Skripsi
Oleh
NENENG KURNIAWATI
NIM: 102022024376
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429H / 2008M
i
PERANAN MOCHTAR LUBIS
Skripsi
Oleh:
NENENG KURNIAWATI
NIM: 102022024376
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing,
JAKARTA
1429H / 2008M
ii
ABSTRAKSI
pada masa awal Orde Baru. Skripsi ini membahas tiga permasalahan utama,
Orde Baru telah membawa suasana baru dalam kehidupan pers di Indonesia.
Kebebasan pers telah mendapatkan tempatnya tersendiri pada masa Awal Orde
pers pada masa awal Orde Baru. Sehingga pers-pers baru dan pers yang pernah
dibredel pada masa Orde Lama bermunculan kembali, salah satunya Harian
Indonesia Raya, yang merupakan harian terunik karena sifatnya yang khas dan
gencar mengungkap kasus-kasus korupsi pada masa Awal Orde Baru. Hal ini
tidak terlepas dari peranan Mochtar Lubis sebagai pemimpin redaksi harian
tersebut.
iii
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan nikmat Iman dan Islam. Salawat serta Salam semoga selalu tercurah
kepada nabi akhir zaman nabi Muhamad SAW, yang telah membawa umatnya
dari zaman kejahiliyahan hingga zaman yang penuh ilmu dan pencerahan.
pustaka, namun banyak pengalaman yang penulis dapat dari kesulitan dan
Nya dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis
2. Drs. H. Ma’ruf Misbah, MA, dan Bapak Usep Abdul Matin, S. Ag., MA.,
Peradaban Islam.
iv
4. Drs. H. Azhar Saleh, MA. Selaku pembimbing akademik yang telah
membantu dalam pengajuan judul skripsi ini sehingga dapat disusun dan
5. Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
mudahan nanti dapat diamalkan dan berguna bagi agama, nusa dan bangsa.
arungi samudera cita-citamu, senja itu sudah berganti awan biru, smoga,
temukanlah pelabuhan terbaikmu, kita hanya manusia biasa yang tak akan
Adab dan Humaniora yang telah menjadi teman yang baik ketika penulis
mengejar mata kuliah yang tertinggal, terima kasih atas “spirit”nya, sukses
7. Untuk ibu dan Bapak (alm) tercinta, terima kasih atas semua cinta yang
kau beri. Suami tersayang, kamu adalah salah satu anugerah terbaik yang
terkasih dan tersayang Chaliph Ramaditya Akbar dan janin 3 bulan yang
v
semoga Allah senantiasa menerangi jalan hidup kita, menjadi muslim yang
InsyaAllah.!
Kepada semua pihak, semoga bantuan dan dukungan yang telah diberikan
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAKSI .................................................................................................. i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
E. Landasan Teoritis................................................................... 15
A...........................................................................................Bio
grafi ....................................................................................... 22
B...........................................................................................Per
1. .....................................................................................Akt
vii
2. .....................................................................................Akt
A...........................................................................................Tin
jauan Historis......................................................................... 47
B...........................................................................................Per
1. .....................................................................................Per
2. .....................................................................................Ke
Indonesi ................................................................................. 63
viii
2. Kasus Korupsi Pertamina ................................................. 73
BAB V PENUTUP.................................................................................. 85
A. Kesimpulan............................................................................ 85
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
BAB I
PENDAHULUAN
Pers atau surat kabar dalam jajaran media massa modern (radio,
sejarah. Asal usul atau tempat lahirnya mula-mula dari Eropa Barat, kemudian
berperan sebagai alat pendidikan, alat kontrol sosial, alat penyalur dan
ekonomi pada masa pers itu berada, di antaranya informasi yang terkait
dengan korupsi.3
1
T. Atmadi, ed., Bunga Rampai Sistem Pers Indonesia (Jakarta: PT Pantja Simpati
Jakarta, 1985), h. 353.
2
Ibid., h. 354.
3
Lihat Onghokham, “Tradisi dan Korupsi”, dalam Mochtar Lubis dan James Scoot,
Bunga Rampai Korupsi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), h. 115—116. Kata korupsi
berasal dari bahasa latin tua yaitu corrumpere kemudian berkembang menjadi corruptio atau
corruptus, lalu berkembang ke dalam bahasa-bahasa Eropa seperti corruption (Francis).
corrupt/Corruption (Inggris), corruptie/korruptie (Belanda), yang berarti kebusukan, keburukan,
kejahatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-
kata/ucapan menghina. Lihat Andi Hamzah, Korupsi Di Indonesia Masalah dan Pemecahannya
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 7.
x
Informasi awal mengenai kasus korupsi di Indonesia pasca
kemerdekaan telah muncul sejak tahun 1950-an yaitu pada masa kabinet Ali
Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955). Menurut Herbert Feith, pada masa itu
yang tinggi dan jumlah gaji yang tidak memadai menjadi faktor dominan
Pada waktu itu yang terjadi bukan hanya korupsi yang berskala kecil
Masyumi.
korupsi.5 Pada masa itu banyak pejabat kabinet yang ditangkap khususnya dari
4
Herbert Feith. 1962, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca and
London: Cornell University Press, 1976), h. 406.
5
Badaruzzaman Busyairi, Boerhanoeddin Harahap Pilar Demokrasi (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1989), h.55.
xi
mantan Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo dari Partai Rakyat Nasional
korupsi yang tidak memandang bulu, pemerintah tetap berlaku obyektif dan
telah muncul juga kasus korupsi yang melibatkan anggota kabinet Ali
Sastroamidjojo I, di antaranya adalah kasus korupsi Ir, Han Swie Tik dan Lie
dari PSI dan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdul Gani termasuk pejabat yang
dukungan dari pers di antaranya oleh dua harian terkemuka pada masa itu,
yaitu harian Indonesia Raya (IR) yang dipimpin oleh Mochtar Lubis dan
periode terburuk bagi sejarah perkembangan pers di Indonesia. Hal ini bisa
memobilisasi massa dan opini publik, hal ini terlihat dalam sikap politik
Soekarno yang kerap kali memandang partai politik yang ada sebagai basis
6
Ibid. Sikapnya itu disampaikannya dihadapan para anggota DPR yang bersidang khusus
masalah penahanan itu pada tanggal 14 Oktober 1955.
7
Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, h. 427.
xii
kekuatan pendukung kebijakannya sehingga pers yang ada sebisa mungkin
sedangkan pers yang berada dalam pihak oposisi dibatasi bahkan dibredel
revolusi. Pandangan ini dapat dilihat pada bagian pendahuluan dari Pedoman
ekonomi dan politik masyarakat, tetapi untuk revolusi kekuasaan rezim itu
sendiri.9 Menurut Ashadi Siregar sejak periode inilah dimulai era lisensi untuk
dunia penerbitan pers Indonesia, dengan kata lain dimulailah tradisi regulasi
Pada masa Orde Lama isu korupsi hampir tenggelam seiring dengan
gelora revolusi yang disuarakan oleh Soekarno. Pada kondisi ini bukan berarti
korupsi tidak ada pada masa Orde Lama, gejala inflasi yang tinggi, dominasi
militer dalam bisnis dan ekonomi negara, serta peranan Soekarno yang sangat
8
Bunyi Pedoman tersebut adalah: “Sebagaimana kita semua telah memaklumi, surat
kabar dan majalah adalah merupakan alat publikasi yang dapat dipergunakan untuk mempengaruhi
pendapat umum. Oleh karena itu, maka surat kabar dan majalah tersebut dapat dipergunakan
sebagai alat penggerak massa untuk menyelesaikan revolusi Indonesia menuju pada masyarakat
adil dan makmur.” ( dalam Abdurrahman Surjomiharjo, ed., 1980:307.) Akhmad Zaini Abar,
Kisah Pers Indonesia 1966-1974 ( Jakarta: LKiS, 1995), h. 60.
9
Ibid, h. 60.
xiii
Selain itu, kondisi pers yang mendapat tekanan dalam menyuarakan isu
pada masa Orde Lama.10 Pernah tercatat beberapa kasus korupsi yang terjadi
pada masa Orde Lama yang sempat dibawa ke pengadilan seperti kasus
korupsi Teuku Yusuf Muda Dalam, yang merupakan Gubernur Bank Sentral
sekaligus anggota kabinet pada tahun 1963 dengan sebutan Menteri Urusan
Bank Sentral.11
Orde Baru, pada periode awal kebangkitannya, persepsi, sikap dan perlakuan
penguasa Orde Baru terhadap pers, terutama pers non / anti komunis, telah
Soekarno. Hubungan antara penguasa Orde Baru dengan pers pada tahun-
tahun pertama ini diistilahkan sebagai “bulan madu” oleh Mochtar Lubis. 12
Pada masa awal Orde Baru keinginan untuk memerangi korupsi menjadi
sebuah fenomena suatu gerakan, yaitu gerakan untuk memerangi korupsi atau
ini lebih dikenal dengan istilah gerakan anti-korupsi (GAK). GAK adalah
sebuah fenomena yang terjadi pada masa awal Orde Baru, yang banyak
dimotori oleh aksi gerakan mahasiswa pada waktu itu. Aksi-aksi GAK banyak
10
M. Dawam Rahardjo, ‘Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) Kajian Konseptual dan
Sosio-Kultural” dalam Edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti, ed., Menyingkap Korupsi,
kolusi dan Nepotisme di Indonesia (Jakarta: Aditya Media, 1999), h. 30.
11
M. Dawam Rahardjo, (et.al.) Bank Indonesia dalam Kisaran Sejarah Bangsa (Jakarta:
LP3ES, 1995), h. 114.
12
Abar, Kisah Pers di Indonesia 1966-1974, h. 65.
xiv
dilakukan di wilayah Jakarta dan Bandung, terutama sepanjang tahun 1970.
(KAK).13 Selain itu, di Jogjakarta terdapat aksi serupa yang bernama Pemuda
Bergerak, di Medan ada juga aksi-aksi pelajar dan mahasiswa yang bernama
Kondisi politik pada masa awal Orde Baru, pers dikondisikan untuk
bersemi dengan mengangkat slogan “kebebasan pers”. Pers masa awal Orde
Baru memiliki model pers yang populis dan kritis.15 Pers pada masa itu
pada masa Orde Lama, pers banyak mengalami hambatan dan pembatasan
banyak surat kabar yang sebelumnya sempat dibredel,16 diberi ijin terbit
13
BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), Strategi Pemberantasan
Korupsi Nasional (Jakarta: Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawasan BPKP, 1999), h.318.
14
Harian Indonesia Raya, 22 Januari 1970.
15
Sikap populis dan kritis pers Indonesia baru muncul pada masa akhir pemerintahan
Soekarno yang sedang mengalami krisis kepemimpinan, pers pada waktu itu sudah tidak lagi setia
terhadap konsep-konsep politik Soekarno, pers lebih objektif dan kritis terhadap Soekarno.
Populisme dan sikap kritis pers mulai meningkat pada tahun 1967, terutama terhadap hal yang
terkait dengan kritik dan kecaman mengenai korupsi dan dukungan kritis terhadap pemerintah
Orde Baru, Lihat Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974, h. 77-88.
16
Istilah “bredel” berasal dari kata Belanda yaitu breidelen yang artinya
kekangan/mengekang, lihat S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia (Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve: Jakarta, 2000), hlm. 106. Peraturan mengenai pembredelan pers mulai ada ketika
Gubernur Jendral Hindia Belanda pada tanggal 7 September 1931 mengeluarkan peraturan yang
disebut Persbreidel Ordonanntie, yang bertujuan untuk melarang terbitan yang dianggap
mengganggu ketertiban umum. Ignatius Haryanto, Pembredelan Pers di Indonesia: Kasus Koran
Indonesia Raya (Jakarta: LSPP, 1995), h. 41.
17
Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974, h. 56.
xv
Salah satu harian yang gencar dalam upaya mengungkap berbagai
kasus korupsi pada masa awal Orde Baru adalah IR ( Indonesia Raya ) harian
ini bisa dikatakan sebagai harian nasional yang sangat unik. Keunikannya di
antaranya adalah sering dibredelnya harian ini karena sikapnya yang sangat
kritiknya yang tajam dan langsung pada permasalahan. Berbagai berita yang
ketidakbenaran.
sangat dominan. Maka wajar saja kalau Mochtar Lubis dijuluki sebagai
personal journalism19 yang selalu bertindak pada apa yang ia anggap benar.
awal Orde Baru (1968-1974), cukup mendapat perhatian dari masyarakat luas,
18
Beliau adalah mantan Redaktur Dalam Negeri dan Redaktur Pelaksana IR pada periode
kedua (1968-1974).
19
Menurut Atmakusumah personal journalism yaitu jurnalisme yang tampil secara
signifikan di muka umum dengan suara dan sikap yang seirama dengan pikiran, pandangan dan
idealisme pemimpin redaksinya. Lihat juga Atmakusumah, ed., “Mochtar Lubis dan Indonesia
Raya” dalam Mochtar Lubis Wartawan Jihad (Jakarta: KOMPAS, 1992), h. 22.
xvi
terutama terhadap kasus korupsi yang terjadi di perusahaan-perusahaan
negara. Beberapa kasus korupsi yang pernah diungkap oleh IR selama tahun
1968 sampai 1974 antara lain adalah kasus Bulog, Pertamina, Coopa,
kasus swasta yang sempat menjadi sorotan Mochtar Lubis seperti kasus Hotel
Dimasa Awal Orde Baru, menurut penulis merupakan pilihan judul yang
20
Harian Indonesia Raya, 20 Februari 1969. Pembentukan PT Bluntas merupakan
inisiatif dari Gubernur Bank Sentral Teuku Yusuf Muda Dalam, PT Bluntas terlibat dalam kasus
korupsi senilai 850 juta rupiah yang melibatkan direktur utamanya.
21
Mochtar Lubis, Bangsa Indonesia Masa Lampau, Masa Kini, Masa Depan ( Jakarta:
Yayasan Idayu, 1978), h. 36.
xvii
kasus korupsi kepada masyarakat dan pemerintah, sedangkan kata
Sedangkan istilah awal Orde Baru diambil dari konsep empat langkah strategi
Orde Baru,22 yaitu langkah awal Orde Baru tahap pertama, melakukan
penelitian yang diajukan oleh penulis antara lain: Bagaimana latar belakang
mengungkap kasus korupsi pada masa awal Orde Baru. Persepsi atau
22
Empat langkah proses perjalanan Orde Baru terdiri dari: pertama fase
sentralisasi/konsolidasi, kedua fase otonomisasi, ketiga fase personalisasi dan keempat fase
sakralisasi. Lihat Eep Saefullah Fatah, Bangsa Saya Yang Menyebalkan: Catatan Tentang
Kekuasaan Yang Pongah (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1998. Juga dapat dilihat dari tulisan
Francois Raillon Politik dan Idiologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsilidasi orde
baru 1966-1974 (Jakarta: LP3ES, 1988).
xviii
pandangan Mochtar Lubis terhadap korupsi perlu diketahui karena menjadi
kasus korupsi.
yang dilakukan Mochtar Lubis dalam harian IR, oleh penulis hanya dibatasi
terhadap masyarakat.
literatur studi mengenai pers di Indonesia. Selama ini studi mengenai pers
xix
lebih banyak memakai pendekatan ilmu komunikasi. Menurut penulis belum
dua disiplin ilmu tersebut memungkinkan untuk bisa dipadukan. Maka dengan
dasar itu penelitian skripsi ini mencoba memadukan dua pendekatan disiplin
pengungkapan kasus korupsi pada masa awal Orde Baru. Penelitian skripsi ini
juga diharapkan dapat bermanfaat bagi kajian sejarah pers yang terdapat di
D. Metode Penelitian
antaranya adalah beberapa buku yang terkait dengan masalah topik korupsi
dan pers. Selain itu, penulis mencoba mencari dan mengumpulkan sumber-
xx
Mochtar Lubis dari tanggal 30 Oktober 1968 sampai 21 Januari 1974. Tajuk-
tajuk rencana Mochtar Lubis dijadikan sumber utama karena jumlah tajuk
rencana yang ditulis oleh Mochtar Lubis pada periode kedua IR sangat
dominan, setidaknya selama periode kedua, dua pertiga dari sekitar 1500 tajuk
permasalahan pokok. Ciri yang paling mudah dikenali adalah adanya tanda
tiga asterik (.*.) di setiap ujung tajuk rencana, bahkan ia juga sering
dimiliki secara pribadi oleh Mochtar Lubis karena keberadaannya sudah tidak
dokumen tersebut yang dimuat di beberapa edisi IR. Selain itu, penulis juga
terbagi dua proses yaitu kritik interen dan eksteren. Kritik interen dapat
xxi
dilakukan dengan cara melakukan perbandingan (uji silang) dari beberapa
sumber yang ditemukan penulis seperti buku dan karya-karya tulis lainnya.
Pada buku dan karya skripsi itu berisi kutipan tanggal, bulan dan tahun
pada periode kedua. Menurut karya Djoko Prasetyo adalah tanggal 29 Oktober
perdana periode kedua IR. ternyata penulis menemukan data lain, bahwa
tanggal pertama atau edisi perdana IR pada kemunculannya yang kedua adalah
adalah untuk memastikan sumber tersebut asli atau tidak asli, sehingga dapat
melakukan interpretasi dari berbagai data telah ditemukan dan sudah dikritik
oleh penulis (fakta). Pada tahapan interpretasi ini penulis akan menggunakan
ada. Pada penelitian ini penulis menempatkan isi berita dan isi tajuk rencana
sebagai sumber analisis. Analisis isi berita dan isi tajuk rencana merupakan
xxii
dapat terlihat kuantitas dan kualitas pemberitaan (news) harian IR terhadap
masalah kasus korupsi pada masa awal Orde Baru. Sedangkan analisis isi
pandangan (view), opini dan motivasi Mochtar Lubis terhadap masalah kasus
korupsi. Selan itu, tajuk rencana bisa dikatakan sebagai jiwa dalam sebuah
surat kabar yang merupakan karakter dan falsafah surat kabar. Falsafah sebuah
surat kabar erat dengan cita-cita, refleksi, sikap, serta pandangan para
terhadap persoalan atau kondisi zaman, dalam hal ini persoalan maraknya
korupsi pada masa awal Orde Baru. Bahkan Sartono Kartodirdjo memiliki
lebih bersifat mental, sebab merupakan sebuah sikap, pendirian dan juga
pandangan individu atau kelompok dalam memaknai realitas sosial yang ada
sebuah karya tulisan sejarah yang baik maka penulis perlu memakai sistem
24
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu
Alternatif (Jakarta: PTGramedia, 1982), h. 115-116.
xxiii
penulisan. Sistem penulisan dalam penelitian ini menggunakan sistem
Mochtar Lubis dalam harian IR dalam mengungkap kasus korupsi pada masa
E. Landasan Teoritis
Mengkaji tentang pers dalam suatu negara atau tepatnya pers dan
masa dahulu hingga kini dalam tingkat tertentu masih terasa pengaruhnya.
Kedudukan pers dalam satu Negara sangat penting, karena pers sebagai media
pernah mengatakan bahwa suatu ketika kerajaan Romawi tidak lagi mampu
Tidak ada lagi alat yang teruji dapat membuat suasana menjadi transparan
peradaban suatu bangsa, James Russel Wiggin, seorang redaktur utama The
St. Paul Pioneer Press dan terakhir sebagai pemimpin redaksi The Washington
Post, pernah menegaskan bahwa perdaban itu tidak dapat muncul jika tidak
25
Asep Saepul Muhtadi, Jurnalistik (Pendekatan Teori dan Praktek), Jakarta: Logos,
1999, h. 5.
xxiv
Mesir kuno, peradaban Arya di sepanjang sungai Indus India dan lain
Lebih dari pada itu, apa yang membuat pers berkuasa sehingga
yang sangat persuasife diterima publik. McLuhan lewat teorinya yang disebut”
perluasan dari alat indera manusia. Pers memiliki beberapa fungsi27 dii
antaranya:
publik.
26
Ibid.
27
Ibid., h. 28.
xxv
4. Fungsi Mempengaruhi : Pers mencoba menguasai pendapat umum melalui
gambar-gambar yang sarat akan makna. Dengan pers orang dapat dengan
kepada empat surat kabar yang terbit pada masa pemerintahannya dari
terhadap tindak tanduk pemerintah, namun pers dalam negara ini tidak
28
Atmadi, ed., Bunga Rampai Sistem Pers Indonesia, h.106.
xxvi
Soviet dan terutama kediktatoran partai. Kritik terhadap partai tidak
diperbolehkan.
bersatu padu melawan kolonialisasi penjajah. Pada zaman Orde Lama pers
sistem Demokrasi Terpimpin, namun pers pada masa itu bisa digambarkan
seperti pers dalam negara totaliter komunis, pers yang berada dalam pihak
dipenjarakan, seperti kasus yang terjadi pada Mochtar Lubis yang dipenjara
selam 9 tahun dan hariannya Indonesia Raya ditutup. Pada zaman Orde Baru
kebijakan yang dinilai lebih kejam dibanding Orde Lama terhadap pers,
pers yang ada pada saat itu adalah pers dalam negara otoriter yang bertugas
kritik, maka Mochtar Lubis dan hariannya pada tahun 1974 untuk kedua
xxvii
F. Survei Pustaka
mengungkap kasus korupsi pada masa awal Orde Baru menurut hemat penulis
belum ada. Beberapa literatur yang dimaksud antara lain adalah buku yang
Haryanto. Selain itu, ada juga karya dari Akhmad Zaini Abar, yang berjudul
Kisah Pers Indonesia 1966-1974. Buku karya yang berjudul Mochtar Lubis
masalah hubungan pers dengan pemerintah, selama kurun waktu yang pendek
menekankan pada pembahasan umum dari kondisi pers pada masa awal Orde
Selain itu, ada beberapa karya lainnya seperti buku, Beberapa Segi
(terj. LEKNA.S LIPI). David T. Hill juga pernah menulis dalam bentuk karya
tesis doktor dengan judul Mochtar Lubis: Author, Editor and Political Actor
dan lain-lain.
xxviii
G. Sistematika Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) Disusun oleh Idris Thaha ed., yang
Indonesia Raya.
orde baru, perubahan peta ideologi pers dan kebijakan serta kebebasan pers
diawal Orde.
xxix
belakang atau riwayat hidup Mochtar Lubis, kedua pandangan Mochtar Lubis
xxx
BAB II
A. Biografi
demang di kota kelahiran Mochtar antara tahun 1915 dan 1929,29 ibunya
merupakan anak dari kepala kuria atau induk kampung di daerah Batak yang
bergelar Mangaraja Sorik Merapi. Mereka tinggal di kota kecil Sungai Penuh,
seorang wanita yang lembut dan periang. Mochtar adalah anak keenam, atau
School), sekolah dasar berbahasa Belanda yang baru dibuka dikota kecil itu.
29
Gelar “raja” dimuka nama ayahnya menunjukkan bahwa ia adalah seorang kepala suku.
Ia berasal dari desa Muara Soro, dekat Kotanopan, Kabupaten Tapanuli Selatan, sekitar 180
kilometer di selatan Padangsidempuan. Pada tahun 1929 ia mendapat kenaikan pangkat sebagai
demang distrik Kerinci, masih di Sumatra Barat, tetapi sekarang menjadi bagian propinsi Jambi.
30
Atmakusumah ed., Mochtar Lubis Wartawan Jihad (Jakarta: PT Gramedia, 1992),
h.48.
xxxi
dipimpin oleh Soetan Mahmoed Latif, seorang pendidik lulusan sekolah
menimba ilmu di sekolah ini Mochtar Lubis juga mulai berminat pada
membatasi dan menjerat para wartawan dan tokoh nasionalis Indonesia yang
Pulau Nias. Disana ia mengajarkan ilmu hitung dan bahasa Belanda, tetapi
tidak lama ia mengajar disekolah itu kurang dari setahun kontrolil Belanda
yang bernama, Siti Halimah Kartawidjaja atau biasa dipanggil Hally, yang
31
Ibid., h.52.
32
Ibid., h.52-53.
xxxii
waktu itu menjadi pegawai Asia Raya. Asia Raya adalah surat kabar
berbahasa Indonesia pertama yang boleh terbit pada masa pendudukan Jepang.
Mochtar Lubis adalah orang yang memiliki segudang kegiatan dan sangat hobi
gunung, berenang, tennis, perahu layar, dan sudah mencapai terbang Solo
B. Perjalanan Karir
merantau lebih jauh lagi, menyusul kakaknya yang sudah tinggal dan bekerja
di Batavia, Bachtar Lubis. Usia Mochtar Lubis pada saat itu sekitar 18 tahun.
pindah ke Bank Factorij, yang berkantor didaerah Glodok, Jakarta Kota, bank
33
Ibid., h. 60.
34
Mochtar Lubis, Budaya, Masyarakat dan Manusia Indonesia: Himpunan “Catatan
Kebudayaan” Mochtar Lubis di majalah HORISON (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), h.
300.
35
Atmakusumah ed., Wartawan Jihad, h. 53.
xxxiii
Hanya beberapa tahun kemudian balatentara Jepang pun masuk ke Indonesia
pada 5 Maret 1942. Selama pendudukan militer Jepang itulah ia mulai mengenal
dunia pers, walaupun belum memulai kariernya dibidang ini. Ia bekerja sebagai
anggota staf dinas monitoring siaran radio luar negri KONIANDO, bagian dari
Komando Tinggi Militer Jepang, yang berkantor di Jalan Biliton, daerah Menteng
di Jakarta Pusat. Dinas itu bertugas memantau siaran radio negara-negara Sekutu
seperti yang dipancarkan oleh Voice of America (VOA), Radio Australia, dan
BBC London. Laporan dari hasil pemantauan itu kemudian dipelajari oleh staf
Jepang. Di kantor itu juga bekerja sejumlah wartawan, orang Belanda dan
Merdeka, yang mulai diterbitkan oleh BM.Diah pada 1 Oktober 1945. Ia juga
meninggalkan kantor berita nasional itu tahun 1950 karena berselisih paham
memimpin harian Indonesia Raya yang sudah diterbitkan sejak tahun 1949. Pada
yang lain, selain menjadi dokter, yaitu menjadi tentara. Ketika masih menjadi
wartawan Antara itu pula ia ditangkap di rumahnya di Jalan Bonang oleh pasukan
36
Ibid., h. 52.
xxxiv
Kapten Raymond (Turk) Westerling pada petang hari 18 Desember 1948.37 Selain
bekerja di harian Merdeka selama beberapa bulan dan di kantor berita selama lima
tahun, pada masa awal kemerdekaan itu ia juga ikut mengasuh beberapa majalah
di Jakarta yang pada umumnya tidak mampu bertahan lama. Antara lain, ia
bekerja di majalah mingguan Masa Indonesia yang terbit sejak tahun 1947 dan
Meskipun sosok Mochtar Lubis tidak terlalu dikenal didalam negeri, namun
Mochtar Lubis adalah orang yang sangat disegani dan memiliki hubungan yang
cukup baik dengan dunia internasional, sehingga beliau dipercaya untuk menjabat
beberapa jabatan tinggi dan memiliki kegiatan yang begitu banyak setelah beliau
bebas dari tahanan Orde Baru yaitu: Direktur Jenderal Press Foundation of Asia
dalam majalah Suara Alam dan The Voice of Nature (Jakarta); dan untuk beberapa
Ketua Akademi Jakarata; anggota kelompok pemberi bantuan dana pada para
xxxv
(London), anggota ISWA (International Science Writers Association), Amerika
kelompok penggerak pertemuan sastra ASEAN tiap dua tahun (Manila); anggota
Buku-buku yang ditulisnya (sastra dan lain-lain) telah diterbitkan dalam berbagai
bahasa asing: Inggris, Belanda, Jerman, Spanol, Jepang, Korea, Hindi, Tagalog,
Selama dalam tahanan Orde Lama Mochtar Lubis melatih diri sendiri
memahat patung dan mengukir dengan memakai bahan kayu. Ia juga melukis
memakai cat air, minyak, akrilik, dan suka membuat sketsa dengan tinta hitam,
potlot, pastel. Aktif terus menerus dalam berbagai kegiatan internasional dan
nasional meliputi lingkungan hidup,, hak buruh anak-anak, masa depan, budaya,
the University of Science and Technology (Paris, 5-10 agustus 1968), Pacificism
Association for Cultural Freedom, Paris, November 14-17 tahun 1969), The
39
Lubis, Budaya, Masyarakat dan Manusia Indonesia: Himpunan “Catatan
Kebudayaan” Mochtar Lubis di majalah HORISON, h. 300-301.
xxxvi
the Pacific (East-West Center, Agustus 9-15 1970), Culture and Science
University of Malaysia, Penang (September 3-8 tahun 1972), New Structures for
Economic Independence, The Aspen Institute for Humanistic Studies (Mei 15-18
12-14 tahun 1983), Economic Growth, Democracy and Human Rights, are they
UNESCO dan Presiden Havel, Praha (September tahun 1991); anggota dewan juri
Indonesia Raya mula-mula terbit sore hari, tetapi sejak tahun 1955 diubah
menjadi pagi hari agar percetakan dapat mencetaknya pada malam hari. Surat
kabar ini mengibarkan motto “Dari Rakyat Oleh Rakyat Untuk Rakyat” di
40
Ibid., h. 301-302.
41
Atmakusumah ed., Mochtar Lubis Wartawan Jihad, h. 61.
xxxvii
Pemimpin redaksinya yang pertama adalah Hiswara Darma putra bersama-
sama Mochtar Lubis, waktu itu Mochtar masih berkerja di Antara sampai kira-
kira 8 bulan setelah Indonesia Raya terbit. Pemimpin Umum dijabat oleh
diri Mochtar Lubis menjadi pemimpin redaksi tunggal sejak Agustus 1950,
kemudian Mochtar berhenti dari Antara. Sikap surat kabar ini, yang sejauh
Desember 1949:
Tajuk ini, seperti juga pendirian yang seterusnya dianut Indonesia Raya,
kepentingan umum”. Karena itu, surat kabar ini digolongkan sebagai penganut
keadaan”. Karena sikap idealisme yang diusung surat kabar ini dalam memuat
xxxviii
dengan pihak-pihak yang merasa terancam kedudukannya karena pemberitaan
yang dimuat Mochtar Lubis dalam harian Indonesia Raya tentang berita surat-
A.H Nasution sebagai ketua KSAD, Zulkifli Lubis terlibat dalam peristiwa 17
parlemen tidak bekerja dengan baik,43 dan beliau juga membentuk dewan
dari cita-cita revolusi, karena banyaknya tindakan korupsi oleh pejabat namun
Jawa.44 Hubungan antara Mochtar Lubis dengan Zulkifli Lubis tidak ada
sendiri oleh Zulkifli Lubis dalam buku Atmakusumah ed. Mochtar Lubis
Wartawan Jihad , bahwa mereka hanya berteman dan sangat sering berbeda
42
Smith, Pembreidelan Pers Di Indonesia, h. 143.
43
Atmakusumah ed., Mochtar Lubis Wartawan Jihad, h. 149.
44
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern1200-2004 ( Jakarta: PT SERAMBI ILMU
SEMESTA, 2007), h. 501.
xxxix
Puncaknya Mochtar Lubis dikenakan tahanan rumah sejak 5 Januari 1957
selama 4 tahun terus menerus dengan alasan demi keamanan dan tanpa pernah
menemui Mochtar Lubis. Ia juga masih aktif menulis tajuk rencana asuhan
oleh Halimah (istri), anaknya yang masih kecil, atau iparnya untuk
diterbitkan.45
disensor itu tetap tidak diisi, “Pemutihan” oleh redaksi seperti ini berulang
Agustus 1958. Mochtar Lubis masih dalam status tahanan rumah ketika surat
kabarnya terlibat dalam percekcokan intern akibat tekanan dari luar,47 ajakan
45
Lubis, Catatan Subversif , h. 27.
46
Ibid..
47
Menteri Penerangan Sudibjo menyampaikan usul kompromi kepada Hasjim Mahdaan,
seorang dari tiga pemegang saham selain Mochtar Lubis dan Sarhindi. “Ia mengatakan bahwa
surat kabar ini akan dibolehkan terus terbit, bahkan akan diberi bantuan keuangan jika Mochtar
xl
Hasjim Mahdan agar Indonesia Raya tidak beroposisi terhadap pemerintah
mulai 20 Agustus.48
Ini berarti ia tidak lagi menjabat pemimpin umum harian itu. Juga
Indonesia Raya akan diserahkan kepada seseorang dari luar harian itu.
Keputusan ini ditolak oleh seluruh staf redaksi Indonesia Raya dan masalah
intern itu mereka ungkapkan dihalaman muka edisi 1 September 1958. Mereka
Lubis.49
Karena sikap dan tekad Mochtar Lubis untuk berjuang dalam bidang pers,
Mochtar Lubis terpilih sebagai salah seorang diantara dua pemenang Ramon
pers. Tetapi penghargaan itu baru dapat diterimanya delapan tahun kemudian,
Lubis mengundurkan diri. Waktu itu Indonesia Raya baru saja mengalami pembredelan agak lama
antara 26 Juli dan 14 Agustus 1958.
48
Atmakusumah ed., Mochtar Lubis Wartawan Jihad, h. 81.
49
Ibid, h. 89.
xli
setelah ia bebas dari tahanan dan dapat berkunjung ke Filipina. Pada tahun
Paris.50
Bulan madu antara pers dan pemerintah pada waktu itu memang telah
antara pers dan pemerintah, lebih-lebih setelah diberlakukan SOB (Staat van
Oorlog en Beleg, keadaan darurat militer dan keadaan perang) pada 14 Maret
dengan alasan sekecil apapun dan larangan terbit tidak lagi dianggap aneh.52
Kondisi pers pada masa revolusi sangat terbatas sarana dan prasarana dalam
kertas koran terbatas bahkan harus memakai kertas merang yang kasar, juga
50
Smith, Pembreidelan Pers Di Indonesia, h. 84.
51
Ibid, h. 118.
52
Atmakusumah ed., Mochtar Lubis Wartawan Jihad, h. 83
53
Pers pada masa revolusi Indonesia memiliki corak 2 hal: (1) pers mampu
mengekspresikan dan mengartikulasikan visi politiknya secara bebas dimana kebebasan itu sendiri
merupakan manifestasi dari nilai-nilai dan semangat kemerdekaan; (2) Pers mampu memainkan
perannya sebagai media koordinatif antara hasrat rakyat Indonesia yang ingin lepas dan merdeka
disatu sisi, dengan visi elit politik Indonesia tentang wuju kemerdekaan yang dicta-citakan disisi
lain. Dalam Arung Samudra (ed), Andi Suwirta, Pers, revolusi dan Demokratisasi: Kehidupan dan
Pandangan Surat Kabar di Jawa Pada Masa Revolusi Indonesia 1945-1947,Jakarta: Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penlitian UI, Depok, 2001, h. 274.
xlii
alat-alat cetak yang tidak memadai. Pada masa awal revolusi kurang lebih
tidak dapat diketahui dengan pasti. Surat kabar yang pertama kali muncul
M.Diah.54
Hingga tahun 1948 banyak surat kabar bermunculan, terdapat kurang lebih 75
surat kabar yang terbit, mencapai oplah kurang lebih 400.000 eksemplar,
Lahirnya Negara RI yang baru tidak lepas dari dukungan pers yang berjiwa
“republiken”, dalam hal ini hampir di setiap kota penting di Jawa memiliki
penerbitan surat kabar.55 Suburnya kehidupan pers pada masa itu selain
didorong oleh pemerintah juga karena kesadaran para insan pers yang ingin
pers, juga dukungan pemerintah terhadap pers sangat besar dalam mendukung
bantuan pemerintah, seperti impor kertas dan subsidi kertas koran bahkan
54
Smith, Sejarah Pembreidelan Pers di Indonesia , h. 87.
55
Suwirta, Pers, revolusi dan Demokratisasi: Kehidupan dan Pandangan Surat Kabar di
Jawa Pada Masa Revolusi Indonesia 1945-1947, h. 276.
xliii
sampai memberikan bantuan keuangan. Bantuan-bantuan pemerintah
mempertahankan kemerdekaan.56
masa pengakuan kedaulatan. Salah satu harian yang muncul karena peranan
tentara adalah IR57 muncul dalam kehidupan pers di Indonesia tidak terlepas
dengan kondisi politik yang terjadi pada masa beberapa bulan sebelum
terhadap pengaruh Belanda yang masih kuat di Indonesia, bahkan cikal bakal
ide pendirian IR sudah muncul kurang lebih tiga bulan sebelum pengakuan
kedaulatan RI. Ide kemunculan IR tidak terlepas dari usul beberapa perwira
semangat republik kepada rakyat dan tentara pada masa transisi kekuasaan
melalui media pers. Ketika pasukan TNI memasuki wilayah Jakarta, beberapa
56
Smith, Sejarah Pembreidelan Pers di Indonesia, h. 81.
57
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangnan Pers Pancasila ( Jakarta: CV
Masagung, 1988), h. 77.
58
Ignatius Haryanto, Pembredelan Pers Indonesia: Kasus Koran Indonesia Raya
(Jakarta: LSPP (Lembaga Studi Pers Pembangunan), 1995), h. 71.
xliv
redaktur majalah Mutiara,59 agar membentuk sebuah surat kabar yang
Asal-usul nama Indonesia Raya sebagai sebuah nama harian, memiliki dua
versi pemberi nama. Pertama, versi dari Teuku Sjahril60 yang berpendapat
dari sebuah nama partai politik yaitu Partai Indonesia Raya (Parindra), sebab
pamannya yang bernama Raden Sutomo adalah salah seorang pendiri Parindra
IR pada awalnya terbit pada sore hari namun sejak tahun 1955 berubah
menjadi pagi hari. Pada masa periode pertama ini keterlibatan para tentara
59
Majalah Mutiara inilah yang akan menjadi cikal bakal dari redaksi harian Indonesia
Raya.
60
Teuku Sjahril adalah seorang pembantu tetap Majalah umum dan sastra Mutiara, ia
juga pada masa selanjutnya pernah menjabat sebagai ketua presidium Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI), Ketua Umum Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) dan pada masa-masa akhir
hidupnya sempat menjadi Ketua Dewan Pertimbangan SPS Pusat.
61
Atmakusumah, “Mochtar Lubis dan Indonesia Raya” dalam Atmakusumah ed.,
Mochtar Lubis Wartawan Jihad, h. 64-65.
xlv
sebagai penghubung antara tentara dengan IR, terkait dengan masalah bantuan
tentara terhadap IR. Pada awalnya IR dijuluki sebagai harian tentara karena
terhadap visi atau pandangan IR, terutama yang terkait dengan pembentukan
karakteristik IR.
Setiap surat kabar atau harian memiliki karakteristik, yang tentu berbeda
hal seperti motto, ukuran kertas, gaya penulisan, gaya bahasa, isi pemberitaan
dan lain-lain. Pada masa periode pertama IR memiliki motto yaitu "Dari
pertama memiliki ukuran seperti pada umumnya harian pada waktu itu, yaitu
minggu sejak tanggal 16 Oktober 1955 dengan nama yang berbeda yaitu Masa
62
Haryanto, Pembredelan Pers Indonesia: Kasus Koran Indonesia Raya, h. 72.
xlvi
harian IR walaupun berita-berita mengenai budaya cenderung diarahkan
Sejak awal tahun 1952 hingga seterusnya. pemberitaan mengenai korupsi dan
semakin gencar.
Mochtar Lubis dari tahanan pada tahun 1966. Mochtar Lubis mengajukan
Boediardjo, IR baru mendapat surat ijin terbit. Pemberian ijin terbit IR ditandai
dengan pemberian surat ijin terbit (SIT) dari Menteri Penerangan dengan
media massa seperti Indonesia Raya. Koran semacam itu suaranya perlu
63
Atmakusumah ed., Mochtar Lubis Wartawan Jihad, h. 171.
xlvii
didengar. Saya pikir hal itu wajar-wajar saja. Tidak ada sesuatu yang dramatis
mendapatkan surat ijin terbit dan surat ijin cetak, IR mendapat bantuan
material dari kalangan swasta luar negeri khususnya bantuan yang diberikan
oleh Don Ramos Roces seorang mantan penerbit The Manila Times yang
menghadiahkan satu buah mesin cetak, juga surat kabar The Straits Times
memberikan satu mesin set untuk menyusun huruf cetak. Alamat redaksi
pemerintahan awal Orde Baru. Bahkan banyak harapan dari masyarakat agar
Pada periode kedua IR, nampaknya harian ini memposisikan dirinya tidak
sebagai musuh pemerintah, seperti yang diposisikan oleh IR pada masa Orde
64
Boediardjo, “ Ia Seorang Lone Ranger” dalam Atmakusumah ed., Mochtar Lubis
Wartawan Jihad, h. 171.
65
Saur Hutabarat dan Susanto Pudjamartono, “Menukik ke dalam artikel opini” dalam
Ashadi Siregar dan I Made Suarjana ed., Bagaimana Mempertimbangkan Artikel Opini Untuk
Media Massa (Jakarta: Kanisius, 1995).
xlviii
politiknya maupun skandal-skandalnya, seperti skandal pernikahan Soekarno
dengan Ny. Hartini yang menjadi sorotan panjang IR. Posisi IR pada periode
mengabaikan sikap kritisnya terhadap pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari
Baru telah mendapat perhatian masyarakat luas baik di dalam negeri maupun
di luar negeri. Sehingga wajar saja kalau IR bisa dikatakan harian yang cukup
diperhitungkan oleh kalangan pers di luar negeri maupun dalam negeri. Selain
memposisikan pers pada waktu itu yang sedang marak mengungkap korupsi,
66
“Memberantas korupsi dilakukan dengan dua cara; cara pertama yaitu dengan cara
preventif, dengan cara melakukan perbaikan ekonomi dan penertiban struktur organisasi,
administrasi, dan sistem kontrol yang baik. Kedua adalah cara refresif beserta tindakan hukum,
sebab tanpa dengan tindakan hukum akan menimbulkan dampak negatif, yaitu timbulnya saling
tuduh menuduh. Pada dasarnya pemerintah memberikan kesempatan terbuka kepada masyarakat
untuk membantu pemerintah asalkan dengan melalui prosedur hukum. Pemerintah tidak
membenarkan tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang tanpa melalui jalur hukum, walaupun
dengan dalih untuk melakukan pemberantasan korupsi.” Harian Indonesia Raya, 2 Januari 1969.
xlix
Walaupun secara umum posisi IR memberi dukungan terhadap pemerintah
awal Orde Baru namun dukungan itu diimbangi dengan kritik IR terhadap
pemberantasan korupsi.
Hal menarik terjadi ketika IR pada bulan Januari 1974 banyak memuat
terhadap informasi akan lebih memberi dampak pada aspek bisnis yang
l
Berita-berita kasus-kasus korupsi tidak selamanya menjadi prioritas bagi
mengenai kasus Bulog pada tahun 1972, ternyata tidak berpengaruh terhadap
jumlah sirkulasi IR. Hal ini menunjukan bahwa telah terjadi korelasi yang
tidak sejalan antara aspek bisnis dengan idealisme Mochtar Lubis sebagai
perlu dicatat dalam tajuk rencana edisi perdana IR. Pertama, cita-cita IR
diri sebagai pers yang merdeka maka upayanya dalam menjalankan peranan
67
Atmakusumah, “Kasus Koran Indonesia Raya” dalam Abdurrahman Surjomiharjo,
redaktur , Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia (Departemen Penerangan RI
Leknas LIPI, Jakarta, 1980).
68
Istilah pers merdeka dapat diartikan secara umum (di luar dan” yang dimaksud Mochtar
Lubis) berasal dari konsep teori pers libertarian yang beranggapan bahwa pers bukanlah alat
pemerintah namun sebagai sarana masyarakat untuk mengawasi pemerintah. Pers harus bebas dari
pengawasan dan pengaruh Pemerintah, kebebasan pers menjadi ha! yang pokok karena
mencerminkan kebebasan manusia. Untuk lebih jelasnya lihat karya buku DR. Krisna Harahap, S.
H., M. H. Kebebasan Pers di Indonesia Dari Masa Ke Masa (Bandung: Grafiti Budi Utami,
2000).
li
peranannya sebagai pembela kepentingan dan masyarakat umum, maka
“... Hal ini kini tidak dapat ditangguhkan. Naikkan lah gaji
pegawai negeri ketingkat yang layak menjamin hidup yang baik,
dan waktu yang sama pasanglah syarat-syarat yang berat
mengenai disiplin kerja dan kejujaran. Laranglah secara total
pegawai negeri menerima hadiah macai.n apapun juga dari
siapapun juga. Hanya dengan cara ini mungkin ditegakan sebuah
pemerintahan yang yang bersih di Indonesia.”71
korupsi dapat dipandang sebagai upaya Mochtar Lubis untuk mencapai apa
69
“Satu Putusan yang Tepat” Tajuk Rencana Harian Indonesia Raya, 13 Agustus
1970.
70
“Mencapai Pemerintahan Yang Bersih” Tajuk Rencana Harian Indonesia Raya, 22
Desember 1972.
71
“Pemerintah Yang Bersih” Tajuk Rencana Harian Indonesia Raya, 17 November 1972.
lii
yang akan berdampak pada munculnya “Raja-raja” yang melakukan
rakyat, kondisi ini sering disebut oleh IR dalam sebuah idiom “Republik
suksesnya upaya pembangunan, hal ini sangat penting bagi negara yang
Pada tahun 1973 harian Indonesia Raya mendapat nasib yang sama dengan
mengenai pencabutan surat ijin terbit harian Indonesia Raya,73 antara lain:
72
“Jangan Jadi Republik Pisang” Tajuk Rencana Harian Indonesia Raya, 5 Januari 1970.
73
Haryanto, Pembredelan Pers Indonesia: Kasus Koran Indonesia Raya, h. 217.
liii
pada tanggal 15 dan 16 Januari 1974 dan dapat mengadu domba antara
yang
Kopkamtib.
tepat dan positif, yang dapat diartikan menghasut rakyat untuk bangkit
keamanan Nasional.
perbuatan maker.
Sikap dan perlakuan rezim Orde Baru ini terhadap pers, membuat kita
74
Ibid., h. 209.
liv
perlakuan rezim Orde Lama terhadap pers, kecuali dalam beberapa hal; (1).
sistem regulasi melalui SIT.75 (2). Rezim Orde Lama melakukan penjinakkan
pers yang tidak kritis, tidak bebas serta tidak anti kekuasaan, kalaupun pers
harus menjadi pendukung atau pembela maka yang terutama adalah menjadi
kedua hal ini sulit untuk dipisahkan dari tingkat praktek politik.
75
Akan tetapi setelah diundangkannya Undang-Undang Pokok Pers No.21 Tahun 1982,
maka regulasi atas penerbitan pers menjadi cenderung bersifat kapitalistik. Oleh karena setiap
penerbitan harus memiliki SIUPP ( Surat Izin Usaha Penerbitan Pers ) yang mensyaratakan modal
yang sangat besar, maka hanya orang yang bermodal besar yang akan berani memasuki dunia pers.
lv
BAB III
A. Tinjauan Historis
pertumbuhan pers. Pers lahir bermula dari sejarah perjuangan manusia tentang
besarnya peranan media itu dalam menjunjung tinggi hak dan kebebasan
hingga saat ini pers tetap dipandang sebagai kekuatan moral yang mampu
sehingga kebebasan pers itu sendiri pada akhirnya merupakan fasilitas untuk
Belanda terjadi pada pertengahan abad ke-17. Berita-berita dari Eropa sampai
ke Batavia disusun oleh kantor Gubernur Jendral Jan Pieterzoon Coen untuk
selanjutnya dikirim dalam bentuk tulisan tangan antara lain ke Ambon. Berita
76
Asep Saepul Muhtadi, Jurnalistik (Pendekatan Teori dan Praktek), Jakarta: Logos,
1999, h. 14.
lvi
surat kabar Belanda dinegri jajahannya ini. Namun demikian, berita yang
masih ditulis tangan ini belum bisa disebut koran pertama yang terbit di
Indonesia. Pada tahun 1712 suatu usaha dilakukan untuk menerbitkan surat
kabar di Batavia (sekarang Jakarta), untuk kabar dalam negri, berita kapal, dan
Compagnie) melarang rencana penebitan itu karena takut saingan VOC akan
memperoleh keuntungan dari berita dagang yang dimuat di koran itu,77 sebab
sekitar satu abad sesudah itu (abad ke-18), muncul pula Bataviasche Nouvelles
yang terbit dalam bentuk koran. Koran yang terbit pertama kali pada 7
Pada abad ke-19, baik pada masa jajahan Inggris maupun Belanda, koran
terus terbit silih berganti. Ketika Inggris berhasil mencaplok kawasan Hindia
Timur pada 1811, terbit koran berbahasa Inggris Java Government Gazette
tersebut pada 1814, mereka menghentikan koran Inggris itu dan menerbitkan
berita harian, Koran ini juga memuat artikel-artikel ilmu pengetahuan. Lalu,
pada 1829 Bataviasche Courant diganti lagi dengan Javasche Courant yang
77
G.H.von Faber, A Short History Of Journalism in the Dutch East Indies, diterjenahkan
oleh Leonard Arndt (Surabaya, Hindia Belanda: G.Kolff & Co, 1930), h. 13-14.
78
Edward C.Smith, Pembreidelan Pers Di Indonesia (Jakarta: Pustaka Grafiti Pers,
1986), h. 1.
lvii
peraturan-peraturan serta keputusan-keputusan pemerintah.79 Pada kurun yang
sama terbit pula sejumlah koran diberbagai kota di Jawa, Sumatra, dan
di Semarang pada 1851 ini memiliki pengaruh yang cukup besar khususnya
bagi pembaruan politik kolonial , politik etika. Salah satu wartawannya adalah
Douwes Dekker alias Dr. Danudirja Setiabudhi, salah seorang yang ikut
bersifat nasional dan dinilai radikal yang terbit di Jawa pada saat itu, antara
Djojobojo di Kediri (1920), dan lain sebagainya. Di luar Jawa juga muncul
79
Wartini Santoso ed., Katalog Surat Kabar: Catalogue of Newspaper (Jakarta:
Perpusnas, 1984).
80
Muhtadi, Jurnalistik (Pendekatan Teori dan Praktek), h. 21.
lviii
radikal di Indonesia, jumlah surat kabar nasional naik pesat terutama sejak
yang turut menerbitkan media, karena media menjadi alat perjuangan mereka.
kemerdekaan dengan bebas dari tekanan, tetapi suasana bebas itu hanya
terhadap rezimnya tidak beda dengan tindakan yang diambil oleh pemerintah
kolonial Belanda atau Jepang terhadap oposisi dan kritik serta protes rakyat
Indonesia yang menuntut keadilan, yaitu dengan menutup surat kabar dan
pers PKI. Seperti kebijakan yang dikeluarkan oleh Pangdam Jaya Mayjend
81
Ibid., h. 22-23.
82
Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru ( Ciputat: Kalam Indonesia, 2005), h. 20.
83
Mochtar Lubis, Bangsa Indonesia Masa Lampau, Nasa Kini, Masa Depan (Jakarta:
Yayasan Idayu, 1978), h. 26.
lix
yang berisi mengenai larangan semua penerbitan pers tanpa ijin khusus,
Pembersihan terhadap pers PKI tidak hanya pada lembaga persnya saja
pemulihan kembali dan pemberian ijin penerbitan pers baru hal ini merupakan
Semenjak itu pemerintah berupaya membentuk dasar pers yang baru yang
berorientasi pada pancasila, yang lebih dikenal dengan istilah pers pancasila.
No. 11 tahun 1966. Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk memberikan
jaminan hukum terhadap fungsi, tugas, hak dan kewajiban pers nasional
84
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila (Jakarta: CV
Masagung, 1988), h.160-161. Pada saat penumpasan PKI jumlah penerbitan pers yang ada
mencapai 163 dan yang dilarang terbit berjumlah 46. Pada akhir tahun 1965 Departemen
Penerangan mengeluarkan 31 ijin terbit. Pada tahun 1966 berdasarkan ijin yang dikeluarkan
tercatat 502 penerbitan unluk seluruh Indonesia sedangkan pada tahun 1967 terdapat 91 ijin terbit
baru.
85
Tebba, Jurnalistik Baru, h. 22.
lx
terhadap pers, yaitu agar pers bertugas untuk memperkuat idiologi Pancasila,
Konsep kebebasan pers muncul sebagai reaksi terhadap pers otoriter yang
tidak relevan denga gagasan individu yang muncul sebagai konsekuensi dari
Berbicara mengenai kebebasan pers pada masa awal Orde Baru tidak hanya
terkait dengan kebijakan pemerintah awal Orde Baru terhadap pers namun
terkait juga dengan berakhirnya pengekangan pers pada masa terdahulu yaitu
pada masa Orde Lama. Sehingga kehidupan kebebasan pers pada masa awal
Orde Baru menunjukan arah yang sangat pesat secara kuantitatif, bahkan
luar biasa bahkan bisa dikatakan mengalami “euphoria” kebebasan. Pers pada
masa awal Orde Baru tidak diimbangi dengan kecepatan para aparat penegak
hukum dalam menindak kasus korupsi yang telah diungkap pers khususnya
oleh IR. Hal itu dapat terlihat dengan banyaknya kritikan yang muncul dari
86
T.Atmadi, Bunga Rampai Sistem Pers Indonesia (Jakarta: PT Pantja Simpati Jakarta,
1985), h. 356.
87
Tebba, Jurnalistik Baru, h. 47.
lxi
banyak kalangan terutama kalangan pers dan kalangan anggota DPR, yang
Pers pada periode awal Orde Baru, 1966-1974, dapat digambarkan secara
kuantitatif dari hasil penelitian Judith B. Agassi (1969) sebagai berikut: pada
tahun 1966 terdapat 132 harian di Indonesia dengan total tiras 2 juta
eksemplar dan mingguan sebanyak 114 buah dengan total tiras 1.542.200
Kenaikan tiras suratkabar harian maupun mingguan pada tahun 1966 ini,
terutama disebabkan oleh terbitnya kembali surat kabar-surat kabar lama yang
kembali Juni 1966), Berita Indonesia (terbit kembali Mei 1966), Indonesian
Observer (terbit kembali September 1966) dan lain-lain. Selain itu telah terbit
(Maret 1966), Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat (Juni 1966) ,
Tetapi setahun kemudian, yaitu tahun 1967, angka itu merosot drastis
dibandingkan dengan angka pada tahun 1965 dan beberapa tahun sebelumnya.
88
Akhmad Zaini Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974 (Jakarta: LKiS, 1995), h. 45.
89
Ibid.
lxii
101 buah dengan total tiras hanya 893.500 eksemplar. Sedangkan mingguan
stabilisasi ekonomi yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru yang pada awal
mengkhawatirkan.
kualitatif pers Indonesia sejak kebangkitan Orde Baru di tahun 1966 ( atau
dari segi orientasi dan posisi pers, persepsi, sikap dan perlakuan penguasa
terhadap pers.90
Pada masa Orde Baru pers Indonesia disebut sebagai pers Pancasila,
cirinya adalah bebas dan bertanggung jawab. Kalau kita mengacu kepada
gabungan antara teori pers bebas dan teori tenggung jawab, yang ditegaskan
90
Ibid., h. 50.
91
Tebba, Jurnalistik Baru, h. 22.
lxiii
1. Perubahan Peta Ideologis Pers
berada dalam posisi periferal. Karena itu penciptaan opini publik dan politik
pers komunis harus selalu mengikuti logika kepentingan dan identitas retoris
dan politis rezim Demokrasi Terpimpin terutama Soekarno, meski dibalik itu
Pers yang termasuk dalam posisi periferal tersebut adalah pers non atau
anti komunis yang dapat dikelompokkan kedalam “pers agama”, yaitu pers
yang berafiliasi dengan partai agama, pers kelompok BPS (Badan Pendukung
yaitu pers yang dikelola sejumlah perwira Angkatan Darat yang baru terbit
setelah pers kelompok BPS dibubarkan. Pers kelompok pertama, yakni pers
agama antara lain harian Duta Masyarakat , yang berafiliasi dengan Partai
Nahdatul Ulama, harian Sinar Harapan yang berafiliasi dengan Partai Kristen
Indonesia (Parkindo) (terbit sejak 27 April 1961), serta harian Kompas yang
berafiliasi dengan Partai Katolik (terbit 28 Juni 1965), boleh dikatakan sebagai
92
Sebagai contoh, hal ini terjadi pada kasus PKI dalam “mengganyang” (pers) BPS pada
waktu itu, sebagai salah satu musuh politiknya. Pers Komunis dengan menggunakan atau mungkin
memanipulasi logika, kepentingan dan identitas retoris dan politis Soekarno telah berhasil
“mengganyang” kelompok BPS, sehingga kelompok ini dibubarkan oleh Soekarno dan pers
pendukungnya dilarang terbit. Lihat Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974, h. 51.
lxiv
Sedangkan pers kelompok BPS, seperti harian Merdeka, Berita Indonesia
progresif dalam menentang aksi-aksi politik PKI. Pers militer yang terpenting
adalah harian Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata, harian Berita Yudha
terbit pada 9 Februari 1965, dibawah kontrol Kepala Penerangan Staf ABRI
Mayor Jenderal Sugandhi. Kedua harian ini diterbitkan sebagai reaksi dan
tindakan politik Angkatan Darat atas dilarangnya sebagian besar pers BPS.93
inilah penerbitan pers militer merupakan usaha politik Angkatan Darat untuk
mengisi kekosongan peran tersebut untuk menahan dan mengcounter laju aksi-
93
Ibid., h. 52.
94
Ibid., h. 53.
lxv
Sejak 1 Oktober 1965, menurut P. Swantoro dan Atmakusumah, terdapat
46 surat kabar dari 163 surat kabar secara keseluruhan yang dilarang terbit
bulan pertama setelah peristiwa September berdarah itu, pers militerlah yang
mendominasi arus opini publik dan politik. Pers lainnya yang kebetulan tidak
penguasa militer, dengan alasan negara berada dalam keadaan darurat perang,
maupun aktivitas politik pada umumnya harus sesuai dengan versi penguasa
terbitnya surat kabar-surat kabar yang baru yang kebanyakan dikelola oleh
dominasi pers militer dalam menciptakan opini publik dan politik serta dalam
pertengahan 1966 peta ideologi pers berada dalam keadaan seimbang, dalam
95
Angka ini telah melebihi angka pembredelan pers yang dilakukan oleh rezim
sebelumnya di tahun itu juga terhadap pers BPS, yaitu sebanyak 28 buah, dan juga melampui
angka pembredelan pers sejak SOB diberlakukan hingga runtuhnya Demokrasi Terpimpin.
96
Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974, h. 56.
97
Ibid.
lxvi
arti tidak ada pers atau kelompok pers yang mendominasi penciptaan opini
Pada masa Orde Lama setiap suratkabar dan majalah yang ada pada waktu
itu diwajibkan memiliki ijin terbit. Hal ini dilakukan oleh penguasa untuk
sehingga ia dapat menjadi alat dan pendukung revolusi. Setiap penerbit pers
yang akan mengajukan surat ijin terbit diharuskan mengisi sebuah formulir
penerbit surat kabar dan majalah seandainya ia sudah diberi ijin terbit, yang
jika diteliti pasal per pasal memperlihatkan usaha penguasa untuk benar-benar
“menjinakkan pers”. Cara retooling ini sangat efektif untuk menjinakkan atau
Pada masa Orde Baru pers Indonesia disebut sebagai pers Pancasila,
disebutkan bahwa kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga Negara dan
didasarkan pada tanggung jawab nasional.99 Setelah PKI dan rezim Demokrasi
terhadap pers mulai berubah. Hal ini terutama disebabkan oleh dua faktor
98
Smith, Pembreidelan Pers Di Indonesia, h. 7.
99
Tebba, Jurnalistik Baru, h. 22.
lxvii
bertambah kuat dan besar setelah rezim Demokrasi Terpimpin tumbang. Tidak
ada lagi penghalang atau lawan politik Angkatan Darat atau ABRI pada
umumnya untuk meratakan jalan kekuasannya. Kedua, sejak tahun 1967, pers
Indonesia mulai lebih kritis terhadap kekuasaan Orde Baru, terutama ditujukan
pada fenomena korupsi dalam tubuh birokrasi Negara Orde Baru, yang mulai
Dua faktor kritis tersebut diatas membuat Orde Baru semakin berhati-hati
terhadap pers dan mulai melakukan tindakan yang bisa dikategorikan sebagai
tindakan anti pers, seperti imbauan atau peringatan agar pers lebih ber-tepo
Lesmana, perubahan itu terjadi dan dirasakan sejak tahun 1969 yang ditandai
dengan berakhirnya masa “bulan madu” antara pers dan penguasa. Penguasa
pada waktu itu mulai memandang pers bukan lagi sebagai partner yang selalu
bagian dari koalisi kekuasaan Orde Baru yang bisa mendukung konsolidasi
dan perluasan kekuasaannya, namun pada periode ini pemerintah Orde Baru
lebih keras terhadap pers dikarenakan penguasa Orde Baru merasa masih
lxviii
konsekuen, sehingga akan membedakan dirinya dengan penguasa atau rezim
demokratisasi.
Pada tahun 1973 adalah tahun “panas” dengan suhu politik yang sangat
tinggi, penguasa mulai melakukan tindakan yang lebih keras lagi. Bahkan di
awal tahun itu saja, yaitu tanggal 2 Januari 1973, Panglima Kopkamtib
Jenderal Soemitro telah mencabut surat ijin terbit (SIT) harian Sinar Harapan
memberikan peringatan kepada tiga harian yakni Pos Kota, Kami dan
Merdeka supaya tidak lagi menyiarkan intrik-intrik politik yang tidak benar.102
mulai menunjukkan “sikap aslinya” terhadap pers, suatu sikap yang selama ini
bahwa kebebasan sebagai indikator dan unsur legitimasi yang penting bagi
kekuasaan demokratis, tetapi bagi penguasa Orde Baru soal ketertiban dan
pada pidatonya dalam pembukaan Sidang Umum MPR bulan Maret 1973.103
101
Harian Indonesia Raya, 3 Januari 1973.
102
Harian Indonesia Raya, 5 Januari 1973.
103
Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974, h. 71.
lxix
GBHN (Tap MPR Nomor IV Tahun 1973 dan Tap MPR Nomor II Tahun
Tiga bulan terakhir tahun 1973, sikap penguasa Orde Baru semakin
agar ; (1) jangan main intrik politik, (2) jangan main hakim sendiri, (3) jangan
bertingkah laku menyinggung orang lain, (4) jangan hidup ekslusif. Lebih
lanjut Sudomo mengatakan “Kalau memang tidak dapat diperbaiki lagi, koran-
koran itu akan dicabut SIT-nya sebagai tindakan terakhir.”105 Seiring dengan
pemerintah Orde Baru melakukan pembreidelan pers secara massal pada bulan
Januari 1974106 oleh pemerintah terutama terhadap pers yang dianggap sangat
bagian dari sebuah konspirasi politik “anti Negara” yang bertujuan untuk
power atau opposition of the state, hal ini tercermin dari alasan-alasan yang
104
Tebba, Jurnalistik Baru, h. 22.
105
Harian Indonesia Raya, 15 September 1973.
106
Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru (Bandung: PT Remaja
Rosda Karya, 2000), h. 23.
107
Kenyataan bahwa penyiksaan di tahun 1980-an oleh Negara-negara buas, merupakan
suatu kejahatan yang berkembang luas dapat terlihat apabila kita memperhatikan suratkabar-
suratkabar. Amnesty International dengan laporan-laporannya yang berdokumentasi telah
menyadarkan kita akan keseriusan masalah itu dan bagaimana meluasnya diseluruh dunia. Dalam
salah satu buletinnya 66 dari 171 negara telah dinyatakan telah melkukan penyiksaan secara
sistematis dalam salah satu bentuknya tindakan itu dlakukan oleh pihak yang berwenang di
pemerintahan (tentara, polisi, dan seterusnya). Lihat dalam Antonio Cassae, Hak Asasi Manusia di
Dunia Yang Telah Berubah , penerjemah A.Rahman Zainudin (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2005), h. 127.
lxx
dikemukakan oleh penguasa untuk membredel sejumlah pers. Dari uraian
penguasa terhadap pers dimasa periode awal kebangkitan Orde Baru berubah-
ubah sesuai dan tergantung pada proses serta dinamika politik pada waktu itu.
dalam banyak hal, diingkari secara tuntas seperti pencabutan SIUPP,109 dan
wewenang cekal seperti izin pengkajianm seminar atau diskusi yang berakibat
kebangkitan Orde Baru, dilihat dari sudut kuantitatif perkembangan pers lebih
bersifat statis. Dari sudut kualitatif, telah terjadi perubahan yang cukup
108
Elza Peldi Taher, Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi: Pengalaman
Indonesia Masa Orde Baru (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994), h. xvii.
109
SIUPP adalah Surat Izin Usaha Penerbitan Pers
110
Abdurrahman Wahid, Demokrasi Pancasila Masih Otoriter dalam harian KOMPAS,
18 November 1993, h. 1.
lxxi
BAB IV
5 Desember 1967, melalui Kepres No. 228 tahun 1967.111 TPK diketuai
oleh Jaksa Agung Soegih Arto, tim ini dilantik pada tanggal 17 Desember
politis.”113
Secara umum susunan TPK terdiri dari para pejabat tinggi militer dan
111
KOMPAS, 6 Desember, 1967.
112
Akhmad Zaini Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974 (Jakarta: LKiS, 1995), h.168.
113
KOMPAS, 18 Desember, 1967.
114
Ibid.
lxxii
Panglima Kepolisian. Sedangkan Anggota Tim terdiri dari Mayjen Sutopo
Juwono dari AD, Laksamana Muda Sudomo dari AL, Brigjen Polisi
seorang yang berfungsi sebagai sekretaris tim, selain itu ada satuan-satuan
secara konsisten. Hal itu dapat terlihat dengan tindakan TPK yang hanya
115
Ibid.
116
Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974 , h.168-169.
lxxiii
rendah pemerintah. Sehingga semenjak dibentuk oleh Presiden Soeharto,
umum maupun pers bahkan kritikan itu muncul dari beberapa anggota
TPK itu sendiri, yang berpendapat bahwa TPK tidak melakukan tindakan
mengatakan bahwa,
baru bagi TPK. Diantaranya dari kalangan pers dan mahasiswa yang
kritis tidak luput juga melakukan kritikan terhadap kinerja TPK, terutama
hingga bulan April 1969 belum banyak kasus-kasus korupsi besar yang
para pejabat tinggi masih banyak yang belum diadili. Berdasarkan sumber
117
Indonesia Raya, 16 November 1968.
118
Indonesia Raya, 29 November 1968.
lxxiv
IR disebutkan beberapa kasus yang belum dibawa kepengadilan antara lain
Arto mengatakan bahwa untuk sementara waktu kasus korupsi kelas kakap
belum dapat diurus secara tuntas, karena terkait dengan adanya “kesulitan
Berdasarkan hasil kerja dari periode 1967 sampai awal 1969, TPK hanya
Tim-tim anti korupsi pada masa awal Orde Baru tidak hanya bersifat
refresif yang terkait dengan hukum, namun ada juga tim yang lebih
langsung oleh Soeharto sebagai ketua dari Presidium Kabinet Ampera dan
119
Abar, Kisah Pers Indonesia 1966-1974 , h. 169.
120
Indonesia Raya, 5 Maret 1969.
lxxv
dalam melakukan penelitian dibanyak instansi Negara dan membuat
Selain itu ada juga tim Pekuneg ( pengawas keuangan Negara), yang
dibentuk Presiden Soeharto pada 30 April 1966 yang pada waktu itu masih
unsure kejaksaan dan Bank Sentral. Tim ini bersifat preventif, yang tujan
karena pada masa Orde Lama banyak kebijakan ekonomi yang merugikan
negara.122
Ada juga tim yang berada dalam naungan lembaga Kepolisian yaitu
Tim Pemeriksaan (C) khusus (TPC) merupakan sebuah tim yang dibentuk
oleh Komisaris Besar Polisi Drs. Sukarjo, SH. Selama periode kerja antara
tahun 1967 sampai 1968, tim ini berhasil mengusut 85 perkara yang telah
121
Sjahrir, “ Pengamanan Dana dan Daya Negara, Soal Pemberantasan atau Pencegahan
Korupsi”, dalam Prisma, No.3. tahun 1986.
122
Harian Indonesia Raya, 21 Maret 1969.
lxxvi
penanganan 17 bank-bank swasta dan 5 bank-bank pemerintah.123 Dalam
kerugian Negara masih sangat besar seperti dalam kasus Bank BNI, BI,
tersebut tidak memiliki arti penting karena para aparat penegak hukum
Seperti kasus Coopa yang telah meyeret tersangka Arief Husni sebagai
bukti yang telah disampaikan oleh IR tidak direspon secara cepat. Bahkan
lxxvii
penegak hukum dalam menangani kasus korupsi terutama Pertamina dan
Coopa.124
Landasan hukum yang dipakai oleh pemerintah awal Orde Baru dalam
yang baru adalah memakail produk hukum Orde Lama yaitu UU No. 24
warisan jaman kolonial Belanda, yang batasan korupsi sangat sempit yaitu
“ yang terkait dengan penggunaan uang Negara secara tidak sah dan benar-
124
“Asal,Asal, Asal!” Tajuk Rencana Harian Indonesia Raya, 1 Oktober 1970.
125
Harian Indonesia Raya, 7 Agustus 1970.
126
Soeparman, SH., “Sulit Memberantas Korupsi Di Indonesia” dalam harian Indonesia
Raya, 22 Agustus 1970.
lxxviii
RUU anti korupsi yang dibahas di DPR-GR cukup banyak mengundang
perdebatan wacana mengenai isi RUU anti korupsi, pasal yang paling
korupsi yang telah dilakukan sebelum saat UU ini berlaku pada setiap tindak
setelah sekian lama disusun oleh pemerintah dan DPR-GR yang memakan
waktu 8 bulan, pada tanggal 12 Maret 1971 RUU anti korupsi disahkan
membentuk panitia menteri perumusan RUU Pertamina, setelah lebih dari satu
than digulirkan maka pada tanggal 23 Agustus 1971 RUU Pertamina disahkan
1968-1973
127
S. Tasrif, SH, “Dapatkah RUU Anti Korupsi Berlaku Surut” dalam harian Indonesia
Raya, 9 September 1970.
128
Syahrul Mustofa, ed., Mencabut Akar Korupsi (Jakarta: SOMASI-NTB, The Asian
Foundation dan USAID, 2003), h. 96.
129
Sutanto, S.H. ED., Undang-Undang RI Tentng Minyak dan Gas Bumi (Jakarta:
Pancar Utama, 2002).
lxxix
Dalam upaya program tersebut pemerintah menempuh jalan dengan cara
berjalan nampaknya tidak ada realisasi yang nyata dari para perusahaan
informasi yang dihimpun oleh IR, bahwa kontrak antara Coopa dan
130
Cikal bakal program bimas (bimbingan massal) sudah mulai diperkenalkan pada masa
Orde Lama yang didukung oleh The College of Agriculture of the University of Indonesia
(sekarang Institut Pertanian Bogor) yang mulai dirintis pada tahun 1962/1963. Lihat E. A.
Roekasah dan D. H. Penny, “Bimas: A New Approach to Agricultural Extention In Indonesia”
dalam BIES No. 7 bulan Juni tahun 1967.
131
Harian Indonesia Raya, 21 April 1969.
lxxx
Departemen Pertanian sudah berlangsung sejak tanggal 15 Maret 1969.
dan Coopa telah mengucurkan uang untuk program Bimas, selain itu
tidak terlalu puas dengan sanggahan yang disampaikan oleh Coopa. Untuk
132
Harian Indonesia Raya, 21 April 1969.
lxxxi
kewajibannya dalam menyelenggarakan program Bimas tepat waktu.133
Hal yang samapun disimpulkan oleh rapat kerja Bimas se-Jawa yang
Indonesia yaitu Arief Husni alias Ong Keng Seng atau Ong Seng King.
melalui BI, ternyata tidak ada hasil berupa pengiriman diazinon tersebut.
pemalsuan sertifikat surveyor dan bill of lading oleh Arief Husni dan
lxxxii
tanggal 22 November 1969. Sorotan terhadap Pertamina menjadi berita
antara lain dibidang restauran, agen pariwisata, hotel di luar negeri, travel
lxxxiii
alihan perusahaan-perusahaan minyak Belanda, data-data inventaris
dalam hal keuangan dan penggunaan uang Pertamina yang tidak terkontrol
oleh pemerintah.
negara, salah satunya terhadap Pertamina. Hal ini tentunya sesuatu hal
yang wajar sebab pada masa itu Indonesia banyak melakukan pinjaman
menjatuhkan tingkat kepercayaan publik terhadap IR. Hal itu dapat terlihat
dari tajuk rencana yang ditulis oleh Mochtar Lubis mengenai komentarnya
Jakarta.140
138
Harian Indonesia Raya, 24 November 1969.
139
Harian Indonesia Raya, 25 November 1969.
140
Harian-harian yang melakukan “serangan-serangan” terhadap IR antara lain harian
Suluh Minggu, Harian Rakyat, Binlang Timur, Suluh Indonesia. Berita Minggu lihat “Mengulang
Pola Lama” Tajuk Rencana Harian Indoneisia Raya, 22 Januari 1971. Kasus tuduhan atau
“serangan” terhadap IR mengenai upaya pengungkapan kasus korupsi yang dilakukan IR
lxxxiv
“...Berita palsu mengenai percakapan antara Adam Malik dan
Mochtar Lubis mengenai Pertamina adalah salah satu
contoh...Pemimpin Pertamina mencoba segala jalan untuk
menutupi borok-borok yang mereka bikin dalam tubuh Pertamina
dengan melancarkan segala fitnah dan mencoba-coba pula untuk
menimbulkan keragu-raguan pada integritas harian ini. Mereka
kini menyiarkan seakan Indonesia Raya menyiarkan semua ini
untuk menghancurkan Pertamina demi keuntungan modal-modal
asing...memakai nama pembesar guna membela diri,...sebuah
keterangan yang dikatakan diucapkan oleh Menteri Penerangan
Boediardjo yang disiarkan sebuah Koran di Jakarta. Dalam berita
itu dilaporkan seakan Menteri Penerangan telah mengatakan,
“...bahwa sampai saat ini pemerintah beranggapan bahwa apa
yang dilaksanakan oleh PN Pertamina adalah benar...PN
Pertamina adalah perusahaan pemerintah, oleh karenanya apa
yang dilaksanakan oleh perusahaan tersebut dianggap oleh
pemerintah benar.” 141
Ada hal cukup menarik terhadap segala upaya yang dilakukan oleh
dilakukan oleh IR. Yaitu mengapa Pertamina tidak melakukan jalur hukum?
Hal inilah yang menjadi argumen kuat dan keyakinan IR terhadap kebobrokan
khususnya di Pertamina yang sempat diperkarakan sampai ke pengadilan adalah kasus B. M. Diah
yang merupakan pemimpin redaksi Harian Merdeka yang melakukan tuduhan mengenai
pemerasan Mochtar Lubis terhadap Pertamina, yang dimuat di harian Merdeka pada tanggal 20
Januari 1971. Kemudian Mochtar Lubis melakukan tuntutan terhadap B.M. Diah terhadap perkara
fitnahan yang ditujukan kepadanya. Perkara fitnahan B. M. Diah terhadap Mochtar Lubis baru
disidangkan pada tanggal 10 Februari 1972. Setelah menjalankan 23 kali persidangan maka B. M.
Diah dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan dikenakan ganti rugi sebanyak satu juta rupiah
dengan kewajiban meminta maaf kepada Mochtar Lubis (IR) di harian Merdeka selama satu
minggu berturut-turut. Lihat Harian Indonesia Raya, 13 April 1973.
141
“Mentalitas Wartawan yang Bejat” Tajuk Rencana Harian Indonesia Raya, 29
Desember 1969.
142
Perkembangan kasus Pertamina berlangsung hingga IR mengalami pembredelan
penutupan pada Januari 1974. Puncaknya adalah ketika Pertamina mengaiami kebangkrutan pada
lxxxv
“Jika laporan-Iaporan Indonesia Raya mengenai penyelewengan di
Pertamina tidak benar, maka ini berupa fitnah dan mencemarkan nama
baik Direktur Ufama Ibnu Sutowo. dan sebaiknya Indonesia Raya
diadukan ke pengadilan. Kami amat senang jika Ibnu Sutowo
menempuh jalan ini... Kami bersedia menjadi orang pertama yang
diperiksa oleh tim peneiiti DPR ataupun pemerintah mengenai
persoalan penyelewengan-penyelewengan di Pertamina ini. Kami pun
paling senang untuk diperiksa oleh pengadilan, agar kami dapat
menyampaikan fakta-fakta dan bukti-bukti penyelewengan-
penyelewengan di Pertamina dan supaya Ibnu Sutowo cs dapat
dimintai keterangan di bawah sumpah.”143
IR telah banyak mendapi respon, baik positif maupun negatif dari banyak
kalangan. Respon negatif yang biasa diterima oleh IR tidak hanya terkait
Hal yang sama pun terjadi ketika pada akhir bulan Mei 1970. Peristiwa
tahun 1975. Pada awal tahun 1975 Pertamina mengalami krisis liquiditas sehingga tidak mampu
membayar hutang jangka pendek sebesar 40 juta dollar AS, hingga bulan Juli 1975 hutang luar
negeri Pertamina mencapai 2,3 miliar dollar AS, dengan hutang jangka pendek 1.5 miliar dollar
AS dan hutang dalam negeri 120 juta dollar AS. Akhmad Zaini Abar, Kisah Pers Indonesia 1968-
1974, h. 178-179.
143
'”Mari ke Pengadilan” Tajuk Rencana Harian Indonesia Prisma, 29 Januari 1970.
144
Hasil wawancara dengan Radio UI “Mochtar Lubis Berbicara Tentang Korupsi, Tidak
Benar Ibni Sutowo Manajer yang Baik yang dimuat dalam Harian Indonesia Raya, 17 Februari
1970.
lxxxvi
Bruce Rappaport, yang kemudian menjadi headline beberapa hari pada akhir
Mei 1970. Bruce Rappaport adalah orang yang dianggap oleh Mochtar Lubis
kali muncul pada tanggal 26 Mei 1970, dengan judul “Rappaport Tjukong
Selain kasus Bulog, Ciba, Pertamina dan Coopa masih ada beberapa kasus
1969. Hal ini berawal ketika beberapa oknum Direktorat Urusan Haji
jamaah haji vang akan berangkat ke tanah suci.146 Dalam kasus ini terlihat
jawab dalam kasus ini yaitu Kepala Dinas Perlengkapan Dirjen Urusan Haji
145
Yayasan Al-ikhlas adalah yayasan yang bergerak dalam bidang pemberangkatan
jamaah haji, yan£ bekerja sama dengan Departemen Agama khususnya dengan Direktorat Urusan
Haji.
146
Harian Indonesia Raya, 22 Februari 1969
lxxxvii
dan Kepala Dinas Angkutan dan Pengasramaan Dirjen Urusan Haji.147 Dari
buruk di dalam Departemen Agama, yang dapat dilihat dari kontrol yang
hal laporan keuangan. Hal ini disebabkan karena Direktorat Urusan Haji
Selain itu, ada kasus Mantrust yang menjadi sorotan panjang dalam
periode awal tahun 1968. Kasus Mantrust berawal ketika terjadi kesepakatan
dari riset tersebut menghasil kan sebuah produk beras yang dikenal dengan
pemerintahan Orde lama kemudian baru direalisasikan pada masa awal Orde
jumlah devisa negara yang terbatas ditambah lagi pada waktu itu harga beras
147
Harian Indonesia Ray a, 1 April 1969.
148
Harian Indonesia Raya, 3 April 1969
149
Djokosaptono Siamet, “Beras Tekad, Mula-mula Disebut Beras llmiah-yang Sinis
Menyebutnya Beras Nekad-Akhirnya Terbuat dari Ganja (gandum-jagung)” dalam Harian
Indonesia Raya, 20 November 1968.
lxxxviii
manipulasi harga-harga perlengkapan yang dibeli dari Jepang untuk pabrik
pembuat beras tekad. Mantrust juga tidak berhasil memenuhi kontrak beras
dilaporkan 90% nya hanya dibelikan mesin-mesin dan yang paling janggal
adalah justru produk beras yang dihasilkan oleh Mantrust bukanlah beras
tekad yang sesungguhnya melainkan hanya terbuat dari terigu dan jagung.150
Mantrust. Mantrust adalah perusahaan yang erat kaitannya dengan para oknum
wakil Bulog Zam Zam. Mantrust juga tercatat pada masa Orde Lama sebagai
pokok para tentara. Direktur Utama Mantrust yaitu Tan Kiong alias Tegoeh
Soetantyo adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap kasus ini
oleh komisi VI di DPR-GR. Selain itu. muncul kasus korupsi yang melibatkan
lembaga ABRI diantaranya kasus pemebelian Kapal LST. Pada masa awal
Orde Baru kondisi peralatan ABRI mengalami kekurangan baik secara jumlah
maupun kondisi peralatan. Jumlah dan kondisi yang tidak memadai tersebut
150
Harian Indonesia Raya, 22 Agustus 1969.
lxxxix
telah mendorong pimpinan ABRI untuk melakukan penambahan peralatan
kapal LST bekas. Kapal LST yang dibeli oleh Angakatan Darat ini adalah
Diantaranya adalah mengenai kondisi kapal yang ternyata rusak, selain itu
juga harga dari kesepuluh kapal LST tersebut cukup tinggi yaitu 9,5 juta
dollar. Sangat jauh dari harga pasarnya yang hanya berkisar 2,5 juta dollar.151
1967, populisme dan sikap pers ini dimanifestasikan terutama ke dalam dua
dukungan kritis dan kreatif terhadap pemerintahan Orde Baru yang baru
Soeharto lewat sidang MPRS, Maret 1967, fenomena korupsi pun semakin
151
Harian Indonesia Raya, 11 April 1969.
xc
perhatian dan proporsi pemberitaan di halaman-halaman suratkabar pada
waktu itu.
merupakan bahaya mendesak sekarang dan juga pada masa mendatang, maka
masih menurut Mochtar Lubis bahwa satu-satunya jalan keluar dari korupsi
korup153.
515 ribu jiwa, maka 10 tahun kemudian jumlah itu telah menjadi 4 kali
Lebih jauh sosok birokrasi yang telah membesar itu terkena pula korporatisasi,
152
Harian Kompas, 19 Mei 1967.
153
Ramadhan KH (penyunting), Mochtar Lubis Bicara Lurus: Menjawab Pertanyaan
Wartawan, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1995, h. xix
xci
memperpanjang “ tangan negara dalam melakukan kontrol-birokratis terhadap
kekuasaan154.
Pada pertengahan bulan Desember 1973 atau kurang lebih satu bulan
karena setelah gencar mengungkap kasus korupsi antara tahun 1968 sampai
Jaksa Agung Ali Said yang dianggap Mochtar Lubis tidak melakukan tindakan
ketika semua pihak di negeri kita sekarang bicara tentang kualitas sumberdaya
154
Eep Saefullah Fatah, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru, Jakarta: Pustaka
Pelajar, cet.1, 1998, h. 200.
155
Harian Indonesia Raya, 15 Desember 1973.
156
“Tertibkan Pertamina Lebih Baik”, Tajuk Rencana Harian Indonesia Raya, 7 Januari
1974.
xcii
pangkal tolak dan tujuan sentral. Ia menggugat segala hal yang mengekang
perubahan lewat jalan politik maupun jurnalistik karena harian Indonesia Raya
sudah dibredel, maka beliau berjuang melalui sastra. Mochtar Lubis merasa
dengan prinsip dan sikap manusia secara hakiki, karena semua tulisannnya
manusia sejati.
157
Himpunan “Catatan Kebudayaan” Mochtar Lubis Dalam Majalah Horison,
(Jakarta:Yayasan Obor Indonesia).
xciii
BAB V
KESIMPULAN
secara materi namun berdampak pada kerusakan moral, perbuatan korupsi telah
negara sangat terbatas, sehingga pembangunan tidak hanya terhambat tetapi justru
harga minyak pada awal tahun 1970, yang seharusnya apabila keuangan negara
tidak dikorupsi dapat dialihkan kepada kebutuhan lainnya seperti subsidi minyak.
efisiensi dalam segala bentuk yang dilakukan oleh aparat negara terus dibiarkan.
Peranan pers sangat diperlukan sebagai media informasi kepada pemerintah dan
perbuatan korupsi.
Persepsi bahwa korupsi adalah sebuah tindakan “kotor” yang dapat membawa
dalam mengungkap korupsi pada masa awal Orde Baru. Persepsi inilah yang
xciv
bersih terhadap perbuatan korupsi sehingga pembangunan segala bidang di
Indonesia bisa berjalan dengan baik dan hasilnya bisa dirasakan oleh masyarakaat
luas, agar cita-cita nasional mencapai masyarakat adil, makmur dan sejahtera
dapat diwujudkan. Hal ini dapat terlihat dari jumlah prosentase pengungkapan IR
harian IR sebagai salah satu pers pada masa awal Orde Baru yang melakukan
kasus korupsi yang dilakukan harian IR dan beberapa pers lainnya, masyarakat
seperti aksi massa kenaikan harga minyak. Sebab sebelum aksi masyarakat
Pertamina oleh IR. Kedua, peranan Mochtar Lubis dalam harian IR yaitu sebagai
Pertamina.
xcv
Coopa, PN Telekomunikasi, percukongan dan lain-lain. Sehingga secara tidak
respon serius dari pemerintah. Bahkan bisa dikatakan pemerintah lebih banyak
Pada akhirnya pers awal Orde Baru sebagai perwakilan aspirasi masyarakat
yang bersih dari korupsi dibutuhkan kekuatan bersama yaitu antara masyarakat
oleh Presiden sebagai penentu kebijakan politik dan aparat penegak hukum
xcvi
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Abar, Akhmad Zaini, Kisah Pers Indonesia 1966-1974. Jakarta: LKiS, 1995.
Cassae, Antonio, Hak Asasi Manusia di Dunia Yang Telah Berubah. Penerjemah
Zainudin, A. Rahman, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Fatah, Eep Saepullah, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru. Jakarta: Pustaka
Pelajar, cet.1, 1998.
xcvii
Fatah, Eep Saepullah, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru. Bandung: PT
Remaja Rosda Karya, 2000.
Glassburner, Bruce, “ In The Wake Of General Ibnu: Crisis In The Indonesian Oil
Industry” dalam ASIAN SURVEY Vol. XVI No.12 November 1976.
Hamzah, Andi, Korupsi di Indonesia Solusi dan Pemecahannya. Cet. III Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Lubis, Mochtar, Bangsa Indonesia Masa Lampau, Masa Kini, Masa Depan.
Jakarta: Yayasan Idayu, 1978.
Masoed, Mohtar, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta:
LP3ES, 1989.
xcviii
Rahardjo, M. Dawam, “Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) Kajian
Konseptual dan Sosio-Kultural” dalam Edy Suandi Hamid dan Muhamad
Sayuti, ed., Menyingkap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia.
Jakarta: Aditya Media, 1999.
Samudra, Arung ed., Andi Suwirta, Pers, revolusi dan Demokratisasi: Kehidupan
dan Pandangan Surat Kabar di Jawa Pada Masa Revolusi Indonesia 1945-
1947. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga
Penelitian UI, Depok, 2001.
Smith, Edward C., Pembreidelan Pers di Indonesia, Jakarta: Pustaka Grafiti Pers,
1986.
Susanto, ed., Undang-undang RI Tentang Minyak dan Gas Bumi. Jakarta: Pancar
Utama, 2002.
xcix
Koran dan Majalah:
Indonesia Raya
KOMPAS
Prisma