Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH IPS TERPADU SEJARAH

PERAN NILAI DAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN IPS


DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA SERTA
KAITANNYA DENGAN PROFIL PELAJAR PANCASILA PADA
KURIKULUM MERDEKA

Disusun Oleh : Kelompok 5

1. Mohammad Lukmanul
Hakim (3203121060)
2. Suci Wheli
Melvia
(3203121029)

Dosen Pengampu : Dra. Hafnita Sari Dewi Lubis,


M.Si

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN

SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI EMDAN

1
2022

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah mata kuliah Ips Terpadu ini
yang berjudul “Peran Nilai dan Karakter Dalam Pembelajaran Ips Dalam Membangun
Karakter Bangsa Serta Kaitannya Dengan Profil Pelajar Pancasila Pada Kurikulum Merdeka”
dapat diselesaikan dengan tepat waktu.

Kami berharap makalah ini dapat menjadi referensi bagi pihak yang tertarik pada Ips
Terpadu. Selain itu, kami juga berharap agar pembaca mendapatkan sudut pandang baru
setelah membaca makalah yang telah kami sajikan ini.

Kami juga sangat menyadari, makalah ini masih memerlukan penyempurnaan, terutama pada
bagian isi. Kami menerima segala bentuk kritik dan saran pembaca demi penyempurnaan
makalah. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, kami memohon maaf.
Demikian yang dapat kami sampaikan semoga makalah ini dapat bermanfaat. Akhir kata
kami ucapkan terimakasih.

Medan, September 2022

Kelompok 5

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................2

DAFTAR ISI................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................4

a. Latar Belakang.........................................................................................................4
b. Rumusan Masalah....................................................................................................5
c. Tujuan......................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................6

a. Hakikat Pembelajaran Ips........................................................................................6


b. Peran Nilai dan Karakter Pada Pembelajaran IPS dalam membangun
Pendidikan Karakter Bangsa....................................................................................8
c. Profil Pelajar Pancasila Pada Kurikulum Merdeka.................................................16
d. Case Method...........................................................................................................21

BAB III PENUTUP .................................................................................................

a. Kesimpulan..............................................................................................................27
b. Saran........................................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................28

4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Melihat keadaan masyarakat Indonesia saat ini, bisa dibanggakan dengan berbagai
prestasi dan instrumen yang ada. Kita dikenal di dunia sebagai negara demokrasi dan
berbangsa karena kita telah sukses menyelenggarakan pemilihan presiden dan wakil presiden
yang dipilih langsung oleh rakyat, dan kita memiliki pemilihan kepala daerah yang dipilih
langsung oleh rakyat. Untuk memberantas korupsi, kita sudah memiliki KPK, dan untuk
mengatur penyelenggaraan pendidikan, kita sudah memiliki UU No 4. 2003 Dokumen Sistem
Pendidikan Nasional No. 20, dalam rangka menjaga keimanan dan ketakwaan masyarakat,
setiap hari Jumat, Minggu atau hari-hari lainnya, menurut kepercayaan masing-masing, selalu
ada liturgi, dan masih banyak alat-alat lain untuk mengatur kehidupan sosial. kehidupan.
bangsa dan negara. Tapi di sisi lain, kita juga khawatir dan khawatir. Kita menghadapi
banyak masalah sosial-etnis yang akut dan kompleks.
Misalnya maraknya kriminalitas dan tawuran antar remaja atau pelajar, pilkada yang
berakhir dengan kekerasan, demonstrasi yang sering berakhir dengan konflik, dan jarangnya
membuka panggung hiburan atau pertandingan sepak bola, sering dihiasi dengan tawuran dan
anarki penonton, gangguan lalu lintas di jalanan, moral korupsi, penyalahgunaan alkohol dan
obat-obatan terlarang, pelecehan seksual dan perilaku asusila lainnya, arogansi kekuasaan,
korupsi di mana-mana, pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap anak dan perempuan
masih merajalela, nasionalisme memudar, kemandirian dan rasa identitas nasional yang
lemah, yang semuanya masih menghantui kehidupan. rakyat kita dan negara kita. Mendiknas,
melihat realita kehidupan sebagian dari kita, pernah berkata bahwa hidup kita terkadang
seperti kompetisi sirkus.(Kedaulatan Rakyat, 3 Mei 2010: 1), yang menurut Presiden SBY
sebagian masyarakat kita terlanda tragedi akhlak (Media Indonesia 11 Juli, 2010: 1). Wakil
Presiden juga begitu khawatir dengan perilaku sebagian generasi muda yang cenderung
negatif (Suluh Indonesia, 15 Juli 2010: 1) Itulah sebabnya sangatlah tepat kalau pemerintah
mencanangkan dan melaksanakan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Harus diakui bahwa pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan buku teks memiliki
sedikit makna dalam kehidupan dan kehidupan warga belajar. Pembelajaran yang selama ini
mengutamakan penguasaan buku teks, seringkali kurang memperhatikan nilai-nilai moral dan
pengembangan karakter siswa. Pembelajaran yang mengabaikan pengembangan karakter
telah kehilangan semangat dan esensinya sebagai proses pendidikan yang sejati. Demikian

5
pula pembelajaran sosiologis telah kehilangan etosnya sebagai suatu proses pendidikan yang
berkontribusi pada pendidikan karakter bangsa, yaitu mengembangkan warga negara yang
baik, warga negara yang cerdas dan memiliki keterampilan sosial, serta warga negara yang
sadar akan kewarganegaraannya sebagai suatu bangsa.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran nilai dalam pembelajaran ips dalam membangun karakter bangsa?
2. Bagaimana peran karakter dalam pembelajaran ips dalam membangun karakter bangsa?
3. Bagaimana peran nilai dan karakter pembelajaran ips dengan profil pelajar Pancasila
pada kurikulum merdeka?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana peran nilai dalam pembelajaran ips dalam membangun
karakter bangsa
2. Untuk mengetahui peran karakter dalam pembelajaran ips dalam membangun karakter
bangsa
3. Untuk memahami kaitannya peran nilai dan karakter pembelajaran ips dengan profil
pelajar Pancasila pada kurikulum merdeka

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Pembelajaran Ips


Membahas tentang IPS dan pembelajaran IPS, selalu menarik dan menantang. Pasalnya
sejak IPS ini”digelindingkan” sebagai kajian dan mata pelajaran di sekolah pada tahun 1968-
an sampai sekarang, belum pernah tuntas. Masing-masing ahli dapat merumuskan pengertian
IPS sesuai dengan disiplin dan pandangan masing-masing, begitu juga bagaimana cara
membelajarkannya.
Sebutan IPS di Indonesia adalah sebuah kesepakatan untuk menunjuk istilah lain dari
social studies. Sebutan social studies ini untuk menunjuk sifat keterpaduan dari ilmu-ilmu
sosial (integrated social sciences) (lih. Zamroni, 2010: 7). Jadi sifat keterpaduan itu mestinya
menjadi ciri pokok mata kajian yang disebut IPS. Oleh karena itu S. Hamid Hasan (2010)
menegaskan bahwa IPS adalah studi integratif tentang kehidupan manusia dalam berbagai
dimensi ruang dan waktu dengan segala aktivitasnya. Dalam rumusan yang lain, IPS
merupakan kajian yang terkait dengan kehidupan sosial kemasyarakatan berserta
lingkungannya untuk kepentingan pendidikan dan pembentukan para pelaku sosial.
Selanjutnya dalam UU Sisdiknas, dijelaskan bahwa IPS merupakan bahan kajian yang wajib
dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang antara lain mencakup ilmu
bumi, sejarah, ekonomi, kesehatan dan lain sebagainya yang dimaksudkan untuk
mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap
kondisi sosial masyarakat (penjelasan pasal 37). Sementara itu kalau mengacu pada kajian
Social Studies, National Council for Social Studies (NCSS) dijelaskan bahwa: "Social studies
are the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence.
Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing
upon such disciplines as anthropology, archaeology, economics, geography, history, law,
philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate
content from the humanities, mathematics, and the natural sciences. The primary purpose of
social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned
decisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an
interdependent world “ (1994: 3).
Relevan dengan pengertian itu, M. Numan Soemantri (2001: 92) menegaskan bahwa
program pendidikan IPS merupakan perpaduan cabang-cabang Ilmu-ilmu sosial dan

7
humaniora termasuk di dalamnya agama, filsafat, dan pendidikan. Bahkan IPS juga dapat
mengambil aspek-aspek tertentu dari Ilmu-ilmu kealaman dan teknologi.
Dengan pengertian itu berarti IPS merupakan pelajaran yang cukup komprehensif yang
dapat menjadi salah satu instrument untuk memecahkan masalah-masalah sosio-kebangsaan
di Indonesia, sesuai dengan kadar kemampuan dan tingkat perkembangan peserta didik.
Sebagai mata pelajaran di sekolah, mestinya IPS lebihbersifat edukatif ketimbang akadamis.
Dalam kaitan ini Barr dkk. (dikutip dari Udin. S. Winataputra, 2010: 11-12) menguraikan
adanya tiga tradisi pedagogis dalam kajian IPS. (1) Tradisi, Social Studies Taught as
Citizenship Transmission. Tradisi ini bertujuan untuk mengembangkan warganegara yang
baik, sesuai dengan nilai dan norma yang ada di suatu masyarakat, bangsa atau negara. (2)
Tradisi, Social Studies Taught as Social Science. Tradisi ini terkait dengan pembentukan
warganegara yang baik, yang ditandai dengan kemampuan dalam melihat dan mengatasi
masalahmasalah sosial dan personal dengan menggunakan cara kerja ilmuwan sosial. (3)
Tradisi. Social Studies Taught as Reflective Inquiry, merupakan tradisi yang ditandai dengan
pembentukan warganegara yang baik dengan ciri utamanya kemampuan mengambil
keputusan dalam upaya mencari nilai tambah dan memecahkan masalahmasalah sosial.
Berangkat dari uraian tersebut, maka secara umum dapat dirumuskan tujuan pembelajaran
IPS, antara lain mengantarkan, membimbing dan mengembangkan potensi peserta didik agar
: (1) menjadi warga negara (dan juga warga dunia) yang baik; (2) mengembangkan
pemahaman mengenai pengetahuan dasar keekonomian, kesejarahan, kegeografian,
kesosiologian, kewarganegaraan, dan kemasyarakatan, secara terpadu (3) mengembangkan
kemampuan berpikir kritis dengan penuh kearifan dan keterampilan inkuiri untuk dapat
memahami, menyikapi, dan mengambil langkah-langkah untuk ikut memecahkan masalah
sosial kebangsaan, (4) membangun komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan
menghargai serta ikut mengembangkan nilai-nilai luhur dan budaya Indonesia, dan (5)
mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama dalam kehidupan masyarakat
yang majemuk, baik lokal, regional maupun internasional.
Apa kriteria dan siapa yang dikatakan sebagai warga negara yang baik, yang mampu
berpikir kritis dan arif terhadap masalah sosial, memiliki kemampuan berkomunikasi dan
keterampilan inkuiri, serta memiliki komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan
pengembangan budaya bangsa itu? Mereka itu adalah warga negara (dan warga dunia) yang:
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME., setia kepada dasar falsafah dan ideologi negara
Pancasila; disiplin mentaati semua peraturan hukum dan norma-norma yang berlaku;
memenuhi kewajibannya sebagai warga negara; menghormati dan dapat bekerja sama dengan

8
anggota warga negaradan bangsa yang lain; ikut menumbuhkembangkan rasa persatuan dan
kesatuan; demokratis dan bertanggung jawab, memiliki kemandirian, tenggang rasa,
toleransi, dan memahami perasaan semua warga, bangsa, agama dan kebudayaan;
menggunakan hak-haknya secara tepat dan proporsional. Mereka dilatih untuk bersikap arif,
santun dan tidak emosional dalam memahami, menyikapi dan ikut serta dalam memecahkan
berbagai persoalan sosial kemasyarakatan. Mereka diharapkan memiliki kepekaan sosial dan
rasa empati. Peserta didik dilatih untuk terampil mengambil keputusan yang membawa
kemantapan dan stabilitas sosial (Sardiman AM, 2006: 6). Pembelajaran IPS juga diharapkan
dapat melatih peserta didik untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan seperti
berkomunikasi, beradaptasi, bersinergi, bekerja sama, bahkan berkompetisi sesuai dengan
adab dan norma-norma yang ada. Selanjutnya para peserta didik diharapkan menghargai dan
merasa banggaterhadap warisan budaya dan peninggalan sejarah bangsa, mengembangkan
dan menerapkan nilai-nilai budi pekerti luhur, mencontoh nilai-nilai keteladanan dan
kejuangan para pahlawan, para pemuka masyarakat dan pemimpin bangsa, memiliki
kebanggaan nasional dan ikut mempertahankan jati diri bangsa.

B. Peran Nilai dan Karakter PadaPembelajaran IPS dalam membangun


Pendidikan Karakter Bangsa
Mencermati uraian tentang pengertian dan tujuan IPS, maka pendidikan IPS sebenarnya
sangat erat kaitannya dengan pendidikan karakter. Pendidikan karakter yang dapat dimaknai
sebagai pendidikan nilai, pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti (lih. juga Darmiyati
Zuchdi, 2008: 5) itu memiliki arah dan tujuan yang sama dengan tujuan pembelajaran IPS,
yakni sama-sama bertujuan agar peserta didik menjadi warga negara yang baik. Bahkan
secara tegas Gross menyatakan bahwa Values Education as social studies “to prepare students
to be well-fungtioning citizens in democratic society” (dikutip dari Hamid Darmadi, 2007: 8).
Pendidikan karakter adalah proses pemberian bimbingan dan fasilitasi kepada peserta didik
agar menjadi manusia seutuhnya, manusia yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga,
serta rasa dan karsa. Ketiga substansi dan proses psikologis tersebut bermuara pada
kehidupan moral dan kematangan pada setiap diri peserta didik, sehingga memahami
kebaikan, mau berbuat baik dan berperilaku baik sebagai manifestasi daripribadi yang baik
(lih. Jumadi (edit) dalam Warsono, 2010: 35). Pendidikan karakter, pendidikan moral, atau
pendidikan budi pekerti itu dapat dikatakan sebagai upaya untuk mempromosikan dan
menginternalisasikan nilai-nilai utama, atau nilainilai positif kepada warga masyarakat agar

9
menjadi warga bangsa yang baik, warga bangsa yang percaya diri, tahan uji dan bermoral
tinggi, demokratis dan bertanggung jawab.. Dengan demikian pendidikan karakter merupakan
proses pembudayaan dan pemanusiaan. Pendidikan karakter akan mengantarkan warga
belajar dengan potensi yang dimilikinya dapat menjadi insan-insan yang beradab, dengan
tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai kehambaan dan kekhalifahan.
Dalam pengembangan pendidikan karakter di sekolah, maka institusi pendidikan atau
sekolah harus menjadi lingkungan yang kondusif. Sekolah harus menjadi sebuah komunitas
dan wahana persaudaraan tempat berkembangnya nilainilai kebaikan atau nilai-nilai utama.
Pendidikan karakter akan senantiasa mengembangkan akhlak mulia dan kebiasaan yang baik
bagi para peserta didik (Kirsten Lewis, 1996: 8). Dalam pengembangan pendidikan karakter,
guru harus juga bekerja sama dengan keluarga atau orang tua/wali peserta didik. Bahkan
menurut Cletus R. Bulach (2002: 80), guru dan orang tua perlu membuat kesepakatan tentang
nilai-nilai utama apa yang perlu dibelajarkan misalnya: respect for self, others, and property;
honesty; self-control/discipline. Dalam kaitan ini Thomas Lickona (2000: 48) menyebutkan
beberapa nilai kebaikan yang perlu dihayati dan dibiasakan dalam kehidupan peserta didik
agar tercipta kehidupan yang harmonis di dalam keluarga danmasyarakat. Beberapa nilai itu
antara lain: kejujuran, kasih sayang, pengendalian diri, saling menghargai/menghormati,
kerjasama, tanggung jawab, dan ketekunan. Pendidikan karakter bukan sekedar memiliki
dimensi integratif, dalam arti mengukuhkan moral intelektual peserta didik atas dasar nilai-
nilai kebaikan, sehingga menjadi pribadi yang mantap dan tahan uji, pribadi-pribadi yang
cendekia, mandiri dan bernurani, tetapi juga bersifat kuratif secara personal maupun sosial.
Dengan demikian pendidikan karakter sebenarnya dapat menjadi salah satu langkah untuk
menyembuhkan penyakit sosial (Doni Koesoema A., 2007: 116).
Dalam konteks keindonesiaan, pendidikan karakter adalah proses menyaturasakan sistem
nilai kemanusiaan dan nilai-nilai budaya Indonesia dalamdinamika kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Pendidikan karakter bangsa merupakan suatu proses pembudayaan
dan transformasi nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai budaya bangsa (Indonesia) untuk
melahirkan insan atau warga negara yang bermartabat dan berperadaban tinggi. Karakter
bangsa adalah sebuah keunikan suatu komunitas yang mengandung perekat kultural bagi
setiap warga negara. Karakter bangsa menyangkut perilaku yang mengandung core values
dan nilai-nilai yang berakar pada filosofi Pancasila, dan simbol-simbol keindonesiaan seperti:
Sang Saka Merah Putih, semboyan Bhineka Tunggal Ika, lambang Garuda Pancasila, Lagu
Indonesia Raya (lih. ALPTKI, 2009: 3). Esensi nilai-nilai keindonesiaan ini harus menjadi
bagian penting dalam pengembangan pendidikan karakter bangsa. Namun harus diingat

10
bahwa pendidikan karakter bangsa tidak hanya berurusan dengan transformasi dan
internalisasi core values dan nilai-nilai keindonesiaan kepada peserta didik, tetapi pendidikan
karakter bangsa juga merupakan proses usaha bersama untuk menciptakan lingkungan yang
kondusif untuk berkembangnya nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan individu, masyarakat
dan bangsa.
Beberapa uraian tersebut memberi petunjuk bahwa karakter, baik dalam konteks mikro
(karakter pada diri individu), maupun dalam arti makro (karakter bangsa), memerlukan
proses menjadi, tumbuh dan berkembang, bukan sesuatu yang otomatis dan datang dengan
sendirinya. Oleh karena itu, dalam pengembangan karakter seseorang atau karakter bangsa,
perlu adanya rekayasa sosial (Zamroni, 2010: 1). Program pemerintah mengenai ”Pendidikan
Budaya dan Karakter Bangsa”, tersirat sebuah upaya rekayasa sosial untuk mewujudkan
peserta didik dan generasi Indonesia yang ber-Ketuhanan YME, berkemanusiaan, berjiwa
persatuan, berorientasi kerakyatan dan berkeadilan sosial, melahirkan generasi yang beriman
dan bertakwa, cerdas, berakhlah mulia, demokratis dan bertanggung jawab, generasi yang
memiliki kecerdasan intelektual, emosional, sosial dan spiritual serta keterampilan kinestetik.
Sebagai Kementrian yang bertanggung jawab penuh tentang pelaksanaan
program”Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa”, Kementrian Pendidikan Nasional (2010:
11-12) telah menyusun ”Disain Induk Pendidikan Karakter”, sebagai kerangka paradigmatik
implementasi pembangunan karakter bangsa, melalui sistem pendindikan. Disain yang
dimaksud kurang lebih sebagai berikut.
1. Secara makro pengembangan pendidikan karakter dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni:
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil. Pada tahap perencanaan dikembangkan
perangkat pendidikan karakter yang digali dan dikristalisasi dan dirumuskan dengan
menggunakan berbagai sumber, antara lain pertimbangan : (1) filosofis- agama,
Pancasila, UUD 1945, UU No.20 Tahun 2003, beserta ketentuan perundangan-undangan
turunannya; (2) teoritis, misalnya teori pendidikan, pendekatan psikologis, nilai dan
moral, sosial budaya; (3) pertimbangan empiris, berupa pengalaman dan praktik terbaik
dari tokoh dan lembaga, satuan pendidikan, pesantren, dll.
2. Tahap implementasi, dikembangkan pengalaman belajar dan proses pembelajaran yang
bermuara pada pembentukan karakter dalam diri peserta didik. Proses ini dilaksanakan
melalui proses pembudayaan dan pemberdayaan. Proses ini melalui tiga pilar pendidikan,
yakni satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Pada masing-masing pilar ada dua
pendekatan, intervensi dan habituasi. Pada intervensi, dikembangkan suasana interaksi
belajar mengajar, proses pembelajaran yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan

11
pembentukan karakter dengan program kegiatan yang terstruktur. Dalam hal ini peran
guru menjadi sangat penting. Pendekatan habituasi dilakukan dengan menciptakan
kondisi yang konduif, dan dengan berbagai pengauatan yang memungkinkan peserta
didik, baik di sekolah, keluarga/di rumahnya, dan di lingkungan masyarakatnya
membiasakan diri berperilaku yang baik seperti yang telah dipraktikan melaui proses
intervensi.
3. Dalam konteks makro, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pelaksanaan
pendidikan karakter merupakan komitmen dan tanggung jawab seluruh sektor
kehidupan.
4. Pada tahap evaluasi hasil, dilakukan evaluasi program untuk perbaikan berkelanjutan,
yang sengaja dirancang dan dilaksanakan untuk menditeksi aktualisasi karakter pada diri
peserta didik untuk mengetahui bahwa proses pembudayaan dan pemberdayaan karakter
itu sudah berhasil baik atau belum.
Dengan demikian pengembangan pendidikan karakter sebenarnya sebagai upaya kembali
ke hakikat pendidikan yang sesungguhnya, seperti diamanatkan oleh UU Sisdiknasdidikan
ini, baik yang terkait dengan tujuan eksistensial, kolektif maupun individual harus dicapai
secara utuh melalui proses pendidikan dalam berbagai jalur dan jenjang. Kalau hal ini dapat
dilakukan, maka proses pencapaian tujuan pendidikan nasional sedang berlangsung dan
berada pada jalur yang benar, sesuai amanat UUD 1945 dan UU No. 20 Th. 2003.
Namun sayang dalam pelaksanaan pendidikan di lapangan, rumusan tujuan pendidikan
nasional yang begitu komprehensip itu tidak sepenuhnya dipedomani. Penyelenggaraan
pendidikan kita lebih pragmatis dengan tetap menekankan pada penguasaan materi ajar. Di
lembaga pendidikan formal, pendidikan lebih banyak sebagai proses pengembangan ranah
kognisi, dan membangun kecerdasan intelektual, sehingga pendidikan kita lebih bersifat
intelektualistik. Pendidikan kita cenderung kurang memperhatikan pengembangan
kepribadian. Pendidikan kita lebih berpegang pada paradigma “belajar untuk mengerjakan
soal ujian dari pada ujian untuk belajar (belajar hidup). Kurikulum yang dipandang sebagai
komponen vital dan strategis dalam keseluruhan sistem pendidikan, nampaknya belum
menjadi instrumen efektif bagi terwujudnya pendidikan nasional yang ideal, karena masih
kental dengan “content oriented” . Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) juga masih
akrab dengan paradigma esensialisme (Wayan Lasmawan, 2009: 1).
Ujian Nasional (UN) yang sebenarnya merupakan program peningkatan kualitas
pendidikan, dalam hal-hal tertentu telah melahirkan budaya nerabas, kurang sistematis yang
dapat membawa dampak pendangkalan nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Begitu juga

12
sertifikasi guru yang sebenarnya untuk meningkatkan profesionalisme guru dan kualitas

13
pembelajaran, belum sepenuhnya memenuhi harapan. Bahkan dengan persyaratan harus
memenuhi 24 jam, tidak jarang memunculkan rasa ketidakadilan, keirihatian dan kefrustasian
bagi guru yang sudah bersertifikat pendidik tetapi tidak dapat memenuhi 24 jam setelah
berbagai upaya yang dilakukan gagal (misalnya guru-guru rumpun IPS). Yang dapat
memenuhi 24 12 jam karena mengajar di berbagai sekolah akhirnya juga gagal meningkatkan
kualitas karena terlalu kecapaian. Adalah sesuatu yang mustahil, kondisi guru-guru yang
demikian itu kemudian dapat mengembangkan kepribadian dan moralitas peserta didiknya.
Belum lagi berbagai kegiatan administrasi sebagai kegiatan rutin dan jangka pendek, yang
menambah beban dan kesibukan para guru. Pragmatisme dan orientasi materi (dalam arti
penghasilan) nampak mulai menandai kehidupan guru, sementara etika dan karakter
keguruan mulai terabaikan. Apalagi yang menyangkut pendidikan di bidang ilmu-ilmu sosial
dan humaniora, pembelajaran lebih banyak berifat kognitif dan hafalan. Berbagai inovasi
yang dilakukan lebih banyak terkait dengan instrumen pendukung, dan jarang yang
menyentuh hal-hal yang asasi. Akibatnya proses pembelajaran untuk membangun karakter
peserta didik menjadi terabaikan. Oleh karena itu, wajar kalau pendidikan karakter menjadi
sulit berkembang.
Harus disadari bahwa realitas pendidikan seperti dijelaskan di atas, sebenarnya sangat
erat kaitannya dengan kebijakan pembangunan di masa Orde Baru. Setelah memasuki era
Orde Baru, terjadilah berbagai perubahan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Orde Baru mulai menggulirkan paradigma pembangunan yang menitikberatkan
pada pembangunan fisik dan ekonomi. Hal-hal yang yang tidak berhubungann langsung
dengan persoalan ekonomi, materi, dan uang umumnya tidak menarik, dan tidak marketable.
Masyarakat cenderung berilaku pragmatis dan mengorbankan idealisme sebagai warga
bangsa. Bidang pendidikan yang merupakan kegiatan investasi masa depan yang tidak secara
langsung dapat dinikmati, kurang mendapatkan porsi sebagaimana mestinya. Aspek-aspek
moral dan karakter yang merupakan unnsur fundamental dari kegiatan pembangunan,
menjadi terabaikan. Oleh karena itu krisis ekonomi dan moneter menjadi berkepanjangan,
sehingga berlanjut menjadi krisis multidimensional yang kemudian bermetamorfosis menjadi
krisis intelektual dan hati nurani atau krisis akhlak dan moral (Soemaro Soedarsono, 2009:
115). Bidang pendidikan yang sebenarnya merupakan aspek fundamental dalam menangani
kulaitas kehidupan manusia, tidak dapat berperan banyak dalam mengatasi krisis yang terjadi
di Indonesia. Sebab pendidikan yang merupakan strategi pembudayaan dan pemanusiaan
masa depan tidak ditata untuk itu. Pendidikan kita cenderung berorientasi pada kekinian

14
(memberi kepuasan sesaat bagi peserta didik, lewat keberhasilan mengerjakan soal ulangan
atau ujian).
Problematika lain, mengapa pendidikan karakter itu stagnan dan kurang diperhatikan
sekolah, karena menyangkut teknik penilaian. Pendidikan karakter yang terkait dengan aspek
nilai, moral dan kepribadian, sangat sulit untuk diukur. Sebagai akibat dari kuatnya pengaruh
aliran positivisme, telah membawa kebiasaan bahwa tagihan-tagihan penyelenggaraan
pendidikan lebih bersifat akademik, dapat dikuantifikasikan, selalu observable, dan dapat
diukur secara nyata. Dengan alasan objektivitas, maka dikembangkan instrumen penilaian
(soal-soal tes) yang juga mendekati “kepastian”, misalnya soal dengan pilihan ganda.
Menekankan penilaian pendidikan yang semata-mata pada kemampuan akademik-
intelektualistik telah meredusir keseluruhan proses pendidikan yang hanya pada satu dimensi,
dan sering mengabaikan aspek yang fundamental dalam kehidupan, yakni pengembangan
karakter. Makna pribadi seseorang bagaikan sekumpulan barang produksi yang dapat
dikuantifikasi dan distandarisasi (Doni Koesoema A. 2007: 120 dan 277).

Revitalisasi Pembelajaran IPS

Persoalan tersebut perlu mendapatkan perhatian secara seksama oleh semua pihak yang
bertanggung jawab dalam bidang pendidikan. Pendidikan IPS yang dikatakan sebagai
pendidikan nilai harus dilakukan revitalisasi. Pendidikan tanpa perspektif pendidikan nilai,
tanpa menekankan pada pengembangan karakter peserta didik, akan kehilangan esensinya
sebagai proses pendidikan yang sejati. Perlu pemikiran dan upaya untuk memposisikan esensi
serta hakikat pendidikan secara tepat. Program pendidikan IPS atau mata pelajaran apapun
juga harus menempatkan UU Sisdiknas sebagai rujukan normatif tertinggi bagi
penyelenggaraan sistem pendidikan nasional secara utuh. Penyelenggaraan pendidikan
selama ini telah kehilangan ruh dan aspek moralitas, sehingga tidak jarang melahirkan kultur
yang tidak sehat. Muncullah perilaku ketidakjujuran dalam pendidikan, seperti yang terjadi
kasus pada UN, ijazah palsu, perjokian, plagiat, lemahnya internalisasi nilai pendidikan dan
terfragmentasinya ranah-ranah pendidikan yang lebih didominasi ranah kognitif (ALPTKI,
2009: 2)
Proses pembelalajaran IPS sebagaimana pembelajaran pada umumnya, harus dibangun
sebagai sebuah proses transaksi kultural yang harus mengembangkan karakter sebagai bagian
tak terpisahkan dari pengembangan IPTEKS pada umumnya. Pelaksanaan pendidikan saat ini
yang lebih didominasi oleh praktek pendidikan di tingkat individual yang cenderung kognitif-
intelektualistik, perlu diarahkan kembali sebagai wahana pengembangan pendidikan karakter

15
bangsa, sebagai proses pembangunan kecerdasan, akhlak dan kepribadian peserta didik secara
utuh sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Dalam mendesain kurikulum pendidikan IPS, termasuk dalam proses pembelajarannya,
harus juga berangkat dari hakikat dan karakter peserta didik, bukan berorientasi pada materi
semata. Pendekatan esensialisme sudah saatnya untuk dimodifikasi dengan teori rekonstruksi
sosial yang mengacu pada teori pendidikan interaksional (Nana Syaodih Sukmadinata, 1996:
6). Sesuai dengan tuntutan zaman dan perkembangan kehidupan masyarakat, pembelajaran
IPS harus dikembalikan sesuai dengan khitah konseptualnya yang bersifat terpadu yang
menekankan pada interdisipliner dan trasdisipliner, dengan pembelajaran yang kontekstual
dan transformatif, aktif dan partisipatif dalam perpektif nilai-nilai sosial kemasyarakatan.
Sesuai dengan maksud dan tujuannya, pembelajaran IPS harus memfokuskan perannya pada
upaya mengembangkan pendidikan untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat dan
lingkungannya. Pembelajaran IPS diarahkan untuk melahirkan pelaku-pelaku sosial yang
berdimensi personal (misalnya, berbudi luhur, disiplin, kerja keras, mandiri), dimensi
sosiokultural (misalnya, cinta tanah air, menghargai dan melestarikan karya budaya sendiri,
mengembangkan semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial, kepedulian terhadap
lingkungan), dimensi spiritual (misalnya, iman dan taqwa, menyadari bahwa alam semesta
adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Pencipta), dan dimensi intelektual (misalnya, cendekia,
terampil, semangat untuk maju). Terkait dengan ini Wayan Lasmawan (2009:2-3)
menjelaskan adanya tiga kompetensi dalam pembelajaran IPS, yakni kompetensi personal,
kompetensi sosial dan kompetensi intelektual.
Kompetensi personal merupakan kemampuan dasar yang berkaitan dengan pembentukan
dan pengembangan kepribadian diri peserta didik sebagai makhlukindividu yang merupakan
hak dan tanggung jawab personalnya. Orientasi dasar pembentukan dan pengembangan
kompetensi personal ini ditekankan pada upaya pengenalan diri dan pembangunan kesadaran
diri peserta didik sebagai pribadi/individu dengan segala potensi, keunikan dan keutuhan
pribadinya yang dinamis. Sejumlah kompetensi yang personal ke-IPS-an yang perlu
dikembangkan misalnya, pembentukan konsep dan pengertian diri, sikap objektif terhadap
diri sendiri, aktualisasi diri, kreativitas diri, kemandirian itu sendiri, termasuk bagaimana
menumbuhkembangkan budi pekerti luhur, disiplin dan kerja keras serta sebagai makhluk
ciptaan Tuhan YME, sehingga perlu menumbuhkembangkan dan memantapkan keimanan
dan ketaqwaannya. Kompetensi sosial adalah kemampuan dasar yang berkaitan dengan
pengembangan kesadaran sebagai makhluk sosial dan makhluk yang berbudaya. Sejumlah
kompetensi dasar yang dikembangkan adalah kesadaran dirinya sebagai anggota masyarakat

16
sehingga perlu saling menghormati dan mengharagai; pemahaman dan kesadaran atas
kesantunan hidup bermasyarakat dan berbangsa; kemampuan berkomunikasi dan kerja sama
antara sesama; sikap pro-sosial atau altruisme; kemampuan dan kepedulian sosial termasuk
lingkungan; memperkokoh semangat kebangsaan, pemahaman tentang perbedaan dan
kesederajatandalam. Kompetensi intelektual, merupakan kemampuan berpikir yang
didasarkan pada adanya kesadaran atau keyakinan atas sesuatu yang baik yang bersifat fisik,
sosial, psikologis, yang memiliki makna bagi dirinya maupun orang lain. Kemampuan dasar
intelektual ini berkaitan dengan pengembangan jati diri para peserta didik sebagai mahkluk
berpikir yang daya pikirnya untuk menerima dan memproses serta membangun pengetahuan,
nilai dan sikap, serta tindakannya baik dalam kehidupan personal maupun sosialnya.
Kemampuan mengidentifikasi masalah sosial, merumuskan masalah sosial dan memecahkan
masalah itu sebagai ciri penting dalam kemampuan berpikir.
Ketiga komptensi dengan berbagai nilai yang terkandung di dalamnya itulah yang yang
harus dibangun melalui pembelajaran IPS, sehingga melahirkan pelaku-pelaku sosial yang
mumpuni. Para pelaku sosial itu harus dapat membangun sikap dan perilaku dengan berbagai
dimensinya, memahami hak dan kewajibannya, kemudian memiliki kepekaan untuk
memahami, menyikapi dan ikut berpartisipasidalam memecahkan masalah-masalah sosio-
kebangsaan yang ada. Beberapa masalah sosio-kebangsaan sebagaimana sudah disinggung di
muka seperti: berbagai bentuk anarkhisme dan tindak kekerasan , perilaku amoral dan
lunturnya budi pekerti, korupsi, kolusi dan nepotisme, serta ketidakjujuran, budaya nerabas
dan tidak disiplin, semau gue dan rendahnya kepedulian terhadap lingkungan, sampai pada
merosotnya rasa keindonesiaan. Bahkan Brooks dan Goble menegaskan bahwa berbagai
bentuk kejahatan dan perilaku-perilaku lain yang tidak betanggung jawab itu kini mengalami
peningkatan dan percepatan yang begitu sangat mengkhawatirkan, bahkan telah merembes ke
berbagai relung kehidupan masyarakat, sehingga melahirkan proses reproduksi sosial (Lih.
Doni Koesoema, 2007: 117). Masyarakat pada posisi terancam oleh berbagai tindak
kekerasan, vandalisme, kejahatan dijalanan, munculnya geng-geng remaja, kehamilan di luar
nikah, pemerkosaan, kabur dari sekolah, kehancuran kehidupan rumah tangga, hilangnya rasa
hotmat dan kasih sayang. Kalau kita ingin membangun bangsa yang berkarakter, maka
masalah-masalah sosio-kebangsaan itu harus segera diatasi. Seiring dengan itu harus juga
dilakukan pengkondisian secara tepat dan komprehensip, termasuk menciptakan lingkungan
belajar yang kodusif-edukatif dan sudah barang tentu ada kebijakan pemerintah yang
mendukung program-program pengembangan karakter bangsa tersebut.

17
C. Profil Pelajar Pancasila Pada Kurikulum Merdeka
Profil pelajar Pancasila merupakan bentuk penerjemahan tujuan pendidikan nasional.
Profil pelajar Pancasila berperan sebagai referensi utama yang mengarahkan kebijakan-
kebijakan pendidikan termasuk menjadi acuan untuk para pendidik dalam membangun
karakter serta kompetensi peserta didik. Profil pelajar Pancasila harus dapat dipahami oleh
seluruh pemangku kepentingan karena perannya yang penting. Profil ini perlu sederhana dan
mudah diingat dan dijalankan baik oleh pendidik maupun oleh pelajar agar dapat dihidupkan
dalam kegiatan sehari-hari. Berdasarkan pertimbangan tersebut, profil pelajar Pancasila
terdiri dari enam dimensi, yaitu: 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan
berakhlak mulia, 2) mandiri, 3) bergotong-royong, 4) berkebinekaan global, 5) bernalar kritis,
dan 6) kreatif.
Keenam dimensi profil pelajar Pancasila perlu dilihat secara utuh sebagai satu kesatuan
agar setiap individu dapat menjadi pelajar sepanjang hayat yang kompeten, berkarakter, dan
berperilaku sesuai nilai-nilai Pancasila. Pendidik perlu mengembangkan keenam dimensi
tersebut secara menyeluruh sejak pendidikan anak usia dini. Selain itu, untuk membantu
pemahaman yang lebih menyeluruh tentang dimensi-dimensi profil pelajar Pancasila, maka
setiap dimensi dijelaskan maknanya dan diurutkan perkembangannya sesuai dengan tahap
perkembangan psikologis dan kognitif anak dan remaja usia sekolah. Selanjutnya, setiap
dimensi profil pelajar Pancasila terdiri dari beberapa elemen dan sebagian elemen dijelaskan
lebih konkrit menjadi subelemen.

Dimensi, Elemen, dan Subelemen Profil Pelajar Pancasila


1. Dimensi Beriman, Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan Berahlak Mulia
Pelajar Indonesia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia
adalah pelajar yang berakhlak dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Ia
memahami ajaran agama dan kepercayaannya serta menerapkan pemahaman tersebut dalam
kehidupannya sehari-hari. Ada lima elemen kunci beriman, bertakwa kepada Tuhan YME,
dan berakhlak mulia: (a) akhlak beragama; (b) akhlak pribadi; (c) akhlak kepada manusia; (d)
akhlak kepada alam; dan (e) akhlak bernegara.
a. Akhlak beragama
Pelajar Pancasila mengenal sifat-sifat Tuhan dan menghayati bahwa inti dari
sifatsifat-Nya adalah kasih dan sayang. Ia juga sadar bahwa dirinya adalah makhluk yang
mendapatkan amanah dari Tuhan sebagai pemimpin di muka bumi yang mempunyai

18
tanggung jawab untuk mengasihi dan menyayangi dirinya, sesama manusia dan alam,
serta menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
b. Akhlak pribadi
Akhlak yang mulia diwujudkan dalam rasa sayang dan perhatian pelajar kepada
dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa menjaga kesejahteraan dirinya penting dilakukan
bersamaan dengan menjaga orang lain dan merawat lingkungan sekitarnya. Rasa sayang,
peduli, hormat, dan menghargai diri sendiri terwujud dalam sikap integritas, yakni
menampilkan tindakan yang konsisten dengan apa yang dikatakan dan dipikirkan.
c. Akhlak kepada manusia
Sebagai anggota masyarakat, Pelajar Pancasila menyadari bahwa semua manusia
setara di hadapan Tuhan. Akhlak mulianya bukan hanya tercermin dalam rasa sayangnya
pada diri sendiri tetapi juga dalam budi luhurnya pada sesama manusia. Dengan
demikian ia mengutamakan persamaan dan kemanusiaan di atas perbedaan serta
menghargai perbedaan yang ada dengan orang lain. Pelajar Pancasila mengidentifikasi
persamaan dan menjadikannya sebagai pemersatu ketika ada perdebatan atau konflik.
d. Akhlak kepada alam
Sebagai bagian dari lingkungan, Pelajar Pancasila mengejawantahkan akhlak
mulianya dalam tanggung jawab, rasa sayang, dan peduli terhadap lingkungan alam
sekitar. Pelajar Pancasila menyadari bahwa dirinya adalah salah satu di antara bagian-
bagian dari ekosistem bumi yang saling mempengaruhi. Ia juga menyadari bahwa
sebagai manusia, ia mengemban tugas dalam menjaga dan melestarikan alam sebagai
ciptaan Tuhan.
e. Akhlak bernegara
Pelajar Pancasila memahami serta menunaikan hak dan kewajibannya sebagai warga
negara yang baik serta menyadari perannya sebagai warga negara. Ia menempatkan
kemanusiaan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara sebagai
kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Akhlak pribadinya mendorong Pelajar
Pancasila untuk peduli dan membantu sesama, untuk bergotong-royong.

2. Dimensi Berkebhinekaan Global


Pelajar Indonesia mempertahankan budaya luhur, lokalitas dan identitasnya, dan tetap
berpikiran terbuka dalam berinteraksi dengan budaya lain, sehingga menumbuhkan rasa
saling menghargai dan kemungkinan terbentuknya budaya baru yang positif dan tidak
bertentangan dengan budaya luhur bangsa. Elemen kunci dari berkebinekaan global meliputi

19
mengenal dan menghargai budaya, kemampuan komunikasi interkultural dalam berinteraksi
dengan sesama, dan refleksi dan tanggung jawab terhadap pengalaman kebinekaan.
a. Mengenal dan menghargai budaya
Pelajar Pancasila mengenali, mengidentifikasi, dan mendeskripsikan berbagai macam
kelompok berdasarkan perilaku, jenis kelamin, cara komunikasi, dan budayanya, serta
mendeskripsikan pembentukan identitas dirinya dan kelompok, juga menganalisis
bagaimana menjadi anggota kelompok sosial di tingkat lokal, regional, nasional, dan
global.
b. Komunikasi dan interaksi antar budaya
Pelajar Pancasila berkomunikasi dengan budaya yang berbeda dari dirinya secara
setara dengan memperhatikan, memahami, menerima keberadaan, dan menghargai
keunikan setiap budaya sebagai sebuah kekayaan perspektif sehingga terbangun
kesalingpahaman dan empati terhadap sesama.
c. Refleksi dan tanggung jawab terhadap pengalaman kebinekaan
Pelajar Pancasila secara reflektif memanfaatkan kesadaran dan pengalaman
kebinekaannya agar terhindar dari prasangka dan stereotip terhadap budaya yang
berbeda, termasuk perundungan, intoleransi dan kekerasan, dengan mempelajari
keragaman budaya dan mendapatkan pengalaman dalam kebinekaan. Hal ini
membuatnya menyelaraskan perbedaan budaya agar tercipta kehidupan yang setara dan
harmonis antarsesama.
d. Berkeadilan Sosial
Pelajar Pancasila peduli dan aktif berpartisipasi dalam mewujudkan keadilan sosial di
tingkat lokal, regional, nasional, danglobal. Ia percaya akan kekuatan dan potensi dirinya
sebagai modal untuk menguatkan demokrasi, untuk secara aktif-partisipatif membangun
masyarakat yang damai dan inklusif, berkeadilan sosial, serta berorientasi pada
pembangunan yang berkelanjutan.

3. Dimensi Bergotong Royong


Pelajar Indonesia memiliki kemampuan bergotong-royong, yaitu kemampuan untuk
melakukan kegiatan secara bersama-sama dengan suka rela agar kegiatan yang dikerjakan
dapat berjalan lancar, mudah dan ringan. Elemen-elemen dari bergotong royong adalah
kolaborasi, kepedulian, dan berbagi.
a. Kolaborasi

20
Pelajar Pancasila memiliki kemampuan kolaborasi, yaitu kemampuan untuk bekerja
bersama dengan orang lain disertai perasaan senang ketika berada bersama dengan orang
lain dan menunjukkan sikap positif terhadap orang lain. Ia terampil untuk bekerja sama
dan melakukan koordinasi demi mencapai tujuan bersama dengan mempertimbangkan
keragaman latar belakang setiap anggota kelompok.
b. Kepedulian
Pelajar Pancasila memperhatikan dan bertindak proaktif terhadap kondisi di
lingkungan fisik dan sosial. Ia tanggap terhadap kondisi yang ada di lingkungan dan
masyarakat untuk menghasilkan kondisi yang lebih baik.
c. Berbagi
Pelajar Pancasila memiliki kemampuan berbagi, yaitu memberi dan menerima segala
hal yang penting bagi kehidupan pribadi dan bersama, serta mau dan mampu menjalani
kehidupan bersama yang mengedepankan penggunaan bersama sumber daya dan ruang
yang ada di masyarakat secara sehat.

4. Dimensi Mandiri
Pelajar Indonesia merupakan pelajar mandiri, yaitu pelajar yang bertanggung jawab atas
proses dan hasil belajarnya. Elemen kunci dari mandiri terdiri dari kesadaran akan diri dan
situasi yang dihadapi serta regulasi diri.
a. Pemahaman diri dan situasi yang dihadapi
Pelajar Pancasila yang mandiri senantiasa melakukan refleksi terhadap kondisi dirinya
dan situasi yang dihadapi mencakup refleksi terhadap kondisi diri, baik kelebihan
maupun keterbatasan dirinya, serta situasi dan tuntutan perkembangan yang dihadapi.
b. Regulasi diri
Pelajar Pancasila yang mandiri mampu mengatur pikiran, perasaan, dan perilaku
dirinya untuk mencapai tujuan belajar dan pengembangan dirinya baik di bidang
akademik maupun non akademik.Ia mampu menetapkan tujuan pengembangan dirinya
serta merencanakan strategi untuk mencapainya dengan didasari penilaian atas
kemampuan dirinya dan tuntutan situasi yang dihadapinya.

5. Dimensi Bernalar Kritis


Pelajar yang bernalar kritis mampu secara objektif memproses informasi baik kualitatif
maupun kuantitatif, membangun keterkaitan antara berbagai informasi, menganalisis

21
informasi, mengevaluasi dan menyimpulkannya. Elemen-elemen dari bernalar kritis adalah
memperoleh dan memproses informasi dan gagasan, menganalisis dan mengevaluasi
penalaran, merefleksi pemikiran dan proses berpikir dalam mengambilan keputusan.
a. Memperoleh dan memproses informasi dan gagasan
Pelajar Pancasila memproses gagasan dan informasi, baik dengan data kualitatif
maupun kuantitatif. Ia memiliki rasa keingintahuan yang besar, mengajukan pertanyaan
yang relevan, mengidentifikasi dan mengklarifikasi gagasan dan informasi yang
diperoleh, serta mengolah informasi tersebut.
b. Menganalisis dan mengevaluasi penalaran
Pelajar Pancasila menggunakan nalarnya sesuai dengan kaidah sains dan logika dalam
pengambilan keputusan dan tindakan dengan melakukan analisis serta evaluasi dari
gagasan dan informasi yang ia dapatkan.
c. Merefleksi dan mengevaluasi pemikirannya sendiri
Pelajar Pancasila melakukan refleksi dan evaluasi terhadap pemikirannya sendiri
(metakognisi) dan berpikir mengenai bagaimana jalannya proses berpikir tersebut
sehingga ia sampai pada suatu simpulan.

6. Dimensi Kreatif
Pelajar yang kreatif mampu memodifikasi dan menghasilkan sesuatu yang orisinal,
bermakna, bermanfaat, dan berdampak. Elemen kunci dari kreatif terdiri dari menghasilkan
gagasan yang orisinal serta menghasilkan karya dan tindakan yang orisinal serta memiliki
keluwesan berpikir dalam mencari alternatif solusi permasalahan.
a. Menghasilkan gagasan yang orisinal
Pelajar yang kreatif menghasilkan gagasan atau ide yang orisinal. Gagasan ini
terbentuk dari yang paling sederhana seperti ekspresi pikiran dan/atau perasaan sampai
dengan gagasan yang kompleks.
b. Menghasilkan karya dan tindakan yang orisinal
Pelajar yang kreatif menghasilkan karya dan tindakan yang orisinal berupa
representasi kompleks, gambar, desain, penampilan, luaran digital, realitas virtual, dan
lain sebagainya.

22
c. Memiliki keluwesan berpikir dalam mencari alternatif solusi permasalahan
Pelajar yang kreatif memiliki keluwesan berpikir dalam mencari alternatif solusi
permasalahan yang ia hadapi. Ia mampu menentukan pilihan ketika dihadapkan
padabeberapa alternatif kemungkinan untuk memecahkan permasalahan.

D. Case Method
a. Permasalahan Yang Dikaji
Permasalahan yang kelompok 5 kaji berkaitan dengan materi Peran Nilai dan Karakter
Dalam Pembelajaran Ips Dalam Membangun Karakter Bangsa Serta Kaitannya Dengan Profil
Pelajar Pancasila Pada Kurikulum Merdeka dengan mengangkat berita/issue dari detiknews
yang berjudul “Viral Siswa SMP di Cilegon Di-bully Teman, Sekolah Panggil Ortu”. Berita
tersebut diposting pada tanggal Sabtu 20 Agustus 2022.
Berita di akses pada link dibawah ini:

https://news.detik.com/berita/d-6244847/viral-siswa-smp-di-cilegon-di-bully-teman-sekolah-
panggil-ortu

Isi Berita:

Cilegon - Sebuah video yang memperlihatkan aksi perundungan (bullying) hingga


penganiayaan viral di media sosial (medsos). Peristiwa itu diketahui terjadi di SMPN 6
Cilegon.

Video viral itu berdurasi 30 detik itu memperlihatkan seorang anak SMP berpakaian
olahraga menampar dan menendang teman satu sekolahnya yang berpakaian putih biru.
Dinas
23
Pendidikan dan Kebudayaan Kota Cilegon pun membenarkan video viral itu.
"Itu kejadiannya pas tanggal 17 Agustus kemarin ya, hari Rabu. Menurut info dari sekolah,
anak itu pulang dari sekolah kejadiannya," kata Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Kota Cilegon Suhendi saat dimintai konfirmasi wartawan, Sabtu (20/8/2022).
Suhendi menduga aksi kekerasan itu terjadi karena ada kesalahpahaman. Dia menduga
penganiayaan itu terjadi karena diawali aksi saling ejek.

"Ya mungkin karena ada ketersinggungan. Namanya anak-anak, mungkin dari saling
ejek atau apalah mungkin. Mungkin tersinggung, akhirnya ada tindakan seperti itu. Kalau di
video itu kan satu orang yang melakukan perundungan atau bullying itu. Untung yang ininya
tidak melawan. Kalau melawan, nggak tahu itu," ujarnya.

Pelaku dan Korban Dipanggil Sekolah

Terkait video ini, Suhendi menjelaskan pihak sekolah sudah memanggil pelaku bullying
dan korban. Orang tua (ortu) keduanya juga sudah dipanggil untuk mediasi.

"Kita sudah mendata, artinya sekolah sudah melakukan langkah-langkah sejak ada video
yang diterima sekolah. Sekolah sudah memanggil orang tua kedua belah pihak yang
melakukan sama korban itu sudah diundang ke sekolah untuk dimediasi oleh sekolah. Dan
membuat surat pernyataan untuk intinya tidak mengulangi seperti itu lagi karena itu
bertentangan dengan yang diajarkan di sekolah itu," katanya.

Suhendi meminta sekolah memberi sanksi ke pelaku. Sanksi diharapkan agar murid
tersebut jera dan tidak mengulangi perbuatan bullying.

"Untuk sanksi diserahkan ke sekolah terhadap yang melakukan itu, kan sekolah punya
aturan kalau seperti itu apa sanksinya. Sebelum dikembalikan ke orang tua, kalau masih bisa
dibina, tidak mengulangi lagi, ya mungkin masih ada kesempatan. Tapi, kalau itu berat, bisa
jadi dikembalikan ke orang tua," pungkasnya.

b. Solusi Yang Diberikan


Solusi yang akan kami berikan terkait dengan Peran Nilai dan Karakter Dalam
Pembelajaran Ips Dalam Membangun Karakter Bangsa Serta Kaitannya Dengan Profil
Pelajar Pancasila Pada Kurikulum Merdeka yakni:
Dalam rangka mencegah bullying, banyak pihak telah menjalankan program dan
kampanye anti bullying di sekolah-sekolah, baik dari pihak sekolah sendiri, maupun

24
organisasi-organisasi lain yang berhubungan dengan anak. Namun, pada nyatanya, bullying
masih kerap terjadi di sekolah-sekolah di Indonesia, seperti yang dapat kita amati melalui
kejadian baru-baru ini di salah satu SMA swasta yang disebutkan di awal tulisan ini. Lalu
apakah yang dapat kita sebagai perorangan lakukan untuk memerangi bullying?
1) Pertama. Membantu anak-anak mengetahui dan memahami bullying. Dengan
menambah pengetahuan anak-anak mengenai bullying, mereka dapat lebih mudah mengenali
saat bullying menimpa mereka atau orang-orang di dekat mereka. Selain itu anak-anak juga
perlu dibekali dengan pengetahuan untuk menghadapi bullying dan bagaimana mencari
pertolongan.
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pemahaman anak mengenai bullying,
diantaranya: 1) Memberitahu pada anak bahwa bullying tidak baik dan tidak dapat
dibenarkan dengan alasan maupun tujuan apapun. Setiap orang layak diperlakukan dengan
hormat, apapun perbedaan yang mereka miliki. 2) Memberitahu pada anak mengenai
dampakdampak bullying bagi pihak-pihak yang terlibat maupun bagi yang menjadi “saksi
bisu”.
2) Kedua. Memberi saran mengenai cara-cara menghadapi bullying. Setelah diberikan
pemahaman mengenai bullying, anak-anak juga perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan
ketika mereka menjadi sasaran dari bullying agar dapat menghadapinya dengan aman tanpa
menggunakan cara-cara yang agresif atau kekerasan, yang dapat semakin memperburuk
keadaan. Cara-cara yang dapat digunakan, misalnya dengan mengabaikan pelaku, menjauhi
pelaku, atau menyampaikan keberatan mereka terhadap pelaku dengan terbuka dan percaya
diri. Mereka juga dapat menghindari bullying dengan berada di sekitar orang-orang dewasa,
atau sekelompok anak-anak lain. Apabila anak menjadi korban bullying dan cara-cara di atas
sudah dilakukan namun tidak berhasil, mereka sebaiknya didorong untuk menyampaikan
masalah tersebut kepada orang-orang dewasa yang mereka percayai, baik itu guru di sekolah
maupun orangtua atau anggota keluarga lainnya di rumah.
3) Ketiga. Membangun hubungan dan komunikasi dua arah dengan anak. Biasanya
pelaku bullying akan mengancam atau mempermalukan korban bila mereka mengadu kepada
orang lain, dan hal inilah yang biasanya membuat seorang korban bullying tidak mau
mengadukan kejadian yang menimpa mereka kepada orang lain. Oleh karena itu, sangat
penting untuk senantiasa membangun hubungan dan menjalin komunikasi dua arah dengan
anak, agar mereka dapat merasa aman dengan menceritakan masalah yang mereka alami
dengan orangorang terdekat mereka, dan tidak terpengaruh oleh ancaman-ancaman yang

25
mereka terima dari para pelaku bullying. Dalam kehidupan masa kini yang serba sibuk dan
penuh aktivitas, semakin sulit bagi para orangtua dan anggota keluarga untuk
4) Keempat. mendorong mereka untuk tidak menjadi “saksi bisu” dalam kasus bullying.
Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan pada anak-anak sekolah dasar di Kanada,
sebagian besar kasus bullying dapat dihentikan dalam 10 detik setelah kejadian tersebut
berlangsung berkat campur tangan saksi –anak anak lain yang hadir saat kejadian tersebut
berlangsung- misalnya dengan membela korban bullying melalui kata-kata ataupun secara
fisik (memisahkan korban dengan pelaku). Anak-anak yang menyaksikan kasus bullying juga
dapat membantu dengan cara: 1) Menemani atau menjadi teman bagi korban bullying,
misalnya dengan mengajak bermain atau berkegiatan bersama. 2) Menjauhkan korban dari
situasi-situasi yang memungkinkan ia mengalami bullying. 3) Mengajak korban bicara
mengenai perlakuan yang ia terima, mendengarkan ia bercerita dan mengungkapkan
perasaannya. 4) Apabila dibutuhkan, membantu korban mengadukan permasalahannya
kepada orang dewasa yang dapat dipercaya.
5) Kelima. Membantu anak menemukan minat dan potensi mereka. Dengan mengetahui
minat dan potensi mereka, anak-anak akan terdorong untuk mengembangkan diri dan
bertemu serta berteman dengan orang-orang yang memiliki minat yang sama. Hal ini akan
meningkatkan rasa percaya diri dan mendukung kehidupan sosial mereka sehingga membantu
melindungi mereka dari bullying.
Terhadap anak-anak yang berisiko terkena bullying atau menjadi korban bullying,
lakukan langkah berikut ini : 1) Jangan membawa barang-barang mahal atau uang berlebihan.
Merampas, merusak, atau menyandera barang-barang korban adalah tindakan yang biasanya
dilakukan pelaku bullying. Oleh karena itu, sebisa mungkin jangan beri mereka kesempatan
membawa barang mahal atau uang yang berlebihan ke sekolah. 2) Jangan sendirian. Pelaku
bullying melihat anak yang menyendiri sebagai “mangsa” yang potensial. Oleh karena itu,
jangan sendirian di dalam kelas, di lorong sekolah, atau tempat-tempat sepi lainnya. Kalau
memungkinkan, beradalah di tempat di mana guru atau orang dewasa lainnya dapat melihat.
Akan lebih baik lagi, jika anak tersebut bersama-sama dengan teman, atau mencoba berteman
dengan anak-anak penyendiri lainnya. 3) Jangan cari gara-gara dengan pelaku bullying. 4)
Jika anak tersebut suatu saat terperangkap dalam situasi bullying, kuncinya adalah tampil
percaya diri. 5) Jangan memperlihatkan diri seperti orang yan lemah atau ketakutan. 6) Harus
berani melapor pada orang tua, guru, atau orang dewasa lainnya yang dipercayainya. Ajaklah
anak tersebut untuk berani bertindak dan mencoba

26
6) Keenam. Memberi teladan lewat sikap dan perilaku. Sebaik dan sebagus apapun
slogan, saran serta nasihat yang mereka dapatkan, anak akan kembali melihat pada
lingkungan mereka untuk melihat sikap dan perilaku seperti apa yang diterima oleh
masyarakat. Walaupun tidak terlihat demikian, anak-anak juga memerhatikan dan merekam
bagaimana orang dewasa mengelola stres dan konflik, serta bagaimana mereka
memperlakukan orang-orang lain di sekitar mereka. Apabila kita ingin ikut serta dalam
memerangi bullying, hal paling sederhana yang dapat kita lakukan adalah dengan tidak
melakukan bullying atau hal-hal lain yang mirip dengan bullying. Disadari maupun tidak,
orang dewasa juga dapat menjadi korban ataupun pelaku bullying, misalnya dengan
melakukan bullying di tempat kerja, ataupun melakukan kekerasan verbal terhadap orang-
orang di sekitar kita.
Pencegahan buat anak yang menjadi korban bullying: 1) Bekali anak dengan kemampuan
untuk membela dirinya sendiri, terutama ketika tidak ada orang dewasa/ guru/ orang tua yang
berada di dekatnya. Ini berguna untuk pertahanan diri anak dalam segala situasi mengancam
atau berbahaya, tidak saja dalam kasus bullying. Pertahanan diri ini dapat berbentuk fisik dan
psikis. Pertahanan diri Fisik : bela diri, berenang, kemampuan motorik yang baik (bersepeda,
berlari), kesehatan yang prima. Pertahanan diri Psikis : rasa percaya diri, berani, berakal
sehat, kemampuan analisa sederhana, kemampuan melihat situasi (sederhana), kemampuan
menyelesaikan masalah. 2) Bekali anak dengan kemampuan menghadapi beragam situasi
tidak menyenangkan yang mungkin ia alami dalam kehidupannya. Untuk itu, selain
kemampuan mempertahankan diri secara psikis. Maka yang diperlukan adalah kemampuan
anak untuk bertoleransi terhadap beragam kejadian. Sesekali membiarkan (namun tetap
mendampingi) anak merasakan kekecewaan, akan melatih toleransi dirinya. 3) Walau anak
sudah diajarkan untuk mempertahankan diri dan dibekali kemampuan agar tidak menjadi
korban tindak kekerasan, tetap beritahukan anak kemana ia dapat melaporkan atau meminta
pertolongan atas tindakan kekerasan yang ia alami (bukan saja bullying). Terutama tindakan
yang tidak dapat ia tangani atau tindakan yang terus berlangsung walau sudah diupayakan
untuk tidak terulang. 4) Upayakan anak mempunyai kemampuan sosialisasi yang baik dengan
sebaya atau dengan orang yang lebih tua. Dengan banyak berteman, diharapkan anak tidak
terpilih menjadi korban bullying karena : a). Kemungkinan ia sendiri berteman dengan
pelaku, tanpa sadar bahwa temannya pelaku bullying pada teman lainnya. B) Kemungkinan
pelaku enggan memilih anak sebagai korban karena si anak memiliki banyak teman yang
mungkin sekali akan membela si anak. c) Sosialisasi yang baik dengan orang yang lebih tua,

27
guru atau pengasuh atau lainnya, akan memudahkan anak ketika ia mengadukan tindakan
kekerasan yang ia alami.
Penanganan buat anak yang menjadi pelaku Bullying: 1). Segera ajak anak bicara
mengenai apa yang ia lakukan. Jelaskan bahwa tindakannya merugikan diri dan orang lain.
Upayakan bantuan dari tenaga ahlinya agar masalah tertangani dengan baik dan selesai
dengan tuntas. 2) Cari penyebab anak melakukan hal tersebut. Penyebab menjadi penentu
penanganan. Anak yang menjadi pelaku karena rasa rendah diri tentu akan ditangani secara
berbeda dengan pelaku yang disebabkan oleh dendam karena pernah menjadi
korban.Demikian juga bila pelaku disebabkan oleh agresifitasnya yang berbeda. 3)Posisikan
diri untuk menolong anak dan bukan menghakimi anak.

28
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Bullying adalah perilaku negatif berulang yang sengaja dilakukan untuk menyakiti orang
lain dan membuat seseorang tidak nyaman. Pemahaman moral adalah pemahaman pribadi
yang menekankan alasan untuk mengambil tindakan dan bagaimana perasaan seseorang
bahwa melakukan sesuatu adalah keputusan yang baik atau buruk. Pemahaman moral bukan
tentang apa yang baik atau buruk, tetapi tentang bagaimana seseorang berpikir dan
mengambil keputusan tentang apakah sesuatu itu baik atau buruk. Siswa dengan pemahaman
moral yang tinggi mempertimbangkan tindakan yang harus dilakukan agar tidak menyakiti
atau menggertak temannya.
Selain itu, keberhasilan remaja dalam pembentukan kepribadian alami dan pematangan
diri memungkinkan mereka menghadapi tantangan kehidupan sekarang dan masa depan.
Untuk tujuan ini, mereka harus menerima perawatan dan pendidikan yang mendukung
perkembangan mereka.
Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat disarankan bahwa 1) sekolah harus proaktif dalam
mengembangkan kurikulum keterampilan sosial, pemecahan masalah, manajemen konflik
dan pendidikan karakter. 2) Guru harus memantau perubahan sikap dan perilaku siswa di
dalam dan di luar kelas, diperlukan kerjasama yang harmonis antara guru BK, guru mata
pelajaran, dan staf sekolah. 3) Orang tua hendaknya bekerja sama dengan pihak sekolah
untuk mencapai tujuan pendidikan yang sebesar-besarnya dan tidak menggertak siswa di
sekolah.

B. Saran
Tentunya pada penulis telah menyadari bahwa dalam penyusunan makalah diatas masih
banyak terdapat kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya penulis akan segera
melakukan perbaikan susunan makalah tersebut dengan berpedoman dari berbagai sumber
serta kritik yang dapat membangun dari para pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.

29
DAFTAR PUSTAKA

A.M, Sardiman.2010. Peran Pembelajaran IPS dan Pembangunan Karakter Bangsa.


Universitas Negeri Yogyakarta.

http://kurikulum.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2022/07/V.2-Dimensi-elemen-
subelemen-Profil-Pelajar-Pancasila-pada-Kurikulum-Merdeka.pd

http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Peran IPS dan iPendidikan Karakter 2.pdf

https://osf.io/preprints/inarxiv/ec8na/download

LAMPIRAN

Mohammad Lukmanul Hakim Suci Wheli Melvia


(3203121060) (3203121029)

30

Anda mungkin juga menyukai