Anda di halaman 1dari 26

JURNAL KELOMPOK

diajukan sebagai salah satu tugas Panduan Penulisan Karya Ilmiah

Dosen pengampu Eny Tarsinih, M. Pd.

Disusun oleh:

1) Diah Restu Rini (882010117007)


2) Ike Jihan Melinda (882010118018)
3) Kiki Dian Islamiati (882010118019)
4) Nurhani Safitri (882010118013)
5) Olga Nophia Ramdini (882010118004)

PRODI PENDIDIKAN BAHASA & SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS WIRALODRA INDRAMAYU
2021
NILAI BUDAYA DALAM NOVEL AJISAKA KARYA WAWAN SUSETYA
SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN AJAR SASTRA DI SMA DAN MODEL
PEMBELAJARANNYA
OLEH
DENANI DEWI

Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan lunturnya nilai budaya
peserta didik. Bahan ajar sastra di SMA sangat kurang variatif. Permasalahan yang
menjadi pembahasan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1)
Bagaimanakah struktur novel Ajisaka karya Wawan Susetya? (2) Nilai-nilai budaya apa
saja yang terdapat dalam novel Ajisaka karya Wawan Susetya? (3) Apakah novel
Ajisaka karya Wawan Susetya layak dijadikan sebagai bahan ajar sastra di SMA? (4)
Model pembelajaran apakah yang tepat dalam menganalisis novel Ajisaka karya Wawan
Susetya sebagai alternatif bahan ajar di SMA? Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari novel Ajisaka karya
Wawan Susetya yang diterbitkan FlashBook, 2010, 323 halaman. Teknik pengumpulan
data dalam penelitian ini adalah teknik baca catat. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan
sebagai berikut: (1) Tema novel Ajisaka karya Wawan Susetya, kemampuannya yang
dapat membaca sastra alam. Tokoh utama: Ajisaka berwatak haus ilmu pengetahuan,
bijaksana, suka menolong, dan berbudi luhur. Latar tempat: Hindustan (India),
Padepokan Resi Wiyasa, Pulau Medang Kamulan, Pulau Majeti, Pulau Jawadwipa,
Medang Kawit, Bandar, dan kedai, latar waktu: pagi dan malam, latar sosial: adat
istiadat. Alur: maju (progresif). Sudut pandang: orang ketiga. Gaya bahasa: simile,
metafora, personifikasi, dan hiperbola. Amanat: Janganlah berbuat jahat dan keji kepada
orang yang statusnya di bawah kita, karena kelak kita akan menerima balasannya. (2)
Nilai budaya dalam novel Ajisaka karya Wawan Susetya, yaitu nilai budaya dalam
hubungan manusia dengan Tuhan, nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam,
nilai budaya dalam hubungan manusia dengan orang lain, dan nilai budaya dalam
manusia dengan dirinya sendiri. (3) Dari segi bahasa dan latar belakang budaya, maka
novel Ajisaka karya Wawan Susetya layak dijadikan bahan ajar sastra di SMA. (4)
Model pembelajaran dalam menganalisis novel Ajisaka karya Wawan Susetya dengan
mitra belajar.
Kata kunci: Nilai Budaya, Bahan Ajar, Model Pembelajaran

1
Abstract
This research was motivated by the problem of fading the cultural value of
participants in the study. Literary teaching materials in high school are very less
varied. The problem discussed in this study is formulated as follows: (1) What if the
structure of the novel Ajisaka by Wawan Susetya? (2) What cultural values are
contained in the novel Ajisaka by Wawan Susetya? (3) Is the novel Ajisaka by Wawan
Susetya worthy of being used as a literary teaching material in high school? (4) What
learning model is appropriate in analyzing the novel Ajisaka by Wawan Susetya as an
alternative to teaching materials in high school? This research uses qualitative
descriptive methods. The data source in this study was obtained from the novel Ajisaka
by Wawan Susetya published by FlashBook, 2010, 323 pages. The data collection
technique in this study is a record reading technique. The results of this study can be
concluded as follows: (1) The theme of Ajisaka's novel by Wawan Susetya, which is an
adventure in achieving his goals with the ability to read natural literature is very high.
Main character: Ajisaka is thirsty for science, wise, honest, helpful, and virtuous.
Venue settings: Hindustan (India), Padepokan Resi Wiyasa, Majeti Island, Jawadwipa
Island, Medang Kawit, Medang Kamulan Kingdom, Bandar, and shops, setting times:
morning and night, social setting: customs. Flow: forward (progressive). Point of view:
third person. Language Style: simile, metaphor, personification, and hyperbole.
Mandate: Do not do evil and heinous to those whose status is below us, for we will
receive a reward. (2) Cultural values in Wawan Susetya's novel Ajisaka, namely
cultural values in human relationship with God, cultural values in human relationship
with nature, cultural values in human relationships with others, and cultural values in
human relationship with themselves. (3) In terms of the language of psychological
development and cultural background, the novel Ajisaka by Wawan Susetya deserves to
be used as a literary teaching material in high school. (4) Learning model in analyzing
Ajisaka novel by Waawan Susetya using learning partner learning model.
Keywords: Cultural Values, Teaching Materials, Learning Models

2
A. Pendahuluan Menurut Ratna (2004: 16-17),
Karya sastra lahir dihasilkan dari Penelitian sastra adalah kegiatan
ungkapan pribadi manusia berupa untuk mengumpulkan data,
pengalaman, pemikiran, perasaan, menganalisis data, dan menyajikan
ide/gagasan, dan keyakinan dalam hasil penelitian. Istilah penelitian
bentuk gambaran kehidupan yang sastra melalui pintu masuk yang
dapat membangkitkan semangat dinamakan memahami sastra.
dengan alat bahasa dan dituangkan Masyarakat pembaca diharapkan
dalam bentuk tulisan. Selain itu, untuk memahami karya yang
karya sastra juga memberikan dibacanya untuk mengetahui makna
manfaat berupa nilai, baik nilai yang terkandung dalam karya
keindahan maupun nilai-nilai ajaran tersebut. Isi sebuah karya sastra
hidup. Pada dasarnya, karya sastra dapat diketahui jika dianalisis atau
dapat memberi kesadaran kepada diteliti dengan berbagai metode,
pembaca tentang kebenaran hidup, misalnya sosiologi sastra.
walaupun dilukiskan dalam bentuk Sosiologi sastra adalah ilmu
fiksi. pengetahuan yang objek studinya
Menurut Wellek dan Warren berupa aktivitas sosial manusia
(dalam Susanto, 2016: 01), sastra (Fananie, 2000: 13). Sedangkan
adalah suatu kegiatan kreatif, menurut Endraswara (2012: 77),
sebuah karya seni. Sastra juga sosiologi sastra adalah cabang
dianggap sebagai karya imajinatif, penelitian yang bersifat reflektif dan
fiktif, dan inovatif. Imajinasi memiliki hubungan hakiki dengan
merupakan daya pikir atau angan- karya sastra. Sosiologi tidak hanya
angan manusia berdasarkan menghubungkan manusia dengan
kenyataan atau pengalamannya. lingkungan sosial budayanya, tetapi
Penelitian karya sastra perlu juga dengan alam. Berbagai masalah
dilakukan untuk mengetahui dan dan pengalaman kehidupan dapat
melihat relevansi isi karya sastra diangkat ke dalam bentuk fiksi baik
dengan kehidupan masyarakat. berupa karya yang berbentuk tulis
maupun bentuk lisan. Salah satu

3
karya fiksi berbentuk tulis adalah budaya masing-masing
novel. (Koentjaraningrat, 1984: 190).
Banyak novel yang beredar di
Novel merupakan karya sastra
masyarakat saat ini yang
berjenis prosa fiksi yang dapat
menyuguhkan nilai budaya suku
dijadikan wadah untuk menuangkan
bangsa tertentu adalah novel
serpihan-serpihan peristiwa, fakta,
Ajisaka. Novel tersebut sangat
dan imajinasi pengarangnya. Novel
kental dengan nilai-nilai budaya
dibangun berdasarkan dua unsur,
khususnya nilai budaya Jawa.
yaitu; unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik. Unsur intrinsik Masalah yang menarik dalam
merupakan unsur dalam yang penelitian ini adalah peneliti
membangun keutuhan karya sastra, terfokus pada nilai-nilai kebudayaan
sedangkan unsur ekstrinsik yang terdapat dalam novel tersebut.
merupakan unsur-unsur yang di luar Dikarenakan terdapat kisah-kisah
karya sastra itu. yang menggambarkan kebudayaan,
khususnya budaya Jawa antara lain
Koentjaraningrat (1984: 146),
terciptanya aksara jawa,
kebudayaan sangat erat
(hanacaraka) dan kalender Jawa
hubungannya dengan masyarakat.
yang menggunakan hitungan
Kebudayaan adalah keseluruhan
berdasarkan perjalanan bulan yang
gagasan dan karya manusia, yang
sampai saat ini masih digunakan
harus dibiasakannya dengan belajar,
sebagai tahun (‘Saka).
beserta keseluruhan dari hasil budi
dan karyanya itu. Nilai-nilai yang Nilai kebudayaan dalam novel
terkandung dalam novel cukup tersebut akan digali dengan
beraneka ragam, salah satunya nilai menggunakan teori yang dipaparkan
budaya. Nilai budaya merupakan oleh Djamris (1993: 03), bahwa
nilai yang berasal dari kebudayaan nilai budaya dikelompokkan ke
suatu kelompok yang berkembang dalam lima pola hubungan, yaitu (1)
di masyarakat. Keragaman budaya nilai budaya dalam hubungan
Indonesia memiliki kekhasan manusia dengan Tuhan yang terdiri

4
dari nilai percaya kepada Tuhan, mendengarkan. Rahmanto (1998:
percaya pada takdir, dan berdoa. (2) 27-33) menyebutkan ada tiga aspek
nilai budaya dalam hubungan yang tidak boleh dilupakan dalam
manusia dengan masyarakat yang memilih bahan pembelajaran sastra,
terdiri dari nilai musyawarah, yaitu bahasa, psikologi, dan latar
gotong royong, kebijaksanaan, dan belakang budaya.
saling menolong, (3) nilai budaya
B. Landasan Teori
dalam hubungan manusia dengan
1. Pengertian Novel
alam meliputi nilai pemanfaatan
alam, (4) nilai budaya dalam Kata novel berasal dari bahasa

hubungan manusia dengan orang Italia yaitu “novella” yang berarti

lain atau sesamanya yang terdiri dari sebuah kisah atau sepotong cerita.

nilai kejujuran, kasih sayang, Penulis novel disebut dengan

keramahan, dan rela berkorban, (5) novelis. Nurgiyantoro (2010: 04)

nilai budaya dalam hubungan mengemukakan bahwa, Novel

manusia dengan dirinya sendiri yang sebagai sebuah karya fiksi

terdiri dari nilai kewaspadaan, menawarkan sebuah dunia, dunia

tanggung jawab, menuntut ilmu, dan yang berisi model kehidupan yang

keberanian. diidealkan, dunia imajinatif, yang


dibangun melalui berbagai unsur
Selain itu, pembelajaran sastra
intrinsiknya seperti, plot, tokoh (dan
di sekolah masih jarang
penokohan), latar, sudut pandang,
menggunakan kajian sosiologi sastra
dan lain-lain yang kesemuanya,
untuk menganalisis atau
tentu saja, juga bersifat imajinatif.
mengapresiasi sebuah karya sastra,
terutama novel. Selain itupun, 2. Unsur Pembangun Novel

kegiatan pembelajarn masih sering Karya sasatra novel dibangun


berpusat pada guru. Sebagian besar atas dasar unsur-unsur penting di
guru mengajar menggunakan model dalamnya yang saling terikat antara
pembelajaran tradisional. Guru satu dengan lainnya, demi
hanya memberikan ceramah kepada membangun cerita yang menarik
siswanya sementara siswa hanya

5
dalam novel dan menentukan tokoh itu. Perwatakan berhubungan
kualitas dari suatu novel yang dengan karakteristik atau bagaimana
dihasilkan. watak tokoh-tokoh, jenis-jenis
tokoh, hubungan tokoh dengan
a. Unsur Intrinsik
cerita yang lain, watak tokoh-tokoh,
Menurut Nurgiyantoro (2010: dan bagaimana pengarang
23), unsur intrinsik adalah unsur- menggambarkan watak tokoh-tokoh
unsur yang membangun karya satra itu. Dalam novel Ajisaka terdapat
itu sendiri. Berikut adalah sebuah tokoh utama dan tokoh tambahan
bagian-bagian pembangun suatu tokoh utama adalah tokoh yang
karya sastra dilihat dari unsur diutamakan penceritanya dalam
intrinsiknya. novel. Sedangkan tokoh tambahan

1) Tema adalah tokoh yang tidak


dipentingkan dalam cerita, dalam
Menurut Nurgiyantoro (2010:
keseluruhan cerita pemunculan lebih
23), tema adalah hasil pemikiran
sedikit.
pengarang berdasarkan hati,
perasaan, dan jiwa. Tema sering 3) Gaya Bahasa

disebut sebagai dasar cerita, karena Gaya bahasa adalah cara


pengembangan cerita harus sesuai seseorang mengarang,
dengan dasar cerita sehingga dapat menyampaikan gagasannya dengan
dipahami oleh pembaca. menggunakan media bahasa yang

2) Tokoh/ Penokohan dan indah dan harmonis serta mampu

Perwatakan menuansakan makna dan suasana


yang dapat menyentuh emosi
Ada hubungan erat antara
pembaca.
penokohan dan perwatakan.
Penokohan berhubungan dengan 4) Alur Cerita (Plot)

cara pengarang menentukan dan Plot merupakan unsur fiksi yang


memilih berhubungan dengan cara penting, karena kejelasan plot
pengarang menentukan dan memilih merupakan kejelasan tentang
tokoh-tokohnya serta memberi nama

6
antarperistiwa yang dikisahkan 3. Pengertian Nilai Budaya
seara linear akan mempermudah
Kata “kebudayaan” berasal dari
pemahaman pembaca tentang cerita
bahasa Sansekerta buddayah yang
yang ditampilkan. Alur adalah
merupakan bentuk jamak dari kata
rangkaian peristiwa yang memiliki
“budhi” yang berarti budi atau akal.
hubungan sebab dan akibat.
Djmaris (2001: 03),
5) Latar (Setting)
mengelompokkan nilai budaya ke
Latar atau setting disebut juga dalam lima pola hubungan, yaitu (1)
landas tumpu terjadinya peristwa- nilai budaya yang berhubungan
peristiwa. menusia dengan Tuhan; (2) nilai
budaya dalam hubungan manusia
6) Amanat
dengan masyarakat; (3) niali budaya
Amanat suatu cerita dalam hubungan manusia dengan
berhubungan erat dengan tema yang alam; (4) nilai budaya dalam
diangkat oleh pengarang. Amanat hubungan manusia dengan orang
atau pesan yang dalam bahasa lain atau sesamanya; dan (5) nilai
Inggris message adalah pesan yang budaya dalam hubungan manusia
ingin disampaikan oleh pengarang dengan dirinya sendiri.
lewat karyanya (cerpen atau novel)
4. Pengertian Sosiologi Sastra
kepada pembaca atau pendengar.
Sosiologi sastra adalah cabang
7) Sudut Pandang
penelitian sastra yang bersifat
Nurgiyantoro (2010: 243), refleksi. Penelitian ini banyak
menyatakan bahwa cara atau diamati oleh peneliti yang ingin
pandangan yang dipergunakan melihat sastra sebagai cermin
pengarang sebagai sebagai sarana kehidupan masyarakat. Sosiologi
untuk menyajikan tokoh, tindakan, sastra merupakan disiplin ilmu yang
latar, dan berbagai peristiwa yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan
membentuk cerita dalam sebuah dengan baik, terdiri dari sejumlah
karya fiksi kepada pembaca. studi-tudi yang empiris dan berbagai

7
percobaan pada teori yang lebih antara materi novel dengan
general, yang masing-masing hanya Kompetensi Dasar (KD) dan
mempunyai kesamaan. kemudian novel tersebut harus
cukup memadai dalam membantu
5. Pengertian Bahan Ajar
siswa dalam menguasai Kompetensi
Bahan ajar adalah alat yang Dasar (KD) yang diajarkan.
digunakan oleh seorang guru yang
7. Pengertian Model Pembelajaran
bertujuan untuk membantu dalam
melaksanakan kegiatan di kelas. Pada hakikatnya kata ‘model’
memiliki definisi yang berbeda-beda
Rahmanto (1998: 27-33)
sesuai dengan bidang ilmu atau
menyebutkan ada tiga aspek yang
pengetahuan yang mengadopsinya.
tidak boleh dilupakan dalam
Model pembelajaran merupakan
memilih bahan ajar sastra, yaitu
gambaran suatu lingkungan
bahasa, psikologi, dan latar
pembelajaran yang juga meliputi
belakang budaya.
perilaku kita sebagai guru saat
6. Novel sebagai Bahan Ajar Sastra model tersebut diterapkan (Joyce,
di SMA dkk., 2016: 30).

Berkenaan dengan pemanfaat C. Metodologi Penelitian


novel sebagai bahan ajar, khususnya
Sumber data dalam penelitian ini
bahan ajar dalam mata pelajaran
menggunakan data primer dan data
Bahasa Indonesia, tentunya tidak
sekunder. Sumber data primer
sembarang novel, dan novel-novel
adalah data yang diseleksi atau
tersebut tentunya harus mempunyai
diperoleh langsung dan sumbernya
spesifik khusus agar novel tersebut
tanpa perantara (Siswantoro, 2010:
layak dijadikan bahan ajar dan
70). Sumber data primer dalam
diajarkan kepada peserta didik,
penelitian ini adalah novel Ajisaka
diantaranya adalah novel tersebut
Karya Wawan Susteya cetakan
harus relevan dengan Kompetensi
pertama, November 2010 yang
Dasar (KD) yang hendak dicapai,
diterbitkan oleh FlashBooks yang
adanya keajegan atau ketepatan
terdiri dari 323 halaman.

8
Teknik pengumpulan data yang Kegelisahan yang dialami Saka
digunakan adalah teknik baca catat, ternyata kemampuannya bisa
teknik dokumentasi, dan teknik membaca sastra alam. Sehingga
analisis. Peneliti menarik simpulan Saka memutuskan pergi
berdasarkan data yang diperoleh dan mengembara dengan ditemani dua
analisis. Hal ini dilakukan untuk abdi kinasihnya untuk mendalami
menjawab rumusan masalah. ilmu sastra alam setelah mendapat
restu dari Bapa Guru, Ibunda dan
D. Analisis dan Pembahasan
Kandanya.
Struktur Novel Ajisaka
2. Alur atau Plot
1. Tema
Novel Ajisaka karya Wawan
Sebuah tema haruslah Susetya mempunyai alur maju
disimpulkan dari keseluruhan cerita (progresif), karena mengawali cerita
tidak hanya berdasarkan oleh dengan pengenalan tokoh beserta
bagian-bagian tertentu dari cerita. wataknya, pengenalan latar tempat,
Berikut ini yang mendukung waktu, dan peristiwa serta latar
pembentukan sebuah tema dari suasana yang hendak di bangun
novel Ajisaka karya Wawan dalam suatu cerita. Setelah semua
Susetya. itu diperkenalkan, permasalahan pun

Tema dalam novel Ajisaka karya tiba-tiba muncul dalam sebuah

Wawan Susetya, yaitu sebuah cerita. Berikut tahapan alur pada

pengembaraan dalam menggapai alur maju atau progresif tersebut.

cita-cita dengan kemampuannya a. Tahapan Penyituasian


yang dapat membaca sastra alam
Pada tahap ini berisi tentang
tergolong tingkat tinggi.
pengenalan situasi latar dan tokoh-
“O putraku Saka” ujar Resi tokoh dalam cerita tersebut.
Wiyasa, “Bersyukurlah, Ngger,
karena sesungguhnya engkau Tahapan ini merupakan tahapan
telah dikaruniai kemampuan pembukaan cerita dan pemberian
untuk dapat membaca sastra
alam yang tergolong tingkat informasi yang melandasi cerita
tinggi” (Susetya, 2010: 28)

9
yang akan dikisahkan pada tahap mengikuti pelajaram di padepokan.
berikutnya. Hal ini terdapat pada kutipan
berikut.
“Ketika ia sedang mengikuti
pelajaran mengenai
“Ngger, Putraku Saka,” ujar
kesusasteraan Bersama beberapa
Resi Wiyasa pada suatu pagi di
kawannya kepada Resi Wiyasa
padepokannya, “Kenapa dengan
di padepokannya yang
dirimu, Ngger? Bapa melihat
sederhana, ia tampak lesu dan
engkau tampak kurang serius
kurang bersemangat. Sang Resi
mngikuti pelajaran Bapa,
yang sangat mencintai
mengapa?” (Susetya, 2010: 21).
muridnya, tentu sangat peka
melihat gejala perubahan c. Tahap Klimaks
muridnya” (Susetya, 2010: 20).
Tahap ini merupakan titik
Penyituasian tersebut
puncak dari konflik-konflik yang
memperkenalkan tokoh-tokoh dalam
terjadi. Klimaks sebuah cerita akan
cerita, yaitu Ajisaka, Resi Wahyu,
terjadi atau dialami pada tokoh
dan beberapa kawannya. Sebuah
utama yang berperan menjadi
padepokan di Hindustan (India)
pelaku terjadinya konflik utama.
kawasan Asia.
“Terima kasih, Anak muda.
b. Tahapan Pemunculan Konflik Engkau telah menolongku. Anak
muda tadi datang tepat waktu.
Pemunculan awal masalah yang Jika terlambat sedikit saja. Tentu
aku sudah dihabisi” kata pak tua
akan dihadapi oleh tokoh utama
kepada Saka, “Sebenarnya,
dikembangkan menjadi konflik- Anak mud aini siapa dan dari
mana asalnya?” (Susetya, 2010:
konflik pada tahap berikutnya.
147-148).
Konflik awal pada novel Ajisaka
Klimaks pada novel Ajisaka
karya Wawan Susetya, yaitu
karya Wawan Susetya terjadi Ketika
berawal Ketika Bapa Guru Resi
Ajisaka masuk hutan belantara,
Wiyasa menanyakan muridnya yang
bertemu dan menolong Pak tua yang
paling menonjol diantara sepuluh
sedang dikeroyok sampai babak
murid lainnya karena adanya
belur. Kemudian mengetahui Prabu
kejanggalan pada Saka yang sedang
Dewata Cengkar penguasa Kerajaan
memikirkan sesuatu hal dalam
Medang Kamulan yang jahat
pikirannya, sehingga tidak fokus
terhadap rakyatnya.

10
d. Tahap Penyelesaian menghidupkan jalannya sebuah
cerita termasuk novel Ajisaka karya
Pada tahap ini, konflik yang
Wawan Susetya.
telah terjadi sebelumnya dan
mencapai klimaks diberi Tokoh utama dalam novel
penyelesaian. Konflik-konflik yang Ajisaka karya Wawan Susetya, yaitu
memuncak satu persatu mulai tokoh “Ajisaka” dari awal sampai
menemukan jalan keluarnya. akhir cerita tokoh itu selalu hadir di
setiap hari.
“Melihat dukungan arus bawah
kepada tuan Saka begitu besar,
“wajah pemuda itu tampak
Patih Jugul Muda sebagai orang
sangat tampan rupawan nan
nomor dua di Kerajaan Medang
anggun seolah mengisyaratkan
Kemulan segera mengambil
bahwa dia adalah seorang
sikap jalan tengah, yakni
pecinta keindahan. Rambutnya
menobatkan Tuan Saka sebagai
dibiarkan terurai memanjang di
Raja Medang Kemulan
bawah pundaknya makin
menggantikan Prabu Dewata
menunjukan kegagahan.
Cengkar yang telah sirna, Sang
Kadang-kadang, kalau sedang
Raja Medang Kamulan yang
bepergian rambutnya digelung
baru ini bergelar Prabu Aji
agar terlihat sigrak dan cekatan.
Saka” (Susetya, 2010: 248).
Tinggi badannya berukuran
Penyelesaian pada novel sedang untuk ukuran seorang
Hindustan (India) di Kawasan
Ajisaka karya Wawan Susetya Dadanya bidang dengan
menceritakan tentang pertarungan perutnya terlihat kotak-kotak
segi empat yang menandakan
antara Ajisaka dengan Prabu bahwa si pemuda gemar sekali
Dewata Cengkar begitu tak masuk berolahraga” (Susetya, 2010:
16).
akal bagi yang melihatnya, dengan
4. Latar atau Setting
kemampuannya Ajisaka dapat
a. Latar Tempat
mengalahkan Raja Raksasa dan
mengantarkannya dinobatkan Latar tempat dalam novel
menjadi Raja Medang Kemulan. Ajisaka karya Wawan Susetya
menggunakan banyak tempat.
3. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dalam sebuah karya a) Negeri Hindustan (India)
fiksi sangatlah penting, karena
berperan sebagai perilaku yang

11
Latar tempat ini adalah tempat ia tampak lesu dan kurang
bersemangat. Sang Resi yang
Ajisaka dilahirkan dan dibesarkan
sangat mencintai muridnya,
oleh keluarganya dari kaum tentu sangat peka melihat gejala
perubahan muridnya” (Susetya,
Bangsawan.
2010: 20)
“Wajah pemuda itu tampak c) Bandar dan Kedai
sangat tampan rupawan nan
anggun seolah mengisyaratkan Bandar adalah sebuah pelabuhan
bahwa dia adalah seorang
pencinta keindahan. Rambutnya perahu atau kapal laut yang
dibiarkan terurai memanjang di digunakan banyak orang hilir-mudik
bawah pundaknya makin
menunjukkan kegagahan. dan keluar masuk kapal laut.
Kadang-kadang, kalau sedang
bepergian rambutnya digelung “Kita istirahat di sini, Dora dan
agar terlihat sigrak dan cekatan. Sembada” kata Saka sambal
Tinggi badannya berukuran menunjuk sebuah kedai kecil di
sedang untuk ukuran orang dekat Bandar atau Pelabuhan”
Hindustan (India) di Kawasan Selain Bandar atau
Asia, namun demikian badannya
memperlihatkan keperkasaannya Pelabuhan terdapat juga kedai kecil
dadanya bidang dengan perutnya seperti warung yang menyediakan
terlihat kotak-kotak segi empat
yang menandakan bahwa si makanan dan minuman bagi
pemuda gemar sekali penumpang perahu atau kapal laut.
berolahraga” (Susetya, 2010:
15). Akhirnya, Ajisaka dan dua

b) Padepokan Resi Wiyasa pembantunya memesan makanan


dan minuman yang tersedia di kedai
Padepokan adalah latar tempat
tersebut.
Ketika pengarang memberikan
peristiwa yang sedang menuntut d) Pulau Majeti

ilmu pelajaran kesusasteraan oleh Sebuah pulau yang merupakan


Bapak Guru Resi Wiyasa kepada bagian dari Nusantara. Pengarang
murid-muridnya. memberikan peristiwa

“Ketika ia sedang mengikuti pengembaraan Ajisaka menjelajahi


pelajaran mengenai bumi Nusantara dengan
kesusasteraan Bersama beberapa
kawannya kepada Resi Wiyasa pemandangan alam yang sangat
di padepokannya yang sederhan,

12
menakjubkan nan menyejukkan Pulau Jawadwipa terdapat salah
mata. satu dusun yang dekat dengan bulan.
Yaitu dusun Medang Kawit yang
“Di tepian pantai itu berjajar
pohon kelapa yang daunnya dijadikan tempat latar oleh
melambai-lambai tertiup pengarang dalam peristiwa
hempasan angin. Dari kejauhan,
pegununangan berwarna biru mendirikan padepokan sederhana
yang berlenggok-lenggok Guru Saka.
memanjang seperti ular sedang
tidur. Pemandangan yang
“Belum genap sebulan tinggal
mempesona hati itu tentu tak
bersama Mbok Randha
dilewatkan begitu saja oleh
Sangkeran, tiba-tiba saka
Saka, Dora, dan Sembada.
Kembali teringat rencananya
Maklumlah keadaan dinegrinya
membuat sutu padepokan untuk
India serta beberapa negeri yang
memberikan pengajaran kepada
dilampauinya tak seindah
rakyat Medang Kamulan,
dengan keadaan di Pulau
terutama warga di Dukuh
Majeti” (Susetya, 2010: 63)
Medang Kawit” (Susetya, 2010:
e) Pulau Jawadwipa 162)
Ajisaka dan Sembada
Pulau Jawadwipa yang dikenal
mendirikan rencananya sebuah
sebuah Jumawut adalah latar tempat
Padepokan yang sederhana untuk
pulau kedua Ajisaka menginjakkan
Rakyat Medang Kawit.
kakinya di bumi Nusantara.
g) Kerajaan Medang Kamulan
“Benar kata orang bahwa
pemandangan alam di Pulau
Bangunan megah istana
Jawadwipa lebih indah daripada
Pulau Majeti, meskipun kedua Kerajaan Medang Kamulan yang
pulau tersebut sama-sama
berdiri kokoh, identik dengan
wilayah bumi Nusantara. Begitu
menginjakan kakiknya di Pulau keperkasaan penguasaannya. Setiap
Jawadwipa atau dikenal pula
harinya melakukan undian untuk
dengan sebutan Jumawut, rasa
penasaran yang sebelumnya dijadikan mangsa Sang Raja.
menggelayuti dalam benak Saka,
kini seolah-olah sudah “Dalam hal ini, Patih Jugul
terbayarkan” (Susetya, 2010: Muda mengorganisir
131). pengundian kepada setiap
keluarga untuk dijadikan
f) Dukuh Medang Kawit
santapan bagi raja Medang maka
sang kepala keluarganya harus

13
menyetorkan seorang diri dari “Hari telah larut. Dalam
anggota keluarganya untuk kegelapan malam yang disinari
disetorkan ke Kerajaan Medang cahaya rembulan sehingga
Kamulan bukan untuk mati menerobos celah-celah
secara sia-sia, tetapi untuk dedaunan. Saka tetap
memberantas dur angkaran melanjutkan perjalanannya
murka atau kejahatan di muka Bersama dua orang abdinya.
bumi yang dilakukan oleh Prabu Walaupun suasana malam terus
Dewata Cengkar” (Susetya, merambat dan tanpa menjumpai
2010: 248) siapa-siapa, Saka sudah terlanjur
kesengsem dengan panorama
b. Latar Waktu Pulau Majeti, meskipun kata
sesepuh Pulau Jawadwipa lebih
Kutipan yang menunjukan latar menarik” (Susetya, 2010: 86)
waktu sebagai berikut. c. Latar Sosial
a) Pagi Latar sosial menyaran pada hal-
Latar waktu pagi dalam novel hal yang berhubungan dengan
Ajisaka karya Wawan Susetya ialah perilaku kehidupan sosial
Ajisaka yang sedang berada di masyarakat di suatu tempat yang
padepokan Bapak Gurunya yang diceritakan dalam karya fiksi. Ia
sedang mempelajari kesusasteraan. dapat berupa kebiasaan hidup, adat
istiadat, tradisi, keyakinan,
“Ketika matahari terlihat
semburat memerah di ufuk pandangan hidup, cara berpikir dan
timur, Saka dan Sembada sudah bersikap, dan hal lain-lain yang
bersiap-siap hendak berangkat.
Sebelum berangkat, Saka tergolong latar spiritual seperti
menyempatkan benda-benda dikemukakan sebelumnya.
antiknya sudah tertata rapi di
tempat yang sudah “Tuan Saka, Prabu Dewata
dipersiapkan” (Susetya, 2010: Cengkar adalah raja di Kerajaan
128). Medang Kamulan, yang
b) Malam menguasai Pulau Jawadwipa ini.
Ia berbadan tinggi besar seperti
Latar waktu malam dalam novel seorang raksasa. Makanannya
setiap hari yaitu manusia yang
Ajisaka karya Wawan Susetya ialah disetorkan oleh Patih Jugul
Ajisaka dengan dua abdinya dalam Muda. Nah, karena hari ini
giliran saya akan dijadikan
perjalanan mengembara di Pulau sebagai santapan Sang Prabu,
Majeti ke Pulau Jawadwipa.

14
maka saya melarikan diri” perubahan
(Susetya, 2010: 149) muridnya”(Susetya,
2010: 20)
Latar sosial dalam novel
6. Gaya Bahasa
Ajisaka karya Wawan Susetya ialah
perilaku budaya (adat Pada novel Ajisaka karya

istiadat/tradisi), Ajisaka Wawan Susetya ini terdapat gaya

menonjolkan aspek budayanya, bahasa yang diantaranya majas

meskipun tokoh Ajisaka metafora, hiperbola, simile, dan

digambarkan seorang pemuda. personifikasi yang akan dijelaskan


sebagai berikut.
5. Sudut Pandang
a. Majas Metafora
Sudut pandang novel Ajisaka
karya Wawan Susetya Majas metafora adalah gaya

menggunakan sudut pandang orang bahasa yang membandingkan

ketiga karena dalam cerita sesuatu secara langsung tanpa

pengarang menyebut nama tokoh- penghubung. Pada novel Ajisaka

tokohnya langsung meski terkadang karya Wawan Susetya, gaya

juga menggunakan kata “Ia” serta bahasa terlihat pada gambaran

mengetahui berbagai hal tentang tokoh utama oleh pengarang

tokoh, peristiwa dan tindakan yang sebagai berikut.

melatarbelakanginya. Ia bebas “Wajah pemuda itu tampak


menceritakan tokoh “Dia” yang sangat tampan rupawan nan
anggun seolah
lainnya. mengisyaratkan bahwa dia
adalah seorang pecinta
“Ketika ia sedang keindahan. Rambutnya
mengikuti pelajaran dibiarkan terurai memanjang
mengenai kesusasteraan di bawah pundaknya makin
Bersama beberapa menunjukkan kegagahan.
kawannya kepada Resi Kadang-kadang, kalua
Wiyasa di padepokannya sedang bepergian rambutnya
yang sederhana, ia digelung agar terlihat sigrak
tampak lesu dan kurang dan cekatan. Tinggi
bersemangat. Sang Resi badannya berukuran sedang
yang sangat mencintai untuk ukuran orang
muridnya, tentu sangat Hindustan (India) di
peka melihat gejala Kawasan Asia, namun

15
demikian badannya Kesan berlebihan didapat
memperlihatkan
dari pilihan kata deburan ombak
keperkasaannya. Dadanya
bidang dengan perutnya yang menggunung. Karena
terlihat kotak-kotak segi
meskipun deburan ombaknya
empat yang menandakan
bahwa si pemuda gemar banyak, tidak sampai seperti
sekali berolahraga” (Susetya,
gunung.
2010: 15).
Majas metafora ditandai c. Majas Simile (Ibarat/
dengan kata tampan rupawan Perumpamaan)
nan anggun pada kalimatnya,
Simile merupakan majas
jelas terlihat membandingkan
yang membandingkan sesuatu
dalam pemakaiannya. Pengarang
hal dengan hal yang lainnya
memilih kata tampan rupawan
dengan menggunakan kata
nan anggun yang artinya
penghubung atau pembanding.
membandingkan kemiripan sifat
yang pada hakikatnya berbeda “Saka serta Dora dan
Sembada melanjutkan
tapi sengaja sama. perjalanannya lagi. Seiring
dengan perjalanan sang
b. Majas Hiperbola waktu, semangat mereka
terus bergelora, ibaratnya
Novel Ajisaka karya Wawan seperti tak lapuk karena
hujan, tak lekang karena
Susetya terdapat majas hiperbola
panas (tetap teguh
pada tokoh utama. Berikut pendiriannya)” (Susetya,
2010: 56).
kutipannya.
Cuplikan kalimat
”Mereka menembus,
semangat mereka terus
menjelajahi hingga keluar-
masuk hutan belantara, bergelora, ibaratnya seperti tak
menaiki gunung dan turun
lapuk karena hujan, tak lekang
gunung, menyusuri jalanan
di tepi pantai, dan sesekali karena panas menjelaskan
menantang deburan ombak
mengenai rasa semangat yang
yang menggunung Ketika
menumpang sebuah kapal bergelora dengan perbaningan
laut” (Susetya, 2010: 51).
makna eksplisit menggunakan

16
tak lapuk karena hujan, tak badannya Ketika berjalan atau
lekang karena panas. gerakan leher dan kepala Ketika
menari, sedangkan kenyataanya
d. Majas Personifikasi
pegunungan tidak bergerak atau
Majas personifikasi yang berjalan.
terdapat dalam novel Ajisaka
7. Amanat
karya Wawan Susetya sebagai
berikut: Amanat dalam novel Ajisaka
karya Wawan Susetya adalah
“Di tepian pantai itu berjajar
janganlah berbuat jahat dan keji
pohon kelapa yang daunnya
melambai-lambai tertiup kepada orang yang statusnya di bawah
hempasan angin. Tanaman
kita, karena kelak kita akan menerima
serta tetumbuhan di pinggir
pantai indah sekali. Dari balasannya.
kejauhan, pegunungan
berwarna biru yang “Saka dan pak tua akhirnya
berlenggak-lenggok berpisah. Saka berjalan menuju
memanjang seperti ular ke arah Medang Kamulan yang
sedang tidur. Pemandangan masih jauh dari tempat itu,
yang mempesona hati itu sementara pak tua malah
tentu tak dilewatkan begitu menjauh dari pusat kerajaan.
saja oleh Saka, Dora, dan Sedang Sembada, mau tak mau,
Sembada. Maklumlah, ia harus setia menemani
keadaan di negerinya India bendara-nya Saka menuju
serta beberapa negeri yang Kerajaan Medang Kamulan
dilampauinya tak seindah untuk memberantas kejahatan
dengan keadaan di Pulau dan menegakkan kebenaran-
Majeti” (Susetya, 2010: 63). keadilan” (Susetya, 2010: 153).
Pada kata melambai-lambai Seperti tokoh Prabu Dewata
bermakna seolah-olah hidup Cengkar sebagai Raja Medang
seperti manusia yang sedang Kamulan yang keji dan bengis serta
melambaikan tangan, sedangkan sangat jahat terhadap rakyatnya.
kenyataannya daun tidak Karena setiap hari Prabu Dewata
mempunyai tangan dan kata Cengkar memakan rakyatnya sendiri
berlenggak-lenggok bermakna demi kepentingan pribadi. Ketika
seolah-olah hidup seperti datangnya seorang pemuda yang
perempuan melihatkan Gerakan mempunyai kemampuan untuk

17
memberantas kejahatan hingga “Seperti biasanya, ketika berada
di tempat yang seperti itu, Saka
terciptanya keadilan dan kebenaran.
selalu menyempatkan untuk
duduk bersila sambal
Nilai Budaya yang Terkandung bersedekap. Begitulah kebiasaan
dalam Novel Ajisaka Karya Wawan Saka di mana pun berada, yaitu
bersemedi guna mengheningkan
Susetya cipta, mengendapkan
perasaannya, membersihkan
Nilai budaya yang terkandung angan-angan dan pikiran serta
dalam novel Ajisaka karya Wawan meghidupkan harinya untuk
senantiasa berhubungan dengan
Susetya beserta kutipannya. Sang Pencipta” (Susetya, 2010:
65).
a. Nilai Budaya dalam
Ajisaka melakukan semedi agar
Hubungan Manusia dengan
dirinya merasa tenang, hatinya
Tuhan.
damai dengan melibatkan Tuhan
1) Percaya Kepada Tuhan
termasuk juga kepada Tuhan.
“Benar, Tuan,” ujar Sembada
seolah merasakan sesuatu, b. Nilai Budaya dalam
“dalam keheningan seperti ini, Hubungan Manusia dengan
saya merasakaan bahwa semua
ini merupakan keagungan Sang Masyarakat
Pencipta. Siapa pun tentu tak
dapat menyangkal bahwa Nilai budaya dalam hubungan
keindahan dalam malam bulan manusia dengan masyarakat yang
purnama seperti ini semata-mata
karena kebesaran Tuhan” terdapat dalam novel Ajisaka karya
(Susetya, 2010: 90). Wawan Susetya meliputi nilai
Hasil analisis tersebut musyawarah, gotong royong,
memperlihatkan bahwa Sembada kebijaksanaan, dan saling
percaya kepada Tuhan atas apa yang menolong.
dilihatnya semata-mata karena ia
1) Musyawarah
merasakan keberadaan Tuhan. Percaya
keada Tuhan ditujukan oleh kata “Bagaimana Tuan, apakah Tuan
berniat ke Nusantara?” Si pria
“kebesaran Tuhan”.
berkumis tebal menanyakan.”
2) Berdoa “Saka menoleh kepada dua
orang abdinya untuk meminta
pertimbangan. Sambil melahap

18
makanannya, Dora dan Sembada “karena kesuuran tanahnya dan
tampak memberikan jawabannya segala tanaman bisa ditanam
dengan sebuah isyarat yaitu dengan mudah, tak ayal
anggukan kepala” (Susetya, menyebabkan kebanyakan
2010: 58). rakyar Nusantara akhirnya
menjadi malas. Bagaimana
2) Gotong –royong mereka mau bekerja keras,
sedang segalanya telah tersedia?
“Memang pada saat-saat Saka Karena kepulauan Nusantara
menalani konsentrasi di suatu adalah agraris, maka sebagaian
gua atau di puncak gunung, besar rakyatnya menjadi petani.
biasanya Dora dan Sembada Padahal, mereka juga
dapat tidur nyenyak tanpa mempunyai banyak lautan,
merasakan beban berat di tetapi sayangnya mereka belum
pundak. Keduanya secara mengoptimalkan potensi laut
gotong-royong melayani semua mereka” (Susetya, 2010: 60).
kebutuhan tuannya, seperti
memasak nasi, menyucikan d. Nilai Budaya dalam
pakaian tuannya yang kotor, dan Hubungan Manusia dengan
seterusnya” (Susetya, 2010: 50).
Orang Lain
3) Saling Menolong
“Sembada sempat Nilai budaya dalam hubungan
membayangkan dalam manusia dengan orang lain
perjalanan yang sudah lalu,
betapa banya tuannya menunjukkan bahwa dalam hidup
menyantuni orang-orang miskin bermasyarakat manusia tidak bisa
di sepanjang jalan. Betapa
banyak harta yang telah lepas dari campur tangan orang lain.
dikeluarkan oleh tuannya dalam Maka dari itu manusia disebut
meringankan beban sesame
manusia” (Susetya, 2010: 101). dengan makhluk sosial.

1) Kejujuran
c. Nilai Budaya dalam
Hubungan Manusia dengan “Kawan-kawannya yang lain
Alam pun sepertinya tak sabra hendak
mendengarkan apa yang bakal
dikatakan oleh Saka. Sebab,
Adapun nilai budaya dalam
selama ini Saka memang
hubungan manusia dengan alam dianggap sebagai seorang kawan
yang sangat jujur ketika menulis
yang terdapat dalam novel Ajisaka
syair-yairnya di atas daun lontar,
karya Wawan Susetya meliputi nilai terutama ketika sedang
mengekspresikan peristiwa yang
pemanfaatan alam.
dilihatnya” (Susetya, 2010: 21).

19
2) Keramahan tegas dan sadar atas kesalahan atau
kelalaiannya dalam memerhatikan
“Dalam perjalanannya, Saka dan
abdinya melewati kawasan salah satu abdinya sampai mati
hutan belantara, setelah itu sampyuh.
masuk perkampungan.
Rakyatnya ramah-tamah. Setiap
Kelayakan Novel Ajisaka sebagai
kali berpapasan dengan seorang
atau beberapa orang yang Alternatif Bahan Ajar Sastra di SMA
dijumpai di jalan, mereka selalu
menyapanya dengan akrab. 1. Bahasa
Rupanya penduduk setempat
merasa asing dengan kedatangan Aspek bahasa dalam novel ini
Saka dan kawan-kawannya.”
(Susetya, 2010: 66). terbilang jelas, bahasanya ringan,

e. Nilai Budaya dalam mengalir, mudah dipahami dan tidak

Hubungan Manusia dengan bertele-tele. Berikut aspek bahasa

Dirinya Sendiri yang tergambar dalam novel


tersebut.
Sebagai makhluk individu
manusia memiliki hak-hak yang “Ketiga orang dari India itu pun
kembali melanjutkan perjalanan.
bersifat pribadi yang harus dihargai Lagi-lagi, Dora dan Sembada
oleh orang lain. Adapun nilai harus mengeluarkan energi
ekstra untuk memikul barang-
budaya dalam hubungan manusia barang bawaannya yang sangat
dengan dirina sendiri terdapat dalam berat” (Susetya, 2010: 77).

novel Ajisaka karya Wawan Susetya Peneliti simpulkan bahwa

meliputi: penggunaan bahasa novel Ajisaka


karya Wawan Susetya layak
1) Tanggung Jawab
dijadikan sebagai bahan
“Tidak, Bapa Resi!” jawab Sang pembelajaran sastra di SMA.
Prabu tegas, “sayalah yang harus
betanggun jawab dalam hal ini. 2. Latar Belakang Budaya
Bahkan, kalua perlu Bapa Resi
ikut sekalian bersama saya ke Latar belakang budaya yang
Pulau Majeti besok pagi”
(Susetya, 2010: 276). ditampilkan dalam novel ini

Hal tersebut dapat dilihat dari mengandung aspek latar belakang

tokoh utama yang mempunyai sikap budaya sosial keturunan kaum


bangsawan India di negeri

20
Hindustan (India) Kawasan Asia. Model Mitra Belajar Pembelajaran
Latar belakang budaya tersebut juga Analisis Nilai Budaya dalam Novel
diketahui siswa SMA, baik di Ajisaka Karya Wawan Susetya
lingkungan sekolah maupun
Model pembelajaran yang
rumahnya.
digunakan dalam pembelajaran
“Lahir di tengah-tengah novel Ajisaka karya Wawan
keluarga kaum bangsawan India
Susetya, yaitu model mitra belajar.
yang penuh dengan nuansa cita-
rasa seni, tak ayal membuat sang
pemuda benar-benar gandrung 1. Struktur
terhadap keindahan. Sejak kecil, Pada langkah awal ini siswa
ia ditempa dengan Pendidikan
olah vokal dalam seni suara, tidak perlu terlibat secara efektif
termasuk memainkan berbagai dalam mitra belajar saat pertama
alat musiknya sehingga ia dapat
menyanyi lagu-lagu India kali mereka mempraktikan model
dengan suara merdu” (Susetya, ini. Model pembelajaran mitra
2010: 16).
belajar ini terbagi dalam beberapa
Analisis tersebut menjelaskan
tahapan sebagai berikut.
bahwa pengenalan tokoh Ajisaka
a. Tahap pertama adalah
dengan latar belakang kehidupannya
menyajikan sebuah masalah
yang menggambarkan seorang
secara gamblang melalui
pemuda Hindustan (India).
beberapa contoh dan membuat
Berdasarkan hasil penelitian novel
siswa berpikir dengan
Ajisaka karya Wawan Susetya,
mengajukan beberapa
terutama pada unsur intrinsik novel
pertanyaan.
yang ditemukan, yaitu tema, alur,
b. Tahap kedua adalah membentuk
penokohan, latar, amanat, gaya
kelompok terdiri 3-4 orang
Bahasa, dan sudut pandang novel
untutk menemukan nilai budaya
dapatlah peneliti menyimpulkan
yang ada di dalam novel
layak atau tidaknya novel tersebut
tersebut.
dijadikan sebagai bahan ajar siswa
c. Tahap ketiga adalah tiap
di SMA, terutama pada siswa
kelompok diminta untuk
tingkat SMA kelas XI.

21
mendiskusikan dengan teman e. Guru harusmembantu siswa
kelompoknya. mempertimbangkan dan melihat
d. Tahap keempat dimana para konsekuensi-konsekuensi.
siswa berbagi pengalaman dan E. Simpulan dan Saran
mengembangkannya. a. Simpulan
2. Sistem Sosial
Berdasarkan hasil analisis
Mitra belajar sebagai model
dapat disimpulkan mengenai
pengajaran yang mengarahkan siswa
struktur novel-novel, nilai
untuk bekerja sama dengan salah
budaya, bahan ajar dan model
satu teman yang sudah ditentukan.
pembelajaran sebagai berikut.
Memilih masalah sendiri, membuat
keputusan dan lain sebagainya, Struktur instrinsik yang

sehingga sebagai guru harus terdapat dalam novel Ajisaka

memformat penelusuran tingkah karya Wawan Susetya di

laku. antaranya, tema yang diangkat

3. Peran atau Tugas Guru tentang sebuah pengembaraan

a. Guru harus menerima semua dalam menggapai cita-cita

respon dan saran siswa. dengan kemampuannya yang

b. Guru membantu siswa dapat membaca sastra alam

menelusuri sisi-sisi yang tergolong tingkat tinggi.

berbeda dalam situasi Penokohan berdasarkan sifat

permasalahn tertentu. tokoh utama novel tersebut

c. Guru merefleksikan, digambarkan memiliki sifat buas

memparafrase dan merangkum ilmu pengetahuan, bijaksana,

respon sehingga guru dapat jujur, suka menolong dan

meningkatkan kesadran siswa berbudi luhur. Latar atau setting

mengenai perasaan dan pikiran yang terdapat dalam novel

mereka sendiri. tersebut menggunakan banyak

d. Guru harus ada cara berbeda tempat yaitu latar tempatmya di

untuk memainkan peran yang Hindustan (India), padepokan

sama. Resi Wiyasa, Pulau Majeti,

22
Pulau Jawadwipa, Medang sesamanya, dan hubungan
Kawit, kerajaan Medang manusia dengan dirinya sendiri.
Kamulan, Bandar dan kedai Novel Ajisaka karya Wawan
sedangkan latar waktunya yaitu, Susetya layak dijadikan sebagai
pagi, malam, dan latar sosialnya alternative bahan ajar sastra di
yaitu terdapat adat SMA karena memenuhi kriteria
istiadat/tradisi dalam novel bahan ajar sastra sebagai
tersebut. berikut.

Alur atau plot dalam novel a) Bahasa


tersebut yaitu alur maju
Aspek bahasa novel dalam
(progesif). Sudut pandang yang
ini terbilang jelas, bahasanya
digunakan dalam novel tersebut
ringan, mengalir, mudah
adalah sudut pandang orang
dipahami dan tidak bertele-tele.
ketiga. Gaya bahasa yang
Sehingga memudahkan siswa
digunakan ialah metafora,
untuk menafsirkan pesan yang
simile, personifikasi dan
terkandung di dalamnya.
hiperbola. Amanat yang terdapat
pada novel tersebut adalah b) Latar Belakang Budaya

janganlah berbuat jahat dan keji Latar belakang yang


kepada orang yang statusnya di ditampilkan dalam novel ini
bawah kita, karena kelak kita mengandung aspek latar
akan menerima balasannya. belakang budaya social

Nilai budaya yang keturunan kaum bangsawan

terkandung dalan novel Ajisaka India di negeri Hindustan (India)

karya Ajisaka karya Wawan kawasan Asia. Latar belakang

Susetya adalah sebagai berikut. budaya yang berkaitan dengan

Hubungan manusia dengan perjodohan anak yang dilakukan

tuhan, hubungan manusia orang tua, sesuai dengan latar

dengan alam, hubungan manusia belakang budaya masyarakat

dengan orang lain atau Indonesia, khususnya zaman

23
dulu. Latar belakang budaya yang sama. Nilai budaya novel
tersebut juga diketahui siswa Ajisaka karya Wawan Susetya
SMA, baik di lingkungan dapat dijadikan sebagai
sekolah maupun rumahnya. alternative bahan ajar sastra di
SMA. Diharapakan guru dapat
Pembelajaran analisi novel
menggunakan model
Ajisaka karya Wawan Susetya
pembelajaran mitra belajar
menggunakan model mitra
sebagai model kreatif
belajar sebagai model
pembelajaran, baik dalam
pengajaran yang mengarahkan
pembelajaran nilai budaya
siswa untuk bekerja sama
maupun pembelajaran lainnya.
dengan salah satu temannya
yang sudah ditentukan. Hal ini Daftar Pustaka
akan memberikan sebuah Djamris, Edwar. 1994. Nilai Budaya
kenyamanan kepada siswa dalam Beberapa Karya Sastra
Nusantara: Sastra daerah di
karena pengajaranya ini Sumatra. Jakarta: Depdikbud.
menyakut pengajaran sosial.
Endraswara, Suwardi. 2012.
Metodologi Penelitian
b. Saran
Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
Pada skirpsi ini, penelitian Cans Publishing.
menganalisis dan menjelaskan Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah
tentang nilai budaya yang Sastra. Surakarta:
Muhammadiyah University
tekandung dalam novel Ajisaka
Press.
karya Wawan Susetya dari hasil
Joyce, dkk. 2016. Models of
tersebut peneliti dapat TEACHING. Yogyakarta:
memberikan saran sebagai Pustaka Pelajar.
berikut. Koentjaraningrat. 1984.
Kebudayaan Mentalitas dan
Hasil dari penelitian dari Pembangun. Jakarta:
skripsi ini dapat dijadikan Gramedia.

sebagai bahan ajar rujukan oleh Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori


Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
penelitian yang ingin melakukan University Press.
penelitian dengan fokus kajian

24
Rahmanto. 1998. Pembelajaran
Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori,
Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra (Dari Strukturalisme
Hingga Postrukturalisme,
Perspektif Wacana Naratif).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Siswantoro, 2010. Metode
Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Susanto, Dwi. 2016. Pengantar
Kajian Sastra. Yogyakarta:
PT. BUKU SERU.
Trianto. 2012. Model Pembelajaran
Terpadu. Jakarta: Bumi
Aksara.

25

Anda mungkin juga menyukai