Ketiga, khusus di pasal 448 ayat (1), partisipasi masyarakat menjadi dasar atas
diselenggarakannya Pemilu di mana pada pasal selanjutnya yakni pasal 450 ketentuan
lebih lanjutnya mengikuti peraturan KPU—frasa “peraturan Bawaslu” tidak tertulis
dalam pasal tersebut. Meski tidak ada kata “dasar” (basic) dalam UU No. 7 Tahun
2017 pasal 448 ayat (1) atas partisipasi masyarakat dalam Pemilu, namun keberadaan
Pemilu itu sendiri adalah hajat suatu negara di mana masyarakat (rakyat) menjadi
alasan mengapa sebuah negara didirikan.
Malangnya, dalam prosesi hajatan itu, posisi tuan rumah kadang tidak lebih
penting dari EO, satpam maupun para pengantin. Pun ketika hajatan selesai, tuan
rumah—meski masih satu keluarga—ibarat anak-anak polos yang sering tanpa sadar
perabot rumahnya, dapur rumahnya, kamar-kamar rumahnya, halaman rumahnya
sampai sertifikat rumahnya, secara substansial tidak bisa dinikmati oleh anak-anak
polos itu bahkan sampai dijual dan digadaikan. Sampai di sini, mari kita berhenti
membicarakan aib keluarga sendiri agar tidak jadi anak durhaka.
Sekali lagi itu adalah kampanye: apakah pendidikan politik dalam UU No. 7
Tahun 2017 ini berbeda dengan pendidikan politik yang tersedia di dunia
akademik/kampus? Tentu perbedaanya bukan soal di dunia akademik ada SPP dan
biaya lainnya, namun arti dari pendidikan politik tidak dibatasi dalam pengertian
formal politik, seperti keterlibatan dalam kampanye partai politik dan memberikan
suara dalam Pemilu atau Pilkada (Adelabu, M. A. & Akinsolu, A. O: 2009; Orit:
2004).
Isi dari pasal 448 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu terkesan lebih
condong untuk “mengamankan” Penyelenggaraan Pemilu dibanding membangun
partisipasi masyarakat dalam Pemilu. Misal di poin c. ayat (3) berbunyi: “bertujuan
meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas;” terdapat frasa baru yakni
“partisipasi politik masyarakat” di mana penulis sendiri masih belum selesai
memahami frasa “partisipasi masyarakat” dalam UU Pemilu itu.
Bila kita telaah lebih lanjut koherensi antara asas kepemiluan dengan
ayat (3) poin d. dalam pasal 448 tersebut, kata “damai” itu tidak bisa sejalan dan
berarti “jujur” misalnya, kadang jujur bisa mengundang keributan. Atau "tertib"
bukan berarti "adil", sebab tertib (penertiban) dalam praktiknya malah lebih banyak
memunculkan ketidakadilan. Di sini ada perbedaan fungsi dalam UU Pemilu antara
bentuk partisiapsi masyarakat dalam Pemilu dengan asas Pemilu. Jika masyarakat
memang harus dilibatkan—memang harus terlibat—dalam setiap tahapan Pemliu,
maka bentuk partisipasinya mesti sama dengan asas Pemilu sebab di sini kita
berbicara Undang-Undang yang menentukan kepastian hukum atas terselenggaranya
Pemilu.
Kontradiksi ini penulis kira bisa jadi acuan atas keterlibatan masyarakat dalam
Penyelenggaraan Pemilu. Entah kabar baik atau kabar buruk, seingat penulis saat
terjun langsung ke lapangan sebagai pengawas dalam Pemilu Serentak 2019 lalu,
tidak ada masyarakat yang mempersoalkan hal itu ketika terjadi penindakan
pelanggaran Pemilu di wilayah Jakarta Selatan.
Dari sini bisa kita pastikan, jangankan mengkritisi sistem kepemiluan seperti
kontradiksi asas Pemilu dengan pasal yang tadi disinggung di atas, gerakan sadar
akan pentingnya keterlibatan masyarakat itu sendiri dalam Pemilu masih sulit
terwujud. Jika indikator keberhasilan partisipasi masyarakat diambil dari fenomena
Desa APU tadi, maka salah satu penyebab penting mengapa kesadaran masyarakat
tidak tumbuh, terletak pada minimnya minat baca tulis (literasi) yang tidak dianggap
persoalan gawat. Padahal, justru literasilah yang membuka wawasan seseorang,
menggugah empati individu untuk bergerak maju.
Tentu dalam praktiknya gerakan Desa APU tidak dengan mudah terlaksana
seperti kedipan mata, masyarakat yang ikut terlibat dalam gerakan itu harus berurusan
dengan warga setempat lainnya yang memang terbiasa menerima pemberian uang
dari caleg maupun tim sukses—meski Kepala Desa setempat mendukung dengan cara
mengeluarkan Peraturan Desa Anti Politik Uang.
Tradisi itu menunjukkan tidak ada sekat antara sahibulhajat dengan semua
yang hadir dalam pernikahan karena semuanya saling bahu-membahu layaknya
sebuah keluarga. Semangat bahu-membahu (gotong royong) ini akan terus berlanjut
setiap kali dilaksanakan hajatan pernikahan, bahkan di beberapa daerah sahibulhajat
akan mencatat si A memberi amplop berapa dan si B kado apa sehingga kelak jika si
A dan si B melangsungkan hajat pernikahan ia akan diberi amplop dengan jumlah
serupa atau kado dengan isi yang sama.
Maka dari itu jangan sampai masyarakat menjadi anak-anak polos yang
menurut saja tiap pembantu atau pengurus rumah tangga menyuruh menonton telivisi
misalnya, karena siapa tahu saat asyik menonton komedi atau sinetron, si pembantu
pun asyik menonton anak-anak itu di atas kursi paling nyaman yang didesain
menyerupai kelopak bunga yang merekah dan dibalut kulit asli berwarna coklat—
sebuah gambaran kursi paling mahal di dunia yang dibuat oleh desainer Irlandia
bernama Eileen Gray di tahun 1971.