Anda di halaman 1dari 76

STRATEGI POLITIK SUKARMADJI MARIDJAN KARTOSOEWIRJO DALAM

MENDIRIKAN NEGARA ISLAM INDONESIA (NII) SEBELUM DAN SESUDAH


KEMERDEKAAN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Disusun Oleh :
Risman
NIM : 1112022000064

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2019 M / 1440 H


i
ii
iii
ABSTRAK

Dalam skripsi ini penulis bertujuan untuk meneliti tentang strategi Sukarmadji
Maridjan Kartosoewirjo dalam mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) sebelum
dan sesudah kemerdekaan. Penulis di sini meneliti terlebih dahulu tentang
perkembangan Islam yang ada di Jawa Barat, karena penting kiranya kita untuk
mengetahui perkembangan Islam di Jawa Barat sebelum terbentuknya organisasi
Islam DI/TII. Penulis meneliti pula tentang latar belakang Kartosoewirjo
membangun gerakan DI/TII sampai ia di eksekusi karena dituduh makar dan ingin
menjatuhkan pemerintahan Soekarno-Hatta. Juga penulis meneliti tentang konsep
Negara Islam Indonesia (NII) yang dibentuk oleh Kartosoewirjo bersama
kelompoknya. Selain itu penulis juga meneliti tentang gerakan DI/TII pasca
Kartosoewirjo di Jawa Barat.
Agar penulisan skripsi ini lebih relefan maka penulis menggunakan metode
sosiologis dan metode historis atau sebuah penelitian yang tujuannya
mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa-peristiwa masa lampau terkait
dengan Kartosoewirjo. Agar penelitian ini lebih onjektif maka penulis
mengunakan tulisan asli Kartosoewirjo dan wawancara mantan pengikut DI/TII.
Berdasarkan analisa data yang dilakukan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa Jawa Barat
merupakan basis DI/TII terbesar. Selain itu proklamasi NII yang dilakukan oleh
Kartosoewirjo tujuannya bukan hanya menginginkan negara Islam, tetapi mereka mengaku
bahwa tujuan tersebut untuk menyelamatkan negara Indonesia dari keterjajahan Belanda.

Kata kunci : Kartosoewirjo, DI/TII, Negara Islam Indonesia, DI/TII pasca


Kartosoewirjo.

iv
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Alhamdulillah

Puji syukur penyusun skripsi panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan
skripsi ini, serta shalawat dan salam selalu kita haturkan kepada junjungan kita
Nabi besar Muhammad SAW atas perjuangannya, sehingga nikmat Islam masih
dapat kita rasakan sampai saat ini.
Akhir kata penyusun berdoa mudah-mudahan karya ini bermanfaat bagi
semua khususnya civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu tri darma
perguruan tinggi kepada berbagai pihak, selain itu penyusun juga mohan maaf
atas kesalahan dan ketidak disiplinan kepada Allah atas dosa baik yang disengaja
maupun yang tidak disengaja.
Dalam mengisi hari-hari kuliah dan penyusunan skripsi ini penulis telah
banyak mendapat bantuan, motivasi dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu
patut diucapkan terima kasih yang tulus dan penghargaan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A. selaku
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakart, para Pembantu Rektor , seluruh
staf dan karyawan.
2. Bapak Drs. Saiful Umam, M.A. Ph.D, selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta para staf dan
jajarannya.
3. Bapak Nurhasan, M.A, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam
dan Ibu Sholikatus Sa’diyah, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan
Peradaban Islam yang telah banyak membantu dalam pengurusan
administrasi jurusan.

v
4. Bapak Dr. Fu'ad Jabali, M.A selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
banyak memberikan bimbingan, nasehat, saran dan mengarahkan penulis
dalam penulisan skripsi ini.
5. Kepada kedua orang tua Ayahanda Ujang Ruhiyat dan Ibunda Komalasari
tercinta yang dengan penuh kasih sayang, pengertian dan iringan doanya
dan telah mendidik, membesarkan serta mendorong penulis hingga
menjadi manusia yang lebih dewasa.
6. Saudara-saudaraku tercinta Ruslan Abdul Gani, Iim Masipah dan Ade
Kurniawan yang telah memberikan motivasi dalam penyelesaian skripsi,
tidak lupa kepada Nurul Noverri Putri yang telah membantu pula dalam
penyelesaian skripsi ini.
7. Kepada seluruh mantan DI/TII terkhusus yang sudah setia untuk
diwawancarai oleh penulis.
8. Kawan-kawan dari organisasi GPPI (Gerakan Pemuda Patriotik Indonesia)
yang turut evaluasi penulis untuk cepat-cepat menyelesaikan studi dan
kepada teman-teman satu angkatan yang turut melakukam motivasi kepada
penulis untuk menyelesaikan skripsi.

Wassalam

Jakarta, 19 April 2019

Penulis

Risman

vi
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

SURAT PERNYATAAN SKRIPSI

ABSTRAK....................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1


B. Batasan Masalah ................................................................................................... 3
C. Rumusan Masalah ................................................................................................. 3
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................................. 3
E. Kerangka Teori .................................................................................................... 4
F. Tinjauan Pustaka .................................................................................................. 5
G. Metode Penelitian.................................................................................................. 6
H. Sistematika Penulisan ............................................................................................ 8

BAB II KONDISI SOSIAL JAWA BARAT

A. Letak Geografis Jawa Barat ................................................................................... 10


B. Kondisi Sosial Keagamaan Jawa Barat Sebelum Islam .......................................... 11
C. Muncul dan Berkembangnya Islam di Jawa Barat .................................................. 14
D. Peran Organisasi Islam di Jawa Barat .................................................................... 18

BAB III SEJARAH PERJUANGAN SM. KARTOSOEWIRDJO


MENDIRIKAN ORGANISASI DI/TII .......................................................................... 23

A. Latar Belakang Kartosoewirjo ............................................................................... 23

vii
B. Lahir dan Berkembangnya Organisasi DI/TII ........................................................ 28
C. Hari Terakhir Kartosoewirjo .................................................................................. 36

BAB IV KONSEP NEGARA ISLAM MENURUT KARTOSOEWIRJO DAN


ORGANISASI DI/TII PASCA KARTOSOEWIRJO ................................................... 41

A. Konsep Negara Menurut Kartosoewirjo ................................................................. 41


B. Kepemimpinan DI/TII Pasca Kartosoewirjo .......................................................... 48
C. Hubungan Antara eks DI/TII dan RI ...................................................................... 49
D. DI/TII Menjadi Komando Jihad ............................................................................. 54

BAB V PENUTUP .......................................................................................................... 56

A. Kesimpulan ..................................................................................................... 56
B. Saran ............................................................................................................... 57
C. Daftar Pustaka ................................................................................................. 58
D. Lampiran ......................................................................................................... 62

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam, sehingga
sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah menjadi pusat perdagangan di jalur
maritimnya, hal inilah yang menyebabkan masuknya ajaran-ajaran Islam ke negri
Nusantara. Akibat dari kejadian tersebut maka muncul pula ajaran yang
menginginkan wilayahnya menjadi negara Islam dalam hal ini DI/TII yang sudah
memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada tahun 1949. 1 Tetapi
adanya gerakan tersebut muncul pertanyaan besar bagi penulis, karena mereka
memproklamirkan Negara Islam Indonesia dengan dalih untuk menyelamatkan
bangsa Indonesia yang sedang mengalami kekosongan kekuasaan akibat agresi
militer Belanda. Pada akhirnya pemerintahan Indonesia yang dipimpin oleh
Soekarno-Hatta harus menyepakati perjanjian Renvile.2
Setelah perjanjian Renvile selsai, beberapa wilayah Indonesia lainnya yang
sudah dikuasai oleh Belanda salah satunya Jawa Barat, harus meninggalkan dan
mengosongkan wilayahnya. Pemerintahan Indonesia yang dipimpin oleh
Soekarno-Hatta pun beserta dengan kelompok militernya harus melakukan hijrah
ke Jawa Tengah, Yogyakarta. Kejadian ini lah yang menyebabkan kemarahan
bagi kelompok muslim yang dipimpin oleh Kartosoewirjo karena dianggap sudah
menghianati kemerdekaan Indonesia. Maka dari itu pada tahun 1948

1
Al- Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M.
Kartosoewirjo (Mengungkap Manipulasi Sejarah Darul Islam/DI-TII semasa Orde Lama dan
Orde Baru), (Jakarta: Darul Falah, 1999), IX.
2
Perjanjian Renville adalah perjanjian yang dilakukan oleh Indonesia dengan Belanda
juga ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas kapal perang Amerika Serikat sebagai
tempat netral USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan
dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee
of Good Offices for Indonesia yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Perjanjian
ini diadakan untuk menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Linggarjati tahun 1946. Perjanjian
ini berisi batas antara wilayah Indonesia dengan Belanda yang disebut Garis Van Mook. Lihat juga
Francisca C. Fanggidaej, Memoar Perempuan Revolusioner, (Yogyakarta : Galangpress, 2006),
h.126

1
Kartosoewirjo bersama kelompok Islam lainnya seperti Hijbullah dan Sabilillah
tetap di Jawa Barat dengan tujuan untuk mempertahankan negara Indonesia yang
sedang mengalami kekosongan dan sudah diambil alih wilayahnya oleh Belanda.
Pada tahun 1948 Kartosoewirjo dengan kelompok Islam lainnya
membentuk gerakan Darul Islam (DI) beserta Tentara Islam Indonesia (TII),
tujuannya untuk melakukan perlawanan kepada Belanda serta mempertahankan
keutuhan kemerdekaan Indonesia. Untuk mempertahankan kemerdekaan maka
perlu ada yang menjadi pusat komando atau yang sering disebut dengan imam
Islam. Dengan restu dari para ulama maka Kartosoewirjo ditunjuk menjadi imam
Islam atau pusat komando tertinggi dalam Negara Islam Indonesia (NII). Pada
tahun 1949 DI/TII yang dipimpin oleh Kartosoewirjo melakukan proklamasi
negara Islam Indonesia, dalam isi proklamasinya kelompok DI/TII menginginkan
negara kesatuan republik Indonesia menjadi negara Islam.
Penulis di sini tidak hanya menjelaskan tentang Kartosoewirjo
memproklamasikan Negara Islam Indonesia, tetapi yang akan ditulis di sini antara
lain perkembangan Kartosoewirjo dalam membangun kekuatan DI/TII sehingga
Jawa Barat tercatat sebagai komando tertinggi dari gerakan tersebut. Selain itu
penulis juga akan menjelaskan mengenai pemikirn Kartosoewirjo tentang Negara
Islam Indonesia, juga akan menjelaskan bagaimana DI/TII pasca Kartosoewirjo.
Sangat penting kiranya kita mengetahui konsep adanya Negara Islam
Indonesia, karena negara yang dibentuk oleh mayoritas muslim ini menginginkan
perubahan Indonesia kejalan yang lebih baik. Mereka membentuk konsep negara
Islam dalam situasi perang, hal ini ditunjukan karena kondisi Indonesia pada
waktu itu sedang mengalami keterjajahan kembali oleh militer Belanda. 3 Mereka
juga mengaku bahwa konsep yang dibawanya ialah sama seperti konsep
Rasulullah saat menghadapi kaum kafir Quraisi, di mana Rasulullah
menginginkan perubahan sistem yang menjadi keadilan untuk umat serta
bangsanya. Walaupun konsep tersebut sudah lama ada dalam pikiran
Kartosoewirjo, tetapi diterapkanya ketika ia menjadi Imam DI/TII. Selain itu yang
harus dilihat oleh kita dalam membahas gerakan DI/TII ialah pasca Kartosoewirjo

3
SM Kartosoewirjo, Haluan Politik Islam, (Bandung : SEGA ARSY, 2015), hal. 36.

2
memimpin, karena gerakan tersebut menjadi pecah dan jauh dari tujuan yang
diinginkan sebelumnya.
Pada tahun 1962 Kartosoewirjo berhasil dieksekusi atau diberikan
hukuman mati oleh pemerintah dengan tuduhan bahwa dia melakukan makar dan
ingin melakukan kudeta kepada Soekarno. Setelah Kartosoewirjo di eksekusi
maka kepemimpinan DI/TII diganti oleh Daud Beureuh, di sinilah awalmula
perpecahan DI/TII sampai akhirnya ada yang sepakat membentuk Komando
Jihad.
B. Batasan Masalah
Setelah penulis berhasil mengidentifikasi pembahasan yang nantinya akan
ditulis serta supaya pembahasan tersebut tidak umum dan meluas pembahasannya,
maka penulis perlu untuk membatasi masalah yang akan penulis tulis. Adapun
batasan masalah dari pembahasan tersebut hanya terbatas pada cara menelaah
bagaimana Strategi Politik Sukarmadji Maridjan Kartosoewirjo dalam Mendirikan
Negara Islam Indonesia (NII) di Jawa Barat Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan,
berdasarkan teks buku dan beberapa wawancara yang pernah terlibat dalam
gerakannya.
C. Rumusan Masalah
Melihat latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya oleh penulis maka
penulis merumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang Kartosoewirjo membangun organisasi
DI/TII?
2. Bagaimana latar belakang idiologi dan tujuannya membentuk NII?
3. Bagaimana organisasi DI/TII setelah Kartosoewirjo?
D. Tujuan Penelitian Dan Manfaat
Penulis disini akan memaparkan tujuan dan manfaat dari apa yang telah di
paparkan dalam skripsi
1. Tujuan Penelitian:
Ada tiga tujuan yang penulis ingin capai melalui penelitian ini yaitu:
a. Mengungkapkan latar belakang Kartosoewirjo membuat organisasi
DI/TII

3
b. Mengungkapkan idiologi dan tujuan dari deklarasi Negara Islam
Indonesia (NII)
c. Mengungkapkan organisasi DI/TII pasca Kartosoewirjo
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan bermanfaat bagi berbagai pihak yang ingin
mengetahui dan mempelajari tentang peranan organisasi DI/TII di Jawa Barat.
a. Tulisan ini diharapkan dapat memberi pengetahuan dan wawasan bagi
pembaca tentang latar belakang Kartosoewirjo mendirikan organisasi
DI/TII
b. Tulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan kepada pembaca
agar bisa lebih mendalami persoalan idiologi dan tujuan dari
proklamasi NII
c. Tulisan ini diharapkan dapat menambah referensi untuk penulisan
selanjutnya.
E. Kerangka Teori
Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis merasa perlu adanya dukungan
teoritis untuk mencari jalan keluar dalam pembahasan yang akan diangkat, maka
penulis merasa perlu adanya teori yang relevan dengan judul yang penulis angkat
ini.
Dalam karya ilmiah ini agar lebih terstruktur tulisannya maka penulis
menggunakan teori yang dikemukakan oleh Peter Burke dalam bukunya “Sejarah
dan Teori Sosial” yaitu teori sejarah struktural yang mana sejarah struktural
adalah sebuah teori pendekatan dalam ruang lingkup sejarah sebuah analisis
fungsional yang tidak hanya menbicarakan tentang masyarakat dalam satu kaum
saja melainkan juga sebuah hal yang membuat masyarakat tersebut terkonsep juga
mengacu kepada institusi kompleks seperti keluarga, kelompok masyarakat,
negara, sistem peradilan dan sebagainya.4 Kemudian teori yang terakhir yang
penulis gunakan adalah teori struktural-konsensus yang dikemukakan oleh Pip
Jones dalam bukunya “Pengantar Teori-Teori Sosial”, yang mana teori struktural-

4
Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, Ed. II, (Jakarta: Yayasan Obor), h. 200

4
konsensus merupakan teori yang mempelajari perilaku suatu manusia atau
kelompok dari apa yang mereka pelajari. Teori struktural-konsesnsu ini
berpendapat bahwa aturan-aturan yang ada dalam suatu kelompok masyarakat
adalah salah satu kunci menentukan perilaku suatu anggota kelompok tersebut
yang menyalurkan tindakan-tindakan mereka dengan cara-cara tertentu yang
mungkin berbeda dari satu kelompok masyarakat lainnya baik itu agama, suku,
dan bangsa. Teori struktural-konsensus ini tidak bisa digunakan dalam bentuk
khusus yakni dalam bentuk perorangan atau individu.5

F. Tinjauan Pustaka
Hal yang paling diperhatikan oleh penulis agar karya ilmiah dapat
dipertanggung jawabkan, tentu memang harus mempunyai dasar yang kuat yaitu
dengan tinjauan kepustakaan. Setiap penelitian ilmiah tidak dilakukan dengan cara
sembarangan tanpa disertai dengan literatur yang relevan. Oleh karena itu tinjauan
pustaka yang dikemukakan di bawah ini berdasarkan literatur dan dengan
sendirinya disesuaikan dengan tema/judul penelitian. Berdasarkan penelitian yang
sudah ada, belum ditemukan yang membahas judul ini secara terperinci.
Pertama, buku yang ditulis oleh C. Van Dijk dengan judul Darul Islam
Sebuah Pemberontakan. Buku tersebut diterbitkan pada bulan Mei 1983, dalam isi
dari buku ini ialah membahas tentang DI/TII secara keseluruhan seperti DI/TII
Jawa Barat, DI/TII Jawa Tengah, DI/TII Sulawesi, DI/TII Kalimantan dan DI/TII
Aceh. Tetapi dalam skripsi ini penulis lebih pokok membahas tentang DI/TII Jawa
Barat dan yang membedakan pula penulis akan membahas tentang konsep Negara
Islam Indonesia.
Kedua, buku yang ditulis oleh Al Chaedar yang berjudul Sepak Terjang
KW9 Abu Toto (Syekh A.S. Panji Gumilang) Menyelewengkan NKA-NII Pasca
S.M. Kartosoewirjo diterbitkan oleh Madani Press, Jakarta. Dalam pembahasan
mendalam buku tersebut ialah DI/TII pasca Kartosoewirjo, sedangkan yang akan
5
Pips Jones, Liza Brdbury, Shaun Le Boutiller, Pengantar Teori-Teori Sosial, Ed. II,
(Jakarta: Yayasan Obor), h. 8-10

5
ditulis di dalam skripsi ini bukan hanya membahas tentang DI/TII paca
Kartosoewirjo tetapi lebih kepada kepemimpinan DI/TII Kartosoewirjo di Jawa
Barat dan pembantukan konsep Negara Islam Indonesia.
Tiga, sekripsi yang ditulis oleh Nova Bela Paramitha dengan judul “Peran
Kamran dalam Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat Pada Tahun 1949-1951”
yang ditulis disini ialah sejarah peran Kamran dalam pemberontakan DI/TII di
Jawa Barat, serta tentang kepemimpinan Kamran yang berpengaruh di dalam
pemberontakan melawan Belanda, tetapi penulis di sini akan menjelaskan
kepemimpinan Kartosoewirjo bukan kemudian kepemimpinan Kamrannya di
Jawa Barat. Meskipun Kamran di sini sangat berpengaruh dalam organisasi
pemberontakan DI/TII di Jawa Barat.
G. Metode Penelitian
Metode sejarah adalah suatu proses menguji dan menganalisis secara
kritis terhadap rekaman dan peninggalan masa lampau berdasarkan data-data yang
telah diperoleh. Metode yang digunakan dalam studi ini ialah metode historis
dengan pendekatan sosiologi. Pendekatan sosiologi merupakan suatu pendekatan
yang bertujuan untuk mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat yang
berkaitan dengan adat istiadat, kebiasaan, kehidupan dan tingkah laku. Metode
hitoris adalah sebuah penelitian yang tujuannya mendeskripsikan dan
menganalisis peristiwa-peristiwa masa lampau yang bertumpu pada lima langkah
menurut Kuntowijoyo yaitu:

a. Pemilihan Topik
Tahap awal dalam melakukan penelitian maupun penulisan yaitu
menentukan topik. Penentuan topik menjadi penentu langkah apa yang
akan dilakukan selanjutnya agar penulis fokus dalam pencarian
sumber. Penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai
Strategi Politik Kartosoewirjo membuat Negara Islam Indonesia (NII)
dari sebelum sampai sesudah kemerdekaan. sebagai judul skripsi tidak
terlepas dari faktor intelektual penulis sebagai seseorang yang
memiliki ketertarikan untuk membahas persoalan gerakan DI/TII.

6
b. Pengumpulan Sumber (Heuristik)

Heuristik merupakan tahapan pertama yaitu tahapan pengumpulan


sumber. Pengumpulan sumber yang dilakukan penulis melalui data
tertulis berupa dokumen, buku-buku, surat kabar. Untuk itu penulis
dalam melakukan penelitian ini menggunakan suatu alat pengumpulan
data penelitian berupa: Library Research (Penelusuran Kepustakaan)
yang dimaksud di sini adalah penulis mengadakan penelusuran
terhadap data-data tertulis, berupa buku-buku, surat kabar dan skripsi-
skripsi yang berhubungan dengan tema skripsi, terkait dengan
pencarian sumber penulis mencarinya di perpustakaan utama UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Adab dan Humaniora,
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Sumber-sumber yang
diperoleh kemudian dikategorikan berdasarkan sifatnya yaitu:

1. Sumber primer

Sumber primer adalah suatu dokumen atu sumber informasi yang


berkaitan langsung dengan peristiwa yang akan diteliti. Adapun
sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa wawancara
terhadap tokoh yang pernah ikut DI/TII, Naskah proklamasi NII,
terbitan dari laskar DI/TII dan surat kabar.

2. Sumber sekunder

Sumber sekunder merupakan sumber pendukung yang dapat


digunakan penulis untuk menggali informasi lebih mendalam
mengenai tema yang diteliti. Melalui penelusuran Kepustakaan Library
Research yaitu berupa buku-buku, skripsi-skripsi dan jurnal yang
terkait dengan tema serupa.

c. Verifikasi

Verifikasi ada dua macam yaitu autentisitas (keaslian sumber)


atau kritik eksteren, dan kredibilitas atau kritik intern. Kritik sumber

7
merupakan tahap setelah melakukan pengumpulan data. Dalam tahap
ini penulis menganalisis dan mengkritisi sumber-sumber yang didapat
agar mendapatkan sumber yang valid dan relevan dengan tema yang
diteliti. Penulis berusaha mencari sumber-sumber yang dapat
dipertanggung jawabkan kebenaranya, serta melakukan kritik sumber
dengan membandingkan berbagai macam sumber yang telah didapat
baik itu sumber tertulis maupun tidak tertulis. Penulis melakukan kritik
sumber terhadap sumber primer yang merupakan berasal dari surat
kabar dan lainnya. Kritik sumber dilakukan untuk mengetahui keaslian
dokumen tersebut sehingga kredibilitasnya tidak diragukan.

d. Interpretasi
Menguraikan informasi dari data-data dan sumber yang sudah
diperoleh serta sudah dipilih merupakan tahap dimana peneliti harus
bisa berfikir logis dan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu sejarah.
Setelah sumber-sumber yang didapat dianalisis, tahapan selanjutnya
yang dilakukan penulis mencoba menafsirkan terhadap sumber yang
ditemukan oleh penulis, sehingga dapat menemukan pemecahan atas
permasalahannya.

e. Penulisan Sejarah (Historiografi)


Tahap ini merupakan tahap akhir dari sebagai penulisan akhir
yang berupa skripsi sebagai tugas akhir dalam perkuliahan di Program
studi Sejarah dan Peradaban Islam.

H. Sistematika Penulisan
Agar dalam penulisaan karya ilmiah ini menjadi terarah dan tidak melebar,
maka penulis membuat sistematika penulisan yang disusun per bab. Karya ilmiah
ini terdiri dari lima bab, dan setiap bab memiliki sub bab yang menjadi penjelasan
dari masing-masing bab tersebut. Adapun sistematika penulisan dari karya ilmiah
ini sebagai berikut:

8
Bab I membahas tentang pendahuluan, yang menjabarkan tentang latar
belakang, permasalah yang berisikan tentang identifikasi masalah, rumusan
masalah, batasan masalah, kemudian tujuan dan manfaat, tinjauan pustaka,
kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II membahas tenttang latar belakang kondisi sosial Jawa Barat, yang
menjabarkan tentang letak geografis Jawa Barat, kondisi sosial keagamaan
masyarakat Jawa Barat sebelum Islam, muncul dan berkembangnya Islam di Jawa
Barat, peran organisasi Islam di Jawa Barat.
Bab III membahas tentang sejarah perjuangan SM. Kartosoewirjo
membentuk organisasi DI/TII, yang menjabarkan tentang latar belakang
Katosoewirjo, lahir dan berkembangnya organisasi DI/TII, hari terakhir
Kartosoewirjo.
Bab IV konsep negara Islam Menurut Kartosoewirjo dan organisasi DI/TII
pasca Kartosoewirjo, yang menjabarkan tentang konsep negara menurut
Kartosoewirjo, kepemimpinan DI/TII pasca Kartosoewirjo, hubungan antara eks
DI dan RI, DI/TII menjadi Komando Jihad.
Bab V membahas tentang penutup, yang dibahas pada bab ini antara lain
kesimpulan dan saran.

9
BAB II

KONDISI SOSIAL JAWA BARAT

A. Letak Geografis Jawa Barat


Berdasarkan sejarah, Jawa Barat merupakan provinsi pertama yang dibentuk
oleh pemerintahan Indonesia di masa penjajahan Belanda. Bagi kalangan Belanda
Jawa Barat disebut West Java Provinci dan bagi kalangan Pribumi Jawa Barat
dikenal dengan nama Pasundan. Pada tahun 1901 Jawa Barat dijadikan wilayah
untuk melaksanakan janji pemerintahan Belanda untuk memberikan hak otonomi
terhadap pemerintahan Indonesia. Pada tahun berikutnya baru dibentuk provinsi
Jawa Tengah dengan sebutan Midden Java Provinci dan provinsi Jawa Timur
Oost Java Province.
Selain dikenal dengan Pasundan dan West Java Provinci, Jawa Barat dikenal
dengan sebutan Sunda Island. Sebutan tersebut ada akibat dari munculnya benua
Asia, dan Jawa Barat yang merupakan gugusan dari pulau Jawa. Pembagian
kepulauan tersebut masih sejalan dengan peta Portugis dan Belanda, mereka
membagi Nusantara menjadi dua gugusan kepulauan yaitu kepulauan Sunda Kecil
dan Sunda Besar.6
Dilihat secara geografis, Jawa Barat terletak diantara 5°50 – 7°50 LS dan
104°48 – 104°48 BT dengan batas-batas wilayahnya, sebelah utara perbatasan
dengan Laut Jawa dan DKI Jakarta, sebelah Timur berbatasan dengan provinsi
Jawa Tengah, sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, sebelah
Barat berbatasan dengan provinsi Banten dan Selat Sunda. Jawa Barat mempunyai
daratan dan pulau-pulau kecil, (48 Pulau di Samudera Indonesia, empat pulau di
laut Jawa, 14 pulau di teluk Banten dan 20 pulau di selat Sunda), luas wilayah
Jawa Barat 44.354,61 Km2 atau 4.435.461 Ha. Melihat kondisi geografis yang
sangat setraregis menjadi keuntungan Jawa Barat, terutama di dalam hal
komunikasi dan perhubungan. Kawasan utara memang merupakan kawasan

6
Yosep Iskandar, Sejarah Jawa Barat, (Yuganing Rajakawasa, Bandung : CV Geger
Sunten, 1997), hal. 4.

10
daratan rendah dan kawasan selatan meliputi bukit-bukit dengan sedikit pantai dan
gunung disekitar kawasan tengah.
Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki berbagai potensi dan dapat
diberdayakan: Sumber daya air, sumber daya alam, pemanfaatan lahan, sumber
daya hutan, sumber daya pesisir dan laut serta sumber daya perekonomian yang
cukup melimpah. Selain itu Jawa Barat juga memunyai iklim yang terkenal tropis
dengan suhu 9°C di puncak Gunung Pangrango dan 34 °C di pantai Utara dan
curah hujan rata-rata 2.000 mm per tahun. Namun dibeberapa daerah pegunungan
antara 3.000 sampai 5.000 mm per tahun, selain itu Jawa Barat mempunyai
pemandangan yang indah.7
Pesisir laut merupakan jalur yang digunakan untuk melakukan perdagangan
sehingga menjadi salah satu pusat perekonomian dijalur maritim. Perkembangan
agama dan pemikiran sering dilakukan dalam proses perdagangan tersebut, Maka
dari itu sebelum masuknya Islam ke Indonesia khususnya Jawa Barat dalam
proses perdagangannya India terlebih dahulu melakukan penyebaran agama
Hindu-Budha di tanah Sunda pada saat kerajaan Tarumanegara.

B. Kondisi Sosial Keagamaan Masyarakat Jawa Barat Sebelum Islam


Sebelum Islam masuk ke Indonesia masyarakat Jawa Barat pada umumnya
sudah memiliki bentuk kepercayaan. Kepercayaan yang mereka kenal pertama
kali adalah kepercayaan animisme dan dinamisme yang mencapai bentuk nyata
pada zaman neolitikum dan zaman perunggu-besi. Kehidupan masyarakat pada
zaman tersebut sudah mulai menetap dan berlaku budaya bercocok tanam mulai
1500 SM.8 Bukti peninggalannya ialah berupa megalith atau kebudayaan batu
besar seperti tugu-tugu tegak (menhir), meja batu (dolmen) kubur-kubur,dan
punden atau candi yang ditemukan dibeberapa daerah di Jawa Barat, seperti
Lebak Banten Selatan Salak Datar, Cangkuk, Panggujangan Leles Garut, Cibuntu

7
Pemerintah Daerah Tingkat I Prponsi Jawa Barat, Selayang Pandang Propinsi Jawa
Barat (Bappeda : 2006), Cet. Ke – 1, hal. 5- 6.
8
R. Moh Ali, Sedjarah Djawa Barat : Suatu Tanggapan, (Bandung : Pemerintah Daerah
Tingkat I Jaw a Barat, 1972), h. 52.

11
Kuningan. Tetapi seiring berjalannya waktu pengaruh Hindu-Budha bisa masuk
ke wilayah Jawa Barat, maka dari itu mulai ada pergeseran kepercayaan.
Pada abad pertama masehi pengaruh India (Hindu-Budha) mulai masuk ke
Tatar Sunda yang mana bukti tersebut mulai terungkap ketika ditemukan prasasti
Ciaruten, yang secara jelas menyebutkan bahwa Purnawarman adalah penganut
agama Hindu aliran Waisnawa.9 Namun dilihat dari prasasti peninggalannya, tidak
seluruhnya penduduk kerajaan Tarumanegara menganut agama Hindu, Karena
Purnawarman sendiri selain menganut paham Hindu ia masih memegang teguh
kepercayaan yang telah menyatu dengan pribumi. 10
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Waisnawa merupakan
agama Hindu pertama yang berkembang di Jawa Barat. Hal itu bisa dilihat dari
penemuan patung Wisnu Cibuaya di Karawang dan penemuan patung Wisnu
Taruju di Telaga. Pada saat itu Karawang dan Telaga termasuk dalam wilayah
kerajaan Tarumanagara.11 Begitu pula di Indramayu dengan penemuan benda
Laksmi (sakti wisnu), dari kerajaan Tarumanaga sendiri. Tetapi dalam
perkembangannya, kerajaan Tarumanagara terpecah menjadi dua kerajaan;
kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh sehingga upacara ke-Hinduan dengan
pemujaan kepada Wisnu terus mengalami kemudaran, aliran tersebut kian didesak
dengan aliran Syiwa dan Buddha (abad 14 Masehi).12 Pemujaan dewa Syiwa bisa
dibuktikan dengan ditemukannya patung-patung Buddha di beberapa daerah
Jawa Barat.13

9
Sri Yoeliawati, Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Daerah Banten dan
Sekitarnya, (Bandung : Universitas Padjajaran,1987), h. 38.
10
R. Moh Ali, Sedjarah Djawa Barat : Suatu Tanggapan, (Bandung : Pemerintah Daerah
Tingkat I Jawa Barat, 1972), h. 58.
11
R. M. Eddy Ashari, Sejarah Seni dan Budaya Jawa Barat I, (Jakarta: Proyek Media
Kebudayaan Jawa Barat, DEPDIKBUD, 1977), hal. 43.
12
Saleh Danasasmita, Sejarah Jawa Barat : Rintisan Penelusuran Masa Silam Jilid ke-
3,(Bandung : Sundanologi & Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat, Propinsi daerah Tingkat
I Jawa Barat, .1983-1984), hal. 39

13
R. M. Eddy Ashari, Sejarah Seni dan Budaya Jawa Barat I, (Jakarta: Proyek Media
Kebudayaan Jawa Barat, DEPDIKBUD, 1977), hal.44-45.

12
Naskah Sanghyang Siksakandang menyebutkan bahwa agama Hindu dan Budha
telah bercampur dengan kebudayaan masyarakat setempat yang lebih menjujung
tinggi roh leluhur yaitu hyang dan lebih dihubungkan dengan ajaran Hindu. 14
Tetapi sesungguhnya kata ini mempunyai akar yang sangat tua, yakni
kepercayaan animisme dan dinamisme yang memuliakan roh nenek moyang serta
roh penghuni batu, gunung, pohon, juga tempat-tempat lainnya yang dianggap
sakral. Adanya kepercayaan tersebut bisa disebutkan bahwa agama orang
Pajajaran bersendikan hyang atau Batara Seda Niskala, dan menempatkan dewa-
dewa terpenting, serta agama Hindu di bawahnya. Maka dari itu agama Hindu
telah kehilangan vitalitasnya, sisa-sisa agama itu hanya akan dianggap tradisi
tanpa dikaitkan lagi dengan India. Sehingga pada abad ke 14 masehi setelah
kontak keagamaan Jawa Barat dan India terputus maka agama tersebut tertelan
oleh unsur-unsur asli kepercayaan penduduk. 15
Jawa Barat merupakan wilayah yang sangat sedikit ditemukan prasasti atau
naskah sastra karena kebiasaan menulis bukanlah ciri utama masyarakat ladang
apalagi mendirikan istana atau prasasti candi misalnya. 16 Selain pertanian dan
perladangan, masyarakat Jawa Barat sebelum datangnya Islam memiliki
penghidupan lain yaitu perdagangan melalui pelabuhan. Hal tersebut terungkap
dengan keberadaan masyarakat Sunda yang mengenal jasa, biasanya diambil dari
tempat-tempat tertentu seperti pelabuhan, muara sungai dan tempat-tempat
penyebrangan. 17

14
Saleh Danasasmita, Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian dan Amanat
Galunggung ( transkip dan terjemahan), Bandung : Sundanologi & Proyek Penerbitan Buku Sejarah
Jawa Barat, Propinsi Daerah Tingkat I, Jawa Barat, 1987, hal.74.
15
Saleh Danasasmita, Sejarah Jawa Barat : Rintisan Penelusuran Masa Silam Jilid ke-
3,( Bandung : Sundanologi & Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat, Propinsi daerah
Tingkat I Jawa Barat, .1983-1984), hal. 41-42
16
Ayatrohaedi, Masyarakat Sunda sebelum Islam, (Data Naskah, Lembaga Penelitian
Universitas Indonesia, Jakarta, 1987), hal. 32.
17
Saleh Danasasmita, Sejarah Jawa Barat : Rintisan Penelusuran Masa Silam Jilid ke-
IV,(Bandung : Sundanologi & Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat, Propinsi daerah
Tingkat I Jawa Barat, 1983-1984), hal.5

13
C. Muncul dan Berkembangnya Islam di Jawa Barat
Penulis sudah menjelaskan di atas bagaimana kondisi Jawa Barat sebelum
datangnya Islam, dilihat dari kondisi sosial, ekonomi, dan kebudayaan. India
pernah melakukan agresi budaya di wilayah Jawa Barat, sehingga bisa timbul dan
berkembang kerajaan yang bercorak Hindu-Budha. Kondisi seperti itulah yang
dihadapi masyarakat Jawa Barat menjelang kedatangan Islam di Tatar Sunda. 18
Pemeluk Islam pertama kali di Tatar Sunda ialah Bratalegawa, putra kedua
dari Prabu Guru Panggandiparamarta Jayadewa Brata, penguasa kerajaan Galuh.
Tetapi Ia lebih memilih hidupnya sebagai saudagar, sehingga banyak bepergian ke
daerah-daerah dan ke negri lain, seperti semenanjung Melayu, Cina, Srilangka,
India, Persia, Sumatra, bahkan Arab. Ia mulai menjalin persahabatan di negri-
negri lain, sampai akhirnya ia banyak sahabat dan kenalan, baik sesama
nagarawan maupun penduduk setempat. Ia juga memiliki sahabat di Gujarat India
bernama Muhammad yang mempunyai anak gadis bernama Farhana binti
Muhammad. Bratalegawa pun menikahi anak Muhammad dan memeluk agama
Islam. Setelah usai pernikahannya mereka berdua melanjutkan perjalanan ke
Mekah dan Bratalegawa berganti nama menjadi Haji Baharuddin Al Jawi. 19
Dari Mekah mereka kembali ke negara asal Bratalegawa di Galuh, dan mulai
mengajak adik bungsunya yang sudah menjadi istri dari raja bawahan Galuh juga
kakak laki-lakinya yang sedang berkuasa di wilayah Cirebon Giring. Tetapi
ajakan itu gagal karena kedua saudaranya tidak mau memeluk agama Islam,
meskipun demikian mereka tidak memutus tali persaudaraan. Jika kakak dan
adiknya menginginkan bantuan, maka Bratalegawa membantunya.
Brataralegawa dan istrinya pemeluk agama Islam pertama di Galuh yang
dikenal dengan gelarnya Haji Purwa Galuh atau Haji Purwa saja, Purwa berati
pertama. Dalam proses perjalanan mereka kita bisa melihat bahwa Islam masuk ke
Indonesia tidak menyebar begitu saja, karena masih sedikit tokoh pemeluk agama

18
Nina H. Lubis dkk, Sejarah Tatar Sunda jilid,(Bandung: Lembaga Penelitian
Universitas Padjajaran, 2003), hal. 155.
19
Ayatrohaedi, Sundakala Cuplikan Sejarah Sunda berdasarkan Naskah-Naskah
“Panitia Wangsakerta Cirebon, (Jakarta: Pustaka jaya, 2001), hal.131.

14
Islam. Kemudian di wilayah Galuh dan Padjajaran sendiri masyarakatnya masih
memeluk ajaran Hindu. 20
Peran bangsa Arab dalam pelayaran di Asia telah dikenal sejak abad ke-4
masehi, oleh karena itu sangat mungkin jika Haji Purwa saudagar dari Galuh telah
diislamkan sejak abad ke-15, karena ada hubungan perdagangan dalam pelayaran.
Sebenarnya pada abad ke-10 Masehi perniagaan dunia Timur telah memiliki
kuasa dan menciptakan koloni-koloni sebagai tempat tinggal mereka seperti yang
ada di Sumatra dan pelabuhan Kanton. Selain berhubungan dengan pedagang dari
Arab, jalur perniagaan Indonesia juga memiliki hubungan erat dengan Timur-
Tengah, India, dan Cina, serta sebaliknya. Hubungan tersebut sudah ada sejak
terjadinya awal abad Masehi.21
Pada tahun 1416 (Masehi) Kaisar Cheng-tu atau Yeng-lo raja ke tiga dari
Dinasti Ming melakukan perintah kepada angkatan laut Cina untuk keliling
dipimpin oleh Laksamana Cheng-Ho atau Sam-po Tay-Kam yang sudah
memeluk agama Islam. Mereka mengirim 27.800 prajurit, membawa 63 kapal,
bertujuan untuk menjalin silaturahmi persahabatan antar raja-raja tetangga
Cina sebrang laut selatan. Dalam armada tersebut mereka membawa Syaikh
Hasanuddin dan singgah di pelabuhan Muara Jati Cirebon yang dikuasai oleh
Ki Gedeng Jumanjati. Ia bersahabat dengan para ulama Islam berasal dari
Mekah dan Campa, termasuk Syaikh Hasanudin dari Campa. 22 Hal ini
merupakan proses pengenalan agama Islam pada masyarakat Jawa Barat, dan
selanjutnya diikuti dengan proses Islamisasi di Jawa Barat, dilihat dari sumber-
sumber portugis dan sumber-sumber tradisi. 23
Proses Islamisasi di Jawa Barat tidak terlepas dari tiga wilayah seperti
Cirebon, Banten, dan Sunda Kelapa, karena wilayah tersebut merupakan awal
masuk dan berkembangnya Islam di Jawa Barat. Dilihat secara geografis Cirebon

20
Ayatrohaedi, Sundakala Cuplikan Sejarah…, hal. 132-135.
21
Edi S. Ekadjati, Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat” dalam Sejarah Jawa
Barat dari Masa Pra Sejarah hingga Masa Penyebaran Agama Islam, (Bandung: Proyek
Penunjangan Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi Jawa Barat, 1975), hal . 87.
22
Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari : Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan
Sejarah, (Bandung: Proyek Permuseuman Jawa Barat, 1986). hal 31
23
Ekadjati, Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat” dalam Sejarah Jawa Barat dari
Masa Pra sejarah hingga Masa Penyebaran Agama Islam...hal. 88

15
terletak di pesisir Jawa, di tepi pantai sebelah timur yang merupakan ibu kota
kerajaan Sunda pakuan Padjajaran.
Pada tahun 1513 pelabuhan Cirebon biasa disinggahi dua sampai empat kapal
berlabuh perharinya, baik untuk mengekspor kayu dalam jumlah yang cukup
banyak untuk kebutuhan membuat kapal, maupun bahan makanan berupa beras.
Pada masa itu penduduknya baru berjumlah sekitar 1.000 orang, 24 tetapi sejak
terjadinya komunikasi dengan para pedangang Internasional di kerajaan Sunda,
maka pelabuhan tersebut menjadi pusat kota.25 Proses komunikasi ini tidak
terlepas dari para pedagang dalam penyabaran agama, seperti pada awal Masehi
Hindu-Budha pernah menguasai wilayah Cirebon. Sehingga masuk dan
berkembangnya Islam di Cirebon tidak terlepas dari akulturasi budaya antara ke-
Hinduan dan Islam.
Sedangkan Banten sendiri dilihat secara geografis dan perekonomiannya,
merupakan pelabuan yang sangat strategis dalam penguasaan selat Sunda, apalagi
ketika Portugis menguasai Malaka.26 Pada tahun 1513 Banten merupakan
pelabuhan dagang milik kerajaan Sunda tetapi Portugis menggunakan pelabuhan
Banten untuk membawa barang-barangnya dari Malaka. Dalam mengembangkan
keislamannya, wilayah Banten kemudian membangun pesantren dan tarekat,
supaya pendidikan-pendidikan Islam mudah dipahami oleh masyarakat.27
Pada pelabuhan-pelabuhan tersebutlah titik awal perkembangan Islam di
Indonesia khususnya di Jawa Barat dan bisa menyebar sampai ke pelosok
pedesaan. Tetapi hal tersebut tidak terlepas dari adanya akulturasi budaya antara

24
Edi S.Eka Djati Sunan Gunung Jati; Penyebar dan Penegak Islam di Tatar Sunda.
(Jakarta: Pustaka Jaya.2005), hal. 78
25
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara. (Jakarta: KPG bekerja sama dengan
EFEO danFakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatulloh, 2009), hal. 159
26
Uka Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia. Edisi ke-4, (Jakrta: Balai Pustaka,
1993), hal. 20
27
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyaidan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2011), hal. 32.

16
kehinduan dengan Islam. Sehingga proses Islamisasi di Jawa Barat sangat cepat
dilihat dari pertumbuhannya.
Pada tahun 1596 Belanda mulai masuk ke Indonesia dengan menggunakan
empat kapal yang mendarat di pelabuhan Banten yang dipimpin oleh kapten Piter
Keyzer. Awal mula bangsa Belanda masuk ke Indonesia tujuannya untuk
berdagang, tetapi karena melihat kekayaan di Indonesa yang cukup melimpah
maka tujuan tersebut berubah. Hal ini terlihat dari semboyan 3G (Gold, Glory,
Gospel) tujuannya untuk menguasai sumber daya alam Indonesia lewat
kekuasaan, dan destabilisasi umat Islam. 28
Agar umat Islam di Indonesia tidak berkembang, Belanda membangun
sekitar 30 sekolah kristen di Indonesia dan yang paling banyak di Batavia hampir
20-an sekolah Belanda. Dalam proses mencari murid agar banyak yang belajar di
sana, mereka membuka seluas-luasnya dengan biaya yang sangat murah. Lewat
sekolah ini mereka mulai menanamkan pengaruhnya. 29 Kejadian tersebut
memancing para intelektual Islam untuk berpikir agar agama dan negaranya tetap
selamat dari penjajahan Belanda dengan mendirikan sekolah-sekolah Islam, secara
perorangan maupun secara organisasi/kelembagaan. Sistem pendidikan Islam
yang digunakan pada masa awal penjajahan Belanda ada dua yaitu sistem
pendidikan keraton dan sistem pendidikan pertapa. Sistem pendidikan keraton
sendiri ditujukan untuk anak-anak bangsawan keraton yaitu guru yang
menghampiri muridnya. Tetapi sebaliknya jika sistem pendidikan bertapa murid
yang mendatangi gurunya ke pertapaan, biasanya sistem ini untuk orang-orang
yang kondisi perekonomiannya lemah. Oleh karena itu, pendidikan Islam sendiri
tidak hanya kalangan bangsawan keraton yang mampu menempuhnya, tetapi
rakyat dengan ekonomi lemah pun dapat mengikuti pendidikan Islam tersebut.
Banyaknya pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan Islam sangat
mempengaruhi pemikir umat Islam sendiri sehingga pada awal abad ke-XX

28
Mansur dan Maffud Jaenudi, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta : Departemen Agama RI, 2005), hal.99
29
Samsul Nizar, Sejarah Dan pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, (Ciputat : Quantum
Teaching, 2005), Hal. 292

17
muncul kesadaran dan mulai membentuk organisasi-organisasi Nasional
khususnya organisasi keislaman di Jawa Barat.

D. Peran Organisasi Islam di Jawa Barat


Serikat Dangang Islam (SDI) yang dipelopori oleh Haji Samanhudi,
merupakan organisasi dagang Islam pertama di Indonesia yang didirikan di Solo
pada tahun 1905. Pada tahun 1912 SDI diganti namanya menjadi Sarekat Islam
(SI), tujuannya bukan hanya pedagang yang bisa masuk dalam organisasi ini,
tetapi orang Islam lainnya bisa masuk ke dalam organisasi SI. Eksistensi
organisasi ini mempelopori organisasi keislaman lainnya seperti Nahdatul Ulama
dan Muhammadiyah. Selain itu di Jawa Barat, organisasi keislaman yang paling
terkenal ialah Persatuan Islam (Persis), Persatuan Ummat Islam (PUI) dan DI/TII.

1. Persatuan Umat Islam (Persis)


Berdirinya organisasi Persis (persatuan Islam) sebenarnya jauh
sebelum Kartosoewirjo mengeluarkan gagasan tentang Darul Islam
(DI/TII). Organisasi Persis telah berdiri sejak tahun 1923, sementara
Kartosoewirjo mengeluarkan gagasan tentang DI/TII pada tahun 1948
setelah Indonesia melakukan proklamasi kemerdekaan. Salah satu tokoh
dari organisasi Persis ialah Ahmad Hasan yang sebenarnya bukan asli
orang Indonesia. 30 Ahmad Hasan bersal dari Singapura dan datang ke
Indonesia bertujuan untuk menjadi pedagang di Bandung. Kemudian ia
sering mengadakan diskusi-diskusi tentang situasi ke-Indonesiaan, ke-
Islaman dan persatuan.
Perjuangan Ahmad Hasan sendiri dalam organisasi tersebut
bertujuan untuk memiliki kader-kader yang kuat karena, ia menganggap
bahwa untuk menjadi pembaharu umat Islam bukan hal yang sangat
mudah. Maka dari itu ia kerap mendidik kadernya dengan pemahaman Al-
Quran dan Sunnah sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah. 31

30
Pdt. Dr. Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta :
Gunung Mulia, 2004), h. 177.
31
Abubakar Aceh, Salaf, Muhyi ats-TsuratmSalaf, Gerakan Salafiyah di Indonesia
(Jakarta:Pramata, 1970),hlm.22

18
Anggota dari organisasi ini tidak lebih dari 300 orang. Mereka
menganggap bahwa anggota yang sedikit bukanlah suatu hambatan dalam
menjalankan roda organisasinya. Untuk mencari anggota baru, mereka
menggunakan enam Mesjid di Bandung yang sudah mereka bangun.
Tetapi selain dijadikan tempat pengkaderan, Mesjid tersebut mereka
gunakan untuk melayani jemaahnya sehingga organisasi Persis bisa di
anggap positif oleh kalangan masyarakat. 32
Tujuan dari organisasi ini untuk mempersatukan umat Islam
dengan ruhul ijtihad dan jihad. Oleh karena itu, organisasi ini dinamakan
dengan Persatuan Islam. Idiologi dari organisasi ini berlandaskan pada Al-
Qur’an dan hadist. Pada tahun sebelumnya sudah berdiri organisasi Islam
yang sangat besar antara lain PSI dan Muhammadiyah, maka dari itu
terbentuknya organisasi ini untuk menyatukan organisasi-organisasi
keislaman yang ada di Indonesia.
2. Persatuan Ummat Islam (PUI)
Berdiri pada 5 april 1952, Persatuan Ummat Islam (PUI) antara
lain menguasai wilayah Majalengka dan Sukabumi. Organisasi Islam
tersebut dipelopori oleh Abdul Halim dan Ahmad Sanusi. Tetapi sebelum
PUI, Abdul Halim sudah mendirikan organisasi keislaman seperti
Madjlisoel ‘Ilmi pada tahun 1911. Sementara di wilayah Sukabumi Ahmad
Sanusi sudah mendirikn pesantren pertama kali di gunung Puyuh. Mereka
berdua merupakan penggerak nasional dan ikut melakukan perlawanan
terhadap penjajah, dengan tujuan untuk memerdekakan Indonesia.
Kedua tokoh PUI ini terlahir dari kalangan keluarga biasa, yang
tidak pernah menempuh sekolah formal. Abdul Halim merupakan orang
Majalengka, yang sejak kecil sudah menjadi anak yatim dan tinggal
dengan Ibunya Siti Mutmainah. Sejak usia 10 tahun Abdul Halim dikirim
ke Cideres untuk belajar pesantren, namun belajar baca tulis latin kepada
Verheven seorang pastur. Setelah belajar di Cideres, Abdul Halim mulai

32
Ahmad Hassan: Kontribusi Ulama dan Pejuang Pemikiran Islam di Nusantara dan
Semenanjung Melayu” dalam AlTurats, vol. XX, no. 2, (Juli 2014), h. 43-54.

19
mencari pesantren lain untuk Ia belajar. Pada usia ke 21 Ia menikah
dengan Siti Murjibah, seorang anak dari penghulu agama di Majalengka.
Pada tahun 1908 Abdul Halim berangkat menunaikan ibadah haji dan
belajar keagamaan di Mekah selama tiga tahun. Selama di Mekah Abdul
Halim dan Ahmad Sanusi bertemu dan menjalin persahabatan, sampai
mereka pulang ke Indonesia. 33
Kedua tokoh tersebut memang tidak pernah merasakan sekolah
formal, tetapi Ahmad Sanusi belajar di pesantren sejak kecil karena dididik
oleh ayahnya langsung. Sejak umur 15 tahun Ahmad Sanusi dikirim ke
pesantren-pesantren yang ada di Jawa Barat sampai lima tahun. Pada tahun
1908 Ahmad sanusi berangkat untuk menunaikan ibadah Haji ke Mekah,
sehingga tahun 1915 selepas pulang dari Mekah, Ia langsung menjadi kyai
di pesantren.
Selain dengan Abdul Halim, Ahmad Sanusi juga pernah
mendirikan organisasi yang bernama Al-Ittihadul Islamiyah tahun 1913.
Tetapi pada tahun 1944 organisasi itu diganti namanya menjadi Persatuan
Umat Islam Indonesia (PUII). Ahmad Sanusi sering melakukan dakwah-
dakwah menentang praktek kolonial di Indonesia dengan mendirikan
zakat. Pada tahun 1928 Ahmad Sanusi pernah diasingkan di Batavia dan
menjadi tahanan Kota. Kedua tokoh PUI ini memang sangat terkenal
dikalangan masyarakat dalam memberikan kesadaran tertindas kepada
anggotanya, sehingga banyak kecaman dari pihak kolonial Kolonial
Belanda sampai hari ini organisasi PUI sendiri sudah menjadi pesantren.
3. DI/TII
Lain Persis dan lain juga PUI, organisasi DI/TII juga kerap
menjadi obrolan khususnya di Jawa Barat. Lahirnya organisasi ini diawali
dengan keresahan masyarakat kepada pemerintahan yang dipimpin oleh
Soekarno-Hatta karena sudah menyepakati perjanjian bersama Belanda.

33
Hasan Husain Umar, “Al-Turats al-Ilmi li al-Islam bi Indunisiya: Dirasah fi Tafsir Malja’
al-Talibin wa Tamassiyah al-Muslimin li al-Hajj Ahmad Sanusi” dalam Studia Islamika, vol. 8, no.
1, (2001), h. 153-183.

20
Pada tahun 1947 Belanda memang kembali ke Indonesia, dengan tujuan
untuk menguasai kembali Indonesia. Sehingga pemerintahan Soekarno-
Hata bersepakat untuk melakukan perjanjian dengan pihak Belanda.
Perjanjian ini disebut dengan perjanjian Renville yang diselenggarakan
pada 18 Desember 1948. Disinilah awal mula kemarahan dari kelompok
DI/TII, karena dalam isi perjanjian Renville salah satunya harus
mengosongkan wilayah Jawa Barat serta harus segera pindah ke Jawa.
Kemudian kelompok DI/TII tidak mau mengosongkan wilayahnya,
mereka menganggap bahwa tempat yang mereka duduki ialah tempat
kekuasaan RI, bukan tempat yang dikuasai oleh pihak Belanda. 34
Oleh karena itu sangat menarik bagi penulis untuk membahas
DI/TII dengan berbagai konflik sejarah yang disuguhkannya. Misalnya,
pada tahun 1952 terjadi suatu konflik antara organisasi DI/TII dengan
pihak TNI. Kejadian tersebut akibat dari pemerintahan yang ingin
membubarkan organisasinya karena pemerintahan yang dipimpin oleh
Soekarno-Hatta menganggap bahwa organisasi DI/TII telah melakukan
makar dan ingin kudeta pemerintahan pada waktu itu.35
Keberhasilan pemerintahan bisa dilihat pada 1962, ketika
Kartosoewirjo yang merupakan idiolog DI/TII berhasil ditangkap dan
akhirnya dieksekusi mati. Tetapi sebelum dieksekusi mati, ia pernah

34
Disetujuinya perjanjian Renvile oleh pemerintahan RI menyebabkan negara Indonesia
mengalami kekosongan kekuasaan. Wilayah RI hanya tinggal Yogyakarta dan tujuh keresidenan,
dengan begitu maka semua aparatur RI harus berkumpul di Yogyakarta termasuk seluruh tentara
RI yang berada di wilayah Belanda. Kodam Siliwangi yang berada di wilayah Jawa Barat pun
telah ikut meninggalkan wilayahnya sehingga daerah-daerah yang telah ditinggalkan oleh kaum
nasionalis menjadi kekosongan kekuasaan. Kemudian pihak Belanda yang menguasai daerah
kolonialnya kembali membentuk negara-negara “boneka” buatannya sendiri. Pada kalangan kaum
muslim yang dipimpin oleh Kartosoewirjo setelah melihat kejadian tersebut maka dijadikan suatu
momentum untuk menegakan syariat Islam. Lihat Al Chaedar, Sepak Terjang KW9 Abu Toto
(Syekh A.S. Panji Gumilang) Menyelewengkan NKA-NII Pasca S.M. Kartosoewirjo, (Jakarta :
Madani Press, 2000), h.6-7. Dan B.j. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, (Jakarta
: Grafiti Press, 1985), h. 60.
35
Pokonamah bapa titahun 52 nepi ka 62 mah ah silih udag-udagan we jeung TNI da pan
tos di anggap makar tea ku pemerintahan Soekarno/Maksud dalam tulisan tersebut bahwa
kelompok DI/TII mengalami fase dimana mereka pernah kejar-kejaran bahkan sampai angkat
senjata atau melakukan perang dengan TNI karena kelompok DI/TII dituduh makar oleh
pemerintahan Soekarno-Hatta. Wawancara pribadi Bapak Komar di Garut, 28 Desember 20018.

21
mengatakan bahwa kejadian ini adalah kejadian Hudaybiah. 36 Pada
akhirnya kelompok DI/TII pasca Kartosoewirjo membuat gerakan lagi
untuk mengembalikan marwah gerakan DI/TII yang ingin menegakan
syariat Islam di Indonesia. Maka terbentuklah organisasi DI/TII dengan
nama baru yaitu Komando Jihad.
Terbentuknya organisasi Komando Jihad (komji) ini ternyata
beralih dari kiprah perlawanannya yang tadiya terbentuk DI/TII karena
menginginkan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda tetapi Komando
Jihad malah sebaliknya, mereka melakukan perlawanan kepada negaranya
sendiri. Menurut organisasi tersebut untuk menegakan syariat Islam maka
perlu melakukan gesatan senjata kembali seperti pada saat mereka
berjuang di pegunungan. Pada akhirnya banyak sekali korban yang
ditimbulkan oleh komando jihad ini, seperti kasus-kasus pembunuhan,
pemboman bahkan sampai penyandraan pesawat.37

36
Pesan Terakhir Kartosoewirjo saat di eksekusi “tah iyeuteh ngarana kajadian
Hudaybiyah”, Wawancara pribadi Bapak Komar di Garut, 28 Desember 20018, .
37
Wawancara pribadi Anonim di Garut, 15 November 20018.

22
BAB III

SEJARAH PERJUANGAN SM. KARTOSOEWIRDJO MENDIRIKAN


ORGANISASI DI/TII

A. Latar Belakang Kratosoewirjo


Sukarmadji Maridjan Kartosoewirjo 38 yang akrab dipanggil Kartosoewirjo
lahir 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang
menjadi perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah.39 Berbeda dengan tokoh Islam
lainnya ia tidak mempunyai latar belakang pendidikan agama di pesantren, justru
ia berjalan dengan pendidikan formal yang didapatkan dalam sistem pendidikan
Belanda. Kartosoewirjo memang kerap dikatakan sebagai orang yang beruntung
karena terlahir dari seorang ayah yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan
Belanda di bidang distribusi penjualan candu, hal tersebut membuat orang tuanya
dapat menyekolahkan ia di sekolah Belanda. 40
Saat umur 8 tahun Kartosoewirjo sekolah di ISTK (Inlandsche School der
Tweede Klasse),41 sekolah tersebut merupakan sekolah nomor dua bagi kalangan
bumiputra yang bertempatan di Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Empat tahun
kemudian Kartosoewirjo melanjutkan sekolah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche
School) di Rembang. Tetapi karena orang tua Kartosoewirjo pindah ke

38
Penulisan Sekarmaji Marijan Kartosuwirjo dalam skripsi ini selanjutnya ditulis
Kartosewirjo. Dalam skripsi ini penulis menyimpulkan bahwa kedudukan Kartosuwijyo adalah
sebagai seorang pemberontak terhadap kekuasaan Belanda. Penulis melihat bahwa pada masa
Kolonial Belanda kedudukan Kartosoewirjo adalah sebagai teman seiring dari pejuang-pejuang
kemerdekaan RI, namun dalam masa mempertahankan kemerdekaan, ketika pemerintah RI lebih
memilih untuk menempuh jalan perundingan diplomasi dengan Belanda dari Linggarjati,
Renville dan Konverensi Meja Bundar (KMB) Kartosowirjo selalu berada pada posisi yang tidak
setuju dengan hasil perundingan-perundingan tersebut.. Lihat Hersri Setiawan & Joebar Ayoeb.
(1982). SM. Kartosuwiryo, Orang Seiring Bertukar Jalan, Prisma, No. 5 Tahun XI, hlm. 96.
Lihat juga Ruslan, dkk., Mengapa Mereka Memberontak? Dedenglot Negara Islam Indonesia.
Yogyakarta: Bio Pustaka, 2008, hlm vii.
39
Al-Chaidar, PemikiranPolitikProklamator Negara Islam Indonesia..., hal. 14. Lihat
juga wawancara pribadi eks DI/TII jawabarat Anonim di Garut, 15 November 20018.
40
Kartosoewirjo merupakan orang yang mampuh dalam kehidupan materialnya sehingga
ia bisa mendapatkan pendidikan yang tinggi. wawancara pribadi eks DI/TII jawabarat Anonim di
Garut, 15 November 20018. Lihat juga dalam bukunya Ruslan, dkk. Mengapa Mereka
Memberontak? Dedenglot Negara Islam Indonesia, (Yogyakarta: Bio Pustaka, 2008), hlm 3.
41
Damien Dematra, Kartosoewirjo Pahlawanatau Teroris, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Umum. 2011), hal. 11.

23
Bojonegoro, maka Kartosoewirjo pun bersekolah di ELS (Europeesche Lagere
School) sekolah untuk orang Eropa di Bojonegoro. Bagi seorang putra pribumi
HIS dan ELS merupakan sekolah elite yang memberlakukan kecerdasan dan bakat
khusus untuk memasuki sekolah tersebut.
Selama di Bojonegoro Kartosoewirjo bertemu dengan guru rohaninya yang
bernama Notodihardjo, seorang tokoh Islam modern di Muhammadiyah dan
seorang pemuka Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) di Bojonegoro.42 Pemikiran
Islam modern itulah yang Notodihardjo ajarkan kepada Kartosoewirjo dan sangat
mempengaruhinya dalam merespon ajaran-ajaran Islam. 43
Dalam proses perjalanannya mencari ilmu pada tahun 1923 Kartosoewirjo
meneruskan pendidikan di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS),
sekolah kedokteran Belanda di Surabaya. 44 Di sana ia mengikuti kelas persiapan
selama tiga tahun, namun Kartosoewirjo hanya bertahan selama satu tahun, karena
ia dituduh memiliki buku-buku sosialis dan komunis sehingga Kartosoewirjo
dikeluarkan dari sekolahnya. Pada saat itu isu tentang komunis memang sangat
sensitif di mata orang kolonial, pandangan tersebut di karenakan komunis kerap
melakukan aksi-aksi pemberontakan di Indonesia. Maka dari itu Kartosoewirjo
dikeluarkan dari sekolahnya karena mempunyai buku radikal menurut orang
Belanda. Buku-buku tersebut Kartosoewirjo peroleh dari pamannya Marko
Kartodikromo. Ia merupakan seorang wartawan dan sastrawan yang dikenal
sebagai tokoh komunis. Interaksi dengan sang paman ini lah yang menimbulkan
kesadaran politik Kartosoewirjo, sehingga ia bisa membentuk dan membangun
organisasi seperti Jong Java dan Jong Islamieten Bond.45

42
Guru ngaji Kartosoewirjo yang pertama ialah Notodiharjo, aktivis Partai Sarekat Islam
Indonesia sekaligus Muhammadiyah di Bojonegoro. Penampilan Notodihardjo tipikal Islam Jawa :
tuturkatanya halus dan dia selalu menggunakan belangkon, beskap dan selop. Selebihnya
Kartosoewirjo tidak pernah masuk pesantren, ia mempelajari agama secara serabutan dari kiyai-
kiyai yang ditemuinya. Lihat SM Kartosoewirjo, Haluan Politik Islam...,hal. 20.
43
Irfan S. Awwas, TrilogiKepemimpinan Negara Islam Indonesia: Menguak Perjuangan
Umat Islam dan Pengkhianata Kaum Nasionalis-Sekuler, (Yogyakarta: Uswah, 2008), hlm.351.
44
Damien Dematra, Kartosoewirjo Pahlawanatau Teroris..., h. 65.
45
Holk H Dengel, Darul Islam dan Kartosuwiryo..., h. 8

24
Sebelum membentuk organisasi DI/TII Kartosoewirjo aktif dalam organisasi
Jong Java walau hanya sebentar, karena menurutnya anggota dari organisasi Jong
Java lebih radikal. Maka dari itu Kartosoewirjo mendirikan Jong Islamieten Bond
yang lebih menyuarakan aspirasi Islam. 46 Dia memilih hijrah ke organisasi baru
ini karena dianggap lebih membela keislaman, selain itu tujuan dari organisasi
tersebut satu pandangan dengan Kartosoewirjo. Dalam perjalanan untuk
menjalankan organisasinya ia mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh Islam seperti
Agus Salim dan Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpi PSI (Partai Syarekat
Islam).
Bukan hanya berguru keislaman kepada Notodiharjo, Kartosoewirjo pun
berguru kepada Haji Oemar Said Tjokroaminoto ketika ia di Surabaya. Di rumah
tokoh pendiri Syarekat Islami inilah Kartosoewirjo mulai belajar membangun
organisasi dan memperdalam pemahaman politiknya. Di tempat tersebut
berkumpul para penggerak kemerdekaan, diantaranya Soekarno yang memimpin
Partai Nasionalis Indonesia, Samaoen yang menjadi pemimpin Partai Komunis
Indonesia dan Kartosoewirjo yang akhirnya berkiprah menjadi imam DI/TII. (“Da
ari dinu namina sejarahmah muridna pa Tjokroaminoto teh seeur nga rebu-rebu, ngan nujadi ngan
tilu, sok dietang dina pendidikan oge. Hiji Samaun, dua Soekarno, tilu Kartosoewirjo” /sebenarnya
murud Tjokroaminoto banyak bahkan sampai beribu-ribu, tetapi yang menjadi pimpinan hanya ada
tiga yaitu Samaoen, Soekarno dan Kartosoewirjo).47 Mereka pernah sama-sama berdiam

diri dan mencari ilmu di rumah Tjokroaminoto.


Dalam perjalanan hidup seperti yang dijelaskan sebelumnya, Kartosoewirjo
memang tidak pernah duduk di lingkungan pendidikan pesantren, ia hanya
mempelajari agama dari kiai-kiai jalanan yang ditemuinya semasa ia mencari ilmu
dalam pendidikan formal. Di antara kiyai yang ditemuinya ialah Notodiharjo dan
Tjokroaminoto yang merupakan ulama besar penggerak organisasi. 48 Maka dari
itu pemikiran besar yang ia miliki untuk membangun organisasi tidak terlepas dari
pemikiran Notodiharjo dalam melatih keislaman modern dan Tjokroaminoto

46
Cornelis van Dijk, ,Darul Islam:Sebuah Pemberontakan..., h. 13.
47
Wawancara pribadi Bapak Didi di Garut, 29 Desember 2018.
48
Al Chaidar, PemikiranPolitikProklamator Negara Islam Indonesia..., h. 29.

25
melatih dalam mengembangkan organisasi politik. Di sisi lain, Kartosoewirjo
mempertajam keilmuan di bidang komunikasi dengan cara mendengarkan pidato-
pidato Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Untuk mengganti biaya hidup selama di rumah Tjokroaminoto maka
Kartosoewirjo bekerja di Fajar Asia. Kartosoewirjo pernah ditugaskan untuk
menulis koran dengan tema anti kolonial, karena pada waktu itu media Fajar Asia
digunakan sebagai alat perlawanan kepada Belanda, sampai pada akhirnya
Kartosoewirjo naik pangkat menjadi pimpinan redaksi. Di rumah Tjokroaminoto
kegiatan Kartosoewirjo bukan hanya menulis tetapi turut bergabung dengan partai
Syarikat Islam. Pada tahun 1929 kursus ilmu politik dan Islam di rumah
Tjokroaminoto telah selesai, tetapi Kartosoewirjo ditunjuk untuk menjadi wakil
Partai Sarekat Islam Indonesia di Jawa Barat, maka ia hijrah dari Surabaya ke
Malangbong Garut salah satu kota di Jawa Barat dan menjadi basis Kartosoewirjo
dalam memimpin Darul Islam. 49
Ketika Kartosoewirjo menjalankan tugasnya di Garut, ia pun mulai bertemu
dengan para tokoh penggerak PSII yang ada di Garut salah satunya ialah
Ardiwisastra. Ia memiliki anak bernama Dewi Siti Kalsum, kemudian
Kartosoewirjo sambil menjalankan tugasnya ia pun berkenalan dengan anak
Ardiwisastra. Sampai akhirnya pada bulan April 1929 Kartosoewirjo
menikahinya. 50
Sebelum membangun Darul Islam Kartosoewirjo sempat bergabung terlebih
dahulu di organisasi Masyumi, sampai pada akhirnya ia menjadi salah satu
pimpinan di organisasi tersebut. Menurut Belanda organisasi Masyumi direstui
oleh Jepang dengan harapan organisasi tersebut bisa membantu dalam perang,
tetapi kejadian sebenarnya para pendiri Masyumi Kiai Haji Wachid Hasyim,
Mohammad Natsir, Kartosoewirjo dan lainnya, menghendaki organisasi tersebut
dapat menghadirkan semangat Islam dalam perang kemerdekaan dan melawan
segala bentuk penjajahan di Indonesia.

49
Cornelis van Dijk, ,Darul Islam:Sebuah Pemberontakan..., h. 19.
50
Holk H Dengel, Darul Islam dan Kartosuwiryo..., h. 10.

26
Kartosoewirjo memang bukan pendatang baru dalam organisasi keislaman,
bahkan di Masyumi ia sempat menjabat sebagai sekertaris 1 dan sudah aktif
didalam Majelis Islam Alaa Indonesia (MIAI) salah satu organisasi yang menjadi
cikal bakal Masyumi. 51 Dibantu dengan beberapa pimpinan Masyumi lainnya
Kartosoewirjo bisa membangun lima cabang MIAI di wilayah priangan, sehingga
pada tanggal 7 November 1945 Kartosoewirjo memberikan suatu usulan
kepada Wahid Hasyim, Natsir dan anggota lainnya untuk menyatakan bahwa
Masyumi harus menjadi partai politik.52 Namun dalam programnya harus
membentuk suatu hukum yang berlandaskan ajaran Islam.
Kartosoewirjo mendapatkan tugas dalam pembangunan Masyumi di
wilayah priangan, sehingga pada bulan Juni 1946 Partai Masyumi melakukan
kongres di wilayah priangan lebih tepatnya di Garut. Hasil dalam kongres
tersebut yang ditunjuk sebagai ketua umum ialah Kiai Haji Mochtar
sedangkan Kartosoewirjo terpilih sebagai wakilnya. Nama tokoh politik Islam
setempat seperti Isa Anshari, Sanusi Partawidjaja, KH Toha dan Kamran
masuk dalam kepengurusan. Pembentukan program idiologi yang harus di
jalankan oleh Partai Masyumi yaitu memahami ajaran Islam yang Rahmatan
Lilalamin, menjaga persatuan dan menghentikan konflik perbedaan idiologi.
Menurut Kartosoewirjo jika kita terus terjebak dalam konflik sesama bangsa
maka hanya akan menguntungkan Belanda. Maka dari itu Partai Masyumi
harus mempunyai tujuan untuk mempersatukan seluruh organisasi keislaman
yang ada di Indonesia.
Selepas dari Masyumi Kartosoewirjo melakukan perjalanan panjang untuk
membangun organisasi baru yaitu DI/TII. Organisasi DI/TII mulai berdiri di
Jawa Barat dan diproklamasikan pada tahun 1949, setelah organisasi tersebut
meluas di Jawa Barat maka daerah-daerah lain pun mulai mengikuti langkah
dari DI/TII seperti Aceh, Sumatra, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Masing-
masing mempunyai pemimpin dalam gerakannya, tetapi tepusat kepada
Kartosoewirjo yang sudah ditunjuk oleh 450 ulama untuk menjadi Imam

51
Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia..., h.55.
52
Dewanto, kartosoewirjo, mimpi negara Islam (jakarta: KPG, 2011). hal. 28

27
Islam Indonesia.53 “Lamun menurut sejarahna 49 ngangkat Imam teh anu lobana kiyai 450/ia
menerangkan sejarah tahun 49 dimana pada waktu itu ada suatu proses besar di dalam tubuh
DI/TII dengn terbentuknya imam Islam Indonesia.”54
Dalam kutipan lain menjelskan pula bahwa proses penunjukan imam Islam
Indonesia dilakukan oleh 450 ulam, proses penunjukan tersebut melalui
musyawarah mufakat, sampai pada akhirnya Kartosoewirjo yang berhasil diangkat
menjadi Imam Islam Indonesia. Sebelum melakukan proses penunjukan imam
mereka melakukan puasa terlebih dahulu, menurut mereka agar pengangkatan
imam tersebut bisa diridhoi oleh Allah SWT. 55

B. Lahir dan Berkembangnya Organisasi DI/TII


1. Berdirinya TKR di Seliwangi
Tentara Kemanan Rakyat (TKR) merupakan nama angkatan perang
pertama yang dibentuk oleh pemerintahan Indonesia, pembentukan TKR
dilakukan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia yaitu pada 5 Oktober
1945.56 Hal tersebut mengacu pada maklumat yang dikeluarkan oleh
pemerintahan Republik Indonesia, berikut merupakan susunan TKR yang
terbentuk di Jawa Barat.
1. Panglima Komandemen:
Mayor Jenderal Didi Kartasasmit
2. Kepala Staf:
Kolonel A.H. Nasution
3. Staf Komandemen:
Letnan Kolonel Kartakusumah, Mayor Akil, Mayor Kadir, Mayor
Suryo, dan Kaptem Satari.

TKR di Jawa Barat memiliki 13 resimen yaitu resimen Garut, resimen


Sumedang, resimen Tasikmalaya, resimen Jatiwangi, resimen Padalarang, resimen

53
Wawancara Bapak Iin di Garut, 15 November 20018
54
pengangkatan Imam Islam Indonesia, wawancara pribadi eks DI/TII Jawa Barat
Anonim di Garut, 15 November 20018.
55
Wawancara Bapak Iin di Garut, 15 November 20018
56
Abdullah Hamid, Pendidikan Karakter Berbasis Pesantren, (Surabaya : IMITIYAZ,
2017), Hal. 126

28
Bandung, resimen Cirebon, resimen Purwakarta, resimen Sukabumi, resimen
Tangerang, resimen Cikampek, resimen Bogor dan resimen Banten. Tetapi pada
saat itu ada dua penambahan resimen yaitu resimen Rangkasbitung dan resimen
Perjuangan, jadi TKR di Jawa Barat bertambah menjadi 15 resimen, pada hari
kebangkitan Nasional divisi ini dilebur menjadi satu yitu divisi Seliwangi.
Begitupun DI/TII mereka membentuk tentara dengan beberapa divisi dengan
tujuan untuk mempunyai kekuatan saat melawaan tentara Belanda. “DI/TII
ngagaduhan 7 divisi haritateh, ari sadivisi teh bawahan nana ngagaduhan sabaraha resimen sa
divisi teh, opat resimen nya, ari sa resimenna ngagaduhan opat batalion, sabatalin na ngagaduhan
opat kompi, sakompi teh ngagaduhan opat peleton, sa peletonteh ngagaduhan opat regu, saregu
guna masing-masing 12 siki. (ia menjelaskan tentang kondisi militer yang ada dalam tubuh DI/TII,
dalam penjelasannya antara lain : DI/TII mempunyai 7 (tujuh) divisi, satu divisi masing-masing
mempunyai empat resimen, satu resimen mempunyai empat batalion, satu batalion mempunyai
empat kompi, satu kompi mempunyai empat peleton, satu peleton mempunyai empat regu dan satu
regu terdiri dari 12 orang. Hal tersebut merupakan kekuatan DI/TII ketika ia menjalankan perang
melawan pemerintahan Belanda).57
Pada tanggal 14 Agustus 1947 Belanda kembali melakukan aksinya melalui
Agresi Militer I, tetapi kejadian tersebut sebenarnya malah menimbulkan
perlawanan dari kelompok Kartosuwirjo. Dalam perlawanannya Kartosoewirjo
menyatakana kepada para anggotanya untuk melakukan perang suci melawan
Belanda. Maka dari itu ia membagi wilayah kekuasannya dalam beberapa daerah
yang terdiri dari Daerah I Ibukota Negara, Daerah II meliputi Jawa Barat dan
Daerah III di mana para penduduk menjadi pengikutnya, sehingga daerah-daerah
yang menjadi kekuasaan Kartosoewirjo banyak melakukan perlawanan terhadap
Belanda.58
Pada tanggal 27 Agustus 1947 PBB memutuskan untuk menengahi konflik
antara Indonesia dengan Belanda. Untuk menyelesaikan konflik tersebut maka
dibentuklah Komisi Tiga Negara (KTN) yang dari beberapa negara antara lain
Australia yang dipilih Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika
Serikat yang dipilih oleh Indonesia-Belada. Adanya pertemuan tersebut bertujuan

57
Wawancara Bapak Iin di Garut, 15 November 20018
58
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia
VI (Jakarta, PN. Balai Pustaka, 1984), hlm. 266

29
agar bisa menyelesaikan konflik lewat perundingan bukan dengan peperangan
lagi.
Untuk melakukan Agresi Militer pertama ke Indonesia yang diserang
pertama kali oleh Belanda ialah Jawa Barat, sehingga terjadinya peperangan antar
tentara Belanda dengan Divisi Seliwangi. Semua markas militer di Jawa Barat
diberantas oleh Belanda karena pada saat itu kemiliteran Indonesia belum kuat
dan kalah jumlah. Tetapi hal tersebut tidak mematahkan semangat tentara
Indonesia, bahkan pada saat itu tentara Indonesa terus melakukan griliya dengan
tujuan untuk mempertahankan negara yang ingin direbut kembali oleh Belanda.
Pada 17 Januari 1948 Belanda terpaksa mengikuti keinginan KTN yang
dilakukan di kapal milik America US Renville, tetapi Belanda menuntut beberapa
hal yang harus dipatuhi oleh Pemerintahan Indonesia dalam perundingannya.
Tuntutan tersebut antara lain pasukan kemiliteran Indonesia harus mundur dari
wilayah Garis Van Mook dan pelaksanaan penarikan kemiliteran ini harus
dilaksanakan pada 1-22 Februari 1948.59 Setelah kesepakatan perjanjian Renvile
selesai dan pemerintahan Indonesia yang di pimpin oleh Soekarno-Hatta telah
menyepakati semua perjanjian yang dibuat oleh Belanda, adapun isi perjanjiannya
ialah wilayah Indonesia hanya meliputi Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatra,
sedangkan Jawa Barat masuk ke dalam wilayah kekuasaan Belanda. 60 Maka hal
ini yang menyebabkan Kartosoewirjo kecewa dan menganggap bahwa
pemerintahan Indonesia tidak bisa membentuk suatu tatanan negara yang lepas
dari keterjajahan, terkhusus lagi rakyat Jawa Barat harus meninggalkan
wilayahnya karena sudah dikuasai oleh tentara Belanda tanpa perlawanan.
Menurut Kartosoewirjo ini merupakan suatu kemunduran dalam mempertahankan
kemerdekaan serta untuk melindungi bangsanya. Perjanjian tersebut merupakan
suatu hal yang sia-sia karena hasil dari perjuangan kemerdekaan Indonesia
melawan penjajah Belanda dan Jepang tidak ada artinya. Kartosoewirjo

59
Dien Albana, Bayangkara di Garis Van Mook, Heroisme Agen Polisi di Bumi Pudjon,
(Jakarta : Jember Media, 2017), Hal. 72-72
60
M. Yuanda Zara, Peristiwa 3 Juli 1946, Menguak Kudeta Pertama Dalam Sejarah
Indonesia, (Yogyakarta: Azza Grafika), hal.248

30
menyatakan pula bahwa Indonesia pada saat itu kalah dalam bidang politik dan
militernya.
Akibat tuntutan inilah pasukan divisi Siliwangi harus hijrah ke Jawa Tengah
sebagai Ibukota Indonesia di Yogyakarta. Untuk mempercepat pelaksanaan hijrah
divisi seliwangi maka dibentuklah tim penghubung yang ditugaskan untuk
menyampaikan informasi atau perintah hijrah secara langsung kepada panglima
divisi dan para komandan brigade Divisi Siliwangi. Salah satu dari tim tersebut
ialah R. Oni Qital selaku komandan Laskar Sabilillah, ia langsung berangkat ke
Garut untuk menemui Kartosoewirjo. R. Oni Qital melaporkan segala sesuatu
yang terjadi di negara Indonesia serta kubu militer Indonesia yang diakibatkan
dari hasil perjanjian Renville pada tanggal 30 agustus 1948. Dari hasil
perundingan tersebut Kartosoewirjo memutuskan bahwa pasukan Hizbullah dan
Sabilillah tetap berada di Jawa Barat, hal ini bertujuan untuk mempertahankan
negara karena sedang mengalami kekosongan kekuasaan. Maka dari itu laskar
Hizbullah dan Sabilillah tetap di Jawa Barat bersama rakyat, meskipun pada saat
itu pemerintahan sudah hijrah ke luar Jawa Barat.61
Dengan adanya program pemerintah tentang perubahan kewenangan dan
struktur manajemen dalam tubuh militer, maka laskar-laskar yang ikut dalam
memerdekakan Indonesia kecewa dengan program tersebut. Adanya kekecewaan
ini para laskar memutuskan untuk bergabung dengan laskar hizbullah dan
sabilillah dalam memperjuangkan kemerdekaan di DI/TII. Faktor inilah yang
menjadi salah satu alasan kelompok DI/TII besar di Jawa Barat dan bisa
memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII).

2. Lahir dan Berkembangnya Oeganisasi DI/TII


Darul Islam (DI) merupakan organisasi yang berjuang atas nama umat Islam
seluruh Indonesia dan dipimpin oleh Kartosoewirjo yang merupakan salah satu
tokoh partai Masyumi. Sedangkan Tentara Islam Indonesia (TII) berasal dari
tentara Hizbullah dan Sabilillah, tentara tersebut merupakan laskar pertahanan

61
Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia..., h. 72.

31
organisasi Masyumi. 62 Dalam perkembangannya DI/TII telah memiliki struktur
kenegaraan yang matang, hal ini bisa dilihat dalam uraian Qanun Azasi yang
sudah direncanakan setahun sebelum diproklamasikan berdirinya NII. Isi dalam
Qanun Azasi antara lain, bahwa terbentuknya DI/TII merupakan suatu yang
dikaruniai oleh Allah SWT dan dilimpahkan kepada rakyatnya.63
Pada bulan Mei 1948 DI/TII sudah membentuk Dewan Imamah, sebagai
tanda bahwa DI/TII merupakan suatu Negara Islam yang sah dengan semua
undang-undang yang tercantum dalam Qanun Azasi. Serta struktur lainnya yang
sudah dibentuk ada tiga lembaga konstitusi, antara lain:
a. Majelis Syuro,
b. Dewan Syuro dan
c. Dewan Fatwa.
Majelis Syuro ialah majelis yang mempunyai kekuasaan berdaulat, tetapi
ketika dalam keadaan yang sangat mendesak maka hak tersebut dialihkan kepada
dewan tertinggi yaitu Dewan Imamah. Tugas dari majelis ini ialah menyusun
sebuah konstitusi dan mendapatkan suatu garis besar pemerintahan, pemilihan
pemimpin tertinggi diatur pula oleh majelis ini dengan ketentuan pemegang
amanah atau yang menjadi pemimpin tertinggi untuk menjadi Imam besar harus
warga negara Indonesia dan beragama Islam. 64 Lembaga Dewan Syuro bertugas
sebagai badan Eksekutif Majelis Syuro, selain itu lembaga ini bertugas untuk
mengadakan sidang dalam penentuan Undang-Undang. Lembaga terakhir dari tiga
konstitusi ialah Dewan Fatwa yang bertugas menjadi salah satu penasehat dari
Imam, dewan Fatwa sendiri terdiri dari tujuh orang, tetapi dewan fatwa juga bisa
dihentikan oleh Imam tertinggi. 65
Di dalam tubuh pemerintahan DI/TII tidak memiliki parlemen sehingga semua
persoalan kenegaraan diputuskan oleh dewan tertinggi seperti Imam besar, wakil
Imam, komandan divisi, majelis keuangan, majelis penerangan, majelis
pertahanan dan majelis luar negeri, yang sudah ditunjuk untuk menjadi pemimpin.

62
Ruslan, dkk, MengapaMerekaMemberontak?..., h. 26.
63
Kartosoewirjo, Pedoman Darma Bakti Negara Islam Indonesia, hal. 6
64
Holk H Dengel, Darul Islam dan Kartosuwiryo..., h. 112.
65
Cornelis van Dijk, Darul Islam:Sebuah Pemberontakan..., h. 83.

32
Dikarenakan NII dibentuk saat perang maka tugas dari adanya dewan tersebut
untuk melaksanakan perang grilya dan mempertahankan wilayah dari penjajahan
Belanda karena pada saat itu sudah ditinggalkan oleh TNI yang hijrah ke
Yogyakarta. Tetapi untuk mempertahankan Negara laskar Hizbullah dan
Sabilillah dibentuk menjadi satu dengan nama Tentara Islam Indonesia (TII).
Pada tanggal 30 oktober 1949 dibentuklah suatu badan korps khusus dengan
nama PADI dan BARIS. BARIS ialah singaktan dari Barisan Rakyat Islam,
merupakan suatu pembantu yang bertugas untuk berada di wilayah kecamatan dan
desa. Hal ini merupakan keputusan yang dikeluarkan oleh Dewan Imamah untuk
menjaga kestabilan negara dan menjaga keamanan negara, maka di setiap wilayah
harus memiliki kesatuan brigade. Sementara PADI ialah singkatan dari Pahlawan
Darul Islam, suatu organisasi pemuda yang bergabung dalam kesatuan DI/TII
pada 30 Oktober 1949.
Pernikahan antara Kartosoewirjo dengan Dewi Kulsum anak dari Ardiwisastra
menyebabkan warga daerah Malangbong Garut bergabung dengan DI/TII secara
masif sehingga para pasukan DI/TII lebih unggul dari pasukan Belanda dan TNI.
Oleh sebab itu, Garut dijadikan daerah kekuasaan dan menjadi komando pusat
DI/TII. Selain itu, Malangbong juga merupakan wilayah segitiga bermuda antara
Garut, Tasik dan Malaya, sehingga penduduk tersebut berada didalam bayang-
bayang gerakan DI/TII, apalagi kelompok DI/TII sering melakukan propaganda
secara rutin. Dalam isi propaganda tersebut antaralain menjelaskan tentang
persoalan kondisi pemerintah yang tidak stabil serta adanya pengaruh Komunis
yang menjadi darah daging dalam tubuh pemerintahan Indonesia dan TNI.
Kejadian tersebut menyebabkan masyarakat ragu untuk percaya terhadap
pemerinahan Indonesia pada waktu itu.66
Untuk mendidik kader dalam bidang politik dan mencari kader-kader baru
DI/TII, maka Kartosoewirjo menggunakan institut suffah yang tadinya digunakan
untuk melatih kader PSII dalam bidang politik. Tetapi setelah terbentuknya DI/TII
institut suffah menjadi ladang pengkaderan dalam bidang politik dan menjadi

66
Tim Buku Tempo, Tjokroaminoto Guru Para Pendiri Bangsa, (Jakarta:KPG, 2011),
hal.108

33
tenaga untuk menjaga DI/TII.67 Institut suffah sendiri dibawah pimpinan Ateng
Djaelani yang merupakan mantan perwira dari pasukan PETA di Jawa Barat,
sehingga ia dipercaya untuk memberikan pelatihan-pelatihan kemiliteran kepada
semua anggota DI/TII yang ada di institut suffah. Ateng Djaelani kerap
mengajarkan cara bersembunyi di atas pohon, cara menembak, cara memanah dan
cara bertahan hidup ketika grilya. Siswa-siswa yang dilatih militer oleh Ateng
Jaelani tidak hanya dari daerah setempat melaikan banyak pula yang berdatangan
dari kalangan santri di Priangan Timur.
Dalam melatih kemiliteran untuk santri laskar Hizbullah dan Sabilillah di
institut suffah Ateng Djaelani tidak sendirian. Ia dibantu oleh Zaelani Abidin yang
kebetulan bertempat di wilayah Limbangan dan melatih kemiliterannya di wilayah
Malangbong Kampung Bojong Garut, Enokh sebagai komandan pasukan
Sabilillah yang berada di Wanaraja, serta R. Oni Qital membantu melatih
kemiliteran DI/TII wilayah Gunung Cupu. Mereka turut melatih laskar Hizbullah
dan Sabilillah serta para siswa yang berada di institut suffah. Mereka juga
berperan dalam menjemput pasukan di posnya masing-masing guna untuk
menambah kekuatan.
Beberapa pasukan yang berada dalam komando R. Oni Qital ialah mantan dari
tentara Jepang, sehingga mereka membantu DI/TII dalam perang melawan
Belanda. Hal ini dapat dibuktikan dalam sebuah laporan rahasia polisi militer TNI
yakni di wilayah Gunung Cupu, terdapat 67 orang Jepang ikut serta pada bulan
Desember 1949. Dalam proses bergabungnya tentara Jepang sangat membantu
para petinggi atau pimpinan DI/TII sendiri seperti Kamran, Ateng Djaelani, dan
Sanusi Parta Widjaya. 68
Seiring berjalannya waktu Institut suffah dihancurkan oleh Belanda karena
dianggap telah mengganggu eksistensinya. Kejadian tersebut menuntut
Kartosoewirjo untuk merubah konsep pendidikan di institut suffah agar pelatihan
kemiliteran tetap berjalan. Kemudian konsep yang digunakan dalam pengkaderan
di institut suffah dirubah pola pendidikannya dari satu tempat menjadi nomaden.
67
Peter Kasenda, Bung Karno Panglima Revolusi, (Yogyakarta:Galang Pustaka), Hal.
232
68
Holk H Dengel, Darul Islam dan Kartosuwiryo..., h. 151.

34
Metode yang dilakukan dalam pendidikan ini ialah dakwah dan menyebarkan
pemahaman jihad melalui masjid-masjid, langgar dan pesantren. Hal ini justru
menjadi salah satu keuntungan bagi DI/TII untuk melakukan perekrutan, sehingga
banyak massa yang tertarik dalam gerakannya.
Di wilayah penduduk yang menjadi basis DI/TII sendiri sangat erat dengan
adat dan agama Islam, sehingga Kartosoewirjo sangat mudah untuk membangun
suatu organisasi dan mengeluarkan aksi-aksinya. Hal tersebut juga dipengaruhi
oleh banyaknya penduduk yang sudah terlanjur sakit hati dengan sikap
pemerintah, mereka lebih mendukung gerakan yang di bentuk Kartosoewirjo
karena dianggap bisa melindunginya dari pihak Belanda. Oleh karena itu warga di
wilayah Garut banyak yang menerima dengan kedatangan organisasi DI/TII,
bahkan mereka memperbolehkan kelompok DI/TII untuk tinggal di rumah warga.
Proses itulah yang dijadikan kelompok DI/TII dalam pengkaderan, sehingga
banyak pemuda yang ikut berjuang dan mengatas namakan hijrah ke
pegunungan. 69
Dalam melakukan aksi penyerangan mereka telah menysusun secara rapi dan
sesuai dengan keadaan negara, pelaksanaan mempertahankan wilayah teritorial
telah disusun dalam sebuah konsepsi pertahanan yang berdasarkan pada
pelaksanaan perang gerilya. Konsepsi pertahanan gerilya juga telah dijelaskan
dalam siasat dan taktik seperti :
1. Mengadakan sabotase secara besar-besaran.
2. Mengadakan propaganda.
3. Melemahkan ideology musuh.
4. Mematahkan urat syaraf musuh.
5. Mengadakan gerakan racun.
6. Mengadakan gerakan air.
7. Membongkar dan merusak pusat-pusat air juga waduk.70

Pada tahun 1953 banyak pemberontakan yang dilakukan oleh DI/TII


seperti yang dilakukan di kaki Gunung Cakrabuana. Setelah usai pemberontakan

69
Irfan S. Awwas, Trilogi Kepemimpinan Negara Islam Indonesia..., h. 286.
70
Disjarah TNI AD, Penumpasan DI/TII..., h. 102

35
mereka mulai turun gunung melalui jalur hutan Malangbong, kejadian tersebut
dilakukan karenakan mereka sudah kehabisan bahan makanan. Mereka pun turun
dengan cara menyamar agar tidak diketahui oleh TNI karena pada waktu itu TNI
sudah dikuasai oleh Belanda.71
Setelah sampai di Limbangan mereka disambut oleh pasukan yang ada di
Limbangan, lalu melanjutkan perjalanannya menuju daerah Warung Bandrek yang
bertepatan di kecamatan Cibatu dengan tujuan untuk menghadang kereta barang
yang melintas. Dalam kereta barang yang disabotase oleh kelompok DI/TII antara
lain kereta yang membawa bahan makanan dan obat-obatan, karena makanan dan
obat-obataan sangat dibutuhkan untuk menambah persediaan. Sabotase kereta ini
tidak terjadi hanya di Warung Bandrek, sebelumnya pada tanggal 12 dan 28
Februari 1953 pernah terjadi pembongkaran rel di daerah Lebakjero Leles, Garut.
Pembongkaran rel tersebut sempat menyebabkan banyak korban yang berjatuhan,
tetapi tidak dijelaskan berapa korban yang selamat dan korban yang tidak
selamat.72
Dalam membangun gerakan tersebut Kartosoewirjo memang sangat diakui
oleh para pengikutnya khususnya di Jawa Barat, mereka sangat tunduk dalam
intruksi yang dikeluarkan oleh Kartosoewirjo untuk menjalankan Darul Islam
dimasa perang. Pemberontakan-pemberontakan kerap terjadi di Jawa Barat
khususnya pada tahun 1950-1962-an.73

C. Hari Terakhir Kartosoewirjo


Keberhasilan Kartosoewirjo dalam membangun dan menggerakan organisasi
Islam di tahun 1948 merupakan hal yang sangat luar biasa. Di dalam dirinya
memang mempunyai sifat kepemimpinan, sifat tersebut diperlihatkan dalam

71
Priyono, Infanteri: The Backbone of The Army. (Yogyakarta: Mata PadiPressindo,
2012), hlm.14.
72
Disjarah TNI AD, Album Peristiwa Pemberontakan DI-TII..., h. 101.
73
Pokonamah bapamah tunduk jeung patuh we haritamah kana intruksi imam
Kartosoewirjo, soalna jalur manehna geus yakin bener jeung lurus dina nafsirkeun Qur’an. Tah
kunaon atuh urangteh perang jeung Belanda, pan hukum islam na oge anu di berlakukeun ku
urangteh hukum Islam di masa perang da wajar atu perang ari ngalawan penjajah mah./maksud
dari tulisan tersebut ialah para kelompok DI/TII Jawa Barat sangat tunduk dalam intruksi yang
dikeluarkan oleh Kartosoewirjo untuk menjalankan Darul Islam dimasa perang. Wawancara
pribadi Bapak Komar di Garut, 28 Desember 20018

36
membangun dan mengembangkan Darul Islam. Bahkan Kartosoewirjo selain
mempunyai jiwa kepemimpinan, ia juga mampu dalam mengorganisasikan dan
mengikat para pengikut DI/TII yang ada di wilayah pedesaan. Selain itu
Kartosoewirjo mempunyai skil dalam pertarungan politik nasional, hal tersebut
telah membawa peran penting gerakan Islam di masa perang. Tetapi hal paling
penting bagi Kartosoewirjo ialah tidak menginginkan kehidupan di perkotaan
seperti di Jakarta, ia lebih memilih kehidupan di tengah masyarakat pedesaan. 74
Maka dari itu Kartosoewirjo dengan jiwa keemimpinannya banyak disukai di
daerah Jawa Barat khususnya di Garut, sampai akhirnya bisa memproklamasikan
Negara Islam Indonesia tahun 1949.
Isi dalam proklamasinya ialah:

PROKLAMASI

Berdirinja NEGARA ISLAM INDONESIA

BismillahirrahmanirrahimAsjhadoeanlailahaillallahwaasjhadoeannaMoehammadarRasoeloellah
Kami, Oemmat Islam Bangsa Indonesia MENJATAKAN:
Berdirinja ,,NEGARA ISLAM INDONESIA”
Makahoekoemjangberlakoeatas Negara Islam Indonesia itoe, ialah: HOEKOEM ISLAM
Allahoe Akbar! Allahoe Akbar! Allahoe Akbar!

AtasnamaOemmat Islam Bangsa Indonesia


Imam NEGARA ISLAM INDONESIA
Ttd
(S M KARTOSOEWIRJO)
MADINAH-INDONESIA, 12 Sjawal 1368 / 7 Agoestoes 194975

Gerakan Darul Islam ternyata sangat berpengaruh dalam menjalankan


idiologinya sehingga banyak perluasan di luar Jawa Barat seperti Jawa Tengah
yang dikomandoi oleh Amir Fatah, Sulawesi di bawah komando Kahar Muzakkar,
Kalimantan Selatan di bawah komando Ibnu Hadjar Haderi, Aceh Darussalam di

74
Wawancara pribadi Bapak Komar di Garut, 28 Desember 20018

75
Lihat lampiran. Lihat juga di bagian awal Pedoman Darma Bakti Negara Islam
Indonesia.

37
bawah pimpinan Tengku Muhammad Daud Beureuh. Hal tersebut menjadi suatu
ancaman bagi pemerintahan Belanda, apaladi Negara Islam Indonesia sudah
mempunyai tentara dan persenjataan yang sangat banyak.
Pada kisaran tahun 1950-1960 pasukan Tentara Islam Indonesia bertambah
besar jumlahnya sampai 13.129 personil di kalangan pasukan bersenjata. Mereka
mempunyai kelengkapan 3000 buah senjata termasuk Bren dan montir,
persenjataan tersebut banyak didapatkan oleh DI/TII dari hasil peperangan
melawan tentara Belanda. Melihat persenjataan yang lengkap dan pasukan yang
banyak maka hal ini yang membebani TNI.76 Meskipun kelompok DI/TII tadinya
ingin melawan kekuasaan Belanda, tetapi menururt pihak Republik justru berbeda,
hal tersebut dianggap suatu pemberontakan sehingga mengganggu kesetabilan dan
keamanan bagi Negara Republik Indonesia.

Ceuk dina sejarahmah tentara belanda pernah nyerang, tapi di bongohan ku pa Acep Komara
Suyud, langsung senjata anu di cepeng ku pamingpin tentara Belanda di tewak terus di
temaken. Didinya kengeng tina sejarah 60 senjata, mana kuat urang hijbullah teh.77 Ia
menjelaskan bahwa Belanda pernah melakukan serangan kepada DI/TII di Gunung Cupu.
Tetapi kelompok DI/TII sudah mempersiapkan penyerangan tersebut sehingga kelompok
DI/TII bisa dikatakan menang melawan tentara Belanda. Penyerangan itu dilakukan pada
saat jam 9 malam, tetapi dengan segala kekuatannya maka kelompok DI/TII yang di pimpin
langsung oleh Acip Komara Suyud mampu untuk melawan tentara Belanda sehingga bisa
mendapatkan 60 senjata yang direbut dari tentara Belanda.

Di dalam perjalannya ternyata bukan hanya Belanda yang merasakan


ancaman, melainkan juga pemerintahan Republik Indonesia menganggap bahwa
kejadian tersebut ialah kegiatan yang makar. Selain itu, adanya negara Islam yang
dibentuk oleh kelompok Kartosoewirjo dianggap kudeta terhadap kekuasaan
pemerintahan Republik Indonesia. Maka dengan adanya sikap tersebut
pemerintahan Republik Indonesia melakukan pencegahan agar DI/TII tidak
menyebar dan menghentikan tembak-menembak.78

76
C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan..., h. 92-98
77
Wawancara Bapak Iin di Garut, 15 November 20018.
78
Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia..., h. 208.

38
Pemerintah memang sudah melakukan upaya untuk menghentikan gerakan
DI/TII misalnya pada zaman kabinet Natsir. Pemerintah melakukan perundingan
antara pihaknya dengan DI/TII, bahkan Pemerintah mengeluarkan maklumat
kepada pihak griliyawan untuk menghentikan pemberontakannya. Dalam
maklumatnya pemerintah yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta memberikan
perjanjian dengan anggota DI/TII agar kembali kepada Republik dan
menyerahkan diri kepada posko TNI terdekat juga kepada pihak griliyawan yang
ingn menyerahkan diri akan diberikan ganti rugi. Tetapi dari pihak DI/TII tidak
menghiraukan tawaran tersebut sehingga upaya yang dilakukan oleh pemerintahan
Indonesia dikatakan gagal. 79
Pada tanggal 1-24 April 1962 TNI melakukan operasi dan melakukan perang
melawan DI/TII. Operasi itu disebut “Brata Yudha” karena banyak memakan
korban jiwa khususnya di Bandung Selatan, setelah operasi tersebut selesai pada
bulan Mei 1962 Toha Machfoad dan Mochamad Danoe sebagai kawan dekat
Kartosoewirjo berhasil ditangkap. Selain itu beberapa rekan lainnya sebagai
pengikut DI/TII dituntut untuk segera menyerahkan diri kepada TNI.80
Adanya kejadian tersebut menurut kelompok DI/TII sudah tidak ada gunanya
lagi untuk bersembunyi. Sehingga Kartosoewirjo segera mengeluarkan intuksi
kepada semua anggota DI/TII untuk turun gunung dan kembali kepada pangkuan
ibu pertiwi bukan kembali kepada RIS (Republik Indonesia Serikat).
Kartosoewirjo mengintruksikan pula untuk berhenti melakukan Jihad Fisabilillah
atau jihad di jalan Allah melalui peperangan. Tetapi dalam jihadnya bergeser
menjadi jihad Fillah dengan melakukan amal kebaikan dan yang paling berat
melawan hawa nafsu.
Dalam catatan lain menyebutkan pula bahwa pada tanggal 4 juni 1962
pasukan TNI di bawah pimpinan Suhanda telah menemukan markas DI/TII di
wilayah pegunungan yang bernama Gunung Geber, bertempat di daerah
Cicalengka dan Majalaya Bandung. Pada akhirnya Kartosoewirjo dapat ditemukan

79
C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan..., h. 100.
80
Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia.., h. 201-202.

39
bersama rekan-rekan seperjuangannya, Ia pun akhirnya ditangkap pada usia 59
tahun dibarengi dengan Istri dan Kurnia sebagai pengawal pribadinya.
Setelah ditangkapnya Kartosoewirjo kemudian dilakukanlah persidangan
selama tiga hari yang berakhir pada tanggal 16 Agustus 1962, Ia tercatat sebagai
terdakwa karena dianggap telah melakukan makar kepada negara juga dalam
tuduhannya ingin membunuh presiden Soekarno. Sebulan kemudian pada bulan
september 1962 ia resmi mendapatkan hukuman mati dan langsung dieksekusi
tembak mati oleh tentara regu penembak pemerintah Republik. 81
Sebelum SM. Kartosoewirjo dieksekusi, ia sempat melakukan intruksi kepada
semua pengikutnya untuk turun gunung, tujuannya agar menghentikan perang
senjata karena menurutnya haram bagi umat muslim harus melakukan perang dua
kali. Ada satu hal yang harus dilakukan oleh eks DI/TII yaitu saling mengingatkan
jika nantinya mantan griliyawan melakukan kesalahan. Selepas penyerahan
senjata kepada tentara Indonesia maka mereka siap kembali kepada pangkuan ibu
pertiwi serta tetap membela sistem yang sudah diterapkan yaitu pancasila dan
UUD 1945 sebagai landasan negara. 82

81
Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia..., h. 205.
82
ari udag-udagan mah masih keneh, ngan teu nembak, pas percaya teh eta nakapal kapal
berr ka gunung teh bari nyebarkeun selembaran tea. Nah didinya mah ges menyatakan turun
kembali ka pangkuan ibu pertiwi, ges di tandatangani malah ku pak S.M.Kartosuwiryo. Ges turun,
ges di tangkap, tah atos kitu mah atuh para komandan batalion, komandan kompi, komandan regu,
jeng bupati musyawarah, yen ges menyataken aya di daerah. Jadi inti namah cepet-cepet pulang ka
pangkuan ibu pertiwi kitu harita dina musyawarah. (ia menjelaskan proses DI/TII saat turun
gunung, didalam penjelasannya “kalau undang-undang masih tetap, tapi tidak melakukan tembak-
menembak, ia percaya untuk turun gunung setelah pemerintahan melakukan penyebaran
selembaran ke semua pegunungan yang ada di Jawa Barat, dalam isi selembaran tersebut
menyatakan bahwa semua kelompok DI/TII harus turun gunung dan kembali kepada pangkuan Ibu
Pertiwi. Dalam selembaran tersebut juga sudah ditandatangani oleh Kartosoewirjo.). Wawancara
pribadi Bapak Komar di Garut, 28 Desember 20018,

40
BAB IV

KONSEP NEGARA ISLAM MENURUT KARTOSOEWIRJO DAN


ORGANISASI DI/TII PASCA KARTOSOEWIRJO

A. Konsep Negara Menurut Kartosoewirjo


Secara epistimologi negara merupakan suatu organisasi dalam wilayah yang
mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Selain itu negara
juga dapat diartikan sebagai kelompok sosial yang menduduki wilayah atau
daerah tertentu dan diorganisasi di bawah lembaga politik serta pemerintah yang
efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan
tujuan nasionalnya. Sementara negara Islam sendiri dapat diartikan sebagai
wilayah untuk membentuk suatu sistem dan hukum-hukum Islam yang digunakan
pada masyarakat secara menyeluruh.83 Tetapi disisi lain, Negara Islam merupakan
organisasi yang dibentuk oleh masyarakat muslim, pembentukan negara Islam
sendiri tujuannya bukan untuk kepentingan pribadi melainkan untuk menjalankan
perintah-perintah Allah SWT.84
Pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang konsep negara yang dibentuk
oleh kelompok DI/TII yaitu Negara Islam Indonesia (NII). Negara Islam
Indonesia dianggap tidak mengikuti langkah-langkah pemerintahan yang dipimpin
oleh Soekarno-Hatta. Sebelumnya, sejarah sering menyebutkan bahwa sistem
yang digunakan di Indonesia pada waktu itu ialah sistem kenegaraan seperti
Pancasila dan UUD 1945. Tetapi disisi lain, kelompok NII membantah hal
tersebut karena menurut mereka negara Indonesia khususnya Jawa Barat
mengalami kekosongan kekuasaan pasca terselenggaranya perjanjian Renville.
Maka dari itu kelompok DI/TII membentuk negara sendiri dengan tujuan untuk
menyelamatkan bangsa dan Negara dari kekuasaan Belanda. “Bapamah
kapungkur da teu ngalaman perang jeung RI ah da perangna jeung RIS”(bapak

83
H. Moh. Toriquddin, Relasi Agama dan Negara (Dalam Pandangan Intelektual Muslim
Kontemporer), (Malang: UIN Malang Press, 2009), 36-38.
84
M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: UII
Press, 2000), 85

41
dulu tidak pernah perang dengan RI, tetapi bapak perang dengan RIS,85 menurut
pandangan mereka RIS (Republik Indonesia Serikat) merupakan negara bentukan
Belanda, sehingga para kelompok DI/TII memperjuangkan negaranya agar
kembali lagi ke RI. Pemikiran itu merupakan upaya yang bertujuan untuk
menentukan nilai-nilai Islam dalam sistem serta proses politik yang sedang
berlangsung. 86
Kartosoewirjo mempunyai pemikiran yang sangat cemerlang dalam
pembentukan negara Islam, ia berpikir bahwa negara yang dibentuk oleh Nabi
Muhammad saat di Madinah sangat ideal diterapkan di Indonesia. 87 Pemikiran
tersebut timbul akibat kondisi sosial Indonesia yang sudah dikuasai oleh kafir
Belanda, sehingga hanya ada satu jalan yaitu membentuk Negara Islam dalam
situasi perang. Sebenarnya sejak tahun 1920-an Kartosoewirjo sudah mempunyai
ide untuk memperjuangkan Negara Islam. Menurut Kartosuwirjo pengertian dari
Negara Islam sendiri ialah sebuah negara yang benar-benar menjalankan syari’at
dan hukum Islam sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan sunah Nabi secara
menyeluruh. Hal ini juga Allah firmankan dalam Al-Quran: “Masuklah kalian ke
dalam agama Islam secara total menyeluruh, dan jangan kalian ikuti langkah-
langkah syetan”. (Qs. Al-Baqarah, 2:208).

85
wawancara pribadi eks DI/TII jawabarat Anonim di Garut, 15 November 20018.
86
M. Din Syamsudin, Usaha pencarian konsep negara dalam sejarah pemikiran
Islam,dalam ulumul Qur’an vol iv no.2 (Jakarta: 1993),hlm.4
87
“Ari konsep perjuangan negara Islam kartosoewirjo mah teu aya deui we selain suratul
Fatihah, seperti konsep perjuangan nabi Muhammad, jadi konsep perjuangan Nabi Mujammad teh
nyaeta suratul Fatihah kitu. Tah kulantaran sebagai pembaharu kakuasaan Allah kakuasaan Islam
maka konsepna khalifatullah. Jadi anu dina eta suratul fatihah teh aya laila hailallah Muhammada
Rasulullah. Lailla haillallah Muhammada Rasulullah teh aya empat kerangka La, lamat luba
ilallah, teu aya nu diteangan jeung teuaya nu di usahakeun kajaba ti nu diteanganteh pemingpin
pembawa amanat Allah, pemingpin pembawa rahmat dan Ridho Allah, pemingpin pelaksana
hukum Allah, anu diteangan teh eta”. (Kartosoewirjo dalam melaksanakan konsep negara Islam
sama seperti konsep Nabi Muhammad yaitu konsep khalifah. Konsep Khalifah merupakan suatu
konsep yang digunakan dalam Negara Islam Indonesia, maka dari itu untuk membentuk pemimpin
DI/TII harus ditunjuk secara musyawarah. Nabi Muhammad ialah seorang pemimpin pembawa
amanat Allah, pemimpin pembawa rahmat dan ridho Allah dan pemimpin pelaksana hukum Allah,
dalam menjalankan kenegaraannya harus berdasarkan hukum Allah. Maka dari itu hukum yang
berlaku ialah hukum Allah yang terkandung dalam Al-Qur’an. Kemudian DI/TII dalam
menjalankan kenegaraannya mereka tidak menggunakan hukum konvensional yang sudah
ditegakan di negara, tetapi yang mereka pakai ialah hukum Allah yang terkandung di dalam Al-
Quran dan yang dijalankan oleh Rasulullah. Wawancara pribadi eks DI/TII Jawa Barat Bapak Aa,
28 Desember 2018 pkl. 11:00 Wib

42
Pada tahun 1945 dalam sidang BPUPKI terjadi sebuah perdebatan antara
dua golongan yakni golongan Nasionalis Islam dan golongan Nasionalis sekuler.
Hasil dari persidangan tersebut melahirkan pancasila sebagai dasar Negara
Republik Indonesia. 88 Setelah persidangan selesai, golongan Nasionalis Islam
seperti M. Natsir mengikuti perjuangan dijalur parlementer dan SM.
Kartosoewirjo dengan golongan yang sama memilih perjuangan di luar jalur
parlementer.89
Untuk berjuang di luar jalur parlementer, pada tahun 1948 SM.
Kartosoewirjo mendirikan negara Al-Jumhuriyah Al-Indonesiah atau suatu Al-
daulatul Islamiyah dengan sebutan Darul Islam. Tujuan dibentuknya Darul Islam
antara lain untuk menyelamatkan negara dan bangsa Indonesia dari pihak Belanda
yang telah kembali ke Indonesia. Sehingga pada tahun 1949 SM. Kartosoewirdjo
berhasil memproklamasikan Negara Islam Indonesia, dengan membawa
keyakinan bahwa orang-orang tidak cukup beriman saja, tetapi harus berjihad dan
memperjuangkan berdirinya Dinullah dengan menggunakan segala kekuatan
massa dan kekuasaan yang ia dapatkan. Karena negara merupakan suatu bentuk
yang kongkrit dari kekuatan dan kekuasaan.90
Kartosuwirjo dalam menjalankan negara dan kekuasaannya maka
membentuk Qanun Asasi yang mulai dirancang pada tahun 1948, tujuannya agar
menguraikan struktur politik NII. Konstitusi Qanun Asasi tersebut diawali oleh
penjelasan yang singkat terdiri atas sepuluh pokok. Salah satunya NII merupakan
negara Islam di masa perang atau “DarulIslam fi Waqtil Harbi”, Maka hukum
yang berlaku bagi NII ialah hukum Islam di masa perang, karena kondisi
berdirinya negara Islam yang diproklamasikan oleh Kartosoewirjo berdiri pada
saat Indonesia melawan penjajahan Belanda. Hal tersebut dikarenakan anggota
DI/TII menganggap bahwa perjuangan kemerdekaan dinyatakan telah kandas saat

88
B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia : 1950-1970. Pent. Safroedin Bahar,
(Jakarta:Grafiti Pers, 1985), hal. 95.
89
T.noor Cahyadi,Relasi Islam dan Negara (studi atas pemikirankenegaraan M. Natsir
dan S.M kartosoewirjo) (Yogyakarta:2009)hlm.13
90
Al- Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia..., h.
IX.

43
terjadinya perjanjian Renville, sehingga umat Islam Indonesia akan segera
meneruskan revolusi Indonesia dengan mendirikan negara Islam yang berdaulat.91
Pasal satu konstitusi NII ialah Republik (Jumhuriyah), dalam republik ini
negara menjamin harus berlakunya syari’at Islam serta harus memberikan
keleluasaan bagi pemeluk agama lain untuk melakukan ibadahnya. Dasar hukum
yang berlaku untuk NII ialah hukum Islam dan hukum yang tertinggi adalah Al-
Qur’an serta Hadist Nabi. Dalam negara Islam menyebutkan bahwa Instansi
tertinggi negara adalah Majlis Syuro, tetapi dalam keadaan mendesak hak tersebut
dapat dialihkan kepada Imam dan Dewan Imamah. Berdasarkan konstitusi ini,
kekuasaan terpusat di tangan Imamah dan sarat untuk menjadi Imam sendiri
haruslah orang Indonesia yang beragama Islam. 92
Setelah melihat konstitusi tersebut maka semua pemegang tertinggi dalam
kekuasaan politik ialah Imam yang telah ditunjuk berdasarkan hasil musyawarah
karena tidak adanya Parlemen, maka semua peraturan NII dikeluarkan oleh
komandan tertinggi atau Dewan Imamah. Konstitusi tersebut dapat kita simpulkan
bahwa Kartosuwirjo mendirikan NII mengikuti langkah Nabi Muhammad SAW
saat di Madinah. Hal ini dapat dilihat dari Qanun Asasi yang telah di bentuk oleh
Kartosuwirjo untuk memperjuangkan NII.
Menurut Kartosoewirjo konsep negara sebagian besar telah dituangkan
dalam skrip hijrah PSII jilid I dan jilid II. Ia menggunakan Al-Qur’an dan
menafsirkan konteks hijrah pada masa penjajahan kolonial, tujuannya agar
masyarakat muslim khususnya yang sudah tergabung dalam PSII dapat ikut serta
dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda. Hal ini justru dianggap luar biasa
oleh para pengikutnya, maka dari itu banyak orang yang sepakat dengan konsep
jihad tersebut.93
Dalam jilid I Kartosuwirjo menerangkan bahwa hubungan antara manusia
dan agama sangat berkaitan, begitupun antara agama dan politik. Konsep hijrah
ini menjelaskan tentang sejarah PSII antara tahun 1912-1936 yang dibagi menjadi
tiga tahap yaitu:
91
SM Kartosoewirjo, Haluan Politik..., hal. 36.
92
Holk H. Dengel, Darul Islamdan Kartosuwirjo..., h. 112
93
Al-Chaidar, pengantar Pemikiran Politik Proklamator..., h. 46.

44
1. Zaman Qualijah atau tahap duniawi ialah zaman bagaimana manusia
memandang suatu dunia dengan ayat-ayat Allah yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad.
2. Zaman fi’liyah ialah zaman peralihan yaitu kisaran tahun 1923
sampai 1930.
3. Zaman i’tiqadiyah ialah zaman bagaimana manusia sadar akan
kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan di dalam agamanya. 94
Pada penjelasan awal jilid I ini hanya berkaitan dengan ketuhanan.
Kartosoewirjo menyebutkan bahwa untuk mencapai negara dengan karunia Allah,
maka manusia harus bersungguh-sungguh untuk menjalankan perintahnya. Negara
karunia Allah yang dimaksud di sini ialah negara yang telah menerapkan sistem
Islam berlandaskan Al-Quran sesuai dengan aturan yang ada di dalamnya.
Begitupun Kartosoewirjo memandang bahwa Nabi Muhammad SAW telah
berhasil untuk menjalankan perintah-perintah Allah dan kita sebagai manusia
harus mengikuti langkah Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan proses
ibadah kepada Allah maupun menjalankan kenegaraannya.
Konsep hijrah Kartosuwirjo pada jilid II menjelaskan tentang segala aspek
kehidupan manusia. Maka dari itu Kartosoewirjo mengartikan konsep hijrah
menjadi dua macam yaitu jihad kecil atau jihad untuk melindungi agamanya dari
musuh-musuh luar dan jihad besar yang diartikan untuk memerangi musuh dalam
diri pribadinya, atau di dalam tubuh manusia itu sendiri. 95
Pada sidang KPK-PSII bulan Maret 1940 menghasilkan pula “Daftar
Oesaha Hidjrah PSII” yang disusun oleh Kartosuwirjo saat ia masih menjabat
sebagai wakil ketua PSII. Daftar Oesaha Hidjrah PSII tersebut dikeluarkan masih
dengan judul aslinya juga dicetak oleh penerbit yang didirikan oleh Kartosuwirjo
di Malangbong yaitu “Poestaka Darul Islam.” Isi bab satu dalam brosurnya
menjelaskan setruktur masyarakat dibagi menjadi tiga macam masyarakat yang
berbeda-beda untuk menjalankan haluan dan hukum-hukumnya, tetapi walaupun

94
Lihat “Sikap Hidjrah PSII jilid 1” dalam Al-Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik
Proklamator..., 46.
95
Lihat “Sikap Hidjrah PSII jilid 2” dalam Al-Chaidar, pengantar pemikiran Politik
Proklamator..., h. 46-47.

45
berbeda haluan dan pandangannya kita bisa hidup dalam satu Negeri. Ketiga
macam masyarakat tersebut ialah masyarakat Hindia Belanda atau “masyarakat
kejajahan” yang berkuasa, kedua ialah masyarakat yang tidak memiliki hukum,
hak, serta tidak memiliki pemerintahan sendiri, ketiga mayarakat Islam atau yang
sering disebut dengan Darul Islam, menurutnya tidak berbeda jauh dengan
masyarakat kebangsaan Indonesia.96
Hanya saja masyarakat Indonesia mengarahkan segala tumpah darah dan
kecintaannya terhadap Indonesia raya agar semua masyarakat dapat mencintai
tanah air dan ibu pertiwi. Sedangkan kaum muslim yang hidup dalam Darul Islam
sebenarnya tidak hanya ingin berbakti kepada Indonesia atau negara saja tetapi ia
memandang negara harus berjalan sesuai ketentuan-ketentuan Allah yang ada
dalam Al-Quran.
Menurut Kartosoewirjo persoalan alasan turunnya harkat dan martabat
manusia atau bangsa dikarenakan membelakangi agama Allah. Sehingga
Kartosoewirjo di dalam “Daftar Oesaha Hidjrah PSII” menginginkan persatuan
umat secara keseluruhan. Menurutnya, dengan cara tersebut maka Darul Islam
bisa berdiri, inilah yang menurutnya dapat menjalankan suatu konsep hijrah
melalui susunan politik, ekonomi, sosial, ibadah dan ritual keislaman lainnya.
Selain itu, dapat menjalankan suatu sistem yang menjadi kemaslahatan bersama
antara kelompok Islam dan kelompok non-Islam. 97
“agama nu lain di lindungi, jadi dilindungi da di masa pa Imam Kartosoewirjo ge teu aya
nu di bantai agama nu lain oge, teu aya nu saperti ayeuna. Pan di zaman Rasulullah ge
aya nu disebut nateh kafir harobi anu memusuhi ka Nabi Muhammab, aya kafir dzimmi,
nyaeta kafir dzimmi mah ehhh anu dibawah kekuasaan nabi Muhammad jadi dilindungi,
dan mereka-mereka membayar ehh dzimah, membayar upeti atanap membayar pajak,
jakat lamud di urang teamah. Jadi manehna tunduk kana aturan nana, ngan lamun
persoalan ibadah namah, itumah ibadahna secara ritual namah nurutkeun maraneh nana
wee” 98

96
S.M. Kartosoewirjo, Oesaha Hijrah, bagian moeqadimah tjetakan pertama,
(Malangbong SS-WD Java : Poestaka Daroel-Islam, 1948), hal. 2
97
Holk H. Dengel, Darul Islamdan Kartosuwirjo (Angan-angan yang gagal), (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1995) hal. 24-25.
98
Wawancara pribadi eks DI/TII Jawa Barat Bapak Aa, 28 Desember 2018 pkl. 11:00
Wib,

46
Pelaksanaan sistem Islam menurut Kartosoewirjo tidak hanya terpusat
kepada umat muslim saja tetapi agama yang lain juga harus dilindungi
sebagaimana di zaman nabi Muhammad, bahwa sebagai umat muslim dengan
menggunakan hukum yang berlandaskan kepada Al-Quran maka tidak boleh
menyampingkan agama lain, karena mereka sudah membayar pajak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, selain itu mereka sanggup taat kepada peraturan yang
ditentukan. Pada persoalan ibadahnya, mereka lakukan dengan keyakinan masing-
masing.
Dalam “Daftar Oesaha Hidjrah PSII” pokok keempat Kartosoewirjo
menerangkan bahwa manusia kurang sempurna untuk memahami agama Islam,
sehingga hukum Islam tidak berjalan lancar. Untuk memahami hukum Islam maka
Kartosoewirjo menuliskan beberapa langkah dalam “Daftar Oesaha Hidjrah
PSII” diantaranya:
1. Harus bisa memahami Al-Quran yang di wahyukan kepada Nabi
Muhammad serta diterapkan khalifah pada zamannya.
2. Harus bisa memahami AL-Quran yang disimpulkan oleh khalifah Ali
bin Abi Thalib dalam keadaan yang dihadapinya.
3. Cara memahami Al-Quran menurut Rasulullah pada zamannya. 99
Hal ini pula yang disadari oleh pimpinan Sarikat Islam bahwa perjuangan
yang harus dibentuk ialah perjuangan di jalur Islam. Oleh karena itu dalam
pelaksanannya harus mengikuti proses yang telah dicontohkan oleh Nabi
Muhammad SAW dan tidak boleh menggunakan cara sendiri. Sikap tersebutlah
yang bisa melatarbelakangi konsep hijrah menjadi salah satu konsep yang resmi
dalam perjuangan Sarikat Islam, ditambah bahwa Belanda tidak menginginkan
kemenangan bagi Sarikat Islam. Maka dari itu mereka menangkap para tokoh-
tokoh Sarikat Islam agar tunduk dan patuh atas segala kehendak yang dikeluarkan
oleh pemerintahan Kolonial Belanda.
Untuk menjalankan sistem perekonomiannya, Kartosoewirjo menjelaskan
bahwa harus dijalankan secara kolektivitas dan solidaritas seperti harta yang

99
S.M. Kartosoewirjo, Oesaha Hijrah, bagian moeqadimah tjetakan pertama,
(Malangbong SS-WD Java : Poestaka Daroel-Islam, 1948), hal.3

47
berlebihan dari keperluan masing-masing rumah tangga harus disetorkan kepada
baitul mal, tujuanya agar bisa membantu yang lemah di bidang ekonomi. Jika hal
tersebut dilakukan maka tidak akan ada penumpukan kekayaan, perekonomian
yang lemah akan segera di tanggulangi. Hal ini menurut Kartosoerjo merupakan
gambaran umum dunia Islam yang dicita-citakan.100

B. Kepemimpinan DI/TII Psca Kareosoewirjo


Pada tahun 1962 DI/TII berhasil ditumpas oleh TNI (Tentara Nasional
Indonesia), sehingga Kartosoewirjo berhasil dieksekusi mati. 101 Walaupun
Kartosoewirjo berhasil dieksekusi, gagasannya mengenai jihad fisabilillah masih
tetap hidup dan menginspirasi eks DI/TII. Pada tahun 1970-an eks DI/TII kembali
berkonsolidasi untuk menghidupkan Negara Islam Indonesia. Mereka telah
membentuk organisasi baru serta yang terpilih menjadi Imam DI/TII ialah Tengku
Daud Beureuh.
Menariknya ialah para eks DI/TII Jawa Barat mempunyai hasrat untuk
menghidupkan kembali NII. Kejadian tersebut disebabkan oleh pesan
Kartosoewirjo tentang Hudaibiyah yang disampaikan kepada para pengikutnya
dan kepada anaknya. 102 Hudaibiyah adalah nama perjanjian gencatan senjata Nabi
Muhammad untuk menyerang kaum kafir Quraisy. Melihat sejarah Rasulullsh,
Hudaibiyah menjadi suatu periode penting yang harus dilalui Rasulullsh sebelum
pasukan Islam berhasil menaklukan kota Mekkah. Orang-orang DI/TII percaya
bahwa sejarah akan terulang kembali apa yang sudah dilalui oleh Nabi
Muhammad akan terulang kepada DI/TII. Maka dari itu tidak heran jika pesan
dari Imam Kartosoewirjo telah menginspirasi eks DI/TII untuk melakukan jihad
fisabilillah melawan kaum kafir yang ada di Indonesia, tujuan mereka mendirikan
kembali organisasi Darul Islam karena meyakini bahwa kemenangan DI/TII sudah
dekat.
Namun tidak semua orang mantan pengikut DI/TII bergabung untuk
menghidupkan kembali DI/TII dengan alasan Hudaibiyah. Pengikut DI/TII di
100
Al-Chaidar, pengantar Pemikiran Politik Proklamator..., h. 49.
101
Disjarah TNI AD, Penumpasan DI/TII..., h.145
102
Lukman Abdullah, Mengapa Teroris Tidakpernah Habis , (Seleman : Oase Media,
2018) hal 24

48
Aceh, seperti Tengku Daud Beureuh menghidupkan kembali DI/TII karena
merasa kecewa dengan dekedensi moral yang terjadi di Aceh akibat proses
industrialisasi. Menurut tokoh DI/TII di Aceh ini, kerusakan moral tersebut hanya
bisa diperbaiki dengan cara menegakan syari’at Islam, di bawah sistem politik
Orde Baru jalan untuk memperjuangkan syari’at Islam di jalur formal sangatlah
tertutup. Tidak ada jalan lain bagi Tengku Daud Beureuh kecuali bergabung
kembali dengan jamaah Darul Islam. 103 Mereka kemudian membuat setruktur
organisasi yang merujuk kepada maklupat No. 11 yang dikeluarkan oleh
Kartosoewirjo saat berjuang di pegunungan. Isi dalam maklumat tersebut ialah
militerisasi total bagi seluruh anggota DI/TII untuk melakukan perang habis-
habisan.104 Tetapi kesalahannya, jika Kartosoewirjo mewajibkan untuk militerisasi
kepada seluruh anggota DI/TII bertujuan untuk melawan tentara Belanda, tetapi
Tengku Daud Beureuh melakukan hal tersebut tujuannya untuk melawan
kekuasaan Indonesia. 105
Berbagai upaya telah dilakukan mulai dari merekrut kembali orang-orang
bekas DI/TII hingga berupaya mencari bantuan senjata ke Libya. Namun upaya
tersebut tercium oleh aparat keamanan, pada awal 1977 terjadi penangkapan
besar-besaran terhadap anggota DI/TII termasuk para pentolan seperti Danu
Muhammad Hasan, Dodo Muhammad Darda dan Haji Ismail Pranoto.
Dalam situasi ini orang-orang yang lolos dari kejaran aparat seperti Aceng
Kurnia dan Adah Djaelani menghidupkan kembali ajaran Kartosoewirjo yaitu
hijrah seperti Rasulullah yang hijrah ke Madinah karena mengalami represi dari
kaum Quraisy. Begitupun orang-orang DI/TII melakukan hal yang serupa, ajaran
Kartosoewirjo tentang hijrah telah menginspirasi para petinggi DI/TII untuk tetap
melanjutkan perjuangan tanpa putus asa.

C. Hubungan Antara eks DI/TII dan RI


Setelah Kartosoewirjo berhasil dieksekusi pada tahun 1962, pengikutnya
mendapatkan amnesti, khusus para pemimpinnya diwajibkan untuk membuat
103
Seri Tempo, Tokoh Islam Di Awal Kemerdekaan, (Jakarta:Gramedia, 2016), hal. 52-55
104
Solehudin, NII Sampai JI, Salafy Jihadisme di Indonesia, (Jakarta : Komunitas
Bambu, 2011), hal. 90-91
105
Solehudin, NII Sampai JI, Salafy Jihadisme di Indonesia...h. 91.

49
pernyataan ikrar bersama, menyatakan kesetiaan kepada Republik Indonesia. 106
Selain itu, mereka juga menyatakan bahwa Darul Islam sesat dan telah
menyimpang dari ajaran Islam. Ikrar bersama itu dilakukan pada 1 Agustus 1962
dan ditandatangani oleh 32 tokoh utama Darul Islam seperti Djaja Sujadi, Ateng
Djaelani, Dodo Muhammad Darda, Thamir Rahmat Basuki, Danu Muhammad
Hasan dan Adah Jaelani.
Pasca melakukan ikrar, pemerintah membuka program transmigrasi kepada
bekas DI/TII golongan prajurit dan perwira. Sementara itu bagi mantan petinggi
DI/TII terutama golongan setingkat komandan batalion keatas langsung dibina
oleh Kodam Siliwangi. Mereka dipekerjakan dan diberi modal usaha, misalnya
seperti Ateng Djaelani dan Adah Djaelani menjadi penyalur minyak tanah di
Bandung dan Jakarta. Pada tahun 1965 hubungan antara beberapa petinggi DI/TII
dengan pihak tentara semakin dekat, apalagi ketika tentara memberikan imbalan
jasa kepada orang-orang DI/TII, diantaranya memberikan lebih banyak
kemudahan usaha seperti yang dialami oleh Ateng Djaelani. Dengan dukungan
dari Kodam Siliwangi pada 1968 dia diangkat sebagai ketua Gapermigas
(Gabungan Perusahaan Minyak dan Gas) Kedoya Bandung. Sementara Danu
Muhammad Hasaan direkrut oleh Ali Moertopo untuk bekerja di Bakin dengan
imbalan yang cukup memadai berupa mobil dinas, rumah dinas dan gaji bulanan.
Mesranya hubungan tersebut membuat para mantan anggota DI/TII lupa dengan
cita-citanya untuk mendirikan Negara Islam. 107
Namun tidak semua mantan anggota DI/TII berpikiran seperti Adah
Djaelani, diantara mereka tetap ada yang terobsesi untuk melanjutkan perjuangan
Darul Islam. Mereka adalah Aceng Kurnia yang pernah bertugas menjadi ajudan
pribadinya Kartosoewirjo serta Djaja Sudjadi mantan mentri keuangan DI/TII.
Keduanya sudah dikenal sebagai idiolog DI/TII, kemudian mereka mengkaji
pesan terakhir Krtosoewirjo yang menyebutkan bahwa perjuangan DI/TII
memasuki periode Hudaibiyah.

106
Heri Setiawan, “Gerakan Komando Jihad, sebuah catatan kecil”, artikel diakses pada
18 Maret 2010 dari http://www.Komando Jihad.com/2010/1803/.
107
Diana Fauzia, DKK, Sistem Presidensial Dari Soekarno Ke Jokowi,(Jakarta: Yayasan
Obor, 2018), hal. 141-143

50
Dari hasil pengkajian tersebut mereka menyimpulkan bahwa gesatan senjata
Hudaibiyah merupakan tahapan penting dalam sejarah perjuangan Rasulullah.
Perjanjian gesatan senjata ini ialah masa transisi sebelum tercapainya Futuh
Mekkah atau jatuhnya Mekkah ketangan Rasulullah. Ini membuat moral mereka
menjadi naik, apa yang sudah di presepsikan sebelumnya sebagai kekalahan
politik DI/TII pada 1962 justru mendapat makna baru sebagai tahapan transisi
menuju kemenangan.
Keduanya kemudian mengkaji soal status jihad di zaman Hudaibiyah dan
menyimpulkan bahwa status jihad harus berubah sifatnya dari qital fisabilillah
menjadi jihad fillah yaitu jihad tanpa kekuatan senjata dan bersifat semacam jihad
batin. Jihad fillah memang terkesan abstarak karena tidak ada bentuknya seperti
jihad fisabilillah yang berperang secara gesatan senjata, mereka menjelaskan
bahwa jihad fillah tidak menghendaki hal tersebut, karena yang mereka perangi
ialah hawa nafsu dan kemungkaran dalam hati. 108
Sejak akhir 1968 Djaja Sudjadi mulai melakukan silaturahmi dan sosialisasi
kepada eks DI/TII Jawa Barat terkait Hudaibiyah dan jihad fillah, sementara
Aceng Kurnia mulai melakukan pembinaan anak muda keturunan DI/TII di
rumahnya di daerah Cibuntu, Bandung. Aceng Kurnia menganggap bahwa proses
kaderisasi tersebut merupakan hal yang sangat penting sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasulullah semasa Hudaibiyah yaitu melakukan dakwah dan
menyebarkan ajaran Islam samai akhirnya jumlah pendukung Rasulullah selama
Hudaibiyah meningkat berlipat-lipat, yang pertama kali dikaderisasi oleh Aceng
Kurnia di antaranya Tahmid Rahmat anak dari Kartosoewirjo dengan tujuan untuk
menambah kekuatan dan spirit perjuangan. Setelah itu para murid dari Aceng
Kurnia diorgnisasikan dalam organisasi PRTI (Pergerakan Rumah Tangga Islam).
Pada 1970 Aceng Kurnia mendatangi para panglima eks DI/TII seperti Adah
Djaelani, Atang Djaelani dan Danu Muhammad Hasan. Dalam pertemuan tersebut
Aceng Kurnia mengingatkan tentang wasiat dari Kartosoewirjo mengenai
Hudaibiyah, ia menjelaskan bahwa pesan imam DI/TII itu sebagai penegas dari

108
Wawancara pribadi eks DI/TII Jawa Barat Bapak Aa, 28 Desember 2018 pkl. 11:00
Wib

51
perjuangan Darul Islam. 109 Kemudian Aceng Kurnia meyakinkan mereka bahwa
apa yang diperjuangkan oleh DI/TII dianggap sebagai pengulangan sejarah Nabi.
Perang melawan RIS pada tahun 1950-an dianggap sama dengan periode
Madinah, dimana Nabi Muhammad saat itu aktif melawan orang-orang kafir di
Mekkah.110 Sehingga mereka pun setuju dengan apa yang digagas oleh Aceng
Kurnia dan mereka pun bersedia untuk melanjutkan perjuangan DI/TII.
“da sabenernamah anu di komando Jihad teh salah ngartikeun pesan terakhir
Kartosoewirjo we soal Hudaibiyah, tah sabenernamah perjanjian Hudaibiyah teh anu
tos dilaksanakeun di gunung tea. Giliran umat Islam nu ayeunamah ngan saukur silih
wasiatan hungkul jeung haram atuh lamun ngalakukeun perang dua kali mah. Bahkan
pa imam teu wanien ngajamin dosa nage, soalna cek manehna haram hukumna kudu
perang dua kali111”( para kelompok DI/TII yang tidak sepakat dengan adanya
komando Jihad mengungkapkan bahwa pesan terakhir imam tidak boleh melakukan
jihad angkat senjata duakali, menurutnya telah selsai ketika mereka berjuang di
gunung. Adapun ungkapan Kartosoewirjo soal Hudaibiyah, itu mereka artikan saat
gesatan senjata melawan Belanda).
Semua mantan petinggi eks DI/TII telah menyetujui untuk konsolidasi
kembali, namun mereka memiliki kesulitan dalam pendanaan. Pendanaan
memang sangat dibutuhkan untuk jalannya konsolidasi mantan anggota DI/TII
yang ada di Jawa dan Sumatra. Meskipun begitu, masalah tersebut dapat teratasi,
usaha konsolidasi tersebut diuntungkan oleh situasi politik Indonesia di awal
1970-an, karena pada saat itu akan menghadapi pemilu pertama di zaman Orde
Baru yang akan diselenggarakan pada Juni 1971. Sejak setahun sebelumnya
orang-orang Bakin dan Kodam Siliwangi sudah mendekati orang-orang eks DI/TII
dan menuntut mereka untuk menyalurkan aspirasi politiknya ke Partai Golkar.
Kemudian Danu Muhammad Hasan mempunyai gagasan untuk meminta bantuan
kepada Bakin agar konsolidasi mantan DI/TII dapat terlaksana.112 Hal tersebut

109
Nur Khaliq Ridwan, Regenerasi NII: Membedah Jaringan Islam Jihad di Indonesia,
(Erlangga, Tahun 2008), hal 60-61.
110
Lukman Abdullah, Mengapa Teroris Tidakpernah Habis..., h. 21-24.
111
Wawancara pribadi Bapak Didi di Garut, 29 Desember 2018.
112
kemunculan Komando Jihad, nya di adudombaken nateh ku jendral, kudu nga ayakeun
deui jihad fisabilillah (mereka (DI/TII), di adudomba oleh Jendral/yang dimaksud Jendral tersebut
Ali Moertopo. harus membentuk kembali Jihad Fisabilillah). Wawancara bapak Iin di Garut, 15
November 20018.

52
disetujui oleh Aceng Kurnia sampai pada akhirnya Bakin memberikan bantuan
sebesar 250.000 rupiah untuk menjalankan reuni tersebut. 113
Namun hal tersebut ternyata menyebabkan perpecahan dari kelompok eks
DI/TII seperti Djaja Sudjadi yang menentang dengan keras soal bantuan dari
Bakin, meskipun begitu beberapa tokoh lainnya tidak keberatan mengenai bantuan
tersebut. Hubungan antara eks DI/TII dengan Bakin memang aneh bagi kalangan
mereka tetapi tidak bagi Danu Muhammad Hasan. Keterlibatan dengan intelejen
ini sebenarnya bermula dari keterlibatan internal dirinya dengan Ali Moertopo,
mereka sudah saling kenal dan sama-sama aktif di Hizbullah pada masa
perjuangan revolusi dulu. Danu sendiri sangat mempercayai Ali Moertopo, bahwa
Ali Moertopo pernah menyelamatkan DI/TII dari kemusnahan.
Pada 1965-1966 sebenarnya Soeharto akan menumpas semua musuh
politiknya termasuk DI/TII, namun Ali Moertopo membujuk Soeharto bahwa
orang-orang DI/TII yang anti komunis bisa dimanfaatkan untuk menumpas sisa-
sisa PKI. Usulan tersebut diterima oleh Soeharto, tetapi yang lebih lagi Danu
Muhammad Hasan mempercayai komitmen keislaman Ali Moertopo bahwa
menurutnya tokoh intelejen ini punya tekad yang sama dengan orang-orang eks
DI/TII yang menginginkan terbentuknya negara Islam.
Perselisihan dengan Djaja Sudjadi tidak membuat Aceng Kurnia dan kawan-
kawannya surut dalam berjuang. Pada kisaran tahun 1972 mereka mengadakan
pertemuan yang dihadiri oleh mantan petinggi-petinggi DI/TII di antaranya Danu
Muhammad Hasan, Adah Djaelani, Ules Sujai, Dodo Muhammad Darda serta
Tahmid Rahmat Basuki. Namun pertemuan paling penting diantaranya diadakan
pada bulan Oktober 1972 di rumah Aceng Kurnia dan tanpa kehadiran dari Djaja
Sudjadi. Dalam pertemuan tersebut mereka merumuskan platform gerakan yang
akan mereka hidupkan kembali yaitu pelaksanaan Syariat Islam. 114

113
International Crisis Group, Recycling Militants In Indonesia: Darul Islam And The
Australian Embassy Bombing, Paper, Asia Report N°92 – 22 February 2005.
114
Tim LIPI, Militer & Politik Kekuasaan Orde Baru. Soeharto di Belakang Peristiwa
27 Juli, (Jakarta: LIPI dan MIZAN, 2001), hal. 98.

53
D. DI/TII Menjadi Komando Jihad
Komando Jihad merupakan gerakan fundamentalis yang dibentuk oleh
sebagian umat Islam di Indonesia, mereka menganggap bahwa jihad yang
sebenarnya ialah jihad melalui jalan kekerasan. Banyak yang menjadi korban dari
kemunculan organisasi tersebut khususnya di Indonesia seperti kejadian teror bom
di Masjid Nurul Iman padang, pemboman Rumah Sakit, Gereja dan pembajakan
pesawat.115
Kemunculan organisasi ini diawali dengan pertemuan-pertemuan yang
dilakukan oleh pimpinan eks DI/TII seperti Aceng Kurnia dan kawan-kawan.
Kemudian mereka mulai griliya mencari mantan pengikut DI/TII terkhusus
kepada anak-anaknya, salah satu yang ikut bersama Aceng Kurnia ialah Dodo
Mohammad Darda anak dari Kartosoewirjo. Mereka sempat mengadakan
konsolidasi di jalan Mahoni pada 1973.116 Pertemuan tersebut dianggap
pertemuan yang paling bersejarah bagi kemompok eks DI/TII karena dalam
pertemuan itu dihadiri oleh tiga wilayah yaitu sulawesi, Jawa Barat dan Aceh-
Sumatra. Pertemuan tersebut dibuka langsung oleh Aceng Kurnia, salah satunya ia
mengungkapkan bahwa harus kembali merajut dan jihad fisabilillah untuk
menegakan syariat Islam di Indonesia. Selanjutnya diikuti oleh Adah Djaelani
yang menyampaikan hal yang serupa, selain itu Adah Djaelani juga
menyampaikan bahwa untuk kembalinya kepada syariat Islam maka harus ada
pemimpinnya. Maka dari itu untuk mewakili daerah Jawa ia menunjuk Tengku
Daud Beureuh sebagai Imam dari gerakan tersebut,117 karena pandangan Adah
Djaelani pada saat itu tidak ada lagi mantan perwira tertua selain Daud Beureuh
yang lainnya seperti Kahar Muzakar dan Pak Agus Abdullah sudah meninggal.
Setelah terbentuknya setruktural dan pandangan dasar untuk melakukan
kerja-kerja organisasinya, maka gerakan tersebut mulai beroprasi sesuai dengan

115
Indiawan Seto Wahjuwibowo, terorisme dalam pemberitaan media, (Yogyakarta :
Depublish, 2018), Hal. 14
116
Internasional Crisis Grup, Recycling Militants In Indonesia: Darul Islam And The
Australian Embassy Bombing, Paper, Asia Report N092-22February 2005.
117
Muhammad Sufyan Raji Abdullah, Mengenal Aliran-Aliran Islam dan Ciri-Ciri
Ajarannya, (Jakarta: LPPI Riyadhus Sholihin, 2003), hal. 142.

54
kepemimpinan yang ada di willayahnya. Tetapi kemunculan organisasi tersebut
ternyata tidak berjalan lancar, karena banyak pertentangan dari kalangan internal
eks DI/TII. “Ayeunamah tos teu aya lamun di indonesia anu pantes di sebutkeun imam”118
(mereka menganggap bahwa hari ini tidak ada yang pantas untuk menjadi Imam
DI/TII), karena menganggap perjuangan untuk angkat senjata telah selsai saat
turun di pegunungan, adapun pemimpin seperti imam hanya sebatas di organisasi
dan lingkupannya tidak besar seperti DI/TII dahulu.
Selain itu para kelompok yang tidak sepakat dengan adanya Komandi Jihad
menganggap bahwa gerakan tersebut sudah didominasi oleh kalangan Bakin,
salah satunya Ali Moertopo. “Tah para pingpinan nana di doktrin ku pa Ali Murtopo”(para
pemingpinna di dokrin oleh Ali Moertopo),119 salah satu yang berpengaruh dari kalangan

Intelegen untuk memecah belah DI/TII antaralain Ali Moertopo, karena ia


mempunyai kedekatan dengan pimpinan DI/TII.
Di sisilain pimpinan yang tidak sepakat dengan terbentuknya komando jihad
ialah Djaja Sudjadi. 120 Ia menganggap bahwa haram hukumnya untuk melakukan
perang dua kali, apalagi setelah turun gunung kita sudah sama-sama ikrar kepada
negara untuk menjaga kesetabilan Negara, juga konsep jihad yang dilakukan oleh
kelompok DI/TII sudah berbeda seperti jihad saat dipegunungan yaitu jihad
fisabilillah. Selain itu kelompok DI/TII lainnya yang tidak bergabung dengan
komando jihad sampai hari ini sudah menjadi masyarakat biasa pada umumnya,
bahkan tidak sedikit yang menjadi guru ngaji di setiap mesjid yang ada di
lingkungan rumahnya.

118
Wawancara pribadi Bapak Komar di Garut, 28 Desember 20018.
119
Wawancara pribadi eks DI/TII Jawa Barat Bapak Aa, 28 Desember 2018 pkl. 11:00
Wib.
120
“Komando jihad teh pan buatan intelegen matak pa jaja mah ngaharamkeun kanu
ayana komando jihad eta, soalna haram hukumna urang sebagai umat islam haram hukumna kudu
perang dua kali”. sebenarnya kelompok DI/TII pecah akibat adanya gerakan komando jihad karena
sebagian kelompok DI/TII salah satunya ialah Djaja Sudjadi tidak menghendaki adanya gerakan
tersebut, menurutnya haram untuk para anggota DI/TII melakukan perang dua kali. Wawancara
pribadi eks DI/TII Jawa Barat Bapak Aa, 28 Desember 2018 pkl. 11:00 Wib

55
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dalam pemaparan di atas penulis menyimpulkan beberapa


persoalan yang pertama, penulis melihat bahwa Jawa Barat merupakan
suatu wilayah yang setrategis untuk membangun organisasi keislaman
dalam hal ini DI/TII, karena selain penduduknya yang lumayan padat
kondisi keislamannyapun sangat kental. Maka dari itu Kartosoewirjo
sangat gampang untuk membangun gerakan tersebut.
Kedua, penulis menyimpulkan bahwa Kartosoewirjo merupakan
pemimpin DI/TII yang sangat kuat dalam menjalankan idiologinya.
Terlihat Pada tahun 1945 dalam sidang BPUPKI yang melahirkan
pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, Kartosoewirjo
memilih perjuangan di luar jalur parlementer. Selain itu dalam upaya
pembubaran DI/TII oleh pemerintah, Kartosoewirjo sudah ditawarkan
amnesti atau gantirugi kepada seluruh anggota DI/TII dengan syarat harus
membubarkan NII, tetapi ia menolak hal tersebut. Pada akhirnya
Kartosoewirjo dikenakan hukuman mati oleh pemerintahan Indonesia
Soekarno-Hatta.
Ketiga, penulis melihat bahwa perjuangan Kartosoewirjo dalam
membangun gerakan DI/TII tujuannya untuk mengusir tentara Belanda
yang sudah kembalilagi ke Indonesia, sehingga Kartosoewirjo dalam
mempertahankan wilayah Indonesia yang sedang mengalami kekosongan
kekuasaan akibat dari perjanjian Renvile, memaksakan ia untuk
memproklamasikan NII. Tujuannya agar negara Indonesia khususnya Jawa
Barat tidak diambil alih oleh Belanda.
Keempat, penulis menyimpulkan bahwa sosok Kartosoewirjo
sangat penting dalam gerakan DI/TII karena setelah ia di eksekusi mati,
maka gerakan DI/TII terpecah menjadi beberapa bagian akibat dari
perbedaan idiologi dan langkah jihadnya.

56
Kelima, melihat situasi dan kondisi saat ini penulis menyimpulkan
bahwa jihad fisabilillah atau angkat senjata memang tidak ideal dilakukan
lagi di Indonesia, yang terpenting hari ini ialah bagaimana manusia saling
menghargai sesama ummat atau kepada ummat lainnya. Karena jika kita
tidak menghargai sesama umat manusia maka akan menimbulkan
perpecahan sesama bangsa.

B. Saran
Dengan segala kerendahan hati, maka penulis menyarankan
beberapa saran yang sekiranya akan dianggap penting :

1. Perlunya pengkajian yang mendalam terkait para tokoh-tokoh


DI/TII dan eks DI/TII, agar jika ada peneliti selanjutnya tidak
kesulitan dalam literatur.
2. Perlunya riset yang mendalam terkait peran pengikut SM.
Kartosoewirjo
3. Perlu riset secara mendalam untuk mengetahui seberapa besar
kontribusi Kartosoewirjo terhadap Darul Islam.

57
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdullah Taufik, 1987. Islam dan Masyarakat, Jakarta: LP3ES

Ali R. Moh, 1972. Sedjarah Djawa Barat : Suatu Tanggapan. Bandung :


Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat.

Amiruddin M. Hasbi, 2000. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman,


Yogyakarta: UII Press.

Atja, 1986. Carita Purwaka Caruban Nagari : Karya Sastra sebagai Sumber
Pengetahuan Sejarah, Bandung: Proyek Permuseuman Jawa Barat.

Awwas S. Irfan, 2008. Trilogi kepemimpinan Negara Islam Indonesia: Menguak


Perjuangan Umat Islam dan Pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler.
Yogyakarta: USWAH.

Ayatrohaedi, 1987. Masyarakat Sunda sebelum Islam, Jakarta : Data Naskah,


Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.

Cahyadi T.noor, 2009. Relasi Islam dan Negara (studi atas pemikiran
kenegaraan M. Natsir dan S.M kartosoewirjo), Yogyakarta.

Chaidar-Al, 1999. Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam


Indonesia S.M. Kartosoewirjo (Mengungkap Manipulasi Sejarah Darul
Islam/DI-TII semasa Orde Lama dan Orde Baru), Jakarta: Darul Falah.

- 2000. Sepak Terjang KW9 Abu Toto (Syekh A.S. Panji Gumilang)
Menyelewengkan NKA-NII Pasca S.M. Kartosoewirjo, Jakarta : Madani
Press.

Conboy Ken, 2007. Intel; Menguak Tabir Dunia Intelejen Indonesia, Pustaka
Primatama, Jakarta.

58
Dematra Damien, 2011. Kartosoewirjo Pahlawan atau Teroris, Jakarta:
Gramedia Pustaka Umum.

Disjarah TNI AD, 1985. Penumpasan DI/TII S.M. Kartosuwiryo di Jawa Barat,
Bandung: Disjarah TNI AD.

Dkk, Ruslan, 2008. Mengapa Mereka Memberontak? Dedenglot Negara Islam


Indonesia. Yogyakarta: Bio Pustaka.

Drs. Anam Choirul, 1998. Pertumbuhan dan Perkembangan NU Surabaya:


Bisma Satu Press.

Eddy Ashari R. M, 1977. Sejarah Seni dan Budaya Jawa Barat I, Jakarta:
Proyek Media Kebudayaan Jawa Barat, DEPDIKBUD.

Gde Agung Anak Ida, 1991. Renville. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Harald Dengel Holk, 1995. Darul Islam dan Kartosuwirjo: Langkah Perwujudan
Angan-angan yang Gagal. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Iskandar Yosep, 1997. Sejarah Jawa Barat, Yuganing Rajakawasa, Bandung :


CV Geger Sunten.

Kartosoewirjo S.M, 2015. Haluan Politik Islam, Bandung : SEGA ARSY.

Kemal Pasha Mustofa dan Adaby Darban Ahmad, 2000. Muhammadiyah


Sebagai Gerakan Islam (dalam Persfektif Historis dan Idiologis),
Yogyakarta: LPPI.

Khaliq Ridwan Nur,2008. Regenerasi NII: Membedah Jaringan Islam Jihad di


Indonesia, Erlangga.

Lubis Nina dkk, 2003. Sejarah Tatar Sunda jilid, Bandung: Lembaga Penelitian
Universitas Padjajaran.

Mansur Suryanegara Ahmad, 1996. Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan


Islam di Indonesia, Bandung: Mizan.

59
Natsir M, 2000. Islam Sebagai Dasar Negara Jakarta: DDII dan Media Dakwah.

Pinardi, 1964. Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Jakarta: Aryaguna.

Poesponegoro Djoened Marwati dan Notosusanto Nugroho, 1984. Sejarah


Nasional Indonesia VI Jakarta, PN. Balai Pustaka.

Ratu Perwiranegara Alamsjah, 1987. Islam dan Pembangunan Politik di


Indonesia. Jakarta: CV Haji Masagung.

Stamford Raffles Thomas, 1976. The History of Java. Jakarta: Narasi Press.

Sufyan Raji Abdullah Muhammad, 2003. Mengenal Aliran-Aliran Islam dan


Ciri-Ciri Ajarannya, Jakarta: LPPI Riyadhus Sholihin.

Tjandrasasmita Uka, 2009. Arkeologi Islam Nusantara. (Jakarta: KPG bekerja


sama dengan EFEO dan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatulloh.

- 1993. Sejarah Nasional Indonesia. Edisi ke-4, Jakrta: Balai Pustaka.

Toriquddin Moh, 2009. Relasi Agama dan Negara (Dalam Pandangan


Intelektual Muslim Kontemporer), Malang: UIN Malang Press.

Van Dijk Corneles, 1983. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Jakarta:Pustaka


Utama Grafiti.

Vickers Adrian, 2001. Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Insan Madani.

Vlekke Bernard H.M, 2010. Nusantara Sejarah Indonesia, Jakarta: Kepustakaan


Populer Gramedia.

Yoeliawati Sri, 1987. Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Daerah


Banten dan Sekitarnya, Bandung : Universitas Padjajaran.

Zada Khamami, 2002. Islam Radikal, Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis


Keras di Indonesia, Jakarta: TERAJU.

60
Zuhri Syaifuddin, 1979. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di
Indonesia, Bandung: Al-Ma’arif.

Jurnal

Hersri Setiawan & Joebar Ayoeb. SM. Kartosuwiryo, Orang Seiring Bertukar
Jalan, Prisma, No. 5 Tahun 1982.

International Crisis Group, 2005. Recycling Militants In Indonesia: Darul Islam


And The Australian Embassy Bombing, Paper, Asia Report N°92 – 22
February.

Pemerintah Daerah Tingkat I Prponsi Jawa Barat, 2006. Selayang Pandang


Propinsi Jawa Barat, Bappeda.

Syamsudin M. Din, 1993. Usaha pencarian konsep negara dalam sejarah


pemikiran Islam, dalam ulumul Qur’an vol iv no.2 Jakarta.

Artikel

Kartosoewirjo S.M, 1948. Oesaha Hijrah, bagian moeqadimah cetakan pertama,


Malangbong SS-WD Java : Poestaka Daroel-Islam.

Wawancara

Wawancara pribadi eks DI/TII Jawa Barat Bapak Aa, 28 Desember 2018.
Wawancara pribadi Bapak Komar di Garut, 28 Desember 20018.
Wawancara bapak Iin di Garut, 15 November 20018.
Wawancara pribadi Bapak Didi di Garut, 29 Desember 2018.
Wawancara pribadi Anonim di Garut, 15 November 20018.

61
LAMPIRAN

Lampiran 1

Peta Wilayah Kekuasaan DI/TII Pada Tahun 1959-1962

Sumber : Disjarah TNI AD, Album Pemberontakan DI-TII di Indonesia Bandung :


Disjarah TNI AD, 1981.

62
Lampiran 2

Saat operasi penumpasan DI/TII

Sumber : Alwan Nurdin, Riset Tentang Batalyon Dalam Oprasi Divisi


Seliwangi/Teritorium-III Jawa Barat, Bandung Disjarahad, 1999, hlm, 10

63
Lampiran 3

Sumber : Van Dijk. Darul Islam Sebuah Pemberontakan, hal xxx

64
Lampiran 4

Foto sabotase jembatan Rel kereta api oleh DI/TII Lebak Jero Leles

Sumber : Disjarah TNI AD, Album Pemberontakan DI-TII di Indonesia Bandung


: Disjarah TNI AD, 1981

65
Lampiran 5

Foto SM. Kartosoewirjo

Data pribadi Bapak Komar eks DI/TII Jawa Barat

66
Lampiran 6

Sumber : mantan DI/TII Jawa Barat Anonim

67

Anda mungkin juga menyukai