Anda di halaman 1dari 48

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................
KATA PENGANTAR .....................................................................................
DAFTAR ISI ....................................................................................................
BAB I : PENDAHULUAN ...............................................................
A. LATAR BELAKANG MASALAH ..............................
B. RUANG LINGKUP PENELITIAN ..............................
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN ..............
D. METODOLOGI PENELITIAN ....................................
BAB II : GAMBARAN UMUM KOTA MADYA JAMBI
A. KEADAAN GEOGRAFI ..............................................
B. KEADAAN DEMOGRAFIS.........................................
BAB III : ASAL USUL DAN MASA KECIL ....................................
A. SILSILAH KELUARGA ...............................................
B. SEKITAR KELAHIRAN DAN MASA KECIL ...........
C. PENDIDIKAN FORMAL DAN NON FORMAL ........
D. SELINTAS TENTANG MASA REMAJA/ PEMUDA
E. PERTEMUAN DENGAN JODOH ...............................
BAB IV : PERJUANGAN DAN JASA-JASA PROF. SYEKH HMO
BAFADHAL........................................................................
A. BIDANG PENDIDIKAN ..............................................
B. BIDANG DAKWAH.....................................................
C. BIDANG POLITIK .......................................................
D. BISANG PEMIKIRAN/ KARYA ILMIAH .................
BAB V : KENANG-KENANGAN KEGIATAN PROF. SYEKH
HMO BAFADHAL DALAM GAMBAR ...........................
BAB VI : KESIMPULAN....................................................................
A. KESIMPULAN..............................................................
B. SARAN-SARAN ...........................................................
C. DAFTAR PUSTAKA ....................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Bangsa yang besar adalah bangsa yang memahami proses kesejarahan
bangsanya. Hal itu dapat dimengerti, karena dengan bicara masalah sejarah tidak
lepas dari tiga dimensi waktu, yaitu masa lalu, masa kini dan masa yang akan
datang. Menurut para ahli sejarah, bahwa keterkaitan antara ke tiga dimensi waktu
tersebut sangat erat dan saling berentetan. Imformasi tentang masa yang lalu
merupakan bahan komparasi yang dapat diproyeksikan kedepan, dalam arti dapat
diambil pelajaran dan suri teladan dari generasi ke generasi.
Dalam kerangka pemikiran seperti itu, maka pengkajian terhadap unsur-
unsur sejarah bangsa, selalu menarik dan urgen untuk dilakukan bagi kepentingan
kelanjutan sejarah masa depang bangsa Indonesia.
Apabila disimak kembali proses kesejarahan bangsa Indonesia, dapat
dimengerti bahwa bangsa Indonesia lahir melalui proses perjuangan panjang dan
berat. Tanpa mengurangi peranan dan pengaruh unsur-unsur lain, dapat dikatakan
bahwa unsur ulama, merupakan unsur yang mempunyai peranan yang cukup
menentukan terhadap jalannya sejarah perjuangan bangsa, baik keterlibatannya
sebagai pelopor dalam mengadakan perlawanan terhadap pengusiran penjajah
untuk dapat merebut kemerdekaan Negara Indonesia, maupun keterlibatannya pada
masa kemerdekaan sbagai pelopor pembangunan bangsa untuk dapat mengantarkan
Negara Indonesia sampai kepada cita-cita proklamasi, yaitu mencapai masyarakat
adil dan makmur.
Keterlibatan unsur ulama dalam proses pembangunan bangsa muthlak
diperlukan, karena kehidupan Negara Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan
masalah-masalah keagamaan, baik secara konstitusional seperti tercantum pada sila
1 Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa dan dipertegas dalam pasal 29 undang-
undang Dasar 1945”, maupun secara sosiologis, bahwa bangsa Indonesia adalah
merupakan yang religious.
Peranan ulama yang dimaksud dapat dilihat dalam berbagai aspek,
diantaranya ialah :
1) Ulama merupakan kelompok elite keagamaan yang menjadi pigur-pigur
pejuang berwibawa dan berpengaruh dikalangan masyarakat dalam
gerakan mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan tanah
air. Mereka berjuang secara ikhlas mengorbankan jiwa raganya untuk
masa depan bangsanya, dengan prinsip “Cinta tanah air sebagian dari
pada iman”.
2) Ulama sebagai kelompok masyarakat yang terdidik mempunyai peran
yang besar dalam memperkenalkan ilmu pengetahuan kepada
masyarakat Indonesia sejak sebelum dikenal sistem sekolah moderen.
3) Sesuai dengan hakekat perkembangan nasional, yaitu membangun
manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia, maka
kedudukan dan peran ulama dalam era pembangunan dewasa ini
menjadi semakin penting terutama dalam hal-hal :
a. Menterjemahkan nilai-nilai dan norma-norma agama dalam
kehidupan masyarakat.
b. Menterjemahkan dan mengkomunikasikan gagasan-gagasan
pembangunan dalam bahasa yang mudah di mengerti oleh rakyat.
c. Memberi pendapat, saran dan kritik membangun terhadap yayasan
dan pelaksanaan pembangunan.
d. Mendorong dan membimbing masyarakat dan umat beragama untuk
meningkatkan partisipasinya dalam melaksanakan pembangunan
nasional.
Dalam pada itu, eksistensi ulama dewasa ini, sebagian menjadi tidak
konsisten dengan profil yang diharapkan seperti tersebut diatas, mungkin karena
itulah, maka timbul berbagai sorotan masyarakat yang cenderung menuntut agar
tidak terjadi erosi dalam pemakaian istilah/predikat ulama. Seperti dewasa ini
dikenal berbagai istilah/ sebutan yang menyangkut ulama, misalnya ulama karbitan,
ulama plus dan berbagai istilah/sebutan lain lagi, yang cenderung mengurangi nilai
ideal ulama yang diharapkan, sehingga dengan demikian, kelangkaan ulama (secara
kualitas) menjadi persoalan tersendiri, baik dalam kaitannya dengan intern ulama
Islam maupun dalam kerangka pembangunan nasional, yang hakekatnya ialah
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia.
Berdasarkan pemikiran-permikiran tersebut diatas, maka perlu diadakan
upaya-upaya untuk dapat mengetahui profil ulama. Pemahaman dan penghayatan
terhadap hakekat perjuangan ulama, sebagai amal bakti terhadap kelangsungan
bangsanya yang didasarkan atas prinsip “Cinta tanah air sebagian dari pada iman”
sangat penting dalam rangka usaha membangkitkan semangat dan jiwa patriotisme
serta meningkatkan moral bangsa. Selain itu, dengan mengetahui profil ulama,
dapat diluruskan pandangan-pandangan yang kurang tepat dikalangan sebagian
masyarakat terhadap ulama, sebagai akibat kurangnya informasi yang tepat dan
benar serta sebagai akibat dari politik penjajah.
Bentuk konkrit upaya yang dimaksud ialah dengan mengadakan penelitian
serta penulisan biografi ulama (Islam) Indonesia, untuk dapat menjadi sumber bagi
generasi sekarang dan generasi yang akan datang, yang barangkali dapat dijadikan
sebagai ulama panutan pada suatu masa dan generasi mendatang di dalam
meneruskan perjuangan dan mengisi pembangunan Indonesia, untuk mencapai
masyarakat adil dan makmur merata moril maupun spiritual.
Sekaitan dengan ungkapan diatas, Prof. Syekh HMO Bafadhal sebagai
seorang ualma, yang dianggap cukup memberikan andil besar dalam perjuangan
bangsa, yang secara langsung ikut memantau segala aspek perjuangan, terutama di
daerah Jambi, yang diberikan semboyan sebagai “Ulama tiga zaman” yaitu zaman
sebelum merdeka, zaman merdeka dan zaman orde baru”. Karenanya biografi Prof.
Syekh HMO Bafadhal dirasa perlu untuk dikaji dan ditulis secara tuntas.

B. Ruang Lingkup Penelitian


Dengan landasan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi sasaran
dalam penelitian ini, menyangkut :
1. Bagaimana gambaran asal usul/ silsilah dari Prof. Syekh HMO
Bafadhal, serta bagaimana kehidupanya dimasa kecil, remaja hingga
menjadi seorang ulama.
2. Pendidikan apa saja, yang ditempuhnya sehingga dapat mendorong
menjadi seorang ualma. Dan bagaimana pula kehidupan keluarga yang
diawali dari pertemuan jodoh sampai hidup sebagai suami isteri hingga
kini.
3. Bagaimana perjuangannya dalam masyarakat, serta apa jasa-jasanya dan
bagaimana pandangan masyarakat itu sendiri kepadanya.
4. Langkah-langkah apa saja yang dilakukannya, dalam rangka
pembentukan kaderisasi, yang meliputi cara, arahan dalam penggunaan
kitab-kitab dan kecenderungannya mengikuti mazhab untuk kader-
kader binaannya.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


Dapatan dari penelitian ini, diharapkan dapat memberikan gambaran
tentang :
1. Untuk mengetahui bagaimana gambaran kehidupan dan asal usul,
silsilah dari Prof. Syekh HMO Bafadhal, baik dimasa kecil, remaja dan
setelah menjadi ulama.
2. Untuk mengetahui tentang pendidikan apa saja, yang pernah ditempuh,
sehingga terbentuknya menjadi seorang ulama, serta ingin
menggambarkan pula tentang liku-liku pertemuan jodohnya serta asal
usul isterinya.
3. Untuk menggambarkan bagaimana perjuangan dalam segala aspek
kehidupannya, termasuk pengaruh dan peranannya terhadap
pembangunan bangsa Indonesia.
4. Ingin mengetahui langkah-langkah apa saja yang dilakukannya, dalam
rangka pembentukan kaderisasi, yang mencakup cara, bentuk arahan
yang dilakukan dalam pembinaan, serta ingin mengetahui kitab-kitab
apa saja yang menjadi pegangan dan hasil pemikiran mazhab apa yang
ditekankan kepada anak asuhnya sebagai kaderisasi.
Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh
gambaran yang jelas tentang profil ulama, serta diharapkan pula dapat menambah
referensi bagi Pemerintah Indonesia, utamanya Departemen Agama dalam
menentukan kebijaksanaan pembinaan kehidupan beragama. Disamping itu untuk
menambah khasanah mengenai peranan ulama dalam membina masyarakat
Indonesia, terutama yang beragama Islam. Dan untuk kerangka penjajakan
pembinaan kepemudaan di Indonesia, maka hasil dari penulisan biografi ulama ini
diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan dalam membina pemuda-pemuda
pada masa kini dan yang akan datang.
Secara umum dapat di katakan bahwa hasil dari penelitian ini merupakan
informasi penting dan studi bagi masyarakat seluruhnya, utamanya bagi;
1. Majlis Ulama Indonesia;
2. Direktorat pembinaan perguruan Agana Islam;
3. Direktorat pembinaan pendidikan Agama Islam pada Sekolah Negeri;
4. Direktorat pembinanan perguruan Tinggi Agama Islam;
5. Direktorat penerangan Agama Islam;
6. Kantor wilayah Departemen Agama se Indonesia;
7. Badan penelitian dan pengembangan Agama;
8. PDIN Lembaga Ilmu pengetehuan Indonesia;
9. Perpustakaan – Perpustakaan;
10. Pemerintah Daerah;
11. Organisasi sosial keagamaan;
12. Perguruan Tinggi Islam.

D. Metodologi Penelitian
Sebagai realisasi dari penelitian ini, dipergunakan beberapa jenis metode
penelitian, terutama yang berkaitan dengan bahan-bahan yang dihimpun, maka
untuk itu dikategorikan kepada tiga aspek, yaitu :
1. Lokasi Penelitian. Sebagai lokasi penelitian adalah lingkungan daerah
dari kelahiran Prof. Syekh. HMO Bafadhal, yang meliputi daerah
Tingkat II Kota Madya Jambi. Dan dalam hal tertentu yang dianggap
berhubungan dengan sasaran penelitian, juga diambil dari luar daerah
Kotamadya Jambi.
2. Populasi dan Sampel. Sebagai populasi dari penelitian ini adalah semua
penduduk yang berada dalam daerah Kotamadya Jambi. Sedangkan
sampelnya adalah Prof. Syekh. HMO Bafadhal. Disamping itu untuk
melengkapi data, penelitian ini juga mempergunakan informan, yang
terdiri dari :
a. Keluarga Prof. Syekh. HMO Bafadhal;
b. Tokoh-tokoh masyarakat;
c. Murid-murd/kadernya;
d. Pejabat-pejabat instansi Pemerintahan dan Swasta; dan lain-lainnya.
3. Tehnik Pengumpulan Data dan Analisa Data
Sebagaimana sifatnya penulisan suatu biografi, maka penelitian ini
adalah bersifat deskriptif. Berkaitan dengan itu, pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara mendalam, terutama wawancara dengan Prof.
Syekh. HMO Bafadhal sebagai sasaran penelitian, dengan menggunakan
peralatan perekam berupa tape recorder. Disamping wawancara juga
dilakukan observasi terhadap permasalahan yang ada kaitannya dengan
sasaran penelitian, dalam hal ini misalnya keadaan lingkungan tempat
tinggal Prof. Syekh. HMO Bafadhal, serta kehidupan masyarakat
sekitarnya.
Selain dari melakukan wawancara, data juga dikumpulkan melalui
buku-buku leteratur, terutama buku yang dikarang sendiri oleh Prof. Syekh.
HMO Bafadhal, dan buku-buku lain yang dianggap mendukung data, yang
statusnya sebagai data sekunder.
Sedangkan analisa data dilakukan secara deskriptif kualitatip, dan
dalam hal tertentu juga dilakukan analisa kuantitatip yang bersifat
sederhana, misalnya berupa tabel tentang jumlah penduduk dan tabel-tabel
lainnya.
BAB II
GAMBARAN UMUM KOTA MADYA JAMBI

A. Keadaan Gegografis
Kotamadya Jambi adalah salah satu bagian daerah tingkat II, yang ada
dalam provinsi Jambi, yang menurut peta topografi AD 1983 dan PP No. 6 tahun
1986, bahwa wilayah kotamadya Dati II Jambi terletak pada posisi 1030 30’ 1,67”
sampai dengan 1030 40’ 0,22” Bujur Timur dan 010 30’ 2,98” sampai dengan 010
40’ 1,07 Lintang Selatan. Sebagian besar dari wilayahnya merupakan dataran
rendah, dengan ketinggian ±10 meter dari permukaan laut, hanya sedikit saja dari
wilayahnya yang agak berombak sampai bergelombang, disana sini diselingi oleh
lembah-lembah, yang pada musim hujan digenangi air. Bagian yang termasuk
kategori ini adalah wilayah kotamadya Jambi yang terletak pada sebelah Utara
sungai Batanghari.
Kotamadya Jambi memiliki luas wilayah 144 KM2, yang terbagi kepada 7
buah wilayah administratif, yaitu sebagai berikut :
1. Kecamatan Pasar Jambi;
2. Kecamatan Jambi Timur;
3. Kecamatan Jambi Selatan;
4. Kecamatan Telanaipura
5. Kecamatan Pelayangan;
6. Kecamatan Danau Teluk;
7. Kecamatan Kota Baru.
Apabila dilihat dari segi letaknya, maka kotamadya Jambi ± 11 KM diairi
oleh Sungai Batanghari dan secara keseluruhan wilayah administratifnya
berbatasan dangan wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Batang hari. Dan karena
status administrasi kota adalah Kotamadya, maka kedudukannya merupakan
Ibukota Provinsi Jambi.
Sekedar mengetahui pengklasifikasian penggunaan tanah dalam wilayah
kotamadya Jambi, dapat dilihat tabel berikut :
Tabel 1 :
Klasifikasi Penggunaan Tanah
No. Dipergunakan untuk Luas (Ha)
1. Tnah perumahan dan pekarangan 4.100 ,8
2. Perorangan 146
3. Industri 326 ,4
4. Perkantoran 264
5. Jalan dan jalur hijau 4.330
6. Sawah 380
7. Perkebunan -
8. Hutan 1.000
9. Kegunaan lain-lain 1.966 ,40
10. Tanah kosong 1.426 ,26
Sumber : Monografi Kotamadya Jambi tahun 1985.
Sedangkan keadaan iklim kotamadya Jambi, pada umumnya memiliki iklim
lembab, yang curah hujannya merata sepanjang tahun, yaitu berkisar antara 2000-
1500 mm. suhu minimum 200C dan suhu maksumum 340C dengan suhu rata-rata
26,70C kelembaban berkisar antara 44-99. Antara bulan September sampai Maret
angin/bertiup dari arah Barat ke Timur, yang pada waktu itu terjadi musim hujan.
Pada April terjadi pergantian musim, dari musim penghujan ke musim kemarau,
pada saat ini arah angin bertiup dari Timur ke Barat, keadaan semacam ini
berlangsung sampai bulan Agustus. Dengan keadaan geografis seperti tersebut
diatas, aka mengakibatkan pula selama ± 3 bulan dalam setahun terjadi banjir, yang
menengelamkan sebagian rumah penduduk, terutama bagi wilayah Kecamatan
Pelayangan dan Kecamatan Danau Teluk (terkenal dengan sebutan Jambi
Seberang).

B. Keadaan Demografis
Penduduk Kotamadya Jambi terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang
ada di Nusantara ini, namun secara umum mereka dapat dibagi kepada dua (2)
golongan yaitu Penduduk Asli dan Penduduk Pendatang. Penduduk Asli ialah
penduduk yang nenek moyang mereka telah menetap di Kotamadya Jambi (Jambi
pada umumnya)semenjak pertama kali manusia mendiaminya, mereka adalah :
Suku Kubu (suku anak dalam), Suku Bajau, Orang Kerinci, Suku Batin, Suku
Melayu Jambi, Suku Penghulu, dan Suku Pindah, semuanya secara etnis dinamakan
“Ras Melayu”. Untuk pengetahuan secara umum dapat dilihat skema berikut :
Wedduld Suku Anak Dalam (Kubu)

Suku Bajau
Melayu
Melayu Protu Melayu Kerinci
Orang Batin
Melayu
Melayu Suku Pindah
Dlutru Melayu Suku Penghulu
Melayu Jambi

MELAYU Bugis
Melayu Jawa
Banjar
Indonesia Palembang
Minangkabau
Batak
Sunda
Pendatang
India
Arab
Cina
Perancis
Asing
Korea
Amerika
Belanda
Lain-lain
Sumber : Fak. Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi 1983/1984 : 18.
Dengan konsep “Wawasan Nusantara” Satu Nusa Satu Bangsa dan Satu
Bahasa : Indonesia, maka klasifikasi penduduk Kotamadya Jambi menurut apa yang
dilihat pada skema diatas, boleh dikatakan tidak ada datanya.
Sampai akhir tahun 1984 penduduk Kotamadya Jambi berjumlah 248.646
jiwa, dengan komposisi sebagaimana terilahat pada tabel II berikut :
TABEL II
PENDUDUK KOTAMADYA JAMBI MENURUT
KELOMPOK UMUR DIPERINCI PERJENIS
KELAMIN TAHUN 1984
Tahun 1984
Kelompok umur
Laki-laki Perempuan Jumlah
1 2 3 4
0 - 4 24.215 21.007 45.222
5 - 9 18.490 17.878 36.368
10 - 14 15.218 14.597 29.815
15 - 19 13.247 12.558 25.805
20 - 24 11.017 11.326 22.343
25 - 29 9.644 10.066 19.710
30 - 34 8.403 7.797 16.200
35 - 39 6.735 6.040 12.775
40 - 44 6.142 5.363 11.505
45 - 49 5.325 4.486 9.811
50 - 54 4.174 3.464 7.638
55 - 59 3.041 2497 5.538
60 - 64 1.947 1.646 3.593
65 - 69 1.374 1.120 2.494
70 - 74 881 850 1.731
75 + 610 500 1.110
JUMLAH 127.459 121.187 248.646
Sumber : Kotamadya Jambi dalam Angka 1984 : 30.

Melihat tabel diatas, maka kepadatan penduduk rata-rata 1.727 jiwa/ KM.
namun menurut catatan akhir tahun 1985, cenderung menurun, yaitu 1.702 jiwa/
KM, begitu juga jumlah penduduk secara keseluruhan terlihat menyusut dari jumlah
248.646 jiwa menjadi 245.122 jiwa, perbandingannya dapat dilihat jumlah tabel
penduduk tahun 1985 berikut :
TABEL III
KOMPOSISI PENDUDUK TIAP-TIAP KECAMATAN
DALAM KOTAMADYA DATI II JAMBI
Jumlah Penduduk
No Nama Kecamatan Jumlah
WNI WNA
1 Pasar Jambi 8.763 1.251 10.041
2 Jambi Selatan 77.696 6.062 83.758
3 Jambi Timur 51.741 6.069 57.810
4 Telanai Pura 72.393 866 73.259
5 Danau Teluk 10.088 9 10.097
6 Pelayangan 10.180 4 10.184
7 Kota Baru *) - - .-
JUMLAH
*) Data tidak tersedia, karena status baru.
Sumber : Kotamadya Dati II Jambi Selayang Pandang 1985 : 13.

Sebagai akibat dari menurunnya jumlah penduduk kotamadya Jambi,


diterima informasi adalah dikarenakan banyaknya penduduk yang berpindah ke
daerah lain, disamping beberapa orang yang meninggal dunia. Di pihak lain
pertambahan penduduk cukup ditekan, terutama karena adanya kesadaran
masyarakat dalam mengikuti program Keluarga Berencana (KB). Gambaran
tentang perkembangan peserta KB dari Kotamadya Jambi, dapat dilihat pada tabel
IV berikut :
TABEL IV
Jumlah Petugas Pembina KB Desa (PPKBD)
Yang Membina KB Aktif dari POS Perkecamatan dalam Kotamadya Jambi
Tahun 1984/1985

Peserta
KECAMATAN PPKBD PUS %
No Aktif
1 2 3 4 5
1 Telanai Pura 23 11.260 6.065 53,86
2 Jambi Selatan 22 14.124 2.779 19,94
3 Jambi Timur 20 9.540 3.429 35,94
4 Pasar Jambi 2 1.900 1.838 96,74
5 Pelayangan 6 1.640 601 36,65
6 Danau Teluk 5 1.760 563 31,99
7 Kota Baru *) - - - -
*) Data tidak tersedia, karena status baru.
Sumber : Kotamadya Jambi Dalam Angka 1984 : 97.

Sedangkan jumlah penduduk apabila diklasifikasikan menurut tingkat


pendidikan, terlihat sebagai berikut : tidak pernah sekolah 28.139 jiwa, tidak tamat
SD 44.139 jiwa, Tamat SD 4.858 jiwa, Tamat SMTP/ Sederajat 24.131 jiwa, Tamat
SMTA/ Sederajat 36.235 jiwa, Tamat Akademik/ Sederajat 1.700 iwa dan Tamat
Perguruan Tinggi 3.321 jiwa (Sumber buku monografi Kotamadya Daerah Tingkat
II Jambi 1985 : 2).
Jumlah penduduk kotamadya Jambi menurut mata pencaharian adalah :
Petani, Peternak, Nelayan 10.187 jiwa, pedagang 9.905 jiwa, Kerajinan Industri,
Pertukangan 3.866 jiwa, Pegawai Negeri (ABRI/Sipil) 18.852 jiwa, karyawan
Swasta 3.143 jiwa dan lain-lain 70.421 jiwa (Ibid : 3)
Dilihat dari segi kepercayaan / agama, penduduk Kotamadya Jambi
menganut berbagai macam agama dan kepercayaan, seperti Islam penganutnya
214.456 jiwa, Kristen 5.659 Jiwa, Katolik 4.345 jiwa, Hindu 606 jiwa, Budha 3.337
jiwa dan lain-lain 18.760 jiwa (sumber Laporan Tahunan Bidang Urusan Agama
Islam Tahun 1985/1986)..
Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa Daerah Tingkat II Kotamadya Jambi
adalah pusat administrasi Pemerintahan Daerah Tingkat I Provinsi Jambi, makanya
di Kotamadya Jambi sendiri terdapat berbagai gedung Pemerintahan Tingkat I
Provinsi Jambi. Berdasarkan demikian, terlihat pengklasifikasian perumahan pada
Daerah Tingkat II Kotamadya Jambi sebagai berikut : Perumahan, gedung-gedung
Pemerintahan berjumlah 636 buah, dan perumahan penduduk sebanyak 46.059
buah, yang kondisinya masing-masing ialah : Rumah tembok permanen berjumlah
16.013 buah, semi permanen 6.720 buah, rumah papan 22.180 buah, dan lain-lain
sebanyak 1.984 buah (Sumber : Monografi Kotamadya Dati II Jambi 1985 : 3).
Sarana pendidikan dalam Daerah Tingkat II Kotamadya Jambi yang
pengelolaannya dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, baik yang
berstatus Negeri maupun Swasta ialah sebagai berikut : 1) Taman Kanak-Kanak
berjumlah 32 buah dengan murid 2.196 orang dan tenaga pengajar 103 orang. 2)
Sekolah Dasar berjumlah 226 buah, dengan murid 40.162 orang dan tenaga
pengajar 1.444 orang. 3) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) berjumlah 38
buah dengan murid sebanyak 14.727 orang dan tenaga pengajar 834 orang. 4)
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas berjumlah 30 buah dengan murid sebanyak 11.485
orang dan tenaga pengajar 755 orang. 5) Perguruan Tinggi 4 buah.
Sedangkan sarana pendidikan yang penglolaannya dibawah Departemen
Agama, baik Negeri maupun Swasta, yang mencakup Madrasah Ibtidaiyah,
Tsanawiyah, Aliyah dan PGA 6 tahun serta Perguruan Tinggi seluruhnya berjumlah
72 buah (Sumber : Kotamadya Jambi Dati II Jambi Selayang Pandang 1985 : 146).
Disamping itu di Kotamadya Jambi terdapat jumlah rumah peribadatan
sebanyak 316 buah, yang terdiri dari : 1) Masjid 72 buah, 2) Langgar 202 buah, 3)
Mushollah 18 buah, 4) Gereja 6 buah, 5) Kelenteng 16 buah dan 6) Wihara 2 buah.
Sarana kesehatan dalam Kotamadya Jambi seluruhnya berjumlah 44 buah,
yang rinciannya ialah : 1) Rumah Sakit yang dikelola oleh Pemerintah dan Swasta
5 buah, 2) Puskesmas 10 buah, Puskesmas Pembantu 12 buah, 3) Puskesmas
Keliling 4 buah, 4) Balai Pengobatan 4 buah, 5) BKIA 3 buah, dan Klinik 6 buah
(Sumber : Kotamadya Dati II Jambi selayang Pandang , 1985: 18)
Apabila diamati secara lahiriah tentang kesehatan masyarakat Kotamadya,
terlihat cukup mengembirakan, dibanding dengan tahun-tahun belakangannya.
Namun dipihak lain Pemerintah Tingkat II terus tetap berusaha dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat. Misalnya pula tentang kehidupan beragama di
Kotamadya Jambi, terlihat cukup aman, kalaupun ada keretakan itupun terlaksana
hanya karena tidak disengaja dan Pemerintah segera turun tangan.
BAB III
ASAL USUL DAN MASA KECIL
PROF. SYEKH H.M.O. BAFADHAL

A. Silsilah Keluarga
Prof. Syekh Haji Muhammad bin Umar Bafadhal adalah keturunan dari
Umar Bafadhal asal Palembang, dengan Halimah binti Asy-Syekh Ustman asal
Jambi, keduanya berasal dari Hadramaut Saudi Arabia.
Silsilah dari pihak bapak adalah sebagai berikut : Prof. Syekh Haji
Muhammad bin Umar Bafadhal bin Abu Bakar bin Abdullah bin Muhammad bin
Ahmad bin Salim bin Ahmad bin Salim bin Ahmad bin Syekh Salim bin Syekh
Abdullah bin Syekh Al-Kabir Fadhal bin Syekh Abdullah bin Asy-Syekh Imam
Sa’ad Al-Faqin bin Asy-Syekh Al-Arif Billani Ta’ala Asy-Syekh Muhammad bin
Asy-Syekh Imam Al-Faqih Al-Qadhi Ahmad bin Asy-Syekh Al-Imam Muhammad
bin Asy-Syekh AlKabir Al-Faqih Fadhal bin Asy-Syekh Muhammad bin Asy-
Syekh Abdul Karim bin Asy-Syekh Muhammad bin Saad bin Ahmad bin
Muhammad bin Al-Fadhal bin Abi Fadhal Ahmad bin Haidzamah bin Abdur
Rahman bin Malik bin Abdur Rahman bin Abi Khalosamah bin Abdur Rahman bin
Sabran bin Abi Sabran Al-Imam Ash-Shahabi Yazid bin Malik bin Abdur Rahman
bin Dzuhbi bin Salamah bin Umar bin Dzanal bin Mar’an bin Al-Jukfi bin Sa’ab
Al-Asyirah Ibnu Mastnaj bin Adab bin Zaid bin Syujab bin Arib bin Zaid bin
Kahlan bin Sabak bin Yasjib bin Ya’rib bin Qahthan. Qahthan sendiri adalah salah
seorang dari pimpinan suku Arab Mutaarribah, yang akhirnya sambung
menyambung melalui perkawinan dengan Arab Musta’ribah keturunan nabi Ismail
sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan silsilah dari pihak ibu adalah sebagai berikut : Halimah binti
Ustman bin Ali bin Abbullah bin Umar Ahmad bin Muhammad Shufi bin Abdullah
bin Muhammd bin Abdur Rahman bin Muhammad bin Ali bin Hasa bin Ahmad bin
Muhammad bin Abdullah An-Nurrah bin Asy-Syekh Al-Wali Muhammad bin
Syekh Al-Kabir Abdullah bin Asy-Syekh Al-Imam Khatiob Zaman Fadhal bin Asy-
Syekh Al-Arif Billahi Taala Asy-Syekh Muhammad bin Asy-Syekh Imam Al-Faqih
Al-Qadhi Ahmad bin Asy-Syekh Muhammad bin Asy-Syekh Abdul Karim bin
Asy-Syekh Muhammad Fadhal bin Saad bin Ahmad bin Muhammad bin Al-Fadhal
bin Abi Fadhal Ahmad bin Abdullah bin Saad bin Haizdamah bin Abdur Rahman
bin Abi Khaizdamah bin Abdur rahman Ibnu Sabrah bin Abi Sabran Al-Imam Ash-
Shahabi yazio bin Malik bin Abdur Rahman bin Dzuhdi bin Salaman bin Umar bin
Dzanal bin Mar’an bin Al-Jukfi bin Saad Al-Asyiran Ibnu Mastnaj bin Adab bin
Zaid bin Syujab bin Arib bin Zaid bin Kanlan bin Sabak bin Yasjib bin Ya’rib bin
Qahthan.
Sekalian dengan silsilah Prof. HMO Bafadhal dari garis pihak ibu ini, bahwa
nenek pertama yang datang ke Jambi dari Hadramaut Saudi Arabia, adalah salah
seorang keturunan ketujuh dari keluarga Bafadhal yang bernama Muhammad Sufi.
Kedatangan Muhammad Sufi di sertai dengan seorang anaknya yang bernama
Ahmad, yaitu diperkirakan ± pada abad ke X M, bersamaan pula dengan Datuk
Tambak, yang juga berasal dari Hadramaut.
Kedatangan Datuk Muhammad Sufi maupun Datuk Tambak ini ke Jambi,
diperkirakan adalah sebagai missionaris Islam, disamping sebagai pedagang,
namun kenyataannya mereka apada akhirnya menetap di Jambi, serta memiliki
keturunan, yang hingga kini, khusus dari keluarga Bafadhal Jumlahnya
diperkirakan ± 500 orang.
Sbenarnya apabila ditelusuri sejarah keluarga Bafadhal yang ada di Jambi
khususnya dan Indonesia Umumnya, maka semua mereka berasal dari Yaman,
kepindahan mereka ke Habmaut, diperkirakan sebelum Nabi Muhammad SAW
Hijrah ke Madinah. Suku Bafadhal pertama yang pindah dari Yaman ke Hadramaut
adalah bernama Abdullah bin Saad bin Khaitsamah bersama keluarganya.
Seperti telah disebutkan diatas, bahwa keturunan dari Prof. HMO Bafadhal,
bapak beliau berasal dari Palembang dan Ibu Jambi. Ternyata dari pihak Bapak
yang pertama datang ke Palembang adalah nenek beliau yang bernama Abdullah,
yang juga suku Bafadhal asal Hadramaut Saudi Arabia. Tampaknya apabila dilihat
dari aspek asal usul, maka kiranya sulit untuk bisa dimengerti, namun apabila dikaji
secara mendalam dengan cara menelusuri sejarah, kejadian seperti tersebut bisa saja
terjadi. Ini semua dapat dipahami, bahwa pertalian darah antara keluarga Bafaadhal
yang ada di Jambi dengan keluarga Bafadhal yang datang dari Palembang, yaitu
pecahan antara dua Saudara sekandung, yang bernama Asy-Syekh Katib Zaman
Fadhal dengan Asy-Syekh Al-Imam Saad Al-Faqin, keduanya anak dari Asy-Syekh
Al-Arif Billani Taala Asy-Syekh Muhammad. Asy-Syekh Al-Imam Khatib Zaman
Fadhal untuk jalur keluarga Bafadhal yang ada di Jambi, melalui Muhammad Sufi,
sedang jalur untuk Palembang melalui Abdullah (Sumber pembuatan silsilah ini
diilhami oleh buku karangan Muhammad bin Awadn bin Muhammad Bafadhal
warga negara Trim hadramaut, dengan judul bukunya “SilatulAnli”, asli kitab ini
bertulisan tangan, kemudian disalin kembali oleh Asy-Syekh Umar bin Abdullah
Bafadhal, serta dipotokopi oleh Prof. Syekh HMO Bafadhal, tebal buku ini 547
halaman. Ditambah dengan buku karangan Asy-Syekh Al-Fadhil An-Nahri Abi
Ghor Muhammad Amin Al-Bagdadi, dengan nama bukunya “Lisiyaikal Auz-
Dzanbi bi Ma’rifatil Qadilatil Arab”, yang dicetak pada percetakan At-Tagariah Al-
Kubra Mesir). Dan untuk lebih lengkapnya mengenai silsilah Prof. Syekh HMO
Bafadhal dapat dilihat pada lampiran.
Dapat ditambahkan disini, tentang sejarah kedatangan Umar Bafadhal
(Ayah Prof. Syekh HMO Bafadhal) ke Jambi. Umar Bafadhal sebelum datang ke
Jambi, atau sewaktu masih berada di Palembang telah beristeri dan telah memiliki
anak sebanyak 3 orang, yaitu 2 laki-laki dan 1 orang perempuan, yang perempuan
ini meninggal di Palembang, sedangkan laki-laki 2 orang tersebut, yang tua
bernama Husein dan adiknya bernama Abu Bakar. Sewaktu Umar Bafadhal pindah
ke Jambi, salah seorang dari anaknya yang di Palembang, yaitu Husein ikut
diboyong dan Abu Bakar tetap tinggal di Palembang dengan ibunya. Apa yang
menyebabkan Umar Bafadhal berpisah dengan istrinya yang di Palembang tidak
terjadi pemutusan hubungan perkawinan.
Sebagai tempat pertama yang dituju sewaktu Umar Bafadhal sampai di
Jambi, waktu itu adalah di suatu daerah yang sekarang dinamakan Kampung Arab
melayu. Dan di kampung Arab Melayu inilah terjadinya perkawinan antara Umar
Bafadhal dengan Siti Halimah (ayah dan ibu Prof. Syekh HMO Bacadhal). Setelan
beberapa tahun perkawinan berlangsung dan karena perkembangan kota, apalagi
Umar Bafadhal sendiri adalah seorang pedagang, disamping sebagai guru ngaji AL-
Quran, maka Umar Bafadhal ikut tertarik pula pindah ke pusat kota, yang memilih
tempat tinggal di Kampung Magatsari (sekarang di depan Masjid Raya Jambi).
Sedangkan Siti Halimah (Ibu Prof. Syekh Bafadhal) adalah anak dari
Ustman bin Ali bin Abdullah bin Umar. Umar yang nenek dari Prof. Syekh
Bafadhal pada pihak ibu ini, menikah dengan wanita asal Jambi, yang namanya
Nafitsah binti Kemas muhammad Zeh, dari perkawinan ini melahirkan tiga orang
anak, dua laki-laki yang masing-masing Thalhah dan Usman, dari satu orang
perempuan bernama Maryam. Maryam menikah dengan Sulthan Muhammad
Fakhruddin (terkenal dengan Lusthan Keramat), yang melahirkan Sulthan Thaha
Saifuddin kemudian menjadi Raja Daerah Jambi (sekarang dianugerahi gelar
Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia). Sehingga melalui turunan ini
pulalah yang berkembang menjadi turunan Raden Kertapati, jadi dengan demikian
Prof. Syek. HMO Bafadhal garis keturunannya sejajar dengan Raden, setidaknya
masih ada hubungan kekeluargaan dengan turunan raden Kertapati, yang anak
cucunya masih dapat dijumpai sekarang di Kota Jambi.

B. Sekitar Kelahiran dan Masa Kecil


Prof. syekh HMO Bafadhal adalah anak yang kesembilan dari pasangan
suami istri antara Umar Bafadhal dengan Sitihalimah. Beliau dilahirkan di kampung
Magatsari Kota Jambi (sekarang di depan Masjid Raya Jambi), pada hari Senin
diwaktu Shalat magrib tiba, tanggal 22 Zulqaedah 1332 H, bertepatan lebih kurang
dengan tanggal 23 Oktober 1914 M. sebenarnya keberadaan beliau sebagai anak
yang kesembilan tersebut, tampaknya dari pihak kedua orang tua tidak begitu
disukai lagi, karena dengan anak yang delapan saja sudah merasa kewalahan
mendidiknya, namun Tuhan masih tetap menginginkan beliau ada. Berdasarkan
pertimbangan ini pulalah, maka bibi (adik ibu) beliau, yang bernama hamidah,
bahwa kalau beliau dilahirkan, akan diambil sebagai anak angkat, niat bibi beliau
dikabulkan oleh kedua orang tua, sehingga setelah lahir, beliau langsung dipelihara
oleh bibi yang bernama hamidah tadi, yang suaminya bernama Syekh Abburrahman
bin Ahmad Bafadhal (sebagai ayah angkat).
Pada mulanya ayah angkat dan ayah kandung beliau, sama-sama bertempat
tinggal di kampung Magatsari Kota Jambi, namun karena perkembangan kota,
tampaknya disekitar kampung Magatsari akan dijadikan pusat pasar, dengan
sendirinya rumah-rumah penduduk diperintahkan oleh Pemerintah Belanda untuk
dibangun bukan hanya sekedar tempat diam saja, akan tetapi harus berfungsi
sebagai toko. Atas kejadian ini menimbulkan akibat bagi ayah kandung beliau,
karena untuk membangun sebagaimana yang dikehendaki oleh Pemerintah waktu
itu, keadaan ekonomi tidak mengizinkan, sehingga ayah kandung beliau mengambil
jalan keluar pindah ke Kampung Simpang Jelutung (sekarang kampung Manggis).
Lain halnya dengan ayah angkat beliau Syekh Abdurrahman bin Ahmad Bafadhal,
dia orang kaya dan tidak mempunyai anak, itu pulalah yang menyebabkan beliau
mengambil anak angkat. Maka ayah angkat beliau ini tetap tinggal di Kampung
Magatsari, ikut merahabilitasi rumahnya, yang disesuaikan dengan kemauan
Pemerintah, yaitu dibangun dua lantai, lantai pertama difungsikan sebagai toko, dan
dua djadikan tempat kediaman, di rumah itulah Prof Syekh HMO Bafadhal
dibesarkan oleh Ibu dan ayah angkat beliau.
Dengan terjadinya kepindahan ayah dan ibu kandung beliau ke kampung
Manggis, maka mengakibatkan pula penambahan tugas dari ibu angkat beliau, yaitu
bahwa ibu angkat harus mengantarkan setiap hari ke rumah ibu kandung, dan
kadang-kadang ibu kandung beliau sendiri yang harus datang ke rumah ibu angkat
untuk menyusukan beliau. Dan pada malam hari itu angkat beliau, harus membantu
dengan makanan tambahan berupa air nasi yang dimasukkan ke dalam botol sebagai
pengganti susu ibu, karena pada waktu susu kaleng belum ada.
Disamping itu, dengan adanya perbedaan tempat tinggal antara ayah dan ibu
kandung dengan ayah dan ibu angkat beliau, maka untuk penamaan kepada ayah
dan ibu kandung, beliau selalu menyebutnya dengan “Walid Darat”, sedangkan
kepada ayah angkat beliau panggil dengan “Walid Laut”. Syekh Abdurrahman bin
Ahmad Bafadhal dan Isterinya (bibi dan Walid Laut) sangat sayang kepada beliau,
sehingga apa saja yang diinginkan oleh beliau selalu dikabulkan, maklum Walid
laut memang tidak memiliki anak kandung, jadi satu-satunya anak adalah beliau
sendiri, sehingga keberadaan beliau disisi walis laut merupakan suatu kebahagiaan
bagi kedua orang tua angkat beliau itu.
Seperti telah disebutkan diatas, bahwa Prof. Syekh HMO Bafadhal, setelah
dilahirkan maka kedua orang tua beliau, baik walid darat maupun walid laut sama-
sama sepakat memberikan beliau nama dengan Muhammad, pemberian nama
Muhammad tersebut, hanya sekedar harapan semoga beliau nanti setelah dewasa
dapat menjadi orang yang terpuji dikalangan masyarakat. Kemudian lain dari itu,
karena bapak beliau berasal dari Palembang, tampaknya sebagai ciri-ciri nama
Palembang pada diri beliau, juga melekat nama panggilan yang lazim diucapkan di
kota pempek ini, yaitu sebutan “cik mad”, seninya semua keluarga Bafadhal selalu
memanggil dengan panggilan Cik Mad semenjak masa kanak-kanak, dewasa dan
bahkan sampai tua.
Apabila diperhatikan pula akan situali Jambi dalam segala aspek, baik
pemerintahan maupun sosial ekonomi, pada ketika Cik Mad dilahirkan, diterima
informasi bahwa keadaan daerah Jambi, memang belum begitu stabil, dalam arti
kata para pemuka masyarakat Jambi, saat gigihgigihnya berjuang agar terlepas dari
belenggu penjajahan. Sebagaimana kita ketahui bahwa sepuluh tahun sebelum Cik
Mad dilahirkan, tercatat dalam sejarah Jambi, yaitu adanya perjuangan yang
mengakibatkan peperangan antara pemerintah kolonial Belanda dengan Raja Jambi
Sulthan Thaha Saifuddin. Menurut pendapat yang terkuat, berdasarkan penelitian
dari pada cendikiawan dan ilmuan Jambi, telah disepakati bahwa daerah gurunya
Sulthan Thaha Saifuddin adalah disekitar Muaro Tebo Kabupaten Bungo Tebo,
yang dimakamkan di Desa Betung Bedarah. Aas diangkatnya Sulthan Thaha
Saifuddin sebagai Pahlawan Nasional, maka Pemerintah Indonesia melalui
Pemerintah Daerah Provinsi Jambi, telah mengadakan pemugaran terhadap makam
Sulthan Thaha Saifuddin itu.
Dengan gugurnya Sulthan Thaha Saifuddin di tangan penjajah Belanda,
rakyat Jambi semakin terbakar semangatnya untuk selalu meneruskan perjuangan
Sulthan Thaha. Ini terbukti dengan adanya perlawanan, berupa pemberontakan dari
Raden mat Thaher, Haji Umar dan Raden pamuk, yang kemudian berlanjut sampai
tahun 1916 M dengan Pemberontakan yang dipimpin oleh Rajo Batu dari Tembesi.
Menurut analisa Prof. Syekh HMO Bafadhal sendiri, bahwa dengan
berdirinya empat buah madrasah di Kota Jambi, sangat membantu sekali untuk
meredakan pemberontakan-pemberontakan yang ada di Kota Jambi khususnya,
karena para ulama tidak lagi terkekang untuk menjalankan misinya sebagai
penyampai ajaran Agama Islam, yang memang merupakan suatu kewajiban bagi
mereka, dengan pengamalan isi As-Sunnatur Rasul “Al-Ulama Waratsutul Anbiya’.
Keempat madrasah yang berdiri secara serentak tersebut adalah : Madrasah Nurul
Iman di Kampung Tengah, madrasah Nurul Islam di Tanjung Pasir, Madrasah
Sa’adatud Darain di Tahtul Yaman dan madrasah Jaunarain di Tanjung johor.
Madrasah jaunarain ini pada mulanya terletak di Kota Jambi (sekarang kampung
Pulau Sungai Asam Jambi), maka pada tahun 1926 baru dipindahkan ke Tanjung
Johor sampai sekarang.
Jadi dengan berdirinya empat buah Madrasah tersebut. Pemerintah Kolonial
Belanda telah merasa agak tenteram, karena Ulama telah dapat diikatnya, yang
sesuai dengan kemauan Ulama itu sendiri, dan dengan sendirinya para Ulama
berkumpul di Seberang Kota Jambi, apalagi peranan Ulama pada saat itu memang
merupakan panutan oleh masyarakat , jadi kalau Ulama tidak mengadakan
perlawanan lagi, maka masyarakat juga tidak memberikan reaksi apa-apa lagi.
Dapat pula ditambahkan, bahwa dari sekian banyaknya pemberontakan yang terjadi
di Daerah Jambi, diterima informasi bahwa keluarga Bafadhal sendiri, tidak
ketinggalan perannya, mereka ikut berjuang bergabung dengan para pejuang
lainnya, yaitu berangkat menuju daerah Uluan Jambi, seperti Muaro Tembesi,
Muaro Bungo, Sarolangun dan lainnya, hanya saja nama-nama mereka tidak
tercatat dalam sejarah Jambi, kalau pun mereka ada yang gugur, mereka dikenal
hanya sededar pahlawan tak dikenal. Demikianlah situasi Daerah Jambi secara
singkat pada ketika Cik Mad dilahirkan.
Disamping itu dikalangan keluarga Bafadhal sendiri, pada saat Cek Mad
dilahirkan, tampaknya ada suatu hal yang patut dicatat, yaitu adanya tekad senasib
sepertjuangan, dengan masyarakat Jambi sendiri, yang walaupun mereka pada
prinsipnya bukan berasal dari Indonesia, tetapi dari Hadramaut Saudi Arabia,
namun pengakuan dan kegigihan mereka tidak kalah dengan masyarakat Jambi asli
(Indonesia), barangkali keterikatan ini terjadi adalah dikarenakan seagama yaitu
Islam. Dan pada umumnya para keluarga Bafadhal yang ada di Jambi pada waktu
itu adalah mempunyai pekerjaan sebagai guru agama, disamping sebagai pedagang
sebagai kerja sampingan, mereka cukup dermawan dan penyantun, dalam hal
pembangunan yang bersifat pengembangan keagamaan mereka tidak segan-segan
berkorban. Suasana lingkungan semacam inilah yang membuat dan bepengaruh
besar bagi walid laut (ayah angkat Cik Mad), untuk memelihara dan mendidik Cik
Mad agar menjadi orang yang berguna dikemudian hari, apalagi Walid Laut beliau
ini termasuk dari keluarga Bafadhal yang cukup disegani, terutama karena dia orang
yang mampu dalam kekayaan dan mengerti pula dalam seluk beluk agama Islam.
Dengan sendirinya pula masyarakat diluar keluarga Bafadhal ikut merasa hormat
akan kekompakan dan kesetia kawanan mereka secara keseluruhan.
Dikarenakan Cik Mad hidup dalam suasana keluarga yang cukup mampu,
maka masa kanak-kanak beliau bila dibanding dengan saudara-saudara beliau yang
se ayah se ibu, hanya beliaulah yang kelihatan mendapatkan kemanjaan dari orang
tua walaupun hanya dari orang tua angkat, namun jalinan kekeluargaan dengan
saudara-saudara beliau yang lain tetap terbina dengan kokoh. Suasana semacam ini
terlihat dari tradisi masyarakat Arab secara umum, dan keluarga Bafadhal
khususnya, bahwa untuk mengikat hubungan silaturrahmi antara sesama keluarga,
maka setiap hari-hari besar Islam, diadakan saling kunjung-mengunjungi kepada
setiap rumah dari masing-masing keluarga, yang biasanya diawali atau berkumpul
di rumah orang yang disegani dalam keluarga (Tua Tengganai). Kebiasaan
semacam ini oleh masyarakat lingkungan tempat-tempat keluarga Bafadhal, dapat
pula dipraktekkan oleh masyarakat yang pernah melihatnya, dikalangan kelompok
keluarga mereka masing-masing.
Jadi dengan adanya tradisi seperti tersebut diatas, maka masa kanak-kanak
Cik Mad, telah dipengaruhi oleh suatu kebiasaan yang didalam Agama Islam
sendiri cukup terpuji, dengan sendirinya pembinaan persaudaraan bagi sesama
besar atau kanak-kanak lain yang seangkatan beliau, terjadi biasa-biasa saja, dan
secara mendalam dari bagaimana sebenarnya situali pergaulan Cik Mad dengan
teman sebanya diwaktu masa kanak-kanak, data konkrot mengenai ini tidak dapat
terkorek secara mapan, terutama bahwa semanjak kanak-kanak, yang diperkirakan
lebih kurang setelah berumur 4 tahun Cik Mad telah ikut bepergian dengan Walid
Laut beliau yang keterangan lengkapnya akan diuraikan pada bahagian lain dari
tulisan ini.

C. Pendidikan Formal dan Non Formal


Disekitar Cik Mad telah berumur 4 tahun, pendidikan non formal sudah
dimulai, yaitu dengan diawalinya mempelajari Al-Quran bersama Bibi laut sebagai
gurunya. Sistem pengajaran oleh Bibi beliau adalah dengan cara membaca abjad
huruf Araf dari buku Juz ‘ammah, serta dihafal, yang kemudian dilanjutkan dengan
mempertalikan masing-masing huruf tersebut menjadi kata, demikianlah beberapa
bulan lamanya berlangsung. Tidak lama kemudian Cik Mad dibawa oleh Walid
Laut (Syekh Abdurrahman bin Ahmad Baadhal) ikut menunaikan ibadah Haji ke
Mekkah, karena situasi politik dunia waktu itu tidak menentu, terutama di
Indonesia, sehingga akhirnya walid laut beliau memutuskan untuk bermukim saja
lebih dhulu di Mekkah. Maka selama di Mekkah tersebut Cik Mad diserahkan
kembali mengaji Al-Quran kepada salah seorang warga Arab, yang namanya tidak
dapat diingat lagi. Cik Mad bersama walid laut sempat tinggal di Mekkah waktu
ini, selama lebih kurang 2 tahun, dan didalam masa 2 tahun itu, Cik Mad
dikhitankan disana oleh Walid laut dengan beliau, setelah senat dari khitanan
tersebut. Belajar mengaji Al-Quran masih tetap diteruskan, sehingga setelah satu
tahun lamanya mengaji Al-Quran, yaitu setelah berumur 5 tahun telah mampu
menghafal Al-Quran sebanyak 1 juz, dan inilah kelebihan daya ingat yang dimiliki
oleh Cik Mad, yang semakin membuat Walid Laut beliau bertambah sayang.
Selama 2 tahun di mekah tersebut, Cik Mad langsung menunaikan ibadah
Haji dalam kedua tahunnya, yang dibimbing oleh Walid Laut. Beliau tidak berapa
lama setelah musim haji tahun kedua beliau berada di mekah, maka Cik Mad pulang
ke Jambi bersama Walid Laut. Setelah sampai di Jambi, tepatnya pada tahun 1921,
Walid Laut memasukkan Cik Mad belajar di Sekolah Rakyat Nomor 1 (Sekolah
Government Kelas II Nomor 1) yang tempatnya di samping Bata Lama Kota Jambi.
Berhasilnya Cik Mad dimasukkan ke Sekolah rakyat I itu adalah tidak
terlepas dari pengaruh Walid Laut beliau, yang oleh masyarakat maupun orang-
orang pada tingkat pemerintahan cukup mengenalnya, dan bahkan disegani, sebab
untuk dapat memasukkan ke Sekolah Rakyat Nomor I, waktu ini tidak dapat
dimasuki oleh sembarangan anak, setidaknya orang tua si anak, terpandang dalam
masyarakat, apakah sebagai pegawai tinggi di Pemerintahan atau orang kaya.
5 tahun lamnya Cik Mad belajar di Sekolah Rakyat I tersebut, telah dapat
menyelesaikannya dengan mendapatkan Ijazah pada tahun 1927, keberhasilan Cik
Mad selama 5 tahun ini, adalah dikarenakan pernah naik kelas dalam 1 tahun
sebanyak 2 kali. Disamping itu sebagai unsur penunjang keberhasilan Cik Mad itu,
adalah dikarenakan Cik Mad sendiri, memang termasuk salah seorang murid yang
terpintar dari sekian banyak teman-teman beliau, yang dibuktikan dengan
terpilihnya Cik Mad sebagai murid teladan. Kelebihan utama dalam kepntaran Cik
Mad itu adalah dalam mata ajaran berhitung dan bahasa serta kecermatan dalam
mengerjakan sesuatu yang telah diberikan guru kepada beliau.
Selain dari mengikuti pendidikan di Sekolah Rakyat I sebagai pendidikan
formal, yang berstatus sebagai Skolah Pemerintah (sekarang Sekolah Dasar
Negeri), Cik Mad juga belajar agama Islam dan mengaji Al-Quran dengan guru-
guru agama yang mengajar di Mesjid atau Langgar di sekitar tempat tinggal beliau.
Pada tahun 1927 itu, yaitu setelah Cik Mad menyelesaikan study di sekolah
Rakyat, maka Walid laut mempunyai keinginan keras, agar Cik Mad melanjutkan
sekolah ke Madrasah Nurul Iman seberang Kota Jambi. Cik Mad sendiri setelah
mendengarkan tentang keinginan orang tua angkat beliau ini, sepnuhnya
menyerahkan akan kemauan Walid Laut. Namun ketika rencana Walid Laut beliau
dipaparkan, beberapa hari kemudian salah seorang kenalan Walid Laut belau, yang
juga peranakan Arab berkunjung ke Jambi dari Jakarta, yang namanya Syekh
Abdullah. Walid Laut beliau menyampaikan rencana tentang kelanjutan sekolah
Cik Mad, Syekh Abdullah menganjurkan agar Cik Mad di sekolahkan di Jakarta
saja, yaitu di Sekolah “Jami’atul Khair”, yang kebetulan semua guru-gurunya
terdiri dari peranakan Arab. Anjuran Syekh Abdullah oleh Walid Laut beliau
dimusyawarahkan dengan Walid Darat (ayah kandung dan ibu kandung Cik Mad),
mendengar berita dari Walid Laut, Walid Darat beliau memberikan persetujuan,
sebab ayah Kandung Cik Mad sendiri adalah orang yang miskin, dengan sekolah
Cik Mad akan diteruskan, jadi sepenuhnya masalah sekolah Cik Mad diserahkan
kepada Walid Laut beliau bagaimana sebaiknya. Maka hasil dari musyawarah
keluarga, Cik Mad diizinkan untuk belajar di Jami’atul Khair Jakarta, dan Cik Mad
diantarkan ke Jakarta oleh Walid Laut beliau, dan langsung diserahkan atau
didaftarkan pada Kepala Sekolah Jami’atul Khair, yang diterima dikelas 1, akan
tetapi setelah Cik Mad belajar selama 6 bulan, diadakan ujian (sekarang semester),
ternyata hasil evaluasi ujian semester tersebut, Cik Mad berhasil mendapatkan nilai
rata-rata 10, atas prestasi yang diraih beliau ini, maka Ck Mad diberi penghargaan,
dengan menaikkan beliau ke kelas II, dan enam (6) bulan berikut, diadakan ujian
lagi, hasilnya sama dengan ujian pertama, akhirnya Cik Mad mendapatkan prestasi
yang gemilang berupa kenaikan kelas lagi, yaitu ke kelas 3, sehingga akhirnya Cik
Mad dapat menyelesaikan pendidikan beliau di Jami’atul Khair selama 4 tahun
lamanya, sedangkan prgram pendidikan di Sekolah Jami’atul Khair yaitu selama 6
tahun. tentu saja atas kejadian ini bagi Cik Mad adalah suatu titik awal dari apa
yang dicita-citakan oleh kedua orang tua beliau, baik Walid Laut maupun Walid
Darat. Perlu ditambahkan disini, bahwa di Sekolah Jami’atul Khair ini pulalah Cik
Mad pertama kali belajar Ilmu Tafsir Juz Amma karangan Muhammad Abduh,
sehingga dari mempelajari ilmu Tafsir karangan Muhammad Abduh itu, pada masa
pendidikan dan pegangan pemahaman agama, tidak bersifat ektrim pada salah satu
mazhab saja, hanya saja memang ada penekanan untuk panutan bagi masyarakat
Jambi umumnya, bahwa dalam hal tertntu beliau lebih menekankan agar mengikuti
pendapat imam Syafe’I, anjuran ini sampai akhir hanyat beliau tetap
dikembangkan, pegangan beliau mengambil pendapat ini, hanya dengan alasan dan
pertimbangan bahwa di Indonesia penganut mayoritas mazhab Syafe’i. selain itu
selama di Jami’atul Khair Cik Mad sangat tekun mempelajari bahasa Arab, karena
disini para murid memang dibimbing guru-guru agar mempraktekkan bahasa secara
langsung, sehingga kemampuan berbahasa Arab beliau sampai mampu membaca
buku-buku yang berbahasa Arab pada dasarnya, sangat bnyak dipengaruhi oleh
penguasaannya pada di jami’atul Khair.
Sekolah jamiatul Khair ini adalah sekolah yang berstatus swasta, yang
bertempat di Tanah Abang Gang Karet Jakarta, pendiriannya diprakarsai oleh
orang-orang Indonesia peranakan Arab. Cik Mad tamat dari Madrasah Jami’atul
Khair pada tahun 1931, dan selama di jakarta tersebut, Cik Mad tingal langsung di
rumah Syekh Abdullah Banwaresy, yang menyarankan kepada Walid Laut beliau,
agar sekolah di Jakarta karena memang Syekh Abdullah adalah akwan akrab dari
Walid Laut, dan selama di Jakarta itu segala biaya dikirim oleh Walid Laut beliau
dari Jambi, yang biasanya setiap 1 kali sebulan, bahkan sekali 3 bulan Walid Laut
datang ke Jakarta menantarnya, dan Cik Mad sendiri hanya pulang ke Jambi 1 kali
dalam setahun, yaitu pada bulan puasa, karena Madrasah Jami’atul Khair selama
bulan puasa, tidak belajar untuk murid-muridnya.
Selama Cik Mad belajar di Jakarta, guru-guru yang paling berjasa kepada
beliau dalam pelajaran agama dan bahasa Arab adalah : Sayid Ahmad bin Abdullah
Assegaf, Sayid Umar Assegaf, Sayid Muhammad bin Smeith, Al-Faqih Al-Uztas
Hadi Jawwas, Al-Ustaz mahmud Bahrein, Al-Ustaz Abbdullah Hinduan
Pekalongan, AL-Ustaz Abdullah Irfan. Disamping itu Cik Mad juga belajar secara
khusus menganai Ilmu Tafsir dan Bahasa Arab di Malaysia, pada waktu Cik Mad
libur panjang dari Madrasah jami’atul Khair, misal Libur puasa, apabila Cik Mad
tidak pulang ke Jambi. Guru tempat belajar Ilmu Tafsir dan Bahasa Arab di
malaysia tersebut adalah Al-‘Allamah Al-Muhaddits Sayid Alwi bin Ahmad
Bafadhal (Walid Laut) beliau, memiliki hubungan kekeluargaan dengan keluarga
peranakan Arab yang ada di malaysia, bahkan sampai sekarang masih terawat
hubungan tersebut secara utuh, sehingga selama Prof. Syehk HMO Bafadhal masih
hidup, paling sekali dalamm setahun beliau berkunjung ke Malaysia.
Setelah tamat dari pendidikan di Madrasah Jami’atul Khair Jakarta, Cik
Mad kembali ke Jambi pada tahun 1931, disepakati pula oleh kedua orang tua
angkat beliau, agar Cik Mad meneruskan pendidikan di Madrasah Nurul Iman
Seberang Kota Jambi. Keinginan orang tua beliau ini diterima denga perasaan
senang hati, maka didaftarkan Cik Mad ke Madrasah Nurul Iman, yang waktu itu
sebagai kepalanya ialah Haji Hasan bin Anang Yahya. Masuknya Cik Mad di
Madrasah Nurul Iman ini, bagi beliau terasa agak merugikan, karena perpindahan
sekolah dari Swasta ke Swasta, namun itu semua tetap diterima. Sehingga pada
waktu mendaftar di Madrasah Nurul Iman Seberang Kota Jambi itu, beliau masuk
tanpa tes, hanya oleh mubir madrasah ditanyakan tentang buku-buku yang
dipelajari di Jami’atul Khair Jakarta, misalnya tentang Fiqh buku apa, Nahwunya
buku apa dan karangan siapa, semuanya beliau jelaskan. Akhrnya Cik Mad
ditetapkan diterima di Kelas IV Tsanawiyah, kedaan semacam ini beliau terima
saja, walaupun ada keinginan untuk dapat duduk di Kelas V, tapi Walid Laut beliau
menganjurkan agar duduk saja di kelas IV, untuk apa terlalu cepat betul tamat,
demikian ucap Walid laut beliau. Pendidikan di madrasah Nurul Iman ini beliau
selesaikan selama 5 tahun dengan mendapatkan Ijazah tahun 1935, dengan predikat
biasa saja, karena di Madrasah Nurul Iman sendiri setiap tamatan memang ada yang
diberikan predikat Istimewa, yang pada zaman beliau ada 9 orang siswa yang
menggondolnya.
Selama mengikuti pendidikan di Madrasah Nurul Iman tersebut Cik Mad
telah mulai tertrik dengan ilmu Hadist dan ilmu Tafsir dan ilmu alat lain seperti
Nahwu, Sharaf dan mantik. Guru-guru madrasah Nurul Iman yang sangat besar
pengaruhnya dan membentuk kepribadian beliau dalam mencapai karir keulamaan
diantaranya ialah : Syekh Haji Hasan bin Haji Anang Yahya orangnya sangat alim
betul, Haji Muhammad jakfar bin Abdul Jalil, Al-Qadni Haji Abdul Majid bin Haji
Abdul Hasan Al-Qadni, Haji Muhammad bin Haji Hasan, Haji Muhammad
Samman bin Haji Abdul Muhyi, Haji Hasan bin Haji Thahir, Haji Abdul Qadir bin
Haji Ibrahim dan Haji Muhammad Thaib bin Haji Usman.
Berikutnya tidak salah kiranya akalu digambarkan selintas tentang suasana
lingkungan yang dialami oleh Cik Mad sebagai pengalaman yang bersifat suka dan
duka, semasa menjadi pelajar/ santri di madrasah Nurul Iman Seberang Kota Jambi,
diantara pengalaman yang mengembirakan adalah : Bahwa apabila diamati kepada
kehidupan orang tua kandung beliau, memang akan mustahil sekali, kalau dapat
bersekolah, dikarenakan orang tua kandung berliau, hidup dalam keadaan miskin
sampai akhir hayatnya. Kenyataannya dari delapan orang kakak-kakak beliau, tidak
seorang pun yang dapat menamatkan Sekolah Dasar, paling tinggi hanya sampai
kelas II kemudian berhenti, dan ada yang melanjutkan ke Madrasah Sa’adatud
Daraian Tanjung Johor Seberang Kota Jambi, itu pun tidak seorangpun yang sampai
tamat. Jadi dari aspek kesempatan dapat bersekolah ini, oleh Cik Mad dianggap
sebagai limpahan karunia Illahi, yang dikategorikan sebagai pengalaman suka dan
menyenangkan.
Sedangkan dukanya terbanyak karena pengauh alam lingkungan,
diantaranya bahwa letak Madrasah Nurul Iman dengan rumah tempat kediaman Cik
Mat dibatasi oleh sungai besar, yaitu sungai Batanghari. Padahal alat transportasi
pada waktu itu, yang digunakan sebagai alat penyeberangan hanya berupa perahu
dayung, yang dikayuh dengan tenaga manusia, itupun jumlahnya sangat terbatas
sekali, karena perahu tambangan yang khusus untuk ditambangkan dengan
memungut biaya tidak banyak pula orang yang mau. Keengganan masyarakat
masyarakat bekerja sebagai tukang perahu, terlihat juga karena keadaan sosial
ekonomi masyarakat Jambi pada umumnya waktu itu termasuk agak lumayan. Jadi
sebagai jalan keluar, kebanyakan pada santri terpaksa menyediakan perahu yang
kadang-kadang dibeli secara iuran, dan mendayungnya bergantian. Bagi Cik Mad
sendiri karena orang tua beliau (Walid Laut) adalah orang yang kaya, maka Cik
Mad dibelikan sebuah perahu, yang kadang-kadang harus didayung sendiri, dan
kadang-kadang diantar oleh anak buah Walid Laut atau besama-sama dengan
teman-temannya sekampung, atau santri yang tinggal di Kota Jambi. Akibat dari
menyeberang dengan perahu, sering pula terjadi kecelakaan berupa terbaliknya
perahu-perahu santri atau hanyut beberapa kilometer dari sasaran, karena didorong
oleh arus yang sangat deras, kejadian semacam ini sering dialami oleh Cik Mad,
untung saja Cik Mad pandai berenang, kalau tidak tentu akan berakibat fatal,
demikian ungkapan Cik Mad waktu diminta keterangan beliau tentang ini.
Selain dari itu yang paling menyedihkan pula, adalah pada waktu musim air
banjir, karena paling tidak setiap tahun, ada 3 bulan lamanya Jambi Seberang
tenggelam dengan air bah, tentu saja dengan tenggelamnya Jambi Seberang, akan
ikut pula tenggelam gedung madrasah yang mengakibatkan kadang-kadang santri
harus diliburkan, namun pernah juga harus belajar dengan cara berdiri saja di sudut-
sudut yang belum begitu tenggelam. Memang pada umumnya seluruh bangunan
gedung, baik rumah-rumah penduduk ataupun madrasah-madrasah dan lainnya,
adalah dibangun dengan memakai tiang penyanggah (rumah panggung), namun
pada saat air bah mencapai maximal, boleh dikatakan seluruh bangunan terendam
sampai kelantainya, keadaan semacam hampir setiap tahun dialami semasa Cik
Mad belajar di madrasah Nurul Iman.
Disamping itu yang paling terasa kedukaan pada diri Cik Mad, sewaktu
beliau belajar di madrasah Nurul Iman tersebut, adalah dengan dipanggilnya orang
tua kandung beliau (Walid Darat) keharibaan Allah Swt alias berpulang
kerahmatullah para tahun 1934, waktu itu Cik Mad baru duduk di Kelas VI.
Ketika Cik Mad telah tamat dari Madrasah Nurul Iman, atas prestasi dan
pertimbangan mudir madrasah, Cik Mad diberi kesempatan untuk mengajar di
madrasah Nurul Iman, ajakan ini beliau terima, sehingga satu tahun lamanya Cik
Mad mengajar di Madrasah Nurul Iman seberang Kota Jambi. Berakhirnya Cik
Mad mengajar di Madrasah Nurul Iman itu, adalah dikarenakan ada permintaan dari
mudir madrasah Al-Khairian yang kebetulan pada awal tahun 1937 mulai dibuka di
Kota Jambi (sekarang di jalan veteran Simpang Bata Lama). Ajakan untuk
mengajar di Madrasah Al-Khairiah itu beliau terima tampaknya beliau disamping
sebagai guru tetap, juga ditetapkan sebagai wakil mudir (kepala) madrasah. Namun
pada jabatan yang baru ini, tidak ditakdirkan oleh Allah Swt untuk selamanya dpat
mengabdi di madrasah Al-Khairiah ini, karena setelah beberapa bulan kemudian,
datang ke Jambi sekretaris dari Madrasah Darul ‘Ulum Ad-Diniyah Al-Qismul ‘Ali
Mekkah, yang bernama Haji Abdul Wahid asal Mersam Jambi. Al-Ustaz haji Abdul
Wahid berkenalan dengan Cik Mad, yang telah berstatus sebagai guru dan
kebetulan pula waktu itu Cik Mad sendiri akan berangkat untuk menunaikan Ibadah
Haji, dengan biaya sepenuhnya dari Walid laut beliau. Ketika itu juga Al-Ustaz Haji
Abdul Wahid menawarkan “kalau inta mau masuk Darul Ulum Mekkah, bisa
berangkat bersama anak”. Pembicaraan dengan Al-Ustaz Haji Abdul Wahid,
berakhir dengan berangkatnya Cik mad tahun 1937 itu, dengan niat pertama untuk
menunaikan Ibadah Haji.
Selanjutnya sesampai di Mekkah, segala proses untuk belajar di Madrasah
Darul Ulum Mekkah itu, diurus oleh Al-Ustaz Haji Abdul Wahid, dan ketika
didaftarkan kepada mudir Madrasah, yang waktu itu dijabat oleh Syekh Zubeir asal
Pulau Pinang, yang baru saja menjabat sebagai budir, pengganti dari Sayid Munsih
bin Ali Al-Musawwa asal Palembang, yang belum berapa sebelumnya telah
meninggal dunia. Jadi demikinlah atas usaha Al-Ustaz Haji Abdul Wahid ketika
Cik Mad dihadapkan kepada mudir madrasah, mudir madrasah menanyakan
tentang kitab-kitab yang pernah dipelajari sebelum masuk ke Madrasah Darul Ulum
tersebut, maka Cik Mad menjelaskan serta memperlihatkan ijazah tematan
Madrasah Nurul Iman Jambi. Setelah Syekh Zubeir selaku mudir Madrasah Darul
Ulum mengamati dan mempertimbangkan segala sesuatunya, maka Cik Mad dapat
diterima di tingkat Aliyah.
Sehingga akhirnya kurang lebih selama 3 tahun, Cik Mad berhasil
menyelesaikan pendidikan tingkat Aliyahnya di madrasah Darul Ulum Mekkah
pada tahun 1939, dengan mendapatkan Ijazah Predikat sederhana, namun pada
ketika itu memang ada kawan-kawan beliau, yang sama-sama asal Indonesia
termasuk mendapatkan nilai terbaik, mereka ialah Zein bawedan sebagai terbaik
pertama, Ahmad Wardi Banten terbaik kedua, dan termaik ketiga adalah
Muhammad Nur bin Haji Abdul Gani asal Palembang.
Proses mengajar belajar yang diikuti oleh Cik Mad selama di Darul Ulum
Mekkah, adalah berbentuk atau sistem duduk berlingkar, yang dibimbing oleh
seorang guru, dan murid membaca secara bergantian, apabila ada hal-hal yang
menurut murid tidak dapat terselesaikan, guru memberikan penjelasan secara
mendetail. Sedangkan mata ajaran pada sistem penyajian ini, adalah dengan
memilih vak-vak tertentu, dengan guru pembimbing tertentu pula, misalnya Ilmu
Fiqh dan Ushul Fiqh khusus diajarkan oleh seorang Ulama Terkemuka di Mekkah
waktu itu, yang namanya Asy-Syekh Ali Al-Maliki.
Sedangkan guru-guru Cik Mad, yang cukup berilmu dan masih diingat
sampai sekarang pada waktu belajar di Darul Ulum Mekkah, diantaranya : Asy-
Syekh Ali Al-Maliki, Asy-Syehk Hasan Al-Massyath, Sayid Al-Amin Al-Kuthby,
Sayid Alwi Al-Maliki, asy-Syekh Ahyad dan Asy-Syekh Zakaria.
Disamping itu Cik Mad juga mendapatkan pendidikan yang bersifat non
formal, diantaranya adalah : Kursus Bookhouding di Jakarta, berijazah tahun 1930.
Kursus Bahasa Belanda di Jambi, berijazah tahun 1932. Kursus Bahasa Inggris di
Jakarta berijazah tahun 1959 dan latihan kepegawaian di Jambi berijazah tahun
1970.

D. Selintas tentang Masa remaja/ Pemuda


Kehidupan ramaja/pemuda, kelihatannya tidak begitu menonjol, ini
dikarenakan waktu beliau tersita banyak tersita oleh kegiatan menuntut ilmu,
sebagai bakal mempersiapkan hidup di masa datang. Disamping itu Cik Mad terlalu
cepat meninggalkan masa remaja, karena pada ketika masih duduk di kelas VI
Madrasah Nurul Iman Seberang Kota Jambi, yaitu tahun 1935, beliau telah
menikah. Namun setidaknya karir untuk masa depan, juga ada yang tergambar dari
beberapa kegiatan sekolah, yang mengarah kepada hal-hal yang bersifat pembinaan
politik, dan ciri-ciri akan menjadi seorang ulama. Diantara kegiatan tersebut, bahwa
pada ketika Cik Mad belajar di Madrasah jami’atul Khairiyah Jakarta (1927-1931),
beliau telah ikut beberapa kali dalam rapat-rapat, yang bersifat nasional, misalnya
saja ikut menghadiri upacara Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta.
Kehadiran beliau dalam upacara Sumpah Pemuda itu, memang bukan atas inisiatif
sendiri, tetapi diajak oleh guru beliau yang bernama Syekh Sayid Muhammad bin
Syihab, yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum Organisasi “Rabithah
Alawiyah”, dan juga pimpinan madrasah jami’atul Khair di Jakarta. Disamping itu
memang ada undangan dan edaran kepada setiap sekolah-sekolah, untuk
menghadiri hari Sumpah Pemuda tersebut, termasuk sekolah dimana Cik Mad
belajar, sebenarnya bukan hanya beliau yang diajak guru beliau itu, tetapi ada
murid-murid lain yang jumlahnya lebih kurang 12 orang.
Setelah kembali ke Jambi, diwaktu masih belajar di Madrasah Nurul Iman
Seberang Kota Jambi (1934), telah pula terdaftar sebagai anggota tersebar dari
Partai Arab Indonesia (PAI), yang dipimpin oleh A.R. Baswedan untuk mencapai
Indonesia Merdeka. Dan waktu pulang ke Jambi dari Jakarta, maka pengurus Partai
Persatuan Arab (PAI) itu, menugas Cik Mad untuk membawa Lagu Indonesia Raya
dan lagu Timur Matahari ke Jambi.
Kemudian dari kegiatan-kegiatan yang mengarah keada, pembentukan
watak untuk menjadi seorang ulama, selama di Jakarta sering diajak oleh guru-guru
beliau dalam ceramah-ceramah Hari Besar Islam, terutama guru beliau yang
bernama Syekh Sayid Muhammad bin Syihab. Dan orang yang pertama beliau
kagumi, dalam pembentukkan jiwa beliau sebagai seorang Ulama, adalah Syekh
Sayid Muhammad bin Syihab ini, bahwa juga sudah putih, seperti saya sekarang
ini, kata Prof. Syekh HMO Bafadhal waktu diwawacarai. Dari inspirasi inilah yang
paling banyak mempengaruhi hidup beliau untuk menjadi seorang Ulama, dengan
hasrat dalam hati beliau waktu itu “Alangkah bahagianya saya, sekiranya dapat
seperti guru saya ini (Syekh Sayid Muhammad bin Syihab)”.
Selanjutnya pada tahun 1940, beliau juga telah mulai mencampurkan diri
dalam kegiatan pengajian-pengajian dan ceramah-ceramah, terutama dikalangan
perkumpulan keluarga Bafadhal Jambi, karena dari generasi muda satu-satunya
yang duduk dalam unsur pengurus adalah beliau sendiri. Dan pada tahun itu juga,
oleh Sayid Abdul Rahman Al-Baiti, belia diangkat menjadi Khatib Jum’at pertama
kalinya di Masjid Raya Magatsari Kota Jambi, waktu itu khutbah Jum’at masih
disampaikan semuanya dalam bahasa Arab, dan beliau pulalah yang memulai
berkhutbah denga mempergunakan bahasa Indonesia, kecuali rukun dan syarat
khutbah yang harus berbahasa Arab, ini baru diawali pada sesudah tahun 1946,
namun akhirnya dari usaha pertama beliau, lambat laut dapat diterima oleh
masyarakat, dan saat itu pulalah masyarakat mulai mengenal Cik Mad, dengan
mengenal nama Asli, yaitu Muhammad Umar, yang populer dengan panggilan MO.

E. Pertemuan dengan Jodoh


Pada prinsipnya bahwa menurut tradisi keluarga Bafadhal khususnya, dan
masyarakat Indonesia peranakan Arab yang ada di Jambi pada umumnya. Setiap
akan mencarikan jodoh anak, baik laki-laki maupun anak perempuan, kuasa
sepenuhnya dalam segala yang berkaitan dengan itu, dipegang oleh orang tua laki-
laki, ini tentunya berusaha agar sesuai dengan ajaran Islam, yang mempunyai sistem
kekeluargaan patrilineal.
Berkaitan dengan hal tersebut, Cik Mad sendiri pada ketika akan
menentukan perempuan yang akan menjadi teman hidup beliau sebagai pasangan
suami istri, juga tidak terlepas tradisi yang dianut, apalagi masa remaja Cik Mad,
masih tergolong dalam paham kuno, seperti sebutan yang terkenal dalam cerita
rakyat di Minangkabau yaitu “Masa Siti Nurbaya”. Sehingga dengan demikian,
bahwa pada ketika Cik Mad mau dicarikan perempuan yang akan menjadi istri
beliau, tergambarlah dalam sejarahnya sebagai berikut :
Bahwa pada ketika Cik Mad masih duduk di Kelas VI pada Madrasah Nurul
Iman Seberang Kota Jambi, kurang lebih setelah satu tahun ayah kandung beliau
(Walid Barat) meninggal dunia. Maka pada suatu hari datanglah ibu kandung Cik
Mad ke rumah Walid Laut, yang membawa berita tentang keinginan untuk
mengawinkan Cik Mad. Kata ibu kandung Cik Mad waktu itu kepada walid Laut
yang dihadiri oleh Cik Mad sendiri, bahwa “nak saya yang sembilan orang
jumlahnya hanya kau sendirilah yang belum kawin” katanya kepada Cik Mad.
Secara langsung pula Cik Mad menjawab “Bagaimana pula saya mau kawin, pada
hal saya sedang sekolah”. Jawab itu beliau “tentang sekolah kau tetap teruskan”.
Demikianlah antara ibu dengan anak saling tanya jawab, yang pada mulanya Cik
Mad tetap bertahan, akan tetap sekolah lebih dahulu dan kalau sudah tamat di Nurul
Iman nanti, apa keinginan Ibu, dalam hal ini untuk kawin, ya saya akan kawin, kata
Cik Mad. Akan tetapi pada saat perdebatan antara ibu dengan anak tersebut sedang
berlangsung, maka Walid Laut Cikmat menyelanya, katanya “Mud! Kalau mik kau
(ibu kandung) menyuruh kau kawin, kawinlah, aku setuju, masalah biaya dan segala
penghidupan untuk nanti aku tanggung”. Mendengar ucapan Walid Laut beliau ini,
Cik Mad akhirnya menyerahkan semuanya kepada Mik dan Walid Laut.
Setelah pembicaraan dalam hal meminta persetujuan Cik Mad untuk
dikawinkan, maka mulailah Walid Laut dan Mik beliau melayangkan pandangan,
yang mula-mula sekali dicari keluarga terdekat, tapi waktu itu hanya ada seorang
perempuan yang umurnya agak sebaya dengan Cik Mad, yaitu anak salah seorang
keturunan terdekat dengan Cik Mad, namun dia telah diambil pula anak angkat oleh
orang lain yang juga dari keluarga peranakan Arab, yang bertempat tinggal di
Kampung Kebun Kelapa Kota Jambi sekarang ini. Ringkasnya dimulai
perundingan, dengan hasil bahwa mas kawin, uang hantaran serta pesta
perkawinanya, seluruhnya harus dilakukan di rumah pihak perempuan itu, habis itu
kalau mau dibawa pindah ke rumah Walid laut beliau atau ke tempat lain
diperbolehkan. Namun Walid Laut beliau berkeinginan agar semuanya dilakukan
di rumahnya sendiri, orang dari keluarga perempuan bakal calon Cik Mad, tetap
pada pendirian mereka, maka dikarenakan gara-gara kedua belah pihak tidak ada
yang mau mundur, akhirnya perundingan dibatalkan saja. Perlu ditambahkan bahwa
antara Cik Mad dengan perempuan yang dicalonkan pertama untuk beliau ini belum
pernah saling kenal-mengenal.
Beberapa lama setelah perundingan pertama gagal, dicoba lagi membuka
perundingan baru, yaitu dengan menghubungi keluarga seorang pedagang buah-
buahan, yang peranakan Arab kelahiran Jakarta yang pindah bersama keluarganya
ke Jambi, dan bermukim di belakang Benteng kota Jambi (sekarang jalan Prof. DR.
Hamka), orang tersebut bernama Thalib bin Abbullah. Thalib bin Abdullah
mempunyai anak dua, satu laki-laki bernama Umar, dan seorang perempuan
bernama Siti Su’ab. Istri Thalib bin Abdullah ini adalah orang Jakarta asli, dan
kedua anaknya tersebut dilahirkan di Jakarta.
Langkah selanjutnya setelah diketahui oleh pihak keluarga Cik Mad, bahwa
Thalib bin Abdullah mempunyai seorang anak perempuan, maka suatu hari
dicobalah berkunjung ke rumah Thalib bin Abdullah, dalam rangka menyampaikan
hasrat untuk mengambil anaknya yang perempuan akan dijadikan sebagai istri Cik
Mad. Dengan berkunjung secara bersama ke rumah Thalib bin Abdullah itu,
sekembalinya dari sana, maka disampaikan kepada Cik Mad, bahwa orangnya baik,
hidupnya sederhana, yang akhirnya setelah mendengarkan berita dari utusan yang
ditugaskan untuk itu, maka Cik Mad menyetujuinya. Ringkasnya diaturlah hari
perkawinan dengan sitri beliau yang bernama Siti Suad binti Thalib, sesuai
keinginan dari Walid Laut (Syekh Abdur Rahman bin Ahmad Bafadhal), begitu
juga pembiayaan hidup sehari-hari untuk selanjutnya, oleh Walid Laut Cik Mad
diberi sebuah toko (satu pintu), sehingga apa saja yang diingini boleh
mengambilnya disana, dari segala macam bahan makanan untuk kehidupan sehari-
hari. Bahkan toko yang sepintu tersebut, sampai tahun 1975 hasil kontrakannya
tetap diserahkan kepada Cik Mad atau diambil oleh beliau.
Cik Mad beristri waktu itu, berumur 21 tahun dan istri beliau Siti Su’ad
berumur 14 tahun, yang hanya tamat dari Sekolah Rakyat. Kelihatannya dari
perkawinan beliau ini, pas 1 tahun melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi
nama Umar Farouk dan 2 tahun Cik Mad berkeluarga, beliau berangkat ke Mekkah
untuk menunaikan Ibadah Haji, dan bemukim disana kurang lebih selama 2,5 tahun
lamanya, sambil meneruskan pendidikan di Madrasah Darul Ulum Ad-Diniyah Al-
Qismul ‘Ali Mekkah, kemudian tahun 1939 kembali ke Jambi setelah menamatkan
tingkat aliyah itu.
Dari perkawinan Cik Mad dengan isteri beliau, yang bernama Siti Su’ab
sebagai istri pertama dan yang terakhir, Allah SWT mengkaruniai beliau sebanyak
14 orang putra putri, yang masing-masing ialah :
1. Umar Bafadhal sarjana Muda Fakultas Syariah (Almarhum), meninggalkan
seorang istri dan 7 orang anak.
2. Asian Bafadhal, hanya tamat Tsanawiyah bersuami.
3. Fuad Abdurrahman Bafadhal Sarjana Hukum , bekerja sekarang sebagai
Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Jambi.
4. Ahmad Bafadhal Insinyur Pertanian, bekerja sekarang di Kantor
Perkebunan Jambi.
5. Farid Bafadhal Dokter kesehatan bekerja sebagai kantor kesehatan
kabupaten Sarolangun Bangko
6. Zuraiya Bafadhal, hanya tamat PGA bersuami.
7. Sundus Bafadhal, sekarang tingkat IV Fak. Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi, dan telah menjadi Pegawai Negeri sebagai guru SD.
8. Fauzi Bafadhal sarjana Fakultas Tarbiyah, pernah belajar di Mesir lebih
kurang 3 tahun lamanya. Sekarang dosen tetap Fakultas Tarbiyah IAIN STS
Jambi.
9. Zein Bafadhal sekarang sedang menyelesaikan pendidikan di Lembga
Administrasi Negara (LAN) untuk mengambil gelar Drs.
10. Taufik Bafadhal Insinyur Perindustrian, sekarang bekerja di Direktorat
Jenderal Perindustrian Jakarta.
11. Ridwan Bafadhal Sarjana Ekonomi Universitas Lampung, sekarang dalam
proses kepegawaiannya pada Departemen Perindustrian Jakarta.
12. Zainab Bafadhal hanya tamat PGA, kemudian bersuami
13. Faizah Bafadhal, sekarang dalam proses penyelesaian skripsinya, untuk
mendapatkan titel Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jambi.
14. Fathiyah Bafadhal, sekarang dalam proses menamatkan pelajarannya untuk
meraih gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas. Jambi.

Sebenarnya keinginan yang terkandung dalam hati, pada mulanya Cik Mad
berharap untuk mendapatkan anak cukup 7 (tujuh) orang saja, tetapi kehendak
Allah SWT lain, sehingga kenyataannya 2 kali lipat. Dan dari ke 14 orang anak
beliau tersebut, belum semuanya menikah, masih 3 orang lagi. Bagi yang telah
menikah itu, masing-masing telah mempunyai anak, jumlah anak-anak mereka,
sebagai cucu dari Cik Mad, keseluruhannya berjumlah 41 orang yang sampai
sekarang masih hidup, dan cicit 6 orang.
Keberhasilan Cik Mad dalam mendidik anak-anak, tidak lain adalah karena
cara atau metode yang tepat, dalam memberikan arahan kepada setiap anak-anak
berliau. Diantara metode yang beliau praktekkan adalah : Bahwa kepada setiap anak
beliau diberikan kebebasan, dalam memilih sekolah yang cocok menurut selera
masing-masing, dengan syarat pilihan itu, harus sampai selesai atau tamat, dengan
mendapatkan ijazah. Disamping itu dari aspek keagamaan sangat beliau pesankan
betul anak-anak, sekali-kali jangan dilanggar perintah Allah SWT, terutama tentang
shalat 5 waktu dan puasa bulan Ramadhan, serta jauhi larangan Allah SWT dimana
berada. Bahkan dalam masalah keagamaan ini, Cik Mad secara terus terang
mengatakan kepada anak-anak beliau, berupa ungkapan yang cukup keras, yaitu :
“Bahwa syarat utama dalam hidup bermasyarakat, kamu harus berakhlak baik, dan
jangan menyakiti hati orang, kemudian hubunganmu dengan Allah SWT jangan
putus, kalau hubunganmu dengan Allah putus, akupun putus hubungan dengan
kau”, begitulah kerasnya Cik Mad memberikan didikan agama kepada anak-anak
beliau.
Sebagai suatu ciri-ciri khas, yang barangkali hanya ada pada diri beliau
sendiri, yaitu tentang situasi dan kondisi dalam memberikan nasehat kepada anak-
anak. Pada umumnya setiap pemberian nasehat, beliau lakukakan pada ketika habis
makan dimalam hari, dengan mengumpulkan semua anak-anak beliau, walaupun
pada waktu itu, hanya ada satu orang yang perlu diberikan nasehat. Dan nasehat
yang berkaitan dengan agama, sering dilakukan habis makan sahur, apabila didalam
bulan puasa, bentuknya berupa ceramah agama.
Sedangkan apabila diperhatikan dari apa yang diungkapkan oleh Cik Mad,
khusus dalam kehidupan rumah tangga, peranan istri beliau, tidak cukup banyak,
namun setiap apa yang akan dilakukan, berliau tetap musyawarah dengan istri, yang
akhirnya tetap disetujui apa gagasan yang datang dari beliau.
Disamping itu, corak dan bentuk kehidupan keluarga Cik Mad, bagi
sebagian masyarakat Kota Jambi khususnya, dan provinsi Jambi pada umumnya,
tentu yang pernah mengenal beliau, tampaknya keberhasilan beliau dalam
pendidikan nak, adalah merupakan suri tauladan yang patut diikuti. Apa lagi cara
bermasyarakat memang tidak sedikit pandang bulu, baik dengan golongan atas,
maupun dengan golongan bawah, dengan anak-anak, remaja dan kawan sesama,
bahkan lawan (semata aktif dalam bidang politik), sampai sekarang cukup
mengagumi beliau, keadaan ini terlihat betul ketika mendengar berita tentang
berpulangnya beliau kerahmatullah, bahwa setiap orang yang dimintai keterangan
atau tanggapannya dengan meninggalnya beliau, rata-rata mengatakan “kita telah
kehilangan ulama besar, pemikir pembaharu di Jambi, perintis pendidikan modern
dan lain sebagainya”.
Diakhir-akhir hayat Prof. HMO Bafadhal atau masa tua beliau, memang
sepenuhnya dicurahkan untuk mengembangkan agama, dengan berupa memberikan
ceramah-ceramah di seluru pelosok jambi, bahkan sampai keluar daerah Jambi,
seperti Sumatera Barat, Palembang dan pernah pula ke Malaysia atas undangan
Panitia Negara bagian Johor Malaysia (1960), yang memberi ceramah di Mesjid-
Mesjid, bahkan di lapangan terbuka, yang dihadiri oleh ribuah umat Islam
Malaysia.
Dalam mengambil pendapat, khusus mengenai ubudiyah ataupun Fiqh, MO.
Bafadhal agak cenderung mempertahankan pendapat Imam Syafi’I, namun dipihak
lain setelah dikaji betul, dalam tindakan sehari-hari, beliau tidak begitu menekan
secara keras, tergantung kepada keyakinan masing-masing. Sedangkan dasar
pertimbangan beliau, dalam mempertahan pendapat Syafi’iyah, hanya beralasan
bahwa semenjak dahulu bangsa kita Indonesia, penganut terbesar adalah dari
golongan Syafi’i.
Selain dari itu, keadaan fisik diakhir-akhir hayat beliau, memang ada
kelainan dari kebiasaan orang, diantaranya mata tetap terang dan tidak kabur,
bahwa selama hidup beliau pernah memakai kaca yang diberi dengan resep dokter,
kemudian ingatan tetap kuat, bahkan diwaktu wawancara pengumpulan biografi
beliau ini, semuanya diceritakan dengan daya ingatan. Resep utama dalam menjaga
kondisi fisik beliau ini, diantaranya dengan melakukan jalan kaki, setiap habis
mengerjakan shalat Subuh, dengan menempuh jarak paling kurang 5 KM, itu beliau
lakukan bersama istri. Kemudian dari segi kesehatan mata, hal ini kata beliau
pernah ditanya oleh Bapak Maschun Sofwan SH (Gubernur Kepala Daerah Tingkat
I Provinsi Jambi), tentang resep apa yang beliau pakai untuk menjaga kesehatan
mata tersebut, beliau menjawab : “bahwa saya mempergunakan hanya untuk
seperlunya saja”, secara terperinci, hanya digambarkan : Pergunakanlah mata itu
untuk melihat apa yang dibenarkan oleh Allah SWT dan terlanjur cepat-cepatlah
bertobat kepada Allah SWT.
Disamping itu memang beliau akui, bahwa untuk mencpai kebahagiaan
jasmani dan rohani, beliau berusaha agar selau dengan dengan Allah, yaitu dengan
cara mengerjakan amal-amal khusus, yang dilakukan secara rutin, berupa zikir-
zikir, sholat-shalat sunnat terutamanya Shalat Tahajjut pada malam hari. Dan apa
lagi amal-amal lain, yang agak berat beliau menceritakannya, karena itu merupakan
suatu amalan yang sulit, untuk manusia zaman sekarang, akan dapat
disalahgunakan dan mengakibatkan kesalahan pengertian dlam pemahaman ajaran
Islam, bahkan keluarga beliau sendiri tidak mengetahuinya, karena memang
dikerjakan pada malam hari, ketika orang-orang sedang tidur nyenyak. Namun
amalan yang beliau kerjakan itu tetap didasari oleh kitab-kitab yang telah dikarang
oleh Ulama-Ulama terkemuka dalam Islam.
Kemudian dalam rangka menjaga kesehatan secara lahirian, beliau juga
menghindari makanan yang menurut Hukum Islam dikategorikan makhruh,
misalnya merokok dan lainnya. Kebiasaan merokok bagi beliau, semenjak kecil
sampai akhir hayat, memang dihindari dan bahkan pada suatu ketika beliau sedang
berada di Mekkah, ada teman beliau membawa rokok yang enak-enak, beliau diberi
satu batang dan merokoknya, akan tetapi sedikitpun tidak terasa enak, maka sejak
saat itu merokok bagi diri beliau haram hukumnya.
Pergaulan dengan masyarakat kelihatannya, beliau tidak menampakkan
perbedaan, antara orang diasa dengan orang yang terpandang dalam masyarakat
maupun para pejabat Pemerintahan. Kenyataan tersebut dibuktikan dengan
menghadiri permintaan atau undangan masyarakat dari kalangan apa saja, apakah
itu undangan untuk memberikan ceramah, atau undangan sedekah-sedekah yang
telah merupakan tradisi bagi masyarakat Jambi, pada setiap hari-hari besar Islam,
tetap beliau hadiri.
Untuk melanjutkan karir beliau sebagai penda’i, beliau mendidik murid-
murid bahkan teman-teman yang memungkinkan bisa dianggap punya bakat
sebagai penceramah, yang menurut beliau ini merupakan salah satu cara
pengkaderan. Sistem pendidikan dalam pengkaderan tersebut, dilaksanakan dengan
cara belajar berkelompok, yang mengambil tempat di rumah beliau sendiri, atau di
rumah murid-murid yang bersdia diadakan di rumahnya. Pelaksanaannya diadakan
2 sampai 3 kali dalam satu minggu, dengan berpindah-pindah tempat pada masing-
masing rumah yang telah menyiapkan diri. Sedangkan sistem pengajarannya adalah
berbentuk membaca kitab-kitab yang berbahasa Arab (kitab kuning), yang
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia serta penafsirannya, kemudian diberikan
kesempatan tanya jawab. Dalam kesempatan tanya jawab inilah, dalam hal-hal
tertentu beliau memberikan fatwa. Pengkaderan ini dimulai tahun 1965 s/d
sekarang.
Ilmu pengetahuan yang menjadi vak keahlian beliau adalah ilmu Hadist dan
Tafsir Al-Quran, namun dibidang lain seperti ilmu Fiqh, tasauf, ilmu Tauhid, ilmu-
ilmu Bahasa Arab dan lainnya juga beliau kuasai. Hafalan Al-Quran dan Al-Hadist
cukup banyak sekali, bahkan hadist Matan Arbain karangan Imam Nawawi
seluruhnya telah beliau hafal.
BAB IV
PERJUANGAN DAN JASA-JASA
PROF. SYEKH HMO BAFADHAL

A. Bidang Pendidikan
Prof. HMO Bafadhal setelah menamatkan pendidikan dari Madrasah Nurul
Iman Seberang Kota Jambi, pada dasarnya telah memulai karir dalam bidang
pendidikan, yaitu dengan ikutnya beliau mengajar sebagai guru bantu di Nurul Iman
sendiri, yang beliau tekuni selama kurang lebih 1 tahun. kemudian awal tahun 1937
diminta mengajar di Madrasah Al-Khairiyah Kota Jambi, dan sekaligus sebagai
wakil mudir, namun karena datangnya panggilan Illahi untuk menunaikan Ibadah
Haji ke Mekkah, hanya baru beberapa bulan mengajar di madrasah Al-Khairiah,
beliau berangkat ke mekkah dan bermukim disana selama kurang lebih 2,5 tahun.
Setelah kembali dari Mekkah, Prof. Syekh HMO Bafadhal kembali
meneruskan mengajar di madrasah Al-Khairiah, disinilah beliau mencoba
mengembangkan teori-teori baru, terutama dalam sistem pengajaran tentang kitab-
kitab yang dipakai. Konsep beliau diantara lain adalah, bahwa sesuatu kitab yang
diajarkan harus diberikan syarahnya, bukan hanya matan saja, serta dilengkapi
dengan berbagai macam ilmu yang berkaitan dengan bidangnya, tafsir dengan ilmu
tafsirnya dan lain-lain. Mengajar di Madrasah Al-Khairiyah tersebut, berakhir pada
tahun 1946, karena waktu itu beliau terpilih dan diangkat sebagai Kepala Kantor
Agama Daerah Jambi, namun tetap sebagai penyaom, dari Madrasah Al-Khairiah.
Menjabat sebagai Kepala Kantor Agama Daerah Jambi berakhir sampai tahun 1955.
Dan kemudian diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Provinsi Sumatera
Tengah.
Ketika Prof. Syekh HMO Bafadhal menjabat sebgai kepala Kantor Urusan
Agama Sumatera Tengah beliau tetap berjuang dalam bidang pendidikan dan
termasuk salah seorang perintis pendidikan Islam di Provinsi Jambi. Awal dari
perjuangan beliau dalam pendidikan Islam tersebut, adalah pada ketika diadakan
musyawarah majelis Syura Wal Fatwa di Bukit Tinggi, yagn dihadiri oleh Kepala-
Kepala Kantor Urusan Agama, kepenghuluan dan Alim Ulama seluruh Sumatera
Tengah, yang diketuai oleh beliau sendiri. Hasil musyawarah majelis Syura Wal-
Fatwa di Bukit Tinggi itu memutuskan bahwa pada setiap daerah Kabupaten di
Sumatera harus didirikan Perguruan Tinggi Islam.
Sebagai realisasi dari Keputusan tersebut, maka di Jambi diadakan kongres
Alim Ulama seluruh Jambi, pada tanggal 5 s/d 8 Desember 1957. Sebagai pembawa
makalah pada kongres tersebut, disampaikan oleh 2 orang ulama, masing-masing
adalah : Al-Ustaz Shaleh Su’aiby dengan judul makalah disekitar Pembentukan
Majelis Ulama, dan H.M.O. Bafadhal menyampaikan prasaran disekitar perguruan
Tinggi dan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia.
Hasil kongres Alim Ulama Jambi tahun 1957 itu, memutuskan
pembentukan majelis Ulama, dan pencetusan untuk mendirikan Yayasan
Pendidikan Islam Provinsi Jambi. Sehingga dari hasrat akan mendirikan Yayasan
Pendidikan Islam tersebut, seiring dengan itu terlebih dahulu, masyarakat Jambi
berkeinginan untuk merobah status jambi dari daerah keresidenan untuk menjadi
sebuah Provinsi, yang memiliki hak otonom, sebagaimana Daerah Tingkat I
lainnya. Hasrat masyarakat untuk menjadikan Daerah Jambi, sebagai sebuah
Provinsi, terkabul dengan keluarnya Undang-Undang No. 19 tahun 1957.
Sedangkan cita-cita untuk mendirikan Yayasan Pendidikan Islam, baru
dapat didirikan secara resmi pada tanggal 4 Februari 1958, Akte Notaris No. 29
Tahun 1958.
Langkah selanjutnya setelah berdirinya Yayasan Pendidikan Islam Jambi,
yaitu mulailah berdiri pertama kali sebuah SMA Islamy Sekolah Persiapan, yang
dipimpin pertamanya HMO Bafadhal dibantu oleh sekretarisnya Kemas hasan
Wan. Perjuangan mendirikan lembaga pendidikan tersebut, dilanjutkan dengan
pendirian Perguruan Tinggi Islam pada tanggal 29 September 1960, yang pimpinan
pertamanya juga HMO Bafadhal. Perguruan Tinggi ini diberi nama Fakultas
Syariah Al-Hikmah. Jabatan pimpinan Fakultas Syariah Al-Hikmah pertama
tersebut, berjalan dengan baik selama kurang lebih 3 tahun beliau menjabatnya.
Akhirnya setelah Fakultas yariah Al-Hikmah dinegerikan, waktu itu
berafiliasi kepada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kemudian dengan berdirinya
IAIN Raden Patah Palembang, Fakultas Syariah Jambi menjadi Fakultas Syariah
Cabang IAIN Raden Patah Palembang. Pada periode ini (1964 s.d 1965) Prof.
Syekh HMO Bafadhal menjabat sebagai wakil dekan I/II, dan tahun 1966/1967
menjabat sebagai Pembantu Dekan I. perkembangan selanjutnya dari Fakultas
Syariah Cabang IAIN Raden Patah Palembang di Jambi, selanjutnya di usahakan
agar dapat berdiri sendiri, untuk tujuan ini peranan HMO Bafadhal tetap terlihat,
yaitu dengan ikutnya beliau ke Jakarta sebagai Anggota Delegasi untuk meminta
persetujuan Pengangkatan Peanitia Persiapan Pembukaan IAIN Jambi, pada tanggal
7 November 1965. Dan setelah disetujui oleh Menteri Agama RI, HMO Bafadhal
juga termasuk salah seorang panitianya. Selanjutnya berdasarkan Surat keputusan
Menteri Agama RI No. 84 Tahun 1967, tanggal 27 Juli 1967, telah ditetapkan
pimpinan difinitif, yang dalam keputusan ini HMO Bafadhal menduduki jabatan
Pembantu Rektor Bidang Akademis, merangkap Dekan Fakultas Syariah.
Seterusnya dalam perkembangan IAIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi,
peranan Prof. Syekh HMO Bafadhal selalu terlihat, yaitu dengan keikut sertaan
beliau dalam unsur pimpinan, sehingga jabatan selanjutnya yang pernah beliau
duduki adalah : 1) Priode 8 September 1967 s/d 29 Januari 1971, sebagai Pembantu
Rektor Bidang Akademis merangkap Dekan Fakultas Syariah IAIN STS Jambi; 2)
Priode 30 Januari 1971 s/d 21 September 1972, sebagai Wakil Rektor I, merangkap
Dekan Fakultas Syariah IAIN STS Jambi; 3) Priode 21 September 1972 s/d 1976,
sebagai Dekan Fakultas Syariah IAIN STS Jambi; 4) Priode 1976 s/d 1975 sebagai
Pd. Rektor IAIN STS Jambi, dan 5) Priode 1979 s/d 1985 sebagai Rektor IAIN STS
Jambi.
Berikutnya setelah berakhir sebagai Rektor IAIN STS Jambi, Prof. Syekh
HMO Bafadhal tetap ikut mengembangkan karir sebagai pendidik, yaitu dengan
ditetapkannya beliau sebagai Dosen Luar Biasa, dan Guru Besar Tetap serta
Anggota Dewan Kurator IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
Disamping itu beliau juga membina beberapa madrasah, di Provinsi Jambi,
pada setiap daerah tingkat II, tugas ini beliau lakukan sampai akhir hayat.

B. Bidang Dakwah
Prof. HMO Bafadhal dismping sebagai seorang pendidikn dan pembaharu
pendidikan di Provinsi Jambi, bahkan sebagai pencetus pendirian Perguruan Tinggi
Islam di Sumatera Tenah. Beliau juga seorang penda’i ulung, yagn memberikan
ceramah dimana-mana pelosok di Jambi, serta diluar Provinsi Jambi, bahkan
sampai keluar negeri, diantaranya ke Malaysia tahun 1980 diundang oleh Panitia
Negara bagian Johor. Mendirikan berbagai organisasi Dakwah di Provinsi Jambi
serta mendidik kader-kader Penda’i.
Diantara Organisasi-Organisasi dakwah yang pernah beliau dirikan
antaralain : Persatuan Guru-Guru Agama Kota Jambi yang diberi nama
“Annahdhatul Islamiyah” pada tahun 1941 sampai dengan 1943, sekaligus beliau
menjabat sebagai ketua persatuan tersebut. Diantara program dari organisasi
Persatuan Guru-Guru Madrasah ini, adalah mendidik atau melatih tentang
bagaimana metode berceramah yang baik, belajar membaca kitab-kitab yagn
berbahasa Arab (Kitab Kuning), dan soal jawab tentang hukum-hukum Islam.
Pelaksanaan dari program tersebut dilakukan 1 kali dalam seminggu, yaitu setiap
hari Jumat, yang mengambil tempat di salah satu ruangan Madrasah Al-Khairiah
Simpang Bata Lama (Jl. Veteran sekarang).
Kemudian pada tahun 1967 menjabat sebagai Ketua Dewan Dakwah
Islamiah Indonesia (DDI) Perwakilan Jambi, yang intinya juga membentuk kader-
kader Dakwah, serta memberikan penerangan kepada masyarakat pada seluruh
pelosok jambi, kegiatan tersebut beliauemban selama beberapa tahun, yang telah
menghasilkan cukup banyak penceramah-penceramah muda. Sedangkan sistem
penyampaian dakwah, adalah bersifat langsung dengan cara mengumpulkan
masyarakat disuatu tempat, misal masjid-masjid, langgar-langgar atau surau-surau,
bahkan di lapangan terbuka, memang hasilnya cukup bermanfat kepada
masyarakat. Kenyataan ini dapat diketahui, ketika diminta keterangan tentang
tanggapan masyarakat, pada saat beiau telah meninggal dunia, pada umumnya
memberikan komentar “Kita telah kehilangan seorang Ulama Besar, Penda’i dan
Pencetus Pendidikan Islam serta Pendiri Perguruan Tinggi Islam Jambi”. Ungkapan
tersebut bukan hanya dilontarkan oleh kalangan masyarakt biasa, akan tetapi
sampai kepada tingkatan pejabat dalam Pemerintahan Daerah maupun Pusat,
sepetri yang diucapkan oleh salah seorang Pejabat Departemen Agama RI atas
nama Menteri Agama, yang mewakili Gubernur yaitu Bapak Drs. H. Z. Daeng
Mangguna Sekretaris Wilayah Daerah Jambi, begitu pula isi pidato sembutan dan
pembacan riwayat hidup singkat beliau oleh Bapak DR. H. M. Chatib Quswein
Rektor IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Dari semua pidato sambutan para
pejabat tersebut, memiliki nada yang sama, yaitu “Bahwa kita semua telah
kehilangan seorang ulama, cendikiawan dan Pembaharu/Pencetus Pendidikan
Tinggi Islam Jambi”. Bagi IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi sendiri, dengan
kepergian Prof. HMO Bafadhal untuk selam-lamanya, berarti IAIN kehilangan
satu-satunya Guru Besar Tetap.

C. Bidang Politik
Disamping sebagai seorang Ulama dan Cendekiawan, serta Penceramah
yang cukup dikenal, Prof. HMO Bafadhal bahwa sebagian dari kehidupan beliau,
juga pernah dicurahkan dibidang politik. Karir sebagai seorang politikus telah
beliau rintis semenjak tahun 1927-1931, yaitu swaktu beliau masih sedang belajar
di Madrasah jamiatul Khair Jakarta, yang beliau serap dari keikut sertaan dalam
beberapa perteman atau rapat yang bersifat Nasional.
Karena keterlibatan beliau dalam beberapa rapat di Jakarta tersebut,
sedikitnya pimpinan-pimpinan organisasi pemuda yang bersifat politik di Jakarta
itu, telah mulai mengenal beliau, sehingga ketika berdirinya Partai Arab Indonesia
(PAI) pimpinan A. R. Baswedan untuk mencapai Indonesia merdeka, beliau
ditunjuk sebagai seorang anggota tersebar, untuk Daerah Jambi sendiri beliau
adalah pertama yagn menjadi anggota.
Selanjutnya kegiatan politik ini, selalu beliau ikuti, yang mengakibatkan
pula mendapatkan kedudukan dalam Pemerintahan, diantaranya adalah sebagai
berikut :
1. Tahun 1941 s/d 1943 menjaat sebgai ketua Persatuan Guru-Guru Madrasah
Daerah Jambi, yang pembentukkannya adalah atas inisiatif beliau sendiri,
dengan maksud untuk mencetak kader pendidik dan penceramah.
2. Tahun 1945 s/d 1946 diangkat sebagai anggota Komite Nasional Daerah
Jambi seksi Penerangan, yang berfungsi sebagai guru penerang tentang
segala hal yang berkaitan dengan kepemerintahan, baik segi politik maupun
sosial dan keagamaan.
3. Tahun 1945 itu juga diangkat sebagai Penasehat dari GPII Daerah Jambi.
4. Tahun 1946 adalah anggota Partai Arab Republik Indonesia (PARI) Cabang
Jambi.
5. Tahun 1946 memelopori berdirinya Partai masyumi Jambi, tepatnya tanggal
24 April 1946, sekali diangkat sebagai ketuanya sampai tahun 1960.
6. Tahun 1947 diangkat sebagai anggota Panitia Penyusunan Peraturan
Pemilihan Anggota DPR Daerah Jambi.
7. Tahun 1948 diangkat sebagai salah seorang dari Penasehat Residen Jambi.
8. Tahun 1948 itu juga ditunjuk oleh Residen Jambi sebagai penanda tanganan
Pemecahan Uang DRIPS, karena waktu itu uang yang beredar di Jambi,
terdiri dari uang yang bernilai besar, yang dikirim dari Bukit Tinggi,
kemudian terkenal dengan Coupon Daerah Jambi.
9. Tahun 1950 Ketua Majelis Permusyawaratan Partai-Partai Politik Daerah
Jambi (MPPPI). Tugas utama dari MPPPI ini adalah untuk mengusahakan
agar Jambi dapat berdiri sendiri, dan terlepas dari Bukit Tinggi. Kenyataan
dari usaha MPPPI pada akhirnya dengan perjuangan yang cukup keras,
berhasil mengadakan kongres Pemuda sedaerah Jambi pada tanggal 30
April s/d 2 Mei 1954, yang diprakarsai oleh dua organisasi Pemuda, yaitu
Himpunan Pemuda Merangin Batang hari (HP. Merbahari), yang
berkedudukan di Kota Keresidenan Jambi dan Front Pemuda Jambi
(PROPEJA), yang berkedudukan di Muaro Bungo. Dari embrio kongres ini,
maka pada tanggal 14 s/d 18 Juni 1955 diadakan Kongres Rakyat Rakyat
Jambi, yang pesertanya adalah wakil wakil rakyat pada tiap-tiap
kedaerahan, partai politik, organisasi pemuda dan wanita. Dalam kongres
tersebut Prof. HMO Bafadhal adalah peserta dari utusan Partai masyumi
Jambi, sekaligus sebagai Ketua MPPPI Daerah Jambi. Pada kongres ini juga
terlihat peranan beliau, diantaranya sebagai pencetus pemberian nama atas
Kongres tersebut dengan “Badan Kongres Rakyat Jambi (B.K.R.D.)”.
10. Tahun 1955 diangkat sebagai Kepala Urusan Agama Provinsi Sumatera
Tengah.
11. Tahun 1956 s/d 1960 terpilih menjadi anggota Parlemen Rapublik Indonesia
di Jakarta.
12. Semenjak tahun 1975 sampai akhir hayat beliau, diangkat sebagai Ketua
Majelis Ulama Provinsi Jambi, yang lebih kurang 3x pengangkatan.
D. Bidang Pemikiran/ Karya Ilmiah
Seperti telah disebutkan diatas, bahwa Prof. HMO Bafadhal paling banyak
mencurahkan tenaga dan pemikiran pada bidang Pendidikan, Dakwah dan Politik,
maka beliau akui sendiri, bahwa beliau bukan seorang penulis, karena kegiatan
ilmiah paling banyak beliau sampaikan melalui ceramah, tanpa mempersiapkan
konsep-konsep yang sudah ditulis. Namun demikian dalam hal-hal yang
memerlukan tulisan yang berupa karya ilmiah, seperti untuk persyaratan kenaikan
pangkat, dan permintaan makalah dalam seminar-seminar yang bersifat regional
maupun nasional, bahkan bersifat Internasional.
Maka sehubungan dengan itu, memang ada beberapa buah karya ilmiah
yang pernah beliau sampai dalam beberapa kegiatan ilmiah, diantaranya adalah
sebagai berikut :
1. Pada tanggal 29 September 1965 dalam rangka Hari Jadi IAIN Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi, berliau menyampaikan pidato ilmiah, dengan ujdul
“Fungsi Hadist sebgai Salah Satu Sumber Murni dari Dalil Hukum”. Yang
intinya menggambarkan bagaimana peranan hadist dalam menunjang
berlaku Hukum Islam, dan penglasifikasian tentang kekuatan hadist serta
penentuan Hadist yang berkualitas mana yang dapat diterima sebgai dasar
atau dalil Hukm.
2. Pada tanggal 23 Mei 1969 dalam rangka Simposium Sejarah dan Adat
Jambi, yang diadakan atas prakarsa Pemerintah Daerah Jambi, beliau
ditunjuk sebagai Pembahas Utama.
3. Pada tanggal 1 s/d 4 September 1971, di IAIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi diadakan Simposium tentang Sejarah Pandidikan Islam di Jambi,
beliau salah seorang Pemrasaran, dengan menyampaikan sebuah makalah
yang berjudul “Perkembangan Madrasah/ Pondok Pesantren di Daerah
Jambi (Sejak Masuknya Islam ke Jambi sampai kepada Proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945”. Isi makalh tersebut
menggambarkan sejarah berdirinya beberapa buah Madrasah di Daerah
Jambi, yang menurut Beliau bahwa secara normal, madrasah baru berdiri di
Daerah Jambi semenjak tahun 1914, yaitu dengan dibangunnya 4 buah
madrasah di Seberang Kota Jambi, yang masing-masing adalah : 1)
Madrasah Nurul Iman di Kampung Tengah; 2) Madrasah Nurul Islam di
Tanjung Pasir; 3) Madrasah Sa’adatud Darain di Tahtul Yaman, dan 4)
Madrasah jabharaian di Tanjung Johor. Dengan dibangunnya 4 buah
madrasah tersebut, maka bermunculanlah beriutnya beberapa buah
madrasah di Daerah Tingkat II lainnya di Daerah Jambi. Namun sebelum
itu sebenarnya sarana pendidikan Islam, telah ada hanya saja masih bersifat
sederhana, dalam arti kata belum memiliki gedung khusus, misalnya adanya
kegiatan beberapa orang ulama, yang mengajar di rumahnya sendiri, atau
rumah-rumah penduduk lainnya. Kesimpulan beliau dalam makalah
tersebut, bahwa pendidikan Islam di Daerah Jambi, telah ada semenjak
pertama masuknya Islam ke Jambi.
4. Pada tanggal 26 Januari 1975, ikut berperan serta dalam seminar “Menggali
Hukum Islam untuk Pembangunan nasional Indonesia”, yang diadakan oleh
Departemen Agama RI di Jakarta.
5. Pada tanggal 6 s/d 7 Juni 1978, bertindak sebagai penanggung jawab
Seminar Daerah, kerja sama IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi dengan
pemerintah Daerah Tingkat I Jambi, dengan judul “Sulthan Thaha Saifuddin
sebagai Raja dan Pejuang Islam di Daerah Jambi”. Dalam seminar tersebut
beliau menyampaikan pemrasaran dengan judul “Sulthan Thaha Saifuddin
sebagai Ulama dan Pemimpin di Jambi’. Makah tersebut menggambarkan
tentang perjuangan Sulthan Thaha Saifuddin, bahwa disamping sebagai
pemimpin atau Raja di Jambi, dia juga berjuang menyampaikan ajaran
Islam, jadi perjuangannya adalah bersifat sabilillah.
6. Pada tahun 1974 menyampaikan pidato dalam rangka peringatan Ulang
Tahun Imam Bukhari, yang ke 1200 di Kota Samaekand negara Bagian
Uzbekistan Uni Sovyet, dengan judul : “Al-Imam Bukhari Wal’ashril
hdist”. Disini beliau memberikan bahwa Imam Bukhari adalah seorang yang
berjasa besar dalam mengembangkan ilmu hadist, dan sebagai pelopor
dalam menentukan tingkatan hadist.
7. Beberapa karya ilmiah lainnya, yang hanya kecil-kecil seperti pidato
pengukuhan beliau sebagai Guru Besar dalam Ilmu Hadist, yang sekarang
sedang direfisi.
Jadi apabila diperhatikan dari semua isi karya ilmiah, yang pernah beliau
tulis, atau yang disampaikan secara lisan dengan bentuk pidato-pidato atau
ceramah-ceramah, terlihatlah dalam hal-hal tertentu, beliau bersifat tidak memihak
(netral), namun dalam masalah Aqidah dan Ibadah, tampaknya agak cenderung
mengikuti pendapat Imam Syafi’i, namun bagi beliau tidak penutup adanya
modernisasi, seperti pendirian orang-orang muhammadiyah. Bahkan dalam hal-hal
persiapan dan praktek kehidupan dimasa-masa menjelang tua, banyak sekali belajar
dari orang-orang besar di kalangan Muhammadiyah, misalnya saja tentang gaya
hidup Bapak Muhmmad Natsir, Mr. Mohd. Room, Prof. Dr. Hamka, Bapak Sastro
Prawoto dan lainnya.
Sedangkan keutamaan yagn memberikan dampak positip kepada
masyarakat lingkungannya, bahkan untuk Daerah Jambi, beliau termasuk orang
yang hidupnya sederhana, tidak suka menumpuk harta kekayaan, suka membanyak
amalan untuk akhirat. Dalam hal ini misalnya : Bahwa selama hidup beliau telah
menunaikan Ibadah Haji sebanyak 9 kali, yaitu yang dilaksanakan pada tahun 1918,
1919 berangkat bersama orang tua angkat dan ibu angkat (Syekh Abdur Rahman
bin Ahmad Bafadhal dan istrinya Siti Hamidah binti Umar Bafadhal). Tahun 1937,
1938, 1939 waktu beliau bermukim di Mekkah dalam rangka mengikuti pendidikan
pada Madrasah Darul Ulum. Tahun 1969 yang keberangkatan beliau waktu itu
sebagai petugas BPHI Indonesia. Kemudian tahun 1972, 1979, 1983 berangkat
bersama istri beliau Siti Su’ab.
Jadi memang kharisma yang beliau miliki, cukup berpengaruh dalam
masyarakat Daerah Jambi, kepergian beliau untuk menghadap Rabbul Alamin,
cukup mengharukan masyarakat jambi dan bahkan luar daerah Jambi, terutama
karena meninggalnya beliau tidak disangk-sangka sama sekali. Yaitu hari Rabu
masuk Rumah Sakit Umum Jambi, hari Senin tanggal 3 november 1986, beliau
berpulang ke Rahmatullah. Sebagai tanda ikut berduka cita ribuan masyarakat
Daerah jambi, ikut menyembahyangkan dan mengantarkan jenazah beliau ke
tempat peristirahatan terakhir.

Anda mungkin juga menyukai