Anda di halaman 1dari 106

Bahasa Makassar

bahasa Austronesia yang utamanya


dituturkan di Sulawesi Selatan,
Indonesia
Halaman ini sedang dipersiapkan dan
dikembangkan sehingga mungkin
terjadi perubahan besar.
Anda dapat membantu dalam
penyuntingan halaman ini.
Halaman ini terakhir disunting oleh
Blue Sonic (Kontrib • Log) 30 hari 47
menit lalu.

Jika Anda melihat halaman ini tidak


disunting dalam beberapa hari, mohon
hapus templat ini.

Bahasa Makassar (basa Mangkasaraʼ,


Lontara: ᨅᨔ ᨆᨀᨔᨑ) adalah sebuah
bahasa
Austronesia yang lazimnya dituturkan oleh
penduduk bersuku Makassar di sebagian
wilayah Sulawesi Selatan, Indonesia.
Dalam rumpun Austronesia, bahasa
Makassar merupakan bagian dari
subkelompok Sulawesi Selatan,
walaupun kosakata bahasa ini
tergolong divergen jika dibandingkan
dengan kerabat-kerabat terdekatnya.
Bahasa Makassar memiliki sekitar 1,87
juta penutur jati pada tahun 2010.
Bahasa Makassar
Basa Mangkasaraʼ
ᨅᨔ ᨆᨀᨔᨑ
Dituturkan di Indonesia
Wilayah Sulawesi Selatan
Etnis Makassar
Penutur bahasa 1.870.000  (2010)[1]
Rumpun bahasa Austronesia
Melayu-Polinesia
Sulawesi Selatan
Makassarik
Bahasa
Makassar

Dialek Gowa/Lakiung
Jeneponto/Turatea
Bantaeng

Sistem penulisan Modern:


   Alfabet Latin
   Aksara Lontara
Historis:
Aksara
Makassar (Jangang-
Jangang)
Kode bahasa
ISO 639-2 mak
ISO 639-3 mak
Glottolog maka1311

   Bahasa Makassar
   Ragam bahasa Makassarik lainnya

Terdapat 23 fonem dalam sistem


fonologi bahasa Makassar. Bahasa
Makassar juga memiliki beberapa deret
konsonan ganda
atau geminat. Sebagai bahasa
aglutinatif,
bahasa Makassar memiliki beragam afiks
yang masih produktif serta serangkaian
klitik yang (antara lain) memarkahi fungsi
pronomina dan aspek. Argumen dalam
bahasa Makassar dimarkahi pada predikat
dengan klitik pronomina yang lazimnya
mengikuti pola persekutuan ergatif-
absolutif.

Klasifikasi

Kekerabatan S…

Bahasa Makassar merupakan bahasa


Austronesia dari subrumpun Melayu-
Polinesia cabang Sulawesi Selatan,[2]
khususnya kelompok Makassar atau
Makassarik yang juga mencakup bahasa
Konjo (baik ragam Pegunungan maupun
Pesisir) serta bahasa Selayar.[3] Ragam
bahasa Konjo dan Selayar terkadang juga
dianggap sebagai dialek bahasa Makassar.
Sebagai bagian dari rumpun bahasa
Sulawesi Selatan, bahasa Makassar juga
berkerabat dekat dengan bahasa Bugis,
[4]
Mandar, dan Sa'dan (Toraja).

Dalam hal kosakata, rumpun bahasa


Makassarik merupakan yang paling
berbeda di antara bahasa-bahasa Sulawesi
Selatan. Rerata persentase kemiripan
kosakata antara rumpun Makassarik
dengan bahasa-bahasa Sulawesi Selatan
Makassar sebagai bagian dari rumpun
Sulawesi Selatan.[7][8]

Dialek S…

Diagram hubungan antara ragam-ragam


bahasa/dialek dalam rumpun Makassarik
berdasarkan persentase kemiripan leksikal

Ragam bahasa dalam rumpun


Makassarik membentuk sebuah
kesinambungan dialek, sehingga batas
antara bahasa dan dialek
sulit ditentukan.[9] Survei bahasa di
Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh
pasangan linguis dan antropolog
Charles dan Barbara Grimes
memisahkan bahasa Konjo dan Selayar
dari bahasa Makassar,[10] sementara
survei lanjutan yang dilakukan oleh
linguis Timothy Friberg dan Thomas
Laskowske memecah bahasa Konjo
menjadi tiga (Konjo Pesisir, Konjo
Pegunungan, dan Bentong/Dentong).[11]
Walaupun begitu, dalam buku mengenai
tata bahasa Makassar terbitan Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
linguis lokal Abdul Kadir Manyambeang
dan tim memasukkan ragam bahasa
Konjo dan Selayar sebagai dialek
bahasa Makassar.[12]
Tidak termasuk ragam-ragam bahasa
Konjo dan Selayar, bahasa Makassar
dapat dibagi ke dalam setidaknya tiga
dialek, yaitu 1) dialek Gowa atau
Lakiung, 2) dialek Jeneponto atau
Turatea, dan 3) dialek Bantaeng.[10][12]
[13][c]
Perbedaan utama antara ragam-
ragam dialek dan bahasa dalam
rumpun Makassar adalah dalam
tataran kosakata; tata bahasa ragam-
ragam ini secara umum tidak jauh
berbeda.[12][13] Penutur dialek Gowa
cenderung bertukar menggunakan
bahasa Indonesia ketika berkomunikasi
dengan penutur dialek Bantaeng atau
penutur bahasa Konjo dan Selayar,
begitu pula sebaliknya. Dialek Gowa
umumnya dianggap sebagai "ragam
tinggi" (prestige
variety) bahasa Makassar. Sebagai ragam
yang dituturkan di wilayah pusat
daerah, dialek Gowa juga lazim
digunakan oleh penutur dialek atau
ragam bahasa lainnya dalam rumpun
Makassar.[9]

Demografi dan persebaran

Peta persebaran bahasa-bahasa Sulawesi Selatan;


bahasa Makassar ditandai dengan arsiran hijau dan
angka 8

Menurut sebuah studi demografi yang


didasarkan pada data sensus tahun 2010,
sekitar 1,87 juta penduduk Indonesia
yang berusia di atas lima tahun
menggunakan bahasa Makassar
sebagai bahasa ibu.
Secara nasional, bahasa Makassar
termasuk ke dalam 20 bahasa dengan
jumlah penutur terbanyak, tepatnya di
posisi ke-16.[16] Bahasa Makassar juga
merupakan bahasa dengan penutur
terbanyak kedua di Sulawesi setelah
bahasa Bugis yang memiliki lebih dari 3,5
juta penutur.[1][17]

Bahasa Makassar utamanya dituturkan


oleh etnis Makassar,[18] walaupun sebagian
kecil (1,89 ) etnis Bugis juga
menggunakan bahasa ini sebagai bahasa
ibu.[19] Penutur bahasa Makassar terpusat
di wilayah barat daya semenanjung
Sulawesi Selatan, terutama di wilayah
pesisir yang subur di sekitar Kota
Makassar, Kabupaten Gowa, dan
Kabupaten Takalar.[20] Bahasa Makassar
juga dituturkan oleh sebagian penduduk
kabupaten Maros serta Pangkajene dan
Kepulauan di utara, berdampingan dengan
bahasa Bugis.[11][21][22] Penduduk
kabupaten Jeneponto serta Bantaeng
umumnya juga mengidentifikasi diri
sebagai bagian dari komunitas penutur
bahasa Makassar, walaupun ragam yang
mereka tuturkan (dialek Jeneponto atau
Turatea serta dialek Bantaeng)
lumayan
berbeda dari dialek yang digunakan di
Gowa dan Takalar.[20][21] Bahasa Konjo
yang berkerabat dekat dengan bahasa
Makassar dituturkan di wilayah
pegunungan Gowa serta di pesisir
Kabupaten Bulukumba,[23] sementara
bahasa Selayar dituturkan di Pulau Selayar di selatan
semenanjung.[20][24]

Sejarah
Bagian ini memerlukan pengembangan.
Pelajari selengkapnya

Status saat ini


Bahasa Makassar termasuk salah satu
bahasa daerah Indonesia yang cukup
berkembang.[17] Memasuki milenium
ketiga, bahasa ini masih digunakan
secara luas di daerah pedesaan serta di
sebagian wilayah Kota Makassar. Bahasa
Makassar juga masih dianggap penting
sebagai penanda identitas kesukuan.[25]
Akan tetapi, pada masyarakat urban,
pembauran antara bahasa Makassar
dan bahasa Indonesia melalui alih kode
atau campur kode lazim ditemui.[26]
Sebagian dari masyarakat urban
Makassar, terutama yang berasal dari
kelas menengah ataupun berlatar
belakang multietnis, juga menggunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa utama
dalam rumah tangga.[25] Ethnologue
menggolongkan bahasa Makassar
sebagai bahasa dengan tingkat 6b
(Terancam)
dalam skala EGIDS,[d] yang menunjukkan
bahwa walaupun bahasa ini masih lazim
digunakan dalam percakapan tatap muka,
proses transmisi atau pengajaran bahasa
secara alami antargenerasi sudah mulai
terganggu.[28]

Sistem penulisan
Bagian ini memerlukan pengembangan.
Pelajari selengkapnya

Fonologi

Vokal S…
Bahasa Makassar memiliki lima fonem
vokal, yaitu /a e i o u/.[29] Tidak ada
diftong dalam bahasa Makassar, walaupun
deret vokal monoftong dapat ditemukan,
seperti dalam kata tau 'orang', jai
'banyak', rua 'dua', dan sebagainya.[30][31]
1. Vokal[29]
Depan Tengah Belakang
Tertutup i u
Sedang e o
Terbuka a

Fonem vokal /e/ cenderung


direalisasikan sebagai vokal
semiterbuka [ɛ] jika berada di posisi
akhir kata atau sebelum suku kata dengan
bunyi [ɛ] lainnya. Bandingkan,
misalnya, antara pengucapan /e/
dalam kata leʼbaʼ [ˈleʔ.baʔ] 'sudah' dan
mange [ˈma.ŋɛ] 'pergi ke'.[29] Fonem
/o/ juga
memiliki alofon semiterbuka [ɔ] jika
berada di posisi akhir kata atau jika
mendahului suku kata dengan bunyi [ɔ],
seperti yang bisa ditemukan pada kata
lompo [ˈlɔ̃m.pɔ] 'besar' (bandingkan dengan
órasaʼ [ˈo.ra.saʔ] 'lebat').[32] Terlepas dari
letaknya dalam sebuah kata, sebagian
penutur cenderung mengucapkan kedua
vokal ini dengan posisi lidah yang lebih
tinggi (tertutup) sehingga mendekati
pengucapan fonem /i/ dan /u/.[33]

Vokal dapat diucapkan secara sengau jika


berada di sekitar konsonan sengau dalam
suku kata yang sama. Terdapat dua
tingkat intensitas penyengauan vokal,
yaitu penyengauan kuat dan penyengauan
lemah. Penyengauan lemah dapat
ditemukan pada vokal sebelum konsonan
sengau yang tidak berada pada akhir
ucapan. Penyengauan kuat dapat
ditemukan pada vokal sebelum konsonan
sengau akhir ucapan atau setelah konsonan
sengau secara umum. Penyengauan dapat
menyebar ke vokal dalam suku kata
setelah vokal sengau jika tidak ada
konsonan yang menghalangi. Walaupun
begitu, intensitas sengau dalam vokal
seperti ini tidak sebesar vokal yang
mendahuluinya, semisal dalam
pengucapan kata niaʼ [nı.ãʔ][e] 'ada'.
[34]

Konsonan S…
Terdapat 17 konsonan dalam bahasa
Makassar, seperti yang dijabarkan dalam
tabel berikut.[35][36]
2. Konsonan[35][36]
Dental/
Labial Palatal Velar Glotal
alveolar
Sengau m n ɲ ⟨ny⟩ ŋ ⟨ng⟩
nirsuara p t c k ʔ ⟨ʼ⟩
Hambat
bersuara b d ɟ ⟨j⟩ ɡ
Desis s h
Lateral l
Getar r
Semivokal[f] (w) j ⟨y⟩ w

Fonem /t/ merupakan satu-satunya


konsonan dengan pengucapan dental, tidak
seperti fonem /n d s l r/ yang
merupakan konsonan alveolar.[37]
Fonem hambat nirsuara /p t k/
umumnya diucapkan dengan sedikit
aspirasi (aliran udara), seperti dalam
kata katte [ˈkat.̪tʰɛ] 'kitaʼ, lampa [ˈlam.pʰa]
'pergi', dan kana [ˈkʰa.nã]
'kata'. Fonem /b/ dan /d/ memiliki
alofon
implosif [ɓ] dan [ɗ], terutama pada posisi
awal kata semisal balu [ˈɓa.lu] 'janda' dan
setelah bunyi [ʔ] seperti dalam kata
aʼdoleng [aʔ.ˈɗo.lẽŋ] 'menggelepai'.[38]
Kedua konsonan ini, terutama /b/ pada
posisi awal, terkadang juga direalisasikan
sebagai konsonan nirsuara tanpa
aspirasi.[39] Fonem palatal /c/ dapat
direalisasikan sebagai afrikat (bunyi
hambat dengan pelepasan desis) [cç]
atau bahkan [tʃ]. Fonem /ɟ/ juga dapat
diucapkan sebagai afrikat [ɟʝ]. Jukes
menganalisis kedua konsonan ini sebagai
konsonan hambat karena keduanya
memiliki padanan sengau palatal /ɲ/,
sebagaimana konsonan hambat oral lainnya
juga memiliki padanan sengau masing-
masing.[40]

Fonotaktik S…

Struktur dasar suku kata dalam bahasa


Makassar adalah (K1)V(K2). Posisi K1
dapat diisi oleh hampir seluruh konsonan,
sementara posisi K2 memiliki beberapa
batasan.[41] Pada suku kata yang terletak
dii akhir morfem, K2 dapat diisi oleh
bunyi hambat (K) atau bunyi sengau
(N) yang pengucapannya ditentukan oleh
beberapa aturan asimilasi. Bunyi K
berasimilasi (diucapkan sebagai
konsonan yang sama) dengan konsonan
nirsuara kecuali [h] dan direalisasikan
sebagai [ʔ] dalam konteks
lainnya. Bunyi N direalisasikan sebagai
bunyi sengau yang homorgan (diucapkan
pada tempat artikulasi yang sama)
sebelum konsonan hambat atau sengau,
berasimilasi dengan konsonan /l/ dan
/s/, serta direalisasikan sebagai [ŋ]
dalam konteks lainnya.[36][42]
Sedangkan pada suku kata di dalam
bentuk akar, bahasa Makassar
mengontraskan satu bunyi tambahan
pada posisi K2 selain K dan N, yaitu
/r/. Analisis ini didasarkan pada
kenyataan bahwa bahasa Makassar
membedakan antara deret bunyi lintas
suku kata [nr], [ʔr], dan [rr]. Walaupun
begitu, [rr] dapat pula dianggap
sebagai realisasi dari satu segmen
geminat murni alih-alih deret bunyi
lintas suku kata.[43]
3. Contoh kata menurut pola suku

[44][g]
kata
'oh'
V o (kata
seru)
PREP
KV
ri VK (partike

'rambut
'getah
KVK piʼ
pulut'
io
VV 'ya'
VVK aeng 'ayah'
KVV tau 'orang'
KVVK taung 'tahun'
VKVK uluʼ 'kepala'
KVKV sala 'salah'
KVKVK sabaʼ 'sebab'
KVKKVK leʼbaʼ 'sudah'
KVKVKV binánga 'sungai'
KVKVKVK pásaraʼ 'pasar'
KVKVKKV KALÚPPA 'lupa'
'kayu
KVKKVKVK KAʼLÚRUNG pohon
palem'
'ikan
KVKVKVKVK balakeboʼ
tamban'
 KVKVKVKKVK kalumanynyang 'kaya'

Bunyi /s l r/ dapat dikategorikan


sebagai kelompok kontinuan (bunyi yang
diucapkan tanpa menghalangi secara
penuh aliran udara yang keluar melalui
mulut) non- sengau, dan ketiga-
tiganya tidak dapat
mengisi posisi akhir suku kata kecuali
sebagai bagian dari deret konsonan
geminasi.[45] Kata dasar yang sejatinya
berakhir dengan konsonan-konsonan ini
akan diimbuhi vokal epentetis yang sama
dengan vokal di suku kata sebelumnya,
serta ditutup dengan konsonan hambat
glotal [ʔ],[46] seperti pada kata ótereʼ
/oter/ 'tali', bótoloʼ /botol/ 'botol', dan
rántasaʼ /rantas/ 'kotor'.[47] Elemen
tambahan ini juga disebut sebagai
deret "VK-gema" (echo-VC), dan
dapat memengaruhi posisi tekanan pada
sebuah kata (lihat bagian #Tekanan).
[31][48]

Umumnya, kata dasar dalam bahasa


Makassar memiliki panjang dua atau tiga
suku kata. Meski begitu, kata-kata
yang
lebih panjang dapat dibentuk karena sifat
bahasa Makassar yang aglutinatif serta
adanya proses reduplikasi (perulangan)
yang masih sangat produktif.[49] Menurut
Jukes, kata dengan panjang enam atau
tujuh suku kata lazim ditemukan dalam
bahasa Makassar, sementara kata dasar
dengan satu suku kata (yang bukan
merupakan pinjaman dari bahasa lain)
sangatlah jarang, walaupun ada beberapa
kata seru dan partikel yang terdiri dari
satu suku kata saja.[50]

Tekanan S…
Tekanan umumnya diberikan pada suku
kata penultima (kedua dari akhir) dari
sebuah kata dasar. Dalam kata ulang,
tekanan sekunder akan diberikan pada
unsur pertama, contohnya pada kata
ammèkang-mékang /amˌmekaŋˈmekaŋ/
'memancing-mancing (secara tidak
serius)'.[49][51] Sufiks umumnya dihitung
sebagai bagian dari unsur fonologis yang
diberikan tekanan, sementara enklitik
[49][52]
tidak dihitung (ekstrametrikal). Kata
gássing 'kuat', misalnya, jika ditambah
sufiks benefaktif -ang akan menjadi
gassíngang 'lebih kuat dari' dengan
tekanan pada suku kata penultima,
tetapi jika diberi enklitik pemarkah
persona pertama =aʼ akan menjadi
gássingaʼ 'saya
kuat', dengan tekanan pada suku kata
antepenultima (ketiga dari akhir).[53]

Morfem lainnya yang dihitung sebagai


bagian dari unsur yang diberi
tekanan adalah klitik afiksal[h]
pemarkah kepunyaan, seperti pada
kata tedóng≡ku (kerbau≡1.POSS) 'kerbau
saya'.[52] Khusus untuk pemarkah takrif
(definite marker)
≡a, morfem ini dihitung sebagai bagian
dari unsur yang diberi tekanan hanya jika
kata dasar yang diimbuhinya berakhiran
vokal seperti pada kata BATÚA 'batu
(itu)'—bandingkan dengan pola tekanan
pada kóngkonga 'anjing (itu)' yang kata
[55][56]
dasarnya berakhiran konsonan.
Sebuah kata dapat memiliki tekanan pada
suku kata keempat terakhir jika kata
tersebut diimbuhi kombinasi enklitik
dwisilabis seperti =mako (=ma PFV =ko 2),
contoh: náiʼmako 'naik!'.[52] Posisi tekanan
juga dapat dipengaruhi proses
degeminasi vokal, yaitu peleburan vokal
identik lintas morfem menjadi satu.
Misalnya, kata jappa 'jalan' jika
ditambah imbuhan -ang akan menjadi
jappáng 'berjalan dengan', dengan
tekanan pada suku kata ultima (akhir).
[57]

Tekanan pada kata-kata dasar


dengan VK-gema selalu terletak pada
suku kata antepenultima, contohnya
lápisiʼ 'lapis', bótoloʼ 'botol', pásaraʼ, dan
Mangkásaraʼ 'Makassar', karena suku
kata dengan VK- gema bersifat
ekstrametrikal.[31][48][47]
Akan tetapi, pengimbuhan sufiks -ang dan
-i akan menghapus suku kata epentetis
ini dan memindahkan tekanannya ke
posisi penultima, seperti pada kata
lapísi 'lapisi'.[58] Penambahan klitik
afiksal pemarkah kepunyaan juga
memindahkan tekanan ke posisi
penultima, tetapi tidak menghapus suku
kata epentetis ini, seperti pada kata
botolóʼna 'botolnya'. Sementara,
penambahan pemarkah takrif dan
enklitik tidak menghapus suku kata ini
maupun mengubah posisi tekanan,
seperti pada kata pásaraka 'pasar (itu)'
dan appásarakaʼ 'saya pergi ke pasar'.[45]
[59]

Tata bahasa
Pronomina persona S…

Pronomina atau kata ganti persona dalam


bahasa Makassar memiliki tiga bentuk,
yaitu 1) bentuk bebas, 2) proklitik yang
merujuk-silang (cross-reference) argumen
S dan P ('absolutif'), serta 3) enklitik
yang merujuk-silang argumen A ('ergatif').
[60][i]
Tabel berikut menunjukkan ketiga
bentuk pronomina ini beserta pemarkah
kepunyaan bagi masing-masing serinya.
[61]

4. Pronomina persona[61]
Pronomina bebas Proklitik Enklitik Pemarkah kepunyaan
Glos
(PRO) (ERG) (ABS) (POSS)

1 (i)nakke ku= =aʼ ≡ku

1PL.INCL/2POL (i)katte ki= =kiʼ ≡ta

1PL.EXCL †(i)kambe – *=kang †≡mang


2FAM (i)kau nu= =ko ≡nu

3 ia na= =i ≡na
Pronomina persona pertama jamak
inklusif
juga digunakan untuk merujuk kepada
persona kedua jamak sekaligus berfungsi
sebagai bentuk hormat bagi persona kedua
tunggal. Seri pronomina persona pertama
ku= lazimnya juga digunakan untuk
merujuk pada persona pertama jamak
dalam bahasa Makassar modern; pronomina
kambe dan pemarkah kepunyaan ≡mang
bersifat arkais, sementara enklitik =kang
hanya dapat muncul dalam bentuk
kombinasi dengan klitik pemarkah
modalitas dan aspek, seperti =pakang (=pa
[62]
IPF =kang 1PL.EXCL). Makna jamak dapat
dinyatakan lebih jelas dengan
menambahkan kata ngaseng 'semua'
setelah bentuk bebas, semisal ia–ngaseng
'mereka semua' dan ikau–ngaseng 'kalian
semua',[63] atau sebelum enklitik,
misalnya ngaseng=i 'mereka semua'.
Walaupun begitu, ngaseng tidak dapat
[62]
dipasangkan dengan proklitik.

Bentuk proklitik dan enklitik merupakan


bentuk pronomina yang paling umum
digunakan untuk merujuk pada
persona atau benda yang dituju (lihat
bagian #Klausa dasar untuk contoh
penggunaannya). Bentuk bebas lebih
jarang digunakan; pemakaiannya biasanya
terbatas pada klausa presentatif (klausa
yang menyatakan atau mengenalkan
sesuatu, lihat contoh 1), sebagai
penekanan (2), dalam frasa preposisional
yang
berfungsi sebagai argumen maupun
adjung
(3) , dan sebagai predikat (4).[64][j]

(1) Iaminjo allo makaruayya


ia =mo (a)njo allo
3PRO itu hari
=i
=PFV =3
maka- rua ≡a
ORD- dua ≡DEF
'Itulah hari kedua(nya).'[62]

(2) … lompo-lompoi anaʼna, na inakke,


tenapa kutianang
lompo- lompo =i anaʼ
RDP- besar =3 anak
≡na na i- nakke
≡3.POSS dan PERS- 1PRO
tena =pa ku= tianang
NEG =IPF 1= hamil
'… anaknya besar-besar, sedangkan
saya, belum lagi hamil.'[66]

(3) Amminawangaʼ ri katte


aN(N)- pinawang =a' ri
PREP
BV- ikut =1
katte
2FAMPRO
'Aku mengikutimu.'[66]

(4) Inakkeji
i- nakke =ja =i
PERS- 1PRO =LIM =3
[66]
'Ini hanya aku.'
Nomina dan frasa nomina S…

Ciri dan jenis nomina S…

Nomina atau kata benda dalam bahasa


Makassar merupakan kelas kata
yang dapat menjadi argumen bagi
sebuah
predikat, sehingga bisa dirujuk-silang oleh
klitik pronomina.[67] Nomina juga dapat
menjadi inti dari sebuah frasa nomina
(termasuk klausa relatif). Nomina dapat
berperan sebagai pemilik maupun yang
dimiliki dalam konstruksi kepemilikan;
klitik afiksal akan diimbuhkan pada
frasa nomina yang dimiliki. Ketakrifan
nomina dapat dinyatakan dengan klitik
afiksal
≡a. Nomina tanpa imbuhan juga dapat
menjadi predikat dalam sebuah kalimat.
Keseluruhan poin-poin utama ini
digambarkan dalam contoh berikut:
[68]

(5) Anaʼnai karaenga


anaʼ ≡na =i karaeng
anak ≡3.POSS =3 raja
≡a
≡DEF

'Ia (merupakan) anak sang


karaeng.'[69]

Selain itu, nomina juga dapat


dikhususkan oleh demonstrativa,
diterangkan oleh adjektiva, dikirakan
dengan numeralia, menjadi pelengkap
dalam frasa preposisional, serta
menjadi verba yang bermakna
'pakai/gunakan [nomina yang
dimaksud]' jika diimbuhi dengan
prefiks
aK-.[68]
Nomina yang biasanya diimbuhi klitika
afiksal takrif ≡a dan pemarkah
kepunyaan adalah nomina umum (common
noun).[70] Sementara itu, nomina diri atau
nama diri (proper noun) seperti nama
tempat, nama orang, dan gelar (tidak
termasuk panggilan kekerabatan) biasanya
tidak diimbuhi pemarkah takrif dan
kepunyaan, tetapi dapat dipasangkan
dengan prefiks personal i- seperti kelas
[71]
kata pronomina.

Beberapa nomina umum merupakan nomina


generik yang seringkali menjadi inti dari
sebuah kata majemuk, seperti kata
jeʼneʼ
'air', tai 'tahi', dan anaʼ 'anak'.[72]
Contoh kata-kata majemuk yang
diturunkan dari nomina generik ini
adalah jeʼneʼ inung 'air minum', tai bani
'lilin lebah' (arti harfiah: 'tahi lebah'),
dan anaʼ baine 'anak perempuan'.[73]
Istilah kekerabatan yang biasa
dijadikan sapaan juga tergolong
nomina umum, seperti misalnya kata
mangge 'ayah', anrong 'ibu', dan
sariʼbattang 'saudara'.[74] Contoh lainnya
adalah kata daeng yang digunakan
sebagai sapaan sopan secara umum,
atau oleh seorang istri kepada
suaminya.[73]

Kelompok nomina utama lainnya adalah


nomina temporal, yang biasanya
muncul setelah preposisi dalam
konstruksi adjung
untuk menyatakan waktu.[72] Contoh
nomina temporal adalah waktu jam
(seperti tetteʼ lima '5.00 [pukul lima]'),
waktu perkiraan berdasarkan
pembagian hari (seperti bariʼbasa 'pagi'),
hari-hari dalam seminggu, serta
tanggal, bulan dan musim.[75]

Nomina turunan S…

Nomina turunan dapat dibentuk dengan


beberapa proses morfologis produktif,
seperti reduplikasi dan pengimbuhan afiks
pa-, ka-, dan -ang, baik sendiri-sendiri
maupun secara kombinasi.[76] Tabel
berikut memaparkan beberapa proses
pembentukan nomina yang umum dalam
bahasa Makassar:[77][78]
5. Pembentukan nomina turunan
Makna yang
Proses Contoh
dihasilkan
bentuk
reduplikasi mungil atau tau 'orang' → tau-tau 'patung, boneka'
tiruan

pelaku,
pembuat
pa-AKAR atau jarang 'kuda' → pajarang 'penunggang kuda';
NOMINA/VERBA pengguna botoroʼ 'judi' → pabotoroʼ 'penjudi'

instrumental akkutaʼnang 'bertanya' → pakkutaʼnang 'perta
pa-DASAR VERBA[k] atau alat anjoʼjoʼ 'menunjuk' → panjoʼjoʼ 'telunjuk, penun

pa-DASAR VERBA instrumental appakagassing 'menguatkan' → pappakagassing


TURUNAN
[l] atau alat
penguat'
pengimbuhan
pa- tempat atau aʼjeʼneʼ 'mandi' → paʼjeʼnekang 'pemandian, wa
pa>DASAR VERBA<ang waktu angnganre 'makan' → pangnganreang 'piring'

orang yang
cenderung
bersifat
serupa
adjektiva
paK>ADJEKTIVA<ang[m] garring 'sakit' → paʼgarringang 'orang yang m
yang
dimaksud

ka>ADJEKTIVA<ang sifat kodi 'buruk' → kakodiang 'keburukan'


puncak sifat
ka>REDUPLIKASI sesuatu atau gassing 'kuat' → kagassing-gassingang 'puncak
pengimbuhan
ADJEKTIVA<ang seseorang
ka>...<ang

status atau
ka>AKAR VERBA<ang proses battu 'datang' → kabattuang 'kedatangan'

instrumental
pengimbuhan -ang atau alat buleʼ 'usung' → bulekang 'usungan'

Terdapat beberapa pengecualian dari pola


umum yang dijabarkan di atas. Misalnya,
reduplikasi kata oloʼ 'ulat' menjadi oloʼ-
oloʼ menghasilkan perluasan makna
menjadi 'binatang'.[96] Pengimbuhan
pa- pada dasar verba juga tidak selalu
mengindikasikan instrumen atau alat,
contohnya paʼmaiʼ 'napas, tabiat, hati'
(seperti dalam frasa lompo paʼmaiʼ 'besar
hati') yang diturunkan dari kata aʼmaiʼ
'bernapas'.[97][98] Pengimbuhan pa>...<ang
pada dasar verba ammanaʼ 'beranak'
menghasilkan kata pammanakang yang
bemakna 'keluarga', walaupun mungkin
saja kata ini awalnya merupakan
kiasan ('tempat untuk memiliki anak').
[99]

Frasa nomina S…
Komponen frasa nomina dalam bahasa
Makassar dapat dibagi menjadi tiga
golongan, yaitu 1) inti (head), 2)
pengkhusus (specifier), dan 3) pewatas
(modifier).[100] Yang dimaksud dengan
pengkhusus adalah demonstrativa dan
numeralia serta penggolong (classifer),
sementara pewatas dapat berupa nomina,
adjektiva, verba atau klausa relatif
yang memodifikasi nomina inti.
Pengkhusus juga berbeda dari pewatas
karena dapat diletakkan sebelum
nomina inti, seperti dalam frasa anjo
kongkong≡a (itu anjing≡DEF) 'anjing
itu'. Numeralia diletakkan sebelum
nomina inti jika nomina tersebut
bersifat takrif (6), tetapi
diletakkan setelahnya jika nomina tersebut
bersifat taktakrif (7).[101]

(6) Assibuntuluʼmaʼ rua tau Parancisiʼ


aK- si- buntuluʼ =ma =a
ʼ
MV- MUT- bertemu =PFV =1
rua tau Parancisiʼ
dua orang Perancis
'Saya bertemu dengan dua
orang Perancis.'[102]

(7) Assibuntuluʼmaʼ tau ruayya


Parancisiʼ
aK- si- buntuluʼ =ma =aʼ
MV-
MUT- bertemu =PFV =1
tau rua ≡a Parancisiʼ
orang dua ≡DEF Perancis
'Saya bertemu dengan dua orang
Perancis itu.'[102]

Pewatas selalu diletakkan setelah


nomina inti yang dimodifikasinya, dan
dapat berupa:[103]

nomina, seperti dalam frasa bawi


romang 'babi hutan'[104]
adjektiva, seperti dalam frasa
jukuʼ lompo 'ikan besar'[105]
verba, seperti dalam frasa
kappalaʼ anriʼbaʼ 'kapal
terbang'[105]
kata pemilik, seperti dalam
frasa tedonna i Ali 'kerbaunya si
Ali'[106] klausa relatif[107]
Klausa relatif dalam bahasa Makassar
langsung diletakkan setelah nomina inti
tanpa penanda khusus (tidak seperti
bahasa Indonesia yang memerlukan kata
seperti 'yang' sebelum klausa relatif).
Verba dalam klausa relatif akan
diberi pemarkah takrif ≡a.[107]

(8) Tau battua ri Jepang


tau battu ≡a ri
PREP
orang datang ≡DEF
Jepang
Jepang
'Orang yang datang
dari Jepang.'[107]

Verba S…
Bagian ini memerlukan pengembangan.
Pelajari selengkapnya

Klausa dasar S…

Klausa intransitif S…

Dalam klausa intransitif bahasa Makassar,


enklitik 'absolutif' (=ABS) digunakan untuk
merujuk-silang satu-satunya argumen
dalam klausa tersebut (S) jika
argumen tersebut bersifat takrif
(definite) atau kentara (salient)
menurut konteks percakapannya.
Enklitik ini cenderung dipasangkan pada
konstituen pertama dari sebuah klausa—
dengan kata lain, enklitik ini merupakan
enklitik Wackernagel, atau enklitik
yang lazimnya berada di posisi
kedua. Prefiks (imbuhan awalan) aK-
umumnya digunakan untuk membentuk
verba intransitif, walaupun beberapa
verba seperti tinro 'tidur' tidak
memerlukan prefiks ini.[108]

(11) Aʼjappai Balandayya


aK- jappa = Balanda
i
MV- jalan =3 Belanda
≡a
≡DEF
[108]
'Si orang Belanda berjalan.'

(12) Tinroi i Ali


tinro i Ali
=i PERS Ali
tidur =3
'Si Ali tidur.'[109]

Klausa intransitif juga dapat dibentuk


dengan inti (head) predikat nomina (13)
dan pronomina (contoh (4) di atas),
adjektiva (14) atau frasa preposisional
[109]
(15).

(13) Jarangaʼ
=aʼ
jarang
=1
kuda
'Saya (adalah seekor) kuda.'[109]

(14) Bambangi alloa


bambang allo ≡a
=i hari ≡DEF
panas =3
'Siang hari (ini) panas.'[109]
(15) Ri ballaʼnai
ri ballaʼ ≡na =i
PREP rumah ≡3.POSS =3
'Dia (berada) di rumahnya.'[109]

Klausa transitif S…

Verba dalam klausa transitif tidak


diimbuhi afiks, tetapi diberi proklitik
pronomina yang menandakan A atau
pelaku (actor) serta enklitik pronomina
yang menandakan P atau penanggap
(undergoer).[109]

(16) Nakokkokaʼ miongku


na= kokkoʼ =a miong
3= gigit ʼ kucing
≡k =1
u
≡1.POSS
'Kucingku menggigitku.'[109]

Jika kedua argumen yang melengkapi


predikat verba sama-sama merupakan
persona ketiga, dapat terjadi
ketaksaan mengenai argumen mana
yang dirujuk- silang oleh masing-
masing klitik. Dalam kasus ini, konteks
pragmatis diperlukan untuk
menentukan makna yang tepat bagi
klausa tersebut.[109]

(17) Naciniki tedongku i Ali


na= ciniʼ =i tedong
3= lihat =3 kerbau
≡k i Ali
u
PERS
≡1.POSS Ali
'Si Ali melihat
kerbauku.'/'Kerbauku melihat si
[109]
Ali.'

Agar dapat dirujuk-silang dengan klitik,


penanggap dalam klausa transitif harus
bersifat takrif. Contoh penanggap yang
bersifat takrif adalah nama dan gelar,
kata yang rujukannya kentara secara
pragmatis seperti pronomina persona
pertama dan kedua, serta kata yang
dipasangkan dengan pemarkah kepunyaan
(seperti miongku dan tedongku dalam
contoh 16–17) atau pemarkah takrif
(seperti untia dalam contoh 18).[110]

(18) Kukanrei untia


ku kanre unti ≡a
= pisang ≡DEF
1= =i
makan =3
'Saya memakan
pisang(nya).'[110]
Pengecualian terhadap pola umum
pembentukan klausa transitif terjadi jika
1) argumen A atau P menjadi fokus
dalam sebuah klausa; 2) klitik
dipasangkan pada kata lainnya karena
ada unsur sebelum verba; atau 3) jika
klausa tersebut memiliki penanggap
yang taktakrif (indefinite). Pola ketiga
dianalisis oleh Jukes sebagai bentuk
klausa semitransitif.[111]

Klausa semitransitif S…
Klausa semitransitif merupakan klausa
yang memiliki dua partisipan, tetapi hanya
satu partisipan saja yaitu pelaku yang
dirujuk-silang oleh klitik pronomina. Klitik
yang dipakai adalah seri enklitik
pronomina 'absolutif' (yang umumnya
digunakan untuk merujuk-silang S dan
P). Dengan kata lain, verba dalam klausa
semitransitif umumnya bersifat bivalen
atau dwivalen (memerlukan dua argumen
atau pelengkap verba) seperti dalam
klausa transitif, tetapi penanggap
dalam klausa sejenis ini berbeda dari P
dalam klausa transitif pada umumnya
karena tidak dirujuk-silang oleh klitik
pronomina. Prefiks aN(N)- umumnya
diimbuhkan pada verba semi-transitif.
Penanggap dalam klausa sejenis ini
bersifat taktakrif, seperti yang bisa
dilihat dari contoh (19);
bandingkan dengan contoh (18)
yang memiliki penanggap takrif.
[112]

(19) Angnganreaʼ unti


aN(N)- kanre =a unti
BV- makan ʼ pisang
=1
[110]
'Saya memakan pisang.'

Frasa nomina penanggap (seperti unti


'pisang' dalam contoh 18) umumnya
diperlukan untuk melengkapi klausa semi-
transitif. Walaupun begitu, frasa nomina
ini dapat dibuang dalam klausa
dengan verba ambitransitif (verba
yang dapat dimaknai sebagai verba
transitif maupun
intransitif) seperti kanre 'makan' dan
inung 'minum'. Klausa seperti ini dapat
dianggap memiliki makna intransitif.
[110]

(20) Angnganreaʼ
aN(N)- kanre =aʼ
BV- makan =1
[110]
'Saya makan.'

Fokus dan topik S…

Fokus S…

Argumen dalam sebuah kalimat dapat


muncul sebelum verba dan tidak dirujung-
silang dengan klitik. Argumen yang
berada pada posisi ini dianggap sebagai
argumen yang difokuskan, dengan fungsi
pragmatis
seperti disambiguasi, penekanan, atau
pemastian.[113]

(21) I Ali tinro


I Al tinro
PERS i tidur
Ali
'Si Ali tidur.'[113]

Jika dibandingkan dengan contoh (12)


yang sekadar merupakan pernyataan
fakta ('si Ali tidur'), contoh (21) dapat
menyatakan makna 'kuberitahu padamu,
si Ali sedang tidur', 'kudengar si Ali
sedang tidur', atau makna interogatif
'benarkah si Ali yang tidur?'. Contoh
ini juga merupakan jawaban bagi
pertanyaan inai tinro? 'siapa yang
tidur?'.[113]
Dalam kalimat transitif, salah satu
argumen (tetapi tidak keduanya) dapat
difokuskan.[114] Imbuhan aN- (bedakan
dari imbuhan semi-transitif aN(N)- yang
menukar konsonan awal kata dasar
dengan bunyi sengau) biasanya akan
ditambahkan pada kalimat dengan fokus
pada argumen pelaku, sementara kalimat
dengan fokus pada argumen penanggap
tidak memilki imbuhan apapun dan
hanya ditandai dengan ketiadaan klitik
yang merujuk- silang argumen
tersebut.[115] Contoh kalimat (22)
memfokuskan argumen A atau pelaku,
sementara contoh (23) memfokuskan
argumen P atau penanggap.[114]
(22) Kongkonga ambunoi mionga
kongkong ≡a aN- buno
anjing ≡DEF AF- bunuh
=i miong ≡a
=3 kucing ≡DEF
'Si anjing membunuh si kucing.'[114]

(23) Mionga nabuno kongkonga


miong ≡a na buno
kucing ≡DEF = bunuh
3=
kongkong ≡a
anjing ≡DEF
'Si anjing membunuh si kucing.'[114]

Topikalisasi S…
Topikalisasi merupakan proses pelepasan ke
kiri (left dislocation), atau pengedepanan
unsur kalimat yang disertai jeda
prosodik antara unsur tersebut dan
unsur kalimat lainnya. Topikalisasi
berbeda dari fokus karena argumen inti
yang dijadikan topik tetap harus
dirujuk-silang. Secara fungsi,
topikalisasi biasanya digunakan untuk
menetapkan topik baru dalam sebuah
naskah atau percakapan.[116] Perbedaan
antara topik dan fokus dapat dilihat
dalam contoh (24–25). Dalam kedua
contoh tersebut, argumen A (kongkonga)
berada pada posisi topik dan dirujuk-
silang oleh klitik na=, tetapi dalam
contoh (25), argumen P (mionga) yang
berada pada
posisi fokus tidak dirujuk-silang oleh klitik
apapun.[117]

(24) Kongkonga, nabunoi mionga


kongkong ≡a na= buno
anjing ≡DEF 3= bunuh
=i miong ≡a
=3 kucing ≡DEF
'Mengenai si anjing, ia membunuh
[117]
si kucing.'

(25) Kongkonga, mionga nabuno


kongkong ≡a miong ≡a
anjing ≡DEF kucing ≡DEF
na buno
= bunuh
3=
'Mengenai si anjing, si kucinglah
yang ia bunuh.'[117]

Kala, aspek, dan modalitas S…

Klitik kala dan aspek (merah) diletakkan sebelum


klitik pronomina (hijau) baik sebelum maupun setelah
kata dasar (biru)

Selain klitik pronomina persona yang


dipakai untuk merujuk-silang argumen
dalam sebuah kalimat, bahasa Makassar
juga memiliki serangkaian klitik yang
digunakan untuk memarkahi makna
gramatikal seperti kala (tense), aspek,
modalitas, dan polaritas (pembenaran atau
penyangkalan). Klitik yang termasuk
golongan ini adalah proklitik la= FUT dan
ta=
NEG, serta enklitik =mo PFV, =pa IPF, =ja LIM,

dan =ka OR.[118] Klitik jenis ini secara


umum diletakkan sebelum klitik pronomina
(jika ada), baik dalam posisi awal atau
akhir kata dasar yang diimbuhinya.[119]
Bunyi vokal dalam enklitik
aspek/modalitas akan dibuang jika diikuti
oleh enklitik pronomina
=aʼ dan =i, dengan pengecualian
enklitik
=ka yang menjadi =kai jika
dipasangkan dengan =i.[120] Tabel
berikut menunjukkan kombinasi antara
enklitik aspek/modalitas dan
pronomina:[121]
6. Enklitik aspek/modalitas dan pronomina[121]
=aʼ 1 =kiʼ 1PL.INCL/2POL =kang 1PL.EXCL =ko 2FAM =i 3
=mo PFV =ma =makiʼ =makang =mako =mi
ʼ
=pa IPF =paʼ =pakiʼ =pakang =pako =pi
=ja LIM =jaʼ =jakiʼ =jakang =jako =ji
=ka OR =kaʼ =kakiʼ =kakang =kako =ka
i

Proklitik ta=, walaupun merupakan morfem


penyangkal yang paling dasar dalam
bahasa Makassar, bukan merupakan
penyangkal yang paling umum digunakan.
Konstruksi sangkalan pada umumnya
menggunakan gabungan kata yang sudah
mengalami gramatikalisasi seperti taena
'tidak'.[121] Proklitik la= dapat digunakan
untuk menyatakan kala mendatang
(future tense) atau makna 'akan', seperti
dalam contoh berikut:[122]

Lamangeaʼ ri pasaraka ammuko


la= mange =aʼ ri
FUT= pergi =1 PREP

pasaraʼ ≡a ammuko
pasar ≡DEF besok
'Saya akan pergi ke
pasar besok.'[122]

Proklitik la= juga dapat ditemui dalam


pertanyaan, seperti dalam ungkapan
lakereko mae? atau lakeko mae? 'kamu
mau ke mana?' (arti harfiah: 'di
mana kamu akan berada?') yang
merupakan sapaan umum di Makassar.
[122]

Penggunaan klitik perfektif =mo


bersamaan dengan la= menandakan bahwa
hal yang dirujuk oleh kedua klitik
tersebut akan segera terjadi.[122]
Lakusaremako paʼarengang
la= ku= sare =mo =ko
FUT= 1= beri =PFV =2FA
M

pa> aK- areng <ang


NR> MV- nama <NR
'Akan kuberikan engkau penamaan
(sekarang juga).'[122]

Enklitik =mo sendiri pada dasarnya


merupakan pemarkah aspek perfektif atau
makna 'sudah/telah'.[123]

Pirambulammi battanta?
Sibulammaʼ tacciniʼ ceraʼ
piraN- bulang =mo =i
berapa bulan =PFV =3
battang ≡ta si-
perut ≡2POL.POSS se-
bulang =mo =aʼ ta= aK-
bulan =PFV =1 NEG= MV-

ciniʼ ceraʼ
lihat darah
'Sudah berapa bulan Anda hamil?
Sudah sebulan saya lihat tidak
ada darah.'[123]

Enklitik ini juga memiliki makna deontik


(menandakan keharusan atau
kepastian) dan dapat digunakan dalam
konstruksi imperatif seperti dalam
contoh (9). Dalam konstruksi
interogatif, penambahan enklitik =mo
menandakan bahwa penanya
menginginkan jawaban yang pasti.[124]
Ammempomakiʼ
amm- empo =mo =kiʼ
MV- duduk =PFV =2POL
[123]
'Duduklah.'

Keremi mae pammantangannu?


kere =mo mae pa>
di ada NR>
mana =i
=PFV =3
amm- antang <ang
MV- tinggal <NR
≡nu
≡2FAM.POSS
'Di mana sebetulnya
tempat tinggalmu?'[125]

Lawan dari =mo adalah enklitik


imperfektif =pa, yang menyampaikan
makna 'belum usai' atau 'masih'.[125]

Ingka seʼrepi kuboya


ingka seʼre =pa =i ku
=
tetapi satu =IPF =3 1=
boya
cari
'Tetapi masih ada satu hal lagi
yang hendak kucari.'[125]

Makna 'saja, hanya' (dalam artian


'tidak lebih dari' atau 'tiada lain
selain') disampaikan oleh enklitik
limitatif =ja.
Contoh penggunaan:[126]

Mannantu lompo, lompo bannanji


manna antu lompo lompo
walaupun itu besar besar
bannang =ja =i
benang =LIM =3
'Walaupun tebal, tebal benang
sajalah itu.'[126]

Enklitik =ka memiliki dua fungsi.


Dalam kalimat tanya, enklitik ini
digunakan untuk meminta kepastian atau
mengklarifikasi pernyataan lawan
bicara, serupa partikel question tag
dalam bahasa Inggris.[127]

Lanaungkako?
la= naung =k =ko
FUT a
turun =2FAM
=
=OR
'Kau jadi turun atau tidak?'[128]
Fungsi lain enklitik =ka adalah untuk
memarkahi pilihan atau kemungkinan,
misalnya tedong=ka jarang=ka (kerbau=OR
kuda=OR) '[pilihannya] antara kerbau atau
kuda'. Contoh penggunaan yang lebih
panjang dapat dilihat dari kutipan
mukadimah Kronik Gowa berikut:[128]

Ka punna taniassenga ruai kodina


kisaʼringkai kalenta karaeng–dudu
na kanaka tau ipantaraka tau
bawang–dudu
ka punna ta= ni-
BCS jika NEG= PASS-

asseng ≡a rua kodi


tahu ≡DEF buruk
=i
dua =3
≡na ki= saʼring =ka
≡3.POSS 2POL= rasa =OR
=i kale ≡nta karaeng
=3 diri ≡2POL.POSS raja
dudu na kana =k tau
sangat dan kata a orang
=OR
i pantaraʼ ≡a tau
PREP luar ≡DEF orang
bawang dudu
biasa sangat
'Sebab jikalau [kisah para karaeng
terdahulu] tidak diketahui, ada dua
bahayanya: entah kita merasa
bahwa kita ini setara dengan
para karaeng, atau orang luar
akan mengira bahwa kita ini
orang yang biasa-biasa
saja.'[128]
Simbol dan singkatan istilah
1 persona pertama
2 persona kedua
3 persona ketiga
ABS absolutif
AF fokus aktor/pelaku
BCS sebab, karena
BV bivalen/dwivalen
DEF definit/takrif/pasti
ERG ergatif
EXCL eksklusif
FAM bentuk akrab
FUT kala mendatang
INCL inklusif
MV monovalen/ekavalen
NEG negasi/sangkalan
NR pembentuk nomina
ORD ordinal/urutan
PERS personal
PFV aspek perfektif
POL bentuk sopan
POSS pemarkah posesi/kepunyaan
PREP preposisi
RDP reduplikasi/perulangan

Keterangan
a. ^ Etimostatistik adalah sebuah metode
analisis kosakata kembangan linguis
Rusia Sergei Starostin. Metode ini
menghitung seberapa banyak kosakata
dari secuplik teks dalam satu bahasa
yang dapat ditemukan kognatnya
dalam bahasa lain.[6]
b. ^ Functor statistics adalah sebuah
metode analisis kosakata yang
membandingkan antara morfem inti
seperti pronomina, kata tunjuk, kata
tanya, konjungsi, imbuhan dan
sebagainya.[7]
c. ^ Grimes & Grimes (1987) mendaftar
dialek keempat, yaitu dialek Maros-
Pangkep, terpisah dari dialek Gowa.
[14]
Glotolog versi 4.1 mengutip kajian ini
dan memasukkan Maros- Pangkep
sebagai salah satu dari tiga dialek
bahasa Makassar, minus dialek
Bantaeng.[15]
d. ^ EGIDS merupakan singkatan dari
Expanded Graded Intergenerational
Disruption Scale, sebuah skala yang
menilai seberapa parah pemutusan
rantai transmisi antargenerasi bagi
sebuah bahasa. Tingkat 1 menandakan
bahwa bahasa tersebut lazim digunakan
dalam komunikasi antarbangsa,
sementara tingkat 10 menandakan bahwa
bahasa tersebut
telah punah.[27]
e. ^ Khusus dalam contoh ini, tilde
(tanda gelombang) ganda menandakan
penyengauan yang lebih kuat daripada
tilde tunggal.[34]
f. ^ Pengucapan fonem /w/ melibatkan
dua tempat artikulasi, yaitu bibir
(labial) dan velum (velar).
g. ^ Contoh kata dalam dua baris
pertama yang diarsir kelabu bukan
merupakan kata dasar.[44]
h. ^ "Klitik afiksal" merupakan
sekumpulan morfem dalam bahasa
Makassar yang memiliki sebagian
sifat-sifat afiks maupun klitik. Batas
antara klitik afiksal dan morfem
lainnya ditandai dengan simbol ≡.[54]
i. ^ S merupakan subjek dari kalimat
intransitif, A merupakan subjek
kalimat transitif, dan P merupakan
objek kalimat transitif. Jika sebuah
bahasa memperlakukan S dan P
dengan cara yang sama, maka kedua
argumen ini digolongkan sebagai
bentuk absolutif, sementara A yang
diperlakukan berbeda digolongkan
sebagai bentuk ergatif. Jika sebuah
bahasa memperlakukan S dan A
dengan cara yang sama, keduanya
disebut sebagai bentuk nominatif,
sedangkan P yang diperlakukan
berbeda disebut sebagai bentuk
akusatif.

j. ^ Singkatan glos dan pemarkah


antarmorfem pada contoh-contoh di
artikel ini telah diselaraskan mengikuti
Jukes (2020). Simbol - akan digunakan
untuk imbuhan, = untuk klitik, dan ≡
untuk klitik afiksal.
Klitik pronomina hanya akan dilabeli
secara minimal dengan makna
persona, semisal 1= untuk proklitik
persona pertama ('ergatif'), dan =3
untuk enklitik persona ketiga
('absolutif').[65]
k. ^ "Dasar verba" yang dimaksud
adalah verba dengan awalan aK- atau
aN(N)-.[83] Manyambeang, Mulya &
Nasruddin (1996) menganalisis bentuk
ini sebagai paK-/paN(N)- + akar
[84]
verba, tetapi Jukes berpendapat
bahwa analisis ini kurang elegan
karena mengasumsikan jumlah morfem
imbuhan yang lebih banyak. Selain itu,
analisis ini juga tidak dapat
menjelaskan mengapa paK- dan
paN(N)- lazimnya ditemui pada
verba yang dapat diimbuhi aK- dan
[83]
aN(N)-.
l. ^ Contohnya seperti verba kausatif
yang diturunkan dari akar verba
dengan imbuhan pa- (homonim
dengan imbuhan pembentuk nomina)
atau diturunkan dari akar adjektiva
dengan paka-.[85]
m. ^ Khusus untuk bentuk ini, Jukes
menganalisis awalannya sebagai paK-
alih-alih pa- + aK-, karena adjektiva
dapat berdiri sendiri sebagai predikat
tanpa diimbuhi aK-.[88]
[91]
n. ^ Contoh penggunaan:
Kagassing-gassingannami ka>gassing-ga
NR>RDP- kuat
<ang≡na =mo
<NR≡3.POSS =PFV =i
=3

'Dia sudah mencapai puncak kekuatannya


sedang kuat-kuatnya'

Rujukan

Sitiran S…

1. ^ a b Ananta et al. (2015), hlm. 278.


2. ^ Smith (2017), hlm. 443–444.
3. ^ Grimes & Grimes (1987), hlm. 25–
29.
ab
4. ^ Jukes (2005), hlm. 649.
5. ^ a b Grimes & Grimes (1987),
hlm. 25.
6. ^ Sirk (1989), hlm. 72.
7. ^ a b Sirk (1989), hlm. 72–73.
8. ^ Jukes (2020), hlm. 24–25.
9. ^ a b Jukes (2020), hlm. 20.
10. ^ a b Grimes & Grimes
(1987), hlm. 25–26.
ab
11. ^ Friberg & Laskowske
(1989), hlm. 3.
12. ^ a b c Manyambeang, Mulya
& Nasruddin (1996), hlm. 2–
4.
13. ^ a b Jukes (2020), hlm. 20–21.
14. ^ Grimes & Grimes, hlm. 25–26.
15. ^ Hammarström, Forkel &
Haspelmath (2019).
16. ^ Ananta et al. (2015), hlm. 278, 280.
17. ^ a b Tabain & Jukes (2016), hlm. 99.
18. ^ Ananta et al. (2015), hlm. 280.
19. ^ Ananta et al. (2015), hlm. 292.
20. ^ a b c Jukes (2020), hlm. 4.
21. ^ a b Grimes & Grimes (1987), hlm. 27.
22. ^ Manyambeang, Mulya & Nasruddin
(1996), hlm. 2.
23. ^ Grimes & Grimes (1987), hlm. 28.
24. ^ Manyambeang, Mulya & Nasruddin
(1996), hlm. 3.
25. ^ a b Jukes (2020), hlm. 30.
26. ^ Tabain & Jukes (2016), hlm. 100.
27. ^ Lewis & Simons (2010), hlm. 109–
113.
28. ^ Eberhard, Simons & Fennig (2020).
29. ^ a b c Jukes (2020), hlm. 85.
30. ^ Manyambeang, Mulya & Nasruddin
(1996), hlm. 23.
31. ^ a b c Tabain & Jukes
(2016), hlm. 107.
32. ^ Jukes (2020), hlm. 86.
33. ^ Tabain & Jukes (2016), hlm. 105.
ab
34. ^ Jukes (2020), hlm. 90.
35. ^ a b Jukes (2005), hlm. 651.
abc
36. ^ Tabain & Jukes
(2016), hlm. 101.
37. ^ Jukes (2020), hlm. 70.
38. ^ Jukes (2020), hlm. 69–71, 73.
39. ^ Tabain & Jukes (2016), hlm. 101–
102.
40. ^ Jukes (2020), hlm. 71.
41. ^ Jukes (2020), hlm. 93.
42. ^ Jukes (2020), hlm. 93–94.
43. ^ Jukes (2020), hlm. 94–95.
ab
44. ^ Jukes (2020), hlm. 98.
45. ^ a b Jukes (2020), hlm. 108.
46. ^ Macknight (2012), hlm. 10.
47. ^ a b Basri, Broselow & Finer
(1999), hlm. 26.
48. ^ a b Jukes (2020), hlm. 107, 109.
49. ^ a b c Tabain & Jukes
(2016), hlm. 108.
50. ^ Jukes (2020), hlm. 97, 99–100.
51. ^ Jukes (2005), hlm. 651–652.
52. ^ a b c Jukes (2020), hlm. 101.
53. ^ Basri, Broselow & Finer (1999),
hlm. 25–26.
54. ^ Jukes (2020), hlm. 133–134.
55. ^ Jukes (2005), hlm. 652, 656, 659.
56. ^ Basri, Broselow & Finer (1999),
hlm. 27.
57. ^ Jukes (2005), hlm. 652–653.
58. ^ Jukes (2005), hlm. 653.
59. ^ Basri, Broselow & Finer (1999),
hlm. 26–27.
60. ^ Jukes (2005), hlm. 655, 658.
61. ^ a b Jukes (2020), hlm. 171.
62. ^ a b c Jukes (2020), hlm. 169.
63. ^ Macknight (2012), hlm. 13.
64. ^ Jukes (2020), hlm. 169–170.
65. ^ Jukes (2020), hlm. xvii–xviii.
66. ^ a b c Jukes (2020), hlm. 170.
67. ^ Jukes (2005), hlm. 657.
68. ^ a b Jukes (2020), hlm. 147, 196.
69. ^ Jukes (2020), hlm. 147.
70. ^ Jukes (2020), hlm. 196.
71. ^ Jukes (2020), hlm. 196–197.
72. ^ a b Jukes (2020), hlm. 197.
ab
73. ^ Jukes (2020), hlm. 199.
74. ^ Jukes (2020), hlm. 197, 199–200.
75. ^ Jukes (2020), hlm. 203–207.
76. ^ Jukes (2020), hlm. 208.
77. ^ Jukes (2020), hlm. 208–222.
78. ^ Manyambeang et al. (1979),
hlm. 38–39, 43–44, 46.
79. ^ Jukes (2020), hlm. 208–209.
80. ^ Mursalin et al. (1981), hlm. 45.
81. ^ Jukes (2020), hlm. 209–210.
82. ^ Manyambeang et al. (1979), hlm. 38.
ab
83. ^ Jukes (2020), hlm. 211.
84. ^ Manyambeang, Mulya & Nasruddin
(1996), hlm. 82–83.
85. ^ a b c Jukes (2020), hlm. 211–212.
86. ^ Manyambeang et al. (1979),
hlm. 38–39.
87. ^ Jukes (2020), hlm. 214–215.
88. ^ a b Jukes (2020), hlm. 216–217.
89. ^ Jukes (2020), hlm. 216–218.
90. ^ a b Manyambeang et al. (1979),
hlm. 46.
91. ^ Jukes (2020), hlm. 218.
92. ^ Jukes (2020), hlm. 218–219.
93. ^ Jukes (2020), hlm. 219–220.
94. ^ Jukes (2020), hlm. 221–222.
95. ^ Manyambeang et al. (1979),
hlm. 43–44.
96. ^ Jukes (2020), hlm. 209.
97. ^ Jukes (2020), hlm. 212–213.
98. ^ Manyambeang et al. (1979), hlm. 38,
57.
99. ^ Jukes (2020), hlm. 215–216.
100. ^ Jukes (2020), hlm. 222.
101. ^ Jukes (2020), hlm. 222–224.
102. ^ a b Jukes (2020), hlm. 223.
103. ^ Jukes (2020), hlm. 224–226.
104. ^ Jukes (2020), hlm. 224.
105. ^ a b Jukes (2020), hlm. 225.
106. ^ Jukes (2020), hlm. 137, 224.
107. ^ a b c Jukes (2020), hlm. 226.
108. ^ a b Jukes (2013a), hlm. 68.
109. ^ a b c d e f g h i Jukes (2013a), hlm. 69.
110. ^ a b c d e Jukes (2013a), hlm. 70.
111. ^ Jukes (2013a), hlm. 69–70.
112. ^ Jukes (2013a), hlm. 70–71.
113. ^ a b c Jukes (2013a), hlm. 79.
114. ^ a b c d Jukes (2005), hlm. 667.
115. ^ Jukes (2013a), hlm. 80.
116. ^ Jukes (2020), hlm. 338–339.
117. ^ a b c Jukes (2005), hlm. 668.
118. ^ Jukes (2013b), hlm. 123–124.
119. ^ Jukes (2013b), hlm. 124.
120. ^ Jukes (2020), hlm. 126, 132.
abc
121. ^ Jukes (2013b), hlm. 125.
122. ^ a b c d e Jukes (2013b), hlm. 127.
abc
123. ^ Jukes (2013b), hlm. 128.
124. ^ Jukes (2013b), hlm. 128–129.
125. ^ a b c Jukes (2013b), hlm. 129.
126. ^ a b Jukes (2013b), hlm. 130.
127. ^ Jukes (2020), hlm. 132–133.
128. ^ a b c Jukes (2020), hlm. 133.
Daftar pustaka S…

Ananta, Aris; Arifin, Evi Nurvidya; Hasbullah,


M Sairi; Handayani, Nur Budi;
Pramono, Agus (2015). Demography of
Indonesia's Ethnicity. Singapura:
Institute of Southeast Asian
Studies. ISBN 9789814519878.
Basang, Djirong; Arief, Aburaerah (1981).
Struktur Bahasa Makassar . Jakarta:
Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
OCLC 17565227 .
Basri, Hasan; Broselow, Ellen; Finer, Daniel
(1999). "Clitics and Crisp Edges in
Makassarese" . Toronto Working
Papers in Linguistics. 16 (2).
Bellwood, Peter (2007). Prehistory of the Indo-
Malaysian Archipelago (edisi ke-
3). Canberra: ANU E
Press.
ISBN 9781921313127.
Bulbeck, David (2008). "An Archaeological
Perspective on the Diversification of
the Languages of the South
Sulawesi Stock". Dalam Truman
Simanjuntak.
Austronesian in Sulawesi. Depok:
Center for Prehistoric and
Austronesian Studies. hlm. 185–212.
ISBN 9786028174077.
Cummings, William (2003). "Rethinking the
Imbrication of Orality and Literacy:
Historical Discourse in Early Modern
Makassar". Journal of Asian Studies. 62
(2): 531–551. doi:10.2307/3096248 .
Eberhard, David M.; Simons, Gary F.;
Fennig, Charles D., ed. (2020).
"Makasar" .
Ethnologue: Languages of the World
(edisi ke-23). Dallas, Texas: SIL
International.
Evans, Nicholas (1992). "Macassan Loanwords
in Top End Languages". Australian
Journal of Linguistics. 12 (1): 45–91.
doi:10.1080/07268609208599471 .
Finer, Daniel; Basri, Hasan (2020). "Clause
Truncation in South Sulawesi:
Restructuring and Nominalization" .
Dalam Ileana Paul. Proceedings of the
Twenty-Sixth Meeting of the
Austronesian Formal Linguistics
Association (AFLA). Ontario:
University of Western Ontario.
hlm. 88–105.
Friberg, Timothy; Laskowske, Thomas V.
(1989). "South Sulawesi Languages"
(PDF). Nusa. 31: 1–18.
Grimes, Charles E.; Grimes, Barbara D.
(1987). Languages of South Sulawesi.
Pacific Linguistics. D78. Canberra:
Pacific Linguistics, The Australian
National University. doi:10.15144/PL-
D78 .
Hammarström, Harald; Forkel, Robert;
Haspelmath, Martin, ed. (2019).
"Makasar" . Glottolog 4.1. Jena,
Jerman: Max Planck Institute for
the Science of Human History.
Jukes, Anthony (2005). "Makassar". Dalam K.
Alexander Adelaar; Nikolaus
Himmelmann. The Austronesian
Languages of Asia and Madagascar.
London dan New York: Routledge.
hlm. 649–682. ISBN 9780700712861.
——— (2013a). "Voice, Valence, and Focus
in Makassarese". Nusa. 54: 67–84.
hdl:10108/71806 .
——— (2013b). "Aspectual and Modal
Clitics in Makassarese". Nusa. 55:
123–133. hdl:10108/74329 .
——— (2015). "Nominalized Clauses
in Makasar". Nusa. 59: 21–32.
hdl:10108/86505 .
——— (2020). A Grammar of Makasar.
Grammars and Sketches of the
World's Languages. 10. Leiden: Brill.
ISBN 9789004412668.
Kaseng, Syahruddin (1978). Kedudukan dan
Fungsi Bahasa Makassar di Sulawesi
Selatan . Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
OCLC 1128305657 .
Lewis, M. Paul; Simons, Gary F. (2010).
"Assessing Endangerment: Exp anding
Fishman's GIDS" (PDF). Revue
roumaine de linguistique. 55 (2): 103–
120.
Liebner, Horst (1993). "Remarks on the
Terminology of Boatbuilding and
Seamanship in Some Languages of
South Sulawesi". Indonesia Circle. 21
(59): 18–45.
doi:10.1080/03062849208729790 .
——— (2005). "Indigenous Concepts of
Orientation of South Sulawesi
Sailors". Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde. 161 (2–3):
269–317. doi:10.1163/22134379-
90003710 .
Macknight, Charles Campbell, ed. (2012).
Bugis and Makasar: Two Short
Grammars (PDF). South Sulawesi
Studies. 1. Diterjemahkan oleh
Charles Campbell Macknight.
Canberra: Karuda Press.
ISBN 9780977598335.
Manyambeang, Abdul Kadir; Syarif,
Abdul Azis; Hamid, Abdul Rahim;
Basang, Djirong; Arief,
Aburaerah (1979).
Morfologi dan Sintaksis Bahasa Makassar
. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
OCLC 8186422 .
———; Mulya, Abdul Kadir; Nasruddin
(1996).
Tata Bahasa Makassar . Jakarta:
Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
ISBN 9789794596821.
Miller, Christopher (2010). "A Gujarati
Origin
for Scripts of Sumatra, Sulawesi and
the Philippines". Dalam Nicholas Rolle;
Jeremy Steffman; John Sylak-
Glassman. Proceedings of the Thirty
Sixth Annual Meeting of the Berkeley
Linguistics Society. Berkeley:
Berkeley Linguistics Society.
hlm. 276–291.
doi:10.3765/bls.v36i1.3917 .
Mills, Roger Frederick (1975). "The
Reconstruction of Proto-South-
Sulawesi". Archipel. 10: 205–
224. doi:10.3406/arch.1975.1250 .
Mursalin, Said; Wahid, Sugira; Syarif, Abdul
Azis; Rasjid, Abdul Hamid; Sannang,
Ramli (1984). Sistem Perulangan
Bahasa Makassar . Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa. OCLC 579977038 .
Noorduyn, Jacobus (1991). "The Manuscripts
of the Makasarese Chronicle of Goa
and Talloq: An Evaluation".
Bijdragen Tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde.
147 (4): 454–484.
doi:10.1163/22134379-90003178 .
——— (1993). "Variation in the
Bugis/Makasarese Script". Bijdragen
Tot de Taal-, Land- en Volkenkunde.
149 (3): 533–570.
doi:10.1163/22134379-90003120 .
Rabiah, Sitti (2012). Revitalisasi Bahasa
Daerah Makassar Melalui
Pengembangan Bahan Ajar Bahasa
Makassar Sebagai Muatan Lokal.
Kongres Internasional II Bahasa-
Bahasa Daerah Sulawesi Selatan.
Makassar: Balai Bahasa Provinsi
Sulawesi Selatan dan Provinsi
Sulawesi Barat.
doi:10.31227/osf.io/bu64e .
——— (2014). Analisis Kritis Terhadap
Eksistensi Bahasa Daerah Makassar
Sebagai Muatan Lokal di Sekolah
Dasar Kota Makassar Pasca
Implementasi Kurikulum 2013.
Musyawarah dan Seminar Nasional
Asosiasi Jurusan/Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia (AJPBSI). Surakarta:
Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia,
FKIP, Universitas Sebelas Maret.
doi:10.31227/osf.io/5nygu .
Rivai, Mantasiah (2017). Sintaksis Bahasa
Makassar: Tinjauan Transformasi
Generatif. Yogyakarta: Deepublish.
ISBN 9786024532697.
Sirk, Ülo (1989). "On the Evidential Basis
for the South Sulawesi Language
Group " (PDF). Nusa. 31: 55–82.
Smith, Alexander D. (2017). "The Western
Malayo-Polynesian Problem". Oceanic
Linguistics. 56 (2): 435–490.
doi:10.1353/ol.2017.0021 .
Tabain, Marija; Jukes, Anthony (2016).
"Makasar". Journal of the International
Phonetic Association. 46 (1): 99–111.
doi:10.1017/S002510031500033X .
Urry, James; Walsh, Michael (1981). "The Lost
'Macassar Language' of Northern
Australia". Aboriginal History. 5 (2):
90–108. doi:10.22459/AH.05.2011.06 .
Walker, Alan; Zorc, R. David (1981).
"Austronesian Loanwords in
Yolngu- Matha of Northeast
Arnhem Land". Aboriginal History. 5
(2): 109–134.
doi:10.22459/AH.05.2011.07 .

Pranala luar
Uji coba Wikipedia bahasa Makassar di
Wikimedia Incubator

Kosakata dasar bahasa Makassar di


Austronesian Basic Vocabulary
Database
Daftar lema bahasa Makassar
di Wiktionary
Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Bahasa_Makassar&oldid=17572280"

Terakhir disunting 1 bulan yang lalu oleh Blue Sonic

Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0kecuali


dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai