Anda di halaman 1dari 6

PENGAJARAN SASTRA DENGAN TEORI NEW HISTORICISM

I Wayan Artika
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Pendidikan Ganesha
Jalan Jend. A Yani 67 Singaraja 81116, Telp. 0362-21541, Fax. 0362-27561
Email: batungsel@yahoo.com

ABSTRACT

Althought literature study developed rapidly but literature teaching to the full use it advancement not
yet. Hence, literature teaching in schools necessary use recent literature study/critic. In a general way teachers
opinion said that “on behalf of teaching seriously, so by means of “the bad way” was sufficient for students to
answer the objective test. As the world goes, literature teaching is structurally. According to teachers, literature
is “a deformity good” because most parts of literature were dominate by imagination. This short paper would
like to contribute teachers within literature teaching, as the thing which “challenge” benefited New Historicism
and intertextuality approach.

Key words: literature teaching, New Historicism, intertextuality approach, fact and fiction

PENDAHULUAN caya pada sastra? Orang mencari-cari dan mem-


buru-buru karya seorang penulis. Orang bersedia
Pengajaran sastra di sekolah masih kon- menjalani hukuman-hukuman dan siksaan-siksaan
vensional dan monoton, sangat sedikit ino- untuk novel yang ditulisnya. Sudah sejak lama a-
vasi yang dilakukan guru. Kenyataan tersebut manat -amanat para raja dilupakan orang, tetapi
kata-kata para penyair setiap kali dicetak kembali,
berkaitan dengan kondisi struktural guru, kurang
dipelajari dan selalu menjadi milik tiap zaman.”
tertarik mengikuti perkembangan dunia sastra. (Sumardjo, 1979:138).
Mereka jarang membaca karya dan karena itu
tidak memiliki pengalaman yang bisa dibagi ke- Sebenarnya, batas antara sastra dan bu-
pada para siswa dalam mengarungi dunia sastra. kan sastra tidak jelas (Teeuw, 1983:5; Budianta,
Perpustakaan sekolah yang tidak menyediakan 2008:309-310). Dalam fiksi dan nonfiksi terjadi
buku-buku sastra dalam jumlah besar menjauh- tumpang tindih, silang sengketa antara rekaan dan
kan siswa dari dunia sastra. Sastra di sekolah kenyataan (Ratna, 2007:312). Di antara teks sas-
hanya sastra teori unsur intrinsik-ekstrinsik, tra dan nonsastra tidak ada garis pemisah yang te-
dipersiapkan untuk sukses menjawab soal ujian gas (Suwondo, 1999:7). Khalil Gibran (Libanon)
nasional. dan Rabindranath Tagore (India) menulis dengan
makna teks yang sangat kuat sehingga pembaca
Batas Fakta dan Fiksi Semakin Kabur tidak menganggap penting lagi membedakan,
Ilmu sosial penuh dengan fakta dan fiksi apakah karya mereka risalah ilmu pengetahuan,
(Kleden, 1998:5). Fakta dan fiksi digunakan un- biografi, esai kebudayaan, kenangan hidup, atau
tuk menimbang kadar “benar” dan “salah” teks. fragmen novel (Kleden, 2001:16). Membatasi
Fakta sebagai kebenaran dan fiksi rekaan. Walau- sastra dan nonfiksi sama susahnya ketika hen-
pun demikian, orang tetap percaya kepada sastra? dak membedakan sejarah dengan sastra, yang
hanyalah berupa asumsi teoretis karena dalam
“Soalnya adalah mengapa banyak orang begitu per-

50 | PRASI | Vol. 10 | No. 20 | Juli - Desember 2015 |


praktiknya sulit (Kuntowijoyo dalam Heryanto,
gunakan oleh Stephen Greenblatt dalam sebuah
1984:46). Menurut Heryanto, tidak ada suatu
pengantar edisi jurnal Genre pada tahun 1982,
fakta/peristiwa apapun yang mampu dipahamiuntuk menawarkan perspektif baru dalam kajian
dan diungkapkan kembali secara total, objektif,
renaissance, menekankan keterkaitan teks sas-
dan netral atau “sebagai sesungguhnya terjadi”.
tra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi,
Menurut paradigma postrukturalisme, kenyataan
dan politik yang melingkupinya (Brannigan,
dalam sejarah bukan kenyataan sesungguhnya,
1999:421; Bressler, 1999: 236; Barry, 2010:201;
kenyataan yang dibangun, memperoleh kekuatan
Budianta, 2006:2-3). Dalam Beginning Theory,
wacana (Ratna, 2007:3). Nirwan Dewanto mem-
Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Bu-
pertanyakan, untuk apa membedakan penciptaan
daya, terjemahan karya Peter Barry, dalam baha-
sastra dengan tindakan hidup secara keseluruhan
sa Indonesia digunakan istilah “sejarah baru” dan
(Dewanto, 1996:126-136)? Pandangan yang “historis baru”. Istilah ”historisisme baru” digu-
menyatakan bahwa fiksi hanya rekaan dan ka-
nakan dalam dua sumber: (1) Purwanto (2000)
rena itu dinilai kurang berharga, ditolak Jassin
dan (2) Ismayasari (2011), terjemahan karya
(1983:79) bahwa melalui sastra pengarang dapat
Ryan (2007) yang berjudul Literary Theory: A
menjalin pikiran yang tinggi dan mulia, mengisi
Practical Introduction. Junus (1996) mengguna-
jiwa manusia. Menurut Isaiah Berlin, “Dalam
kan istilah “pensejarahan baru”. New historicism
dunia sekarang, seluruh pengetahuan yang hidup
mengandung dua hal yaitu (1) mengerti sastra
dan menyeluruh mengenai manusia hanya di- melalui sejarah dan (2) mengetahui budaya, se-
dapatkan dalam sastra”; atau menurut Marcel
jarah, dan pemikiran melalui sastra. Karena itu,
Proust, “Hidup nyata yang diterangi dan diwahy-
new historicism tidak membedakan teks sastra
ukan, dan yang dihidupi dengan sungguh-sung-
dengan nonsastra, seperti pandangan old histo-
guh adalah karya sastra (dalam Llosa, 2003:64).
ry (sejarah sebagai latar belakang karya sastra)
Dewasa ini kecanggihan teknologi in-
atau new criticism (sastra otonom atau ahistory).
formasi dan komunikasi yang berbasis jaringan
New historicism menerapkan metode kerja in-
komputer telah menciptakan dunia virtual, yang
terteks dengan membaca beberapa teks secara
nyata bercampur aduk dengan yang semu (Pra-
paralel (parallel reading) karena semua teks
setyo, 2011:183-184). Membedakan “mana yang
yang merupakan produk zaman dan saling ber-
nyata” dan “mana yang semu” sangat sulit. Sosok/
hubungan. Penerapan metode new historicism,
identitas fiktif atau nyata selalu meragukan atau
membaca sastra “dalam rangkaian arsip” (Barry,
mengarah kepada sikap “tidak penting lagi mem-
2010:203). New historicism memaknai sastra
bedakan fiksi dan kenyataan”. Televisi dan iklan
dalam kerangka hubungan dengan teks nonsastra,
juga mencampuradukkan fakta dan fiksi. Dalam
karena argumen tentang makna teks sastra sering
iklan rokok tidak ada fakta rokok (orang mer-
sekali mudah diuraikan dengan melihat sejarah.
okok dan rokok) tetapi digantikan oleh semacam
Sejarah seperti pisau analisis yang kuat karena
fiksi tentang rokok: petualangan, ekslusivitas, an-
acapkali memberikan dasar yang kokoh untuk
eka fantasi, sportivitas, kejantanan, persahabatan
memancangkan pernyataan yang berkenaan de-
(Prasetyo, 2011:184). Membedakan berita surat
ngan makna (Ryan, 2011:217).
kabar (fakta) dengan cerpen (fiksi) tidak dapat
New historicism menempatkan teks sastra
lagi berdasar pada “fakta” dan “fiksi”. Dunia fiksi
dalam kerangka teks nonsastra (Barry, 2010:202).
bukan wilayah eksklusif cerpen tetapi dikavling
Hal ini sejalan dengan pendapat Greenblatt
juga oleh berita surat kabar. dalam rumusan “nothing comes of nothing” ke-
tika mengkaji Shakespeare. Sehubungan dengan
New Historicism Shakespeare, Greenblatt bertanya:, “dari mana ia
Istilah new historicism pertama kali di- memperoleh bahan-bahan”, “bagaimana ia be-

| PRASI | Vol. 10 | No. 20 | Juli - Desember 2015 | 51


kerja dengan bahan-bahan itu”, dan “apa yang ia el. Interteks kini digunakan di berbagai bidang:
lakukan dengan bahan-bahan itu”? lukisan, musik, arsitektur, fotografi, film, teks
New historicism tidak menilai produk budaya visual.
(tinggi-rendah, sastra-nonsastra, serius-populer) Istilah interteks pada umumnya dipahami
melainkan untuk menunjukkan bagaimana ber- sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain.
bagai ragam teks saling terkait dengan persoalan Karya seorang pengarang tidak dihasilkan oleh
zamannya karena sastra dan sejarah seperti jeja- pengarang/penulis tunggal tetapi karena ia ber-
ring teks dan bukan pendulum. New historicism hubungan dengan teks lain, baik teks lisan mau-
memandang bahwa sastra bukan sebagai cer- pun tulis. Dalam suatu teks beberapa pernyataan
minan transparan dan pasif sejarah, melainkan diambil dari teks lain dan satu sama lain saling
ikut membangun, mengartikulasikan, dan mere- berpotongan atau bersilangan. Menurut Kristeva
produksi konvensi, norma, nilai budaya mela- (1967:66), “Any text is constructed as a mosaic of
lui tindak verbal dan imajinatif kreatif. Menurut quotations: any text is the absorption and trans-
Barry (2010:202), dokumen sejarah tidak disub- formation of another.” Berdasar kepada pandan-
ordinasikan sebagai konteks, melainkan diana- gan Bakhtin ia mengajukan suatu argumen bahwa
lisis sebagai teks tersendiri, disebut “ko-teks”. setiap kata berupa persilangan yang tampak seba-
Ko-teks atau ”teks dampingan” dalam Ismayasa- gai permukaan teks. Tidak ada teks yang sanggup
ri (2011). Teks dan ko-teks dalam kajian new his- memenuhi dirinya sendiri. Setiap teks selalu ber-
toricism dilihat sebagai ekspresi momen sejarah gantung dan berhubungan dengan teks lain dan
yang sama. Hakikat objektivitas kenyataan men- juga dengan wacana dalam masyarakat. Menurut
jadi relatif sebab objektivitas kenyataan tidak Ogunpitan (2007:1), “… no literary work has
diberikan melainkan terus-menerus harus diba- meaning completely independent of social codes,
ngun, dengan konsekuensi tidak ada kenyataan cultural systems, and other literary and non-li-
yang sesungguhnya (Ratna, 2007:330-331). terary forms”. Hal itu sejalan dengan pendapat
Berbagai sumber mengemukakan tahap Culler (1981:12), “to read is always to read in re-
kerja teori new historicism, seperti (1) memilih lation to other texts, in relation to the codes that
karya sastra yang akan dikaji, (2) mempelajari se- are the products of these texts, and go to make up
jarah masyarakat ketika karya sastra itu diterbit- a culture.” Setiap ekspresi atau pernyataan dalam
kan, (3) membaca karya sastra untuk menemukan suatu teks, selalu menyerap jejak yang telah di-
isu dominan/penting diungkapkan di dalamnya, pakai dalam teks terdahulu. Setiap teks bukan
(4) mempelajari teks nonsastra yang berasal dari sebagai barang jadi dan tertutup. Barthes menga-
periode sejarah yang sama dengan karya sastra takan bahwa teks bukan kesatuan, unitas atau ob-
untuk menemukan relevansi (hubungan-hubun- jek terasing bermakna tunggal tetapi elemen yang
gan pararel) antara sastra dan teks nonsastra, (5) terbuka bagi banyak interpretasi. Salah satu efek
menganalisis hubungan pararel sastra dan teks utama yang dimiliki teks menjadi konteks yang
nonsastra, dan (6) hasil analisis disusun secara di dalamnya teks lain dibaca dan dialami. Teks-
sistematis untuk menunjukkan makna karya sas- teks yang mengitari mempengaruhi respons para
tra. pembaca terhadap teks tertentu (Thwaites dkk.,
2011:141).
Interteks Barthes, Bakhtin, dan Kristeva sepakat
Teori interteks muncul tahun 1960-an bahwa pembaca secara aktif memproduksi mak-
pada masa transisi dari zaman modern ke pas- na teks. Inti konsep interteks yang dikembangkan
camodern. Julia Kristeva memperkenalkan isti- Barthes adalah teks yang ditulis oleh pengarang
lah interteks ke dunia sastra dalam The Bounded tidak berasal dari kesadaran tunggal tetapi datang
Text (1980:64-91) dan Word, Dialogue and Nov- dari kemajemukan (kata, ucapan, teks-teks lain).

52 | PRASI | Vol. 10 | No. 20 | Juli - Desember 2015 |


Makna kata yang ditampilkan oleh pengarang karya, dua ungkapan verbal, bersama memasuki
dalam karyanya bukan milik pengarang tetapi hubunga semantik tertentu yang disebut “dialo-
datang dari sistem linguistik dan sistem budaya. gis’ (dalam Pilliang, 2011:277). Hubungan dialo-
Peran pengarang menuruti dan mengatur sesuai gis, hubungan di antara semua ungkapan dalam
dengan sistem bahasa. Teks produktivitas jamak komunikasi verbal. Menurut pandangan Bakhtin
dan di dalamnya ada beraneka ragam suara (teks, (dikutip Pilliang, 2011:277), tidak ada satu ung-
sosial, sejarah, ideologi). Semua suara tersebut kapan seni pun yang dapat dikatakan sebagai eks-
hidup bersama, dikomunikasikan dan tidak ada presi murni dan asli sang seniman yang diklaim
teks terasing. Menurut Roland Barthes, “Nothing oleh modernisasi, sebab sang seniman pun telah
exist outside the text”. Tidak ada teks yang origi- menerima warisan (bahasa, pendidikan, fakta
nal karena teks sebenarnya interteks: teks lain nyata yang telah diamati). Bakhtin secara im-
hadir dalam teks, pada berbagai tingkatan (level), plisit menyebutkan bahwa sebuah teks diproduk-
baik disadari atau tidak (banyak kutipan dalam si dalam suatu proses komunikasi. Suatu teks
suatu teks yang tidak disadari dan tidak meng- dihasilkan bukan sebagai monolog pengarang,
gunakan tanda kutip). Martin Coyle mengatakan bukan pula suatu refleksi diri pengarang secara
bahwa interteks, setiap teks memperoleh atau utuh dalam suatu proses referensi diri. Teks me-
mengambil maknanya dari teks lain, bukan hanya nurut Kristeva dibaca dengan latar belakang teks
dari teks sebelumnya tetapi dalam hal yang bersa- lain.
maan dari teks lain (ekspresi budaya dan bahasa). Jika sebuah teks merujuk ke luar dirinya,
Menurut Barry, interteks sebuah kumpulan besar, rujukan itu pada akhirnya pasti teks lain (Sarup,
tempat suatu teks dan teks lain saling mengacu. 2008:76). Sama seperti tanda yang merujuk ke
Fairclough (1992:67) mengatakan, “No text can tanda yang lain, teks pun merujuk ke teks lain,
be interpreted on its own. Text always exist in re- menciptakan jaringan yang saling silang dan me-
altion to other text.” luas tak terbatas. Dalam jaringan ini, penafsiran
Ada dua alasan penting yang dikemuka- berkembang dan tidak ada penafsiran yang dapat
kan Kristeva berkait dengan interteks. Pertama, mengklaim diri sebagai tafsiran final. Interteks,
penulis, seorang pembaca teks sebelum menjadi hubungan atau jaringan antara satu teks dengan
pencipta teks. Ini berarti bahwa seorang penulis teks-teks lain (Ratna, 2007: 121).
menggunakan teks lain sebagai rujukan, baik se-
cara langsung ataupun sebaliknya. Kedua, sebuah Model Pengajaran Sastra Berdasarkan Teori
teks tersedia hanya melalui proses pembacaan New Historicism
(Worton, 1990:1). Pendapat di atas senada den- Guru SMA misalkan akan membicara-
gan Riffaterre bahwa di dalam teks ada tanda kan novel Incest karya I Wayan Artika (2003).
yang mendua artinya, secara tekstual kata itu Terlebih dahulu guru membuat daftar informasi
tidak hadir, tetapi pembaca harus menyimpulkan tentang novel ini, terutama yang berkaitan de-
sendiri. Pembaca melihat ke tempat lain untuk ngan mitos budaya kembar buncing serta sikap
memperoleh satu interpretasi kedua. Jadi, inter- masyarakat Bali, dengan membaca berbagai
pretasi kedua menghadirkan teks lain sebagai sumber yang ada, untuk memilih beberapa teks
tiruannya (Riffaterre, 1978:94). yang akan dipararelkan dengan novel Incest atau
Mikhail Bakhtin mengatakan bahwa tidak dijadika ko-teks.
ada ungkapan yang tidak berkaitan dengan ung- Teks yang dipilih antara lain: (1) berita-
kapan lainnya. Bakhtin mengembangkan istilah berita di media massa pada tahun 2004 (Bali Post,
“dialogisme” untuk menjelaskan adanya keter- Radar Bali, majalah Hindu Raditya) tentang ”hu-
gantungan satu ungkapan dengan ungkapan yang kuman adat” terhadap suami-istri yang melahir-
telah ada sebelumnya. Menurut Bakhtin, dua kan anak kembar buncing di desa Padang Bulia,

| PRASI | Vol. 10 | No. 20 | Juli - Desember 2015 | 53


Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, (2) bisa dicoba sebagai variasi pembelajaran sastra
mitos kembar buncing dalam buku Kebudayaan agar tidak teoretis dan struktural. Karena model
Petani Desa Trunyan Bali karya Djames Danand- pembelajaran ini membutuhkan banyak waktu
jaja, (3) bagian novel Senjakala karya Komang maka bisa dijadikan ”proyek” sastra guru dan
Ariani (2011), (4) peraturan daerah perda tentang siswa yang dilaksanakan setiap satu semester
kembar buncing di Bali, dan (5) cerpen yang ber- atau bekerja sama dengan guru serumpun atau
judul Buncing karya Wayan Sunarta (2003). dari luar rumpun Bahasa Indonesia. Model pe-
Pembelajaran di kelas melibatkan lima ngajaran ini ”menembus” batas-batas fakta dan
teks dan mampu membuka wawasan siswa ter- fiksi dalam dunia teks cetak atau bahkan di luar
hadap tema kembar buncing, dari segi pandangan teks cetak melalui ”perjalanan” siswa di tengah
tradisi dan modernisasi di Bali. Guru menunjuk- ”lalu lintas” teks.
kan cara sastra membicarakan hal yang sama
dengan teks nonsastra. Pada model ini guru tidak DAFTAR PUSTAKA
membatasi sastra pada ”imajinasi” atau ”rekaan”
tetapi menunjukkan suatu perlintasan teks dan Barry, Peter. 2010. Beginning Theory:Pengantar Kompre-
siswa ada di antara perlintasan tersebut. hensif Teori Sastra dan Budaya. (Terjemahan ba-
hasa Indonesia oleh Harviyah Widyawati dan
Guru dan siswa menelusuri hubungan di Evy Setyarini). Jakarta Jalasutra.
antara teks tersebut, tanpa memberi interpretasi Belsey, Catherine. 2003. “Literature, History, Politics”
berdasarkan pandangannya tetapi memberi pelu- dalam Contexts for Criticism (Fourth Edition) in
ang siswa melacak hubungan di antara teks yang Donald Keesey (ed.). Boston: McGraw Hill.
dipilih dan dibaca secara pararel. Brannigan, John, 1998. New Historicism and Cultural Ma-
terialism. New York: St. Martin’s Press.
Untuk lebih jelas, langkah-langkah beri- Budianta, Melani. 2006. “Budaya, Sejarah, dan Pasar,
kut dapat dijadikan pedoman dalam merancang New Historicism dalam Perkembangan Kritik
pengajaran sastra dengan menggunakan teori Sastra. Dalam Susastra, Jurnal Sastra dan Budaya.
new historicism. Pertama, memilih karya sastra Volume 2 Nomor 3 2006. Jakarta: HISKI.
yang akan dipelajari. kedua, mempelajari seja- Dewanto, Nirwan. 1996. “Pengalaman dan Penciptaan:
Kasus Budi Darma dan Gabriel Garcia Marquez”
rah masyarakat ketika karya sastra itu diterbit- dalam Senjakala Kebudayaan. Yogyakarta: Ben-
kan. Ketiga, membaca karya sastra untuk men- tang.
emukan isu-isu dominan/penting diungkapkan di Heryanto, Ariel. 1984. “Sastra, Sejarah, dan Sejarah Sas-
dalamnya. Keempat, mempelajari teks nonsas- tra” dalam Budaya Sastra. Jakarta: CV Rajawali.
tra yang berasal dari periode sejarah yang sama Jassin, H.B. 1983. “Tuhan, Imajinasi Manusia, dan Kebe-
basan Mencipta” dalam Sastra Indonesia sebagai
dengan karya sastra untuk menemukan relevansi Warga Sastra Dunia. Jakarta: PT Gramedia.
(hubungan-hubungan pararel, koneksi-koneksi di Junus, Umar. 1993. Dongeng tentang Cerita. Kuala Lum-
antara keduanya) antara sastra dengan teks non- pur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian
sastra. Kelima, menganalisis hubungan-hubun- Pendidikan Malaysia.
gan pararel antara sastra dengan teks nonsastra. Kleden, Ignas. 1998. “Fakta dan Fiksi tentang Fakta dan
Fiksi, Imajinasi dalam sastra dan Ilmu Sosial”
Keenam, menyusun satu rencana pembelajaran dalam Kalam, Jurnal Kebudayaan. Edisi 11. 1998.
sastra dengan berbagai perangkatnya. Jakarta.
Kristeva, J., 1980. Desire in language: A semiotic approach
PENUTUP to language and Art, ed. L.S. Roudiez, transl. T.
Gora, A. Jardine & L.S. Roudiez, Columbia Uni-
versity Press, New York, NY.
Model pemebelajaran ini sangat menan- Prasetyo, Arif Bagus. 2002. “Mencipta Sastra Menggubah
tang siswa dan guru, memberi berbagai peluang Sejarah” dalam Prosa. 2.2002. Jakarta: Metafor.
bagi siswa menginterpretasi, memahami teks ----------- 2011. “Pelajaran dari Guru Kiplik” dalam Cer-
sastra tidak agi ekslusif. Model pembelajaran ini pen Pilihan Kompas 2010, Dodolit Dodolit Do-
dolibret. Jakarta: Kompas.

54 | PRASI | Vol. 10 | No. 20 | Juli - Desember 2015 |


Learmer, Richard dan Simmons, Mark. 2008. Punk Mar-
keting. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies,
Representasi Fiksi dan Yogyakarta: Pustaka Pe-
lajar.
Sarup, Madan. 2011. (cetakan II). Panduan Pengantar un
tuk Memahami Postruktural dan Posmodernisme.
Yogyakarta: Jalasutra.
Sumardjo, Jakob. 1979. Elite Sastra dalam Budaya Massa.
Bandung: L.K.P.L.
Sunardi, St. 2008. “Tujuh Hari Terakhir di Labirin” dalam
The Name of The Rose. Umberto Eco. Terjemahan
dalam bahasa Indonesia oleh Nin Bakdi Soeman-
to. Yogyakarta: Bentang.
Suwondo, Tirto. 1999. “Posisi Teks dalam Teori dan Studi
Sastra, dari Formalitas sampai Dekonstruksi”
dalam Horison, Majalah Sastra. November 1999.
Jakarta: Yayasan Indonesia.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra, Kumpulan
Karangan. Jakarta: Gramedia.
Thwaites, Tony dkk. 2011. Introducing Cultural and Media
Studies, Sebuah Pendekatan Semiotik. Yogyakar-
ta: Jalasutra

| PRASI | Vol. 10 | No. 20 | Juli - Desember 2015 | 55

Anda mungkin juga menyukai