Anda di halaman 1dari 6

New Historisme

Oleh :

Lazuardi Jaya Hadi Kusuma 155110700111005


Miftahur Rohmah 155110700111022
Valih Alfi Ilhami 155110701111021

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya
Jl. Veteran, Kota Malang 65145, Jawa Timur, Indonesia

PENDAHULUAN
Suatu bangsa tidak akan pernah terlepas dari sejarah di masa lalu. Bangsa Indonesia juga
memiliki sejarah, baik yang tercatat dalam buku sejarah maupun yang tidak. Berdasarkan
latarbelakang sejarah ada beberapa sastrawan yag mengangkat peristiwa sejarah menjadi
karya sastra. Sejarah dan sastra memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain. Hal ini
sesuai dengan pendapat Wellek dan Werren (1995) yang menyatakan bahwa suatu karya
sastra dapat dilihat sebagai deretan karya yang tersusun secara kronologis dan merupakn
bagian dari proses.
Sejarah dan sastra dapat dihubungkan dalam bahasa. Sejarah merupakan peristiwa
yang hanya terjadi satu kali pada masa lalu dan tidak dapat terulang. Namun, sejarah dapat
direkonstruksi kembali baik secara tulis maupun lisan. Rekonstruksi sejarah dapat berubah
dari waktu ke waktu, dan satu tempat ke tempat lainnya. Hal ini membuktikan bahwa sejarah
sebagai realitas yang tidak bisa dijangkau oleh sejarawan (Purwanto, 2001). Artinya,
sejarawan memiliki keterbatasan merekam dan menginterpretasi peristiwa sejarah.
Dalam pendekatannya, new historicism lebih menekankan keterkaitan antara teks
sastra dengan teks nonsastra. Hal ini berarti sejarah baru atau New Historicism meliputi
kajian teks sastra dan nonsastra. Barry (2010), mendefinisikan New Historicism adalah
metode kajian yang berdasarkan pada pembacaan paralel. Biasanya berasal dari periode
sejarah yang sama. Berdasarkan pendapatnya, New Historicism tidak memberikan hak
istimewa untuk teks sastra. Melainkan memberikan hak yang sama terhadap teks nonsastra.
Biasanya berisi fakta-fakta yang sama dengan yang terdapat dalam teks sastra.
TEORI NEW HISTORICISM
Teori atau pendekatan new historicism menempatkan sastrawan pada posisi atau kedudukan
yang terhormat. Karena, sastrawan terlibat langsung dalam proses perkembangan kebudayaan
suatu bangsa. Sastrawan ikut mengkonstruksi budaya suatu masyarakat melalui karya
sastranya. Ide atau gagasan sastrawan yang dituangkan dalam karya sastra bisa
mempengaruhi opini publik. Dengan demikian, disadari atau tidak, sastrawan ikut
bertanggung jawab atas karya-karyanya yang menjadi konsumsi masyarakat pembaca.
Setiap sastrawan dengan segala latar belakangnya memotret dan memaknai kehidupan di
sekitarnya untuk kemudian diekspresikan melalui karya sastra. Karena itu, setiap karya sastra
yang dihasilkan oleh siapa pun sangatlah penting, terlepas dari apakah karya sastra itu
termasuk karya sastra yang serius ataupun karya sastra populer. Sebab, bagaimanapun, setiap
sastrawan memiliki cara pandang dan cara bertutur yang unik, yang berbeda-beda. Ada yang
serius, ada yang santai, ada yang main-main. Namun, ketika melihatnya karya itu merupakan
potret masyarakat pada zamannya.
Pendekatan new historicism tidak memisahkan karya sastra dengan pengarangnya,
juga tidak memisahkan karya sastra itu dengan konteks zamannya. Bagi sejarawan yang
beraliran new cultural historian, yang tidak lagi memisahkan fakta dan fiksi, sangat
menganggap penting setiap karya sastra yang lahir pada suatu zaman. Karena, dengan
pendekatan itu mereka juga bisa melihat perilaku dan perubahan budaya suatu masyarakat
melalui karya sastra. Para sejarawan juga bisa menilai nilai-nilai yang berkembang di suatu
masyarakat pada zaman tertentu dari karya-karya sastra yang lahir pada zaman itu.
Ringkasan Artikel Melani Budianta: Dalam artikel “Budaya, Sejarah, dan Pasar: New
Historicism dalam Perkembangan Kritik Sastra,” yang dimuat dalam Jurnal Susastra Volume
2, No. 3, tahun 2006, Melani Budianta menjelaskan tentang teori sastra new historicism yang
relatif baru di Indonesia. New historicism adalah satu dari sekian banyak pendekatan dalam
ilmu sastra yang muncul dalam dua dekade terakhir abad ke-20. Kata new historicism
pertama kali digunakan oleh Stephen Greenblattt dalam sebuah pengantar edisi jurnal Genre
di tahun 1982, untuk menawarkan perspektif baru dalam kajian Renaissance, yakni dengan
menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik
yang melingkupinya.
Dengan menekankan kaitan antara teks dan sejarah, Greenblattt mendobrak
kecenderungan kajian tekstual formalis dalam tradisi new criticism yang bersifat historis,
yang melihat sastra sebagai wilayah estetik yang otonom, dipisahkan dari aspek-aspek yang
dianggap berada “di luar” karya tersebut. Sastra, menurut perspektif yang ditawarkan new
historicism, tak bisa dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi, dan politik karena ia
ikut mengambil bagian di dalamnya. Dengan demikian, pemisahan antara luar-dalam,
ekstrinsik-intrinsik, tak bisa dipertahankan lagi. Karena semua teks, baik sastra maupun
nonsastra, merupakan produk dari zaman yang sama dengan berbagai pertarungan kuasa dan
ideologi, maka berbeda dari new criticism yang hanya meneliti karya sastra, new historicism
mengaitkan antara teks sastra dan nonsastra.
Berbeda dengan new criticism yang membedakan antara karya sastra yang adiluhung
dan yang picisan dengan suatu standar estetika yang dianggap universal dan baku, new
historicism melihat pembedaan semacam itu sebagai contoh bagaimana kekuatan sosial
bermain di ruang estetik. Dalam hal ini new historicism merevisi asumsi new criticism
dengan menunjukkan bahwa semua yang dianggap universal, tak terjamah waktu, dan natural
sebetulnya bersifat lokal, terbentuk oleh sejarah dan merupakan bentukan sosial.
Oleh karenanya, batas antara sastra adiluhung dan picisan, budaya tinggi dan rendah, tidak
diterima begitu saja, tetapi menjadi wilayah penelitian, bukan dengan tujuan untuk
mengevaluasi produk-produk budaya tersebut, melainkan untuk menunjukkan bagaimana
berbagai ragam teks tinggi, rendah, sastra, dan nonsastra itu saling terkait dengan persoalan-
persoalan pada zamannya.
Dengan memperlihatkan bagaimana teks sastra maupun nonsastra, sastra adiluhung
maupun popular, sama-sama terpapar dan membentuk nilai-nilai yang ada pada zamannya,
new historicism meruntuhkan suatu aksioma yang mendasari new criticism bahwa sastra
popular biasanya bersifat konformis, atau mendukung nilai-nilai dominan yang ada,
sedangkan sastra tinggi menentang, mempertanyakan, dan bersifat kritis terhadap tatanan
sosial, politik, dan ekonomi.
Greenblattt juga menawarkan pembaharuan atas pendekatan sejarah yang pada waktu
itu masih dominan dalam kritik sastra di Amerika, yakni kecenderungan melihat sastra
sebagai cermin yang secara transparan dan pasif merefleksikan budaya dan masyarakatnya.
Dalam perspektif yang baru, karya sastra ikut membangun, mengartikulasikan dan
memproduksi konvensi, norma, dan nilai-nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinasi
kreatifnya. Teks memang merupakan produk dari kekuatan sosial historis pada zamannya,
tapi pada saat yang sama teks juga menghasilkan dampak sosial.
Sejarah atau dunia yang diacu oleh karya sastra bukan sekadar latar belakang yang
koheren dan menyatu, yang dengan transparan dapat diakses; sejarah itu sendiri terdiri dari
berbagai teks yang masing-masing menyusun satu versi tentang kenyataan. Dalam perspektif
new historicism, “kenyataan sejarah” tidak lagi tunggal dan absolut, tetapi terdiri dari
berbagai macam versi yang penuh kontradiksi, keterputusan, pluralitas, dan keragaman. Jadi,
kaitan antara karya sastra dan sejarah adalah kaitan intertekstual antara berbagai teks, fiksi
maupun fakta, yang diproduksi pada kurun waktu yang sama atau berbeda.

KAJIAN NEW HISTORICISM SEBAGAI PISAU ANALISIS TEKS SASTRA


Barry (2010:209) menyatakan bahwa yang dilakukan oleh para kritikus peganut Sejarah Baru
meliputi empat hal, yaitu 1) Mereka menyejajarkan teks sastra dan non-sastra, membaca yang
sastra dengan mempertimbangkan yang non sastra.2) Mereka mencoba men-“defamiliarisasi”
teks sastra kanon, melepaskannya dari beban menumpuk keilmiahan sastra sebelumnya dan
melihatnya sebagai sastra yang baru.3) Mereka memfokuskan perhatian (baik dalam teks dan
ko-teks) pada isu kekuasaan Negara dan cara melestarikannya, pada struktur patriarki dan
pemeliharaannya, dan pada proses kolonialisasi dengan mindset yang mengikutinya.4) Dalam
melakukannya, mereka menggunakan aspek-aspek cara berpikir poststrukturalis, terutama
konsep Derrida bahwa setiap segi realitas tertuang dalam teks, dan gagasan Foucault tentang
struktur sosial ang ditentukan oleh “praktik diskursif” yang dominan.
Contoh analisis teks sastra menggunakan pendekatan Sejarah Baru dapat kita temukan
pada sebuah makalah yang berjudul “Analisis Kritis Teori New Historicism (NH) dalam Petir
Karya Dewi Lestari dan Nayla Karya Djenar Maesa Ayu Sebagai Strategi Menghadapi
Perubahan Sosial Budaya dan Industri dalam Kerangka Sejarah Sastra Indonesia”
1.)Bagaimanakah isu-isu yang dapat diungkapkan berdasarkan penerapan teori New
Historiscm dalam sastra Indonesia ? 2.) Bagaimanakah metodologi New Historisicm dapat
menjawab persoalan perubahan sosial, budaya, dan industri penerbitan? 3.) Bagaimana
konsep dasar yang dapat diangkat dan memberikan sumbangan pada sejarah sastra Indonesia?
Pada tataran praktis metode NH mampu mengkolaborasikan antara perubahan sosial ,
budaya, dan industri penerbitan secara simultan. Hal ini dapat diperhatikan pada paktik-
praktik fenomena sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Seperti halnya yang
pemikiran yang ditawarkan Djenar Mahesa Ayu dalam novel Nayla. Novel Nayla merupakan
sebuah representasi perubahan sosial akibat modernisasi yang diungkapkan pengarang secara
total. 1) Tawaran-tawaran nilai kebaruan yang diungkap dalam novel tidak lagi menjadi
sesuatu yang dianggap ”tabu” melainkan sesuatu yang biasa ditemui pada kehidupan
masyarakat modern yang identik dengan nilai-nilai kebebasan bertindak, berpikir, dan
berperilaku. Nilai-nilai yang identik itu telah menyatu dalam kerangka pikir tokoh dalam
mengekplorasi identitasnya secara utuh. 2) Praktek budaya yang dikukuhkan dalam Petir
karya Dewi Lestari dapat diperhatikan pada pola pikir yang dimiliki oleh tokoh cenderung
mengarah pada persoalan pencarian jati diri dalam bentuk keyakinan dan berbagai hal yang
berkaitan dengan kepribadian individu. (S (P), 2005:45). 3) Pencarian jati diri atau sesuatu
mengenai dirinya. (S, 2005: 59) dan (S, 2005: 131). 4) Praktek budaya yang paling dominan
dan bahkan memiliki potensi menjadi ”cita-cita teks” adalah praktek budaya modern yang
serba ”free”, egoistik dan cenderung nir norma serta kering akan sifat-sifat budaya Timur
khususnya Indonesia (Nayla/ 2005:5).
Jika diperhatikan melalui sejarah sastra Indonesia maka kedua novel tersebut
memberikan inspirasi baru. Ia menghadirkan sesuatu yang relatif baru apabila dibandingkan
dengan hasil cipta sastra sebelumnya. 1) Dalam teknik penyampaian dan model penceritaan
lebih banyak membuat pembaca untuk berpikir lebih dalam dan tidak hanya sekedar
membaca langsung tahu. Ia banyak mengundang pemikiran-pemikiran yang kritis, sehingga
mampu menjadikan pembaca sadar sesuatu yang terjadi selama ini tentang kehidupan. Djenar
Maesa Ayu dan Dewi Lestari mampu mengukir pemikiran kritis terhadap realitas kehidupan
sedemikian kompleksnya, sehingga mampu menghadirkan sendi-sendi kehidupan manusia
secara holistik serta komprehensif. 2) Gaya penceritaan yang diangkat nampak bersifat agak
vulgar dan absurd memberikan daya tarik pembaca untukmengikutinya secara serius. Sistem
penguasaan mutlak itu akhirnya membuahkan eksploitasi separatis terhadap bagian yang
merupakan hak perempuan. Kebencian terhadap perilaku-perilaku yang tidak adil. 3) Konsep
dasar yang dapat diangkat untuk memberikan sumbangan pada sejarah sastra Indonesia
adalah kehadiran teks merupakan sebuah pertarungan berbagai ideologi dan kekuatan sosial
yang memiliki dimensi ruang dan waktu tak terbatas.

DAFTAR PUSTAKA

Barry, P. 2010. Pengantar Komprehensif Teori dan Budaya: Beginning Theory. Yogyakarta:
Jalasutra.

Melani Budianta. 2006. “Budaya, Sejarah, dan Pasar: New Historicism dalam
Perkembangan Kritik Sastra”. Jurnal Susastra volume 2, no 3.

Wellek, R. & Waren, A. 1995. Teori kesusastraan. Jakarta: PT. Grasindo.

Anda mungkin juga menyukai