Anda di halaman 1dari 46

CRITICAL BOOK REVIEW

M.K SEJARAH KEMERDEKAAN


INDONESIA

PENDIDIKAN SEJARAH

Skor Nilai:

“Modul Sejarah Indonesia & Buku Titik Silang


Jalan Kekuasaan Tahun 1966”
DISUSUN OLEH :

Nama : Mohammad Lukmanul Hakim

Nim : 3203121060

Kelas : E Reguler

Mata Kuliah : Sejarah Kemerdekaan Indonesia

Dosen Pengampu : Ricu Sidiq,M.Pd

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2022
1
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kita panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga saya dapat menyusun tugas Critical Book Review
ini dengan baik dan benar, serta tepat pada waktunya. Tugas ini di buat untuk memenuhi salah
satu mata kuliah Sejarah Kemerdekaan Indonesia dan saya ucapkan terima kasih kepada dosen
mata kuliah kami, Bapak Ricu Sidiq,M.Pd yang telah membimbing dan mengarahkan kami
dalam menyelesaikan tugas Crtitical Book Review ini.

Critical Book Review ini telah dibuat dengan dari beberapa sumber dan beberapa bantuan dari
berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan
tugas ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas Critical Book Review ini.

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada Critical Book Review
ini. Oleh karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun saya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat saya harapkan untuk penyempurnaan
tugas selanjutnya.

Akhir kata semoga tugas yang saya buat ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua dan
dapat memberikan nilai lebih pada proses pembelajaran mata kuliah Sejarah Kemerdekaan
Indonesia

Medan, November 2022

M. Lukmanul Hakim

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... 2

DAFTAR ISI .................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 4

a. Rasionalisasi Pentingnya Critical Book Review (Cbr) .......................................... 4

b. Tujuan Penulisan Critical Book Review (Cbr) ..................................................... 4

c. Manfaat Critical Book Review (Cbr) ................................................................... 4

BAB II IDENTITAS BUKU ........................................................................................... 5

a. Identitas Buku Utama .......................................................................................... 5

b. Identitas Buku Pembanding ................................................................................. 5

BAB III RINGKASAN BUKU ....................................................................................... 6

a. Ringkasan Buku Utama ....................................................................................... 6

b. Ringkasan Buku Pembanding .............................................................................. 22

BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................................... 41

a. Pembahasan dan Kelebihan Kedua Buku ............................................................. 41


b. Kekurangan Kedua Buku ..................................................................................... 44

BAB V PENUTUP.......................................................................................................... 45

a. Kesimpulan ......................................................................................................... 45

b. Saran ................................................................................................................... 45

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 46

3
BAB I

PENDAHULUAN

a. Rasionalisasi Penting nya Critical Book Review (Cbr)

Sebagai seorang pembaca, adakalanya kita harus memilih beberapa buku yang ingin
dibaca. Dalam hal memilih buku, kita membutuhkan suatu pedoman mengenai kelebihan dan
kekurangan suatu buku. Makalah Critical Book Review ini sengaja disusun oleh penulis untuk
dapat membantu para pembaca dalam hal menambah referensi dan mengetahui kelebihan dan
kekurangan buku yang akan dibaca, terkhusus mengenai pentingnya pengetahuan membaca.

b. Tujuan Penulisan Critical Bbook Review (Cbr)

1) Untuk memenuhi salahsatu tugas KKNI Mata Kuliah Sejarah Kemerdekaan Indonesia

yaitu Critical Book Review.

2) Untuk mengkritisi suatu buku mengenai sistem membaca cepat dan efektif dan

memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Kemerdekaan Indonesia.

3) Untuk memperluas ilmu pengetahuan mengenai persfektif terhadap mata kuliah Sejarah

Kemerdekaan Indonesia.

c. Manfaat Critical Book Review (Cbr)

Manfaat penulisan Critical Book Review (Cbr), yaitu:

1. Dapat meningkatkan analisis kita terhadap suatu buku.

2. Agar kita dapat mengetahui teknik – teknik penulisan Critical Book Review (Cbr) yang

baik dan benar.

3. Menambah pengetahuan kita terhadap isi – isi dari buku yang akan di kritisi.

4. Meningkatkan kemampuan mengkritisi dan meng – analisa sebuah buku.

5. Melatih keterampilan membaca dan menulis sebuah buku / teks akademik.

4
BAB II

IDENTITAS BUKU

Identitas Buku

a. Identitas Buku Utama

1. Judul Buku : Modul Sejarah Indonesia

2. Penulis : Ricu Sidiq

3. Penerbit :-

4. Kota Terbit :-

5. Tahun Terbit :-

6. ISBN :-

7. Jumlah Halaman : 135 halaman

b. Identitas Buku Pembanding

1. Judul Buku : Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966

2. Penulis : Rum Aly

3. Penerbit : Kata Hasta Pustaka

4. Kota Terbit : Jakarta

5. Tahun Terbit : 2006

6. ISBN : 979 – 1056 – 01 – 3

7. Jumlah Halaman : vi + 151 Halaman

5
BAB III

RINGKASAN BUKU

a. Ringkasan Buku Utama

Tradisi Tumbal Darah

Corak warna yang dominan dalam sejarah Indonesia dari abad ke abad, adalah merah,
karena darah. Menjadi satu dengan itu, adalah rangkaian pertarungan kekuasaan. Perilaku
pemenuhan hasrat kekuasaan menjadi bagian utama karakter para pemuka kelompok
masyarakat dalam tata feodalistik, yang senantiasa membutuhkan tumbal darah rakyat. Hanya
dalam keadaan tanpa adanya rakyat yang melawan, sejarah mencatat Nusantara menjadi
rangkaian kepulauan yang seakan damai, aman, tenteram yang mencipta legenda tentang
keindahan dan kekayaan alam. Tanpa ada yang melawan, kehidupan rakyat Nusantara seakan
memasuki perspektif keabadian “sub specie aeternitatis” yang mengutamakan keselarasan. Tak
diperlukan perubahan yang cepat. Dalam konsep ‘semu' kehidupan yang mengutamakan
harmoni dan keabadian, tak ada perubahan tanpa mengalirkan darah. Ini berlaku sebagai
kesimpulan, sepanjang tak ada fakta yang menunjukkan lain di luar itu. Penguasa dan rakyat
Nusantara sangat terikat dengan beberapa nilai masa lampau dan kepada konsep kekuasaan
perkasa yang gaib.

Pada masa yang masa terakhir, tumbal darah itu berangsur berubah menjadi kurban
hewan biasanya kerbau yang dipenggal untuk ditanam kepalanya di tempat yang akan
dibangun. Akan tetapi dalam satu kurun waktu yang panjang sebelumnya, hingga setidaknya
awal tahun 1960-an, yang dibutuhkan pada serangkaian acara ritual seperti itu memang adalah
tumbal jiwa, kepala dan darah manusia. Pengeta huan spiritual seperti itu mengikuti perjalanan
waktu telah mengendap ke alam bawah sadar dan merembes turun temurun lintas generasi.
Berikut ini beberapa kisah pembuka' lintas waktu tentang tumbal darah Nusantara dan kisah
lumuran darah lainnya, serta kematian melalui jalan kekerasan. Kedua peristiwa itu diyakini
berkaitan satu dengan yang lainnya. Dalam konteks kepercayaan mistis tradisional, setidaknya
dibutuhkan empat kepala manusia muda sebagai tumbal karena suatu bangunan' mempunyai
empat sudut, dan alam memiliki empat penjuru angin utama.

Dalam kurun waktu penuh penderitaan ini, kekejaman dilakukan oleh kedua belah
pihak, oleh tentara dan oleh DI-TII. Penduduk satu desa bisa didera dengan kekerasan dua kali.
Bila DI-TII masuk desa, mereka akan mengambil bahan makanan terutama beras, juga

6
perempuan muda yang rupawan, untuk dibawa masuk hutan dan dinikahi secara 'paksa'
(Sepanjang yang diketahui tak pernah ada perkosaan, tapi kalau ada, pelaku akan dihukum
berat). Ketika tentara kemudian datang, penduduk akan dipersalahkan dan dituduh membantu
DI-TII, tak jarang ada eksekusi atau kekerasan lainnya dilakukan tentara kepada penduduk.
Begitu pula sebaliknya, DI-TII cenderung menghukum - dengan eksekusi pemuka desa dan
pembakaran rumah - desa yang dianggapnya telah membantu tentara, padahal desa itu sekedar
disinggahi satuan-satuan tentara yang sedang mengejar pasukan DI-TII. Penduduk akhirnya
benci kepada kedua belah pihak. Kerap kali terjadi pembalasan oleh penduduk, sehingga
seakan-akan terjadi perang segitiga. Bila ada anggota DI-TII maupun anggota TNI yang sedang
sendirian atau hanya berdua, kemungkinan besar takkan selamat. Dibunuh, tak jarang dengan
cara yang mengerikan, digorok lehernya. Yang tak tahan ikut menempuh jalan pembalasan dan
kekerasan, memilih meninggalkan kampung halaman berlayar mengarung laut ke pulau
seberang. Kisah ketiga. Pada masa pergolakan di Sulawesi Selatan karena pemberontakan DI-
TII, para komandan batalion di wilayah komando daerah militer (Teritorium VII) Wirabuana
(kemudian berubah nama menjadi Kodam XIV Hasanuddin lalu kembali memakai nama
Wirabuana) amat berkuasa di wilayah masing-masing. Terutama pada masa berlakunya SOB
(Staat van Oorlog en Beleg), masa keadaan darurat perang.

Soekarno dan Tentara: Meninggalkan Titik Nadir

Jakarta tahun 1959. Hari itu, 5 Juli, di serambi depan Istana Merdeka, Kepala Staf
Angkatan Darat KSAD Jenderal Mayor Abdul Harris Nasution duduk dengan tenang namun
tidak cukup relaks - lebih sering agak menunduk - di tikungan deretan kursi, sudut kanan depan
barisan kiri. Di sisi kanan adalah koridor langsung dari pintu istana, yang mengantarai kursi
barisan kanan. Sang jenderal memakai seragam hijaunya, kemeja lengan panjang dengan
celana drill hijau yang mengkilap, peci perwira warna hitam di kepala. Ujung dasi hitamnya
menyelip ke arah kiri di antara kancing kedua dan ketiga kemejanya. Di sebelah kirinya dalam
setelan jas putih adalah Ir. Juanda, dan tepat di belakangnya pada deretan kedua, duduk Kepala
Kepolisian RI Soekanto yang memangku tongkat komandonya dan memasang topi petnya di
lutut kanan. Ia ini tampak lebih relaks dan lebih bersandar ke punggung kursi lipat. Di kursi-
kursi yang cukup jauh dari Nasution duduk beberapa tokoh Partai Komunis Indonesia dan
Partai Nasional Indonesia. Kursi-kursi pada suatu upacara di istana ini berada di belakang
deretan pilar-pilar serambi Istana Merdeka. Tepat di antara dua pilar tengah yang lurus ke
belakang dari arah pintu ruangan dalam istana, menjorok ke depan tepat di atas undakan tangga,
terpasang satu panggung dengan tenda beratap terpal kain. Presiden Soekarno sedang berdiri

7
di sana, mengumumkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Di pelataran aspal yang masih basah
karena hujan yang turun mengguyur Jakarta beberapa saat sebelumnya, berdiri komandan
upacara yang berseragam hijau dengan topi baja.

Dipa Nusantara Aidit: Mengibarkan Bendera Merah

Diantara 4 kaki penopang kekuasaan Soekarno dalam penggalan masa itu, Tentara dan
PKI bagaimana pun adalah yang paling fenomenal. Pusat kekuasaan yang sebenarnya pada
masa 6 tahun itu ada di tangan Soekarno Angkatan Darat-PKI. Realitas kekuasaan segitiga
seperti ini yang dalam politik perimbangan yang dimainkan Soekarno, sekaligus terikat
menempatkan pula PKI dan Tentara ke dalam suatu persaingan kekuasaan yang
berkepanjangan. Hingga sedemikian jauh, tidak terlalu sulit bagi Soekarno memegang kendali
political game kala itu, karena terdapatnya sejumlah faktor historis dan kondisi objektif krusial
yang mewarnai hubungan tentara dengan PKI. Secara historis, tentara dan kaum komunis,
kerap bersilang jalan dan bahkan harus berhadap-hadapan seperti misalnya pada Peristiwa
Madiun 1948 dan beberapa insiden internal Angkatan Darat yang melibatkan perwira-perwira
militer berhaluan komunis sebagai trouble makers.

Benturan-benturan serupa masih terjadi pada masa-masa berikutnya, terutama ketika


PKI melalui organisasi-organisasi mantelnya gencar melancarkan aksi-aksi sepihak terkait
dengan UUPBH Undang-undang Pokok Bagi Hasil dan UUPA Undang-undang Pokok
Agraria. Dengan maraknya aksi-aksi sepihak seperti itu, Pd Presiden Johannes Leimena, 15
Juni 1964, mengeluarkan Instruksi Pd Presiden yang melarang dilakukannya aksi sepihak oleh
pihak mana pun. Meski ada larangan seperti itu, Konferensi I PKI pada 5 Juli justru melahirkan
resolusi yang menyerukan untuk membantu aksi-aksi sepihak kaum tani yang adil patriotik dan
Manipolis untuk mengkonsekuenkan UUPBH dan UUPA. Aksi-aksi revolusioner kaum tani
yang sedang berlangsung sekarang adalah tidak lain daripada akibat aksi sepihak reaksioner
tuan tanah jahat yang mensabot pelaksanaan UUPBH dan UUPA.

Panglima AD ini tak terlalu terkejut dengan laporan Sarwo, karena secara pribadi
Benny yang menjadi salah seorang perwira tulang punggung operas di Irian Barat, pernah
menyampaikan keluhannya mengenai Kolonel Mun ini. Penyampaian Sarwo menjadi
konfirmasi tambahan baginya. Bula Januari 1965, Yani melakukan Serangkaian perubahan
dengan caranya sendiri. Kolonel Mung mendapat tugas baru sebagai Panglima Daerah Militer
di Kalimantan Timur, salah satu garis depan ke wilayah Malaysia dalam rangka Dwikora.

Di Bawah Selimut 'Bendera Revolusi'

8
Tahun 1965, setidaknya hingga sembilan bulan pertama, dalam fakta empiris menjadi
masa puncak kekuasaan otoriterisme sipil Soekarno, sebelum secara ironis dalam suatu anti
klimaks tercipta tanda patahan kekuasaan pada tiga bulan terakhir tahun itu. Kekuasaan otoriter
Soekarno selama kurang lebih enam tahun sejak 1959 yang merupakan episode lanjutan dari
masa kepresidenan Soekarno selama empatbelas tahun sejak 1945 ditopang oleh partai
berpaham otoriter PKI serta sejumlah partai tak berkepribadian dalam pengelompokan
berdasarkan konsep Nasakom Nasional-Agama-Komunis. Kekuasaan otoriter Soekarno ini
bermula dan tercipta setelah Dekrit tahun 1959 yang tak terlepas pula dari dukungan kuat
militer Indonesia, terutama melalui peranan Jenderal Abdul Harris Nasution, sehingga pusat
kekuasaan politik dan negara kala itu sebenarnya ada pada segitiga samasisi Soekarno-PKI-
Angkatan Darat. Lihat, Bagian Kesatu. Namun dalam perjalanan proses dari waktu ke waktu
hingga setidaknya pada dua tahun terakhir, 1964 sampai September 1965, posisi Angkatan
Darat dalam segitiga kekuasaan itu menunjukkan kecenderungan melemah. Satu dan lain
sebab, adalah makin kuatnya penetrasi pengaruh PKI dan campur kuatnya sinergi politik antara
Soekarno dengan PKI sebagai daya rusak tangan Soekarno dalam tubuh Angkatan Darat,
sekaligus karena makin dari arah luar. Selain dari Soekarno dan PKI, sejak lama suatu pengaruh
dari luar melalui persentuhan lunak sebenarnya telah pula memasuki tubuh militer Indonesia,
berupa pertemuan jalan pikiran antara tokoh – tokoh PSI dengan sejumlah perwira tentara.

Dalam pergulatan kekuasaan sepanjang lima tahun atau enam tahun PKI dan
organisasi-organisasi kependudukannya Setapak demi Setapak berhasil menempati posisi
kokoh isi Soekarno dan mewarnai dengan kuat untuk tidak menyebut mendominasi kehidupan
politik Indonesia. Setengah perjalanan tanda keunggulan PKI telah Cukup jelas terlihat dalam
peta politik hingga pertengahan tahun 1966 PKI menanggulangi kekuatan politik lainnya dalam
pergelutan kekuasaan dengan sikap efisiensinya yang mengalir bagaikan air bah yang tak
kunjung surut. Bahkan PKI berhasil menciptakan suatu tingkat susunan psikologis berupa
ketakutan kelompok politik lain Untuk Dikenang stigma komunis, phobia kontra revolusi anti
naskom, antek nekolim dan aneka Tudingan mengerikan lainnya seperti kapitalis, birokrat
setan kota, setan desa dan sebagainya.

“Seandainya Baginda Raja Tahu...”

Mulai beberapa peristiwa politik pemimpin Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad
Yani melemah posisinya di hadapan Soekarno antara lain tak kalah ia menolak pembentukan
angkatan kelima yang lahir dari gagasan PKI untuk mempersenjatai Kaum Buruh dan petani

9
pada masa konformatif terhadap Malaysia isu angkatan kelima di awal 1965 ini merupakan
salah satu isu pamungkas yang memojokkan angkatan darat dan kelompok Jenderal Abdul
Haris Nasution di tahun terakhir perseteruan terbuka di antara serangan politik lain yang datang
bergelombang. Penganiayaan terhadap HMI oleh PKI dan organisasi-organisasi mantelnya
juga mempengaruhi posisi Yani yang mempertimbangkan moral dan tentu saja juga
pertimbangan taktis mau tidak mau harus memilih posisi melindungi organisasi mahasiswa
yang menjadi sasaran tumbuh politik golongan kiri itu Letnan Jenderal Ahmad Yani selaku
Panglima darat pada tahun 1964 di tengah gencarnya serangan terhadap HMI dengan tugas
menyatakan keyakinan mengenai kesetiaan HMI dalam mengabdi demi kepentingan negara.
Tetapi yang paling Ironi dalam masalah hm ini sebenarnya adalah kenyataan bahwa ketika
HMI sedang mengalami serangan golongan politik kiri yang bertubi-tubi justru sebagian umat
dan kekuatan politik Islam berangsur-angsur meninggalkan HMI pelopor hijrah dari HMI itu
masih pada saat tingkat keadaan belum betul-betul berbahaya dimulai oleh generasi muda
lingkungan Nahdlatul Ulama yang tadinya menjadi anggota HMI ketika NU mendirikan PMII
pergerakan mahasiswa Islam Indonesia pada tanggal 17 April 1960 di Surabaya.

Pada Suatu Wilayah Abu-abu

Selain para pembuatan selembaran di Bandung waktu itu memang terdapat sejumlah
aktivis bawah tanah yang beberapa diantaranya sempat menjadi buronan BPI atau intelijen
polisi atau intelijen militer yang bekerja untuk setiap kepada Soekarno tetapi yang menarik
bahwa sekelompok priawi angkatan darat yang anti PKI juga diduga menyusun atau setidaknya
membantu sejumlah jaringan bawah tanah yang anti PKI dan tak jarang sekaligus juga anti
Soekarno kala itu. Salah satu pelaku gerakan bawah tanah yang paling berpengalaman tak
Perlak lagi adalah kelompok PSI namun sebelum dibubarkan partai ini pun merupakan partai
menganggap penting strategi perluas jaringan ke berbagai institusi untuk tidak menyambut
sebagai penyusutan pengaruh politik. Sewaktu PSI dinyatakan terlarang oleh Soekarno gerakan
bawah tanah menjadi pilihan para tokoh dan kadar partai gerakan membina yang sudah bisa
dilakukan sejak awal menjadi lebih penting bergerak secara ilegal merupakan hal yang biasa
bagi para tokoh yang kemudian hari bergabung dengan PSI sudah dilakukan di zaman kolonial
Belanda maupun masa pendudukan Jepang. Gerakan kelompok Katolik pesan nasakom
digambarkan banyaknya melakukan rancangan seorang rohaniawan Katolik Peter joop beek
gerakan kelompok Katolik ini pada mulanya sebenarnya lebih ditunjukkan kepada PKI bagi
sebagian orang Katolik melawan komunisme habis-habisan adalah kewajiban yang tak bisa
ditawar sebagaimana halnya dengan kalangan Islam orang-orang Katolik ini merasa Amat tak

10
nyaman dengan sikap perumusan yang ditunjukkan kaum komunis terhadap agama-agama
yang ada.

Pada Suatu Wilayah Merah

Pada suatu wilayah merah adalah menarik bahwa dalam kurun waktu nasakom PKI
yang menetapkan perjuangan kelas sebagai kegiatan politik ideologisnya boleh dikatakan tak
pernah menyentuh wilayah persoalan kesenjangan sosial yang terkait dengan kelompok etnis
Cina hubungan PKI di bawah Aidit dengan China komunis Aidit dianggap sebagai kelompok
sayap peking dan keberadaan baperki sebagai organisasi yang berkiblat kiri dapat menjelaskan
mengapa PKI relatif menjauhi masalah kesenjangan sosial dan ekonomi yang terkait dengan
etnis Cina di Indonesia terdapat pula unsur pragmatis dalam hal ini. Secara umum sumber dana
untuk segala kegiatan politik PKI tak banyak Disinggung ini berbeda dengan kelompok
Jenderal yang memegang kendali angkatan darat yang berhadapan dalam pertarungan politik
dan kekuasaan dengan PKI sumber dana para Jenderal saat itu senantiasa dikaitkan dengan
perilaku korupsi terutama karena posisi sejumlah Jenderal atau perwira tentara dalam berbagai
Badan Usaha Milik Negara yang sebagian adalah bekas perusahaan Belanda yang
dinasionalisasi Pada tahun 1957.

BAGIAN KETIGA

KONSPIRASI DAN PERTUMPAHAN DARAH

Meskipun soal penemuan sebuah dokumen yang mengandung Rencana 4 Tahun PKI,
tahun 1964, telah ditengahi oleh Sockarno dan untuk itu lahir Deklarasi Bogor, posisi tertuduh
yang dilekatkan kepada PKI, tidaklah berakhir begitu saja. Terlepas dari apakah memang
dokumen itu benar adanya seperti yang diungkapkan Chairul Saleh, atau apakah itu dokumen
yang dipalsukan seperti sanggahan Aidit, bagi kalangan politik, terutama mereka yang anti
PKI, ada kesesuaian objektif dari isi dokumen itu dengan situasi faktual yang bisa terbaca dari
sepak terjang politik sehari-hari PKI pada masa itu dan waktu-waktu berikutnya. Dokumen itu
sendiri sebenarnya sebuah risalah yang berjudul Resume Program dan Kegiatan PKI Dewasa
Ini, dengan tanggal pembuatan 23 Desember 1963. Plan Empat Tahun PKI yang diakronimkan
dengan Peta PKI, secara eksplisit terdapat pada bagian ketiga, Bidang Organisasi. Dalam
sorotan eksternal, yang digunakan adalah terminologi Rencana 4 Tahun PKI. Keberadaan
Rencana 4 Tahun PKI, sebenarnya lebih dulu diungkap oleh pimpinan Angkatan Darat.
Dokumen itu mengambil jangka waktu Agustus 1963 Agustus 1967, dengan menyebutkan

11
adanya tujuan akhir yang ditafsirkan sebagai usaha merebut kekuasaan politik dan kekuasaan
negara.

Kala itu PKI telah menanamkan semacam dalil bahwa Pancasila itu sama dengan
Nasakom, maka anti Nasakom sama dengan anti Pancasila. Hampir dua bulan setelah Seminar
Angkatan Darat I, Letnan Jenderal Yani makin terdorong lagi ke belakang. Bermula dengan
perintah Presiden Soekarno sewaktu melantik Sutjipto Judodihardjo sebagai Menteri Panglima
Angkatan Kepolisian yang baru menggantikan Soetjipto Danoekoesoemo, agar semua
angkatan dalam ABRI berpegang teguh kepada Nasakom, hanya selang beberapa minggu,
akhir Mel, Yani meresponsnya dengan menyelenggarakan Rapat Panglima AD se-Indonesia di
Senayan. Sekali lagi, Soekarno yang hadir dalam acara pembukaan, memerintahkan Nasakom-
isasi ABRI.

Dalam Persilangan Informasi

Tujuh hari terakhir bulan September 1965, sebenarnya terisi dengan hal hal tak
menyenangkan. Seakan ada awan panas menggantung di langit Jakarta. Banyak tokoh dalam
kekuasaan negara dan politik, merasakan suasana tak enak itu. Mereka mengetahui banyak hal
yang berbahaya, berdasarkan sejumlah informasi yang sebenarnya sudah mereka terima jauh
hari sebelumnya. Dan dalam keadaan demikian semestinya banyak hal baik yang bisa dan perlu
dilakukan bila mengetahui sesuatu, untuk keselamatan negara, namun justru tidak dilakukan.
Untuk sebagian, seakan naluri dan kemampuan analisa sedang tumpul, sedang untuk sebagian
lainnya yang tumpul adalah hati nurani dan lebih suka menunggu demi kepentingan tertentu.
Atau, di satu pihak memang terlibat dalam perencanaan tertentu, dan pada pihak lainnya
menanti namun mempersiapkan gerak antisipasi, dalam satu bingkai pertarungan kekuasaan.
Sebagian terbesar rakyat yang kala itu telah sangat menderita dalam himpitan ekonomi, oleh
kenaikan harga-harga kebutuhan sehari-hari yang meluncur ke atas karena inflasi yang tak
terkendali, takkan mungkin panya waktu untuk memahami situasi.

Kisah Seorang Perwira Intel dan Seorang Mayor Revolusioner

Keberangkatan Soebandrio ke Sumatera 29 September, dimulai dengan kunjungan ke


Lampung. Ikut bersama Soebandrio, Laksamana Muda Udara Sri Muljono Herlambang. Tapi
saat Soebandrio menuju Medan, Sri Muljono Herlambang dan rombongan berpisah, menuju ke
Bengkulu dan Padang. Soebandrio berada di Sumatera hingga 2 Oktober 1965. Pada hari yang
sama, tanggal 29 September pagi, Menteri Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar

12
Dhani, menghadap Presiden Soekarno. Kepada Soekarno, ia melaporkan adanya sejumlah
pasukan yang didatangkan dari daerah ke Jakarta.

Apakah terkait dengan kabar adanya masalah Internal Angkatan Darat Maka ia
menugaskan Letnan Kolonel Heru Atmodjo untuk menemui dan mencari tahu apa maksud
kedatangan Separdjo ke Jakarta. Bagaimana sampai Heru Atmodjo mendapat tugas langsung
dari Menteri Panglima Angkatan Udara, jalan ceritanya adalah seperti penuturan Heru sendiri,
yang untuk sebagian dipaparkan kembali berikut ini. Berdasarkan penuturan itu, terlihat betapa
sebenarnya Heru Atmodjo yang saat itu menjabat sebagai Asisten Direktur Intelijen Udara pada
Markas Besar Angkatan Udara, telah menemukan informasi amat berharga tentang apa yang
akan terjadi dalam dua puluh empat jam ke depan. Tetapi adalah pula karena jejak langkahnya
mengumpulkan informasi itu, dan karena pertemuannya dengan para pelaksana gerakan
tanggal 30 September dalam perjalanan tugasnya tersebut, ia kemudian ditangkap dan diadili.

Soekamo, Aidit dan Jenderal Nasution

Soal siapa yang bisa dan pantas menggantikan Soekarno kelak, sebenarnya tak hanya
nama Yani-atau Omar Dhani-yang muncul kala itu. Soebandrio yang secara formal adalah
orang kedua setelah Soekarno dalam kekuasaan hingga tahun 1965, justru menggambarkan
adanya dua tokoh yang memiliki peluang seimbang, yakni Jenderal Abdul Harris Nasution dan
Letnan Jenderal Ahmad Yani. Spekulasi yang berkembang, jika Bung Karno meninggal atau
sudah tidak lagi mampu memimpin Indonesia, maka pengganti yang paling cocok adalah antara
Yani dan Nasution. Sebenarnya, pada sisi lain Soebandrio sendiri pun kerap disebutkan
termasuk yang memiliki peluang untuk itu.

Yang tidak banyak diketahui orang, ungkap Soebandrio, dari sekian perwira senior
yang paling ditakuti Presiden Soekarno saat itu adalah Nasution. Sampai-sampai Presiden
Soekarno menjuluki Nasution sebagai pencetus gagasan Negara dalam Negara. Selain sangat
berpengalaman di bidang militer, Nasution juga matang berpolitik. Dia pencetus ide Dwi
Fungsi ABRI melalui jalan tengah tentara. Ia berpengalaman melakukan manuver-manuver
politik yang dikoordinasi dengan menggunakan kekuatan militer, agar tentara bisa masuk ke
lembaga-lembaga negara secara efektif di pusat dan daerah. Pertemuan langsung antara
Soekarno dengan Nasution yang terakhir adalah pertengahan September 1965, tatkala Presiden
menganugerahkan Bintang Mahaputera kepada Dipa Nusantara Aidit di Istana Negara.

Akhirnya, Darah Mengalir

13
Perintah-perintah penyelidikan dan penindakan yang diberikan Presiden Soekarno
kepada beberapa jenderal yang dianggapnya setia kepadanya, seperti yang terlihat dari
rangkaian fakta, pada mulanya memang seperti berputar-putar saja tanpa hasil konkrit. Pulang-
pergi, jenderal-jenderal seperti Brigjen Sjafiuddin, Mayjen Mursjid, lalu Brigjen Sabur, Brigen
Soenarjo hingga Brigjen Soedirgo, hanyalah melakukan serangkaian panjang akrobat lapor
melapor yang intinya hanyalah konfirmasi bahwa memang benar ada sejumlah jenderal yang
tidak loyal yang merencanakan semacam tindakan makar terhadap Soekarno. Ketika Soekarno
menanyakan kesedia. an mereka untuk menghadapi para jenderal tidak loyal itu, mereka selalu
menyatakan kesediaannya. Begitu pula sewaktu Soekarno memberika penugasan, mereka
selalu menyatakan kesiapan, namun persiapannya sendiri tampaknya jalan di tempat.

Brigjen Sabur misalnya menyatakan, persiapannya perlu waktu dan harus dilakukan
dengan teliti. Akan tetapi, 21 Nopember 1968, Soeharto memerintahkan pencopotan Soedirgo
dari jabatannya di badan intelijen setelah itu Soedirgo dimasukkan tahanan. Bersama Soedirgo,
beberapa jenderal lain yang di tahun 1965 menjadi lingkaran dalam Soekarno juga dikenakan
penahanan Gajah tidak pernah lupa, kata pepatah. Sebagai pengganti Soedirga, Seharto
mengangkat lingkaran dalamnya sejak periode Divisi Diponegoro Jawa Tengah, Yoga
Soegama yang kala itu sudah berpangkat Letnan Jenderal. Ketika Ahmad Yani membuka pintu
kaca yang menghubungkan ruang makan dan ruang belakang, Eddy puteranya cepat-cepat
mendahului menerobos menuju ruang belakang dan bersembunyi di bawah mesin jahit. Anak
itu ketakutan melihat begitu banyaknya pasukan Tjakrabirawa yang telah mengepung semua
sudut rumah.

Bagian IV
Di tengah Alun-alun

Ketika upacara pembakaran berlangsung, tentara dari Kodim tiba-tiba berubah sikap.
Mereka mulai mengepung mahasiswa dengan sangkur terhunus. Lewat perundingan pimpinan
massa mahasiswa dengan tentara, disepakati bahwa mahasiswa akan kembali ke tempat
semula, asal kepungan dibubarkan. Lalu dengan setengah digiring mereka meninggal kan
Alun-alun kembali ke arah utara menuju markas Kodim. Setiba di Markas Kodim Jalan
Bangka, mahasiswa menyampaikan suatu pernyataan, yang dibacakan oleh Erna Walinono,
mahasiswi Kimia Teknik ITB. Setelah pembacaan pernyataan, mahasiswa kembali ke Taman
Cibeunying untuk membubarkan diri.

14
Benturan fisik pertama yang melibatkan mahasiswa di Bandung ini merupakan yang
pertama terjadi di Indonesia setelah Peristiwa 30 September dengan sasaran kekuatan komunis.
Aksi serupa baru terjadi di Jakarta beberapa hari kemudian. Apa yang terjadi tanggal 4 dan 5
Oktober itu menggelindingkan aksi penyerbuan serupa terhadap kantor-kantor organisasi
onderbouw PKI, seperti misalnya penyerbuan Sekretariat Pemuda Rakyat di daerah Buah Batu
Bandung Selatan oleh sejumlah pelajar yang kemudian hari tergabung dalam KAPI Bandung.
Ketika Peristiwa 30 September terjadi, beberapa perguruan tinggi di Bandung-dan begitu pula
sebenarnya di beberapa kota lainnya - sedang sibuk melaksanakan masa prabakti mahasiswa
baru, suatu kegiatan yang pada masa sebelumnya dikenal sebagai masa perpeloncoan.

Para penandatangan berasal dari organisasi-organisasi seperti CSB, PMB, Imaba, IPMI,
Gemsos, Mapantjas dan Damas serta Ikomi Sulselra, meskipun bertindak atas nama pribadi.
Menyalahi kelaziman masa itu bahwa setiap pernyataan senantiasa disertai pernyataan
kesetiaan atau berdiri di belakang Soekarno, maka pernyataan para mahasiswa Bandung itu
tidak mencantumkan kalimat seperti itu. Sebagai gantinya, mereka hanya menambahkan
kalimat tetap setia kepada revolusi yang sah. Menurut Alex Rumondor sejak lama kami merasa
Soekarno sudah menyeleweng. Mereka pun menilai Soekarno terlalu pro komunis. Pernyataan
itu, mereka sampaikan kepada Panglima Siliwangi petang itu juga, sebelum Mayjen Soeharto
mengeluarkan pengumuman pengumumannya setelah menguasai RRI 1 Oktober malam.
Sejauh catatan yang ada, penolakan terhadap Dewan Revolusi ini, adalah yang pertama kali,
kalau bukan pertama di Indonesia, setidaknya untuk Jawa Barat Tanpa menyebutkan detail
nama-nama organisasi yang tokohnya menolak menandatangani penolakan terhadap Dewan
Revolusi itu, Alex Rumondor memberi catatan penilaiannya, bahwa waktu itulah kelihatan
sekali watak pimpinan sebagian organisasi mahasiswa.

Sebenarnya suatu upaya pembersihan yang serupa juga coba dilakukan di Universitas
Padjadjaran Bandung. Tetapi menurut Omay K. Wiraatmadja, mahasiswa aktivis dari Fakultas
Ekonomi, gerakan seperti lebih sukar dilakukan di Unpad karena secara tradisional pada masa
Nasakom GMNI amat kuat di universitas itu, begitu pula CGMI dan kawan kawan. CGMI
secara tradisional mempunyai basis yang kuat di Fakultas Ekonomi, dan menurut Omay
menjadi basis terkuat di Unpad. Sementara itu pada sisi berlawanan adalah Resimen
Mahasiswa Mahawarman. Pengaruh PNI pun kuat di kalangan doser dan kalangan pimpinan
Univer sitas maupun Fakultas, seperti yang tercermin dalam kasus pemecatan Profesor
Mochtar Kusumaatmadja. HMI yang meskipun punya cukup banyak angguta, pada masa itu
cukup terjepit. Pembentukan KAP-Gestapu Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan

15
September Tigapuluh pada 2 Oktober 1965 petang, adalah reaksi awal sejumlah organisasi di
ibukota negara. Pembentukan KAP ini dilakukan di Margasiswa PMKRI di Jalan Dr. Ratulangi
Jakarta.

Ada dua tokoh yang membentuk kombinasi unik tercatat sebagai pelopor
pembentukannya, yakni Harry Tjan eks tokoh PMKRI yang saat itu sudah menjadi fungsionaris
Partai Katolik dan Subchan Zaenuri Erfan seorang tokoh muda dari Nahdatul Ulama. Tanggal
2 Oktober itu, tatkala situasi sudah menjadi agak jelas, beberapa jam sebelum kesatuan aksi
pengganyangan ini dibentuk, tokoh-tokoh dari lima organisasi yang merupakan kombinasi
unsur Islam dan Katolik datang menemui Pangkostrad Mayjen Soeharto untuk menyatakan
dukungan dan kesiapan membantu penumpasan Gerakan 30 September. Mereka yang datang
menemui Soeharto saat itu, adalah Mohammad Husnie Thamrin dan Sjarifudin Siregar Pahu
dari PII, Tedjo SH dan Leo Tukan dari PMKRI, Ekky Sjahruddin dari HMI, Jusuf Hasjim dari
GP Anshor, Lukman Harun dan Nur Widjaja dari Pemuda Muhammadiah, dipimpin oleh
Subchan ZE yang kala itu adalah salah seorang Ketua PB-NU.

Sekali lagi, fase berdarah

BTI atau Pemuda Rakyat. Bahkan pada 1 Oktober 1965, sejumlah perwira berhaluan
komunis pada Divisi Diponegoro ini sempat mengambilalih kendali komando Kodam untuk
seberapa lama. Dalam suatu peristiwa aksi sepihak di Klaten, tahun 1964, sebagaimana
dilaporkan oleh sebuah tim peneliti dari Universitas Gajah Mada, seorang Puterpra Perwira
Urusan Teritorial dan Pertahanan Rakyat terlibat melakukan tugas pengawalan tatkala BTI
membantu seorang petani menggarap kembali sawahnya yang pernah dijualnya dan bahkan
sudah dikalahkan di pengadilan. Sementara anggota BTI menggarap sawah, sang Puterpra
mengeluarkan kata-kata Teruslah kalian mengerjakan sawah. Kalau ada orang PNI datang biar
saya tembak mereka. Banyak Puterpra, terutama di kabupaten-kabupaten yang Komandan
Kodim-nya adalah perwira berhaluan atau simpatisan PKI, dengan alasan untuk aksi Dwikora
melakukan pelatihan-pelatihan kemiliteran secara intensif di desa-desa yang didominasi oleh
PKI, BTI dan Pemuda Rakyat. Bahkan ada sejumlah desa yang sampai memiliki sistim
pertahanan yang kuat berlapis sehingga tak mungkin ada yang bisa datang dan menyerbu desa
itu tanpa ketahuan.

Kisah pembantaian di Bali dan mayat di Sungai Ular. Seperti halnya di Jawa Tengah
dan Jawa Timur, di Bali orang-orang PKI juga mengakumulasikan sejumlah tindakan yang
menimbulkan keirihatian dan dendam sejak sebelum Peristiwa 30 September 1965. Pusat Studi

16
Pedesaan Universitas Gadjah Mada, mencatat terjadi sejumlah aksi kekerasan yang dilakukan
anggota-anggota PKI di pedesaan-pedesaan Bali sejak Januari 1965. Di Buleleng tercatat
beberapa aksi sepihak, seperti misalnya yang dilakukan Wayan Wanci dan kawan-kawannya
dari BTI. Ia menyewa tanah dari Pan Tablen, dan suatu ketika sewa menyewa itu dihentikan.
250 massa BTI lalu menduduki kembali tanah itu, pada 8 Januari 1965, disertai aksi
penghancuran rumah Pan Tablen. Aksi sepihak lainnya terjadi 14 Januari, antara seorang
menantu yang anggota BTI dengan mertuanya. Ketika mertua meminta kembali tanah yang
dipinjamkan, sang menantu dan kawan-kawannya dari BTI melakukan pengrusakan atas
tanaman jagung di atas tanah tersebut, lalu menduduki dan menggarap sawah itu. Aksi-aksi
sepihak yang serupa terjadi berkali-kali, dan biasanya BTI berhadapan dengan para pemilik
yang kebetulan anggota PNI. Dalam salah satu insiden soal tanah, 4 Maret 1965, beberapa
anggota PKI menyerang beberapa anggota PNI dengan parang dan senjata tajam lainnya.
Tetapi suatu serangan pembalasan tidak segera terjadi setelah Peristiwa 30 September, kendati
arus pembalasan yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur telah masuk beritanya ke Bali.
Setidaknya sepanjang bulan Oktober 1965 tak terjadi apa-apa di Bali. Tapi pada bulan
berikutnya mulai muncul hasutan, terutama dari tokoh-tokoh PNI yang memiliki dendam,
seperti dituturkan Soe Hok-gie dalam tulisannya, Pembantaian di Bali. Tekanan utama
masalahnya saat itu memang bukanlah kepada soal-soal ideologis, meskipun perbedaan
ideologis adalah satu faktor, melainkan kepada rivalitas pengaruh dan kepentingan manusiawi
yang sudah laten antara pengikut-pengikut PKI dan PNI seperti digambarkan AA Oka
Mahendra.

Antara Konsolidasi dan Akrobat Politik

Dalam bulan Oktober 1965, hanya selang beberapa hari setelah Peristiwa Gerakan 30
September, beberapa organisasi mahasiswa antara lain HMI Himpunan Mahasiswa Islam,
PMKRI Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, Somal Sekretariat Organisasi
Mahasiswa Lokal, dan FMII Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia mendesak agar PPMI
Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia yang merupakan wadah yang menghimpun
organisasi mahasiswa ekstra universiter di masa Orde Lama Soekarno-yang didominasi oleh
organisasi-organisasi seperti CGMI Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia, GMNI Asu
Gerakan Vahasiswa Nasional Indonesia, yang pro PNI Ali Surachman, Perhimi Perhimpunan
Mahasiswa Indonesia dan Germindo Gerakan Mahasiswa Indonesia untuk segera mengadakan
kongres. Desakan para mahasiswa yaris seberang itu ditolak oleh GMNI yang dipimpin oleh

17
Bambang Sasnabadi dan organisasi mahasiswa ideologi kiri lainnya, dengan alasan masih
menunggu solusi politik dari Presiden Soekarno pasca Peristiwa 30 September 1965.

Pertemuan di rumah kediaman Sjarif Thajeb ini berlangsung alot. Para Pemimpin
organisasi mahasiswa menyepakati membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia disingkat
KAMI, dengan program utama mengga yang Gerakan 30 September dan PKI. Dalam
pertemuan itu, Sjarif Thajeb kedekatannya saat itu dengan Soekarno karena bagaimanapun ia
adalah amperlihatkan kebimbangan-kebimbangan, antara lain terkait dengan Menteri
Soekarno. Namun di sisi lain terjadi arus perkembangan baru yang sebenarnya memiliki
perspektif perubahan yang menggoda sebagai inves a masa depan, namun pada tahap itu
mengarah kepada penentangan terhadap Soekarno sebagaimana yang ditunjukkan oleh para
mahasiswa. Maka, agaknya seakan satu jalan tengah, Sjarif Thajeb lalu bersikeras KAMI, yang
akan dibentuk itu dan memadukannya dengan organisasi gar GMNI duduk sebagai pimpinan
dalam wadah baru kemahasiswaan, rganisasi lainnya. Saat itu, seperti diungkapkan Marsillam
Simanjuntak, Sjarif Thajeb mempunyai jalan pikiran atau patron yang menilai satu organisasi
berdasarkan ranking urutan partai yang menjadi induk organisasi tersebut. Karena PNI formal
adalah partai yang terbesar, maka GMNI pun ditempatkannya di urutan teratas. Sebaliknya,
HMI yang sebenarnya justru adalah organisasi mahasiswa yang terbesar massanya, diabaikan
Sjarif Thajeb, karena HMI memang tidak punya induk politik.

PMII yang anggotanya amat sedikit, apalagi dibandingkan HMI, mendapat posisi
karena anak Partai NU. Somal yang merupakan federasi nasional dengan anggota-anggota
berbagai organisasi mahasiswa lokal, dianggap memenuhi syarat, seperti PMKRI yang adalah
anak Partai Katolik dan Mapantjas karena adalah organisasi sayap IPKI. Kelima organisasi
mahasiswa itu ditunjuk untuk duduk dalam Presidium KAMI, yakni GMNI, PMKRI, Soma,
PMII dan Mapantjas. Tetapi GMNI sendiri akhirnya menyatakan tidak bersedia ikut duduk
dalam Presidium KAMI dan bahkan tidak ikut bergabung sama sekali dengan KAMI, karena
berpendapat PPMI masih harus dipertahankan. Pilihan Bambang Kusnohadi ini, akan tercatat
kemudian sebagai awal tersisih dan rontoknya GMNI sebagai suatu organisasi mahasiswa
dengan massa terbesar saat itu. Belakangan, ketidaksertaan GMNI Asu di bawah Bambang
Kusnohadi digantikan oleh GMNI pimpinan Surjadi yang berseberangan dengan PNI pimpinan
Ali Sastroamidjojo SH dan Ir. Surachman. KAMI terbentuk di Bandung tanggal 1 Nopember
1965, hanya selang beberapa hari dengan terbentuknya KAMI di Jakarta. Rapat pembentuk

18
annya mengambil tempat di Margasiswa PMKRI Jalan Merdeka 9, Bandung Mengikuti pola
KAMI Pusat, organisasi ini juga dipimpin oleh satu Presidium.

Bagian Kelima

1966, Dalam Dilema dan Mitos

TIGA JENDERAL yang berperan dalam pusaran peristiwa lahirnya Surat Perintah 11
Maret 1966 - Super Semar - muncul dalam proses perubahan kekuasaan dari latar belakang
situasi yang khas dan dengan cara yang khas pula. Melalui celah peluang yang juga khas, dalam
suatu wilayah yang abu-abu. Mereka berasal dari latar belakang berbeda, jalan pikiran dan
karakter yang berbeda pula. Yang pertama adalah Mayor Jenderal Basoeki Rachmat, dari
Divisi Brawijaya Jawa Timur dan menjadi Panglimanya saat itu. Berikutnya, yang kedua,
Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, dari Divisi Hasanuddin Sulawesi Selatan dan pernah
menjadi Panglima Kodam daerah kelahirannya itu sebelum menjabat sebagai Menteri
Perindustrian Ringan. Terakhir yang ketiga, Brigadir Jenderal Amirmahmud, kelahiran Jawa
Barat dan ketika itu menjadi Panglima Kodam Jaya. Mereka semua mempunyai posisi khusus,
terkait dengan Soekarno, dan kerapkali digolongkan sebagai de beste zonen van Soekarno,
karena kedekatan mereka dengan tokoh puncak kekuasaan itu.

Kisah Tiga Jenderal

Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf Amir, pada bulan-bulan terakhir menjelang


Peristiwa 30 September 1965, sebenarnya berada dalam hubungan terbaiknya dengan Presiden
Soekarno. Pada bulan Juni tahun 1965 ia dipanggil oleh Soekarno ke Jakarta dan diminta
menjadi Menteri Perindustrian Ringan dalam rangka peningkatan Departemen Perindustrian
menjadi Kompartemen Perindustrian Rakyat. Sebagai Menteri Koordinator adalah Dr. Azis
Saleh. Sebenarnya tak ada alasan objektif bagi Soekarno untuk mengangkat seorang jenderal
perang seperti Jusuf untuk menjadi Menteri Perindustrian apabila didasarkan kepada
kompetensi keahlian teknis. Tetapi memang semasa menjadi Panglima Kodam Hasanuddin,
Jusuf menunjukkan perhatian memadai terhadap pembangunan perindustrian di wilayahnya.
Meskipun demikian, tak boleh tidak, alasan pengangkatan Jusuf adalah lebih karena kebutuhan
Soekarno untuk menarik para jenderalpotensial ke dalam barisan pendukungnya. Dalam
Kabinet Dwikora I 27 Agustus 1964-28 Maret 1966, terdapat setidaknya sembilan orang
menteri berlatar belakang militer, termasuk Jenderal AH Nasution dan Brigjen Muhammad
Jusuf. Dalam deretan itu terdapat nama-nama Mayjen KKO Ali Sadikin, Mayjen Dr.

19
Soemarno, Mayjen Prof. Dr. Satrio, Mayjen Achmad Jusuf, Letjen Hidajat dan Laksamana
Udara Iskandar. Selain itu ada empat Panglima Angkatan yang diletakkan dalam posisi
menteri. Beberapa menteri yang lain, diangkat pula sebagai perwira tinggi tituler, setingkat
jenderal.

Merasa terkesan atas diri Brigjen Jusuf, suatu ketika Soekarno bahkan pernah
menyatakan di depan Yani dan Jusuf, berniat mengangkat Menteri Perindustrian Ringan itu
menjadi Wakil Perdana Menteri IV, suatu jabatan baru sebagai tambahan atas tiga Waperdam
yang telah ada. Dengan beberapa pertimbangan yang cukup masuk akal, Menteri Panglima AD
Letnan Jenderal Ahmad Yani menyatakan penolakan, langsung dalam pertemuan itu juga. Dan
Soekarno mengurungkan niatnya, tetapi menjelang akhir September 1965, ketika ia bermaksud
menggeser Yani dari jabatan Menteri Panglima AD, muncul lagi gagasan menciptakan posisi
Waperdam IV, yang kali ini sebagai tempat pembuangan ke atas bagi Ahmad Yani. Belakangan
sekali, dalam Kabinet Dwikora II, yang dibentuk di tengah gelombang demonstrasi mahasiswa,
Februari 1966, jabatan Wapordam IV itu akhirnya terwujud juga, yang diduduki oleh tokoh
NU KH Idham Chalid. Ketika Soeharto diangkat menjadi Panglima Mandala 23 Januari 1962,
sudah dengan pangkat Mayor Jenderal per 1 Januari tahun itu juga, Brigadir Jenderal Jusuf
adalah Panglima Kodam Hasanuddin. Pada bulan yang sama, Soeharto juga diangkat sebagai
Deputi Wilayah Indonesia Timur menggan tikan Mayjen Ahmad Yani. Meskipun sama-sama
berkedudukan di Makassar, Soeharto dan Jusuf tidak banyak memiliki keterkaitan hubungan
kerja langsung. Persentuhan yang bermakna antara Soeharto dan Jusuf terjadi empathari setelah
Peristiwa 30 September, sepulangnya Jusuf dari Peking Beijing. Jusuf pada akhir September
1965 termasuk dalam delegasi besar Indonesia yang menghadiri pernyaan 1 Oktober di Peking.

Dan ketika terjadi peristiwa di Jakarta pada 1 Oktober, berbeda dengan umumnya
anggota rombongan- termasuk Waperdam III Chaerul Saleh - yang memperoleh informasi versi
pemerintah Peking, Brigjen Jusuf mendapat pula versi kedua. Ini membuat dirinya
memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta dan bersama seorang anggota delegasi ia
menempuh jalan panjang pulang ke tanah air. Mula-mula naik kereta api dari Peking, sambung
menyambung 2000 kilometer jauhnya hingga Guangzhou yang ditempuh selama dua hari satu
malam. Lalu melintasi perbatasan menuju Hongkong yang waktu itu masih dikuasai Inggeris.
Atas bantuan Konsul Jenderal RI di Hongkong, Jusuf berhasil memperoleh tiket penerbangan
dengan Garuda ke Jakarta route Tokyo-Hongkong-Jakarta - yang menggunakan turbo propeller
jet Lockheed Electra yang berbaling-baling empat.

20
Pintu Menuju Kekuasaan Baru

Kendati ia adalah pemuja Soekarno, pada dasarnya sebagai mahasiswa yang rasional ia
juga bisa membenarkan pendapat rekan rekannya sesama mahasiswa ITB bahwa Soekarno
yang telah terlalu lama berkuasa dan pada masa-masa terakhir kekuasaannya kala itu telah
tergelincir melakukan sejumlah kekeliruan politik, sudah saatnya untuk diakhiri kekuasaannya.
Menurutnya, mengenai Soekarno ada tiga kelompok sikap. Yang pertama, apa pun, pokoknya
Bung Karno tak boleh diapa apakan. Yang kedua, adalah sebaliknya, Soekarno memang harus
mendapat pelajaran dan harus diganti dan tidak perlu dengan cara terhormat Yang ketiga,
memang sudah saatnya Soekarno diganti, tetapi hendaknya dengan cara yang terhormat, tanpa
merendahkannya. Siswono masuk ke dalam kelompok ketiga ini. Ia tidak setuju dengan yang
pertama, sebagaimana ia menolak sikap kelompok kedua yang telah merendahkan Soekarno.
Apakah orang yang berjasa seperti itu dianggap sebagai maling yang bisa ditendang begitu
saja. Karena mayoritas mahasiswa Bandung secara dini merupakan barisan anti Soekarno,
maka Siswono dianggap berada di seberang, meskipun ia pernah dalam kebersamaan pada
Peristiwa 10 Mei 1963.

Sebagian mulai terlibat ancang-ancang masuk dalam barisan Soeharto-terutama melalui


sejumlah jenderal atau jenderal politisi -maupun politisi sipil di lingkungan Soeharto - untuk
turut serta dalam kekuasaan praktis, baik itu masih berupa sharing dengan Soekarno maupun
kemudian pada waktunya sepenuhnya tanpa Soekarno lagi. Mungkin dalam kelompok ini dapat
dimasukkan aktivis-aktivis seperti dua bersaudara Liem Bian Koen dan Liem Bian Kie yang
punya kedekatan khusus dengan Ali Moertopo dan kawan-kawan yang sejak awal berada di
lingkaran Soeharto. Belakangan akan bergabung nama-nama seperti Cosmas Batubara - tokoh
KAMI yang paling legendaris di tahun 1966-dan Abdul Gafur. Ini semua bisa dihubungkan
dengan fakta bahwa ketika Soeharto memilih untuk bersikap lebih taktis, secara diam-diam
seperti yang digambarkan John Maxwell, Soeharto mengambil langkah-langkah di balik layar
untuk melakukan tugas yang sulit, yaitu merehabilitasi perekonomian Indonesia yang sekarat
dan mengganti kebijaksanaan luar negeri Soekarno yang penuh petualangan dengan
mengakhiri kampanye konfrontasi. Pembersihan dilakukan di dalam tubuh Angkatan
Bersenjata, khususnya di tubuh Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Angkatan Kepolisian
yang paling kuat mendukung Soekarno.

Bergulat Dalam Dilema

21
Mahasiswa Bandung pasca Surat Perintah 11 Maret, bukannya tanpa masalah. Hasjroel
Moechtar menggambarkan adanya perubahan iklim dan situasi. KAMI tanpa terasa telah
tumbuh sebagai suatu kekuatan atau lembaga kemahasiswaan yang formal. Kembalinya
Kontingen Bandung, seakan mengikuti naluri saja, karena memang tampaknya pergerakan
berdasarkan idealisme semata pun telah berakhir. Ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Erna
Walinono bahwa pada dasarnya kebanyakan mahasiswa Bandung bergerak berlandaskan
keyakinan sebagai gerakan moral dan bukan gerakan politik. Lalu, sebagian besar mahasiswa
dengan cepat beralih kepada gerakan-gerakan kemasyara katan seperti gerakan anti korupsi.
Bahwa mahasiswa-mahasiswa Bandung dengan ciri gerakan moral ini seterusnya terlibat pula
dalam gerakan menjatuhkan Soekarno hingga setahun ke depan.

Suasana buyar juga terjadi pada Front Pancasila. Ikatan moral yang menyatukan gado-
gado kekuatan politik dan masyarakat itu selama kurang lebih setahun, adalah kebersamaan
menghadapi G30S dan keinginan bersama menumpas PKI. Kini urgensi itu kurang dirasakan,
catat Rosihan, karena sudah ada soal lain yang harus dipikirkan, yakni mempersiapkan posisi
sebaik-baiknya untuk pemilihan umum. Keadaan ekonomi rakyat yang sulit, dianggap partai-
partai itu menjadi tugas Kabinet Ampera. Sikap egoistis kekuatan politik yang tergabung dalam
Front Pancasila, untuk memperkecil jumlah saingan juga mereka tunjukkan. Front Pancasila
menentang rehabilitasi Partai Murba. Sikap penentangan juga ditunjukkan dalam bentuk
ketidaksenangan terhadap gejala banyaknya perwira militer masuk menduduki posisi-posisi
sebagai Gubernur atau Bupati dan juga pos Duta Besar. Secara umum memang terlihat bahwa
Soeharto dan rekan-rekannya di Angkatan Darat sudah mulai tidak membutuhkan suatu
kekuatan mahasiswa yang bergerak sebagai pressure group di jalanan dalam gerakan gerakan
ekstra konstitusional. Sejak pagi hari 3 Oktober 1966 itu, mahasiswa dan pelajar berbaris
menuju istana, untuk menyampaikan sikap mereka mengenai Soekarno. Pengamanan di seputar
istana di Jalan Merdeka Utara dan di Jalan Merdeka Barat, dilakukan oleh satuan-satuan tugas
Polisi Militer Angkatan Darat dan satuan-satuan Raiders Kodam Jaya yang senjatanya
dilengkapi dengan sangkur terhunus Di luar dugaan, massa pelajar dan mahasiswa mendadak
diserbu oleh prajurit-prajurit itu dengan sangkur mereka yang terhunus, Mingguan Mahasiswa
Indonesia menggambarkan terjadinya serangan brutal dan penganiayaan yang mendirikan bulu
roma.

b. Ringkasan Buku Pembanding

INDONESIA PADA AWAL KEMERDEKAAN SAMPAI TAHUN 1950

22
Badan pertama yang dibentuk ialah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Cosakai Badan ini dinbentuk oleh
Jepang pada tanggal 1 Maret 1945 dengan tujuan untuk menyelidiki hal-hal penting mengenai
tata pemerintahan Indonesia BPUPKI beranggotakan 60 orang, ditunjuk sebagai ketua adalah
Mr. Radjiman Wedyodiningrat. Wakil ketua terdiri atas seorang Indonesia (R.P Suroso) dan
kebangsaan Jepang (Ichibangase) Kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik semakin jelas
dengan dijatuhkannya bom atom oleh Sekutu di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945
dan Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945. Akibat peristiwa tersebut, kekuatan Jepang makin
lemah. Kepastian berita kekalahan Jepang terjawab ketika tanggal 15 Agustus 1945 dini hari,
Sekutu mengumumkan bahwa Jepang sudah menyerah tanpa syarat dan perang telah berakhir.
Berita tersebut diterima melalui siaran radio di Jakarta oleh para pemuda yang termasuk orang-
orang Menteng Raya 31 seperti Chaerul Saleh, Abubakar Lubis. Wikana, dan lainnya.

Menjelang proklamasi kemedekaan, terjadi ketegangan antara golongan muda dan


golongan tua tentang cara dan waktu proklamasi. Golongan tua berpendapat bahwa proklamasi
harus dilakukan sesuai dengan ketentuan pemerintah Jepang. Oleh karena itu, pelaksanaan
proklamasi harus dibicarakan dalam PPKI Golongan muda berpendapat bahwa proklamasi
harus dilahirkan dengan kekuatan sendiri lepas sama sekali dari pemerintah Jepang
Pertentangan golongan tua dan golongan muda memuncak dengan peristiwa yang disebut
peristiwa Rengasdengklok Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang telah menyerah kepada
Sekutu Berdasarkan informasi yang diterima dari radio gelapnya. Sutan Syahrir mendesak
kepada Soekarno-Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia Kedua tokoh
tersebut tetap bersikeras untuk membicarakan hal ini dengan PPKI yang akan bersidang pada
tanggal 16 Agustus 1945.

Golongan muda segera mengadakan rapat di gedung Lembaga Bakteriologi di


Pegangsaan Timur Rapat tersebut dipimpin Chairul Saleh dengan sejumlah tokoh muda seperti
Syahrir, Wikono, Armansjah, Subadio, Darwis, Adam Malik, dan Singgih Mereka menuntut
kepada golongan tua agar segera menyatakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Mereka
akhirnya mengulus Wikana dan Darwis yang dikawal Shodanco Singgih untuk menghadap
Soekamo dan Hatta tetapi usaha mereka gagal. Golongan muda kemudian mengadakan rapat
lagi sekitar pukul 24 00 di jalan Cikini 71 untuk mengamankan Soekarno-Hatta ke
Rengasdengklok Tujuannya agar mereka terbebas dari pengaruh Jepang dan golongan tua
Rengasdengklok dipilih sebab tempat itu aman dan terletak di jalan raya antara Jakarta dan
Cirebon. Dengan demikian gerakan tentara Jepang dari Jakarta maupun Bandung dapat

23
dipantau Yang bertugas membawa Soekarno Hatta ko Rengasdengklok adalah Soekarni dan
Yusuf Kunto

a) Kata "tempoh diubah menjadi "tempo


b) Kata "wakil-wakil bangsa Indonesia" diubah menjadi "Atas nama bangsa
Indonesia."
c) Rumusan Djakarta 17-8-'05 menjadi "Djakarta hari 17 boelan 8 tahoen '05."

Pukul 10.00 WIB, teks proklamasi dibacakan oleh Soekarno didampingi Mch Hatta
Pembacaan dilakukan di kediaman Soekarno di jalan Pegangsaan Timur No 56 (sekarang J
Proklamasi), Jakarta Pengibaran bendera merah putih dilakukan oleh Latief Hendraningrat dan
Suhud sedangkan pembawa bendera adalah SK Trimurti, Acara diakhiri dengan menyanyikan
lagu Indonesia Raya karya W.R. Supratman. Pada awal kemerdekaan, negara Ri masih
mengalami ketidakstabilan di berbagai bidang, baik bidang ekonomi, keuangan, politik,
militer, maupun sosial-budaya Berbagai kebijakan dilakukan pemerintah untuk mengatasi
kondisi tersebut. Pada tanggal 7 Agustus 1945 PPKI diresmikan sesuai dengan keputusan
Jenderal Besar Terauchi di Asia Tenggara. Pada tanggal 9 Agustus 1945 Ir. Soekarno, Moh
Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat diundang Jendral Terauchi ke Dallat (Saigon). Pada
tanggal 15 Agustus 1945 Jepang telah resmi menyerah tanpa syarat kepada sekutu.

Pada awal kemerdekaan. Indonesia mengalami kekacauan ekonom yang luar biasa Kas
negara kosong, karena pajak dan bea masuk lainnya belum terurus, sebaliknya pengeluaran
negara semakin bertambah Keadaan yang serba sulit menjadi bertambah berat dengan tindakan
tindakan blokade yang dilakukan oleh pihak Belanda Pemerintah indonesia berusaha keras
untuk dapat mengatasi buruknya perekonomian negara dan rakyatnya. Pada tanggal 6 Maret
1946, Panglima Sekutu mengumumkan berlakunya uang NICA (Netherlands Indies Civil
Administration) pada daerah-daerah yang menjadi daerah pendudukan pasukan Sekutu sebaga
pengganti uang pemerintah pendudukan Jepang Pemerintah Republik Indonesia menolak
penggunaan uang NICA maupun uang dari pemerintah pendudukan Jepang.

Sejak akhir tahun 1945, pemerintah Ri berusaha mengeluarkan uang sendiri dengan
mengerahkan ahli-ahlinya. Tetapi, karena keadaan kota Jakarta waktu itu belum cukup aman
dengan banyaknya gangguan dari NICA (Belanda) maka usaha pembuatan uang itu
dipindahkan ke kota Yogya Malang, dan Solo Pada tanggal 1 Oktober 1946, uang Jepang yang
memang sudah sangat merosol nilainya digantikan oleh uang ORI Pemerintah Republik

24
Indonesia Proklamasi mempunyai dua arti penting yakni: Pertama, bangsa Indonesia dengan
tekan dan kekuatan sendiri menjadi bangsa yang merdeka, bebas dari penjajahan asing yang
telah menyengsarakan selama kurang lebih tiga abad dan tiga tahun (masing-masing pada
zaman pendudukan dan kekuasaan bangsa Belanda dan bangsa Jepang).

Kedua, Bangsa Indonesia menjadi pelopor bagi bangsa-bangsa Asia-Afrika, karena bangsa
Indonesia merupakan bangsa yang pertama yang merdeka di wilayah Asia, yaitu tiga hari
setelah Perang Dunia II berakhir. Ketika pemerintah merencanakan pembentukan partai
tunggal dengan menetapkan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai satu-satunya partai politik
di Indonesia, reaksi keras bermunculan. Akhirnya rencana itu dibatalkan. Setelah pembatalan
pembentukan partai tunggal, pemerintah merealisasikan pembentukan partai-partai politik di
Indonesia dengan dikeluarkannya Maklumat X yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Drs.
Moh Hatta pada tanggal 3 Nopember 1945. Apabila partai-partai dikelompokkan berdasarkan
ideologinya:

a. Ideologi Partai yang Bersifat Nasional


b. Ideologi Partai yang Bersifat Agama
c. Ideologi Partai yang bersifat Sosialis-Komunis

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Republik Indonesia yang baru terbentuk menunjuk
Ki Hajar Dewantara sebagai Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) Langkah-
langkah yang dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara adalah menyusun sistem pendidikan yang
bersifat nasional Tahap pertama yang dilakukan oleh pemerintah adalah membuka sekolah-
sekolah untuk semua lapisan masyarakat agar dapat memperkuat potensi dan meningkatkan
kecerdasan masyarakat. Tujuan awal dari penyelenggaraan pendidikan adlaah untuk
memusatkan suatu pekerjaan atau keterampilan tertentu yang dapat berkembang seluas-luasnya
Dalam hal ini pemerintah menganjurkan agar setiap sekolah mempunyai pandangan yang
obyektif terhadap lingkungan kehidupan murid-muridnya dan kemudian baru dihadapkan pada
lingkungan kehidupan yang lebih luas. Pentingnya penyelenggaraan kelas dalam masyarakat
di antaranya:

a. Sistem pengajaran yang lama bercorak statis, tidak hidup dan tanpa dinamika.
b. Hubungan antara sekolah (guru) dengan orang tua murid sangat renggang dan terbatas
c. Pengajaran yang diberikan bersifat diktatorial
d. Pengajaran kurang praktis

25
e. Murid-mund terlampau pasif dan hanya menerima saja

Selain itu Panitia Penyelidik juga telah memikirkan pemberantasan buta huruf karena
ketika Indonesia merdeka, hampir sebagian besar masyarakat Indonesia masih buta huruf Peran
masyarakat sangat menentukan karena akan sangat mahal apabila mengeluarkan biaya bagi
pendidikan dan gaji bagi guru-guru pemberantasan buta huruf.

BAB II PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA


(1945-1950)

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berhasil dicapai pada tanggal 17 Agustus


1945, bukan berarti bahwa bangsa Indonesia telah terbebas dari segala bentuk penguasaan
bangsa asing. Pembentukan negara-negara boneka yang dilakukan oleh Belanda di wilayah
Indonesia bertujuan untuk mengepung kedudukan pemerintahan Republik Indonesia atau
mempersempit wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Setelah munculnya Maklumat
Pemerintah No. X tanggal 3 Nopember 1945 yang menyatakan tentang pembentukan partai-
partai politik untuk menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia merupakan sebuah negara
demokrasi, maka di Indonesia mulai muncul partai politik dalam jumlah yang sangat bayak.
Partai-partai politik yang muncul dan berkembang di wilayah Indonesia pada awal
kemerdekaannya memiliki beragam ideologi, di antaranya ideologi yang bersifat nasional
keagamaan, sosialisme nasionalisme komunisme atau ideologi lainnya.

Terkadang terdapat partai politik yang memiliki kesamaan ideologi dan dapat mengadakan
koalisi di antara partai-partai politik itu Dalam menghadapi perkembangan kekuasaan Belanda
di Indonesia, berbagai cara dilakukan oleh partai-partai politik yang ada pada masa itu. Setelah
Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, maka secara resmi bangsa Indonesia
telah merdeka dan terbebas dari segala bentuk penindasan serta penjajahan bangsa asing.
Pemerintah Belanda masih tetap ingin menguasai wilayah Indonesia Namun, kali ini
kedatangan pasukan Belanda ke wilayah Indonesia bersama-sama dengan pasukan Sekutu-
Inggris. Pasukan Sekutu Inggris mulai memasuki kota Bandung sejak pertengahan bulan
Oktober 1945. Seperti halnya di kota-kota lain, di Bandung pun pasukan Sekutu-Inggris dan
NICA melakukan teror terhadap rakyat, sehingga terjadi pertempuran-pertempuran. Menjelang
bulan November 1945, pasukan NICA semakin merajalela di Bandung Sementara itu benteng
NICA di Dayeuh Kolot, Bandung Selatan di kepung oleh para pejuang Bandung sebagai taktik
untuk menghancurkan daerah itu. Kemudian muncul pemuda bernama Muhamad Toha yang

26
berjibaku untuk menghancurkan gudang mesiu milik NICA itu hancur dan Toha gugur dalam
menunaikan tugas untuk negara dan bangsanya. Peristiwa itu difilmkan dengan judul Toha
Pahlawan Bandung Selatan.

Peristiwa pembumihangusan kota Bandung diabadikan dalam lagu Halo halo Bandung oleh
komponis Ismail Marzuki. Lagu itu menyatakan bahwa Bandung sebagai sebuah kota yang
telah membuktikan kepahlawanan para pemuda dan pejuang pembela kemerdekaan Indonesia
yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Tokoh-tokoh pertempuran
Bandung antara lain Aruji Kartawinata, Sutoko, Nawawi Alib, Kolone Hidayat, Otto
Iskandardinata, Kolonel A. H. Nasution (Panglima Divisi ||| Jawa Barat). Pada gambar di
samping terlihat Menteri Keamanan Rakyat Amir Syarifuddin Bercakap-cakap dengan
pimpinan TRI Bandung. Arud Kartawinata perihal pengosongan Kota Bandung.

Belanda melakukan agresi terbuka pada tanggal 21 juli 1947 yang menimbulkan reaksi
hebat dan dunia internasional Pada tanggal 30 juli 1947 pemerintah India dan Australia
mengajukan permintaan resmi agar masalah Indonesia segera dimasukkan dalam daftar agenda
Dewan Keamanan PBB Komisi Konsuler itu diperkuat dengan personel militer Amerika
Serikat dan Perancis sebagai peninjau militer Dalam laporannya kepada Dewan Keamanan
PBB, Komisi Konsuler menyatakan bahwa tanggal 30 Juli sampai 4 Agustus 1947 pasukan
Belanda masih mengadakan gerakan militer Dewan Keamanan PBB yang memperdebatkan
masalah Indonesia akhirnya menyetujui usul Amerika Serikat, bahwa untuk mengawasi
penghentian permusuhan harus dibentuk sebuah komisi jasa-jasa baik Dalam masalah militer
KTN langsung mengambil inisiatif Namun dalam masalah politik, KTN hanya memberikan
saran serta usulan serta tidak mempunyai hak untuk memutuskan masalah-masalah politik
KTN mulai bekerja di Indonesia pada bulan Oktober 1947 Tetapi sebelumnya, dibentuk komisi
untuk melaksanakan gencatan senjata yang disebut dengan Komisi Teknis Komisi Teknis dari
pihak Akibat Pertalujuan Renville Kabinet Amir Syanfuddin jatuh katana dianggap terlalu
menguntungkan Belanda Persetujuan Renvillo fida merjamin secara legas kedudukan dan
kelangsungas hidup Repub bidonesia Posia Republik Indonesia tortamatah sult wilayah Republ
Indonesia juga dikurangi lagi sehinggs merjadi semakin bertambah sempit Ditambah lagi
dengan adanya blokade blokade ekonomi yang dilancarkan secara ketat oleh pihak Bolanda.

Maka pada tanggal 23 Januari 1940 Am Syarifuddin menyerahkan mandatnya kepada


Presiden Republik Indonesia Kabinet Hoita sekalipun mendapat serangan dan kaum Komunis
tetap melaksanakan program organisasi dan rasionalisasi Tujuannya adalah untuk

27
penghematan perang terhadap inflasi penyederhanaan dan penertilan organisasi angkatan
perang Diharapkan dengan adanya program rekonstruksi dan rasionalisati, organisasi angkatan
pening akan menjadi efektif dan efisien sesuai dengan tuntutan.

Puncak gerakan yang dilakukan oleh PK) pada tanggal 18 September 1948 yaitu dengan
pemyataan tekah tokoh PKI tentang berdirinya Sovye Repubik odnesia Tindakan itu secara
nyata ingin herobohkan Repub Indonesia hasi Proklamasi Kernerdekaan 17 Agustus 1945 yang
berdasarkan Pancasila untuk diganti dengan dasar komunis Gerakan Pro ini terjadi pada saat
bangsa indonesia sedang bergutat mempertahankan kalangsungan kehidupan bangsa dan
negara dari tekanan kaum kolonialis Belanda yang masih tetap ingin menguasai Indonesia Para
pemberonta Akhimya, pada tanggal 7 mei 1949 dicapai persetujuan, kemudian dibacakan
kesanggupan kedua belah pihak untuk melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan PBB
tertanggal 28 Januari 1949 dan persetujuannya pada tanggal 23 Maret 1949 pamyataan
pemerintah Republik Indonesia dibacakan oleh ketua Delegasi Indonesia. Mr. Moh Room yang
berisi antara lain:

a. Pemerintah Republik Indonesia akan mengeluarkan perintah penghentian perang


gerilya
b. Kerja sama dalam hal pengembalian perdamaian dan menjaga keamanan serta
ketertiban
c. Turut serta dalam KMB yang bertujuan untuk mempercepat penyerahan kedaulatan
yang lengkap dan tidak bersyarat kepada negara Republik Indonesia Serikat

Diselenggarakan perundingan segitiga antara Republik Indonesia, BFO dan Belanda


Perundingan itu berada diawasi PBB yang dipimpin oleh Chritchley menghasilkan tiga
keputusan, diantaranya:

1. Pengembalian pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta yarig akan


dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 1949
2. Perintah penghentian perang gentya
3. KMB akan dilaksanakan di Den Haag.

BAB III INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI PARLEMENTER DAN


DEMOKRASI TERPIMPIN (1950-1965)

Kehidupan Politik Indonesia di Masa Demokrasi Parlementer

28
Dalam kurun waktu antara 1950 sampai dengan tahun 1959 merupakan masa perkiraannya
partai-partai politik pada pemerintahan Republik Indonesia. Kabinet-kabinet yang pernah
berkuasa setelah penyerahan kedaulatan dari tangan Belanda adalah beberapa kabinet seperti:

Kabinet Natsir (6 September 1990-21 Maret 1991)


Kabinet Sukiman (27 April 1951 - 3 April 1952)
Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 3 Juni 1953)
Kabinet Ali Sastroamidjo I (31 Juli 1953 - 12 Agustus 1955)
Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 - 3 Maret 1956)
Kabinet Karya (9 April 1957 - 10 Juli 1959)

Kehidupan Ekonomi Indonesia di masa Demokrasi Terpimpin

Terdapat empat faktor yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tersendat-sendat


yaitu diantaranya;

1. Situasi keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan berhubung banyaknya


pemberontakan dan gerakan separatisme di berbagai daerah wilayah Indonesia. Faktor
keamanan itu banyak menyita perhatian sehingga mengurangi perhatian terhadap
masalah-masalah ekonomi. Juga masalah yang terkait dengan dana yang diperlukan
untuk menjalankan roda pemerintahan.
2. Adanya instabilitas di bidang politik. Kabinet terlalu sering berganti sehingga
menyebabkan program-program kabinet yang telah dirancangnya tidak dapat
dilaksanakan sementara program baru mulai dirancang.
3. Kita hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi ( pertanian dan
perkebunan), sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang, akan
memukul perekonomian Indonesia.
4. Sebagai negara baru yang berdiri, kita belum memiliki pengalaman untuk menata
ekonomi secara baik, belum memiliki tenaga ahli dan dana yang diperlukan secara
memadai.

Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan baik akan tetapi
pemerintah juga melakukan upaya dan percobaan untuk memajukan perekonomian Indonesia.

Kehidupan Politik Indonesia di masa Demokrasi Terpimpin

Sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yaitu kembali ke UUD 1945 adalah
penataan kehidupan politik sesuai dengan ketentuan ketentuan demokrasi terpimpin. Di

29
samping pembentukan kabinet kerja, juga dibentuk lembaga-lembaga negara seperti MPRS,
DPR-GR dan Front Nasional. Keanggotaan umum lembaga itu disusun berdasarkan komposisi
gotong-royong dan sebagai perwujudan dari demokrasi terpimpin.

Sementara itu tuduhan terhadap PKI yang bersifat internasional (kurang nasional) dan anti
agama dijawab bahwa PKI menerima Manipol (Manifesto Politik) yang di dalamnya mencakup
Pancasila. Ajakan Presiden Soekamo supaya jangan komunistophobl (takut terhadap komunis)
sangat menguntungkan PKI dan menjadikan PKI aman dari serangan lawan politiknya. PKI
mendapat keuntungan dan perlindungan dari kebijakan politik Presiden Soekarno.

Berikutnya muncul saran dari Republik Rakyat Cina (RRC), agar Presiden Soekamo
membentuk Angkatan Kelima, untuk melengkapi empat angkatan yang sudah ada. Tujuan di
balik saran itu adalah untuk memperkuat kedudukan PKI. Pesiden Soekamo tidak setuju
dengan pembentukan angkatan kelima. Bahkan pembentukan angkatan kelima itu dengan tegas
ditolak oleh pimpinan Angkatan Darat. Akhimya, PKI menganjurkan agar dibentuk Kabinet
Nasakom.

Kehidupan Ekonomi Indonesia di masa Demokrasi Terpimpin

Sejak 17 Agustus 1950, ditegakkan sistem pemerintahan demokrasi berdasarkan Undang


Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) Demokrasi yang dilaksanakan adalah demokrasi
liberal yang menganut banyak partai dan melaksanankan sistem pemerintahan parlementer.
Kenyataan yang muncul adalah terjadinya pergantian pemerintahan (kabinet) yang terus
menerus sehingga perjuangan mengisi kemerdekaan terbengkalai.

Atas dukungan banyak partai dan ABRI serta seluruh rakyat Indonesia, Presiden sebagai
penguasa pemerintahan pusat mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959 yang isi pokoknya
sebagai berikut.

1. Penetapan pembubaran konstituante.


2. Penetapan Berlakunya kembali UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia
dan tidak berlakunya UUD Sementara 1950,
3. Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Dilain pihak terdapat konflik Indonesia-Belanda menyangkut masalah irian barat (Papua)
seperti, Perjuangan Diplomasi, Konfrontasi Ekonomi, Tri Komando Rakyat (TRIKORA).

30
BAB IV TRAGEDI NASIONAL DAN GEJOLAK DAERAH

Gejolak Daerah Pada Awal Kemerdekaan Hingga Tahun 1965

1. Pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia)


Pemberontakan PRRI muncul dari situasi pertentangan antara pemerintah pusat dengan
daerah. Masalah otonomi dan perimbangan anggaran di pusat dan daerah.

2. Pemberontakan Permesta (Piagam Perjuangan Semesta)


Pemberontakan permesta muncul, tuntutan agar pemerintah pusat memberi otonomi
seluas-luasnya kepada daerah Sulawesi Utara. Tuntutan ini ditolak, karena dirasa
mengandung pengertian sebagai gerakan separatis.

3. Persaingan Idelogi di Kalangan Partai


Sejak Indonesia kembali ke negara kesatuan sampai deklamasi dekrit presiden 5 Juli
1959 ada juga kabinet di pemerintahan yang memerintah silih berganti.

4. Pemberontakan DI/TII

a. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat


b. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
c. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan
d. Pemberontakan Ibnu Hajar di Kalimantan
e. Pemberontakan DI/TII di Aceh

5. Pergelokan Politik Daerah dan Ketegangan antar Kekuatan Politik

a. Gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)


b. Pemberontakan Andi Azis
c. Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS)
d. Gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat
Semesta (PRRI/Permesta)

Peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI

Sejak D.N. Aidit terpilih menjadi ketua PKI tahun 1951, la dengan cepat membangun kembali
PKI yang porak-poranda akibat kegagalan pemberontakan tahun 1948. Setelah PKI merasa
cukup buat, dihembuskan isu bahwa pimpinan TNI Angkatan Darat membentuk Dewan

31
Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada saat peringatan Hari
Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965. Puluhan ribu tentara telah berkumpul di Jakarta
sejak akhir bulan September 1965, sehingga dugaan dugaan akan terjadinya kudeta semakin
bertambah santer.

Menjelang terjadinya peristiwa G30S, tersiar berita bahwa kesehatan presiden mulai menurun
dan berdasarkan diagnosis dari tim dokter RRC ada kemungkinan Presiden Soekarno akan
lumpuh atau meninggal. Setelah mengetahui keadaan Presiden Soekarno seperti itu, D.N. Aidit
langsung mengambil suatu keputusan untuk memulai gerakan untuk menculik Jenderal
Jenderal hingga membunuhnya. Pada waktu bersamaan, Gerakan 30 September mencoba untuk
mengadakan perebutan kekuasaan di Yogyakarta, Solo, Wonogiri dan Semarang.

Operasi penumpas gerakan 30 September 1965 yang dilancarkan pada tanggal 1 Oktober 1965
diusahakan sedapat mungkin tidak menimbulkan bentrokan senjata. Langkah yang pertama
kali dilakukan adalah menetralisasi pasukan yang berada di sekitar Medan Merdeka yang
dimanfaatkan atau dipergunakan oleh kaum Gerakan 30 September Pasukan tersebut berasal
dari anggota pasukan Batalyon 503/Brawijaya dan anggota pasukan Batalyon 545/Diponegoro.

Anggota pasukan Batalyon/503/Brawijaya berhasil disadarkan dari keterlibatan Gerakan 30


September tersebut dan kemudian mereka ditarik ke Markas Kostrad di Medan Merdeka Timur.
Sedangkan anggota pasukan Batayon 545 Diponegoro berhasil ditarik mundur sekitar pukul
17.00 WIB oleh pihak Gerakan 30 September ke Lapangan Udara Halim Perdana Kusuma.

Kemudian Presiden Soekarno meninggalkan Halim Perdana Kusuma menuju Istana Bogor.
Sedangkan pasukan RPKAD yang dibantu oleh pasukan Batalyon 238 Kujang/Siliwangi dan
Batalyon 1 Kavaler diperintahkan bergerak menuju sasaran. Juga didatangkan bantuan
kekuatan pasukan sebanyak tiga kompi tempur kavaleri pengintai yang langsung dipimpin oleh
Komandan Kesejahteraan Kavaleri (Dansenkav) Kolonel Subiantoro, Mereka tiba di Cijantung
dan langsung diikutsertakan dalam gerakan untuk menutup jalan simpang tiga Cililitan, Kramat
Jati dan simpang siga lanuma Halim - Lubang Buaya tanpa menemui kesulitan. Pada pukul
06.10 WIB tanggal 2 Oktober 1965 daerah pangkalan udara Halim Perdana Kusuma sudah
berhasil dikuasai, walaupun sempat mendapat perlawanan kecil dan timbul kontak senjata.
Kontak senjata juga terjadi pada saat dilakukan gerakan pembersihan yang dilanjutkan hingga
ke kampung kampung di sekitar wilayah Lubang Buaya. Karena di daerah-daerah itu
sebelumnya disinyalir dijadikan sebagai tempat latihan kemiliteran Pemuda Rakyat dan
gerwani.

32
Ketika berada di Halim Perdana Kusuma pada tanggal 1 Oktober 1965, Presiden Soekamo
mengeluarkan perintah yang ditujukan kepada seluruh jajaran Angkatan Bersenjata. Presiden
Soekarno meminta untuk mempertinggi kesiapsiagaan dan untuk tetap di pos masing-masing
serta hanya bergerak jika ada perintah. Seluruh rakyat agar tetap tenang dan meningkatkan
kewaspadaan serta memelihara persatuan dan kesatuan nasiona. Selain itu, diumumkan bahwa
pimpinan Angkatan Daratan untuk sementara waktu dipegang oleh Presiden/Panglima
Tertinggi ABRI dan untuk melaksanakan tugas sehari-hari dalam Angkatan Darat ditunjuk
untuk sementara Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro, Asisten II Men/Panged. Perintah itu
tidak segera diketahui oleh anggota ABRI yang berada di luar Halim Oleh karena itu, pada hari
yang sama, sesuai dengan tata cara yang berlaku, Mayor Jenderal Soeharto menyatakan untuk
sementara memegang pimpinan Angkatan Darat.

Untuk menyelesaikan masalah pemulihan keamanan dan ketertiban, pada tanggal 2 Oktober
1965 Presiden Soekamo memanggil semua panglima dari seluruh angkatan ke Istana Bogor.
Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa pimpinan Angkatan Darat langsung berada di tangan
presiden. Untuk menyelesaikan tugas sehari-hari dalam Angkatan Darat ditetapkan dan
ditunjuk Mayor Jenderal Pranoto, dan Mayor Jenderal Soeharto diberi tugas untuk pemulihan
keamanan dan ketertiban yang terkall dengan Gerakan 30 September 1965. Keputusan itu
diumumkan melalui RRI pusat pukul 01.30, pada tanggal 3 Oktober 1965. Hal ini merupakan
awal eksistensi Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Berdasarkan
perintah tersebut, siang harinya Mayor Jenderal Soeharto melalui RRI mengumumkan
pengangkatan dirinya selaku pelaksana pemulihan keamanan dan ketertiban yang akan
dilaksanakan dengan sebaik-baliknya.

BAB V MASA ORDE BARU (1968-1998)

D. Pengantar

Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, muncul berbagai upaya untuk melakukan
perbaikan politik di dalam negeri menuju kepada iklim politik yang stabil salah satunya yang
dilakukan oleh Presiden Soekarno yaitu mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 yang
kemudian dikukuhkan menjadi Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 yang memberikan
wewenang kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku menteri Panglima Angkatan Darat untuk
mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna menjamin keamanan dan ketenangan
serta kestabilan jalannya revolusi. Kemudian dalam usaha mengembalikan kemurnian
pelaksanaan UUD 1945, hal ini menandakan lahirnya Orde Baru.

33
A. Proses Peralihan Kekuasaan Politik Setelah Peristiwa Gerakan 30 September
1965

Masa Transisi (1966-1967)

Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, muncul berbagai upaya untuk melakukan
perbaikan politik di dalam negeri. Diantaranya simposium kebangkitan semangat 66 yang
diselenggarakan oleh Universitas Indonesia dan bekerjasama dengan kami kesatuan aksi
mahasiswa Indonesia dan kasih kesatuan aksi sarjana indonesia. Pada simposium yang
diselenggarakan dari tanggal 6 - Mei 1966, khusus membahas bidang politik dalam negeri
dengan mengambil tema Indonesia negara hukum.

Masalah-masalah nasional yang meminta perhatian selama tahun-tahun terakhir dari masa
transisi adalah sebagai berikut:

a. Berusaha memperkuat pelaksanaan sistem konstitusional, menegakkan hukum


dan menumbuhkan kehidupan demokrasi yang sehat sebagai syarat untuk
mewujudkan stabilitas politik.
b. Melaksanakan pembangunan lima tahun yang pertama sebagai usaha untuk
memberi isi kepada kemerdekaan
c. Tetap waspada dan sekaligus memberantas sia-sia kekuatan laten PKI
1. Peralihan Kekuasaan Dari Presiden Soekarno Kepada Jenderal Soeharto
Pada sidang umum MPRS tahun 1966, presiden selaku mandataris MPRS
diminta oleh MPRS untuk Memberikan pertanggungjawaban mengenai
kebijakan yang telah dilakukan, khususnya mengenai masalah yang
menyangkut peristiwa Gerakan 30 September 1965. Namun dalam pidato
pertanggungjawaban yaitu, presiden cenderung hanya memberikan amanat
seperti apa yang dilakukan di hadapan sidang-sidang lembaga yang berada di
lingkungan tanggung jawabnya. Presiden memberi nama pidato
pertanggungjawaban yaitu nawaksara yang artinya 9 pokok masalah. Tetapi
masalah nasional tentang masalah Gerakan 30 September 1965 tidak
Disinggung sama sekali, sehingga pertanggungjawaban presiden dianggap tidak
lengkap. Oleh karena itu, pimpinan MPRS meminta kepada presiden untuk
melengkapinya.
Kehendak pimpinannya ABRI dalam menyelesaikan konflik itu adalah agar
presiden sebelum sidang umum MPRS telah menyerahkan kekuasaannya

34
kepada pengemban TAP MPRS Nomor 9 MPRS 1966 atau kepada pengemban
Supersemar, yaitu kepada Jenderal Soeharto.
Konsep yang diajukan oleh Jenderal Soeharto kepada Presiden berisi
pernyataan presiden berhalangan atau Presiden menyerahkan kekuasaan
pemerintah kepada pemegang Surat Perintah Sebelas Maret 1966 sesuai dengan
Ketetapan MPRS Nomor 15 MPRS 1966.
Setelah melalui serangkaian pertemuan, maka pada tanggal 23 Februari 1967 di
Istana Negara Jakarta dengan disaksikan oleh ketua presidium Kabinet Ampera
dan para menteri, Presiden mandataris MPRS Panglima tertinggi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia dengan resmi telah menyerahkan kekuasaan
pemerintahan kepada pengemban Ketetapan MPRS Nomor 9 MPRS 1966
Jenderal Soeharto.
B. Ciri Pokok Kebijakan-kebijakan Pemerintah Orde Baru
1. Latar Belakang Lahirnya Orde Baru
Setelah gerak setelah Gerakan 30 September 1965 berhasil ditumpas dan
berbagai bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan mengarah kepada PKI,
akhirnya ditarik kesimpulan PKI dituding sebagai dalang di belakang Gerakan
itu. Hal ini menimbulkan kemarahan rakyat kepada PKI. Kemarin rakyat itu
diikuti dengan berbagai demonstrasi Demonstrasi yang semakin bertambah
gencar menuntut pembubaran PKI beserta organisasi massanya ormasnya dan
tokoh-tokohnya harus
Mereka yang tergabung dalam front Pancasila mengadakan demonstrasi di jalan
jalan raya. Pada tanggal 8 Januari 1966 mereka menuju gedung Sekretariat
Negara dengan mengajukan pernyataan bahwa kebijakan ekonomi pemerintah
tidak dapat dibenarkan. Kemudian pada tanggal 12 Januari 1966 berbagai
kesatuan aksi yang tergabung dalam front Pancasila berkumpul di halaman
gedung dpr-gr untuk mengajukan Tri tuntutan rakyat Tritura yang isinya sebagai
berikut.
a. Pembubaran PKI beserta organisasi massanya.
b. Pembersihan Kabinet Dwikora.
c. Penurunan harga-harga barang.
2. Perkembangan Kekuasaan Orde Baru
Dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar Soeharto mengatasi keadaan
yang serba tidak menentu dan sulit terkendali itu. Dengan berkuasanya Soeharto
35
sebagai pemegang tampuk pemerintahan di negara Republik Indonesia sebagai
pengganti Presiden Soekarno, maka dimulailah bab baru yaitu sejarah orde baru.
Jawaban dari tuntutan itu terdapat dalam ketetapan sebagai berikut:
a. Pengukuhan tindakan pengemban Surat Perintah Sebelas Maret yang
membubarkan PKI beserta organisasi massanya pada sidang MPRS dengan
Ketetapan MPRS Nomor 4 MPRS 1966 dan ketetapan MPRS Nomor 9
MPRS 1966
b. Pelarangan paham dan ajaran komunisme marxisme leninisme di Indonesia
dengan TAP MPRS nomor 25 MPRS 1966.
c. Pelurusan kembali tertib konstitusional berdasarkan Pancasila dan tertib
hukum dengan TAP MPRS Nomor 20 MPRS 1966.

Hasilnya lahirlah tiga kelompok di DPR yaitu:

1) Kelompok demokrasi pembangunan yang terdiri dari partai-partai


PNI, parkindo, Katolik, IPKI, serta Murba.
2) Kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri dari partai-partai
NU, partai muslimin Indonesia, pssii dan Perti.
3) Sedangkan kelompok organisasi profesi seperti organisasi buruh,
organisasi pemuda, organisasi tani dan nelayan, organisasi seniman
dan lain-lain tergabung dalam kelompok golongan Karya.
3. Kebijakan Pemerintah Orde Baru
Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, langkah
selanjutnya yang ditempuh oleh pemerintah adalah melaksanakan
pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang diupayakan pada zaman
Orde Baru direalisasikan melalui pembangunan jangka pendek dan
Pembangunan Jangka Panjang. Pembangunan jangka pendek dirancang melalui
pembangunan lima tahun Pelita. Setiap Pelita memiliki misi pembangunan
dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia.
Pembangunan nasional yang selalu dikumandangkan tidak terlepas dari Trilogi
Pembangunan. Bunyi trilogi pembangunan itu adalah sebagai berikut:
a. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
b. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
c. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

36
C. Menguatnya Peran Negara pada Masa Orde Baru dan Dampaknya terhadap
Kehidupan Sosial-Politik.
1. Latar Belakang
Sejak Orde Baru berkuasa, telah banyak perubahan yang dicapai oleh bangsa
Indonesia melalui tahap-tahap pembangunan di segala bidang.
Pembentukan kabinet baru ini dinamai Kabinet Ampera. Kabinet Ampera
dibebani tugas untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai
persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Tugas itulah yang
kemudian dikenal dengan sebutan Dwi Darma Kabinet Ampera. Adapun
program yang dibebankan oleh MPRS kepada Kabinet Ampera adalah:
1. Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang
sandang dan pangan.
2. Melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti
tercantum dalam Ketetapan MPRS Nomor 11 MPRS 1966
yakni 5 Juli 1968
3. Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk
kepentingan nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS
Nomor 11 MPRS 1966
4. Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan
kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.

Keempat program Kabinet Ampera ini disebut Catur Karya Kabinet Ampera.

2. Revolusi Hijau
Revolusi hijau adalah revolusi produksi biji-bijian dari hasil penemuan-
penemuan ilmiah berupa benih unggul baru dari berbagai varietas gandum, padi
dan jagung yang membuat hasil panen komoditas tersebut meningkat di negara-
negara berkembang. Revolusi hijau didasari oleh adanya masalah yang
diakibatkan pertambahan jumlah penduduk yang pesat yakni Bagaimana
mengupayakan peningkatan hasil produksi pertanian. Peningkatan jumlah
penduduk harus didampingi dengan peningkatan produksi pertanian.
Perkembangan revolusi hijau selanjutnya terjadi pada pasca perang dunia 2.
Akibat lengahnya atau hancurnya daerah-daerah pertanian, terutama di Eropa.
Hancurnya daerah pertanian menyebabkan menurunnya produksi pertanian oleh

37
sebab itu tanah, berbagai upaya meningkatkan produksi pertanian harus
digalakkan melalui:
a. Pembukaan lahan-lahan pertanian baru.
b. Mekanisasi pertanian
c. Penggunaan pupuk pupuk baru.
d. Mencari metode yang tepat untuk memberantas hama tanam.
3. Perkembangan Revolusi Hijau di Indonesia
Perkembangan revolusi hijau yang semakin bertambah pesat, juga berpengaruh
terhadap masyarakat Indonesia. Sebagian besar kondisi sosial ekonomi
masyarakat Indonesia berciri agraris. Oleh karena itu, pertanian menjadi sektor
yang sangat penting dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Hal tersebut didasari oleh:
a. Kebutuhan penduduk yang meningkat dengan pesat.
b. Tingkat produksi pertanian yang masih sangat rendah.
c. Produksi pertanian belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan
penduduk.
4. Perkembangan Industrialisasi
a. Industri Pertanian
b. Industri Nonpertanian
5. Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi
a. Sistem informasi dan komunikasi
b. Sistem komunikasi satelit domestik SKSD Palapa
c. Perkembangan media komunikasi massa di Indonesia
d. Radio
e. Televisi
6. Perubahan Sosial-Ekonomi Masyarakat Indonesia
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia relatif telah mengalami
perubahan dan kemajuan tanah, baik jika dilihat dari struktur distribusi tingkat
pendapatan rata-rata maupun sistem kelembagaan pada sektor publik dan
swasta. Sektor swasta makin berperan dan sektor publik makin mantap. Dalam
tahap pembangunan yang telah dilaksanakan pada masa pemerintahan orde
baru, masyarakat akan menjadi pelaku utama di dalam pembangunan.
Dalam rangka menghadapi perkembangan dunia, khususnya globalisasi
ekonomi, bangsa Indonesia tidak boleh kehilangan arah. Sebaliknya harus tetap
38
berpegang pada amanat konstitusi yang merupakan landasan dan acuan
pembangunan pada tingkat perkembangan dan kondisi apapun.

BAB VI MASA REFORMASI 1999

Pada tahun 1997 terjadi krisis keuangan yang melanda Asia termasuk Indonesia yang
berakibat pada melemahnya perekonomian Indonesia dan kondisi tersebut diperparah dengan
terjadinya perilaku Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang menggrogoti instansi
birokrasi pemerintah swasta sehingga menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Terdapat beberapa
faktor dalam munculnya reformasi yaitu ketidakadilan di bidang politik, bidang ekonomi,
bidang hukum, keinginan untuk mempertahankan status quo, penyelewengan nilai-nilai
Pancasila, dan penyimpangan UUD 1945. Pada krisis politik yang terjadi di Indonesia salah
satunya ialah ketidakpercayaan terhadap pemerintahan yang akhirnya memunculkan gerakan
reformasi yang dipelopori oleh kalangan mahasiswa untuk mengganti presiden, reshuffle
kabinet, dan menggelar Sidang Istimewa MPR, dan melaksanakan pemilu secepatnya. Gerakan
reformasi juga menuntut dilakukannya pembaharuan pada lima paket UU politik yang menjadi
sumber ketidakadilan, diantaranya: UU No. 1/1985 tentang PEMILU, UU No. 2/1985 tentang
susunan, kedudukan, tegas, wewenang DPR/MPR, UU No. 3/1985 tentang partai politik dan
GOLKAR, UU No. 5/1985 tentang REFERENDUM, dan UU No. 8/1985 tentang organisasi
massa. Kondisi tersebut semakin memanas setelas terjadinya peristiwa besar pada 27 Juli 1996
yang dipicu oleh pertikaian dalam internal Partai Demokrat Indonesia (PDI).

Pelaksanaan hukum di masa Orde Baru sering dijadikan sebagai alat pembenaran atas
tindakan dan kebijakan pemerintah atau disebut dengan rekayasa dalam proses peradilan,
apabila peradilan itu bersangkutan dengan diri penguasa, keluarga, kerabat, atau para pejabat
negara. Pada krisis ekonomi, Indonesia tidak mampu menghadapi krisis global yang terjadi
sehingga pada tahun 1997 terjadi penurunan pada nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Akhir
tahun 1997 krisis moneter mempengaruhi harga bahan pokok (sembako) di pasaran mulai
menipis dan menyebabkan biaya hidup bertambah tinggi. Hutang luar negeri pemerintahan
Indonesia pada masa orde baru menjelang reformasi telah mencapai 63,462 Miliar dollar AS
dan Swasta mencapai 73, 962 Miliar. Masalah lain yang timbul ialah penyimpangan isi pasal
33 UUD 1945 karena sistem ekonomi pancasila telah digantikan dengan sistem ekonomi liberal
atau sistem kapitalis yaitu pereokoniam dikuasai konglomerat dengan bentuk berupa monopoli,
oligopoli, dan diwarnai dengan praktik KKN.

39
Krisis multidimensi yang terjadi telah menyebabkan berkurangnya kepercayaan
masyarakat Indonesia terhadap kepemimpinan masa Presiden Suharto. Aksi damai yang
awalnya dilakukan berubah menjadi demonstrasi setelah kenaikan BBM ongkos angkutan pada
4 Mei 1998. Puncaknya terjadi pada 12 Mei 1998 di Universutas Trisakti Jakarta yang
menyulut terjadinya kerusuhan dan penjarahan tanggal 13–14 Mei 1998 di Jakarta dan
sekitarnya. Setelah mahasiswa menguasai gedung DPR/MPR, tuntutan rakyat semakin meluas
untuk menurunkan Suharto dan akhirnya pada 21 Mei 1998 Presiden Suharto mengundurkan
diri sebagai Presiden dan digantikan oleh BJ. Habibie selaku wakil presiden Indonesia.

Setelah BJ. Habibie diangkat sebagai presiden pada 21 Mei 1998, terjadi beberapa
peristiwa yaitu kebebasan menyampaikan pendapat, masalah dwi fungsi ABRI, reformasi
bidang hukum, sidang istimewa MPR, pemilu 1999, dan sidang umum MPR hasil PEMILU
1999. Kebijakan yang dilakukan dalam usaha perbaikan di bidang ekonomi yaitu
merekapitulasi perbankan Indonesia, merekonstruksi perekonomian Indonesia, Melikuidasi
beberapa bank bermasalah, menaikkan nilau tukar rupiah di bawah Rp. 10.000,00 per dollar
AS, dan mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF.

Dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat pemerintah melihat lima sektor


kebijakan yang harus digarap. Namun, tidak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat
sehingga pemerintah membuat skala prioritas yang harus didulukan untuk keluar dari krisis
multidimensi sehingga setelah naiknya BJ. Habibie sampai Megawati Soekrnoputri fokus
pemerintah ialah meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan meningkatkan kehidupan
ekonomi masyarakat. kondisi yang sudah terlalu parah tidak dapat diperbaiki dengan waktu
singkat sehingga sampai masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga masih dalam proses
mengembalikan bangsa Indonesia sehingga dibutuhkan semua elemen bangsa memiliki peran
dan tanggung jawab yang sama.

40
BAB IV

PEMBAHASAN

a. Pembahasan dan Kelebihan Kedua Buku

Pada buku utama awal bahasan pada buku ini ialah membahas mengenai upaya
mempersiapkan kemerdekaan dan peristiwa – peristiwa seputar proklamasi di Indonesia. Pada
tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu dimana peristiwa yang
sanagat membekas bagi masyarakat Jepang kala itu, dengan dijatuhkannya bom atom di kota
Hirosima dan Nagasaki oleh tentara Sekutu maka peristiwa itu pula yang menandai
kemunduran Jepang di Indonesia. Syahrir yang mendengar berita tersbut membuat gejolak
membara dalam dirinya dan berharap proklamasi segera dilaksanakan karena kesempatan emas
ini. Terjadi perdebatan antara golongan tua (Moh. Hatta, Ir. Soekarno dan Radjiman
Wedyoningrat) dan golongan muda (Sukarni, B.M Diah dan S. Syahrir) terkait pelaksanaan
proklamasi. Golongan muda mendeasak golongan tua agar proklamasi dilaksanakan dengan
tempo secepat – cepatnya yaitu pada tanggal 16 Agustus namun usulan itu ditolak oleh
golongan tua, sehingga menyebabkan peristiwa penculikan yang ditandai dengan peristiwa
Rengasdengklok. Melalui perundingan yang panjang golongan muda akhirnya menyetujui
proklamasi dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan diproklamirkan teks
proklamasi maka pada saat itu pula Indonesia menjadi sebuah negara yang merdeka.

Pada awal kemerdekaan, negara RI masih mengalami ketidakstabilan di berbagai


bidang, baik bidang ekonomi, keuangan, politik, militer, maupun sosial-budaya Berbagai
kebijakan dilakukan pemerintah untuk mengatasi kondisi tersebut. Pada awal kemerdekaan.
Indonesia mengalami kekacauan ekonom yang luar biasa Kas negara kosong, karena pajak dan
bea masuk lainnya belum terurus, sebaliknya pengeluaran negara semakin bertambah Keadaan
yang serba sulit menjadi bertambah berat dengan tindakan tindakan blokade yang dilakukan
oleh pihak Belanda Pemerintah indonesia berusaha keras untuk dapat mengatasi buruknya
perekonomian negara dan rakyatnya. Pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima Sekutu
mengumumkan berlakunya uang NICA (Netherlands Indies Civil Administration) pada
daerah-daerah yang menjadi daerah pendudukan pasukan Sekutu sebaga pengganti uang
pemerintah pendudukan Jepang Pemerintah Republik Indonesia menolak penggunaan uang
NICA maupun uang dari pemerintah pendudukan Jepang.

41
Selanjutnya bahasan pada buku ini membahas terkait tentang Perjuangan mempertahankan
kemerdekaan. Meskipun Indonesia telah mengproklamasikan kemerdekaannya bukan berarti
Indonesia bangsa Indonesia telah terbebas dari segala bentuk penguasaan bangsa asing.
Pembentukan negara-negara boneka yang dilakukan oleh Belanda di wilayah Indonesia
bertujuan untuk mengepung kedudukan pemerintahan Republik Indonesia atau mempersempit
wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Setelah munculnya Maklumat Pemerintah No. X
tanggal 3 Nopember 1945 yang menyatakan tentang pembentukan partai-partai politik untuk
menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia merupakan sebuah negara demokrasi, maka di
Indonesia mulai muncul partai politik dalam jumlah yang sangat bayak. Partai-partai politik
yang muncul dan berkembang di wilayah Indonesia pada awal kemerdekaannya memiliki
beragam ideologi, di antaranya ideologi yang bersifat nasional keagamaan, sosialisme
nasionalisme komunisme atau ideologi lainnya.

Puncak gerakan yang dilakukan oleh PKI pada tanggal 18 September 1948 yaitu dengan
pernyataan tokoh – tokoh PKI tentang berdirinya Soviet Republik indonesia Tindakan itu
secara nyata ingin merobohkan Republik Indonesia hasil Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945 yang berdasarkan Pancasila untuk diganti dengan dasar komunis Gerakan Pro ini terjadi
pada saat bangsa indonesia sedang bergulat mempertahankan kelangsungan kehidupan bangsa
dan negara dari tekanan kaum kolonialis Belanda yang masih tetap ingin menguasai Indonesia
para pemberontak. Akhirnya, pada tanggal 7 mei 1949 dicapai persetujuan, kemudian
dibacakan kesanggupan kedua belah pihak untuk melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan
PBB tertanggal 28 Januari 1949 dan persetujuannya pada tanggal 23 Maret 1949 pernyataan
pemerintah Republik Indonesia dibacakan oleh ketua Delegasi Indonesia.

Bahasan selanjutnya pada buku ini adalah membahas mengenai situasi dan kondisi
Indonesia pada masa demokrasi Parlementer dan demokrasi Terpimpin. Pelaksanaan
demokrasi Liberal/atau Parlementer pernah digunakan pada masa itu, karena sesuai dengan
konstitusi yang berlaku pada saat itu Undang – undang dasar sementara 1960 yang bernafaskan
liberal. Lalu dalam kurun waktu antara 1950 sampai dengan tahun 1959 merupakan masa
perkiraannya partai-partai politik pada pemerintahan Republik Indonesia. Kabinet-kabinet
yang pernah berkuasa setelah penyerahan kedaulatan dari tangan Belanda, diantaranya seperti:
Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, Kabinet Wilopo, Kabinet Ali, dst..

Bahasan Selanjutnya kehidupan ekonomi indonesia di masa demokrasi terpimpin, kehidupan


dimasa demokrasi ini mengalami ketersendatan, adapun faktor – faktor yang menyebabkan

42
pertumbuhan ekonomi Indonesia tersendat – sendat yaitu diantaranya: (1) Situasi keamanan
dalam negeri yang tidak menguntungkan berhubung banyaknya pemberontakan dan gerakan
separatisme di berbagai daerah wilayah Indonesia. Faktor keamanan itu banyak menyita
perhatian sehingga mengurangi perhatian terhadap masalah-masalah ekonomi. Juga masalah
yang terkait dengan dana yang diperlukan untuk menjalankan roda pemerintahan. (2) Adanya
instabilitas di bidang politik. Kabinet terlalu sering berganti sehingga menyebabkan program-
program kabinet yang telah dirancangnya tidak dapat dilaksanakan sementara program baru
mulai dirancang. (3) Kita hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi (pertanian
dan perkebunan), sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang, akan memukul
perekonomian Indonesia. Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil
dengan baik akan tetapi pemerintah juga melakukan upaya dan percobaan untuk memajukan
perekonomian Indonesia.

Selanjutnya buku ini membahas mengenai Kehidupan politik Indonesia masa


demokrasi Terpimpin. Sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yaitu kembali ke
UUD 1945 adalah penataan kehidupan politik sesuai dengan ketentuan ketentuan demokrasi
terpimpin. Di samping pembentukan kabinet kerja, juga dibentuk lembaga – lembaga negara
seperti MPRS, DPR – GR dan Front Nasional. Keanggotaan umum lembaga itu disusun
berdasarkan komposisi gotong – royong dan sebagai perwujudan dari demokrasi terpimpin.

Selanjutnya pada kedua buku ini membahas tentang organisasi pergerakan nasional
pada masa radikal. Pada periode tersebut ditandai dengan berdirinya Partai Komunis Indonesia
(PKI) Faham Komunis pada awalnya dibawa oleh seseorang bernama H.J.F.M. Sneevliet
seorang anggota Sociaal Demokratische Arbeiderspatij (SDAP) atau Partai Buruh Sosial
Demokrat. Lalu pada Mei 1914 Sneevliet dkk mendirikan organisasi baru bernama ISDV
(Indische Sociaal Democratische Vereeniging) orang – orang yang tergabung dalam ISDV
diantaranya Semaoen dan Darsono, sebelumnya mereka adalah para kader Sarekat Islam,
karena ada perpecahan di tubuh SI kala itu maka SI pun terbagi menjadi dua golongan yaitu SI
merah dan SI putih. SI putih di pimpin oleh H.O.S Djokroaminoto sedangkan SI merah
dipimpin oleh Semaoen yang berhaluan Komunis. Kemudian bahasan selanjutnya dilanjutkan
dengan berdirinya Perhimpunan Indonesia, Study Club, Algemeene Study Club, dan Partai
Nasional Indonesia (PNI), organisasi – organisasi tersebut mulai berani bergerakan secara
terang – terangan dan radikal menentang pemerintah Kolonial melalui kritikan dan retorika
dari para pemimpin organisasi tentang pentingnya sistem demokrasi sebagai hak suatu negara.

43
Bahasan selanjutnya pada buku ini adalah lahirnya masa Orde baru dimana merupakan
titik awal ditinggalkannya pemerintahan Orde lama. Kekuasaan orde baru yang dipimpin oleh
presiden Soeharto merupakan jabatan yang terlama yang pernah ada dalam sejarah Indonesia,
dengan masa jabatan selama 30 tahun. Lahirnya orde baru berlatarbelakang kebijakan
pemerintahan sebelumnya Soekarno yang dianggap semakin otoriter dan salah satunya
dianggap tidak menyelesaikan dengan tuntas peristiwa kelam G30S PKI, sehingga
menimbulkan ketidaksukaan masyarakat terhadap diri beliau. Akibatnya banyak masa yang
menuntut untuk supaya Soekarno lengser dari jabatannya. Pemicu kericuhan pun terjadi
dimana – mana pada saat itu, golongan dari semua elemen masyarakat dan mahasiswa ikut
turun menyuarakan keadilan terhadap rezim orde lama. Hingga pada tahun 1966 dikeluarkan
Supersemar (surat perintah sebelas Maret) yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada
tanggal 11 Maret 1966 yang memberikan mandat kepada Letnan Jenderal Soeharto, selaku
Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), untuk mengambil segala
tindakan yang "dianggap perlu" untuk mengatasi situasi keamanan dan kestabilan
pemerintahan yang buruk pada masa pembersihan setelah terjadinya Gerakan 30 September.

Kelebihan Buku Utama. Materi yang disajikan dalam buku tersebut bagus dan
terstruktur, mulai membahas sejarah peristiwa sekitar Proklamasi kemerdekaan hingga sampai
sejarah seputar masa reformasi Indonesia. Seluruh materi dijelaskan dengan singkat dan jelas
sehingga hal itu membuat pemahaman setelah membaca buku ini semakin baik. Bahasa yang
digunakan juga tidak terlalu baku sehingga mudah dimengerti. Sedangkan Kelebihan Buku
Pembanding ialah desain cover yang sederhana dibalut dengan kombinasi warna merah dan
putih dengan sedikit ilustrasi wajah presiden Soekarno dan Soeharto membuat buku ini
semakin menarik perhatian para pembaca. Dengan materi pembahasan yang dimulai dari
Tradisi tumbal darah (perjuangan yang mengorbankan nyawa) hingga berlabuh ke Catatan dan
analisa akhir. Bahasa yang digunakan juga tidak terlalu baku sehingga mudah dimengerti.

b. Kekurangan Kedua Buku

Selain membahas tentang kelebihan, buku ini juga mempunyai kekurangan seperti,
pada buku utama pemaparan materi secara keseluruhan sudah bagus namun kurang sedikit
lengkap tidak membahas secara menyeluruh dan hanya menampilkan point – point penting
saja, tetapi dapat disempurnakan oleh buku pembanding karena buku pembanding sendiri jauh
lebih lengkap mengupas peristiwa – peristiwa sejarah di Indonesia.

44
BAB V

PENUTUP

a. Kesimpulan

kegiatan Critical Book Review ini sanagat bermanfaat sebagai perwujudan untuk

melatih kompetensi kita sebagai mahasiswa dalam hal mengkritisi dan menganalisa sebuah

buku, sehingga kita dapat menilai dari sudut pandang kita mengenai apa yang sudah kita

telusuri dan analisa. Mengenai Critical Book Review pada buku “Sejarah Kemerdekaan

Indonesia” diharapkan dapat mengaplikasikan nilai-nilai semangat perjuangan para tokoh

pahlawan terdahulu dalam mencapai kemerdekaan.

b. Saran

Kedua buku sudah sangat bagus untuk menjadi bahan ajar dan kajian ilmiah mengenai

Mata Kuliah Sejarah Pergerakan, isinya yang relevan dan bahasanya yang tidak terlalu sulit

untuk dipahami membuat kedua buku ini sangat rekomendasi bagi para kalangan umum

maupun seorang mahasiswa. Mengingat ada beberapa sedikit kekurangan yang penulis

jabarkan tadi, juga tidak menutup kemungkinan untuk tidak membacanya karena, ilmu – ilmu

yang terdapat di dalam nya sangatlah bermanfaat untuk di aplikasikan pada kehidupan sehari

– hari.

45
DAFTAR PUSTAKA

Sidiq R. Modul Sejarah Indonesia.


Aly R. 2006. Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966. Jakarta: Kata Hasta Pustaka

46

Anda mungkin juga menyukai