Anda di halaman 1dari 8

TELAAH ATAS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM UU PEMILU

Frasa “partisipasi masyarakat” dalam UU No. 7 Tahun 2017 tertulis 25 kali di


mana peranannya anatara lain, pertama, ikut terlibat dalam menyeleksi penetapan
calon anggota KPU dan Bawaslu tingkat pusat, tingkat provinsi sampai tingkat
kab/kota. Kedua, dalam menentukan jumlah pemilih dan lokasi TPS, KPU harus
memperhatikan prinsip partisipasi masyarakat yakni ketika pemilihan dilaksanakan
jarak menuju TPS dipermudah dan tidak menggabungkan 2 desa.

Ketiga, khusus di pasal 448 ayat (1), partisipasi masyarakat menjadi dasar atas
diselenggarakannya Pemilu di mana pada pasal selanjutnya yakni pasal 450 ketentuan
lebih lanjutnya mengikuti peraturan KPU—frasa “peraturan Bawaslu” tidak tertulis
dalam pasal tersebut. Meski tidak ada kata “dasar” (basic) dalam UU No. 7 Tahun
2017 pasal 448 ayat (1) atas partisipasi masyarakat dalam Pemilu, namun keberadaan
Pemilu itu sendiri adalah hajat suatu negara di mana masyarakat (rakyat) menjadi
alasan mengapa sebuah negara didirikan.

Seperti hajat pada umumnya, diperlukan syarat-syarat tertentu dan proses-


proses yang harus dilalui agar hajatan bisa terlaksana dengan baik. Selain calon
pengantin—dalam hal ini calon legislatif dan eksekutif—juga mesti ada Event
Organizer (KPU) yang berfungsi sebagai panitia hajatan. Karena prosesi hajatan pasti
ramai dan diharapkan kondusif, selanjutnya dibutuhkan satpam hajatan (Bawaslu)
untuk mencegah, mengawasi dan jika diperlukan bisa menindak hal-hal yang
mengganggu jalannya prosesi hajatan yang mana hajatan ini akan menentukan
pengurus rumah tangga atau keluarga besar yang kita sebut Indonesia.

Malangnya, dalam prosesi hajatan itu, posisi tuan rumah kadang tidak lebih
penting dari EO, satpam maupun para pengantin. Pun ketika hajatan selesai, tuan
rumah—meski masih satu keluarga—ibarat anak-anak polos yang sering tanpa sadar
perabot rumahnya, dapur rumahnya, kamar-kamar rumahnya, halaman rumahnya
sampai sertifikat rumahnya, secara substansial tidak bisa dinikmati oleh anak-anak
polos itu bahkan sampai dijual dan digadaikan. Sampai di sini, mari kita berhenti
membicarakan aib keluarga sendiri agar tidak jadi anak durhaka.

Sebagai staf pengawasan di Bawaslu Kota Jakarta Selatan, penulis rasa


lebih kapabel membicarakan partisipasi masyarakat dalam kadar kerja pengawas
Pemilu. Dalam praktiknya, pengawas Pemilu berkewajiban mengajak masyarakat
untuk mengawasi jalannya Pemilu yang berasaskan jujur, adil, bebas, umum,
langsung serta rahasia. Untuk memahami asas kepemiluan itu, masyarakat tidak
hanya diberikan pendidikan politik oleh pengawas Pemilu saja, dalam UU No. 7
Tahun 2017 pasal 443 pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi
dan melakukan pendidikan serupa kepada masyarakat.

Hasil telaah penulis mengenai pendidikan politik dalam UU No. 7 Tahun


2017, ada hal menarik mengenai pendidikan politik yang bisa didiskusikan. Di
antaranya bunyi pasal 274 ayat (2): “Dalam rangka pendidikan politik, KPU wajib
memfasilitasi penyebarluasan materi Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden yang meliputi visi, misi, dan program Pasangan Calon melalui laman KPU
dan lembaga penyiaran publik.” Di pasal itu tertulis kewajiban KPU untuk
memfasilitasi penyebarluasan materi Kampanye (dengan huruf K besar) calon
eksekutif saja. Kalau memang harus memfasilitasi, dalam hal ini jumlah calon
legislatif lebih banyak dan lebih dekat karena secara fungsi mereka adalah wakil
rakyat. Sehingga yang terjadi kemudian mirip loncat kodok, yang dekat terlewat yang
jauh tak sampai.

Sebelumnya, frasa “pendidikan politik” dalam UU No. 7 Tahun 2017 tidak


mendefinisikan apa pun selain frasa tersebut antara lain termaktub dalam pasal 267
ayat (1) tentang Kampanye Pemilu, pasal 274 ayat (2) tentang Materi Kampanye,
pasal 434 ayat (2) poin d. tentang Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal
448 ayat (2) poin b. dan pasal 449 ayat (1) tentang Partisipasi Masyarakat. Padahal
pendidikan politik bagi warga negara sangat esensial mengingat rakyat sebagai
kedaulatan tertinggi dalam sebuah negara tapi dalam UU Pemilu justru kita tidak
menemukan konvensi ke arah sana.

Seklilas memang tidak ada masalah, namun penulis menggaris bawahi


mengapa kampanye itu diwajibkan dalam konsep pendidikan politik dari frasa
“pendidikan politik” UU KPU? Kita bisa mengecek langkah dari negara memberikan
pendidikan politik kepada masyarakat di luar tahapan pemilihan misalnya, hampir
tidak ada. Justru ketika ada UU mengenai pendidikan politik bagi masyarakat, hanya
terbatas di formal politik seperti KPU membantu kampanye eksekutif semata.
Kenyataan di lapangan, masyarakat yang tidak paham apa itu politik—yang membuat
citra politik menjadi busuk—terkesan seperti anak-anak tangga yang harus diinjak
untuk sampai lantai atas yang disebut negara. Ironis.

Sekali lagi itu adalah kampanye: apakah pendidikan politik dalam UU No. 7
Tahun 2017 ini berbeda dengan pendidikan politik yang tersedia di dunia
akademik/kampus? Tentu perbedaanya bukan soal di dunia akademik ada SPP dan
biaya lainnya, namun arti dari pendidikan politik tidak dibatasi dalam pengertian
formal politik, seperti keterlibatan dalam kampanye partai politik dan memberikan
suara dalam Pemilu atau Pilkada (Adelabu, M. A. & Akinsolu, A. O: 2009; Orit:
2004).

Kita bisa ngomong apa saat menyaksikan slogan patriotisme terpampang di


mana-mana, mengukuhkan sejarah kemerdekaan Indonesia di sekolah-sekolah,
merumuskan sebuah negara makmur, membangun terus-menerus infrastruktur,
membanggakan negeri sendiri di tingkat internasional, mendengar kabar tentara yang
tenggelam di perairan laut Bali utara, kita bisa ngomong apa atas semua itu jika lebih
banyak masyarakat tidak paham hakikat bernegara?
Bagi penulis sepenting itu pendidikan politik bagi masyarakat kita, karena dari
pendidikan politik kesadaran bangsa bisa ditumbuhkan, hakikat bernegara bisa
dirasakan, dan besar kemungkinan untuk diamalkan.

Mari kita kembali pada partisipasi masyarakat dalam Pemilu. Pasal


448 yang telah penulis singgung tadi, jika kita coba menelaah bentuk partisipasi
masyarakat dalam pasal tersebut seperti apa, di antaranya kita bisa membaca
khususnya pasal 448 ayat (3) poin d. yang berbunyi: “mendorong terwujudnya
suasana yang kondusif bagi Penyelenggaraan Pemilu yang aman, damai, tertib dan
lancar.” Menariknya dalam pasal tersebut, 6 asas kepemiluan yaitu jujur, adil, bebas,
umum, langsung serta rahasia tidak disebutkan. Artinya, bentuk partisipasi
masyarakat hanya terkukung dalam poin a. b. c. termasuk poin d. pada ayat (3) pasal
448 itu.

Isi dari pasal 448 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu terkesan lebih
condong untuk “mengamankan” Penyelenggaraan Pemilu dibanding membangun
partisipasi masyarakat dalam Pemilu. Misal di poin c. ayat (3) berbunyi: “bertujuan
meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas;” terdapat frasa baru yakni
“partisipasi politik masyarakat” di mana penulis sendiri masih belum selesai
memahami frasa “partisipasi masyarakat” dalam UU Pemilu itu.

Bila kita telaah lebih lanjut koherensi antara asas kepemiluan dengan
ayat (3) poin d. dalam pasal 448 tersebut, kata “damai” itu tidak bisa sejalan dan
berarti “jujur” misalnya, kadang jujur bisa mengundang keributan. Atau "tertib"
bukan berarti "adil", sebab tertib (penertiban) dalam praktiknya malah lebih banyak
memunculkan ketidakadilan. Di sini ada perbedaan fungsi dalam UU Pemilu antara
bentuk partisiapsi masyarakat dalam Pemilu dengan asas Pemilu. Jika masyarakat
memang harus dilibatkan—memang harus terlibat—dalam setiap tahapan Pemliu,
maka bentuk partisipasinya mesti sama dengan asas Pemilu sebab di sini kita
berbicara Undang-Undang yang menentukan kepastian hukum atas terselenggaranya
Pemilu.

Kontradiksi ini penulis kira bisa jadi acuan atas keterlibatan masyarakat dalam
Penyelenggaraan Pemilu. Entah kabar baik atau kabar buruk, seingat penulis saat
terjun langsung ke lapangan sebagai pengawas dalam Pemilu Serentak 2019 lalu,
tidak ada masyarakat yang mempersoalkan hal itu ketika terjadi penindakan
pelanggaran Pemilu di wilayah Jakarta Selatan.

Masih dalam konteks partisipasi masyarakat, di Desa Sardonoharjo di wilayah


Kabupaten Sleman, Jogjakarta, sebagian masyarakat di sana berinisiatif membentuk
sebuah Desa APU—sebuah akronim dari Desa Anti Politik Uang. Membaca dari
berbagai media online dan buku “Footnote” yang diterbitkan Bawaslu Kabupaten
Sleman, Desa APU ini digagas langsung oleh masyarakat. Pencapaian luar biasa atas
fenomena Desa APU yang lahir di kawasan Jogjakarta ini bagi penulis tidak
mengagetkan karena di kalangan orang-orang yang gemar membaca dan menulis
buku, Jogjakarta adalah surganya literasi.

Dari sini bisa kita pastikan, jangankan mengkritisi sistem kepemiluan seperti
kontradiksi asas Pemilu dengan pasal yang tadi disinggung di atas, gerakan sadar
akan pentingnya keterlibatan masyarakat itu sendiri dalam Pemilu masih sulit
terwujud. Jika indikator keberhasilan partisipasi masyarakat diambil dari fenomena
Desa APU tadi, maka salah satu penyebab penting mengapa kesadaran masyarakat
tidak tumbuh, terletak pada minimnya minat baca tulis (literasi) yang tidak dianggap
persoalan gawat. Padahal, justru literasilah yang membuka wawasan seseorang,
menggugah empati individu untuk bergerak maju.

Tentu dalam praktiknya gerakan Desa APU tidak dengan mudah terlaksana
seperti kedipan mata, masyarakat yang ikut terlibat dalam gerakan itu harus berurusan
dengan warga setempat lainnya yang memang terbiasa menerima pemberian uang
dari caleg maupun tim sukses—meski Kepala Desa setempat mendukung dengan cara
mengeluarkan Peraturan Desa Anti Politik Uang.

Kebiasaan nampi (menerima) masyarakat kita begitu kuat. Berbeda dengan


tradisi hajatan yang kita ketahui misalnya, yang menghadiri hajatan tidak hanya
menerima (nampi) jamuan dari para pengantin—meski dalam banyak kasus dana
hajatan berasal dari patungan keluarga yang tidak semua dari calon pengantin saja—
namun yang menghadiri pun memberi kado pernikahan atau memasukkan amplop ke
dalam kotak yang telah disediakan. Bahwa tidak hanya biaya hajatan terganti oleh
kado pernikahan dan amplop-amplop warna putih, kadang pemakluman kepada
sahibulhajat sering diberikan oleh yang menghadiri pernikahan dan yang paling
utama adalah kehadiran kita di sana.

Tradisi itu menunjukkan tidak ada sekat antara sahibulhajat dengan semua
yang hadir dalam pernikahan karena semuanya saling bahu-membahu layaknya
sebuah keluarga. Semangat bahu-membahu (gotong royong) ini akan terus berlanjut
setiap kali dilaksanakan hajatan pernikahan, bahkan di beberapa daerah sahibulhajat
akan mencatat si A memberi amplop berapa dan si B kado apa sehingga kelak jika si
A dan si B melangsungkan hajat pernikahan ia akan diberi amplop dengan jumlah
serupa atau kado dengan isi yang sama.

Berbeda dengan hajatan negara di mana masyarakat justru lebih banyak


nampi bukan memberi. Misal tidak hanya nampi uang receh dari calon pengantin
yang hanya bisa menambal kebutuhan paling lama dua sampai tiga hari, masyarakat
pun masih nampi kezaliman yang tiada habisnya dari para pengantin yang telah sah
itu.

Persoalan partisipasi masyarakat dalam Pemilu pada akhirnya akan merembet


pada persoalan kesadaran masyarakat itu sendiri. Lahirnya Desa APU tidak mungkin
lahir begitu saja jika tidak dibangun oleh tradisi membaca menulis atau tradisi literasi.
Manfaat menulis misalnya, seseorang bisa sampai pada pencapaian tertentu dari hasil
bacaan. Hampir semua buku mengandung informasi penting mengenai persoalan
kemanusiaan. Menulis memungkinkan gagasan mentah dalam pikiran yang sulit
diungkapkan oleh bahasa verbal (lisan) bisa terungkap dalam bahasa tulisan, karena
saat menulis terdapat jeda yang disebut merenung sehingga gagasan atau ide secara
komprehensif diolah dalam renungan tadi.

Tidak berhenti di menulis, gagasan-gagasan lain akan bermuculan saat tulsan


itu dibaca khususnya ketika didiskusikan. Dalam istilah akademik ada tesis antitesis
dan sintesis. Tesis sebagai pernyataan pertama mengenai suatu hal yang diangkat
dalam sebuah tulisan misalnya, akan menemukan penyanggahan (antitesis) di mana
penyanggahan ini selanjutnya bisa memperkuat atau justru menghancurkan tesis tadi.
Dialektika itu (tesis dan antitesis) terus berlanjut dengan cara dirangkum, ditelaah,
ditulis kembali (sintesis) untuk menemukan gagasan baru yang kemudian kembali
menjadi tesis. Proses dialektika itu bisa memperluas cakrawala wawasan manusia dan
yang harus diingat tentu tidak akan lepas dari tradisi literasi.

Maka dari itu jangan sampai masyarakat menjadi anak-anak polos yang
menurut saja tiap pembantu atau pengurus rumah tangga menyuruh menonton telivisi
misalnya, karena siapa tahu saat asyik menonton komedi atau sinetron, si pembantu
pun asyik menonton anak-anak itu di atas kursi paling nyaman yang didesain
menyerupai kelopak bunga yang merekah dan dibalut kulit asli berwarna coklat—
sebuah gambaran kursi paling mahal di dunia yang dibuat oleh desainer Irlandia
bernama Eileen Gray di tahun 1971.

Muhammad Dasep Nasrudin


Staf Pengawasan dan Pemerhati Biduan

Anda mungkin juga menyukai