Anda di halaman 1dari 8

MITOLOGISASI DAN DEMITOLOGISASI JAWANISME

(Handout )

Tulisan ini merupakan handout untuk pengantar diskusi. Hal-hal yang dicakup
adalah sebagai berikut :
1. Pengertian dan contoh – contoh mitologi dan demitologisasi jawanisme.
2. Budaya politik mataram, sebagai salah satu subkultur jawa.
3. Sumbangan budaya jawa bagi kebudayaan sekarang.
Apa yang akan sajikan belum merupakan pemikiran yang tuntas, bahkan
mungkin layak diperdebatkan. Tetapi justru karena itu diharapkan lebih memberi
peluang untuk berlangsungnya diskusi. Marilah kita awali dengan mencoba
memahami pengertian mitologisasi dan demitologisasi.

Pengertian
Untuk memahami pengertian mitologisasi, kita perlu mengerti dulu asal
katanya, yaitu mitos atau muthos ( bahasa Yunani ). Anggapan umum mengasrtikan
mitos sebagai cerita rekaan tentang dewa – dewa. Karena itu mitos tidak berdasarkan
peristiwa sejarah.
Tetapi di lingkungan ilmuwan mitos mempunyai pengertian lain, seperti
diterangkan oleh Butjipto Wirjasuprato dalam tulisannya berjudul ”Apa sebabnya
Kediri dan daerah sekitarnya tampil kemuka dalam sejarah ” ( Laporan Konggres
Ilmu Pengetahuan Pertama, Malang, 1958 ) dan B.Rahmanto dalam tulisannya
berjudul ” Ke Arah Pemahaman Lebih Baik tentang Mitos ” (majalah Basis,
September 1993 ) .
Dalam keterangan kedua penulis itu kita dapat mengemukakan bahwa mitos
memang cerita rekaan yang memperdewa kegagahan atau kepahlawanan nenek-
moyang. cerita itu diulang – ulang, direka-reka atau ditambah-tambah sehingga
nampak atau terasa lebih hebat daripada kisah senyatanya. Anakj keturunan hidup
meniru perilaku nenek-moyamg. Mereka belajar hidup dari mitos, dan merasa aman
kalau bertindak meniru nenek-moyang.
Karena cerita itu diulang-ulang, direka-reka dan ditambah-tambah,maka
mungkin sekali kisah atau fakta yang sebenarnya menjadi bagian kecil atau inti dari
seliruh mitos. Tetapi pada dasarnya inti dari mitos adalah kisah histori, meskipun
mungkin pada awalnya itu hanyalah oeritera rakyat belaka tentang kegagahan nenek-
moyang dalam membuka hutan dan mengembangkan peradapan.
Dari kata muthos, bagi kita mitos, turun kata muthologis ( bahasa Yunani ),
bahasa kita mitologi, yang berarti menghasilkan oeritera. Istilah mythology dalam
bahasa Inggris memang berarti muthologia, akan tetapi dengan pengertian yang
berkembgang menjadi studi tentang mitos, isi mitos atau serangkaian mitos khusus.
Dari kata mitologi menuollah kata mitologisasi (das mythologisierung,bahasa
jerman ) yang berarti poemitosan, pembentukan atau rekayasa penyusunan mitos.
Salah satu karya yasng dapat digolongkan sebagai mitos adalah Serat Kandha, yang
kemudian dikembangkan menjadi Bebad Tanah Jawi ( Sejarah Tradisional Jawa ),
yang dikodifikasikan pertama kali pada jaman Sultan Agung.
Bebad Tanah Jawi berisi kisah yang sebagian adalah mitos keunggulan nenek-
moyang raja-raja Mataram. Kisah itu berawal dari para pendahulu. Karena itu dapat
diketahui bagaimana asal-usul dinasti Mataram.Dan tidak kepalang tanggung nenek –
moyang dinasti mataran bermula dari Bapa/Nabi Adam, manusia pertama. Dari
silsilah yang termuat dari Bebad Tanah Jawi dapat dikethui bahwa Panembahan
Senapati, pendiri kerajaan Mataram, adalah keturunan ke 52 dan Sultan Agung
keturunan ke 54 dari Adam. Suatu hal yang menarik adalah terdapatnya nama-nama
nabi ( misalnya Nuh dan Sis atau Sesth ), dewa-dewa dalam pewayangan ( nisalnya
Sang Hyang Wenang, Bethara Guru, Brama ) dan tokoh-tokoh pandawa, seperti
Pandu, Arjuna dan Perikesit ), diteruskan dengan raja-raja Kediri, Galuh – Pajajaran
dan kemudian Majapahit.
Bagaimana halnya dengan Jawanisme & kata isme biasa diartikan sebagai
paham, aliran atau ajaran, yang merupakan hasil akal- budi manusia. Kalau begitu
maka Jawanisme merupakan suatu paham tantang alam dan kehidupan menurut orang
jawa. Karena itu Jawamisme dapat diartikan sebagai paham ehidupan orang jawa,
menyangkut sangkan – paraning dumadi ( filsafat jawa ), budaya dalam arti luas,
termasuk politik dan etika, kepercayaan jawa dsb.
Jawanisme mengandung unsur-unsur jawa asli, unsur-unsur dari budaya
Hindu, Islam dan mungkin juga Kristen. Menurut sangkan-paraning dumadi manusia
berasal dari Sang Paring Gesang ( Sing Gawe Urip ) dan kalau meninggal akan bali
nyang asale (Kembali ke Asalnya ).
Supaya orang dapat hidup dengan slamat dan pada waktunya nanti kembali ke
asalnya, maka orang mengadakan upacara-upacara pemujaan bagi Sang Paring
Gesang, yang juga disebut ritus. Demi anaknya generasi kemudian meniru atau
merngulang kebiasaan nenek-moyang. Ulangan dari pemujaan nenek-moyang yang
terus –menerus melahirkan ritus.
Ritus itu mengalami perkembangan baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Macamnya bertambah dan pelaksanaannya berubah dari sederhana menjadi rumit,
sehingga menjadi monopoli kelompok tertentu. Itulah bagian dari mitologisasi.

Sejumlah Contoh
Sudah disebutkan di depan bagaimana dinasti Mataram, dengan bantuan para
pujangga keraton, merekayasa silsilah mulai dari Adam.Masih banyak contoh produk
mitologisasi, yang umumnya terkait dengan pembinaan keunggulan.
Bahwa dinasti Mataram memiliki keunggulan tak perlu diragukan lagi.Tetapi
demi kokohnya dinasti itu menduduki tahta Mataram, berbagai mitos yang makin
memperlihatkan kejayaan dinasti itu perlu direkayasa. Dengan demikian dinasti
Mataram akan nampak begitu kuasa, itulah yang disebut mencapai tingkat
keagungbinataraan, sehingga dinasti lain, apalagi orang kebanyakan, lebih memilih
tunduk, dan itu dapat tanpa diperangi,daripaeda melawan Mataram.
Disajikan di bawah ini sejumlah contoh produk mitologisasi :
1. Mitos perkawinan Senapati dan Sultan Agung dengan Ratu Kidul, penguasa
lautan Selatan ( segara Kidul ). Kedua raja Mataran itu memang
unggul.Supaya lebih flamboyan, keduanya dikatakan dapat menikahi Ratu
Kidul, yang sebenarnya adalah makhluk halus.
2. Mitos Sultan Agung sering salat jumat di mesjid mekkah dan menggalahkan
raja Minangkabau tanpa perang, sekali lagi menunjukan keunggulan raja
Mataram itu.
3. Mitos keunggulan Ki Ageng Sela, nenek –moyang raja-raja Mataram. Ia rajin
bekerja,terbukti meskipun hari hujan ia tetap ke sawah. Dan pada saat hari
hujan, ia dapat menangkap petir.
4. Mitos keunggula Pangeran Puger dalam perolehan wahyu keraton dan
kisahnya melawan Tenung Walanda untuk legitimasinya sebagai paku
Duwono I.
5. Mitos Pangeran Diponegoro memperoleh dukungan dari Ratu Kidul dan
sawab dari Sultan Agung untuk memimpin perang melawam Belanda.
6. Mitos R.M. Dorojatun menerima wangsit dari Sultan Agung untuk segera mau
menandatangani kontrak politik dengan Belanda menjelang penobatannya
menjadi Hamengku Buwono IX.
Ada pendapat bahwa mitos keunggulan raja-raja Mataram ada kaitannya
dengan ekosistemnya. Kita ketahui bahwa di sebelah utara Mataram terdapat
G.Merapi yang sering meletus dan memuntahkan lahar. Di selatan terdapat samodra
dengan gelombang yang besar. Baik G.Merapi maupum lautan Selatan menimbulkan
rasa cemas pada orang kebanyakan. Karena itu untuk menghadapi kemungkinan
kemurkaan G.Merapi dan lautan Selatan pujangga keraton membuat mitos
keunggulan raja-raja Mataram. Dengan keunggulan itu bahaya dari Merapi dan lautan
Selatan tidak perlu dicemaskan. Untuk itu baik ke G.Merapi maupun lautan Selatan
diadakan korban, yang disebut labuhan.
Demikianlah uraian mengenai mitos dan mitologisasi. Baiklah kita teruskan
dengan pembicaraan tentang budaya politik.

Budaya Politik
Mataram menghasilkan konsep kekuasaan yang pernah saya ikut
mempopulerkannya, yaitu konsep atau dokktrin keagungbinataraan. Garis besarnya
adalah sebagai berikut. Doktrin keagungbinateraan mengandung pengakuan bahwa
kekuasaan raja itu ” agung binathara, bau dondha nykrawati, berbudi bawa leksana,
ambog adil para marta ” ( Seagung kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa
dunia, meluap budi luhur mulianya, dan bersikap adil terhadsap sesama ).
Jadi menurut konsep kekuasaan jawa, raja memang berkuasa secara absolut.
Tetapi kekuasaan absolut itu diimbangin dengan kewajiban moral yang besar juga
untuk kesejahteraan rakyatnya. Karena itu dalam konsep kekuasaan jawa dikenal juga
sebagai tugas raja : njaga tata tentreming praja ( menjaga supaya masyarakat teratur
dan dengan demikian ketentraman terpelihara ).
Dengan demkian konsep kekuasaan jawa menentukan bahwa kekuasaan yang
absolut itu harus diperuntukan bagi kesejahteraan yang diperintah oleh raja.
Sebaliknya, supaya raja dapat menjalankan tugasnya, rakyat mempunyai kewajiban-
kewajiban yang harus dilaksanakannya. Dengan demikian antara raja dan rakyat
berlaku prinsip jumbuhing kawula-guanti atau pamoring kawula-gusti.
Agar supaya kekuasaan itu diselenggarakan secara berdaya dan berhasil guna,
maka dalam konsep kekuasaan jawa dikenal adanya konsep kewilayahan, birokrasi
dan etika.
Konsep supaya kekuasaan tercermin dalam gambaran sebagai berikut :
1. Pada tingkat pusat terdapat tingkat keraton, negara atau kuthagara, yaitu
wilayah inti, tempat tinggal raja dan keluarganya.
2. Negara agung, yaitu daerah dimana terletak tanah lungguh (apanage ) dari para
bangsawan keluarga mataram;
3. Mancanegara, yaitu daerah barat di luar negara agung, kira-kira Panaraga ke
timur dan Purworejo ke barat ;
4. Daerah pesisir wetan, kira-kira demak ke timur, dan pesisir kilen, kira-kira
demak ke barat.
Untuk menyelenggarakan pemerintahan Mataram mempunyai birokrasi,
menyangkut urusan pusat dan daerah. Di pusat birokrasi dipimpin oleh Patih atau
Pepatih Dalem. Ia membawakan sejumlah pejabat atau nayaka, semacam kepala
departemen, dan disebut wedana. Patih juga membawahi milter dan juga para bupati.
Birokrasi di kabupaten merupakan bentuk tiruan dalam ukuran yang lebih
kecil dari birokrasi kerajaan. Bupati atau adipati pada hakekatnya adalah raja kecil,
taklukan dari raja besar.
Doktrin keagungbinateraan mengajarkan bahwa raja harus membangun
kerajaannya, sehingga kerajaannya menjadi pusat politik yang tertinggi dan paling
paling kuasa. Kekuasaan raja yang besar ditandai oleh :
1. Wilayah kerajaan yang luas
2. Banyaknya kerajaan taklukan dengan berbagai barang persembahan yang
disampaikan kepada raja atasannya;
3. Kesetiaan para bupati dan punggawa kerajaan lainnya dalam melaksanakan
pekerjaannya dan kehadiran mereka dalam paseban;
4. Kebesaran dan kemeriahan upacara;
5. besarnya tentara dalam berbagai kesatuan
6. Kekayaan yang dimiliki raja, gelar-gelar yang disandang dan kemashurannya
terdengar sampai negeri yang begitu jauh;
7. Seluruh kekuasaan menjadi satu ditangannya, tanpa ada yang menandingi.
Sebagaimana disebut di depan Mataran juga mengembangkan etika, yang
dalam bahasa jawa disebut piwulang ( ajaran ) tata perilaku yang harus diikuti oleh
baik raja, bangsawan, penjabat ataupun rakyat. Ajaran perilaku itu termuat dalam
banyak kitap seperti Sastragendhing, Nitisruti, Nitisastra, Panitisastra, Wulangreh dan
Wedhatama, serta Astabrata.
Pada umumnya disepakati oleh para penulis sejarah Mataram bahwa Sultan
Agung adalah raja yang terbesar. Pada masanbya Mataram menguasai daerah yang
paling luas serta mempunyai daerah pengaruh di luar jawa. Pada masa Sultan Agung
Mataram jaya bukan hanya dalam bidang politik, tetapi juga dalam bidang lain.
Mataram pada jamannya mengendalikan ekonomi dan memajukan kebudayaan jawa,
antara lain dengan memasukkan banyak unsur budaya baru dari luar dan
memadukannya dengan unsur-unsur budaya yang telah ada. Pada masanya aspek
keagungbinatharanya terwujud mendekati gambaran idealnya.
Dengan terwujudnya keagungbinathata, bukan berarti terwujud juga aspek
berbudi bawa leksana dan ambeg adil para martanya. Bahkan ada tanda-tanda bahwa
Sultan Agung adalah raja yang memerintah dengan sangat keras. Pejabat-pejabat yang
gagal menjalankan tugas dihukum mati.

Demitologisasi Jawanisme
Demitologisasi berarti peniadaan mitos. Demitologisasai memisahkan mana
yang frakta dan mana yang rekayasa. Karena itu hanya yang berbau mitos dapat
terkena demitologisasi. Peniadaan mitos dapat terjadi lewat :
a. Permuniaan agama;
b. Pengembangan Ilmu pengetahuan.
Demitologisasi lewat pemurnian agama meniadakan hal-hal yang bertentangan
dengan paham agama, misalnya tentang dewa-dewa, yang diantaranya dinyatakan
menjadi nenek moyang raja –raja Mataram. Perkawinan Senapati dan Sultan Agung
dengan Ratu Kidul adalah mitos yang kurang sesuai dengan ajaran islam.
Tetapi, seperti telah disebut di depan, mitos itu disusun berdasarkan sejarah,
yaitu keunggulan dinasti Mataram. Pandangan modern berdasarkan ilmu pengetahuan
mengalami demitologisasi semacam itu pula. Para anthropolog dan sejarawan,
misalnya, melakukan demitologisasi untuk mendapat nformasi faktual. Sejarawan
hanya menerima informasi historis berdasarkan dokumen dan benda-benda
peninggalan yang dikaji lewat metode sejarah, heuristik, kritik ekstern dan intern,
interprestasi analitis dan sintesis, koroborasi dan historiografi. Lewat metode sejarah
kita akan dapat sejarah kritis.
Demitologisasi berdasarkan pandangan modern ilmiah menghasilkan tafsiran
bahwa Senopati me3mang memberontak Pajang. Tetapi demi menghindari kecaman
masyarakat, karena ia adalah anak ( angkat ) raja Pajang ( yaitu Sultan Hadiwijaya ),
maka pujangga kraton mengarang mitos bahwa Pajang jatuh karena serangan makhluk
halus pasukan Ratu Kidul. Bahwa Sultan Agung raja terbesar dar Mataram sudah
jelas, tetapi bahwa ia sering salat jumat d Mekkah hanyalah rekaan.

Sumbangan Budaya Jawa bagi Kehidupan Sekarang


Setelah kita berbicara tentang demitologisasi Jawanisme, baiklah kita coba
untuk berbicara tentang kemungkinan sumbangan budaya jawa bag kehidupan
sekarang. Untuk itu maka saya akan berorientasi pada Pancasila.
1. Ungkapan Ketuhanan Yang Magha Esa
Masyarakat Jawa mengenal ungkapan-ungkapan yang memperlihatkan
kepercayaan kepada Tuhan.Kepercayaan itu dihayati, misalmya dalam pernyataan
pasrah marang sing Gawe Urip. Yang mungkin mirip dengan kepercayaan islam
terhadap takdir. Orang yang meninggal dikatakan bali nyang asale. Dengan begitu
ungkapan Inna Lillahi wa inna lillahi roji’un (dari Allah kembali ke Allah) miripm
juga. Orang yang meninggal karena menderita sakit yang tak terobati dikatakan juga
meninggal karena takdir ing Allah. Sering juga dikatakan kronolah ( karena Allah ).
Sebaliknya, orang yang bersama dengan orang lain mendapat kecelakaan mengerikan
tetapi selamat, dikatakan belum takdir.
Bahwa orang Jawa begitu percaya kepada Tuhan dan menghayati kepercayaan
itu terlihat juga kalau dia sakit. Apa katanya ? ” Allah biyung ” Ia menyebut nama
Allah dan megaduh pada ibunya. Dalam sebutan Allah-biyung itu terkandung
permohonan maaf, dhuh Allah nyuwun ngapura ( ampunilah ).

2. Ungkapan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap


Dalam masyarakat Jawa dengan mudah dapat ditemukan ungkapan-ungkapan
yang menggambarkan adanya nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Dapat
dikemukakan beberapa contoh : tepa-tepa, tepa seliran,padha-padha. Semua itu
mengisyasratkan sikap tenggang rasa , atau saling menghormati. Sebaliknya orang
jangan menghina, apalagi dimuka umum.
Dalam budaya Jawa juga dikenal ajaran dhemen tetulung ( suka menolong ).
Ini dapat kita lihat dalam kebiasaan rewang ( membantu ) orang yang
menyelenggarakan peralatan, atau membantu orang yang mengalami musibah.
Rasa kemanusiaan juga terlihat dari kesediaan orang jawa menerima orang
asing sebagai sahabat atau menantu, bahkan Rajanya. Dalam kisah Ajisaka dikatakan
bahwa ia orang Hindu, yang kemudian diterima oleh orang jawa sebagai raja mereka.
Dalam abad XI terjadi perkawinan antara Airlangga ( Bali ) dan puteri Medang
(Jawa). Dan kemudian Airlangga juga memperistri puteri Seriwijaya. Dalam masa
kemudian, Raden Wijaya, pendiri Majapahit kawin dengan dara putih, puteri melayu.
Kelak putera mereka akan menjadi raja menggantkan ayahnya. Brawijaya, Raja
majapahit terakhir menurut Babad Tanah jawi, mempunyai isteri puteri campa. Itu
terjadi karena persahabatan majapahit dan campa. Pada jaman Demak, salah seorang
putri Raden Patah menikah dengan Fatahillah, seorang ” pengungsi ” dari Pasai
(Aceh).
Dari uraian di atas nampaklah bahwa masyarakat jawa terbuka bagi unsur-
unsur budaya dari luar. Itu berarti budaya jawa terbuka bagi perubahan,
pembaharuaan dan modernisasi. Sejarah menunjukan bahwa budaya jawa telah
berkembang dengan menerima unsur –unsur budaya dari India, Islam, Kristen dan
lain-lain.

3. Nilai Persatuan Indonesia


Persatuan Indonesia adalah rumus lain dari nasionalisme atau perasaan
kebangsaan. Dapat juga dikatakan bahwa nasionalisme adalah sense of belonging and
obligation. Itulah yang dalam budaya jawa dikemal sebagai pernyataan rumangsa
melu handarbeni dan wajib melu hangkrungkebi.
Rasa cinta tanah air dalam budaya jawa dinyatkan dalam kalimat sadumuk
bathuk sanyari bumi ditohi pati ( rela mempertaruhkan jiwa raga demi tanah air ).
Pernyataan itu berawal dari pangeran Mangkubumi ( kelak Hamengku buwono I )
yang mempertahankan Sukawati sebagai apanagenya.
Dalam hal mengembangkan persatuan dan kerukunan dalam budaya jawa
dikenal prinsip tuna sathak bathi sanak ( rugi harta mendapat saudara ).
Dalam Pewayangan, kalau pewayangan dianggap salah satu unsur budaya
jawa, juga dikenal ajaran cinta tanah air itu. Demekianlah yang tercermin dalam
Baratayuda. Keluarga Pandawa bertempur melawan kurawa untuk merebut kembali
negeri Hastina yang sebenarnya adalah haknya.

4. Nilai Demokrasi
Di kalamgan masyarakat ada anggapan bahwa dalam masyarakat dan budaya
jawa niscaya tak ada nilai demokrasi, bukankah konsep kenegaraannya mengajarkan
pemerintahan raja absolut. Meski demikian dalam masyarakat dan budaya jawa
dikenal adanya demokrasi. Itu terlihat dari adanya ungkapan aja bungeh ing
pangalem, aja susah ing panyaoad. Di dalam pernyataan itu terkandung ajaran untuk
rela menerima kritik (panyaoad).
Sementara itu dalam menyelesaikan perkara, dalam budaya jawa dikenal
ajaran ana rembug dirembug, ana nalar dinalar. Pelajaran itu mengandung pesan
janganlah orang itu ceroboh, panik atau main pukul, melainkan menyelesaikan
persoalan dengan musyawarah. Dekat dengan itu adalah gotong-royong, bekerja bantu
membantu supaya pekerjaqn daspat diselesaikan, atau dapat diselesaikan dengan lebih
mudah dan hasil baik.
Apakah rakyat biasa mendapat kesempatan untuk menyampaikan kritk?
Dalam pertunjukkan wayang dapat kita dsaksikan kritik orang kecil dilakukan lewat
banyolan panakawan. Bahkan dalam pemunculan panakawan para pembesar
diingatkan, mereka menjadi pembesar karena orang kecil.
Demonstrasi juga diperkenankan, yaitu dalam bentuk pepe ( berjemur ) di
alun-alun. Untuk itu para pengunjuk rasa mengenakan baju putih-putih. Abdi dalem
(punggawa kerajaan )yang melihat melapor kepad raja, bahwa ada rakyat yang hendak
menyampaikan keluhannya.

5. Cita – Cita Keadilan Sosial


Salah satu prinsip yang mencerminkan keadilan sosial dalam budaya jawa
adalah ajaran ana sethithik didum sethithik, ana akeh didum akeh. Ajaran itu
mengandung arti manusia itu jangan rakus. Kalau ada rejaki hendaklah dibagi merata.
Kalau tidak demikian, maka keresahan sosial akan timbul.
Cita- cita hidup, sosial juga terlihat dalam kebiasaan menjamu tamu. Di
pedesaan Gunung Kidul, penduduk yang sederhana basa menjamu makan tamunya
dengan hidangan sayur lombok ijo dan tempe yang khas. Kalau tamu itu bertemu lagi
di keluarga lain, pasti ia akan dijamu makan lagi, sehinhgga dapat terjadi tamu itu
akan makan sepuluh kali kalau ia berkunjung di sepuluh keluarga. Mereka yang KKN
atau mengurus KKN di daerah itu pasti dapat bercerita banyak.
Terhadap keluarga yang tidak manpu, budaya jawa memperkenalkan sistem
indung. Dalam kesempatan ini cukup disebut dua macam indung : kuli indung dan
indung tlosor.Yang pertama untuk menyebut orang yang mempunyai rumah di atas
perkarangan orang lan, sedangkan yang kedua berarti orang orang yang sepenuhnya
menumpang pada rumat tangga orang lain dan hidup dari keluarga itun sistem indung
mencerminkan adanya nilai sosial pada pihak yang lebih mampu.
Ethos Kerja dan Perilaku Anti Nilai
Ada anggapan bahwa orang jawa itu bersifat tertutup, karena itu meski ia
berkata ya tetapi sebenarnya dimaksudkan tidak, dan dalam bahasa jawa dikenal
dengan inggih ora kepanggih ( berkata ya tapi bertindak tidak ). Ada suatu cerita yang
menyatakan bahwa inggih ora kepanggih itu berasal dari masa Tanam Paksa abad ke
19. Kala itu pemerintah kolonial sering meminta kepalas desa untuk mengerhkan
pemuda-pemudanya guna bekerja di ladang-ladang pemerintah. Kalau Lurah
sepenuhnya menaati perintah itu, maka semua pemuda desa habis bekerja di ladamg-
ladang pemerintah, dan itu makan waktu yang tidak tertentu. Akibatnya ladamg-
ladang atau sawah-sawah desa tidak tergarap, dan aki9bat selanjutnya panen tidak
jadi, dan selanjutnya terjadilah kelaparan. Karena itu dihadapan aparat pemerintah
lurah berkata ia sanggup mengerahkan semua pemuda, tetapi yang dilakukan adalah
menyembunyikan sebagian pemudas untuk mengerjakan tanah-tanah desa. Kebiasaan
itu menurun sampai sekarang.
Bagaimana halnya dengan alon-alon waton kelakon ? Ada suatu penjelasan
yang menyatakan bahwa tekanan dari ungkapan itu pada kelakon ( terlaksana ) dan
bukan alon ( lambat ). Keterangan itu mungkin tidak memuaskan. Ada penjelasan lain
yang menyatakan bahwa semboyan alaon-alon waton kelakon memang berasal dati
budaya pertanian. Kerja di ladang tidak perlu tergesa-gesa, waktu tersedia banyak.
Tetapi dapat juga diartikan seperti ungkapan dalam bahasa inggris slowly but steadily.
Dalam budaya jawa dikenal adanya ajaran pantang menyerah, seperti
diungkapkan dalam kata-kata rawe-rawe rantas malamg-malang putung. Jika orang
tidak lupa akan ajaran itu orang jawa tidak akan menyerah kepada kesukaran,
melainkan akan mengalahkan kesukaran itu.
Suatu kebiasaan anti nilai terlihat dalam ungkapan asu gedhe menang kerahe.
Yang bertentangan dengan semangat ana sethithik didum sethithik. Ungkapan asu
gedhe menang kerahe menggambarkan sifat sewenang-wenang.
Yang terkait dengan ethos kerja masih dapat ditambah : sregep, pethel, setiti,
ngati-ati, oekat-oekat, jujur, yang anti nilai, jadi melawan ethos kerja, keset, orobo,
grusa-grusu, ngulerkambang, oulika.
Rangkuman
Mitologisas berasal dari kata dasar mitos. Kata itu mempunyai dua pengertian,
yaitu :
1. Cerita tentang dewa-dewa;
2. Cerita rekaan berdasarkaan fakta historis.
Dari kata mitos turunlah kata mitologisasi ( membuat cerita ) dan kemudian
demitologisasi ( membersihkan mitos ).
Mitologisasi dalam budaya Mataram, sebagai subkultur jawa atau jawanisme,
menghasilkan banyak mitos, yang menyangkut, antara lain, keunggulan nenek
moyang raja- raja Mataram dan keturunannya. Contohnya : silsilah raja-raja Mataram
yang dimulai dari Adam, perkawinan Senapati dan Sultan Agung dengan Ratu Kidul.
Mitos-mitos itu terkait dengan pembinaan kekuasaan.
Dalam mengembangkan kekuasaannya Mataram menyusun konsep atau
doktrin keaggungbinateraan, termasuk di dalamnya konsep kewilayahan, birokrasi
dan etika.
Demi kepentingan hidup sekarang, cerita rekaan itu harus dibersihkan
sehingga tinggal cerita yaang faktual. Itulah demitologisasi namanya. Demitologsasi
dapat dilakukan lewat pemurnian agama dan pengembangan Ilmu pengetahuan.
Lewat pemurnian agama dan ilmu pengetahuan, dapat ditemukan nilai-nilai
yang dapat disumbangkan pada kehidupan sekarang. Upaya penemuan nilai-nilai
dilakukan dengan pendekatan Pancasila. Dan untuk dapat mewujudkan nilai-nilai
dalam kehidupan sehari-hari berguna kalau kita pelajri ethos kerja dalam budaya
jawa.

Yogyakarta, 22 November 1993

G.Moedjanto

Anda mungkin juga menyukai