RELIGIOSITAS
I. KEHIDUPAN BERIMAN
B. FAHAM KESELAMATAN
1. Saya sebagai seorang beragama percaya bahwa keselamatan manusia hanya terjadi
melalui agama saya. Hanya orang yang memeluk agama saya akan diselamatkan.
Orang-orang yang mau diselamatkan Allah harus memeluk agama yang sama
dengan agama saya, karena agama saya dikehendaki begitu oleh Allah sendiri.
Faham keselamatan ini berlaku bagi seluruh bangsa saya. Kalau bangsa saya mau
diselamatkan, maka negara kita harus berjuang keras mempertobatkan orang-orang
kafir supaya masuk agama saya.
2. Saya sebagai seorang pemeluk agama memang percaya bahwa satu-satunya yang
benar adalah ajaran agama saya. Namun, saya pun percaya masing-masing pemeluk
agama lain sesuai dengan keyakinannya sendiri-sendiri akan diselamatkan juga oleh
Allah, kalau mereka dengan jujur dan tekun menaati ajaran agamanya.
Faham ini cocok untuk masyarakat yang majemuk dalam banyak hal : suku, agama,
ras dan lain-lain seperti di Indonesia ini. Pokoknya semua orang harus beragama
“demi stabilitas nasional”.
3. Sebagai seorang beriman saya percaya bahwa Allah menyelamatkan semua orang
menurut kebijaksanaan-Nya yang tak terselami oleh pikiran manusia. Saya
berpendapat bahwa masalah kepercayaan pada Allah ini adalah masalah rohani
pribadi seseorang dengan Tuhan Allahnya. Masalah rohani ini tidak ada sangkut
pautnya dengan masalah sosial kemasyarakatan.
1. Sekterianisme Eksklusif
Menurut paham ini agama/religi merupakan lembaga/institusi keselamatan.
Tindakan manusia masuk dalam kelompok itu merupakan tindakan
penyelamatan. Untuk bisa diselamatkan seseorang harus menjadi anggota
kelompoknya (sektenya). Keselamatan terjadi bila manusia menaati,
melaksanakan aturan/petunjuk/ ajaran agama, yang diakui berasal dari Allah.
Yang berada di luar kelompok tidak bisa diselamatkan. Mereka ini disebut kafir.
Faham keselamatan jenis ini disebut sektarianisme eksklusif, karena kelompok
menjadi syarat mutlak bagi keselamatan manusia; di luar kelompok tidak ada
keselamatan. Kebenaran menjadi monopoli kelompok ini. Faham ini
menyebabkan timbulnya semangat dakwah/misioner yang tinggi, berdasar pada
keyakinan untuk memasukkan sebanyak mungkin orang di luar kelompok ke
dalam kelompok supaya bisa diselamatkan.
C. MULTIDIMENSIONALITAS MANUSIA
Karena relasinya dengan realitas yang lain (diri sendiri, sesama, dunia dan Tuhan) pribadi
manusia yang adalah materi itu menampakkan dimensi-dimensinya. Pribadi manusia
sebagai misteri menampakkan dimensi-dimensinya. Oleh karena itu dibicarakan multi-
dimensionalistas manusia.
1. Ada 3 (tiga) dimensi dasariah dari pribadi manusia yang multidimensi itu.
1. Dimensi religius-spiritual : dimensi ini menampakkan manusia dalam relasinya
dengan Yang Transenden (sekaligus imanen), yang disebut dengan Tuhan Allah,
sebagai asal dan tujuan manusia, pengada dari segala yang ada.
2. Dimensi Moral Etis : dimensi ini menampakkan manusia dalam relasinya dengan
nilai-nilai kebenaran dan kebaikan, yang menjadi norma bagi hidupnya.
3. Dimensi Sekuler : dimensi ini menampakkan manusia dalam relasinya dengan
dunia (Latin : “saeculum”) yang tercipta. Manusia berrelasi dengan dunia
lingkungan alam semesta (yang infrahuman); dan juga dengan sesama manusia
(human) dalam tata dunia ini manusia sebagai makhluk yang berakal budi,
Berkat ilmu pengetahuan dan teknologinya ‘tata dunia’ (sekularitas) semakin transparan
bagi manusia, meliputi berbagai macam aspek kehidupan : sosial, budaya, politik,
ekonomi dan lain-lain. Ilmu pengetahuan dan teknologi inilah yang paling mendorong
proses sekularisasi, sebagai proses penemuan ekonomi tata dunia.
II
BERIMAN BERSAMA DENGAN YANG LAIN
1. Humanisme Strukturalis
Menegaskan humanisme hanya mungkin bila dirombak struktur-struktur dan sistem
masyarakat yan gmemasung, membelenggu kemanusiaan, entah itu berwujud
ketimpangan struktur ekonomis, sistem sosial dan hukum yang tidak adil, ataupun
hegemoni kekuasaan yang memasung kebebasan manusia untuk berpikir sendiri dan
mengekspresikan pemikirannya dan pendapatnya.
2. Humanisme Spiritualistis :
B. KEBEBASAN BERAGAMA
Oleh karena akal budi dan kehendak serta hati nuraninya manusia menyadari
kemampuannya untuk memilih nilai-nilai yang ditawarkan kepadanya. Oleh karena itu ia
bebas memilih religiositas mana yang sesuai dengan keyakinannya.
2. Kebebasan Beragama
Kehendak Allah untuk menyelamatkan manusia bersifat universal, artinya ditawarkan
kepada semua orang; dan transedental, artinya mengatasi segala bentuk institusional.
Pengalaman akan Allah yang menyelamatkan itu merupakan pengalaman yang pra-
konseptual.
Agama-agama ada sebagai institusionalisasi dari pengalaman akan Allah itu. Sebagai
institusi agama hidup secara kontekstual; muncul dalam suatu waktu dan pada temapat
tertentu; sistem hukum, ibadat, tradisi tertentu pula.
Manusia hidup pun hidup secara kontekstual pula; lahir pada suatu waktu dan pada
tempat tertentu: hidup dalam suatu kondisi budaya tertentu; berkembang dalam sistem
hukum, dan tradisi tertentu pula.
Dalam konteks tertentu itu manusia bebas memilih agama sesuai dengan pengalaman
religiusnya, sesuai dengan keyakinan pribadinya.
Hubungan antara lembaga agama dan lembaga negara hanya bisa dilhat secara betul dalam visi
yang utuh mengenai humanisme integral yang menjadi dasar dan tujuan pembangunan bangsa.
Oleh karena itu, perlu ditinjau lebih dahulu hubungan antara komponen-komponen dalam
multidimensionalitas manusia.
1. Sekularisasi
Humanisme merupakan ciri pokok dunia moderen. Penemuan otonomi tata dunia
(sekularitas) berkat kemajuan iptek mendorong terjadi proses sekularisasi. Istilah
‘sekularisasi’ berarti suatu proses historis yang menempatkan manusia sebagai pusat
dan tujuan evolusi dunia, memajukan otonomi dunia yang semakin besar seiring dengan
penemuan-penemuan hukum-hukum alam, yang bertujuan bagi pengabdian seluruh
masyarakat manusia tanpa harus secara langsung meminta legitimasinya pada prinsip-
prinsip dan norma-norma agama.
Dengan kemajuan Iptek, proses sekularisasi memantau manusia untuk menyadari
kemampuannya, yang membuatnya semakin dewasa. Ini tidak berarti dekadensinya
nilai-nilai spiritual, apabila kedewasaan manusia dan otonomi dunia dipahami dalam
korelasinya dengan Tuhan yang Transenden. Tanpa kesadaran akan korelasinya dengan
Tuhan, Allah Pencipta ini, sekularisasi memang bisa jatuh pada sekularisme atheis.