Anda di halaman 1dari 21

TUGAS ILMIAH STASE ANESTESI

TIER ZERO

Disusun untuk memenuhi tugas


Kepaniteraan Klinik Lab/SMF Anestesi di RSD dr.Soebandi
Jember

Oleh:

I Wayan Murtiyasa 18710136

Pembimbing:

Dr. Ahmad Wahib Wahju Winarso, Sp.An.,KNA-NCC

SMF/LAB ANESTESI

RSD dr. SOEBANDI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

WIJAYA KUSUMA SURABAYA


2021

i
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN............................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN...................................................................................... 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 2
2.1. Tekanan Intrakranial................................................................................ 3
2.2. Tekanan Tinggi Intrakranial..................................................................... 3
2.3. Etiologi tekanan intrakranial.................................................................... 4
2.4. Gejala Tekanan Intrakranial..................................................................... 5
2.5. Gambaran Radiologi Tekanan Intrakranial.............................................. 7
2.6 CT Scan..................................................................................................... 7
2.7. General Management/tier Zero................................................................ 8
BAB 3. Kesimpulan............................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 18

ii
iii
BAB 1. PENDAHULUAN

Cedera otak traumatik merupakan masalah besar. Secara umum cedera kepala
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Efek cedera kepala yang dapat dikenal secara
klinis dibagi menjadi 2 jenis, yaitu efek primer yaitu cedera kranioserebral yang
terjadi pada saat trauma dan efek sekunder yaitu cedera kranioserebral akibat
komplikasi kerusakan primer misalnya edema serebri, kerusakan sawar darah otak,
nekrosis jaringan, hipertermi, dan lainnya

Menurut National Institute for Clinical Excellence in the UK (NICE), cedera


kepala adalah setiap trauma yang mengenai kepala, selain dari cedera superfisial pada
wajah. Sekitar 90% kasus adalah cedera kepala ringan (GCS 13-15), 5% cedera
kepala sedang (GCS 9-12) dan 5% lagi cedera kepala berat (GCS < 9)

Tekanan intrakranial merupakan jumlah total dari tekanan yang mewakili


volume jaringan otak, volume darah intrakranial dan cairan serebrospinalis. Apabila
volume dari salah satu faktor tadi meningkat dantidak dapat dikompensasi oleh kedua
faktor yang lain, maka terjadilah tekanan tinggi intrakranial. Tekanan tinggi
intrakranial secara klasik ditandai dengan suatu trias, yaitu nyeri kepala, muntah-
muntah dan papil edem. Dalam hal ini foto polos kepala dapat membantu untuk
menentukan ada tidaknya tekanan tinggi intrakranial

1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

1. Tekanan Intrakranial
Kranium dan kanalis vertebralis yang utuh, bersama-sama dengan
durameter membentuk suatu wadah yang berisi jaringan otak, darah dan
cairan serebrospinalis. Tekanan intrakranial yang normal adalah 5-15 mm
Dalam kondisi normal, volume intrakranial total terdiri dari otak, CSF,
dan darah serebral dijaga dalam tekanan yang rendah meskipun terdapat
perubahan patologis pada sistem kardiorespirasi. Namun perubahan pada
jaringan otak, CSF, atau volume darah otak dapat mengganggu keseimbangan
dan berpotensi mengakibatkan peningkatan TIK

2. Tekanan Tinggi Intrakranial

Berdasarkan Doktrin Monroe-Kellie, volume intrakranial terdiri otak


80%, cairan serebral spinal (CSF) 10%, dan volume darah otak 10%] bersifat
tetap tidak dapat berkembang. Karena jaringan otak memiliki kapasitas
kompensasi yang minimal, dengan adanya edema serebral atau lesi yang
menempati ruang, CSF dan volume darah harus menurun untuk mengatur
ICP. CSF dapat mengalir melalui pleksus lumbal dan volume darah diatur
secara otomatis oleh PaCO2 dan PaO2. Hal ini memungkinkan volume darah
otak menurun, mengurangi ICP, sementara pada saat yang sama
mempertahankan CPP yang memadai.
Tujuan dari pemantauan dan pengendalian ICP pada pasien TBI adalah
untuk mempertahankan CPP yang sesuai [didefinisikan sebagai tekanan arteri
rata-rata (MAP) dikurangi ICP] baik melalui peningkatan MAP atau
penurunan ICP. Berbagai terapi dapat diterapkan untuk menurunkan TIK dan
mengurangi edema serebral dalam upaya mempertahankan CPP yang cukup
untuk memberikan pengiriman oksigen yang memadai untuk menghindari

2
cedera serebral sekunder akibat iskemia. Ada keseimbangan yang rumit antara
peningkatan perfusi otak dan menjaga ICP dan edema serebral diminimalkan.

Bila terjadi kenaikan yang relatif kecil dari volume otak, keadaan ini
tidak akan cepat menyebabkan tekanan tinggi intrakranial. Sebab volume
yang meninggi ini dapat dikompensasi dengan memindahkan cairan
serebrospinalis dari ronga tengkorak ke kanalis spinalis dan disamping itu
volume darah intrakranial akan menurun oleh karena berkurangnya
peregangan durameter. Hubungan antara tekanan dan volume ini dikenal
dengan complience. Jika otak, darah dan cairan serebrospinalis volumenya
terus menerus meninggi, maka mekanisme penyesuaian ini akan gagal dan
terjadilah tekanan tinggi intrakranial
3. Etiologi Tekanan Tinggi Intrakranial
1. Volume intrakranial yang meninggi
Volume intrakranial yang meninggi dapat disebabkan oleh:
• Tumor serebri
• Infark yang luas
• Trauma
• Perdarahan
• Abses
• Hematoma ekstraserebral
• Acute brain swelling
2. Dari faktor pembuluh darah
Meningginya tekanan vena karena kegagalan jantung atau karena
obstruksi mediastinal superior, tidak hanya terjadi peninggian volume
darah vena di piameter dan sinus duramater, juga terjadi gangguan
absorpsi cairan serebrospinalis.
3. Obstruksi pada aliran dan pada absorbsi cairan serebrospinalis

3
4. Gejala Klinik pembuluh darah
 Nyeri Kepala
Nyeri kepala pada tumor otak terutama ditemukan pada orang dewasa dan
kurang sering pada anak-anak. Nyeri kepala terutama terjadi pada waktu
bangun tidur, karena selama tidur PCO2 arteril serebral meningkat
sehingga mengakibatkan peningkatan dari serebral blood flow dan dengan
demikian mempertinggi lagi tekanan intrakranium. Juga lonjakan tekanan
intrakranium sejenak karena batuk, mengejan atau berbangkis akan
memperberat nyeri kepala. Pada anak kurang dari 10-12 tahun, nyeri
kepala dapat hilang sementara dan biasanya nyeri kepala terasa didaerah
bifrontal serta jarang didaerah yang sesuai dengan lokasi tumor. Pada
tumor didaerah fossa posterior, nyeri kepala terasa dibagian belakang dan
leher.
 Muntah
Muntah dijumpai pada 1/3 penderita dengan gejala tumor otak dan
biasanya disertai dengan nyeri kepala. Muntah tersering adalah akibat
tumor di fossa posterior. Muntah tersebut dapat bersifat proyektil atau
tidak dan sering tidak disertai dengan perasaan mual serta dapat hilang
untuk sementara waktu.
 Kejang
Kejang umum/fokal dapat terjadi pada 20-50% kasus tumor otak, dan
merupakan gejala permulaan pada lesi supratentorial pada anak sebanyak
15%. Frekwensi kejang akan meningkat sesuai dengan pertumbuhan
tumor. Pada tumor di fossa posterior kejang hanya terlihat pada stadium
yang lebih lanjut. Schmidt dan Wilder (1968) mengemukakan bahwa
gejala kejang lebih sering pada tumor yang letaknya dekat korteks serebri
dan jarang ditemukan bila tumor terletak dibagian yang lebih dalam dari
himisfer, batang otak dan difossa posterior.

4
 Papil edem
Papil edem juga merupakan salah satu gejala dari tekanan tinggi
intrakranial. Karena tekanan tinggi intrakranial akan menyebabkan oklusi
vena sentralis retina, sehingga terjadilah edem papil. Barley dan kawan-
kawan, mengemukakan bahwa papil edem ditemukan pada 80% anak
dengan tumor otak.
 Gejala lain yang ditemukan: o
 False localizing sign: yaitu parese N.VI bilateral/unilateral, respons
ekstensor yang bilateral, kelainann mental dan gangguan endokrin
 Gejala neurologis fokal, dapat ditemukan sesuai dengan lokalisasi
tumor.
5. Gambaran Raiologi Tekanan Tinggi Intrakranial pda polo kepala
Pada anak
1. Sutura melebar
Pada umur 7 tahun sutura mulai mendekati dimana hal ini mungkin
terlihat setelah umur 14 atau 15 tahun. Keadaan ini tidak terlihat
setelah umur 25 atau 30 tahun. Satura yang melebar ini terutama jelas
terlihat pada sutura koronaria dan sutura sagitalis serta jarang terlihat
pada sutura lambdoidea
2. Ukuran kepala yang membesar
Ukuran kepala yang membesar dijumpai pada:
 Ventrikel yang membesar
Pada hidrosefalus ditemukan ventrikel yang membesar, misalnya
disebabkan oleh suatu stenosis aquaduktus Sylvii, Arnold Chiari
Malfornation atau Dendy Walker Cyst
 Ventrikel yang normal

5
Dijumpai pada edem serebri, space ocuping lesion dan
megalencephaly
3. Craniolacunia
Craniolacunia adalah suatu gambaran menyerupai alur yang berbentuk
oval atau seperti jari pada tabula interns dengan diantaranya terdapat
bony ridge. Tanda ini terlihat pada neonatus sampai bayi berumur 6
bulan. Keadaan ini berhubungan dengan myelomeningocele,
ecephalecele, stenosis aquaductus sylvii dan arnold chiari
malformation
4. Erosis dorsum sellae
Pada anak-anak erosi dorsum sellae merupakan tanda lanjut dari
tekanan tinggi intrakranial. Untuk terjadinya erosi dorsum sellae
membutuhkan waktu beberapa minggu. Keadaan ini hanya terlihat
pada 30% kasus dengan tekanan tinggi intrakranial. Jika erosi dorsum
sellae tidak disertai dengan sutura yang melebar, umumnya hal ini
disebabkan oleh lesi fokal pada daerah sella
5. Bertambahnya convulional marking
Untuk suatu tekanan tinggi intrakranial bertambahnya convolutional
marking tidak dapat dipercaya. Dalam keadaan normal keadaan ini
bervariasi antara umur 4-10 tahun

Pada dewasa

1. Erosi dorsum sellae


Pada orang dewasa biasanya terjadi erosi dorsum sellae dan
merupakan gambaran yang khas. Pada tekanan tinggi intrakranial
yang lama seluruh dorsum sellae mungkin tidak jelas terlihat.
Sebenarnya erosi prossesus posterio dan dorsum sellae disebabkan
oleh tekanan dari dilatasi ventrikel III dan pada umumnya
ditemukan pada penderita dengan tumor pada fossa posterior dan

6
hidrosefalus. Erosi sellae oleh karena tekanan tinggi intrakranial
harus dibedakan dari lesi destruksi lokal. Selain daripada adenoma
pituitaria yang terdiri atas meningioma, chordoma,
craniopharyngioma dan aneurisma
2. Pergeseran kelenjar pineal
Pada proyeksi Towne dengan kualitas filma yang baik, kelenjar
pineal terlihat terletak di garis tengah. Jika terjadi pergeseran dari
kalsifikasi kelenjar pineal lebih dari 3 mm pada satu sisi garis
tengah,menunjukkan adanya massa intrakranial. Pada umumnya
sebagai penyebabnya adalah tumor intrakranial, tetapi lesi seperti
subdural hematom dan massa non neoplastik dapat menyebabkan
hal yang sama
3. Kalsifikasi patologi
Pada space occupying lession dapat terlihat adanya kalsifikasi
yang patologik. Keadaan ini terlihat dengan gambaran radiologik
kira-kira pada 5%-10% kasus
6. CT Scan
CT Scan merupakan pemeriksaan yang aman dan tidak invasif serta
mempunyai ketepatan yang tinggi. Masa tumor menyebabkan kelainan pada
tulang tengkorak yang dapat berupa erosi atau hiperostosis, sedang pada
parenkhim dapat merubah struktur normal ventrikel, dan juga dapat
menyebabkan serebral edem yang akan terlihat berupa daerah hipodensiti.
Setelah pemberian kontrast, akan terlihat kontrast enhancement dimana tumor
mungkin terlihat sebagai daerah hiperdensiti. Kelemahan CT Scan menurut
Davuis (1976) kurang mengetahui adanya tumor yang berpenampang kurang
dri 1,5 cm dan yang terletak pada basis kranii

7
GENERAL MANAGEMENT/TIER ZERO

1. Seattle International Severe Traumatic Brain Injury Consensus Conference


(SIBICC)
SIBICC membagi tatalaksana hipertensi intrakranial menjadi 4 tier yakni tier
zero, tier one, tier two, dan tier three. Dalam panduannya disebutkan bahwa terdapat
dua parameter yang digunakan yakni peningkatan ICP dan brain tissue partial
pressure of oxygen (PbtO2) untuk menentukan intervensi yang dilakukan. Namun pada
intervensi ‘tier zero’ tidak bergantung ada atau tidaknya peningkatan ICP (Gambar
1). Dalam tier ini juga disebutkan hal- hal yang tidak direkomendasikan untuk
dilakukan dalam manajemen tatalaksana TBI (Gambar 2)4.

8
Gambar 1. Tier zero4

9
Gambar 2. Tatalaksana yang tidak direkomendasikan dalam manajemen TBI4

Gambar 3. Skema pembagian 4 kelompok berdasarkan keadaan klinis4


Konsesus ini membagi menjadi 4 kelompok sesuai keadaan klinis antara lain
grup A, grup B dan grup C serta grup D (Gambar 3). Terdapat 3 algoritma yang
digunakan untuk 3 tipe keadaan abnormal dari parameter yang digunakan yakni grup
B yang memiliki ICP abnormal dan PbtO2 normal, grup C yang memiliki ICP normal
dan PbtO2 abnormal, dan grup D yang memiliki ICP dan PbtO2 abnormal. Secara umum
manajemen tatalaksana dimulai dari tier zero, sedangkan untuk terapi hipertensi
intrakranial dimulai dari tier one. Peralihan ke tier yang lebih tinggi mencerminkan
intervensi yang semakin agresif. Dalam panduan terapi ini perawatan dalam tingkatan
tertentu dianggap setara, dengan pemilihan satu perawatan di atas yang lain
berdasarkan karakteristik pasien individu dan kebijakan dokter.4
Pada algoritma tipe B, second tier yang direkomendasikan antara lain :
hipokapnia ringan sekitar 32-35 mmHg, pemberian neuromuscular paralysis,
mencoba MAP challenge untuk menilai autoregulasi serebral dan mencapai target
MAP dan CPP, serta meningkatkan CPP menggunakan bolus cairan, vassopressor
dan atau inotropik untuk menurunkan ICP ketika autoregulasi penuh (Gambar 4).4

10
Gambar 4. Algoritma Tipe B4
Pada algoritma tipe C, second tier yang direkomendasikan antara lain :
manajemen ventilator untuk meningkatkan PaO2 hingga 150 mmHg, menurunkan ICP
sampai batas <22 mmHg, mempertimbangkan drainase CSF, meningkatkan sedasi
untuk meningkatkan ventilasi mekanik dan PbtO2, mencoba MAP challenge untuk
menilai autoregulasi cerebral dan mencapai target MAP dan CPP, meningkatkan CPP
untuk meningkatkan PbtO2 ketika didukung MAP challenge, meningkatkan CPP

11
diatas 70mmHg menggunakan bolus cairan, vassopressor dan atau inotropik (Gambar
5).4

Gambar 5. Algoritma Tipe C4


Pada algoritma tipe D, second tier yang direkomendasikan antara lain:
manajemen ventilator untuk meningkatkan PaO2 hingga 150 mmHg, meningkatkan
sedasi untuk memperbaiki ICP dan PbtO2, pemberian neuromuscular paralisis pada

12
pasien yang tersedasi adekuat jika efektif dalam menurunkan ICP dan meningkatkan
PbtO2, mencoba MAP challenge untuk menilai autoregulasi cerebral dan mencapai
target MAP dan CPP, meningkatkan CPP untuk meningkatkan PbtO2, ketika didukung
MAP challenge, dan meningkatkan CPP diatas 70 mmHg menggunakan bolus cairan,
vassopressor, dan atau inotropik (Gambar 6).4

Gambar 6. Algoritme tipe D

13
Resuscitation: Airway, Breathing and Circulation

 Airway
Manajemen jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi yang tepat dan tepat mencegah
hipoksia, hiperkapnia, dan hipotensi. Hipoksia meningkatkan TIK dengan
vasodilatasi dan edema serebral. Batuk atau bucking selama laringoskopi dan
intubasi dapat menyebabkan peningkatan ICP lebih lanjut. Oleh karena itu obat
penenang harus selalu digunakan sebelum intubasi bahkan jika pasien tidak
responsif. Esmolol, labetalol, dan lignokain juga dapat digunakan untuk
menumpulkan respons hemodinamik terhadap laringoskopi
 Ventilation
Hipercarbia adalah vasodilator serebral poten yang menyebabkan peningkatan
volume darah serebral dan ICP. Oleh karena itu hipoventilasi harus dihindari dan
normokapnia dipertahankan
 Blood Pressure
Hipotensi akan menurunkan tekanan perfusi serebral di otak yang mengalami
gangguan autoregulasi. Pedoman BTF merekomendasikan untuk mempertahankan
tekanan darah sistolik pada ≥ 100 mm Hg untuk pasien berusia 50 hingga 69 tahun
atau pada ≥ 110 mm Hg atau lebih untuk pasien berusia 15-49 atau> 70 tahun

Intervensi harus diterapkan pada pasien dengan TBI:

1. Pertahankan MAP > 80 mmHg bila GCS < 8, selain itu target MAP > 70
mmHg Rentang normal CPP adalah antara 50- 150 mmHg dengan rata rata
antara 80-100 mmHg. CPP kurang dari 50 mmHg akan mendorong terjadinya
hipoperfusi otak, hipoksia dan kerusakan akibat iskemia. Sedangkan jika CPP
lebih dari 150 mmHg akan mendorong terjadinya status hiperemik dan
menyebabkan edema serebral serta hipertensive ensepalopat
RUMUS:

14
CCP=MAP-ICP
MAP=(2DP+SP)/3
(CPP=60-90) (ICP=10-20)(MAP=60-150mmHg)

Keterangan:
CPP : Cerebral perfusion pressure
MAP : Mean arterial pressure
ICP : Intracranial Pressure

2. Berikan suplemen oksigen untuk menjaga SpO2 > 92%


3. Elevasi bagian kepala tempat tidur 30 derajad
4. Semua pasien dengan TBI harus meninggikan kepala tempat tidurnya 30
derajat untuk mengurangi edema serebral dan meningkatkan drainase vena
dari kubah kranial. Peninggian kepala juga dapat menurunkan ICP tanpa
berdampak buruk pada aliran darah otak atau CPP. Pada pasien dengan cedera
tulang belakang yang dicurigai atau didokumentasikan, hal ini paling baik
dicapai dengan menempatkan tempat tidur pasien pada posisi Trendelenburg
terbalik. Peninggian kepala tempat tidur lebih dari 30 derajat belum terbukti
bermanfaat
5. Pertahankan kepala pada posisi netral untuk menghindari konstriksi vena
jugularis
6. Koreksi hiponatremia (37°C)
Hiponatremia adalah gangguan ketidakseimbangan elektrolit dengan adanya
tanda-tanda penurunan volume (misalnya, hipotensi, penurunan turgor kulit,
atau tekanan vena sentral rendah) dan pengobatan hiponatremia yang efektif
sangat penting untuk pasien hiponatremia dengan penyakit intrakranial. Baik
SIADH dan CSW merupakan penyebab potensial hiponatremia. untuk
membedakan kedua kondisi ini gambaran klinisnya terkadang tumpang tindih.
Perbedaan utama terletak pada penilaian volume pasien. SIADH ditandai

15
dengan keadaan volume-membesar, sedangkan CSW ditandai dengan keadaan
volume-berkontraksi. Penting untuk membuat diagnosis yang akurat karena
pengobatan sangat berbeda antara kondisi-kondisi ini. Pembatasan cairan
adalah pengobatan pilihan dalam SIADH, sedangkan penggantian garam dan
volume adalah pengobatan untuk CSW.
Hiponatremia setelah cedera kepala sering disebabkan karena
sekresi Antidiuretik hormon (ADH) berlebih sehingga terjadi hipovolemia
akibat restriksi cairan karena perdarahan atau cedera lain. Sekresi ADH
berlebih sesuai untuk kondisi hipovolemia tetapi tidak sesuai untuk
kondisi hiponatremia. Restriksi cairan dapat memperburuk kondisi dengan
terus meningkatkan produksi ADH. Hiponatremia yang tidak terkoreksi
dapat memicu penurunan kesadaran dan kejang. Hiponatremia juga dapat
terjadi karena kelebihan penggunaan solusi dekstrosa tanpa
pemberian suplementasi sodium
7. Hindari hiperglikemia (>180 mg/dL)
Hiperglikemia merupakan keadaan yang sering ditemukan pada pasien cedera
kepala. Hal ini disebabkan oleh pelepasan katekolamin karena meningkatnya
respon akut sympathoadrenomedullar. Peningkatan ini terjadi sebagai akibat
gangguan pada sistem HPA-axis sebagai akibat adanya ischemia pada otak.
Ischemia pada otak merupakan akibat dari meningkatnya tekanan intrakrania
8. Pastikan asupan nutrisi dini yang sesuai
9. Cegah deep venous thrombosis (DVT)
10. Cegah ulkus stres gastrointestinal
11. Cegah kulit pecah-pecah/pembentukan ulkus decubitus dengan memberikan
alas tidur yang sesuai

16
BAB 3. KESIMPULAN

Cedera kepala (head Injury) atau trauma atau jejas yang terjadi pada kepala bisa oleh
mekanik ataupun non-mekanik yang meliputi kulit kepala, otak ataupun tengkorak
saja dan merupakan penyakit neurologist yang paling sering terjadi, biasanya
dikarenakan oleh kecelakaan (lalu lintas). Hal tersebut bisa mengakibatkan terjadi
peningkatan intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial merupakan kondisi yang
harus di tangani NCCU adalah positioning, hipervenitilation, kontrol suhu :
hipotermi, kontrol tekanan darah, kontrol kejang, kolaborasi pemberian diuretik, dan
kontrol kebutuhan metabolik.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Basmatika, I. A. Secondary Brain Injury. E-Jurnal Medika Udayana, 444-


464
2. Cole, C. D., Gottfried, O. N., Liu, J. K., & Couldwell, W. T. (2004).
Hyponatremia In The Neurosurgical Patient: Diagnosis And
Management. Neurosurgical Focus, 16(4), 1-10.
3. Nugraha, W. E. (2010). Hubungan Antara Tekanan Intrakranial
Berdasarkan Gambaran Ct-Scan Dengan Kadar Gula Darah Sewaktu
Pada Pasien Cedera Kepala Di Rsdk (Doctoral Dissertation, Faculty Of
Medicine).
4. Lalenoh, D. C., Sudjito, M. H., & Suryono, B. (2012). Penanganan
Anestesi Pada Cedera Otak Traumatik. Jurnal Neuroanestesi
Indonesia, 1(2), 120-32.
5. Leffert, L. R., & Schwamm, L. H. (2013). Neuraxial Anesthesia In
Parturients With Intracranial Pathologya Comprehensive Review And
Reassessment Of Risk. Anesthesiology: The Journal Of The American
Society Of Anesthesiologists, 119(3), 703-718
6. Japardi, I. (2007). Tekanan Tinggi Intrakranial. Fakultas Kedokteran
Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara.
7. Rao, B. K., Singh, V. K., Ray, S., & Mehra, M. (2004). Airway
Management In Trauma. Indian Journal Of Critical Care Medicine, 8(2).
8. Wahyudi, D. (2015). Head Up In Management Intracranial For Head
Injury. Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol, 11(1).

18

Anda mungkin juga menyukai