Anda di halaman 1dari 15

NAMA: JOCHBETH .D.

LUTURMAS

NPM: 12186208180012

PRODI: PAK

ANTROPOLOGI MASYARAKAT KEPULAUAN

(BUDAYA DUAN LOLAT, KABUPATEN KEPULAUAN TANIMBAR)

 Latar belakang
Dalam kehidupan masyarakat Tanimbar tentu budaya Duan Lolat sangat penting
dalam kehidupan mereka. Bahkan budaya ini merupakan jati diri dari masyarakat
Tanimbar.
Peristiwa globalisasi yang berlangsung secara masif di negeri ini telah membawa
dampak tersendiri bagi perkembangan nilai duan lolat. Sebagaimana telah
dikonstruksi oleh para leluhur, sejatinya nilai duan lolat bertujuan untuk membawa
kebaikan dan kesejahteraan bagi masyarakat Tanimbar. Hal ini karena di dalam nilai
duan lolat itu hidup semangat gotong royong, sebagaimana dijelaskan di atas.
Semangat gotong royong ini lah yang seharusnya dipakai oleh masyarakat Tanimbar
sebagai alat untuk menciptakan social security, mewujudkan social order dan
mencapai kesejahteraan bersama. Namun, saat ini nilai duan lolat telah jauh
menyimpang dari makna yang sebenarnya. Telah terjadi pergeseran makna duan lolat
di masyarakat. Tanggungan adat yang tadinya dilakukan dengan semangat gotong
royong demi berbela rasa, telah bergeser menjadi semangat konsumtif. Telah
terbangun pula mekanisme evaluasi dan kontrol yang ketat di masyarakat, sehingga
ketika tanggungan adat yang diberikan tidak dipenuhi atau bahkan tidak memenuhi
persyaratan yang telah disepakati bersama, maka pihak yang bersangkutan—entah
duan maupun lolat akan mendapatkan sanksi secara adat maupun secara sosial. Secara
adat, mekanisme evaluasi dan kontrol ini dibungkus dengan kisah-kisah mistis yang
kental, sehingga memiliki makna yang begitu kuat dan mendalam. Misalnya, ketika
pihak lolat tidak memenuhi kewajibannya dan menyebabkan kemarahan dari pihak
duan, maka akan ada musibah (sakit penyakit, sampai pada kematian) yang menimpa
pihak lolat. Menariknya, berbagai kasus yang muncul di masyarakat akibat
terganggunya relasi duan lolat semakin menjustifikasi hal ini. Selain itu, secara sosial,
pihak yang tidak memenuhi kewajibannya sudah tentu akan dikucilkan dari
paguyuban. Mereka akan dianggap sebagai pecundang dan tidak memiliki harga diri
di mata adat.
Sebagai akibat dari mekanisme evaluasi dan kontrol yang begitu ketat di atas,
sebagian besar pendapatan keluarga kemudian dialokasikan untuk memenuhi
tanggungan adat dimaksud. Akibat lanjutannya, berbagai kebutuhan dasar mereka
seperti kesehatan dan pendidikan yang seharusnya mendapatkan prioritas, menjadi
terabaikan. Padahal, dalam perspekif Kebijakan Sosial, ketika kearifan lokal yang
dianut oleh suatu masyarakat telah menghambat mereka untuk memenuhi kebutuhan
dasar mereka seperti kesehatan dan pendidikan, maka di saat yang bersamaan
masyarakat tersebut telah terjebak di dalam “lingkaran setan kemiskinan” (vicious
circle of poverty). Mereka akan terus hidup tanpa jaminan kesehatan dan pendidikan
yang baik sehingga kualitas sumber daya manusia yang mereka miliki akan terus
menurun dan tidak memiliki daya saing. Akibat lanjutannya, mereka akan memiliki
produktivitas yang rendah, dan kalau pun mereka memiliki pendapatan, maka
pendapatan mereka sudah pasti rendah dan tidak akan banyak berarti untuk
mengakses kesehatan dan pendidikan yang lebih baik.

Sementara itu, dalam perspektif Ilmu Ekonomi, dengan semakin rendahnya


pendapatan masyarakat—karena sebagian besar harus digunakan untuk membiayai
tanggungan adat dimaksud—akan berakibat pada semakin rendahnya tabungan dan
investasi. Rendahnya tabungan dan investasi akan berakibat pada keterbelakangan,
ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal, yang berakibat pada rendahnya
produktifitas. Rendahnya produktifitas akan semakin menyebabkan rendahnya
pendapatan. Dengan semakin kompleksnya hubungan kekerabatan secara adat yang
dimiliki oleh suatu keluarga, maka semakin banyak pula tanggungan adat yang harus
dipikul oleh keluarga tersebut. Suatu keberkahan yang ternyata harus berbuah ironi.
Kondisi ini semakin diperparah dengan karakteristik masyarakat Tanimbar yang
sebagian besar masih menggantungkan diri pada sektor pertanian tradisional. Padahal,
masyarakat yang masih menggantungkan diri pada sektor pertanian yang subsisten,
metode produksi yang tradisional, yang sering kali dibarengi oleh sikap apatis
terhadap lingkungan (termasuk lingkungan sosial), cenderung akan terus hidup di
dalam kemiskinan, selain pergeseran nilai di atas, yang menyebabkan kemiskinan,
nilai duan lolat juga telah diseret-seret ke dalam arena politik praktis dan perburuan
rente. Di dalam setiap hajatan politik yang berlangsung di Tanimbar, ada saja elite
politik yang memanfaatkan duan lolat sebagai mesin pendulang suara. Demi
kepentingan politik jangka pendek, relasi duan lolat yang sejatinya berada di ruang
privat masyarakat Tanimbar, dengan mudahnya dijadikan tameng dalam perhelatan
politik yang berlangsung di ruang publik. Akibatnya, hampir setiap peristiwa politik
yang terjadi di Tanimbar selalu menyisakan keretakan hubungan kekerabatan di
masyarakat. Tidak hanya itu, para pemburu rente di Tanimbar kerap memanfaatkan
celah nilai duan lolat untuk melakukan moral hazard. Atas nama duan lolat, mereka
rela mengeruk sumber daya publik untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau pun
golongan. Dalam konteks kelembagaan, hubungan duan lolat yang begitu luhur ini
bisa saja kita analogikan pada hubungan antar lembaga publik. Sebagai contoh,
lembaga legislatif yang ada di daerah bisa saja kita sebut sebagai pihak duan, karena
DPRD merupakan representasi dari masyarakat yang ada di daerah itu. Sementara
lembaga eksekutif atau Pemerintah Daerah bisa kita sebut sebagai pihak lolat yang
bertugas untuk melaksanakan berbagai kerja eksekutif dengan tujuan untuk
menyejahterakan masyarakat. Dalam konteks lain, Pemerintah Daerah bisa saja
diposisikan sebagai pihak duan yang merepresentasi masyarakat di daerahnya dengan
menyelenggarakan tender proyek secara adil dan transparan. Sementara itu, para
pelaku usaha yang mengikuti tender proyek (baca: kontraktor) bisa bertindak sebagai
pihak lolat. Bagi kontraktor yang memenangkan tender, harus dapat melaksanakan
proyek tersebut dengan mengikuti standar dan kinerja proyek sebagaimana telah
disepakati tender, sebagai wujud penghormatan terhadap duan-nya tadi.

 Masalah
Masalah yang ingin dilihat terkait dengan kurangnya pemahaman masyarakat
mengenai budaya Duan Lolat. Masyarakat Tanimbar sejauh ini sangat memahami
budaya mereka, sehingga budaya Duan Lolat ini dipakai sebagai yang mengatur
kehidupan masyarakat Tanimbar. Budaya Duan Lolat adalah jati diri dari masyarakat
Tanimbar, karena dari budaya itulah kehidupan sistem sosial mereka berjalan dengan
baik.

 Tujuan
Hukum Duan-Lolat dalam masyarakat Tanimbar merupakan suatu hukum adat
tertinggi yang lahir dan hidup berdasarkan hak dan tanggung jawab timbal-balik
antara keluarga pemberi dan keluarga penerima anak dara (perempuan) dalam
berbagai aspek hidup multidimensional masyarakat warga Tanimbar di mana saja
berada, yang bersifat konseptual dan aktual.
Konsep multidimensional disini menunjuk pada segala aspek kehidupan masyarakat
Tanimbar, mulai dari kelahiran, tutup rumah baru, perkawinan, sampai pada kematian
seorang anggota masyarakat. Aturan dan Sanksi adat yang jelas dari praktek hukum
Duan-Lolat di tanah Tanimbar membuat masyarakat sangat kokoh dalam menghayati
dan menghidupi semangat dan nilai-nilai yang ada dalam sistem Duan-Lolat ini.
Sejalan dengan perkembangan dunia yang menggandeng modernisasi yang
menyentuh kehidupan masyarakat Tanimbar, tak dapat dipungkiri pola perilaku
masing-masing individu dalam masyarakat pun ikut dipengaruhi dan terbentuk
bersamaan dengan kemajuan yang ada. Modernitas yang membawa dampak positif
maupun negatif terhadap kepribadian dan tingkah laku manusia, turut merasuk dan
mempengaruhi masyarakat Tanimbar. Hal ini tentu berdampak pada keberadaan
hukum adat sebagai pranata tingkah laku masyarakat Tanimbar.
Ada berbagai pendapat mengenai keberadaan hukum adat dalam arus modernitas
dewasa ini, khususnya di Tanimbar. Ada yang beranggapan bahwa hukum adat tidak
relevan lagi dalam ranah perkembangan dunia modern dan sudah harus ditinggalkan
karena bersifat kuno/primitif, dan diganti dengan hukum positif yang dibentuk oleh
Negara saja agar selalu dapat diupdate sesuai dengan perkembangan zaman; ada pula
komentar yang mengatakan hukum adat tetap masih relevan dalam kehidupan
masyarakat Tanimbar dewasa ini, terhadap patokan perilaku sesuai dengan ciri khas
masyarakat.

 Manfaat tulisan
Dari budaya Duan Lolat kita dapat mengetahui tentang manfaat budaya ini bagi
manusia dalam hubungan dengan alam. Budaya Duan Lolat ini bukan hanya
bermanfaat sebagai hukum adat yang mengatur kehidupan masyarakat Tanimbar,
mengatur hubungan kekerabatan dalam keluarga, mengatur hubungan sosial dengan
sesama. Apalagi dalam budaya ini juga dapat menyelesaikan masalah-masalah yang
ada seperti konflik-konflik sosial yang terjadi pada masyarakat Tanimbar.

 Kerangka Teori
Teori M. Keesing ini bersumber dari teori – teori lain, yang di dalam bacaan ini ia
ulaskan mengenai teori dari Geertz, Rappaport, Vayda, Ward Goodenough, Levi-
strauss, David Schneider, Singer, dll. Dengan bersumber kepada teori kebudayaan
dari para pakar diatas, Keesing mengolah pendapatnya sendiri melalui bab yang
berjudul teori – teori tentang budaya, ia juga menelaah dari pendapat – pendapat serta
teori – teori para pakar tersebut. Keesing menyebutkan mana hal yang ia setujui dan
mana yang tidak. Dalam dewasa ini Keesing membuat sebuah ringkasan mengenai
pemikiran – pemikiran tentang budaya agar lebih mudah dimengerti oleh masyarakat.
Ia membagi ke dalam 4 bidang, 4 bidang tersebut ialah:
a) Budaya Sebagai Sistem Adaptif
Dari sekian banyak yang dipaparkan oleh Keesing, ia telah menyimpulkan
makana dari budaya sebagai sistem adaptif, yaitu:
Pertama, setiap pemikiran bahwa apabila kita menguliti lapisan konvensi kultural
maka pada akhirnya kita akan menemukan Primal man dan keadaan manusia yang
bugil di dasarnya, merupakan pemikiran yang steril dan berbahaya. Kita
memerlukan satu model interaksional yang kompleks, bukan satu lapisan yang
sederhana seperti itu.(19,25) Jadi yang dimaksud oleh Keesing ialah dalam
meneliti tentang suatu budaya diperlukan pemikiran yang sangat serius tidak bisa
diungkapan dengan biasa – biasa saja dan sederhana sekali, apabila kita mencoba
untuk meneliti dan mengamati secara lebih dalam maka yang kita dapatkan ialah
sesuatu yang murni, oleh itu dikatakan olehnya “….merupakan pemikiran yang
steril dan berbahaya…”. Kebudayaan itu bersifat dinamis namun sangat berhati –
hati dalam menentukan bagaimana kemudian kelanjutannya.
Kedua, baik determinisme ekologis maupun determinisme kultural yang ekstrem
sekarang dapat didukung oleh kepercayaan dan ideologi, tetapi tidak oleh ilmu
pengetahuan yang arif bijaksana. Yang perlu untuk ditelusuri adalah cara – cara
bagaimana garis acuan biologis ditransformasikan dan dikembangkan ke dalam
pola – pola kultural; dan ini memerlukan rencana penelitian yang imajinatif dan
hati – hati dan penyelidikan yang telaten, bukan polemik – polemik dan
sensasionalisme. Jadi yang dimaksud Keesing ialah kebudayaan tidak dapat
diukur dalam ilmu pengetahuan dan tidak dapat apabila kita berpegang teguh
dengan ilmu pengetahua, tetapi kebudayaan itu diukur melalui kepercayan dan
ideologi – ideologi masyarakat yang berbudaya. Serta dalam meneliti kebudayaan
bukanlah untuk mencari suatu ketenaran atau sensasi melainkan untuk
mendapatkan hal – hal yang diperlukan dan berguna bagi masyarakat luas dengan
cara penelitian yang imajinatif dan hati – hati serta penyelidikan yang telaten.

b) Teori – teori Ideasional Mengenai Budaya


Teori ini adalah teori yang dipegang teguh oleh Keesing dalam setiap materinya ia
menyebutkan tentang Ideasional yaitu budaya berperan sebagai sistem ide
(gagasan), dan teori ini bertolak dengan ahli teori adaptasi tentang budaya. Ia
membedakan tiga cara yang khas dalam mendekati budaya sebagai sistem ide
(gagasan), yaitu sebagai berikut :
 Budaya Sebagai Sistem Kognitif
Maksudnya ialah budaya itu sebagai pengetahuan (cognitif). Jadi budaya
bukan sekedar untuk hiasan saja dalam kehidupan seseorang, tetapi dengan
mempelajari budaya, kita juga turut mempelajari suatu pengetahuan. Oleh
karena itu Keesing mengatakan bahwa budaya tidak didukung oleh ilmu
pengetahuan yang arif bijaksana sebab dengan kebudayaan itulah kita
mempelajari suatu ilmu pengetahuan yang arif bijaksana itu. Keesing
mengatakan satu tema besar yang lain pada 15 tahun terakhir ini adalah
kemunculan antropologi kognitif yang ekplisit (juga disebut “etnografi
baru”, “ethnoscience”, ‘ethnograpic seemantics”). Dalam prakteknya,
“etnografi baru” ini pada dasarnya satu pengkajian terhadap sistem
klasifikasi penduduk setempat (folk classification). Ia pun berpendapat
bahwa perkembangan penelitian ynag terus menerus terhadap pengetahuan
kultural ini dapat menghasilkan penglihatan yang lebih dalam.
 Budaya Sebagai Sistem Struktural
Yang mempengaruhi susunan atau tatanan yang terpola secara kultural
ialah pikiran (mind). Struktur pemikiran – pemikiran yang meliputi
tentang bahasa, adat istiadat yang berbeda antara masyarakat itu dipandang
sebagai “Budaya”, yaitu bersifat universal yang semua masyarakat di
dunia ini punya akan kebudayaan tersebut, daripada “sistem budaya” yang
bersifat lokal. Oleh karena itu setiap budaya pada masing – masing
masyarakat berbeda di seluruh dunia karena pikiran mereka yang
menyebabkan kebudayaan itu berbeda satu sama lain.
 Temuan Penelitian
- Dalam temuan penelitian ini, akan menggambarkan lokasi atau desa yang
ingin saya pelajari mengenai budaya Duan Lolat. Saya mengambil dari desa
saya sendiri, yakni desa Waturu, Kecamatan Nirunmas. Tentu desa waturu ini
bagian dari masyarakat Tanimbar yang mengenal budaya Duan Lolat sebagai
kearifan lokal yang dilestarikan untuk kepentingan kehidupan sosial dalam
masyarakat Tanimbar.
- Sejarah budaya Duan Lolat
Hukum adat dalam masyarakat Tanimbar biasanya disebut sebagai hukum
Duan Lolat. Duan berasal dari kata ”Ndrue” yang berarti tuan, raja, pemimpin
dan penguasa. Dalam strata sosial masyarakat Tanimbar, Duan selalu memiliki
kedudukan lebih tinggi daripada Lolat. Duan Lolat merupakan simbol adat
yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Tanimbar. Duan adalah tanah dan
Lolat adalah hujan. Lolat disimbolkan dengan hujan yang jatuh ke bumi yang
memberikan kesuburan pada tanah. Duan besar adalah Tuhan sedangkan
manusia adalah Lolat. Duan dan Lolat memiliki arti lain, Duan dapat berarti
pemberi dara sedangkan Lolat berarti penerima dara. Duan dan Lolat dalam
arti harafiah dapat dipahami sebagai hubungan antara tuan (duan) dan
hambanya (lolat). Duan berarti pemberi anak dara dan Lolat berarti penerima
anak dara. Duan dan Lolat merupakan keterikatan adat istiadat yang sangat
kental dan erat dalam berbagai aktifitas dalam masyarakat Tanimbar. Hukum
Duan Lolat mengandung nilai dan norma yang hidup di kepulauan Tanimbar
untuk mengatur hubungan darah dari sebuah perkawinan suami atau laki-laki
dan isteri atau perempuan yang berlansung secara terus menerus dalam
kehidupan masyarakat Tanimbar. Hukum adat Duan Lolat mempunyai fungsi
untuk mengatur hubungan sosial dan menjelaskan aturan dalam bertingkah
laku dalam kehidupan sehari-hari baik itu dalam menyelesaikan masalah,
pembagian harta warisan sampai pada penyelesaian kejahatan.

1. Duan
Dalam segala hal, Duan sebagai pemegang nafas Lolat, artinya Duan
merupakan asal segala hidup, pemberi hidup. Dalam hubungan dengan
manusia lain dalam kehidupan masyarakat (laki-laki dan perempuan),
Duan dimaksudkan sebagai perempuan yang merupakan lambang dari
kehidupan, kesuburan. Dalam bahasa Tanimbar disebut ”Ompak Ain”
yang berarti tempat tanah. Dalam perkawinan masyarakat Tanimbar, Duan
adalah pemberi perempuan artinya Duan memiliki perempuan. Jika
perempuan hendak menikah maka Duan akan memberikan perempuan itu
kepada seorang yang mau menjadi suaminya. Pada saat perempuan itu
sudah menikah maka saudara laki-laki dari perempuan (pihak keluarga
perempuan) akan berstatus sebagai Duan bagi suaminya (pihak keluarga
laki-laki). Duan merupakan garis keturunan yang berasal dari ibu. Apabila
dalam suatu keluarga tidak ada anak perempuan maka hubungan itu secara
otomatis terputus. Misalnya, Bapak Benyamin Atjas menikah dengan Ibu
Kasparina Suarlembit. Dari hasil perkawinan mereka mempunyai dua
orang anak, yaitu Hilarius dan Wensuslaus. Mereka tidak mempunyai
saudara perempuan maka Hilarius dan Wensuslaus tidak berperan sebagai
Duan karena tidak mempunyai saudara perempuan, maka secara otomatis
hubungan Duan dan Lolat terputus.
Apabila dalam suatu keluaraga memiliki anak laki-laki yang akan menikah
dengan seorang anak perempuan dari keluarga lain, maka Duan (saudara
laki-laki dari ibu) harus membayar adat kepada keluarga perempuan
sehingga anak perempuan diserahkan kepada Duan. Kalau seorang anak
perempuan dari keluarga itu menikah maka Duan dari keluarga itu
membayar adat kepada pihak keluarga perempuan maka pembayaran adat
itu diserakan keluarga perempuan kepada Duan. Dalam hukum adat
masyarakat Tanimbar, seseorang yang berada dalam hubungan dara boleh
saling menikah[5]. Misalnya Bapak Yohanes mempunyai saudara
perempuan bernama Hendrika. Bapak Yohanes menikah dengan Ibu
Yosefa dan mempunyai anak yaitu Margareta dan Maria. Ibu Hendrika
menikah dengan Bapak Elias dan mempunyai anak yaitu Thomas. Untuk
menjaga agar hubungan kekerabat tidak putus antara Yohanes dengan
saudarinya Hendrika, maka Yohanes dan Thomas sepakat untuk saling
menikahkan anak-anak mereka. Anak dari Elias yaitu Thomas menikah
dengan Margareta, anak dari Yohanes. Hal ini dilakukan agar tetap terjalin
hubungan kekerabataaan diantara keluarga. Dalam kehidupan masyarakat,
Duan mempunyai tanggungjawab terhadap Lolatnya. Tugas dan
tanggungjawab Duan yaitu: sebagai pelindung dan pemelihara. Duan
selalu melindungi Lolatnya dalam semua hal. Dalam bahasaa Tanimbar
disebut ”Teter Lere”, yang berarti melindungi dari panas dan hujan. Pada
saat Lolat mengalami masalah maka Duan akan berperan untuk
melindunginya. Pada saat seorang anak dari Lolat pergi ketempat yang
jauh maka Duan mempunyai kewajiban untuk memberi Tais (kain tenun)
kepada anak itu sebagai ”Teter Lere” (pelindung). Tais (Kain tenun)
sebagai simbol dari Duan untuk melindungi anak baik itu anak laki-laki
maupun anak perempuan dari hujan dan panas pada saat beradaa di tempat
tinggalnya yang baru. Duan berperan sebagai pemelihara dalam hal apa
saja yaitu dia pemberi hidup dan menghidupi Lolat. Duan sebagai
pemegang nafas Lolat karena memberi hidup. Dalam kehidupan sehari-
hari, setiap tindakan dari Lolat harus hati-hati karena kesalahan yang
dibuat oleh Lolat terhadap Duan dan Duan marah maka lolat akan
mendapat akibatnya yaitu menderita sakit. Dalam proses adat, Duan
mempunyai tugas untuk memberi makan kepada Lolatnya (fungsi
pemelihara) dan memberi kain kepada lolatnya (fungsi melindungi).
2. Lolat
Dalam adat masyarakat Tanimbar, Lolat berarti hamba. Dalam strata sosial
masyarakat Tanimbar, Lolat selalu berada pada posisi dibawah Duan.
Lolat selalu bergantung hidup pada Duan. Pada saat Lolat menghadapi
suatu masalah, maka Duan menjadi tempat berteduh dan sebagai sandaran
hidup. Dalam hubungan manusia satu dengan yang lain dalam masyarakat
Tanimbar, Lolat dimaksudkan sebagai laki-laki yang siap bekerja
membantu Duan. Dalam bahasa tanimbar disebut ”Udin Ain”, yang artinya
tempat hujan. Dalam konteks perkawinan, Lolat adalah penerima
perempuan artinya perempuan diberikan oleh duan. Dalam perkawinan,
laki-laki mau menikah dengan perempuan pemberi dari Duan maka suami
dari perempuan itu dan keluarganya akan menjadi Lolat bagi perempuan
itu dan keluarganya. Lolat mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk
mengabdi kepada Duan. Dalam proses adat, Lolat mempunyai kewajiban
untuk memberi Tuke dan syingat (tuak atau sopi dan sumbat atau penutup
botol) dan ikan atau daging kepadaa Duan. Lolat mempunyai peran untuk
menuangkan tuak kepada duan untuk minum, membagi-bagi makanan
kepada duan untuk makan. Duan dan Lolat mempunyai peran masing-
masing dalam kehidupan masyarakat tanimbar. Duan mempunyai
kewajiban kepada Lolat yaitu untuk melindungi dan mengayomi,
sedangkan Lolat harus menghormati dan menuruti aturan atau permintaan
Duannya. Dalam masyarakat Tanimbar, seorang perempuan memiliki
posisi yang tinggi sebagai simbol pemberi kehidupan. Jadi, dalam adat
masyarakat tanimbar, siapapun akan bersyukur apabila memiliki anak
perempuan. Dalam praktek perkawinan dalam kebudayaan Duan Lolat,
memperlihatkan keunggulan nilai-nilai subyektifitas Duan yang bersifat
materialistis. Hal ini sangat jelas pada saat menentukan harga yang tinggi
dari sebuah harta kawin, berdasarkan gengsi keluarga demi mewujudkan
popularitas dari seorang Duan dalam kehidupan masyarakat. Harta kawin
menjadi kewajiban yang harus dipenuhi oleh kelompok (keluarga) yang
menjabat status sosial sebagai Lolat. Proses pembayaran harta kawin yaitu:
utusan dari keluarga perempuan membawa Lufu (bakul) dan manarunya ke
rumah keluarga laki-laki sebagai simbol pemberi pesan bahwa keluarga
laki-laki akan meminta harta kawin. Dalam kunjungan itu terjadi
pembicaraan untuk menentukan waktu untuk meminta harta kawin. Hari
dan tanggal telah disepakati oleh utusan dari keluarga perempuan dengan
keluarga laki-laki.
Ada dua proses memintah harta kawin yaitu perkawinan dengan
perempuan dari desa yang sama dan perkawinan dengan perempuan dari
desa lain. Proses pembayaran harta kawin untuk perempuan dari desa yang
sama. Keluarga besar perempuan ke rumah keluarga laki-laki. Mereka
duduk di depan pintu rumah keluarga laki-laki sambil menyanyi dan
utusan dari keluarga perempuan berbicara untuk memintah harta kawin
kepada keluarga laki-laki. Utusan dari keluarga laki-laki menemui
keluarga perempuan dan bertanya kepada keluarga perempuan maksud dan
tujuan ke datangan mereka. Utusan dari keluarga perempuan mengatakan
bahwa mereka memintah harta kawin. Keluarga besar laki-laki sudah
berkumpul di dalam rumah. Utusan keluarga perempuan mengatakan
bahwa mereka datang memintah harta misalnya bagian Lele atau Mas atau
Lelbutir. Utusan laki-laki masuk rumah dan terjadi tawar menawar
diantara keluarga laki-laki siapa yang membuat harta. Setelah sepakat
maka keluarga lak-laki menyerakan kepada utusan dan utusan
menyerahkan kepada keluarga perempuan. Kalau harta itu tidak sesuai
maka mereka akan menolaknya. Jika mereka setuju maka mereka berteriak
sambil urah-urah di luar bahwa mereka sudah setuju. Keluarga laki-laki
bergembira bahwa mereka telah membayar harta kawin.
Pembayaran untuk perempuan yang berasal dari desa yang lain. Jumlah
mereka sekitar 100 orang. Lapis tahir yaitu keluarga perempuan
menyiapkan kain tenun dan semua perlengkapan rumah dari peralatan di
ruang tamu sampai peralatan dapur. Utusan dari keluarga perempuan
mengatakan kepada keluarga laki-laki bahwa keluarga perempuan berada
di pantai. Keluarga laki-laki mengutus utusannya untuk bertemu dengan
keluarga perempuan. Keluarga laki-laki harus membuat harta dengan
menarik perahu ke darat, penggayung dan toko, mengantar keluarga
perempuan untuk mandi, memberi makan dan minum dan mengantar
keluarga perempuan ke rumah keluarga laki-laki. Keluarga perempuan
duduk di depan pintu rumah keluarga laki-laki sambil menyanyi dan
utusan dari keluarga perempuan berbicara untuk memintah harta kawin
kepada keluarga laki-laki. Utusan dari keluarga laki-laki menemui
keluarga perempuan dan bertanya kepada keluarga perempuan maksud dan
tujuan ke datangan mereka. Utusan dari keluarga perempuan mengatakan
bahwa mereka memintah harta kawin. Keluarga besar laki-laki sudah
berkumpul di dalam rumah. Utusan keluarga perempuan mengatakan
bahwa mereka datang memintah harta misalnya bagian Lele atau Mas atau
Lelbutir. Utusan laki-laki masuk rumah dan terjadi tawar menawar
diantara keluarga laki-laki siapa yang membuat harta. Setelah sepakat
maka keluarga lak-laki menyerakan kepada utusan dan utusan
menyerahkan kepada keluarga perempuan. Kalau harta itu tidak sesuai
maka mereka akan menolaknya. Jika mereka setuju maka mereka berteriak
sambil urah-urah di luar bahwa mereka sudah setuju. Keluarga laki-laki
bergembira bahwa mereka telah membayar harta kawin.
Setelah sepakat dalam pembayaran harta kawin maka, keluarga perempuan
menyerahkan semua barang bawaan kepada keluarga laki-laki. Keluarga
laki-laki memberikan sopi dan ikan atau babi. Keluarga laki-laki (saudara
perempuan dari laki-laki yang menikah) harus memberikan sopi dan ikan
atau babi untuk menurunkan alat-alat perlengkapan rumah misalnya
lemari, kursi, kasur, piring, pakaian yang di pikul oleh keluarga
perempuan. Bila terjadi hubungan antara Duan dan Lolat dalam tradisi
perkawinan adat, maka kelompok Duan berfungsi sebagai penentu dan
sebagai pemutus untuk memberi kebijakan dalam perkawinan antara anak-
anak Duan dan Lolat, terhadap keturunan dari hasil perkawinan anak-anak
Duan dan Lolat tersebut. Seorang Lolat dibatasi fungsinya sebagai pelaku
dari setiap keputusan Duannya. Suatu keluarga berposisi Lolat terhadap
keluarga lainnya dan bisa menjadi Duan daan bertindak sama terhadap
keluarga yang menjadi Lolat-nya. Keluarga yang berposisi sebagai Duan
terhadap keluarga lain, akan memperlakukan keluarga itu (Lolat),
sebagaimana ia diperlakukan oleh keluarga yang menjadi Duan
terhadapnya. Keluarga marupakan kesatuan hidup yang terdiri dari ayah,
ibu, dan anak-anak, para anggota keluarga tidak saja bergaul dan
berhubungan dengan keluarga dekat saja, namun hubungan persaudaraan
itu merupakan hubungan kekerabatan yang tata tertib hubungannya
dipengaruhi oleh hukum adat kekerabatan menurut struktur masyarakatnya
masing-masing. Kultur Duan Lolat dapat terbentuk dari pola-pola
kekerabatan yang dibangun berdasarkan tradisi perkawinan adat. Pola
perkawinan dimaksud adalah sebuah perkawinan yang didasarkan pada
garis keturunan ibu-bapak (parental). Garis keturunan ini terjadi dan
disebabkan karena adanya ikatan kekeluargaan yang diprakarsai oleh
kuatnya hubungan persaudaraan antara saudara-bersaudara dan secara
khusus terhadap hubungan saudara kandung. Persekutuan adat dalam Duan
Lolat adalah dari kelompok yang paling kecil sampai kelompok yang
paling besar, yaitu keluarga, garis lurus bapak, garis lurus ibu dan Duan
Lolat itu sendiri. Duan mempunyai hak atas Lolat. Budaya Duan dan Lolat
dalam kehidupan masyarakat Tanimbar sudah pasti mempunyai suatu
pengaruh dan jelaslah pengaruh itu ada positifnya dan ada pula negatifnya.
Di bawah ini akan diuraikan pengaruhnya dalam masyarakata pada
umumnya dan pengaruh positif dan negative dalam pembentukan pribadi
pada khususnya.
- Praktek dalam Masyarakat
Praktek dari budaya Duan Lolat ini yakni hubungan sosial mereka yang
didasarkan pada ikatan perkawinan yang terjadi diantara mereka. Dalam
konteks perkawinan tersebut pihak keluarga yang memberi anak darah, dialah
yang kemudian menjadi Duan dan pihak yang menerima anak darah yang
selanjutnya menjadi Lolat. Hubungan Duan Lolat ini terjalin melalui satu
mekanisme yang disepakati bersama pada waktu membicarakan bagaimana
harta hak anak darah harus dibayar,apa saja hak dan kewajiban pihak penerima
anak darah. Masing-masing diantara mereka harus menghormati hak dan
kewajiban yang mereka sepakati.

- Bukti Praktek
Dilihat dari sejarahnya Duan Lolat diawali dengan sebuah bentuk perkawinan,
yang dulu dipahami bahwa suatu perkawinan ideal ialah perkawinan yang
terjadi di dalam kalangan sendiri, dan dilarang untuk melaksanakan
perkawinan diluar kelompoknya. Sistem pengelompokan sosial dalam Duan
Lolat tidak mengonstruksikan adanya kelas-kelas sosial secara baku seperti
sistem kasta. Duan Lolat adalah aturan yang mengatur hubungan kekeluargaan
antar individu maupun keluarga dalam suku Tanimbar. Salah satu adat
Tanimbar yang diaplikasi pemerintah daerah adalah Duan dianggap dan diakui
sebagai tuan atau pemilik desa yang harus dilayani, segala sesuatu harus
diutamakan untuk kepentingan, Lolat sebagai budayanya.

- Pengetahuan yang Diperoleh


Pengetahuan yang ingin dilihat bahwa kebudayaan ini sesungguhnya baik
dalam kehidupan bermasyarakat terkhususnya dalam hubungan keluarga, ia
hadir sebagai sistem sosial (control) yang mengatur kehidupan bermasyarakat.
Ada unsur ketaatan dan kepatuhan terhadap orang tua, yakni sebagai anak-
anak adat yang berlaku sehingga terbentuk pula sikap etis yang wajar dan
pantas diperlihatkan oleh orang tua mereka, guna mentaati segala hal
(aturan/larangan) yang mengikat mereka.

 Pengetahuan Antropologi
Dari teori Roger Kessing yang mengemukakan tentang teori budaya salah satunya
budaya sebagai sistem kognitif yang berperan untuk memberikan ide (gagasan) serta
melihat sebagai suatu pengetahuan. Jadi budaya bukan hanya sekedar untuk hiasan
saja dalam kehidupan seseorang. Tetapi dengan mempelajari budaya, kita juga turut
mempelajari suatu pengetahuan. Dari teori Roger Kessing maka dapat dilihat sebagai
suatu sistem yang mendukung salah satu dari budaya Tanimbar yakni budaya Duan
Lolat yang dilihat sebagai budaya yang mengatur sistem sosial masyarakat baik dalam
lingkup keluarga maupun lingkup sosial (masyarakat). Dan dari inilah dapat
dipandang sebagai budaya yang kognitif dipandang sebagai sebuah pengetahuan.
Tidak dijadikan sebagai hiasan saja melainkan turut mempelajari budaya didalamnya.

 Posisi Budaya
Dari budaya Duan Lolat ini dapat dilihat kekuatannya di masa pandemic ini, yakni
meningkatnya hubungan solidaritas dalam bermasyarakat. Duan yang lebih berkuasa
terhadap Lolat ini dapat dilihat dari sisi tugas dan tanggung jawab Duan yakni sebagai
pelindung, sebagai pemelihara, dan pemberi hidup. Maka dari hal seperti ini
meningkaya hubungan sosial atau pun solidaritas.
 Nillai-nilai Teologi
Teologi ini hanya melihat pada budaya Duan Lolat yang dimana nilai-nilai teologi
dapat dijumpai didalamnya , bahwa masyarakat Tanimbar dapat memahami Allah
dalam budaya Duan Lolat sebagai upaya berteologi kontekstual. Duan lolat adalah
sebuah relasi asal usul kehidupan berdasarkan garis keturunan perempuan, oleh
karena itu maka budaya Duan Lolat merupakan cara orang merefleksikan kehidupan
mereka.
Bukan itu saya nilai-nilai teologi dapat dipelajari dalam budaya ini misalnya, banyak
mengajarkan tentang nilai-nilai sosial didalamnya.
 Kesimpulan
Dari setiap pemaparan.materi diatas mengenai kebudayaan Duan Lolat maka dapat
disimpulkan bahwa budaya ini dapat kita temukan pengetahuan didalamnya, yang
banyak mengajarkan sistem sosial dalam masyarakat Tanimbar baik keluarga maupun
masyarakat seluruhnya. Bukan itu saja nilai-nilai teologi pada budaga Duan Lolat
yang dapat dijumpai oleh masyarakat Tanimbar sebagai upaya berteologi kontekstual.

Anda mungkin juga menyukai