Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

TEORI APRESIASI PROSA FIKSI MAKASSAR


“PATTURIOLOANG”

OLEH:

KELOMPOK 3

 ULMI ALFIRA.RG => MUH. ARIS WAHTUDI


 NURUL SUHARYANTI => NURUL FAJRI ALHABSYI
 ELMA WAHYUNI => AHMAD MUHAJIR
 ASNANI => BAHARUDDIN

FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA


PPENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH
2019-2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karna telah melimpahkan rahmat-
Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “patturioloang” tepat pada waktunya.
Makalah ini kami buat dengan tujuan agar kiranya bisa membantu dosen dan
mahasiswa dalam proses pembelajaran yang lebih efektif, efisien, dan terarah sehingga
pembelajaran dapat direalisasikan sebagaimana mestinya.
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan bagi para
pembacanya dan dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam proses pembelajaran,
kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya karena pengetahuan yang
kami miliki cukup terbatas, oleh karena itu, kami berharap kritik dan saran dari pembaca yang
bersifat membangun untuk kesempuraan makalah ini.
Terima kasih kepada pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan
sehingga makalah ini selesai. Mudah mudahan bantuan, kritik, saran, dan motivasi yang telah
di berikan kepada penulis semoga dapat bernilai ibadah di sisi Allah swt.

Makassar, April 2020

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................
Kata Pengantar……………........................................……………………….................
Daftar Isi...............................................................................…………………...............
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………….....……...............
A. Latar Belakang……………………………………………………………..................
B. Rumusan Masalah…………………………………........………………..................
C. Tujuan………………………………………………...……………………................
BAB II PEMBAHASAN
A. Patturioloang ……………………………….….................................................

1. Tu Manurung Butta Gowa....................................................................


2. Pedoman Dasar Kekuasaan Butta Gowa..................................................

BAB III PENUTUP


Kesimpulan ………………………………………………………….........…................
Daftar Pustaka …………………………………………………………….…................

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kronik Gowa atau Sejarah Gowa (bahasa Makassar: Lontara Patturioloanga ri Tu


Gowaya) adalah salah satu naskah lontara berbahasa Makassar dari masa Kerajaan Gowa.
Kronik ini diperkirakan disusun pada abad ke-17, dan menguraikan riwayat raja-raja Gowa sejak
kemunculan dinastinya hingga masa pemerintahan Sultan Hasanuddin.

Kronik Gowa secara umum membahas "sejarah" dalam kaitannya dengan para penguasa,
alih-alih sejarah negara secara umum. Pembagian bab-babnya didasarkan pada masa
pemerintahan raja tertentu. Cummings mencatat bahwa kronik-kronik Makassar bercirikan
pembahasan genealogis yang kental.[1] Bahkan, dalam bahasa Makassar sendiri, genre tulisan
Kronik Gowa disebut sebagai naskah patturioloang (arti harfiah: "perihal orang-orang
terdahulu").

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan patturioloang?
2. Bagaimana patturioloang yang ada di Makassar ?

C. Tujuan Pembelajaran
1. Mengetahui patturio;oang yang ada di Makassar.
2. Mengetahui sejarah / patturioloang dakam Masyarakat gowa

BAB II

PEMBAHASAN

A. PATTURIOLOANG
1. Tu Manurung Butta Gowa
Dalam legenda masyarakat Gowa, diceritakan bahwa Raja yang pertama memerintah di
Kerajaan Gowa bernama Tu-Manurung Bainea (Putri yang turun dari kayangan). Beliau
disengaja diutus ke Butta Gowa untuk menjadi pemimpin di mana saat itu Gowa kacau balau. Di
perkirakan Tu-Manurung di Gowa memerintah pada tahun 1320-1345.

Tu-Manurung ri Gowa, adalah lambang kebesaran Butta Gowa. Kedatangan Tu-Manurung ri


Gowa, tidak merubah penyelenggaraan kekuasaan yang sudah ada dan dipandang sesuai dengan
keperluan dalam negeri masing-masing. Sebagai kesatuan wilayah yang besar oleh penyatuan
kesembilan Bori’ itu, di situlah peranan Tu-Manurung diharapkan.

Dalam lontara Patturioloang ri Tugowa-ya (Sejarah orang Gowa), menyebut bahwa lama
sebelum datangnya To-Manurung di Gowa, secara berturut-turut Gowa dipimpim oleh empat
raja yaitu:

1) Batara Guru, besar dugaan ada hubungannya dengan nama yang sam (Kakek
Sawerigading) yang disebut dalam I Lagaligo
2) Disebut saja “Orang yang terbunuh di Talili”. Tidak disebut nama aslinya, Dikatan
Saudara dari Batara Guru.
3) I Marancai, Ratu Sapu.
4) Karaeng Katangka. Nama aslinya tidak disebutkan.

Bagaimana ihwal pemerintahan ke empat Raja, sebelum To-Manurung itu, tidak juga
disebutkan dalam Lontara. Pada zaman yang masih gelap ini yang diceritakan secara mitologi.
Mungkin dapat dihubungkan sebagai zaman purba Sulawesi Selatan, sebagai kelompok
gelombang kedatangan terakhir ke pulau Sulawesi. Termasuk sebagai sekumpulan dari orang-
orang Deutro Melayu (Melayu Muda) yang berdiam di pantai-pantai dan muara sungai di bagian
selatan pulau Sulawesi.

Kemudian tercatat dalam Lontara Gowa, bahwa wilayah ini nantinya disebut Gowa, mula-
mulanya sebagai permukiman kelompok-kelompok kaum. Masing-masing kelompok kaum
menamkan tempat pemukiman mereka bori’ (Negara) yaitu Tombolo’, Lakiung, Saumata,
Parang-parang, Data’, Agang, Je’ne, Bisei, Kalling, dan Sero.

Sesudah pemerintahan Karaeng Katangka, kes-sembilan pemimpin kaum memimpin


Bori’nya masing-masing dengan gelar-gelar, seperti Karaeng, Anrong-Guru, atau Gallarang.
Setiapa Bori’ memepunyau bendera yang disebut Bate. Sebagai lambang kebesaran dan
kemerdekaan. Untuk memelihara perdamaian antar Bori’ itu, mereka bersam-sama memilih
seorang ketua yang disebut Paccalla (yang mencela), dari kalangan mereka. Paccalla hanya
berperan sebagai wasit atau penengenah, bila timbul sengketa diantara mereka. Ia bukan sebagai
pemimpin tertinggi dari semua kaum, melainkan hanya berperan sebagai penasehat dalam
pemeliharaan perdamaian antar kaum. Lambat-laun kebutuhan kan adanya pemimpin tertinggi
diperlukan, yang dapat langsung dan dapat menyatukan semua kaum ke dalam satu persekutuan
yang sangat besar. Masyarakat menginginkan seorang pemim[in yang dapat melebihi pemimpin
Bori’ dan seorang Paccalla. Maka bersepakatlah mereka untuk mencari tokoh yang bebas dari
ikatan hubungan antar kelompok. Tokoh inilah nantinya yang akan menyatukan perbedaan yang
terjadi antar kaum dalam sebuah persekutuan yang besar yang disebut Butta Gowa. Akhirnya dua
orang ketua kaum ditugaskan dalam mencari tokoh itu, mereka ialah Gallarang Tombolo dan
Gallrang Samata (Mangasa). Keduanya bersaudara, yang wilayahnya berada dipesisir laut
Makassar.

Akhirnya menurut Lontara Patturiolonga ri Tu-Gowaya, kedua Gallarang menemukan tokoh


yang dicari, seorang To Manurung di Bukit Taka’bassia (sekarang Tamalatea). Tu-Manurung itu
seorang perempuan. Sepakatlah ketua-ketua kaum bersama Paccallanya menjadikan Tu-
Manurung itu sebagai pemimpin tertiggi mereka, deangan satu perjanjian yang disepakati
bersama denga Tu-Manurung.

Perjanjian itu selanjutnya dijadikan sebagai pedoman tentang hak dan kewajiban seorang raja
terhadap rakyat Gowa, dan sebaliknya. Perjanjian ini disepakati, dan dapat dikatakan sebagai
Pedoman dasar (Konstitusi Awal) dari satu negara/kerajaan bumi pada abad XIV-XV Masehi di
Sulawesi Selatan.

2. Pedoman Dasar Kekuasaan Butta Gowa

Perjanjian atau pedoman dasar kekuasaan di Butta Gowa itu sebagai berikut:

Anne niallenu kikaraengang

Karaemmako ikau

Atamakkang i

Tangkairammako ikau

Lau-makang ikambe.

Punna sappe tangkairanga

Reppe’ tommi lau-a


Na punna sappe tangkairanga

Ikambe mate.

Ikambe Tanakaddo’ bassinu

Ikau Tanakaddo’ bassimmang.

Ikambe rewata-pa ambuno-kang

Ikau rewata-pa ambunoko

Makkanamako kimammio

Naia punna massongong-kang

Tama’lembara’kang

Punna ma’lembara’kang

Tamassongong-kang

Anging-mako, kileko’ kayu

Naia sanimmadidiyaji niri

Je’ne mako, kibatang mammanyu

Naia sanisempo’boanampa nuanyu

Namanna anammang

Manna bainem-mang

Katanangaiai butayya

Takingai tongi
Anne kiallenu kikaraengang

Batang-kalemmanji angkaraengang-ko

Teai pannganuammang

Tannualleai jangang ri-lerang-mang

Tanukovvikai bayao-ri kambotim-mang

Tannualleai kaluku sibatum-mang

Rappo sipaemmang

Puanna nia nukaeroki pannganuammang

Nuballi sitaba nuballia

Nusambei sitaba nusambei

Nupalaki sitaba nupalak, nakisareang-ko

Tanutappakiai pannganuam-mang

Karaenga tammannappu’ bicara i-lalang

Punna taenai gallaranga

Gallaranga tamattappu’ bicara bundu

Punna taena karaenga

(Dari Lonntara Pattarioloanga ri Tu-Gowa-ya)

Setiap kali seorang Raja Gowa dilantik, diulangi pembacaan “Pedoman Dasar” ini, untuk
ditaati oleh raja dan rakyat Butta Gowa, sebagai perjanjian luhur yang mat dijunjung tinggi.

Walaupun kesembilan Kutua Bori’ (Kaum) bersama Paccalla-ya telah menetapkan


seorang Raja, sebagai Pertuanan mereka dengan satu bentuk kesepakatan (Pedoman Dasar)
tentang penyelenggaraan kekuasaan, hak dan kewajiban masing-masing, namun kekuasaan dan
pimpinan atau bori’ dan kaum mereka, tetap berda di tangan sembilan ketua kaum itu di samping
jabatan mereka menjadi Dewan Kerajaan. Awalnya disebut Kasuwiang Salaanga (Pengabdi yang
sembilan). Kemudian, dalam pertumbuhan kerajaan Gowa, Dewan Kerajaan ini bernama “Bate-
Salapanga ri Gowa” (Sembilan panji di Gowa). Keturuan Tu-Manurung yang disebut
Ana’karaeng ri Gowa, oleh Pedoman Dasar itu, tidak dibolehkan menjadi penguasa langsung
atas kaum dan Bori’ Panji yang sembilan.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Tu-Manurung ri Gowa, adalah lambang kebesaran Butta Gowa. Kedatangan Tu-Manurung ri


Gowa, tidak merubah penyelenggaraan kekuasaan yang sudah ada dan dipandang sesuai dengan
keperluan dalam negeri masing-masing. Sebagai kesatuan wilayah yang besar oleh penyatuan
kesembilan Bori’ itu, di situlah peranan Tu-Manurung diharapkan.

Kronik Gowa secara umum membahas "sejarah" dalam kaitannya dengan para penguasa,
alih-alih sejarah negara secara umum. Pembagian bab-babnya didasarkan pada masa
pemerintahan raja tertentu. Cummings mencatat bahwa kronik-kronik Makassar bercirikan
pembahasan genealogis yang kental.[1] Bahkan, dalam bahasa Makassar sendiri, genre tulisan
Kronik Gowa disebut sebagai naskah patturioloang (arti harfiah: "perihal orang-orang
terdahulu").

DAFTAR PUSTAKA

Mattulada. 1998. Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Hasanuddin University Press

https://historissulsel.blogspot.com/2018/10/tu-manurung-butta-gowa.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai