Anda di halaman 1dari 18

POKOK POKOK MATERI KULIAH

RELIGIOSITAS

I. KEHIDUPAN BERIMAN

A. PENGALAMAN RELIGIUS MANUSIA


Rumusan “pengalaman religius manusia” dimaksudkan untuk mengatakan bahwa
pengalaman manusia akan Allah (ordo ad Deum) dihayati secara manusiawi. Oleh karena
itu, keterangan mengenai pengalaman manusia akan Allah diuraikan bertolak pada
pengalaman manusia itu sendiri dalam komunikasi dengan yang lain.
Istilah “komunikasi” berasal dari kata Latin : co artinya bersama, unus-a-um, artinya
satu dan facere : membuat, melaksanakan. Dari asal kata itu komunikasi diartikan sebagai
suatu proses persatuan menuju kesatuan.
1. Analisa mengenai komunikasi antar pribadi manusia
Pengalaman manusia terjadi bila manusia menyadari relasinya dengan realitas yang lain
(diri sendiri, sesama, alam dunia dan Tuhan) Istilah pengalaman menunjuk kepada suatu
yang dialami oleh manusia, yang wilayahnya lebih luas daripada pengetahuan saja.
Pengalaman manusia ini meliputi aspek-aspek : kognitif, afektif dan psikomotorik.
Supaya pengalaman menjadi utuh lengkap diperlukan usaha internalisasi.
Komunikasi antar pribadi manusia merupakan suatu bentuk relasi yang dialami
manusia.
Faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya komunikasi antar pribadi adalah sebagai
berikut :
1. Adanya pribadi-pribadi yang berperanan sebagai subjek PENYAMPAI (sender) dan
subjek PENERIMA (receiver) dalam komunikasi itu. Komunikasi pribadi bisa
terjadi kalau ada tanggapan timbal balik antara kedua pribadi tersebut. Kalau
demikian, yang terjadi adalah DIALOG antar pribadi.
2. Komunikasi itu mempunyai ISI (subtansi), yaitu apa yang disampaikan oleh
penyampai dan diterima oleh penerima isi komunikasi ini bersifat formatif, artinya
membentuk pribadi-pribadi satu sama lain. Bila yang disampaikan adalah
keterangan mengenai pikiran, pendapat, pengetahuan, maka isi komunikasi itu
berciri informatif, artinya penyampai membuat penerima isi komunikasi menjadi
tahu (aspek kognitif). Lebih dari itu bila isi komunikasi semakin melibatkan diri
pribadi si penyampai (misalnya perasaan, isi hati, pengalaman batin) isi komunikasi
menjadi semakin transformatif artinya memiliki kekuatan untuk mengubah pribadi-

edited tahun 2007/8 by PKMKU


Hal : 1
pribadi yang terlibat dalam komunikasi itu. Informasi akan membuat orang tergerak
hatinya (aspek afektif) untuk memiliki sikap hidup yang baru (aspek psikomotorik).
Perhatikanlah proses persahabatan antara dua pribadi yang semakin mendalam.
Yang semula satu sama lian asing, bisa menjadi sahabat yang saling mencinta.
Dalam menuju persahabatan itu terjadilah proses dari perkenalan sampai pada
pencurahan isi hati yang melibatkan seluruh diri pribadi, sehingga keduanya
mengalamai transformasi diri menuju kesatuan.

3. Dalam komunikasi itu diperlukan SARANA/MEDIA komunikasi. Penyampai


mengalami proses merumuskan ada yang menjadi isi komunikasi, memasukkan isi
komunikasi dalam kode-kode yang dipahami oleh penerima (‘encoding”),
sedangkan penerima mengalami proses menafsirkan kode-kode yang diterima itu
(“decoding”). Kode-kode itu bisa berbentuk VERBAL (kata-kata yang bermakna
menurut sistem bahasa tertentu) atau NON-VERBAL (tanda isyarat, simbol,
lambang atau perbuatan yang bermakna).
4. Komunikasi antar pribadi itu secara konkret terjadi dalam RUANG dan WAKTU
tertentu dalam suatu KONTEKS BUDAYA tertentu. Konteks budaya yang sama
antar penyampai dan penerima mempermudah terjadinya komunikasi antar pribadi
itu.
Faktor-faktor yang terdapat dalam pengalaman komunikasi antar pribadi ini sebagai
pengalaman manusia menjadi titik tolak bagi pemahaman akan pengalaman religius
dimana dimengerti wahyu dan iman.

2. Pengalaman Religius : Wahyu dan Iman


a. Religio
Kata “religio” berasal dari kata Latin “re” dan “ligare”, artinbya mengikat kembali.
Dari kata itu terbentuk kata-kata lain seperti : religi, religiusitas. Istilah itu
digunakan untuk menerangkan relasi manusia dengan Yang Lain, yaitu Tuhan
Allah.
Pengalaman religius terjadi bila manusia mengalami dia berhadapan dengan “The
Ultimate Reality”, bilamana ia berada dalam kesadaran dirinya yang terbatas
berhadapan dengan misteri yang tak terbatas. Kesadaran itu bisa muncul secara
intensif, bilamana manusia berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat
mendasar dalam hidupnya, mengapa manusia ada, dari mana asal dan tujuannya,
mengapa manusia sengsara dan mati, mengapa manusia terbatas?? Manusia yang

edited tahun 2007/8 by PKMKU


Hal : 2
terbatas ada dihadapan Yang Lain, Yang Transenden, Yang Mengatasi Segala-
galanya.
RUDOLF OTTO (Des Heilige – The idea of the Holy) menyebut Yang Transenden
itu Yang Kudus, sebagai Numinosum (Latin: Numen, artinya kekuasaan ilahi) Yang
Kudus itu dialami manusia sebagai “Misterium tremendum et fascinans”, sebagai
yang menggetarkan dan menakutkan, namun sekaligus menarik dan mempesonakan.
Sikap religius manusia terhadap misterium itu ialah takut penuh hormat dan cinta
(Jawa : wedi asih ing Pangeran).
Dalam pengalaman religius manusia berkomunikasi dengan Allah yang Transeden
itu, yang menjadi keselamatan manusia. Faktor-faktor yang terjadi dalam
komunikasi antar pribadi manusia seluruhnya mendapat dimensi baru dalam
relasinya dengan Allah yang Transenden itu.

b. Wahyu dan Iman


Dalam pengalaman religius PENYAMPAI-nya adalah Allah yang Transenden
itu , yang menjadi dasar segala yang ada. Sedangkan PENERIMA-nya adalah
manusia, yang adanya diadakan oleh Allah. Oleh karena itu, prakarsa terjadinya
komunikasi itu ada di pihak Allah, yang menhendaki agar manusia menjadi satu
dengan Allah. Persatuan antara Allah dengan Manusia itulah keselamatan,
sehingga dialog pun menjadi dialog keselamatan.
ISI yang dikomunikasikan oleh Allah berciri formatif pula. Yang disampaikan
itu kehendakNya untuk menyelamatkan manusia, ya bahkan diri Allah sendiri
dicurahkan kepada manusia supaya manusia selamat. Dengan kata lain, dari
pihak Allah dikatakan bahwa Allah meWAHYUkan dirinya sendiri kepada
manusia, supaya manusia selamat. Dialog keselamatan baru terjadi kalau ada
tanggapan dari pihak manusia. Tanggapan manusia penerima pewahyuan Allah
itu disebut dengan sikap IMAN. Dalam dialog keselamatan ini terjadi
transformasi pada pihak manusia. Manusia yang adanya diadakan oleh Allah itu,
oleh karena pewahyuan Allah dan Iman manusia, menjadi dekat dengan Allah,
menjadi sahabat Allah, menjadi Anak Allah.
Untuk mewahyukan diriNya itu Allah menggunakan SARANA/MEDIA
komunikasi yang bisa dipahami manusia, baik VERBAL maupun NON-
VERBAL. Manusia-manusia tertentu (para nabi) dipilih oleh Allah, agar
mengalami Allah secara otentik, sehingga bisa menyampaikan pesan-pesan
Allah, untuk pegangan hidup religius bagi manusia-manusia lain. Kitab Suci

edited tahun 2007/8 by PKMKU


Hal : 3
(Latin: Scriptura; Inggris : Scripture) adalah bentuk verbal sebagai media
komunikasi religius ini. Yang NON-VERBAL; seluruh dunia ciptaan ini dan
manusia sendiri menurut taraf dan kualitasnya masing-masing menjadi tanda
yang manyatakan Allah, Pencipta dan Penyelamatnya).
Pewahyuan Allah kepada manusia terjadi dalam RUANG dan WAKTU tertentu,
dalam suatu KONTEKS BUDAYA pula.
Disinilah letak permasalahan mengenai “inkulturasi”, sebagai proses menjadikan
keselamatan Allah tetap relevan untuk suatu konteks budaya tertentu. Di
dalamnya terkait pula masalah mengenai penafsiran dan penerjemahan Kitab
Suci dan lain-lain.

3. Beriman dan Beragama


Perlu dibedakan dua istilah tersebut, supaya diketahui hubungannya satu sama lain.
Beriman kepada Allah merupakan sikap manusia menanggapi pewahyuan diri Allah :
Sikap serah diri dan tunduk sepenuhnya kepada Allah. Istilah beriman lebih menunjuk
kepada sikap batin manusia yang mengalami Allah, sebagai keselamatannya.
Sedangkan istilah ‘agama’ untuk menunjuk segi lahiriah dari sikap batin itu. Agama
merupakan pelembagaan (institusionalisasi) dari hidup beriman itu, namun sekaligus
bisa disfungsional bagi kehidupan beragama.

4. Pola-pola relasi : Separasi, Identifikasi, dan Distingsi


Pemahaman dan sikap manusia dalam terhadap agama dan Separasi berarti pemisahan.

5. Substansialis – Kontekstual dan Skripturalis – Fundamentalistik


Dalam menghayati hidup beragama terdapat berbagai macam bentuk pemikiran yang
berbeda-beda. Menurut tekanan yang diberikan pada aspek-aspek tertentu dalam hidup
beragama itu bisa dibedakan adanya kelompok substansialis-kontekstual dan yang lain
skrituralis-fundamentalistik.
Kelompok substansialis-kontekstual lebih mengutamakan substansi (isi) pengalaman
iman manusia; yang terus menerus perlu diimplementasikan dalam konteks yang
berbeda. Kelompok ini mengutamakan isi pokok apa yang tersirat dalam ajaran agama.
Sedangkan kelompok skripturalis-fundamentalis lebih mengutamakan hidup
beragamanya berdasarkan pada scripture, pada Kitab Suci agamanya, yang dimengerti
secara harafiah sebagaimana yagn tersurat di dalamnya. Yang diutamakan adalah

edited tahun 2007/8 by PKMKU


Hal : 4
fundamen-fundamen agamanya lebih besar daripada konteks di mana umat beragama
hidup.

B. FAHAM KESELAMATAN

Penghayatan hidup beriman mengandung suatu faham keselamatan tertentu, yang


menekankan aspek-aspek tertentu dalam dialog keselamatan antara Allah dan manusia.
Untuk mengenal faham keselamatan yang berbeda-beda itu, dibagikan angket tentang
faham keselamatan, yang kemudian akan dianalisa :

1. Rumusan tentang Faham Keselamatan


Pilihlah salah satu rumusan di bawah ini yang anda anggap paling cocok atau
mendekati kecocokan dengan sikap/pendapat anda. Tuliskan pendapat anda pada lembar
jawaban yang tersedia.

1. Saya sebagai seorang beragama percaya bahwa keselamatan manusia hanya terjadi
melalui agama saya. Hanya orang yang memeluk agama saya akan diselamatkan.
Orang-orang yang mau diselamatkan Allah harus memeluk agama yang sama
dengan agama saya, karena agama saya dikehendaki begitu oleh Allah sendiri.
Faham keselamatan ini berlaku bagi seluruh bangsa saya. Kalau bangsa saya mau
diselamatkan, maka negara kita harus berjuang keras mempertobatkan orang-orang
kafir supaya masuk agama saya.
2. Saya sebagai seorang pemeluk agama memang percaya bahwa satu-satunya yang
benar adalah ajaran agama saya. Namun, saya pun percaya masing-masing pemeluk
agama lain sesuai dengan keyakinannya sendiri-sendiri akan diselamatkan juga oleh
Allah, kalau mereka dengan jujur dan tekun menaati ajaran agamanya.
Faham ini cocok untuk masyarakat yang majemuk dalam banyak hal : suku, agama,
ras dan lain-lain seperti di Indonesia ini. Pokoknya semua orang harus beragama
“demi stabilitas nasional”.
3. Sebagai seorang beriman saya percaya bahwa Allah menyelamatkan semua orang
menurut kebijaksanaan-Nya yang tak terselami oleh pikiran manusia. Saya
berpendapat bahwa masalah kepercayaan pada Allah ini adalah masalah rohani
pribadi seseorang dengan Tuhan Allahnya. Masalah rohani ini tidak ada sangkut
pautnya dengan masalah sosial kemasyarakatan.

edited tahun 2007/8 by PKMKU


Hal : 5
Faham ini perlu disadari oleh seluruh bangsa Indonesia, supaya masyarakat kita
yang majemuk ini tidak terpecah belah oleh perbedaan agama tetapi bisa hidup
rukun dan damai.
4. Sebagai seorang beriman saya percaya bahwa dengan menciptakan manusia, Allah
mencintaiNya. Ia mencintai semua manusia. Cinta Allah dilimpahkan kepada
semua orang, tanpa pandang bulu. Saya menyadari pentingnya peran agama saya
bagi keselamatan. Namun, saya juga berpendapat bahwa setiap orang yang tidak
beragama sekalipun, kalau ia secara jujur mencari kebenaran, diselamatkan juga
oleh Allah.
Oleh karena itu, perlullah dibina kerjasama kritis dan dialog jujur di antara orang-
orang yang berkehendak baik untuk menegakkan keadilan dan memperjuangkan
hak-hak asasi manusia. Hanya demikianlah bangsa Indonesia bisa mengalami
persaudaraan yang sejati.

Jawablah pertanyaan-pertanyaan ini :


1. Manakah yang anda pilih?
2. Sebutkanlah alasan-alasan pilihan anda !
3. Sebutkanlah alasan-alasannya pula, mengapa tidak memilih nomor yang lain !

Jawablah dengan kata-kata sendiri !


1. Apakah arti keselamatan bagi anda ?
2. Bagaimana anda diselamatkan ?
3. Bagaimana orang lain yang tidak seagama dengan anda diselamatkan ?
4. Bagaimana orang lain yang tidak beragama diselamatkan ?

2. Analisa Struktural tentang Faham Keselamatan


Agama / religi mencakup wilayah relasi antara manusia dengan Tuhan Allah. Ditinjau
dari pelaksana keselamatan itu bisa muncul dua kemungkinan : pertama, peran manusia
lebih ditekankan dalam pelaksanaan keselamatan dan kedua peran Allah lebih
ditekankan dalam pelaksanaan keselamatan itu. Kemungkinan pertama disebut Faham
keselamatan anthropocentris, karena manusialah (Yunani : Anthropos) yang menjadi
pusat keselamatan itu; sedangkan kemungkinan kedua disebut faham keselamatan yang
theocentris, karena Allah-lah (Yunani : Theo) menjadi pusat keselamatan.

edited tahun 2007/8 by PKMKU


Hal : 6
a. Dari Faham Keselamatan yang anthropocentris ini bisa muncul 2 (dua)
kemungkinan, yaitu :

1. Sekterianisme Eksklusif
Menurut paham ini agama/religi merupakan lembaga/institusi keselamatan.
Tindakan manusia masuk dalam kelompok itu merupakan tindakan
penyelamatan. Untuk bisa diselamatkan seseorang harus menjadi anggota
kelompoknya (sektenya). Keselamatan terjadi bila manusia menaati,
melaksanakan aturan/petunjuk/ ajaran agama, yang diakui berasal dari Allah.
Yang berada di luar kelompok tidak bisa diselamatkan. Mereka ini disebut kafir.
Faham keselamatan jenis ini disebut sektarianisme eksklusif, karena kelompok
menjadi syarat mutlak bagi keselamatan manusia; di luar kelompok tidak ada
keselamatan. Kebenaran menjadi monopoli kelompok ini. Faham ini
menyebabkan timbulnya semangat dakwah/misioner yang tinggi, berdasar pada
keyakinan untuk memasukkan sebanyak mungkin orang di luar kelompok ke
dalam kelompok supaya bisa diselamatkan.

2. Sektarianisme yang toleran


Pada dasarnya sektarianisme yang toleran ini bertolak pada paham keselamatan
anthropocentris yang membuahkan sektarianisme. Namun, paham ini memiliki
toleransi, meskipun terbatas. Toleransinya memungkinkan pemeluk-pemeluk
agama lain bisa diselamatkan, namun tetap terbatas pada batas-batas agama
sebagai lembaga keselematan.
Toleransinya pada agama-agama lain didasarkan pada pendapat bahwa semua
agama baik, karena mempunyai tujuan yang baik dan benar.

b. Dari paham Theocentris bisa muncul 2 (dua) kemungkinan, yaitu :


1. Anti Religi
Allah adalah pokok pangkal keselamatan semua orang. Agama/religi adalah
sekedar ciptaan manusia yang bahka membeda-bedakan manusia yang satu dari
yang lainnya. Perhatiakan sejaarah manusia : perbedaan agama menyulut
peperangan antara manusia. Lalu, apakah gunanya agama/religi? Beragama
secara institusional tidak perlu bagi keselamatan. Religi adalah masalah pribadi,
batin dan rohani.

edited tahun 2007/8 by PKMKU


Hal : 7
Faham keselamatan Theocentris jensi ini bersikap indeferen terhadap religi,
bahkan secara ekstrem bisa sampai pada sikap anti religi.

2. Religi sebagai Konteks Mediasi


Subjek utama yang menyelamatkan manusia adalah Allah. Allah
menyelamatkan manusia secara manusiawi melalui mediasi, yaitu melalui fungsi
pengantara. Mediasi yang sejati dalam religi harus memiliki kesesuaian dua
arah, pada yang Ilahi dan sekaligus pada yang insani. Institusi insani
(agama/religi) saja tidak bisa memuat misteri keselamatan Ilahi itu.
Karena itu, agama/religi sendiri tidak bisa menjadi mediasi penyelamatan Ilahi.
Religi berfungsi sebagai konteks mediasi penyelamatan. Mediasi macam ini
mengandaikan mungkinnya manusia menjadi pengantara (mediator) antara
Allah dan Manusia.
Dari dasar pemikiran ini keselamatan itu ditujukan kepada semua orang, tidak
pandang bulu (faham universalisme keselamatan). Keselamatan pertama-tama
dan terutama adalah anugerah Allah, yang perlu ditanggapi oleh manusia dengan
sikap iman.

C. MULTIDIMENSIONALITAS MANUSIA
Karena relasinya dengan realitas yang lain (diri sendiri, sesama, dunia dan Tuhan) pribadi
manusia yang adalah materi itu menampakkan dimensi-dimensinya. Pribadi manusia
sebagai misteri menampakkan dimensi-dimensinya. Oleh karena itu dibicarakan multi-
dimensionalistas manusia.

1. Ada 3 (tiga) dimensi dasariah dari pribadi manusia yang multidimensi itu.
1. Dimensi religius-spiritual : dimensi ini menampakkan manusia dalam relasinya
dengan Yang Transenden (sekaligus imanen), yang disebut dengan Tuhan Allah,
sebagai asal dan tujuan manusia, pengada dari segala yang ada.
2. Dimensi Moral Etis : dimensi ini menampakkan manusia dalam relasinya dengan
nilai-nilai kebenaran dan kebaikan, yang menjadi norma bagi hidupnya.
3. Dimensi Sekuler : dimensi ini menampakkan manusia dalam relasinya dengan
dunia (Latin : “saeculum”) yang tercipta. Manusia berrelasi dengan dunia
lingkungan alam semesta (yang infrahuman); dan juga dengan sesama manusia
(human) dalam tata dunia ini manusia sebagai makhluk yang berakal budi,

edited tahun 2007/8 by PKMKU


Hal : 8
berkehendak bebas merupakan puncak dari karya ciptaan Allah. Seluruh alam
semesta mendapat kepenuhan maknanya dalam kemanusiaan.

Berkat ilmu pengetahuan dan teknologinya ‘tata dunia’ (sekularitas) semakin transparan
bagi manusia, meliputi berbagai macam aspek kehidupan : sosial, budaya, politik,
ekonomi dan lain-lain. Ilmu pengetahuan dan teknologi inilah yang paling mendorong
proses sekularisasi, sebagai proses penemuan ekonomi tata dunia.

2. Skema proses perkembangan pribadi manusia


Dimensi-dimensi dasariah ini dalam proses perkembangan manusia tampil dalam
berbagai macam fungsi, institusi, yang bisa mengarah pada penyimpangan (deviasi)
yang mengkerdilkan pribadi manusia itu sendiri. Pada saat itulah diperlukan fungsi
profetis yang membebaskan manusia demi suatu humanisme integral.
Institusionalisasi dalam proses perkembangan memiliki segi ganda positif dan negatif.
• Positif, bila proses yang memperkaya manusia dalam segala seginya, dimana
manusia berkembang semakin manusiawi. Bila proses ini terjadi, maka proses itu
disebut humanisasi yang intregratif.
• Negatif, bila terjadi proses sebaliknya, yaitu proses yang mempermiskin manusia,
sehingga manusia menjadi semakin kerdil; miski secara rohani dan jasmani. Bila
proses ini yang terjadi, maka proses itu disebut dehumanisasi yang desintegratif.

DIMENSI FUNGSI INSTITUSI DEVIASI AKIBAT PROSES


PEMBEBASAN DEMI

Religius-spiritual Menguduskan Agama-agama : Fariseisme Perpecahan antar ILAHI


nama Tuhan Islam, Protestan, Fanatisme umat , Kerukunan TRANSENDENTAL
Katolik, Hindu, Sektarianisme semu
Aliran Primordialisme
Kepercayaan Ritualisme

Moral – etis Menegakkan KATA / SUARA Sloganisme Kata tak bermakna


nilai-nilai HATI Eufemisme HUMANISME
kebenaran dan Pemberangsuran Kebohongan INTEGRAL
keadilan Perampasan hak
berpendapat Ketenangan semu

Sekuler Mengabdi Negara Otoriter- Demokrasi seolah-


kemanusiaan Pancasila, partai birokratis olah
kelestarian politik, LSM oligarkhi
lingkungan nepotisme MANUSIAWI
dikotomi antara Kesenjangan antar SEKULER
negara vs rakyat kelompok
kaya vs miskun

edited tahun 2007/8 by PKMKU


Hal : 9
Nilai-nilai kebenaran dalam arti tertentu > < juga bisa mengalami institusionalisasi KATA /
SUARA HATI dalam proses perkembangan pribadi manusia itu sangatlah penting
diusahakannya pendidikan suara hati, supaya tetap sanggup memilih apa yang baik dan benar
secara manusiawi.
Kalau dikatakan bahwa manusia itu multidimensional, maksudnya ialah bahwa hidup manusia
tidak boleh terpisah-pisah menurut bidang-bidang kehidupan yang tak berhubungan satu sama
lain. Dengan satu nafas harus dikatakan, bahwa manusia itu religius-spiritual, bermoral-etis dan
sekuler. Dengan kata lain seorang manusia menjadi semakin manusiawi, bila ia semakin
beriman mendalam, dengan menegakkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan serta terlibat dalam
perjuangan menegakkan kemanusiaan.

II
BERIMAN BERSAMA DENGAN YANG LAIN

A. HUMANISME INTEGRAL - UNIVERSAL


Humanisme yang integral (JACQUES MARITAIN) atau kemanusiaan yang utuh dijadikan
dasar dan tujuan bagi penghayatan iman bersama dengan yang lain. Dalam humanisme
integral ini hak asasi manusia (termasuk didalamnya hak kebebasan beragama) mendapat
tempatnya yang tepat. Penghargaan akan hak asasi manusia inilah yang bisa dijadikan dasar
kokoh untuk membangun persaudaraan sejati.
Istilah ‘humanisme integral’ ini digunakan untuk menghindarkan kecenderungan-
kecenderungan yang tidak seimbang dalam mencari bentuk humanisme macam apa yang
harus ditempuh untuk membangun peradaban dunia ini.
Dua arus kritik yang menjernihkan apa yaitu humanisme, datang dari 2 (dua) jalur
pemikiran, yaitu humanisme strukturalis dan humanisme spiritualis (MUDJI SUTRISNO).

1. Humanisme Strukturalis
Menegaskan humanisme hanya mungkin bila dirombak struktur-struktur dan sistem
masyarakat yan gmemasung, membelenggu kemanusiaan, entah itu berwujud
ketimpangan struktur ekonomis, sistem sosial dan hukum yang tidak adil, ataupun
hegemoni kekuasaan yang memasung kebebasan manusia untuk berpikir sendiri dan
mengekspresikan pemikirannya dan pendapatnya.

2. Humanisme Spiritualistis :

edited tahun 2007/8 by PKMKU


Hal : 10
Berpendapat humanisme harus kembali menyumberkan humanisme pada dimensi
makna dan ‘roh’ ciptaan semesta ini (dimana manusia termasuk didalamnya). Oleh
karena penentu proses humanisasi adalah dimensi kualitas (makna) dan dimensi
rohaniah, maka religiositas menjadi basisnya.
Berhadapan dengan jalur pemikiran tersebut perlulah dikembangkan pemikiran
humanisme integral, yang secara dialektik memadukan dimensi ganda ilahi-
tansendental dan manusiawi dari humanisme itu, supaya martabat pribadi manusia tetap
dihormati.
Dalam penghayatan iman penghormatan akan martabat pribadi manusia itu terletak
dalam penghormatan akan kebebasan beragama.

B. KEBEBASAN BERAGAMA
Oleh karena akal budi dan kehendak serta hati nuraninya manusia menyadari
kemampuannya untuk memilih nilai-nilai yang ditawarkan kepadanya. Oleh karena itu ia
bebas memilih religiositas mana yang sesuai dengan keyakinannya.

1. Beberapa Pengertian tentang Kebebasan


a . Kebebasan Moral
Banyak nilai yang bisa dipilih oleh manusia, sesuai makna bagi dirinya: apakah nilai
itu bermakna menyenangkan (Latin: “bonum delectabile”) atau nilai itu bermakna
menguntungkan (Latin: “bonum utile”). Bisa jadi yang menyenangkan tidak harus
dipilih karena tidak menguntungkan. Misalnya, merokok tidak dipilih karena
merugikan kesehatan, meskipun menyenangkan.
Bila terjadi yang menguntungkan pun tidak boleh dipilh, kalau pilihan itu tidak
sesuai dengan nilai moral (Latin : “bonum humanum”) Misalnya, korupsi itu biusa
menguntungkan, tapi tindakan itu salah secara moral. Tindakan manusia dinilai
sebagai tindakan manusiawi (Latin: “actus hominis menjadi actus …..”) bila
tindakah manusia semakin mengembangkan dirinya sebagai manusia.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kebebasan yang bertanggungjawab terjadi
bila manusia dengan kesadaran dan kebebasannya memilih untuk berbuat yagn baik
dan benar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
b. Kebebasan Religius
Kebebasan sejati dan kebaikan sejati bersumber dan bertujuan pada Tuhan Allah.
Setiap orang berhak untuk berusaha terus menerus mencari dan menemukan

edited tahun 2007/8 by PKMKU


Hal : 11
kebenaran dan kebaikan yang ditanamkan oleh Allah dalam segala-galanya untuk
bisa sampai pada Allah sendiri.
Kebebasan religius itu terdapat dalam sikap terbuka tanpa batas pada Allah, yang
menghendaki keselamatan bagi manusia. Disinilah muncul paradoks kebebasan
religius yaitu kebebasan sejati manusia terlaksana dalam ketaatannya pada kehendak
Allah.
Untuk melaksanakan kebebasan ini manusia perlu selalu membina kepekaan untuk
selalu mendengarkan suara hati serta bertindak menurut suara hati yang terdidik
secara benar.

2. Kebebasan Beragama
Kehendak Allah untuk menyelamatkan manusia bersifat universal, artinya ditawarkan
kepada semua orang; dan transedental, artinya mengatasi segala bentuk institusional.
Pengalaman akan Allah yang menyelamatkan itu merupakan pengalaman yang pra-
konseptual.
Agama-agama ada sebagai institusionalisasi dari pengalaman akan Allah itu. Sebagai
institusi agama hidup secara kontekstual; muncul dalam suatu waktu dan pada temapat
tertentu; sistem hukum, ibadat, tradisi tertentu pula.
Manusia hidup pun hidup secara kontekstual pula; lahir pada suatu waktu dan pada
tempat tertentu: hidup dalam suatu kondisi budaya tertentu; berkembang dalam sistem
hukum, dan tradisi tertentu pula.
Dalam konteks tertentu itu manusia bebas memilih agama sesuai dengan pengalaman
religiusnya, sesuai dengan keyakinan pribadinya.

3. Martabat Pribadi Manusia Dasar Hak Kebebasan Beragama


Kebebasan beragama bukanlah pemberian /anugerah /hadiah dari lembaga-lembaga
ciptaan (entah itu lembaga agama maupun lembaga negara), akan tetapi merupakan
pelaksanaan dari hak asasinya sebagai manusia. Lembaga-lembaga tersebut berfungsi
untuk melindungi martabat pribadi manusia itu. Oleh karen aitu bisa dikatakan tidaklah
manusiawi segala bentuk kekerasan dan paksaan yang datang dari manapun untuk
memaksakan suatu agama kepada orang lain.

4. Kebebasan Beragama sebagai Kebebasan Warga Negara


UUD 1945 menjamin kebebasan beragama melalui Bab XI pasal 29 :
• Negara berdasar atas ke Tuhan-an yang Maha Esa.

edited tahun 2007/8 by PKMKU


Hal : 12
• Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan kepercayaannya itu.
Dengan demikian negara Indonesia adalah negara yang berke-Tuhan-an, bukanlah
negara agama ataupun negara sekularistik. Pluralisme agama tidak boleh dijadikan
alasan perpecahan antara umat beragama, tetapi merupakan kenyataan riil hidup
bersama dengan yang lain. Perbedaan agama justru saling melengkapi dan memperkaya
satu sama lain dalam upaya membangun persaudaraan yang sejat i.

C. MEMBANGUN PERSAUDARAAN SEJATI


1. Allah sebagai Pokok Keselamatan Manusia
Agama-agama membedakan, tetapi religiositas mempersatukan manusia yang berbeda
agama, karena pada tataran religiositas manusia tidak hanya mengetahui Allah yang
dirumuskan secara kategorial-simbolik, yang selalu tidak memadai, akan tetapi manusia
berhadapan dengan Allah sebagai Misteri yang Transenden, sekaligus sebagai Pencipta
dan Penyelamat manusia. Iman kepercayaan kepada Allah sebagai pokok keselamtan
manusia menjadi dasar untuk membangun persaudaraan sejati di antara umat bangsa
dan umat manusia seluruhnya.
Visi persaudaraan baru ini hanya mungkin terjadi, bila manusia bersedia melepaskan
kepentingan diri dan golongan, misalnya: egoisme, sektarianisme, primordialisme ; dan
mengutamakan kehendak. Allah sebagai dasar persaudaraan sejati. Untuk megenali
kehendak Allah diperlukan keterbukaan hati tanpa batas pada nilai-nilai kebenaran dan
kebaikan, dengan dibekali kesediaan untuk dialog, bekerjasama dengan siapapun yang
berkehendak baik.
Dialog pada tataran hidup religius rupanya perlu dikembangkan terus dan
dimasyarakatkan. Kalau demikian kita boleh berharap bahwa persaudaraan itu akan
tumbuh dari bawah, berakar kuat dalam kehidupan rakyat.

2. Dialog antar Iman


3. Pemihakkan kepada Kaum Miskin
Kesediaan yang tulus untuk membangun persaudaraan yang sejati akan menjadi
semakin murni, apabila kita sanggup melibatkan diri dalam kegembiraan dan
kecemasan manusia dewasa ini terutama yang miskin dan terlantar. Kaum miskin
adalah mereka yang tak bermilik dalam bentuk apapun: kekuasaan, kedudukan, harta
milik, dan lain-lain. Yang tinggal pada mereka adalah kemanusiaan. Kalau kita masih

edited tahun 2007/8 by PKMKU


Hal : 13
menghargai mereka yang miskin dan terlantar sebagai sesama kita, kita bisa menghargai
pula apa artinya kemanusiaan dan martabat pribadi manusia.

edited tahun 2007/8 by PKMKU


Hal : 14
III
PERAN AGAMA-AGAMA
DALAM PROSES PEMBANGUNAN BANGSA

Hubungan antara lembaga agama dan lembaga negara hanya bisa dilhat secara betul dalam visi
yang utuh mengenai humanisme integral yang menjadi dasar dan tujuan pembangunan bangsa.
Oleh karena itu, perlu ditinjau lebih dahulu hubungan antara komponen-komponen dalam
multidimensionalitas manusia.

A. POLA HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN NEGARA


Terjadi berbagai macam pola hubungan antara lembaga agama dan lembaga negara. Pola
hubungan ini ditentukan oleh kuat lemahnya kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing
lembaga itu, maka bisa muncul pola hubungan integristik atau yang separatistik.

1. Pola Hubungan yang Integristik


Yang dimaksud pola hubungan yang integristik ialah pola pikir yang memandang
realitas komplek dari satu dimensi saja. Otonomi dari masing-masing lembaga tidaklah
diakui. Tergantung kuat lemahnya kekuasaan yang dimiliki masing-masing lembaga itu,
maka bisa muncul sikap integristik dari pihak agama ataupun dari pihak negara.

a. Sikap integristik dari pihak Agama


Bila lembaga agama lebih kuat dari lembaga negara, maka ada kecenderungan dari
pihak lembaga agama untuk menjadi hukum agama berlaku sebagai hukum negara.
Ibadar agama dijadikan ibadat negara. Ingat adanya doa politik, yaitu doa yang
dilaksanakan dengan tujuan-tujuan politik tertentu. Diperjuangkannya satu agama
bagi seluruh warga negara, sehingga ada agama negara

b. Sikap integristik dari pihak Negara


Bila lembaga negara lebih kuat dari lembaga agama, maka negara cenderung untuk
mencampuri masalah interen iman kepercayaan warga negaranya di luar batas-batas
kewenangannya. Agama dipandang melulu demi kepentingan politik. Politik adalah
panglima. Dan panglima perang bertindak sebagai pemimpin agama. Negara menjadi
negara agama.
Sikap integristik ini bertumbuh subur dalam suatu masyarakat yang sinkretistik,
yang suka mencampuradukan unsur-unsur berbeda, bahkan bertentangan, dalam

edited tahun 2007/8 by PKMKU


Hal : 15
suatu harmono yang semu. Meng-agama-kan politik dan mem-politik-an agama
adalah buah-buah dari sikap integristik ini.

2. pola Hubungan yang Separatistik


Kalau sikap integristik memandang realitas dari satu dimensi saja, maka sikap
separatistik memisahkan dimensi yang satu dari dimensi yang lain.

a. Sikap separatistik dari pihak Agama


Dalam sikap separatistik ini agama dihayati melulu sebagai urusan pribadi atau
sektenya dengan Tuhan. Dengan demikian urusan sosio-politik bukanlah urusan
agama. Iman kepercayaan adalah soal batin dan hidup akhirat. Menjadi larangan
bagi orang beragama untuk berpolitik, karena politik itu kotor. Dunia harus
ditinggalkan. Maka sekte semacam ini cenderung untuk mengisolasi diri dari
masyarakat.

b. Sikap separatistik dari pihak Negara


Sikap separatistik dari pihak negara berpendapat bahwa agama bukanlah urusan
negara. Negara tidak perlu mengurus masalah kepercayaan warganya, bersikap dari
indeferen sampai memusat. Karena itu warga negara dilarang untuk beragama.
Sikap ini bisa melahirkan negara sekularistik-atheis.
Sikap-sikap ekstrem bagi yang integristik maupun yang separatistik tidak mengakui
adanya otonomi masing-masing lembaga. Bila sikap ekstrem itu menjadi sikap hidup
bermasyarakat yang dirusak adalah martabat pribadi manusia itu sendiri.

3. Kerjasama Kritis antar Agama dan Negara


Kerjasama kritis saling melengkapi antara agama dan negara hanya mungkin terjadi bila
otonomi masing-masing lembaga diakui dan dihargai, sebagai otonomi yang tidak
terisolasi, tetapi yang berkorelasi dengan yang lain. Dasar pemikiran dari otonomi yang
korelatif ini ialah dasar pembedaan (Latin: “disctinctio”). Lembaga agama berbeda
dengan lembaga negara menurut perbedaan tekanan dimensi, tetapi masing-masing
lembaga mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengusahakan terwujudnya humanisme
integral. Dengan demikian masing-masing lembaga akan mampu bekerjasama secara
kristis, saling melengkapi.
Untuk Indonesia, Pancasila dikemukakan sebagai asas dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara bagi seluruh warga Indonesia. Asas itu menegaskan bahwa

edited tahun 2007/8 by PKMKU


Hal : 16
negara Indonesia bukan negara agama (integristik), bukan pula negara sekularistik-
atheis (separatistik), melainkan negara yang berke-Tuhan-an yang berdasarkan
Pancasila.

B. POLA HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN IPTEK


Apakah akal budi manusia bertentangan dengan iman ? Apakah kemajuan iptek
merongrong kehidupan beragama ?

1. Sekularisasi
Humanisme merupakan ciri pokok dunia moderen. Penemuan otonomi tata dunia
(sekularitas) berkat kemajuan iptek mendorong terjadi proses sekularisasi. Istilah
‘sekularisasi’ berarti suatu proses historis yang menempatkan manusia sebagai pusat
dan tujuan evolusi dunia, memajukan otonomi dunia yang semakin besar seiring dengan
penemuan-penemuan hukum-hukum alam, yang bertujuan bagi pengabdian seluruh
masyarakat manusia tanpa harus secara langsung meminta legitimasinya pada prinsip-
prinsip dan norma-norma agama.
Dengan kemajuan Iptek, proses sekularisasi memantau manusia untuk menyadari
kemampuannya, yang membuatnya semakin dewasa. Ini tidak berarti dekadensinya
nilai-nilai spiritual, apabila kedewasaan manusia dan otonomi dunia dipahami dalam
korelasinya dengan Tuhan yang Transenden. Tanpa kesadaran akan korelasinya dengan
Tuhan, Allah Pencipta ini, sekularisasi memang bisa jatuh pada sekularisme atheis.

2. Demitologisasi dan Desakralisasi


Seiring dengan proses sekularisasi itu terjadi pula demitologisasi dan desakralisasi.
Kemajuan Iptek membebaskan manusia dari mitologi-mitologi, di mana Tuhan
dipandang secara langsung terlibat dalam kehidupan manusia dan dunia ini. Iptek akan
menerangkan secara ilmiah bahwa gunung yang meletus atau banjir atau wabah
penyakit tidaklah secara langsung tanpa kemarahan Tuhan.
Relasi manusia dengan Allah yang kudus (Latin: “sanctus”) akan menjadikan manusia
dan seluruh dunia ini dikuduskan (Inggris : “sacred”). Sakralisasi ini memisahkan antara
yang ‘sakral’ dari yang ‘profan’. Kemajuan iptek akan terus mengurangi wilayah-
wilayah ‘sakral’ itu, juga dalam bidang hidup keagamaan, yang menyangkut konsep-
konsep mengenai Allah sekalipun dengan demikian iptek mendorong desakralisasi.

edited tahun 2007/8 by PKMKU


Hal : 17
Dalam arus demitologisasi dan desakralisasi ini hidup beriman kita memang bisa
diguncangkan, namun sekaligus bisa dimurnikan, supaya kita beriman secara dewasa
dan bertanggungjawab.

3. Beriman secara Dewasa dan Bertanggungjawab


Pada zaman moderen ini, manusia dituntut untuk beriman secara dewasa dan
bertanggungjawab. Iman kepercayaan akan Allah menjadi dewasa bila agama dihayati
buka sebagai kebutuhan psikologi manusia yang lemah dan kekanak-kanakkan di
hadapan Allah. Iman kepercayaan yang dewasa akan memberi makna hidup, arah bagi
tujuan hidup yang harus diperjuangkan. Dengan demikian agama menjadi fungsi kritis
dan berdaya kreatif bagi manusia untuk hidup berkembang menuju kedewasaan yang
integral.
Untuk itu, beriman harus lebih diutamakan dari beragama, sehingga beragama menjadi
suatu pilihan pribadi yang dipertanggungjawabkan.

C. PERAN AGAMA-AGAMA DALAM PROSES PEMBANGUNAN BANGSA


Situasi masyarakat Indonesia yang sedang membangun di segala bidang harus kita jadikan
konteks bagi refleksi teologis bagi kita untuk menentukan sikap kita.

1. Gambaran Situasi Masyarakat Indonesia


• Situasi sosio-religius
• Situasi sosio-budaya
• Situasi sosio-politik
• Situasi sosio-ekonomi
• Dan lain-lain.

2. Peran Profetis Agama-agama


Istilah ‘profetis’ berasal dari kata Latin ‘profeta’. Kata pro bermakna banyak menurut
dimensi spasial; yang berbicara di depan; menurut dimensi temporal : yang berbicara
sebelumnya dan menurut dimensi personal : yang berbicara atas nama.
Agama-agama melaksanakan peran profetisnya bila sanggup mewartakan kebenaran
dan keadilan yang bersumber pada Allah, dan menjadi tanda serta saksi hidup bagi
kemanusiaan yang dipermiskin oleh lembaga-lembaga karena mau bertahan pada ‘status
quo’ dan vested interest.

edited tahun 2007/8 by PKMKU


Hal : 18

Anda mungkin juga menyukai