Anda di halaman 1dari 4

Mohammad Lukmanul Hakim

Tema : Arab Pra- Islam

Nabi Muhammad Sebelum menjadi Rasul

Nabi Muhammad saw dilahirkan pada tanggal 17 Rabiul Awal tahun 570 Masehi di Mekkah.

            Ayah beliau Abdullah dan ibu beliau Aminah. Sebelum beliau lahir, ayah beliau telah meninggal
dunia dan dimakamkan di Madinah. Kemudian beliau diasuh oleh kakek beliau, Abdul Muthalib, seorang
pembesar Quraisy, yang sangat mencintai Muhammad. Ia pernah berkata: “Putraku Muhammad memiliki
masa depan yang cemerlang.

            Menginjak usia lima tahun, ibu beliau meninggal dunia. Pada usia sembilan tahun, kakek beliau pun
meninggal dunia. Sebelum wafat, Abdul Muthalib menitipkan cucunya ini (saw) kepada putranya, Abu Thalib
agar menjaga dan merawatnya.

            Nabi saw, pada usia 25 tahun menikah dengan Khadijah binti Khuwailid. Seorang wanita Quraisy
terhormat, konglomerat dan suci. Dari pernikahan dengan beliau saw, Khadijah melahirkan dua putra yang
kemudian meninggal di masa kanak mereka. Dan melahirkan empat putri: Zainab, Ruqayah, Ummu
Kultsum dan Fatimah.

            Sejarah mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw pada masa kecilnya dan remajanya telah
memiliki keutamaan di atas orang-orang seusianya. Berdasarkan ucapan dan perilakunya jelas dia bukan
manusia biasa.

Tentang beliau saw Abu Thalib bercerita:


“Di satu malam aku mendengar kata-kata yang luar biasa dari Muhammad saw. Bila kami makan dan
minum, kami tidak menyebut Allah. Kemudian aku mendengar dari Muhammad ketika (hendak) makan
mengucapkan: Bimillâhi al-`ahad (maksudnya: “Dengan nama Allah Yang Esa”). Sesudah makan ia
mengucapkan: Alhamdu lillâhi katsîran (baca: “Segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya”). Aku sangat
heran dengan perilaku ini. Terkadang, tiba-tiba aku menemuinya dan melihat di atas kepalanya cahaya
yang melambung ke langit. Tidak pernah aku mendengar dusta dari Muhammad. Tingkah laku jahiliyah
takkan tersentuh olehnya. Tak pernah aku melihat ia tertawa-tawa berlebihan atau bermain dengan anak-
anak atau memperhatikan mereka. Ia suka sendiri dan berendah hati.

            Ibn Abbas menceritakan:

“Waktu subuh anak-anak Abu Thalib sudah bangun tidur, kedua mata mereka tidak bersih. Tapi kedua mata
Muhammad jernih dan terang. Pagi hari, Abu Thalib memberi makan anak-anaknya. Mereka saling berebut
makanan. Tetapi Muhammad tidak berebut dengan mereka. Melihat hal demikian, Abu Thalib menyediakan
makanan untuknya secara terpisah.

            Abul Fida menyampaikan:

            “Rasulullah saw dibesarkan Abu Thalib. Allah menjaga beliau dari melakukan perbuatan-perbuatan
jahiliyah dan keburukan-keburukannya. Sebab Dia menghendaki karamah beliau, hingga beliau menjadi
dewasa dan memiliki keutamaan di atas semua orang dari segi kemuliaan, budi pekerti, etika bergaul, sikap
baik terhadap tetangga, kesabaran, amanah dan kejujuran. Tidak pernah beliau bersenda gurau atau
berdebat dengan orang lain. Semua sifat terpuji ada pada dirinya, sehingga beliau disebut Muhammad al-
Amîn (yang terpercaya).

            “Pada awal wahyu, Nabi saw pulang ke rumah dengan rasa takut. Beliau sampaikan kepada
Khadijah, istri beliau: “Aku merasa khawatir dengan diriku.”

Khadijah menghibur beliau, ia menjawab: “Bergembiralah karena Allah tidak akan menjadikan engkau
terhina. Sebab engkau telah menjalin silaturahmi, berkata jujur, menanggung kesulitan-kesulitan orang lain,
membantu fukara, menghormati tamu dan menolong orang lain dalam musibah.

Anas bin Malik menyampaikan:

“Sebelum bi’tsah, orang-orang memanggil beliau al-`Amîn. Sebab beliau dikenal amanah dan adil.”

Rabi’ bin Hatim mengatakan:

“Di zaman jahiliyah bila ada orang-orang yang berselisih, mereka merujuk kepada Nabi Muhammad saw.
Nadhar bin Harits berkata kepada kaum Quraisy: ‘Kalian mengakui Muhammad di masa kecil paling terpuji,
paling jujur dan paling terpercaya di antara kalian. Tetapi di masa rambutnya sudah beruban dan dia diutus
oleh Allah kepada kalian, kalian mengatakan: ‘Dia penyihir!’ Tidak, demi Allah dia bukan penyihir.
Pada usia dua puluh tahun, beliau saw ikut serta dalam Hilfu al-Fudhûl (sumpah pemuda). Sejumlah orang
yang beritikad baik mengadakan kesepakatan di rumah Abdullah bin Jad’an dan mengikat janji: Selama
mereka hidup, akan membela kaum tertindas yang tanpa perlindungan dan mengembalikan hak-hak
mereka dari para penindas. Nabi Muhammad saw menceritakan tentang hal ini:

“Aku hadir dalam perjanjian yang disepakati di rumah Abdullah bin Jad’an, dan aku tidak akan mau
menukarnya dengan unta-unta yang berbulu merah (yang paling bagus sekalipun). Dan pada masa Islam
pun aku (masih komitmen) menyambut seruan mereka itu.

Dengan bukti-bukti historis di atas disimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw, sebelum bi’tsah dikenal oleh
masyarakat dengan perilaku yang baik, amanah, jujur, sabar, pro-keadilan, tidak menyakiti dan menjaga
kesucian.

Berdasarkan saksi hidup yang baik ini, orang-orang bisa menerima pengakuan beliau sebagai nabi dan
mengimaninya.

Agama Muhammad saw Sebelum Bi’tsah

            Apakah Muhammad sebelum pengutusan nabi berpegang pada suatu agama dan syariat, ataukah
tidak? Jika ya, lalu agama apakah yang beliau ikuti?

            Perlu kami sampaikan sebelumnya bahwa dalam sejarah dan dokumen Islam, tidak kami temukan
sesuatu yang menyampaikan masalah ini secara jelas. Namun beberapa fakta sebagai bukti-bukti
historisnya dapat dijelaskan. Antara lain:

            Abul Fida menyampaikan: “Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah saw dalam setahun beliau pergi ke
bukit Hira sebulan lamanya dan di sana beliau melakukan ibadah. Kaum Quraisy pun berbuat demikian. Di
masa itu beliau memberi makan kepada setiap fakir yang datang. Usai melaksanakan upacara-upacara
ibadah, sebelum pulang ke rumah, beliau melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah.

            Ghiyats bin Ibrahim meriwayatkan dari Imam Shadiq as:

            “Nabi saw setelah datang ke Madinah tidak pergi haji melainkan sekali. Namun (selama) di Mekkah
beliau beberapa kali bersama kerabat beliau melaksanakan upacara-upacara haji.

            Diriwayatkan; “Muhammad saw di usia empat puluh tahun melakukan shalat.

            Paman beliau, Abu Thalib, juga menceritakan Nabi Muhammad pada masa kecilnya:

“Ketika memulai makan ia selalu membaca: Bismillah dan setelahnya mengucapkan Alhamdulillah.

Dari keterangan ini disimpulkan bahwa Nabi saw sebelum bi’tsah, telah melakukan amalan-amalan sebagai
ibadah, melakukan shalat, sebulan dalam setahun melakukan i’tikaf di bukit Hira, melaksanakan ritual-ritual
haji, thawaf seputar Ka’bah, membaca Bismillah ketika hendak makan. Maka jelas beliau adalah seorang
pribadi religius dan rajin melakukan ibadah-ibadah.

Di samping itu, dalam pembahasan Imamah ditetapkan bahwa para nabi seumur hidupnya maksum
(terpelihara) dari kekufuran, kesyirikan dan dosa. Oleh karena itu, harus diakui, Nabi saw sebelum bi’tsah
adalah seorang religius. Sebab kekufuran dan kesyirikan tidak sesuai dengan kemaksuman beliau.

Al-Quran menafikan kesesatan dan kekufuran seluruhnya dari diri beliau, bahkan sebelum beliau diutus.

ِ ‫ مَا ضَ َّل صَ ا‬/ ‫َوال َّنجْ ِم إِ َذا ه ََوى‬


‫ح ُب ُك ْم َومَا غَ َوى‬

Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru (QS. an-Najm:1-2).

Oleh karena itu, mengenai keberagamaan Nabi Muhammad sebelum bi’tsah tiada keraguan sedikit pun.

Anda mungkin juga menyukai