor kertas dan subsidi kertas koran bahkan
54
Smith, Sejarah Pembreidelan Pers di Indonesia , h. 87.
55
Suwirta, Pers, revolusi dan Demokratisasi: Kehidupan dan Pandangan Surat Kabar di
Jawa Pada Masa Revolusi Indonesia 1945-1947, h. 276.

xliii
sampai memberikan bantuan keuangan. Bantuan-bantuan pemerintah

bertujuan untuk mengajak pers sebagai mitra perjuangan dalam

mempertahankan kemerdekaan.56

Kalangan pemerintah yang memiliki upaya tersebut diantaranya dari

kalangan tentara, yang berupaya mencoba menggalang kekuatan untuk

menghalau pengaruh-pengaruh Belanda yang masih kuat terutama sesudah

masa pengakuan kedaulatan. Salah satu harian yang muncul karena peranan

tentara adalah IR57 muncul dalam kehidupan pers di Indonesia tidak terlepas

dengan kondisi politik yang terjadi pada masa beberapa bulan sebelum

pengakuan kedaulatan. Pada masa sebelum penyerahan kedaulatan

berlangsung pada 27 Desember 1949, terjadi kekhawatiran dikalangan tentara

terhadap pengaruh Belanda yang masih kuat di Indonesia, bahkan cikal bakal

ide pendirian IR sudah muncul kurang lebih tiga bulan sebelum pengakuan

kedaulatan RI. Ide kemunculan IR tidak terlepas dari usul beberapa perwira

tentara Divisi Siliwangi58 yang mencetuskan ide dan memberikan dukungan

atas berdirinya suatu surat kabar yang bertujuan untuk membangkitkan

semangat republik kepada rakyat dan tentara pada masa transisi kekuasaan

melalui media pers. Ketika pasukan TNI memasuki wilayah Jakarta, beberapa

hari menjelang pengakuan kedaulatan, para pemimpin tentara menjumpai para

56
Smith, Sejarah Pembreidelan Pers di Indonesia, h. 81.
57
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangnan Pers Pancasila ( Jakarta: CV
Masagung, 1988), h. 77.
58
Ignatius Haryanto, Pembredelan Pers Indonesia: Kasus Koran Indonesia Raya
(Jakarta: LSPP (Lembaga Studi Pers Pembangunan), 1995), h. 71.

xliv
redaktur majalah Mutiara,59 agar membentuk sebuah surat kabar yang

diharapkan menjadi pandangan kaum republik, yang kemudian dikenal dengan

nama harian Indonesia Raya.

Asal-usul nama Indonesia Raya sebagai sebuah nama harian, memiliki dua

versi pemberi nama. Pertama, versi dari Teuku Sjahril60 yang berpendapat

bahwa pemberian nama Indonesia Raya merupakan idenya. la terinspirasi dari

lagu kebangsaan Indonesia "Lagu Indonesia Raya". Pemberian nama tersebut

terjadi ketika ia sedang berkunjung kerumah Mochtar Lubis, yang merupakan

tetangga dekatnya. Kedua, versi Brentel Susilo, menurutnya nama IR berasal

dari sebuah nama partai politik yaitu Partai Indonesia Raya (Parindra), sebab

pamannya yang bernama Raden Sutomo adalah salah seorang pendiri Parindra

namun IR tidak ada kaitannya dengan Parindra.

Edisi perdana periode pertama IR terbit pada tanggal 29 Desember 1949.

IR pada awalnya terbit pada sore hari namun sejak tahun 1955 berubah

menjadi pagi hari. Pada masa periode pertama ini keterlibatan para tentara

cukup dominan, terutama terkait dengan dukungan moral dan perlindungan

tentara terhadap IR, bahkan juga mencakup dukungan keuangan.61 Dukungan

keuangan para tentara digunakan untuk membeli kertas, biaya operasi

percetakan dan lain-lain. Posisi penting dipegang oleh Hasyim Mahdan

59
Majalah Mutiara inilah yang akan menjadi cikal bakal dari redaksi harian Indonesia
Raya.
60
Teuku Sjahril adalah seorang pembantu tetap Majalah umum dan sastra Mutiara, ia
juga pada masa selanjutnya pernah menjabat sebagai ketua presidium Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI), Ketua Umum Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) dan pada masa-masa akhir
hidupnya sempat menjadi Ketua Dewan Pertimbangan SPS Pusat.
61
Atmakusumah, “Mochtar Lubis dan Indonesia Raya” dalam Atmakusumah ed.,
Mochtar Lubis Wartawan Jihad, h. 64-65.

xlv
sebagai penghubung antara tentara dengan IR, terkait dengan masalah bantuan

tentara terhadap IR. Pada awalnya IR dijuluki sebagai harian tentara karena

kedekatannya dengan kelompok tentara dan IR dijadikan salah satu harian

langganan para tentara hingga akhir tahun 1953. Mengenai kedekatan IR

dengan tentara, Mochtar Lubis tidak memungkiri kedekatan IR pada masa

awal kemunculannya dengan kelompok tentara namun menurutnya hal itu

hanya sebatas hubungan personal atau hubungan kedekatan sebagai seorang

kawan bukan sebagai hubungan antara institusi,62 sehingga tidak berpengaruh

terhadap visi atau pandangan IR, terutama yang terkait dengan pembentukan

karakteristik IR.

Setiap surat kabar atau harian memiliki karakteristik, yang tentu berbeda

dengan harian-harian lainnya. Karakteristik itu bisa mencakup dalam beberapa

hal seperti motto, ukuran kertas, gaya penulisan, gaya bahasa, isi pemberitaan

dan lain-lain. Pada masa periode pertama IR memiliki motto yaitu "Dari

Rakjat, Oleh Rakjat, Untuk Rakjat" Sedangkan ukuran IR pada periode

pertama memiliki ukuran seperti pada umumnya harian pada waktu itu, yaitu

berukuran besar dengan ukuran 45 cm x 59,5 cm dengan jumlah empat

halaman. IR mulai mengembangkan penerbitannya, dengan membuat edisi

minggu sejak tanggal 16 Oktober 1955 dengan nama yang berbeda yaitu Masa

dan Dunia Pada tahun-tahun pertama kemunculannya, pemberitaan IR lebih

banyak didominasi oleh berita-berita politik. Perkembangan selanjutnya yaitu

sejak Agustus 1950 berita-berita mengenai budaya mulai menempati lembaran

62
Haryanto, Pembredelan Pers Indonesia: Kasus Koran Indonesia Raya, h. 72.

xlvi
harian IR walaupun berita-berita mengenai budaya cenderung diarahkan

kemasalah-masalah sosial, ekonomi dan politik diantaranya masalah korupsi.

Sejak awal tahun 1952 hingga seterusnya. pemberitaan mengenai korupsi dan

penyalahgunaan wewenang di kalangan pemerintahan dan partai politik

semakin gencar.

2. Aktivitas Dalam Harian IR Pada Masa Orde Baru

Ide untuk menerbitkan IR kembali mulai muncul semenjak dikeluarkannya

Mochtar Lubis dari tahanan pada tahun 1966. Mochtar Lubis mengajukan

permohonan kepada Menteri Penerangan pada waktu Ds. W. J. Rumambi dan

juga kepada penggantinya B. M. Diah namun tidak mendapatkan hasil.

Kemudian pada tahun 1968 ketika Menteri Penerangan dipimpin oleh

Boediardjo, IR baru mendapat surat ijin terbit. Pemberian ijin terbit IR ditandai

dengan pemberian surat ijin terbit (SIT) dari Menteri Penerangan dengan

nomor 0632/SK/DIR. PDLN/SIT/1968 yang diberikan pada tanggal 24 Juli

1968, ditandatangani oleh Direktur Perkembangan Pers Anwar Loethan atas

nama Menteri Penerangan Laksamana Muda Udara Boediardjo. 63

Kemudian disusul pemberian surat ijin cetak (SIC) pada tanggal 10

Agustus 1968 yang diberikan oleh Pelaksana Khusus Panglima Komando

Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah(Laksus

Pangkopkaratibda) Jakarta Raya. Alasan mengapa Menteri Penerangan

Boediardjo memberikan SIT kepada IR adalah. “Saya menganggap perlu ada

media massa seperti Indonesia Raya. Koran semacam itu suaranya perlu

63
Atmakusumah ed., Mochtar Lubis Wartawan Jihad, h. 171.

xlvii
didengar. Saya pikir hal itu wajar-wajar saja. Tidak ada sesuatu yang dramatis

ketika saya menyetujui pemberian SIT kepada harian ini.”64 Setelah

mendapatkan surat ijin terbit dan surat ijin cetak, IR mendapat bantuan

material dari kalangan swasta luar negeri khususnya bantuan yang diberikan

oleh Don Ramos Roces seorang mantan penerbit The Manila Times yang

menghadiahkan satu buah mesin cetak, juga surat kabar The Straits Times

Kuala Lumpur dan sebuah perusahaan pers Australia Mirror Group

memberikan satu mesin set untuk menyusun huruf cetak. Alamat redaksi

pertama IR bertempat di Jalan Merdeka Utara 11 Jakarta Pusat, yang juga

sebagai tempat perusahaan percetakan Sastra Kentjana. Kemudian pada

Desember 1970 pindah ke Jalan Letjen Soeprapto Cempaka Putih dengan

menempati gedung dan percetakan sendiri.

Kemunculan IR yang kedua kalinya menjadi sebuah kebangkitan baru

dalam upayanya menjalankan peranannya sebagai pers. Terutama dalam

menjalankan perjuangannya mengungkap kasus korupsi yang terjadi di

pemerintahan awal Orde Baru. Bahkan banyak harapan dari masyarakat agar

IR menjadi yang terdepan dalam upaya mengungkap kasus korupsi.65

Pada periode kedua IR, nampaknya harian ini memposisikan dirinya tidak

sebagai musuh pemerintah, seperti yang diposisikan oleh IR pada masa Orde

Lama khususnya terhadap Soekamo. Pada masa Soekarno banyak sorotan IR

yang ditujukan langsung oleh Soekarno baik dalam hal tindakan-tindakan

64
Boediardjo, “ Ia Seorang Lone Ranger” dalam Atmakusumah ed., Mochtar Lubis
Wartawan Jihad, h. 171.
65
Saur Hutabarat dan Susanto Pudjamartono, “Menukik ke dalam artikel opini” dalam
Ashadi Siregar dan I Made Suarjana ed., Bagaimana Mempertimbangkan Artikel Opini Untuk
Media Massa (Jakarta: Kanisius, 1995).

xlviii
politiknya maupun skandal-skandalnya, seperti skandal pernikahan Soekarno

dengan Ny. Hartini yang menjadi sorotan panjang IR. Posisi IR pada periode

kedua Iebih cenderung mendukung pemerintahan Soeharto dengan tidak

mengabaikan sikap kritisnya terhadap pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari

pandangan harian ini yang nampak dalam tajuk rencananya.

“Harian ini memberikan dukungannja kepada Pemerintah


Suharto dan akan memberikan sumbangan sebesar mungkin
mentjiptakan iklim jang sehat dan konstruktif dinegeri kita,agar
program-program pembangunan ekonominja untuk kemakmuran
rakjat jang merata dan adil mendapat sukses sebesar mungkin.
Akan tetapi kami djuga akan memberi kritik-kritik dimana dan
apabila kami anggap perlu dengan tudjuan senantiasa supaja
pemerintah kita jang sekarang, pimpinan nasional kita jang baru,
berhasil dalam tugas berat mereka memperbaiki kehancuran dan
kerusakan disegala bidang penghidupan bangsa kita, jang telah
ditimbulkan oleh bekas rezim Soekarno.”

Posisi IR dalam peranannya mengungkap korupsi pada masa awal Orde

Baru telah mendapat perhatian masyarakat luas baik di dalam negeri maupun

di luar negeri. Sehingga wajar saja kalau IR bisa dikatakan harian yang cukup

diperhitungkan oleh kalangan pers di luar negeri maupun dalam negeri. Selain

itu, presiden Soeharto selaku pucuk tertinggi dari pemerintah mencoba

memposisikan pers pada waktu itu yang sedang marak mengungkap korupsi,

termasuk diantaranya IR. Agar memposisikan untuk membantu pemerintah

dalam memberantas korupsi.66

66
“Memberantas korupsi dilakukan dengan dua cara; cara pertama yaitu dengan cara
preventif, dengan cara melakukan perbaikan ekonomi dan penertiban struktur organisasi,
administrasi, dan sistem kontrol yang baik. Kedua adalah cara refresif beserta tindakan hukum,
sebab tanpa dengan tindakan hukum akan menimbulkan dampak negatif, yaitu timbulnya saling
tuduh menuduh. Pada dasarnya pemerintah memberikan kesempatan terbuka kepada masyarakat
untuk membantu pemerintah asalkan dengan melalui prosedur hukum. Pemerintah tidak
membenarkan tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang tanpa melalui jalur hukum, walaupun
dengan dalih untuk melakukan pemberantasan korupsi.” Harian Indonesia Raya, 2 Januari 1969.

xlix
Walaupun secara umum posisi IR memberi dukungan terhadap pemerintah

awal Orde Baru namun dukungan itu diimbangi dengan kritik IR terhadap

kebijakan pemerintah. Termasuk kritikan terhadap upaya pemberantasan

korupsi yang dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, IR juga banyak

memberikan saran dan ajakan kepada pemerintah terhadap masalah

pemberantasan korupsi.

Setelah tahun 1970 jumlah pengungkapan kasus korupsi yang dilakukan

oleh IR mengalami penurunan walaupun begitu berita mengenai korupsi masih

cukup dominan tetapi lebih banyak membahas mengenai kinerja pemerintah

dalam memberantas korupsi. Penurunan berita pengungkapan kasus korupsi

sejalan dengan penurunan sirkulasi IR. Nampaknya apresiasi masyarakat

terhadap IR khususnya terhadap berita-berita kasus korupsi mulai menurun.

Hal menarik terjadi ketika IR pada bulan Januari 1974 banyak memuat

mengenai berita-berita modal asing Jepang dan peristiwa Malari, jumlah

sirkulasi IR meningkat drastis hingga mencapai angka 41.000. Hal ini

menunjukan bahwa aspek kecenderungan kebutuhan masyarakat terhadap

informasi berubah. Selain itu, aspek kecenderungan kebutuhan masyarakat

terhadap informasi akan lebih memberi dampak pada aspek bisnis yang

menguntungkan terhadap perusahaan pers, apabila perusahaan pers tersebut

mengikuti perkembangan kebutuhan informasi masyarakat. Justru hal ini yang

diabaikan oleh IR (Mochtar Lubis), khususnya dalam mengemas isi

pemberitaan antara tahun 1971-1973.

l
Berita-berita kasus-kasus korupsi tidak selamanya menjadi prioritas bagi

masyarakat. Terutama dapat terlihat ketika IR banyak memberitakan kembali

mengenai kasus Bulog pada tahun 1972, ternyata tidak berpengaruh terhadap

jumlah sirkulasi IR. Hal ini menunjukan bahwa telah terjadi korelasi yang

tidak sejalan antara aspek bisnis dengan idealisme Mochtar Lubis sebagai

pemimpin redaksi dan pemimpin umum IR dalam menjalankan sebuah bisnis

pers. Maka tidak mengherankan apabila hingga pembredelan pada 21 Januari

1974, IR banyak memiliki hutang di bank.67

Dari tajuk rencana edisi perdana IR nampak jelas terlihat pandangan-

pandangan Mochtar Lubis mengenai sikap IR dalam menempatkan

kedudukannya dalam kehidupan pers di Indonesia. Ada beberapa hal yang

perlu dicatat dalam tajuk rencana edisi perdana IR. Pertama, cita-cita IR

terhadap sikapnya sebagai pers yaitu menginginkan kebebasan pers, yang

berlandaskan pada pers merdeka68 yang mencoba menempatkan

kedudukannya secara independen dengan berada di luar semua kepentingan

golongan-golongan serta partai-partai politik. Kedua, dengan menempatkan

diri sebagai pers yang merdeka maka upayanya dalam menjalankan peranan

sebagai pers dalam menyampaikan kebenaran dan objektivitasnya dapat

dilakukan. Ketiga, melalui pandangan dan cita-cita IR dalam upaya dan

67
Atmakusumah, “Kasus Koran Indonesia Raya” dalam Abdurrahman Surjomiharjo,
redaktur , Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia (Departemen Penerangan RI
Leknas LIPI, Jakarta, 1980).
68
Istilah pers merdeka dapat diartikan secara umum (di luar dan” yang dimaksud Mochtar
Lubis) berasal dari konsep teori pers libertarian yang beranggapan bahwa pers bukanlah alat
pemerintah namun sebagai sarana masyarakat untuk mengawasi pemerintah. Pers harus bebas dari
pengawasan dan pengaruh Pemerintah, kebebasan pers menjadi ha! yang pokok karena
mencerminkan kebebasan manusia. Untuk lebih jelasnya lihat karya buku DR. Krisna Harahap, S.
H., M. H. Kebebasan Pers di Indonesia Dari Masa Ke Masa (Bandung: Grafiti Budi Utami,
2000).

li
peranannya sebagai pembela kepentingan dan masyarakat umum, maka

Mochtar Lubis tidak segan-segan melakukan tindakan nyata dengan

memberikan peringatan atau dengan cara frontal. Termasuk dalam upayanya

mengungkap korupsi pada masa awal Orde Baru.

“Harian ini tidak mempunyai maksud lain dengan


pengungkapan-pengungkapan yang dilakukannya sekitar
penyelewengan-penyelewengan dan manipulasi yang
dipamerkan atas kerugian negara dalam PN Pertamina, selain
menarik perhatian pemerintah bahwa perusahaan negara ini harus
diselamatkan dari mismanajemen dan tindak-tindak korupsi,
sehingga dapat dimanfaatkan bagi kebahagiaan seluruh rakyat
Indonesia.”69

“Masalah menegakan pemerintah yang bersih (a dean


Government) jelas bukan masalah kita di Indonesia saja...korupsi
yang merajalela merupakan masalah yang seakan tidak teratasi
oleh setiap pemerintah yang berkuasa....bahwa negara-negara
yang berkembang tidak mungkin mencapai sasaran-sasaran
pembangunan jika aparatur pemerintah tidak bersih.”70

“... Hal ini kini tidak dapat ditangguhkan. Naikkan lah gaji
pegawai negeri ketingkat yang layak menjamin hidup yang baik,
dan waktu yang sama pasanglah syarat-syarat yang berat
mengenai disiplin kerja dan kejujaran. Laranglah secara total
pegawai negeri menerima hadiah macai.n apapun juga dari
siapapun juga. Hanya dengan cara ini mungkin ditegakan sebuah
pemerintahan yang yang bersih di Indonesia.”71

Visi IR yang terkait dengan berbagai upayanya dalam mengungkap kasus

korupsi dapat dipandang sebagai upaya Mochtar Lubis untuk mencapai apa

yang diharapkan dan diinginkan IR. Pertama, menginginkan pemerintahan

yang bersih (clean government), bebas dari praktek-praktek kotor (korupsi)

69
“Satu Putusan yang Tepat” Tajuk Rencana Harian Indonesia Raya, 13 Agustus
1970.
70
“Mencapai Pemerintahan Yang Bersih” Tajuk Rencana Harian Indonesia Raya, 22
Desember 1972.
71
“Pemerintah Yang Bersih” Tajuk Rencana Harian Indonesia Raya, 17 November 1972.

lii
yang akan berdampak pada munculnya “Raja-raja” yang melakukan

penguasaan terhadap rakyat dengan cara penghisapan dan pemerasan terhadap

rakyat, kondisi ini sering disebut oleh IR dalam sebuah idiom “Republik

Pisang,”72 sehingga perekonomian didominasi oleh sekelompok orang

tertentu, karena administrasi negara telah dikuasai oleh kepentingan para

pemodal baik di dalam maupun di luar negeri. Sehingga menurutnya dengan

kondisi seperti itu akan memberi peluang munculnya kembali komunis.

Keinginan menciptakan clean government sangat erat kaitannya dengan

suksesnya upaya pembangunan, hal ini sangat penting bagi negara yang

sedang berkembang seperti Indonesia. Sehingga diperlukan upaya untuk

memperlancar pembangunan, sebab menurut pandangan IR pembangunan

akan mengalami hambatan apabila korupsi dibiarkan terus.

Pada tahun 1973 harian Indonesia Raya mendapat nasib yang sama dengan

harian-harian yang sangat vocal dan intens dalam melancarkan kritik-kritik

yang tajam kepada pemerintah pada peristiwa Malari, Laksus

Pangkopkamtibda Jakarta Raya dan sekitarnya mengemukakan alasan-alasan

mengenai pencabutan surat ijin terbit harian Indonesia Raya,73 antara lain:

1. Harian Indonesia Raya telah memuat tulisan yang dapat merusak

kewibawaan dan kepercayaan kepemimpinan nasional

2. Harian Indonesia Raya dengan tulisan-tulisannya dianggap menghasut

rakyat, sehingga membuka peluang yang dapat mematangkan

/meruncingkan situasi kearah terjadinya kekacauan-kekacauan, seperti

72
“Jangan Jadi Republik Pisang” Tajuk Rencana Harian Indonesia Raya, 5 Januari 1970.
73
Haryanto, Pembredelan Pers Indonesia: Kasus Koran Indonesia Raya, h. 217.

liii
pada tanggal 15 dan 16 Januari 1974 dan dapat mengadu domba antara

pimpinan nasional yang lain

Begitu juga, Menteri Penerangan dengan surat keputusannya Nomor

20/SK/DIRJEN/K/197474 tentang pencabutan SIT harian Indonesia Raya,

mengemukakan alasan-alasannya antara lain:

Surat kabar harian Indonesia Raya telah memuat sejumlah tulisan-tulisan

yang

1. Pada hakikatnya menjurus kearah usaha-usaha untuk melemahkan sendi-

sendi kehidupan bernegara dan/atau ketahanan nasional, dengan jalan

mengobarkan isu-isu, seperti modal asing, korupsi, dwifungsi, keborokan-

kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi, masalah Aspri-

Kopkamtib.

2. Merusak kepercayaan masyarakat kepada Kepemimpinan Nasional

3. Mendengungkan kepekaan-kepekaan tanpa memberikan pemecahan yang

tepat dan positif, yang dapat diartikan menghasut rakyat untuk bangkit

bergerak untuk mengambil tindakan-tindakan yang tidak bertanggung

jawabyang dapat mengakibatkan gangguan terhadap ketertiban dan

keamanan Nasional.

4. Menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus kepada

perbuatan maker.

Sikap dan perlakuan rezim Orde Baru ini terhadap pers, membuat kita

kesulitan mencari perbedaan-perbedaan yang fundamental dengan sikap dan

74
Ibid., h. 209.

liv
perlakuan rezim Orde Lama terhadap pers, kecuali dalam beberapa hal; (1).

Rezim Orde Lama melakukan penjinakan/pengebirian terhadap pers melalui

sistem regulasi yang sangat represif-progresif. Sedangkan rezim Orde Baru

lebih banyak melakukannya dengan ancaman-ancaman retoris, telepon, surat

peringatan, dan kemudian pembredelan sebagai jalan terakhir, selain dengan

sistem regulasi melalui SIT.75 (2). Rezim Orde Lama melakukan penjinakkan

atas pers, terutama untuk menjadikannya sebagai bagian internal dari

kekuasaannya sendiri, pers ingin dijadikan sebagai alat kekuasaan. Dengan

kata lain pers ingin dijadikan sebagai extension of power-nya. Sedangkan

rezim Orde Baru melakukan penjinakkan pers terutama untuk menumbuhkan

pers yang tidak kritis, tidak bebas serta tidak anti kekuasaan, kalaupun pers

harus menjadi pendukung atau pembela maka yang terutama adalah menjadi

pendukung atau pembela kebijaksanaan pembangunan yang diciptakan dari

pada menjadi pendukung atau pembela kekuasaan yang dimilikinya, walaupun

kedua hal ini sulit untuk dipisahkan dari tingkat praktek politik.

75
Akan tetapi setelah diundangkannya Undang-Undang Pokok Pers No.21 Tahun 1982,
maka regulasi atas penerbitan pers menjadi cenderung bersifat kapitalistik. Oleh karena setiap
penerbitan harus memiliki SIUPP ( Surat Izin Usaha Penerbitan Pers ) yang mensyaratakan modal
yang sangat besar, maka hanya orang yang bermodal besar yang akan berani memasuki dunia pers.

lv
BAB III

PERKEMBANGAN PERS INDONESIA DI AWAL ORDE BARU

A. Tinjauan Historis

Soal bicara dan berpendapat memang berkaitan dengan sejarah

pertumbuhan pers. Pers lahir bermula dari sejarah perjuangan manusia tentang

kebebasan berbicara dan berpendapat. Sejarah pers membuktikan begitu

besarnya peranan media itu dalam menjunjung tinggi hak dan kebebasan

berbicara setiap anggota masyarakat. Bahkan dalam perjalanan selanjutnya,

hingga saat ini pers tetap dipandang sebagai kekuatan moral yang mampu

menggerakkan semangat demokrasi. Mendukung atau menumbangkan

kekuasaan; memenangkan ataupun mengalahkan kepentingan-kepentingan,

sehingga kebebasan pers itu sendiri pada akhirnya merupakan fasilitas untuk

menunjukkan adanya keterkaitan yang kuat antara kebebasan tersebut dengan

kebebasan-kebebasan dasar lainnya: kebebasan berbicara, kebebasan

berkumpul, dan kebebasan berpendapat.76

Di Indonesia sejarah persurat kabaran sebetulnya telah berlangsung sejak

zaman penjajahan. Percobaan pertama penerbitan pers pada zaman Hindia

Belanda terjadi pada pertengahan abad ke-17. Berita-berita dari Eropa sampai

ke Batavia disusun oleh kantor Gubernur Jendral Jan Pieterzoon Coen untuk

selanjutnya dikirim dalam bentuk tulisan tangan antara lain ke Ambon. Berita

ini bertajuk Memorie de Nouvelles (sekitar 1615) dan merupakan prototipe

76
Asep Saepul Muhtadi, Jurnalistik (Pendekatan Teori dan Praktek), Jakarta: Logos,
1999, h. 14.

lvi
surat kabar Belanda dinegri jajahannya ini. Namun demikian, berita yang

masih ditulis tangan ini belum bisa disebut koran pertama yang terbit di

Indonesia. Pada tahun 1712 suatu usaha dilakukan untuk menerbitkan surat

kabar di Batavia (sekarang Jakarta), untuk kabar dalam negri, berita kapal, dan

yang semacamnya, tetapi gagal. Pemerintah VOC (Vereenigde Oost- Indische

Compagnie) melarang rencana penebitan itu karena takut saingan VOC akan

memperoleh keuntungan dari berita dagang yang dimuat di koran itu,77 sebab

sekitar satu abad sesudah itu (abad ke-18), muncul pula Bataviasche Nouvelles

yang terbit dalam bentuk koran. Koran yang terbit pertama kali pada 7

Agustus 1744 ini merupakan koran resmi pemerintahan Gubernur Jendral

Gustaaf Willem Baron Von Imhoff.78

Pada abad ke-19, baik pada masa jajahan Inggris maupun Belanda, koran

terus terbit silih berganti. Ketika Inggris berhasil mencaplok kawasan Hindia

Timur pada 1811, terbit koran berbahasa Inggris Java Government Gazette

pada awal 1812. Kemudian sekembalinya Belanda menguasai kawasan

tersebut pada 1814, mereka menghentikan koran Inggris itu dan menerbitkan

lagi koran resminya sendiri, Bataviasche Courant. Disamping memuat berita-

berita harian, Koran ini juga memuat artikel-artikel ilmu pengetahuan. Lalu,

pada 1829 Bataviasche Courant diganti lagi dengan Javasche Courant yang

terbit tiga kali seminggu, dan memuat pengumuman-pengumuman resmi,

77
G.H.von Faber, A Short History Of Journalism in the Dutch East Indies, diterjenahkan
oleh Leonard Arndt (Surabaya, Hindia Belanda: G.Kolff & Co, 1930), h. 13-14.
78
Edward C.Smith, Pembreidelan Pers Di Indonesia (Jakarta: Pustaka Grafiti Pers,
1986), h. 1.

lvii
peraturan-peraturan serta keputusan-keputusan pemerintah.79 Pada kurun yang

sama terbit pula sejumlah koran diberbagai kota di Jawa, Sumatra, dan

Sulawesi. Satu di antaranya adalah koran yang dikenal memiliki semangat

kritis terhadap kebijaksanaaan Belanda De Locomotief. Surat kabar yang terbit

di Semarang pada 1851 ini memiliki pengaruh yang cukup besar khususnya

bagi pembaruan politik kolonial , politik etika. Salah satu wartawannya adalah

Douwes Dekker alias Dr. Danudirja Setiabudhi, salah seorang yang ikut

mendorong tumbuhnya kebangkitan nasional Indonesia.80

Perkembangan persurat kabaran ini terus tumbuh berbarengan dengan arus

kehidupan pergerakan nasional. Di antara beberapa koran Indonesia yang

bersifat nasional dan dinilai radikal yang terbit di Jawa pada saat itu, antara

lain adalah Oetoesan Hindia, terbit di Surabaya di bawah Sarekat Islam

(1914), Neratja di Batavia (1917), Boedi Oetomo di Yogya (1920), Sri

Djojobojo di Kediri (1920), dan lain sebagainya. Di luar Jawa juga muncul

semarak koran-koran yang sebagiannya membawakan citra nasionalis Islam,

seperti Tjaja Soematra di Padang (1914), Benih Merdeka di Medan (1919),

Hindia Sepakat di Sibolga (1920), Oetoesan Islam di Gorontalo (1927) dan

Oetoesan Borneo di Pontianak. Jadi pers di Indonesia pada dasarnya terus

berkembang dan digunakan sebagai alat perjuangan, Wahidin Sudirohusodo

misalnya, seorang tokoh kebangkitan nasional kita adalah juga pemimpin

majalah Guru Desa. Seiring dengan peningkatan gerakan-gerakan politik

79
Wartini Santoso ed., Katalog Surat Kabar: Catalogue of Newspaper (Jakarta:
Perpusnas, 1984).
80
Muhtadi, Jurnalistik (Pendekatan Teori dan Praktek), h. 21.

lviii
radikal di Indonesia, jumlah surat kabar nasional naik pesat terutama sejak

tahun 1920 dengan daerah penyebaran hingga mencapai kota-kota kecil. 81

Pers yang dikelola oleh pribumi makin berkembang setelah lahir

organisasi-organisasi massa dan gerakan-gerakan kebangsaan dan keagamaan

yang turut menerbitkan media, karena media menjadi alat perjuangan mereka.

Karena itu setelah mencapai kemerdekaan kehidupan pers ikut menikmati

kemerdekaan dengan bebas dari tekanan, tetapi suasana bebas itu hanya

berlangsung selama masa Demokrasi Liberal (1945-1959). Setelah muncul

masa Demokrasi Terpimpin (1958-1965), terdapat banyak pembatasan

terhadap kehidupan pers.82 Soekarno memperlakukan tokoh-tokoh oposisi

terhadap rezimnya tidak beda dengan tindakan yang diambil oleh pemerintah

kolonial Belanda atau Jepang terhadap oposisi dan kritik serta protes rakyat

Indonesia yang menuntut keadilan, yaitu dengan menutup surat kabar dan

memenjarakan para wartawan.83

Semenjak peristiwa G30S/PKI yang menandai peralihan kekuasan Orde

Lama ke penguasa Orde Baru kehidupan politik Indonesia mengalami

ketidakstabilan politik, sehingga berdampak langsung terhadap kehidupan pers

di Indonesia. Di antaranya adalah berdampak pada kebijakan pemerintah

terhadap pers, yaitu upaya pemerintah melakukan pembersihan terhadap pers-

pers PKI. Seperti kebijakan yang dikeluarkan oleh Pangdam Jaya Mayjend

Umar Wirahadikusuma yang mengeluarkan Surat Perintah No. Ol/Drt/10/1965

81
Ibid., h. 22-23.
82
Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru ( Ciputat: Kalam Indonesia, 2005), h. 20.
83
Mochtar Lubis, Bangsa Indonesia Masa Lampau, Nasa Kini, Masa Depan (Jakarta:
Yayasan Idayu, 1978), h. 26.

lix
yang berisi mengenai larangan semua penerbitan pers tanpa ijin khusus,

kecuali harian Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata.84

Pembersihan terhadap pers PKI tidak hanya pada lembaga persnya saja

namun diikuti dengan banyak pemecatan para wartawan yang terlibat

G30S/PKI. Tindakan pemecatan ini dilakukan oleh berbagai pengurus cabang

PWI di banyak wilayah di Indonesia. Setelah pers-pers PKI dan para

wartawan yang terlibat G30S/PKI dibersihkan, pemerintah banyak melakukan

pemulihan kembali dan pemberian ijin penerbitan pers baru hal ini merupakan

sejalan dengan operasi ABRI di bidang keamanan.

Semenjak itu pemerintah berupaya membentuk dasar pers yang baru yang

berorientasi pada pancasila, yang lebih dikenal dengan istilah pers pancasila.

Landasan awal tersebut berdasarkan pada TAP MPRS No.

XXXII/MPRS/1966 yang berisi mengenai pembinaan pers. Kemudian langkah

pemerintah berkembang pada upaya pembentukan undang-undang pokok pers,

sesuai yang diamanatkan pada pasal 1 TAP MPRS No. XXXII/MPRS/196685.

Akhirnya pada tanggal 12 Desember 1966 Pemerintah bersama DPR

mengundangkan sebuah undang-undang mengenai pers yaitu Undang-Undang

No. 11 tahun 1966. Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk memberikan

jaminan hukum terhadap fungsi, tugas, hak dan kewajiban pers nasional

Indonesia. Pada dasarnya upaya kebijakan pemerintah awal Orde Baru

84
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila (Jakarta: CV
Masagung, 1988), h.160-161. Pada saat penumpasan PKI jumlah penerbitan pers yang ada
mencapai 163 dan yang dilarang terbit berjumlah 46. Pada akhir tahun 1965 Departemen
Penerangan mengeluarkan 31 ijin terbit. Pada tahun 1966 berdasarkan ijin yang dikeluarkan
tercatat 502 penerbitan unluk seluruh Indonesia sedangkan pada tahun 1967 terdapat 91 ijin terbit
baru.
85
Tebba, Jurnalistik Baru, h. 22.

lx
terhadap pers, yaitu agar pers bertugas untuk memperkuat idiologi Pancasila,

menjaga stabilitas nasional dan mensukseskan pembangunan nasional.

Termasuk diantaranya mengenai jaminan terhadap "kebebasan pers"

(bertanggug jawab) pada waktu itu.86

Konsep kebebasan pers muncul sebagai reaksi terhadap pers otoriter yang

berkembang sebelumnya, karena pers otoriter dianggap tidak demokratis dan

tidak relevan denga gagasan individu yang muncul sebagai konsekuensi dari

berkembangnya paham liberalisme dan individualisme dalam masyarakat.87

Berbicara mengenai kebebasan pers pada masa awal Orde Baru tidak hanya

terkait dengan kebijakan pemerintah awal Orde Baru terhadap pers namun

terkait juga dengan berakhirnya pengekangan pers pada masa terdahulu yaitu

pada masa Orde Lama. Sehingga kehidupan kebebasan pers pada masa awal

Orde Baru menunjukan arah yang sangat pesat secara kuantitatif, bahkan

dalam periode 1967-1968 kebebasan pers telah mengalami kegairahan yang

luar biasa bahkan bisa dikatakan mengalami “euphoria” kebebasan. Pers pada

waktu itu memposisikan sebagai pembantu pemerintah, baik polisi, kejaksaan

agung untuk membongkar penyelewengan-penyelewengan. Pers sangat

bersamangat dalam mencari informasi dan membongkar segala macam

penyelewengan yang terjadi di pemerintah. Kebebasan pers yang terjadi pada

masa awal Orde Baru tidak diimbangi dengan kecepatan para aparat penegak

hukum dalam menindak kasus korupsi yang telah diungkap pers khususnya

oleh IR. Hal itu dapat terlihat dengan banyaknya kritikan yang muncul dari
86
T.Atmadi, Bunga Rampai Sistem Pers Indonesia (Jakarta: PT Pantja Simpati Jakarta,
1985), h. 356.
87
Tebba, Jurnalistik Baru, h. 47.

lxi
banyak kalangan terutama kalangan pers dan kalangan anggota DPR, yang

merupakan wujud dari kekecewaan masyarakat.

B. Perkembangan Pers Indonesia Di Awal Orde Baru

Pers pada periode awal Orde Baru, 1966-1974, dapat digambarkan secara

kuantitatif dari hasil penelitian Judith B. Agassi (1969) sebagai berikut: pada

tahun 1966 terdapat 132 harian di Indonesia dengan total tiras 2 juta

eksemplar dan mingguan sebanyak 114 buah dengan total tiras 1.542.200

eksemplar. Angka ini menunjukkan kuantitas pers mengalami kenaikan

dibandingkan dengan masa Demokrasi Terpimpin.88

Kenaikan tiras suratkabar harian maupun mingguan pada tahun 1966 ini,

terutama disebabkan oleh terbitnya kembali surat kabar-surat kabar lama yang

telah dibredel di masa Demokrasi Terpimpin, seperti harian Merdeka (terbit

kembali Juni 1966), Berita Indonesia (terbit kembali Mei 1966), Indonesian

Observer (terbit kembali September 1966) dan lain-lain. Selain itu telah terbit

surat-kabar-surat-kabar baru seperti Harian Kami (Juni 1966), Angkatan Baru

(Juni 1966), Angkatan 66 (Juni 1966), Mahasiswa Indonesia edisi Jakarta

(Maret 1966), Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat (Juni 1966) ,

Trisakti (Februari 1966), Harian Operasi ( Mei 1966), mingguan Abad

Muslimin (Oktober 1966), dan lain-lain.89

Tetapi setahun kemudian, yaitu tahun 1967, angka itu merosot drastis

dibandingkan dengan angka pada tahun 1965 dan beberapa tahun sebelumnya.

Surat kabar harian berkurang sebanyak 31 buah, sehingga jumlahnya menjadi

88
Akhmad Zaini Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974 (Jakarta: LKiS, 1995), h. 45.
89
Ibid.

lxii
101 buah dengan total tiras hanya 893.500 eksemplar. Sedangkan mingguan

berkurang sebanyak 20 buah, sehingga jumlahnya menjadi 94 dengan total

tiras 908.950 eksemplar, yang disebabkan oleh usaha rehabilitasi dan

stabilisasi ekonomi yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru yang pada awal

kebangkitannya mewarisi hiper-krisis ekonomi yang mencapai titik puncak

mengkhawatirkan.

Jika secara kuantitatif perkembangan pers Indonesia pada periode awal

kebangkitan Orde Baru, 1966-1974, tidak menggembirakan, maka secara

kualitatif pers Indonesia sejak kebangkitan Orde Baru di tahun 1966 ( atau

sejak sehari setelah peristiwa G30S/PKI) hingga paling tidak sampai

pertengahan Januari 1974, telah cukup banyak mengalami perubahan, baik

dari segi orientasi dan posisi pers, persepsi, sikap dan perlakuan penguasa

terhadap pers.90

Pada masa Orde Baru pers Indonesia disebut sebagai pers Pancasila,

cirinya adalah bebas dan bertanggung jawab. Kalau kita mengacu kepada

teori-teori pers maka dapat dikatakan bahwa pers Pancasila merupakan

gabungan antara teori pers bebas dan teori tenggung jawab, yang ditegaskan

oleh ketetapan MPRS Nomor XXXII/MPRS/1966,91 yang secara tersirat isi

dari ketetapan itumengandung makna bahwa kebebasan pers Indonesia adalah

kebebasan untuk menyatakan serta menegakkan kebenaran dan keadilan dan

bukanlah kebebasan dalam pengertian liberalisme.

90
Ibid., h. 50.
91
Tebba, Jurnalistik Baru, h. 22.

lxiii
1. Perubahan Peta Ideologis Pers

Pada tahun 1962-1965, “peta ideologi” pers Indonesia dapat digambarkan

sebagai berikut: pers komunis dan pers simpatisan-simpatisan biasanya pers

nasionalis sayap kiri menduduki pers dominan dalam menciptakan opini

publik dan politik serta mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah. Pers lainnya

berada dalam posisi periferal. Karena itu penciptaan opini publik dan politik

serta mempengaruhi kebijaksanaan politik pemerintahaan yang dilakukan oleh

pers komunis harus selalu mengikuti logika kepentingan dan identitas retoris

dan politis rezim Demokrasi Terpimpin terutama Soekarno, meski dibalik itu

terselip kepentingan PKI dan simpatisan-simpatisannya.92

Pers yang termasuk dalam posisi periferal tersebut adalah pers non atau

anti komunis yang dapat dikelompokkan kedalam “pers agama”, yaitu pers

yang berafiliasi dengan partai agama, pers kelompok BPS (Badan Pendukung

Soekarnoisme) yang baru terbentuk September 1964, serta “pers militer”,

yaitu pers yang dikelola sejumlah perwira Angkatan Darat yang baru terbit

setelah pers kelompok BPS dibubarkan. Pers kelompok pertama, yakni pers

agama antara lain harian Duta Masyarakat , yang berafiliasi dengan Partai

Nahdatul Ulama, harian Sinar Harapan yang berafiliasi dengan Partai Kristen

Indonesia (Parkindo) (terbit sejak 27 April 1961), serta harian Kompas yang

berafiliasi dengan Partai Katolik (terbit 28 Juni 1965), boleh dikatakan sebagai

pers yang moderat dalam menghadapi aksi-aksi politik PKI.

92
Sebagai contoh, hal ini terjadi pada kasus PKI dalam “mengganyang” (pers) BPS pada
waktu itu, sebagai salah satu musuh politiknya. Pers Komunis dengan menggunakan atau mungkin
memanipulasi logika, kepentingan dan identitas retoris dan politis Soekarno telah berhasil
“mengganyang” kelompok BPS, sehingga kelompok ini dibubarkan oleh Soekarno dan pers
pendukungnya dilarang terbit. Lihat Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974, h. 51.

lxiv
Sedangkan pers kelompok BPS, seperti harian Merdeka, Berita Indonesia

(simpatisan partai murba), Indonesian Observer dan Warta Berita, semuanya

terbit di Jakarta, Indonesia Baru dan Waspada, di Medan, Suara Merdeka di

Semarang, Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, harian Suara Rakyat di

Surabaya dan Pikiran Rakyat di Bandung, adalah pers yang tergolong

progresif dalam menentang aksi-aksi politik PKI. Pers militer yang terpenting

adalah harian Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata, harian Berita Yudha

terbit pada 9 Februari 1965, dibawah kontrol Kepala Penerangan Staf ABRI

Mayor Jenderal Sugandhi. Kedua harian ini diterbitkan sebagai reaksi dan

tindakan politik Angkatan Darat atas dilarangnya sebagian besar pers BPS.93

Pelarangan surat kabar ini menyebabkan kevakuman pers yang

berperan sebagai counter-opini / propaganda/ informasi bagi aksi-aksi

informasi pers komunis dan pers simpatisan-simpatisannya, dalam kondisi

inilah penerbitan pers militer merupakan usaha politik Angkatan Darat untuk

mengisi kekosongan peran tersebut untuk menahan dan mengcounter laju aksi-

aksi informasi pers komunis. Dominasi pers komunis dan simpatisan-

simpatisannya dalam peta ideologi pers Indonesia kemudian berubah secara

radikal setelah peristiwa berdarah G.30S/PKI, karena pada tanggal 1 Oktober

196594 seluruh pers komunis dan simpatisan-simpatisannya dilarang terbit

untuk selama-lamanya oleh penguasa militer/perang, karena dituduh terlibat

dan mendukung peristiwa berdarah itu.

93
Ibid., h. 52.
94
Ibid., h. 53.

lxv
Sejak 1 Oktober 1965, menurut P. Swantoro dan Atmakusumah, terdapat

46 surat kabar dari 163 surat kabar secara keseluruhan yang dilarang terbit

secara permanen oleh penguasa militer/perang,95 hari-hari pertama atau bulan-

bulan pertama setelah peristiwa September berdarah itu, pers militerlah yang

mendominasi arus opini publik dan politik. Pers lainnya yang kebetulan tidak

dibredel berada dalam pengaruh penguasa militer/perang seperti

diharuskannya meminta izin khusus untuk melanjutkan penerbitannya oleh

penguasa militer, dengan alasan negara berada dalam keadaan darurat perang,

mewajibkan pemberitaan pers baik yang berhubungan dengan aktivitas militer

maupun aktivitas politik pada umumnya harus sesuai dengan versi penguasa

militer/perang.96 Dominannya posisi pers militer dalam peta ideologi pers

mencerminkan kuatnya pengaruh dan kekuatan politik militer.

Setelah suratkabar-suratkabar lama yang dibredel terbit kembali, ditambah

terbitnya surat kabar-surat kabar yang baru yang kebanyakan dikelola oleh

mahasiswa dan intelektual kampus di sekitar pertengahan 1966, maka

dominasi pers militer dalam menciptakan opini publik dan politik serta dalam

peta ideologi pers Indonesia semakin merosot. Apalagi pada tahun-tahun

berikutnya suratkabar-suratkabar yang kritis dan kharismatis diijinkan terbit

kembali, seperti harian Nusantara (Maret 1967), Indonesia Raya (Oktober

1968), Pedoman (Nopember 1968) dan Abadi (Desember 1968),97 sejak

pertengahan 1966 peta ideologi pers berada dalam keadaan seimbang, dalam

95
Angka ini telah melebihi angka pembredelan pers yang dilakukan oleh rezim
sebelumnya di tahun itu juga terhadap pers BPS, yaitu sebanyak 28 buah, dan juga melampui
angka pembredelan pers sejak SOB diberlakukan hingga runtuhnya Demokrasi Terpimpin.
96
Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974, h. 56.
97
Ibid.

lxvi
arti tidak ada pers atau kelompok pers yang mendominasi penciptaan opini

publik dan politik.

2. Kebijakan dan Kebebasan Pers di Awal Orde Baru

Pada masa Orde Lama setiap suratkabar dan majalah yang ada pada waktu

itu diwajibkan memiliki ijin terbit. Hal ini dilakukan oleh penguasa untuk

mempercepat retooling alat-alat publikasi, terutama surat kabar dan majalah,

sehingga ia dapat menjadi alat dan pendukung revolusi. Setiap penerbit pers

yang akan mengajukan surat ijin terbit diharuskan mengisi sebuah formulir

yang berisi 19 pasal98 pernyataan yang mengandung janji penanggung jawab

penerbit surat kabar dan majalah seandainya ia sudah diberi ijin terbit, yang

jika diteliti pasal per pasal memperlihatkan usaha penguasa untuk benar-benar

“menjinakkan pers”. Cara retooling ini sangat efektif untuk menjinakkan atau

memakai istilah Mochtar Lubis yaitu “mengebiri pers”.

Pada masa Orde Baru pers Indonesia disebut sebagai pers Pancasila,

cirinya adalah bebas dan bertanggung jawab. Yang ditegaskan dalam

Ketetapan MPRS Nomor XXXII/MPRS/1966, kemudian dalam Undang

Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers

disebutkan bahwa kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga Negara dan

didasarkan pada tanggung jawab nasional.99 Setelah PKI dan rezim Demokrasi

Terpimpin tumbang, persepsi, sikap dan perlakuan penguasa Orde Baru

terhadap pers mulai berubah. Hal ini terutama disebabkan oleh dua faktor

kritis yang saling mendukung. Pertama, kekuasaan Orde Baru semakin

98
Smith, Pembreidelan Pers Di Indonesia, h. 7.
99
Tebba, Jurnalistik Baru, h. 22.

lxvii
bertambah kuat dan besar setelah rezim Demokrasi Terpimpin tumbang. Tidak

ada lagi penghalang atau lawan politik Angkatan Darat atau ABRI pada

umumnya untuk meratakan jalan kekuasannya. Kedua, sejak tahun 1967, pers

Indonesia mulai lebih kritis terhadap kekuasaan Orde Baru, terutama ditujukan

pada fenomena korupsi dalam tubuh birokrasi Negara Orde Baru, yang mulai

tumbuh dan berkembang biak. Bahkan beberapa harian secara langsung

maupun tidak langsung menuduh sejumlah perwira yang dekat dengan

Presiden Soeharto terlibat korupsi seperti, Ibnu Sutowo, Alamsyah, Surjo,

Suhardiman, Sudjono Humardani dan Achmad Tirtosudiro.100

Dua faktor kritis tersebut diatas membuat Orde Baru semakin berhati-hati

terhadap pers dan mulai melakukan tindakan yang bisa dikategorikan sebagai

tindakan anti pers, seperti imbauan atau peringatan agar pers lebih ber-tepo

seliro dalam melakukan kritiknya terhadap penguasa. Menurut Tjipta

Lesmana, perubahan itu terjadi dan dirasakan sejak tahun 1969 yang ditandai

dengan berakhirnya masa “bulan madu” antara pers dan penguasa. Penguasa

pada waktu itu mulai memandang pers bukan lagi sebagai partner yang selalu

dapat membela kepentingan kekuasaannya. Pers bukan lagi dianggap sebagai

bagian dari koalisi kekuasaan Orde Baru yang bisa mendukung konsolidasi

dan perluasan kekuasaannya, namun pada periode ini pemerintah Orde Baru

cenderung bersikap menahan diri untuk melakukan tindakan-tindakan yang

lebih keras terhadap pers dikarenakan penguasa Orde Baru merasa masih

memerlukan legitimasi etis dan politis dari masyarakat untuk mengidentifikasi

dirinya sebagai penguasa yang demokratis sesuai dengan amanat yang

diembannya untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan


100
Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974, h. 68.

lxviii
konsekuen, sehingga akan membedakan dirinya dengan penguasa atau rezim

sebelumnya dan kekuatan-kekuatan politik negara yang belum siap untuk

berhadapan dengan kekuatan masyarakat yang sedang dilanda demam

demokratisasi.

Pada tahun 1973 adalah tahun “panas” dengan suhu politik yang sangat

tinggi, penguasa mulai melakukan tindakan yang lebih keras lagi. Bahkan di

awal tahun itu saja, yaitu tanggal 2 Januari 1973, Panglima Kopkamtib

Jenderal Soemitro telah mencabut surat ijin terbit (SIT) harian Sinar Harapan

untuk sementara karena dituduh telah membocorkan rahasia negara, yaitu

telah menyiarkan isi RAPBN 1973-1974 sebelum pemerintah

mengumumkannya secara resmi,101 beberapa hari kemudian Kopkamtib

memberikan peringatan kepada tiga harian yakni Pos Kota, Kami dan

Merdeka supaya tidak lagi menyiarkan intrik-intrik politik yang tidak benar.102

Seiring dengan tindakan-tindakan anti pers yang lebih keras, penguasa

mulai menunjukkan “sikap aslinya” terhadap pers, suatu sikap yang selama ini

ia sembunyikan. Dalam hal ini penguasa Orde Baru memang menyadari

bahwa kebebasan sebagai indikator dan unsur legitimasi yang penting bagi

kekuasaan demokratis, tetapi bagi penguasa Orde Baru soal ketertiban dan

ketentraman politik adalah pilihan yang lebih diutamakan, apalagi dalam

rangka mempercepat akselerasi pembangunan nasional, khususnya

pertumbuhan ekonomi yang tertuang dalam retorika politik Presiden Soeharto

pada pidatonya dalam pembukaan Sidang Umum MPR bulan Maret 1973.103

Selanjutnya pemerintah mengeluarkan Ketetapan yang tercantum dalam

101
Harian Indonesia Raya, 3 Januari 1973.
102
Harian Indonesia Raya, 5 Januari 1973.
103
Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974, h. 71.

lxix
GBHN (Tap MPR Nomor IV Tahun 1973 dan Tap MPR Nomor II Tahun

1983),104 yang merupakan penegasan kembali ketentuan pemerintah Orde

Baru terhadap pers.

Tiga bulan terakhir tahun 1973, sikap penguasa Orde Baru semakin

bertambah. Di bulan September 1973, Kopkamtib lewat Wakil Panglima

Laksamana Sudomo, memberikan peringatan keras pada pers dan masyarakat

agar ; (1) jangan main intrik politik, (2) jangan main hakim sendiri, (3) jangan

bertingkah laku menyinggung orang lain, (4) jangan hidup ekslusif. Lebih

lanjut Sudomo mengatakan “Kalau memang tidak dapat diperbaiki lagi, koran-

koran itu akan dicabut SIT-nya sebagai tindakan terakhir.”105 Seiring dengan

semakin meningkatnya protes-protes mahasiswa dan kritik-kritik tajam pers,

pemerintah Orde Baru melakukan pembreidelan pers secara massal pada bulan

Januari 1974106 oleh pemerintah terutama terhadap pers yang dianggap sangat

kritis terhadap kekuasaan Orde Baru.

Pada tahap inilah penguasa melihat dan memperlakukan pers sebagai

bagian dari sebuah konspirasi politik “anti Negara” yang bertujuan untuk

menumbangkan rezim dan kekuasaannya.107 Pers dilihat sebagai counter

power atau opposition of the state, hal ini tercermin dari alasan-alasan yang

104
Tebba, Jurnalistik Baru, h. 22.
105
Harian Indonesia Raya, 15 September 1973.
106
Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru (Bandung: PT Remaja
Rosda Karya, 2000), h. 23.
107
Kenyataan bahwa penyiksaan di tahun 1980-an oleh Negara-negara buas, merupakan
suatu kejahatan yang berkembang luas dapat terlihat apabila kita memperhatikan suratkabar-
suratkabar. Amnesty International dengan laporan-laporannya yang berdokumentasi telah
menyadarkan kita akan keseriusan masalah itu dan bagaimana meluasnya diseluruh dunia. Dalam
salah satu buletinnya 66 dari 171 negara telah dinyatakan telah melkukan penyiksaan secara
sistematis dalam salah satu bentuknya tindakan itu dlakukan oleh pihak yang berwenang di
pemerintahan (tentara, polisi, dan seterusnya). Lihat dalam Antonio Cassae, Hak Asasi Manusia di
Dunia Yang Telah Berubah , penerjemah A.Rahman Zainudin (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2005), h. 127.

lxx
dikemukakan oleh penguasa untuk membredel sejumlah pers. Dari uraian

diatas kita dapat menyimpulkan bahwa persepsi, sikap dan perlakuan

penguasa terhadap pers dimasa periode awal kebangkitan Orde Baru berubah-

ubah sesuai dan tergantung pada proses serta dinamika politik pada waktu itu.

Selama tiga dasa warsa terakhir perjalanan Orde Baru, demokrasi

Pancasila masih berada dalam tahap transisional dengan watak semi

otoriter,108 kemajuan dalam semua bidang diimbangi dengan terabaikannya

hak-hak individual warga Negara. Sehingga wajah demokrasi adalah tarik

menarik antara kebebasan politik dengan pembangunan fisik yang berasaskan

stabilitas. Melalui demokrasi, bangsa ini masih mencari keseimbangan optimal

antara hak warga Negara dengan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Ironisnya, hak-hak individual masyarakat terasa sangat diabaikan, bahkan

dalam banyak hal, diingkari secara tuntas seperti pencabutan SIUPP,109 dan

wewenang cekal seperti izin pengkajianm seminar atau diskusi yang berakibat

lumpuhnya situasi dialogis dalam kehidupan masyarakat.110

Demikianlah sebuah gambaran umum pers Indonesia pada awal

kebangkitan Orde Baru, dilihat dari sudut kuantitatif perkembangan pers lebih

bersifat statis. Dari sudut kualitatif, telah terjadi perubahan yang cukup

fundamental pada “peta ideologi” pers jika dibandingkan dengan periode

Demokrasi Terpimpin (1962-1965). Tetapi dalam hal persepsi, sikap dan

perlakuan penguasa terhadap pers telah terjadi perkembangan yang bersifat

anti klimaks. Sehingga boleh dikatakan bahwa perkembangan dan

perubahannya lebih bersifat artificial.

108
Elza Peldi Taher, Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi: Pengalaman
Indonesia Masa Orde Baru (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994), h. xvii.
109
SIUPP adalah Surat Izin Usaha Penerbitan Pers
110
Abdurrahman Wahid, Demokrasi Pancasila Masih Otoriter dalam harian KOMPAS,
18 November 1993, h. 1.

lxxi
BAB IV

MOCHTAR LUBIS MENGUNGKAP KASUS-KASUS

KORUPSI DI MASA AWAL ORDE BARU

A. Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani Kasus Korupsi Di Indonesia

1. Tim Pemberantas Korupsi (TPK)

Upaya pemberantasan korupsi pada masa awal Orde Baru sudah

dimulai sejak dibentuknya Tim Pemberantas Korupsi (TPK) pada tanggal

5 Desember 1967, melalui Kepres No. 228 tahun 1967.111 TPK diketuai

oleh Jaksa Agung Soegih Arto, tim ini dilantik pada tanggal 17 Desember

1967 di Jakarta.112 Menurut Mayjen Sugih Arto, “TPK merupakan

lembaga yang beroperasi dibidang teknis yuridis, maka dalam

pelaksanaannya harus memakai prosedur yuridis, TPK bukanlah lembaga

politis.”113

Secara umum susunan TPK terdiri dari para pejabat tinggi militer dan

beberapa pejabat Kejaksaan Agung. Termasuk di dalamnya ada empat

orang perwakilan dari wartawan diantaranya adalah Fikri Djufri mewakili

harian Kami, Bachtiar Djamily mewakili OPERASI, Hafas mewakili

harian Nusantara dan seorang wartawan dari SELECTA.114 Susunan TPK

terdiri dari Kelompok Penasehat, yaitu Menteri Kehakiman, Panglima

Angkatan Darat, Panglima Angkatan Laut, Panglima Angkatan Udara,

111
KOMPAS, 6 Desember, 1967.
112
Akhmad Zaini Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974 (Jakarta: LKiS, 1995), h.168.
113
KOMPAS, 18 Desember, 1967.
114
Ibid.

lxxii
Panglima Kepolisian. Sedangkan Anggota Tim terdiri dari Mayjen Sutopo

Juwono dari AD, Laksamana Muda Sudomo dari AL, Brigjen Polisi

Soebekti, Jaksa Agung Muda Abdurrasjid, S. H. dan Kusnun, S. H. dari

Departemen Kehakiman. Selain penasehat dan anggota tim, dalam TPK

terdapat beberapa satuan tugas yang memiliki tugas yang berbeda,

diantaranya adalah satuan tugas A yang bertugas melakukan pengumpulan

dan pengolahan informasi, satuan tugas B bertugas melakukan

penyelidikan dan penuntutan dan satuan tugas C bertugas melakukan

penyelesaian perdata dan tugas-tugas administrasi. Dalam TPK terdapat

seorang yang berfungsi sebagai sekretaris tim, selain itu ada satuan-satuan

tugas pelaksana lapangan pemberantasan korupsi yang terdiri unsur

kejaksaan, unsur keempat angkatan, ahli ekonomi, ahli keuangan

perbankan, unsur pers dan unsur kesatuan aksi.115

Pembentukan TPK merupakan jawaban pemerintah terhadap kritikan

dan keprihatinan masyarakat terhadap yang disalurkan melalui pers dan

mahasiswa, sepanjang tahun 1966 sampai 1967. Hal ini menandakan

bahwa pemerintah pada waktu itu cukup tanggap dalam mendengar

aspirasi masyarakat. Selain itu, posisi pers cukup berpengaruh dalam

menentukan political will pemerintah dan mendapat perhatian

pemerintah.116 Political will pemerintah tidak sepenuhnya dijalankan

secara konsisten. Hal itu dapat terlihat dengan tindakan TPK yang hanya

melakukan memproses kasus-kasus kecil yang melibatkan pejabat-pejabat

115
Ibid.
116
Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974 , h.168-169.

lxxiii
rendah pemerintah. Sehingga semenjak dibentuk oleh Presiden Soeharto,

TPK banyak mendapat kritikan terhadap kinerjanya, baik dari masyarakat

umum maupun pers bahkan kritikan itu muncul dari beberapa anggota

TPK itu sendiri, yang berpendapat bahwa TPK tidak melakukan tindakan

yang berarti dalam pemberantasan korupsi.117

Bahkan struktur dalam organisasi TPK yang ada justru memperlambat

penyelesaian kasus korupsi. Kritikan pun datang dari kalangan parlemen

diantaranya disampaikan oleh anggota MPRS A.P. Batubara yang

mengatakan bahwa,

“TPK dibentuk untuk mengumpulkan data-data yang terkait dengan


korupsi. jadi bila TPK ingin berhasil harus berani. Jika tidak maka
nasibnya akan sama dengan tim-tim anti korupsi terdahulu seperti
Operasi Budhi pada masa Orde lama. Bahkan apabila masalah
penanganan korupsi tidak menemui jalan pemecahan maka
dimungkinkars di masyarakat akan muncul suatu "Gerakan Anti-
Korupsi.”118

Di luar parlemen sudah lama ada suara-suara yang menghendaki

dibentuknya undang-undang anti-korupsi sebagai payung hukum yang

baru bagi TPK. Diantaranya dari kalangan pers dan mahasiswa yang

menghendaki agar kinerja TPK lebih ditingkatkan. IR sebagai harian yang

kritis tidak luput juga melakukan kritikan terhadap kinerja TPK, terutama

dalam hal kelanjutan perkara kasus-kasus korupsi yang ditangani TPK.

hingga bulan April 1969 belum banyak kasus-kasus korupsi besar yang

dibawa ke pengadilan. Bahkan kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan

para pejabat tinggi masih banyak yang belum diadili. Berdasarkan sumber

117
Indonesia Raya, 16 November 1968.
118
Indonesia Raya, 29 November 1968.

lxxiv
IR disebutkan beberapa kasus yang belum dibawa kepengadilan antara lain

kasus korupsi Yayasan Grafika yang bernilai sebesar $ 1 juta dan Rp 90

juta dan perkara korupsi CV Waringin yang terkait dengan manipulasi

pembelian Tengkawang yang dananya adalah berasal dari pinjaman

pemerintah senilai Rp 400 juta, kasus penipuan Coopa dan lain-lain.

Menanggapi kritikan IR, TPK melalui Ketuanya Jaksa Agung Soegih

Arto mengatakan bahwa untuk sementara waktu kasus korupsi kelas kakap

belum dapat diurus secara tuntas, karena terkait dengan adanya “kesulitan

teknis.”119 Walaupun mendapat kritikan dari banyak kalangan, kinerja

TPK bisa dikatakan tidak menunjukan ke arah yang memuaskan.

Berdasarkan hasil kerja dari periode 1967 sampai awal 1969, TPK hanya

mampu menyelesaikan 172 kasus korupsi, yang mencakup kasus korupsi

di instansi pusat dan daerah.120

2. Tim-Tim Anti Korupsi Lainnya

Tim-tim anti korupsi pada masa awal Orde Baru tidak hanya bersifat

refresif yang terkait dengan hukum, namun ada juga tim yang lebih

bersifat memberikan rekomendasi dengan cara melakukan penelitian

dengan memakai tenaga akademis. Diantaranya adalah Tim Task Force UI

(TF UI), yang beranggotakan para akademis UI yang beranggotakan para

akademisi yang meliputi para pengajar dan mahasiswa, TF UI dipimpin

langsung oleh Soeharto sebagai ketua dari Presidium Kabinet Ampera dan

dibentuk pada tahun 1968. Tugas dari TF UI adalah membantu pemerintah

119
Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974 , h. 169.
120
Indonesia Raya, 5 Maret 1969.

lxxv
dalam melakukan penelitian dibanyak instansi Negara dan membuat

laporan sera rekomendasi yang diserahkan kepada pemerintah untuk

membantu pemerintah dalam upaya mngamankan keuangan Negara dari

praktek-praktek korupsi oleh oknum-oknum pejabat Negara.121 Namun

seperti TPK, TF UI juga mengalamii kegagalan karena rekomendasi dan

laporan yang disampaikan TF UI tidak pernah ditindak lanjuti.

Selain itu ada juga tim Pekuneg ( pengawas keuangan Negara), yang

dibentuk Presiden Soeharto pada 30 April 1966 yang pada waktu itu masih

menjabat sebagai Waperdam bidang Hankam, yang beranggotakan dari

unsure kejaksaan dan Bank Sentral. Tim ini bersifat preventif, yang tujan

dibentuknya lembaga ini yaitu untuk menyelamatkan keuangan negara,

karena pada masa Orde Lama banyak kebijakan ekonomi yang merugikan

negara.122

Ada juga tim yang berada dalam naungan lembaga Kepolisian yaitu

Tim Pemeriksaan (C) khusus (TPC) merupakan sebuah tim yang dibentuk

dalam badan Polri yang bertugas melakukan pengusutan kasus-kasus

korupsi di lembaga-lembaga perbankan milik pemerintah maupun swasta,

dibawah koordinasi Mabes Polri. Tim pemeriksaan (C) khusus diketuai

oleh Komisaris Besar Polisi Drs. Sukarjo, SH. Selama periode kerja antara

tahun 1967 sampai 1968, tim ini berhasil mengusut 85 perkara yang telah

menyelamatkan uang Negara sebesar 25 miliar rupiah yang meliputi

121
Sjahrir, “ Pengamanan Dana dan Daya Negara, Soal Pemberantasan atau Pencegahan
Korupsi”, dalam Prisma, No.3. tahun 1986.
122
Harian Indonesia Raya, 21 Maret 1969.

lxxvi
penanganan 17 bank-bank swasta dan 5 bank-bank pemerintah.123 Dalam

perkembangannnya kinerja lembaga ini menurun sehingga peluang

kerugian Negara masih sangat besar seperti dalam kasus Bank BNI, BI,

kasus BE dan lain-lain.

Selain tim-tim diatas ada juga Tim Penuntut Perkara-Perkara

Penyelundupan (TP4) dibawah koordinasi langsung Bea dan Cukai, yang

juga sangat mengecewakan karena jumlah penyelundupan tidak

mengalami pengurangan bahkan semakin meningkat. Upaya IR

menjalankan peranannya sebagai pers dalam memberikan informasi-

informasi berbagai korupsi yang terjadi di pemerintah, IR telah banyak

memiliki dokumen-dokumen sebagai bukti kasus-kasus korupsi terutama

barang-barang bukti kasus Pertamina dan Coopa. Namun bukti-bukti

tersebut tidak memiliki arti penting karena para aparat penegak hukum

terutama Jaksa Agung tidak menindaknya dengan sungguh-sungguh.

Seperti kasus Coopa yang telah meyeret tersangka Arief Husni sebagai

ketua perwakilan Coopa di Indonesia. Ternyata tidak memiliki hasil yang

menggembirakan, walaupun sebelumnya Arief Husni sempat ditahan oleh

pihak Jaksa Agung namun akhirnya dibebaskan dan kasusnya dipetieskan,

dengan menyelesaikan kasus Coopa di luar persidangan.

Begitu pula yang terjadi dengan kasus Pertamina, berbagai barang

bukti yang telah disampaikan oleh IR tidak direspon secara cepat. Bahkan

apa yang disampaikan oleh Wilopo sebagai ketua Komisi Empat, ia

memiliki pendapat yang sama dengan IR mengenai ketidakseriusan aparat


123
Harian Indonesia Raya, 19 Februari 1969.

lxxvii
penegak hukum dalam menangani kasus korupsi terutama Pertamina dan

Coopa.124

Jadi bisa dikatakan upaya pers khususnya IR dalam membantu

pemerintah dalam pcmberantasan korupsi telah merasakan kekecewaan

terhadap pemerintah terutama kepada para penegak hukum yang dinilai

lamban. Kekecewan tidak hanya dirasakan oleh IR, namun tim-tim

rekomendasi korupsi seperti Komisi Empat merasakan kekecewaan yang

sama. Sebab setelah tugas Komisi Empat selesai dalam memberikan

rekomendasi kepada Presiden Soeharto tidak ada tindak lanjut dari

pemerintah yang nyata. Bahkan bisa dikatakan posisi Presiden Soeharto

sebagai pemerintah tidak menunjukan kemauan yang sungguh-sungguh

dalam upaya pemberantasan korupsi.

3. UU Anti Korupsi dan UU Pertamina

Landasan hukum yang dipakai oleh pemerintah awal Orde Baru dalam

pemberantaan korupsi, sebelum dibentuknya undang-undang antikorupsi

yang baru adalah memakail produk hukum Orde Lama yaitu UU No. 24

Prp tahun 1960 mengenai tindakan pemberantasan korupsi dan KUHP

warisan jaman kolonial Belanda, yang batasan korupsi sangat sempit yaitu

“ yang terkait dengan penggunaan uang Negara secara tidak sah dan benar-

benar merugikan uang Negara.”125 Selain itu, dalam UU tersebut diatur

mengenai perbedan pemerikasaan antara pengadilan sipil dan pengadilan

militer sehingga menyulitkan upaya pemberantasan korupsi.126

124
“Asal,Asal, Asal!” Tajuk Rencana Harian Indonesia Raya, 1 Oktober 1970.
125
Harian Indonesia Raya, 7 Agustus 1970.
126
Soeparman, SH., “Sulit Memberantas Korupsi Di Indonesia” dalam harian Indonesia
Raya, 22 Agustus 1970.

lxxviii
RUU anti korupsi yang dibahas di DPR-GR cukup banyak mengundang

perdebatan wacana mengenai isi RUU anti korupsi, pasal yang paling

diperdebatkan adalah pasal 35 yang berisi “Terhadap segala tindak pidana

korupsi yang telah dilakukan sebelum saat UU ini berlaku pada setiap tindak

pidana dilakukan penyelesaiannya berdasarkan legalitas hukum.”127 Akhirnya

setelah sekian lama disusun oleh pemerintah dan DPR-GR yang memakan

waktu 8 bulan, pada tanggal 12 Maret 1971 RUU anti korupsi disahkan

menjadi UU anti korupsi yang baru, kemudian dimaukkan dalam lembaran

Negara sebagai UU Nomor 3 Tahun 1971.128

Selain pembentukkan UU anti Korupsi pemerintah juga membentuk

sebuah UU Pertamina, berdasarkan laporan Komisi Empat pemerintah

membentuk panitia menteri perumusan RUU Pertamina, setelah lebih dari satu

than digulirkan maka pada tanggal 23 Agustus 1971 RUU Pertamina disahkan

menjadi UU No.8 Tahun 1971.129

B. Mochtar Lubis Dalam Harian IR Mengungkap Kasus-Kasus Korupsi

1968-1973

1. Kasus Korupsi Coopa dan Ciba

Pada masa awal Orde Baru Pemerintah mulai melakukan pembenahan

program pangan dengan melakukan peningkatan di bidang pertanian.

127
S. Tasrif, SH, “Dapatkah RUU Anti Korupsi Berlaku Surut” dalam harian Indonesia
Raya, 9 September 1970.
128
Syahrul Mustofa, ed., Mencabut Akar Korupsi (Jakarta: SOMASI-NTB, The Asian
Foundation dan USAID, 2003), h. 96.
129
Sutanto, S.H. ED., Undang-Undang RI Tentng Minyak dan Gas Bumi (Jakarta:
Pancar Utama, 2002).

lxxix
Dalam upaya program tersebut pemerintah menempuh jalan dengan cara

melakukan pembimbingan kepada para petani. Program bimbingan kepada

para petani tersebut dikenal dengan istilah Bimas.130

Untuk mendukung program tersebut pemerintah mengundang

perusahaan asing yang bergerak dibidang pertanian. Maka muncul

beberapa nama perusahaan asing, yang masing-masing bernama Coopa,

Hoechst dan Ciba. Coopa dan Ciba mendapat wewenang untuk

melaksanakan program Bimas di wilayah Jawa terutama Jawa Barat dan

Jawa Tengah. Wilayah Jawa Barat masuk daiam wilayah bimbingan

Coopa, diantaranya wilayah Serang, Pandegelang, Lebak, Tangerang,

Banjar, Sukabumi, Cianiur dan Bandung yang mencakup areal pertanian

seluas 150.000 hektar. Sedangkan wilayah Jawa Tengah masuk dalam

wilayah bimbingan Ciba.131 Selama beberapa minggu program bimas ini

berjalan nampaknya tidak ada realisasi yang nyata dari para perusahaan

asing tersebut dalam mengupayakan pembinaan kepada para petani.

Hal tersebut telah mengundang pertanyaan dari masyarakat terutama

kalangan pers. Maka pada pertengangan bulan April 1969 IR melakukan

sorotan terhadap program Bimas tersebut termasuk terhadap Coopa dan

Ciba, termasuk sorotan terhadap Departemen Pertanian. Berdasarkan

informasi yang dihimpun oleh IR, bahwa kontrak antara Coopa dan

130
Cikal bakal program bimas (bimbingan massal) sudah mulai diperkenalkan pada masa
Orde Lama yang didukung oleh The College of Agriculture of the University of Indonesia
(sekarang Institut Pertanian Bogor) yang mulai dirintis pada tahun 1962/1963. Lihat E. A.
Roekasah dan D. H. Penny, “Bimas: A New Approach to Agricultural Extention In Indonesia”
dalam BIES No. 7 bulan Juni tahun 1967.
131
Harian Indonesia Raya, 21 April 1969.

lxxx
Departemen Pertanian sudah berlangsung sejak tanggal 15 Maret 1969.

Kontrak tersebut disepakati di Jakarta antara Menteri Pertanian dengan

kepala perwakilan Coopa di Jakarta yang diwakili oleh Arief Husni.

Berdasarkan alasan yang dikemukan oleh Coopa bahwa belum

direalisasikannya program tersebut karena adanya kendala pemindahan

uang dollar dari The United Commercial Bank London di London ke

Indonesia, yang menurut IR sesuatu hal yang aneh. Berdasarkan

penelusuran IR keberbagai sumber disebutkan bahwa Coopa adalah

perusahaan yang tidak memiliki integritas dibidang pertanian. “... Coopa

hanyalah sebagai “Broker” tidak punya tenaga ahli pertanian. Karena

kedekatan hubungan dengan oknum Departemen Pertanian maka Coopa

berhasil menutup kontrak dengan pemerintah.” 132

Menanggapi sorotan IR tersebut, Coopa melalui humasnya melakukan

penyangkalan terhadap beberapa hal mengenai serangan terhadap Coopa.

Diantaranya mengenai realisasi program bimas yang sudah dilaksanakan

dan Coopa telah mengucurkan uang untuk program Bimas, selain itu

Coopa telah menyediakan beberapa kendaraan operasional. Nampaknya IR

tidak terlalu puas dengan sanggahan yang disampaikan oleh Coopa. Untuk

itu IR melakukan pencarian informasi ke pihak lain. Salah satunya adalah

kepada Kepala Dirjen Pertanian Departemen Pertanian Sadikin

Sumintawikarta yang mcnyangkal bahwa Coopa telah memenuhi

132
Harian Indonesia Raya, 21 April 1969.

lxxxi
kewajibannya dalam menyelenggarakan program Bimas tepat waktu.133

Hal yang samapun disimpulkan oleh rapat kerja Bimas se-Jawa yang

dilaksanakan di Ciawi, telah menyimpulkan bahwa program Bimas yang

diselengarakan oleh Coopa mengalami keterlambatan.

Masalah kasus Coopa tidak hanya masalah ketidakberesan program

Bimas yang diselenggarakannya namun sudah menyangkut masalah

penipuan uang negara yang dilakukan oleh kepala perwakilan Coopa di

Indonesia yaitu Arief Husni alias Ong Keng Seng atau Ong Seng King.

Arief Husni melalui Coopa telah berhasil menutup kontrak pembelian

diazinon (insektisida) sebanyak 200 ton senilai US $ 711.000, melalui

rekomendasi Aspri bidang keuangan yaitu Jenderal Soerjo.134

Perkembangan selanjutnya uang yang telah dibayarkan oleh pemerintah

melalui BI, ternyata tidak ada hasil berupa pengiriman diazinon tersebut.

IR memberikan sorotan tajam terhadap kasus ini termasuk terhadap

pemalsuan sertifikat surveyor dan bill of lading oleh Arief Husni dan

sorotan mengenai tindakan hukum terhadap penangkapan Arief Husni

yang cukup kontroversial.

2. Kasus Korupsi Pertamina

Pengungkapan kasus korupsi pada tahun kedua semenjak terbitnya IR

ditandai dengan sorotan gencar terhadap Pertamina135 pada pertengahan

bulan November 1969. Sorotan pertama IR pada Pertamina dimulai pada


133
Harian Indonesia Raya, 24 April 1969.
134
Harian Indonesia Raya, 2 Maret 1970.
135
Perusahaan Pertamina terbentuk pada tahun 1968 yang merupakan gabungan dari tiga
perusahaan antara lain Pertamin, Permina dan Permigran. Keterlibatan Ibnu Sotowo di bidang
perminyakan sudah berlangsung sejak tahun 1957, ketika ia dipercaya untuk menduduki posisi
Direktur Permina. Lihat Bruce Glassburner, In The Wake Of General Ibnu: Crisis In The
Indonesian Oil Industry” dalam ASIAN SURYEY Vol. XVI No. 12 November 1976.

lxxxii
tanggal 22 November 1969. Sorotan terhadap Pertamina menjadi berita

yang selalu ditampilkan di halaman utama bahkan sering menjadi

headline. Dalam mengungkap kasus Pertamina IR menggunakan berita

laporan bersambung yang berjudul “Menyorot Pertamina” yang ditulis

oleh nama inisial wartawan IR yang menggunakan nama inisial

“Wartawan Chas Indonesia Raya.”136

Sorotan IR terbadap Pertamina untuk pertama kalinya mengungkap

masalah pengembangan perusahaan Pertamina yang melakukan perluasan

usaha di luar bidang perminyakan yang membuka beberapa perusahaan

baru di luar negeri. Beberapa perusahaan yang sempat didirikan Pertamina

antara lain dibidang restauran, agen pariwisata, hotel di luar negeri, travel

biro, penerbangan charter dan lain-lain. Dalam pemberitaan tersebut juga

disebut nama Jenderal Ibnu Sutowo sebagai Direktur Utama Pertamina

yang paling bertanggung jawab terhadap kondisi Pertamina. Menurut IR,

pertamina merupakan perusahaan yang manajemennya susah untuk

dikontrol karena sangat tertutup, terutama dalam masalah keuangannya

sehingga tidak dapat tersentuh oleh badan-badan pemeriksa keuangan

negara seperi Pekuneg, termasuk Departemen Pertambangan yang

membawahi langsung Pertamina. Hal itu terkait dengan posisi Ibnu

Sutowo yang sangat dominan di Pertamina.137 Salah satu contoh lemahnya

kontrol pemerintah terhadap Pertamina adalah dalam hal pendataan

inventaris kekayaan Pertamina yang belum jelas. Semenjak pengambil


136
Inisial “Wartawan Khas Indonesia Raya” menurut Sri Rumiati Atmakusumah adalah
tulisan khusus Mochtar Lubis yang dimuat berseri.
137
Harian Indonesia Raya, 22 November 1969.

lxxxiii
alihan perusahaan-perusahaan minyak Belanda, data-data inventaris

kekayaan pertamina belum selesai dibuat secara jelas dan terperinci.138

Jadi bisa dikatakan Pertamina sebagai perusahaan yang tidak transparan

dalam hal keuangan dan penggunaan uang Pertamina yang tidak terkontrol

oleh pemerintah.

Sehingga hal-hal tersebut berdampak pada keraguan negara-negara

kreditor yang ingin membantu keuangan Indonesia. Terutama pertanyaan

pertanyaan negara-negara kreditor mengenai pengontrolan keuangan

negara, salah satunya terhadap Pertamina. Hal ini tentunya sesuatu hal

yang wajar sebab pada masa itu Indonesia banyak melakukan pinjaman

keuangan namun negara-negara kreditor sangat menilai ironis karena

Indonesia sendiri tidak mampu mengontrol keuangannya sendiri.139

Selain upaya klarifikasi dan “pembersihan” (screening) karyawan yang

telah dilakukan oleh Pertamina. Pertamina juga melakukan upaya propaganda

melalui pers, untuk melakukan pembantahan terhadap serangan-serangan IR,

bahkan berupaya melakukan serangan balik terhadap IR sekaligus mencoba

menjatuhkan tingkat kepercayaan publik terhadap IR. Hal itu dapat terlihat

dari tajuk rencana yang ditulis oleh Mochtar Lubis mengenai komentarnya

terhadap serangan yang telah memojokkan dirinya, melalui beberapa harian di

Jakarta.140

138
Harian Indonesia Raya, 24 November 1969.
139
Harian Indonesia Raya, 25 November 1969.
140
Harian-harian yang melakukan “serangan-serangan” terhadap IR antara lain harian
Suluh Minggu, Harian Rakyat, Binlang Timur, Suluh Indonesia. Berita Minggu lihat “Mengulang
Pola Lama” Tajuk Rencana Harian Indoneisia Raya, 22 Januari 1971. Kasus tuduhan atau
“serangan” terhadap IR mengenai upaya pengungkapan kasus korupsi yang dilakukan IR

lxxxiv
“...Berita palsu mengenai percakapan antara Adam Malik dan
Mochtar Lubis mengenai Pertamina adalah salah satu
contoh...Pemimpin Pertamina mencoba segala jalan untuk
menutupi borok-borok yang mereka bikin dalam tubuh Pertamina
dengan melancarkan segala fitnah dan mencoba-coba pula untuk
menimbulkan keragu-raguan pada integritas harian ini. Mereka
kini menyiarkan seakan Indonesia Raya menyiarkan semua ini
untuk menghancurkan Pertamina demi keuntungan modal-modal
asing...memakai nama pembesar guna membela diri,...sebuah
keterangan yang dikatakan diucapkan oleh Menteri Penerangan
Boediardjo yang disiarkan sebuah Koran di Jakarta. Dalam berita
itu dilaporkan seakan Menteri Penerangan telah mengatakan,
“...bahwa sampai saat ini pemerintah beranggapan bahwa apa
yang dilaksanakan oleh PN Pertamina adalah benar...PN
Pertamina adalah perusahaan pemerintah, oleh karenanya apa
yang dilaksanakan oleh perusahaan tersebut dianggap oleh
pemerintah benar.” 141

Ada hal cukup menarik terhadap segala upaya yang dilakukan oleh

Pertamina dalam melakukan sanggahan terhadap serangan-serangan yang

dilakukan oleh IR. Yaitu mengapa Pertamina tidak melakukan jalur hukum?

Hal inilah yang menjadi argumen kuat dan keyakinan IR terhadap kebobrokan

yang sedang berlangsung di Pertamina. Sebab menurut IR apabila Pertamina

menempuh jalur hukum terhadap masalah pengungkapan yang dilakukan IR,

IR memastikan Pertamina akan kalah di pengadilan sebab bukti-bukti yang

dimiliki oleh IR telah menjadi pertimbangan Pertamina untuk tidak

mengangkat masalah pengungkapan korupsi oleh IR ke meja hijau.142

khususnya di Pertamina yang sempat diperkarakan sampai ke pengadilan adalah kasus B. M. Diah
yang merupakan pemimpin redaksi Harian Merdeka yang melakukan tuduhan mengenai
pemerasan Mochtar Lubis terhadap Pertamina, yang dimuat di harian Merdeka pada tanggal 20
Januari 1971. Kemudian Mochtar Lubis melakukan tuntutan terhadap B.M. Diah terhadap perkara
fitnahan yang ditujukan kepadanya. Perkara fitnahan B. M. Diah terhadap Mochtar Lubis baru
disidangkan pada tanggal 10 Februari 1972. Setelah menjalankan 23 kali persidangan maka B. M.
Diah dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan dikenakan ganti rugi sebanyak satu juta rupiah
dengan kewajiban meminta maaf kepada Mochtar Lubis (IR) di harian Merdeka selama satu
minggu berturut-turut. Lihat Harian Indonesia Raya, 13 April 1973.
141
“Mentalitas Wartawan yang Bejat” Tajuk Rencana Harian Indonesia Raya, 29
Desember 1969.
142
Perkembangan kasus Pertamina berlangsung hingga IR mengalami pembredelan
penutupan pada Januari 1974. Puncaknya adalah ketika Pertamina mengaiami kebangkrutan pada

lxxxv
“Jika laporan-Iaporan Indonesia Raya mengenai penyelewengan di
Pertamina tidak benar, maka ini berupa fitnah dan mencemarkan nama
baik Direktur Ufama Ibnu Sutowo. dan sebaiknya Indonesia Raya
diadukan ke pengadilan. Kami amat senang jika Ibnu Sutowo
menempuh jalan ini... Kami bersedia menjadi orang pertama yang
diperiksa oleh tim peneiiti DPR ataupun pemerintah mengenai
persoalan penyelewengan-penyelewengan di Pertamina ini. Kami pun
paling senang untuk diperiksa oleh pengadilan, agar kami dapat
menyampaikan fakta-fakta dan bukti-bukti penyelewengan-
penyelewengan di Pertamina dan supaya Ibnu Sutowo cs dapat
dimintai keterangan di bawah sumpah.”143

Selama dua tahun melakukan upaya pengungkapan kasus korupsi.

khususnya ketika melakukan pengungkapan kasus “mega korupsi” Pertamina.

IR telah banyak mendapi respon, baik positif maupun negatif dari banyak

kalangan. Respon negatif yang biasa diterima oleh IR tidak hanya terkait

dengan serangan-serangan oleh pers lain melainkan IR juga pernah mendapat

“teror” yang ditujukan terhadap IR (Mochtar Lubis). Seperti yang pernah

disampaikan oleh Mochtar Lubis dalam sebuah wawancara Radio UI,

mengeru tanggapannya terhadap teror yang ditujukan kepadanya

“... sebagai manusia biasa tentu saya takut....adanya orang-orang


bayaran yan ditugaskan untuk “memendekan umur”. Seperti
salah seorang anggota redaksi IR yan diprovokasi oleh orang
yang berbadan tegap untuk “memendekan umur”...tetapi dilain
pihak justru para koruptor-koruptor yang harus menjag
keselamatannya... .” 144

Hal yang sama pun terjadi ketika pada akhir bulan Mei 1970. Peristiwa

teror terjadi ketika IR dalam beberapa hari berturut-turut menampilkan foto

tahun 1975. Pada awal tahun 1975 Pertamina mengalami krisis liquiditas sehingga tidak mampu
membayar hutang jangka pendek sebesar 40 juta dollar AS, hingga bulan Juli 1975 hutang luar
negeri Pertamina mencapai 2,3 miliar dollar AS, dengan hutang jangka pendek 1.5 miliar dollar
AS dan hutang dalam negeri 120 juta dollar AS. Akhmad Zaini Abar, Kisah Pers Indonesia 1968-
1974, h. 178-179.
143
'”Mari ke Pengadilan” Tajuk Rencana Harian Indonesia Prisma, 29 Januari 1970.
144
Hasil wawancara dengan Radio UI “Mochtar Lubis Berbicara Tentang Korupsi, Tidak
Benar Ibni Sutowo Manajer yang Baik yang dimuat dalam Harian Indonesia Raya, 17 Februari
1970.

lxxxvi
Bruce Rappaport, yang kemudian menjadi headline beberapa hari pada akhir

Mei 1970. Bruce Rappaport adalah orang yang dianggap oleh Mochtar Lubis

sebagai cukong baru Pertamina. Berita mengenai Bruce Rappaport pertama

kali muncul pada tanggal 26 Mei 1970, dengan judul “Rappaport Tjukong

Pertamina Baru, Tjarter Kapal untuk Tjarterkan Lagi Pada Pertamina,

Kerugian Negara Puluhan Juta?”

3. Kasus Korupsi Lainnya

Selain kasus Bulog, Ciba, Pertamina dan Coopa masih ada beberapa kasus

korupsi yang diungkap selama tahun-tahun pertama kemunculan IR. Di

antaranya adalah kasus; skandal antara Yayasan Al-Ichlas145 dengan

Direktorat Urusan Haji mengenai keterlarnbatan keberangkatan haji tahun

1969. Hal ini berawal ketika beberapa oknum Direktorat Urusan Haji

melakukan pungutan di luar dari pembiayaan resmi keberangkatan haji yang

telah ditetapkan. Sehingga meyebabkan pihak yayasan Al-Ichlas merasa

keberatan terhadap hai tersebut, yang berdampak kepada terlantarnya para

jamaah haji vang akan berangkat ke tanah suci.146 Dalam kasus ini terlihat

jelas beberapa oknum direktorat urusan haji yang melakukan manipulasi

diantaranya dengan laporan pembukuan keuangan yang tidak transparan.

Berdasarkan investigasi IR setidaknya ada dua orang yang paling bertanggung

jawab dalam kasus ini yaitu Kepala Dinas Perlengkapan Dirjen Urusan Haji

145
Yayasan Al-ikhlas adalah yayasan yang bergerak dalam bidang pemberangkatan
jamaah haji, yan£ bekerja sama dengan Departemen Agama khususnya dengan Direktorat Urusan
Haji.
146
Harian Indonesia Raya, 22 Februari 1969

lxxxvii
dan Kepala Dinas Angkutan dan Pengasramaan Dirjen Urusan Haji.147 Dari

kasus skandal haji ini maka terungkaplah praktek-praktek manajemen yang

buruk di dalam Departemen Agama, yang dapat dilihat dari kontrol yang

lemah Departemen Agama terhadap Direktorat Urusan Haji terutama dalam

hal laporan keuangan. Hal ini disebabkan karena Direktorat Urusan Haji

melakukan kebijakan keuangan tertutup (covered policy).148

Selain itu, ada kasus Mantrust yang menjadi sorotan panjang dalam

periode awal tahun 1968. Kasus Mantrust berawal ketika terjadi kesepakatan

antara pemerintah mengenai proyek pengadaan beras alternatif yang bertujuan

untuk memperkuat ketahanan pangan. dengan melakukan riset untuk

menghasilkan sebuah terobosan baru dalam pengadaan makanan pokok. Hasil

dari riset tersebut menghasil kan sebuah produk beras yang dikenal dengan

istilah “beras tekad”.149

Latar belakang program pengadaan beras tekad sudah berlangsung sejak

pemerintahan Orde lama kemudian baru direalisasikan pada masa awal Orde

Baru. Alasan mengapa pemerintah melakukan kebijakan ini adalah karena

produksi beras yang dihasilkan tidak mencukupi kebutuhan masyarakat. Juga

kesanggupan pemerintah untuk melakukan impor beras sangat lemah kerana

jumlah devisa negara yang terbatas ditambah lagi pada waktu itu harga beras

dipasar, jnteruasional cukup tinggi. Sorotan-sorotan yang diangkat oleh IR

terkait dengan Mantrust dengan proyek bertekad, antara lain masalah

147
Harian Indonesia Ray a, 1 April 1969.
148
Harian Indonesia Raya, 3 April 1969
149
Djokosaptono Siamet, “Beras Tekad, Mula-mula Disebut Beras llmiah-yang Sinis
Menyebutnya Beras Nekad-Akhirnya Terbuat dari Ganja (gandum-jagung)” dalam Harian
Indonesia Raya, 20 November 1968.

lxxxviii
manipulasi harga-harga perlengkapan yang dibeli dari Jepang untuk pabrik

pembuat beras tekad. Mantrust juga tidak berhasil memenuhi kontrak beras

tekad seharga Rp 150 juta kepada pemerintah (Bulog), IR mempertanyakan

Bulog sebanyak pihak yang dirugikan justru tidak mengajukan gugatan.

Bahkan berdasarkan investigasi wartawan IR dana Bulog sebesar Rp 150 juta

dilaporkan 90% nya hanya dibelikan mesin-mesin dan yang paling janggal

adalah justru produk beras yang dihasilkan oleh Mantrust bukanlah beras

tekad yang sesungguhnya melainkan hanya terbuat dari terigu dan jagung.150

Berdasarkan pandangan IR kasus Mantrust adalah kasus yang merugikan

negara bahkan berdasarkan informasi yang didapat oleh IR mengenai

Mantrust. Mantrust adalah perusahaan yang erat kaitannya dengan para oknum

Bulog termasuk di antaranya Kepala Bulog Jenderal Achmad Tirtosudiro dan

wakil Bulog Zam Zam. Mantrust juga tercatat pada masa Orde Lama sebagai

perusahaan rekanan Angkatan Darat sebagai penyuplai utama kebutuhan

pokok para tentara. Direktur Utama Mantrust yaitu Tan Kiong alias Tegoeh

Soetantyo adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap kasus ini

narnun dalam perkembangannya kelanjutan dari kasus Mantrust tidak ada

tindakan nyata terhadap pelakunya. walaupun kasus Mantrust pernah dibahas

oleh komisi VI di DPR-GR. Selain itu. muncul kasus korupsi yang melibatkan

lembaga ABRI diantaranya kasus pemebelian Kapal LST. Pada masa awal

Orde Baru kondisi peralatan ABRI mengalami kekurangan baik secara jumlah

maupun kondisi peralatan. Jumlah dan kondisi yang tidak memadai tersebut

150
Harian Indonesia Raya, 22 Agustus 1969.

lxxxix
telah mendorong pimpinan ABRI untuk melakukan penambahan peralatan

ABRI, untuk kepentingan tersebut Angkatan Darat membeli beberapa jumlah

kapal LST bekas. Kapal LST yang dibeli oleh Angakatan Darat ini adalah

sepuluh buah kapal LST yang dibeli dari Argentina.

Permasalahan yang diangkat oleh IR dalam kasus LST adalah proses

transaksinya yang terlihat adanya kejanggalan. Kejanggalan-kejanggalan

dalam transaksinya inilah yang menjadi sorotan IR dalam beberapa minggu.

Diantaranya adalah mengenai kondisi kapal yang ternyata rusak, selain itu

juga harga dari kesepuluh kapal LST tersebut cukup tinggi yaitu 9,5 juta

dollar. Sangat jauh dari harga pasarnya yang hanya berkisar 2,5 juta dollar.151

C. Kekecewaan Mochtar Lubis

Populisme dan sikap kritis pers Indonesia semakin meningkat di tahun

1967, populisme dan sikap pers ini dimanifestasikan terutama ke dalam dua

hal, yaitu pertama mengemukakan, mengkritik serta mengecam akativitas

korupsi yang semakin fenomenal dalam birokrasi Negara, kedua menyatakan

dukungan kritis dan kreatif terhadap pemerintahan Orde Baru yang baru

bangkit. Seiring dengan smakin meningkat dan meluasnya kekuasaan

pemerintah Orde Baru setelah “peralihan kekuasaan” dari Soekarno kepada

Soeharto lewat sidang MPRS, Maret 1967, fenomena korupsi pun semakin

dirasakan oleh masyarakat dikalangan pejabat Negara pada berbagai tingkatan

birokrasi. Masalah korupsi ini kemudian telah cukup banyak menyita

151
Harian Indonesia Raya, 11 April 1969.

xc
perhatian dan proporsi pemberitaan di halaman-halaman suratkabar pada

waktu itu.

Tajuk-tajukpun banyak diturunkan untuk mempersoalkan, menilai dan

mengecam aktivitas korupsi tersebut. Lalu pers menuntut agar pemerintah

memperhatikan dan menghentikan aktivitas korupsi dan menindak tegas para

pelakunya, karena korupsi sangat berpengaruh terhadap pembentukkan image


152
dan kewibawaan pemerintah. Mochtar Lubis melihat korupsi dan kolusi

merupakan bahaya mendesak sekarang dan juga pada masa mendatang, maka

masih menurut Mochtar Lubis bahwa satu-satunya jalan keluar dari korupsi

adalah dengan membersihkan birokrasi dari elemen-elemen birokrasi yang

korup153.

Semenjak kelahirannya, pemerintah Orde Baru menjalankan kebijakan

birokratisasi sebagai bagian integral dari modernisasi, karena modernisasi

membutuhkan birokrasi sebagai salah satu mesin penggeraknya seperti yang

digagaskan oleh Peter M. Blau dan Marshall W. Meyer dalam Bureaucracy in

Modern Society. Kebijakan birokratisasi yang dijalankan Orde Baru dapat

digambarkan secara ringkas sebagai berikut; birokrasi diperbesar secara

mengesankan (Parkinsonisasi). Jika ditahun 1970 anggota birokrasi sekitar

515 ribu jiwa, maka 10 tahun kemudian jumlah itu telah menjadi 4 kali

lipatnya, dan 20 tahun kemudian membengkak menjadi sekitar 6 kali lipat.

Lebih jauh sosok birokrasi yang telah membesar itu terkena pula korporatisasi,

sehingga birokrasi dijadikan bagian dari korporasi Negara dan “

152
Harian Kompas, 19 Mei 1967.
153
Ramadhan KH (penyunting), Mochtar Lubis Bicara Lurus: Menjawab Pertanyaan
Wartawan, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1995, h. xix

xci
memperpanjang “ tangan negara dalam melakukan kontrol-birokratis terhadap

masyarakat, sehingga birokrasi memposisikan diri sebagai mesin

pengakumulasi kekuasaan Negara dan mengasingkan masyarakat dari

kekuasaan154.

Pada pertengahan bulan Desember 1973 atau kurang lebih satu bulan

sebelum harian IR dibredel, Mochtar Lubis mengemukakan sikap terhadap

rasa frustasinya mengenai korupsi yang masih berlangsung di Indonesia,

karena setelah gencar mengungkap kasus korupsi antara tahun 1968 sampai

1970 tidak mempunyai pengauh yang berarti, terutama terhadap tindakan

Jaksa Agung Ali Said yang dianggap Mochtar Lubis tidak melakukan tindakan

hukum terhadap Ibnu Sutowo,155 walaupun sudah mengalami kekecewaan

terhadap pemerintah, Mochtar Lubis tidak henti-hentinya memberikan

himbauan terhadap pemerintah, melalui sindiran dan peringatan agar

pemerintah mempertimbangkan kembali kasus Pertamina sebelum dibredel.156

Pembangunan sebagai emansipasi kebudayaan semakin jelas sosoknya,

ketika semua pihak di negeri kita sekarang bicara tentang kualitas sumberdaya

manusia sebagai pelatuk strategis bagi pembangunan. Mochtar lubis sangat

intensif perhatiannya terhadap kebudayaan, karakter bangsa dan sikap rasional

dinilainya sebagai kondisi kultural yang sangat berperan untuk menggerakkan

kemajuan, memelihara momentumnya dan memberikan rohnya. Dalam

pemikiran kebudayaannya, ia menempatkan martabat kemanusiaan sebagai

154
Eep Saefullah Fatah, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru, Jakarta: Pustaka
Pelajar, cet.1, 1998, h. 200.
155
Harian Indonesia Raya, 15 Desember 1973.
156
“Tertibkan Pertamina Lebih Baik”, Tajuk Rencana Harian Indonesia Raya, 7 Januari
1974.

xcii
pangkal tolak dan tujuan sentral. Ia menggugat segala hal yang mengekang

dan mengungkung ekspresi dan karya manusia. Feodalisme dan tradisi-tradisi

yang menekan persamaan martabat manusia dan aspirasinya, dikupas secara

tajam, manusia yang bebas menjadi dambaan hatinya. 157

Mochtar Lubis tidak tinggal diam meskipun tidak bisa melakukan

perubahan lewat jalan politik maupun jurnalistik karena harian Indonesia Raya

sudah dibredel, maka beliau berjuang melalui sastra. Mochtar Lubis merasa

harus memperjuangkan kemanusiaan serta hak-hak asasi untuk tetap konsisten

dengan prinsip dan sikap manusia secara hakiki, karena semua tulisannnya

ditujukan untuk manusia dan berjuang untuk memperlakukan manusia sebagai

manusia sejati.

157
Himpunan “Catatan Kebudayaan” Mochtar Lubis Dalam Majalah Horison,
(Jakarta:Yayasan Obor Indonesia).

xciii
BAB V

KESIMPULAN

Perbuatan korupsi tidak hanya merugikan dan menghambat pembangunan

secara materi namun berdampak pada kerusakan moral, perbuatan korupsi telah

menghamburkan keuangan negara untuk kepentingan pribadi, yang seharusnya

bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Terlebih lagi kondisi keuangan

negara sangat terbatas, sehingga pembangunan tidak hanya terhambat tetapi justru

proses pembangunan akan banyak membebankan rakyat banyak, seperti kenaikan

harga minyak pada awal tahun 1970, yang seharusnya apabila keuangan negara

tidak dikorupsi dapat dialihkan kepada kebutuhan lainnya seperti subsidi minyak.

Peranan pers di sebuah negara berkembang seperti Indonesia memiliki posisi

yang sangat penting. Umumnya negara-negara berkembang, yang sedang

mengupayakan pembangunan segala bidang termasuk bidang ekonomi.

Pembangunan ekonomi tidak akan tercapai apabila pemborosan, kebocoran, in-

efisiensi dalam segala bentuk yang dilakukan oleh aparat negara terus dibiarkan.

Peranan pers sangat diperlukan sebagai media informasi kepada pemerintah dan

masyarakat terhadap masalah yang bisa menghambat pembangunan, di antaranya

perbuatan korupsi.

Persepsi bahwa korupsi adalah sebuah tindakan “kotor” yang dapat membawa

kehancuran bangsa, merusak nilai-nilai kemanusiaan dan juga merusak sendi-

sendi perekonomian Indonesia memiliki andil dalam mendorong Mochtar Lubis

dalam mengungkap korupsi pada masa awal Orde Baru. Persepsi inilah yang

menjadi komitmen bagi para pengasuh IR untuk mencapai pemerintahan yang

xciv
bersih terhadap perbuatan korupsi sehingga pembangunan segala bidang di

Indonesia bisa berjalan dengan baik dan hasilnya bisa dirasakan oleh masyarakaat

luas, agar cita-cita nasional mencapai masyarakat adil, makmur dan sejahtera

dapat diwujudkan. Hal ini dapat terlihat dari jumlah prosentase pengungkapan IR

terhadap kasus korupsi, yang lebih banyak diarahkan ke lembaga-lembaga

pemerintah, terutama lembaga yang menyangkut kepentingan masyarakat umum

dan terkait dengan sumber keuangan negara.

Peranan Mochtar Lubis dalam harian IR di antaranya pertama, menjadikan

harian IR sebagai salah satu pers pada masa awal Orde Baru yang melakukan

peranan memberikan informasi masalah kasus korupsi, melalui pengungkapan

kasus korupsi yang dilakukan harian IR dan beberapa pers lainnya, masyarakat

umum bisa mengetahui tindakan-tindakan korupsi yang terjadi di lembaga

pemerintah. Sehingga secara tidak langsung telah merangsang reaksi masyarakat,

seperti aksi massa kenaikan harga minyak. Sebab sebelum aksi masyarakat

muncul telah terlebih dahulu disorot secara gencar kasus mismanajemen di

Pertamina oleh IR. Kedua, peranan Mochtar Lubis dalam harian IR yaitu sebagai

pembentuk opini publik, khususnya terkait dengan aksi-aksi di masyarakat

terhadap keinginan memberantas korupsi agar pemerintah dapat membuat

kebijakan dalam pemberantasan korupsi seperti UU Anti-Korupsi dan UU

Pertamina.

Selama menjalankan peranannya dalam mengungkap kasus korupsi antara

tahun 1968-1974, Mochtar Lubis dalam harian IR telah berhasil mengundang

perhatian pemerintah terhadap kasus-kasus korupsi seperti Pertamina, Bulog,

xcv
Coopa, PN Telekomunikasi, percukongan dan lain-lain. Sehingga secara tidak

langsung telah mendorong pemerintah untuk membawa kasus-kasus tersebut

kepengadilan walaupun tidak semua kasus korupsi yang diungkap IR mendapat

respon serius dari pemerintah. Bahkan bisa dikatakan pemerintah lebih banyak

menindak kasus korupsi skala kecil

Pada akhirnya pers awal Orde Baru sebagai perwakilan aspirasi masyarakat

dalam penerapannya membantu pemerintah untuk mencipatakan pemerintahan

yang bersih dari korupsi dalam mendukung pembangunan, tidak memiliki

pengaruh yang kuat terhadap perubahan struktur “kebudayaan” korupsi yang

sudah mengakar di Indonesia. Pada dasarnya untuk menciptakan pemerintahan

yang bersih dari korupsi dibutuhkan kekuatan bersama yaitu antara masyarakat

dan pemerintah. Masyarakat diwakili oleh pers sedangkan pemerintah diwakili

oleh Presiden sebagai penentu kebijakan politik dan aparat penegak hukum

sebagai pelaksana hukum.

xcvi
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Abar, Akhmad Zaini, Kisah Pers Indonesia 1966-1974. Jakarta: LKiS, 1995.

Anwar, Rosihan, Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965.


Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Atmadi, T. Bunga Rampai Sistem Pers Indonesia. Jakarta: PT Pantja Simpati


Jakarta, 1985.

Atmakusumah ed., Mochtar Lubis Wartawan Jihad. Jakarta: PT Gramedia,1992.

Atmakusumah, “Kasus Koran Indonesia Raya” dalam Abdurrahman


Surjomihaarjo, redaktur, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di
Indonesia, Departemen Penerangan RI Leknas LIPI, Jakarta, 1980.

BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), Strategi


Pemberantasan Korupsi Nasional. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Latihan
Pengawasan BPKP, 1999.

Busyairi, Badaruzzaman, Boerhanoeddin Harahap Pilar Demokrasi. Jakarta:


Bulan Bintang, 1989.

C. Smith, Edward, Pembreidelan Pers Di Indonesia. Jakarta: Pustaka Grafiti


Pers,1986.

Cassae, Antonio, Hak Asasi Manusia di Dunia Yang Telah Berubah. Penerjemah
Zainudin, A. Rahman, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

E. A. Roekasah dan D. H. Penny,“ Bimas: A New Approach to Agricultural


Extention In Indonesia” dalam BIES No.7 bulan Juni tahun 1967.

Faber, G. H. Von, A Short History Of Journalism in The Dutch East Indies.


Diterjemahkan oleh Leonard Arndt, Surabaya, Hindia Belanda: G. Kolff &
Co.

Fatah, Eep Saepullah, Bangsa Saya Yang Menyebalkan: Catatan Tentang


Kekuasaan Yang Pongah. Bandung: Remaja Rosda Karya,1998.

Fatah, Eep Saepullah, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru. Jakarta: Pustaka
Pelajar, cet.1, 1998.

xcvii
Fatah, Eep Saepullah, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru. Bandung: PT
Remaja Rosda Karya, 2000.

Feith, Herbert, The Decline Of Constitutional Democracy inIndonesia. Ithaca and


London: Cornell University Press, 1976.

Glassburner, Bruce, “ In The Wake Of General Ibnu: Crisis In The Indonesian Oil
Industry” dalam ASIAN SURVEY Vol. XVI No.12 November 1976.

Gottschalk, Louis, (ter. Nugroho Notosusanto) Mengerti Sejarah. Jakarta: UI


Press, 1986.

Hamzah, Andi, Korupsi di Indonesia Solusi dan Pemecahannya. Cet. III Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1991.

Harahap, Krisna, Kebebasan Pers di Indonesia dari Masa Kemasa. Bandung:


Grafiti Budi Utami, 2000.

Haryanto,Ignatius, Pemberdelan Pers Di Indonesia: Kasus Koran Indonesia


Raya. Jakarta: LSPP (Lembaga Studi Pers Pembangunan), 1995.

Harvey, Barbara Sillars, PERMESTA Pemberontakkan Setengah Hati. Jakarta:


Pustaka Utama Grafiti, 1989.

Hutabarat, Saur dan Susanto Pudjamartono, “Menukik kedalam artikel opini”


dalam Siregar, Ashadi dan I Made Suarjana ed., Bagaimana
Mempertimbangkan Artikel Opini Untuk Media Massa. Jakarta: Kanisius,
1995.

Kartodirdjo, Sartono, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia


Suatu Alternatif. Jakarta: PT Gramedia, 1982.

Lubis, Mochtar, Catatan Subversif. Jakarta: Obor Indonesia, 1983.

Lubis, Mochtar, Bangsa Indonesia Masa Lampau, Masa Kini, Masa Depan.
Jakarta: Yayasan Idayu, 1978.

Masoed, Mohtar, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta:
LP3ES, 1989.

Muhtadi, Asep Saepul, Jurnalistik (Pendekatan Teori dan Praktek). Jakarta:


Logos,1999.

Mustofa, Syahrul ed., Mencabut Akar Korupsi. Jakarta: SOMASI-NTB, The


Asian Foundation dan USAID, 2003.

xcviii
Rahardjo, M. Dawam, “Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) Kajian
Konseptual dan Sosio-Kultural” dalam Edy Suandi Hamid dan Muhamad
Sayuti, ed., Menyingkap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia.
Jakarta: Aditya Media, 1999.

Rahardjo, M. Dawam, (et.al), Bank Indonesia DalamKisaran Sejarah Bangsa.


Jakarta: LP3ES, 1995.

Raillon, Francois, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukkan dan


Konsolidasi Orde Baru 1966-1974. Jakarta: LP3ES, 1998.

Ramadhan, KH (Penyunting), Mochtar Lubis Bicara Lurus: Menjawab


pertanyaan Wartawan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.

Ricklefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: SERAMBI, 2007.

S.Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia. Jakarta: PT Ictiar Baru Van


Hoeve: Jakarta, 2000.

Said, Tribuana, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila.


Jakarta: CV Masagung, 1988.

Samudra, Arung ed., Andi Suwirta, Pers, revolusi dan Demokratisasi: Kehidupan
dan Pandangan Surat Kabar di Jawa Pada Masa Revolusi Indonesia 1945-
1947. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga
Penelitian UI, Depok, 2001.

Santoso, Wartini ed., Katalog Surat Kabar: Catalogue of Newspaper. Jakarta:


Perpusnas, 1984.

Smith, Edward C., Pembreidelan Pers di Indonesia, Jakarta: Pustaka Grafiti Pers,
1986.

Susanto, ed., Undang-undang RI Tentang Minyak dan Gas Bumi. Jakarta: Pancar
Utama, 2002.

Suwirta, Pers, revolusi dan Demokratisasi: Kehidupan dan Pandangan Surat


Kabar di Jawa Pada Masa Revolusi Indonesia 1945-1947. Jakarta: Obor
Indonesia, 2000.

T. Atmadi, Bunga Rampai Sistem Pers di Indonesia. Jakarta: PT Pantja Simpati


Jakarta, 1985.

Taher, Elza Peldi, Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi: Pengalaman


Indonesia Masa Orde Baru. Jakarta:Yayasan Paramadina,1994.

Tebba, Sudirman, Jurnalistik Baru. Ciputat: Kalam Indonesia, 2005.

xcix
Koran dan Majalah:

Indonesia Raya

KOMPAS

Prisma

Anda mungkin juga menyukai