Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

FENOMENA POLITIK
(UANG DALAM PEMILU DAN PILKADA)

DI
S
U
S
U
N
OLEH:

NAMA : SYIFA PUTRI


NIM : 220250016
KELAS : 3.A SOSIOLOGI
MK : SOSIOLOGI POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


(FISIP)
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
TA/2023-2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga saya bisa menyelesaikan makalah tentang "fenomena politik".Tidak
lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut
memberikan kontribusi dalam membuat makalah ini.Tentunya, tidak akan bisa
maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun, saya menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh karena
itu, saya dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.Saya berharap semoga makalah yang kami susun ini
memberikan manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.

Lhokseumawe, 17 November 2023


Penyusun

Syifa Putri
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB ll PEMBAHASAN
2.1 Pengertian politik uang
2.2 Politik Uang Menurut Undang-Undang
2.3 Jenis-jenis Politik Uang
2.4 Dampak Politik Uang
BAB lll PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Politik uang (money politic) adalah sebuah upaya memengaruhi pilihan pemilih
(voters) atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lainnya. Dari
pemahaman tersebut, politik uang adalah salah satu bentuk suap.Money Politic atau
jual beli suara pada dasarnya adalah membeli kedaulatan rakyat. Selain itu, rakyat
yang menerima uang sebenarnya menggadaikan kedaulatannya untuk masa waktu
tertentu.Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk memberikan legitimasi bagi
penguasa yang akan memimpin selama 5 (lima) tahun. Salah satu masalah yang
selalu muncul dalam pelaksanaan pemilu adalah politik uang. Keterlibatan uang
untuk memenangkan kekuasaan politik dalam Pemilu memberikan banyak dampak
negatif.

1.2 Rumusan Masalah


1.kenapa banyak para kandidat dalam pemilu atau pilkada melakukan politik uang?
2.mengapa di Indonesia orang yang melakukan politik uang tidak dihukum?
3.Apa saja dampak dari politik uang tersebut?

1.3 Tujuan
1.untuk mengetahui apa saja dampak-dampak dari politik uang tersebut
2. Untuk mengetahui jenis-jenis apa saja politik uang dalam Pemilu dan Pilkada
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian politik uang


Politik uang selalu menjadi topik bahasan yang hangat bagi berbagai kalangan
dalam setiap momen diskusi oleh tokoh pengamat politik, akademisi, aktifis pegiat
pemilu, aktifis pegiat anti korupsi, di berbagai acara yang diselenggarakan oleh
lembaga penyelenggara pemilu, di berbagai kegiatan yang dilakukan oleh organisasi
baik itu ormas atau lembaga swadaya masyarakat, bahkan sampai dengan obrolan
masyarakat di warung kopi atau angkringan, terutama pada saat seputaran waktu
berlangsungnya penyelenggaraan pemilu atau pilkada.
MenurutBumke (2014), bahwa selama ini memang tidak ada definisi baku tentang
politik uang. Istilah politik uang digunakan untuk menyatakan korupsi politik,
klientelisme hingga pembelian suara.
Menurut Ismawan (1999). Politik uang adalah upaya mempengaruhi perilaku
orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan politik
uang sebagai tindakan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan. Tindakan ini
bisa terjadi dalam jangkauan (range) yang lebar, dari pemilihan kepala desa sampai
pemilihan umum suatu negara.
Menurut Juliansyah (2007). Politik uang adalah suatu upaya mempengaruhi orang
lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara
pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagi-bagikan uang baik milik
pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih (voters).
Menurut Aspinall & Sukmajati (2015), politik uang merupakan upaya menyuap
pemilih dengan memberikan uang atau jasa agar preferensi suara pemilih dapat
diberikan kepada seorang penyuap.
Masalah politik uang sudah sering terdengar dalam masyarakat biasa (rakyat),
yang dilakukan oleh pihak-pihak yang hendak memenangkan pemilihan. Sering juga
terdengar berbagai upaya yang dilakukan oleh kandidat untuk memenangkan
pertarungan. Semuanya dianggap sebagai fenomena yang biasa terjadi dan
berkembang dalam masyarakat. Mengapa hal tersebut terjadi, bagaimana modus
operandinya dan bagaimana mereduksinya, dalam tulis ini hendak dilihat dalam
perspektif sosiologis. Harapannya sederhana agar masyarakat mewaspadai betapa
berbahayanya praktek politik uang yang sudah sering terdengar namun sulit
dibuktikan secara hukum.
Politik uang, karena bagaikan “bau kentut”, maka tidak jelas siapa pelakunya,
tetapi baunya menyengat hidung. Politik uang selalu kita dengar dalam setiap Pemilu
dan Pemilukada/Pemilu Legislatif tetapi pelaku sulit ditangkap. Bahkan yang
tertangkap basah sedang membagi-bagikan uang kepada calon pemilih tidak pula
dihukum atau didiskualifikasi. Jalan damai untuk kasus politik uang tampaknya
menjadi jalur alternative yang paling magis dalam praktek politik
Pemilu/Pemilukada/Legislatif di Indonesia. Terdapat banyak kisah tentang politik
uang tetapi selesai dengan sendirinya. Itulah hebatnya politik uang, uang beredar ke
tengah-tengah pemilih tetapi seakan-akan tidak diketahui siapa pemberinya, tiba-tiba
ada uang ditangannya.
Politik Uang dan Pemilu/Pemilukada di Indonesia ibarat dua sisi mata uang
yang tidak bisa dipisahkan sekalipun dapat dibedakan. Dia menyatu baik dalam
Pemilu Legislatif maupun Pemilu Kepala daerah. Politik uang oleh sebagian orang
dianggap sebagai hal yang biasa, bahkan sebagian ulama di Lirboyo Kediri,
menyatakan politik uang merupakan hal yang halal. Politik uang adalah wajar adanya
sebagai “usaha” dari mereka yang hendak menjabat kepala daerah atau anggota
dewan memberikan “hadiah pada para calon pemilih”. Namun sebenarnya harus
dipahami bahwa, hadiah dianggap tidak sama dengan politik uang, sebab hadiah
diberikan kepada mereka karena senang dan tanpa beban. Namun boleh dikatakan
juga, hadiah sebenarnya diberikan setelah selesai acara karena menjadi
pemenangatau pretasi, bukan sebelum pertandingan. Misalnya seorang anak
mendapatkan hadiah dari orang tuanya karena menjadi juara dalam kelas atau
sekolahnya, atau karena naik kelas. Panitia memberikan hadiah pada pemenang
Lomba karena mengalahkan kandidat juara lainnya. Jadi hadiah sebenarnya lazim
setelah perhelatan dilangsungkan bukan sebelumnya.
Pemilu/Pemilukada yang diharapkan menjadi mekanisme pergantian kekuasaan di
Indonesia, termasuk di daerah, dengan cara-cara demokratis, jujur, adil, transparan,
dan tanpa intimidasi ternyata masih jauh dari panggang, sekalipun lembaga-lembaga
survey menyatakan Pemilu Indonesia pasca 1998 merupakan Pemilu yang paling
berhasil. Frederich Ebert Stiftung (FES), Jerman, tahun 2004 dan 2009, misalnya
menilai berhasilnya Pemilu Legislatif dan Pemilukada di Indonesia karena hanya
sedikit perilaku kekerasan massal. Penilaian tersebut memang benar, jika diletakkan
pada Pemilukada yang berhasil menjadikan kandidat menjadi Kepala Daerah atau
menduduki kursi legislative, tetapi tanpa politik uang dan jujur masih bisa
diperdebatkan secara serius, karena beberapa fakta lapangan berkata sebaliknya.

2.2 Politik Uang Menurut Undang-Undang


Dalam undang-undang pemilu maupun undang-undang pilkada tidak dijelaskan
secara khusus tentang apa pengertian politik uang, namun diatur dalam pasal yang
memuat norma ketentuan larangan dan sanksi yang berkaitan dengan peristiwa
politik uang tersebut, yang mana politik uang merupakan suatu tindak pidana.
Dalam undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum
(undang-undang pemilu), pada Pasal 515 menyatakan “Setiap orang yang dengan
sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi
lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta
pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat
suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda
paling banyak 36 juta “.
Selanjutnya dalam Pasal 523 menyatakan Ayat (1) “Setiap pelaksana, peserta,
dan/ atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan
uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara
langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dlm pasal 280 ayat (1) huruf
j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp.24.000.000 (dua puluh empat juta rupiah)”. Ayat (2) “Setiap pelaksana, peserta
dan/ atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan
atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung
maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 278 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak
Rp.48.000.000 (empat puluh delapan juta rupiah)”.
Ayat (3) “Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara
menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak
menggunakan hak pilihnya, atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 36.000.000
(tiga puluh enam juta rupiah)”.
Dalam Pemilihan Umum ketentuan larangan dan sanksi pidana terhadap
praktik politik uang dibedakan menjadi 4 kategori peristiwa politik uang berdasarkan
waktu kejadian yaitu peristiwa politik uang yang terjadi pada saat pemungutan suara
berlangsung, pada saat kampanye, pada masa tenang dan pada hari pemungutan
suara. Lamanya ancaman sanksi pidana penjara dan denda yaitu berkisar antara
paling lama 2 tahun dan denda 24 juta sampai dengan paling lama 4 tahun dan denda
48 juta. Sedangkan pihak yang dijatuhi sanksi pidana penjara dan denda adalah pihak
pemberi.
Dalam undang-undang nomor 6 tahun 2020 tentang penetapan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang nomor 2 tahun 2020 tentang perubahan ketiga
atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati,
dan walikota menjadi undang-undang (undang-undang pilkada) pada Pasal 73
menyatakan, Ayat (1) “Calon dan/ atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/ atau
memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan
dan/ atau pemilih”.
Ayat (2) “Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi
administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Prov atau KPU
Kab/Kota”. Ayat (3) “Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”. Ayat (4) “Selain calon atau pasangan calon,
Anggota Partai Politik, tim kampanye, dan relawan , atau pihak lain juga dilarang
dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan
uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada WNI baik secara langsung ataupun
tidak langsung untuk : a. mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih.
b. menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak
sah; dan c. mempengaruhi untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon
tertentu”.
Dan ketentuan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 187 A
menyatakan Ayat (1) “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan
melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai
imbalan kepada WNI baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk
mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih
dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau
tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada pasal 73 ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72
(tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000. (satu milyar rupiah)”. Ayat (2) “Pidana
yang sama diterapkan kepada Pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan
melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)”.
Dalam Pilkada ketentuan larangan dan sanksi pidana terhadap praktik politik
uang diatur dengan lebih berat, dengan adanya ketentuan minimal pidana (bukan
paling lama) yaitu pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 6 tahun dan
denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak 1 milyar. Sedangkan pihak yang
dijatuhi sanksi pidana penjara dan denda adalah pemberi dan penerima.

2.3 Jenis-jenis Politik Uang


Menurut Aspinall & Sukmajati (2015), jenis-jenis politik uang dalam pemilihan
umum yang terjadi di indonesia meliputi :
1. Pembelian suara (vote buying).Yaitu distribusi pembayaran uang tunai/ barang
dari kandidat kepada pemilih secara sistematis beberapa hari menjelang pemilu yang
disertai dengan harapan yang implisit bahwa para penerima akan membalasnya
dengan memberikan suaranya bagi si pemberi.
2. Pemberian-pemberian pribadi (individual gifts). Untuk mendukung upaya
pembelian suara yang lebih sistematis, para kandidat seringkali memberikan berbagai
bentuk pemberian pribadi kepada pemilih. Biasanya mereka melakukan praktik ini
ketika bertemu dengan pemilih, baik ketika melakukan kunjungan ke rumah-rumah
atau pada saat kampanye. Pemberian seperti ini seringkali dibahasakan sebagai
perekat hubungan sosial (social lubricant), misalnya, anggapan bahwa barang
pemberian sebagai kenang-kenangan.
3. Pelayanan dan aktivitas (services and activities). Seperti pemberian uang tunai dan
materi lainnya, kandidat seringkali menyediakan atau membiayai beragam aktivitas
dan pelayanan untuk pemilih. Bentuk aktivitas yang sangat umum adalah kampanye
pada acara perayaan oleh komunitas tertentu. Di forum ini biasanya para kandidat
mempromosikan dirinya. Contoh lain adalah penyelenggaraan pertandingan olahraga,
turnamen catur atau domino, forum pengajian, demo memasak, menyanyi bersama,
pesta-pesta yang diselenggarakan oleh komunitas dan masih banyak lagi. Tidak
sedikit kandidat yang juga membiayai beragam pelayanan untuk masyarakat,
misalnya check-up dan pelayanan kesehatan gratis.
4. Barang-barang kelompok (club goods). Pemberian untuk keuntungan bersama bagi
kelompok sosial tertentu ketimbang bagi keuntungan individu, yaitu donasi untuk
asosiasi-asosiasi komunitas dan donasi untuk komunitas yang tinggal di lingkungan
perkotaan, pedesaan atau lingkungan lain.
5. Pork barrel projects. Proyek-proyek pemerintah yang ditujukan untuk wilayah
geografis tertentu. Kegiatan ini ditujukan kepada publik dan didanai dengan dana
publik dengan harapan publik akan memberikan dukungan politik kepada kandidat
tertentu. Banyak kandidat menjanjikan akan memberikan program-program dan
proyek-proyek yang didanai dengan dana publik untuk konstituen mereka yang
biasanya berupa proyek-proyek infrastruktur berskala kecil atau keuntungan untuk
kelompok komunitas tertentu, terutama untuk aktivitas-aktivitas yang bisa
menghasilkan pendapatan.
2.4 Dampak Politik Uang
Politik uang yang sudah lama tumbuh subur dalam system sosial
kemasyarakatan kita ini ibarat sebuah penyakit menahun yang mencederai sistem
demokrasi. Politik uang sangat menghambat dalam membangun sebuah proses
demokrasi yang sehat karena dampaknya yang sangat merusak.
Beberapa dampak buruk politik uang bagi demokrasi adalah :
1. Merendahkan martabat rakyat.
Para calon atau partai politik yang melakukan praktik politik uang secara tidak
langsung tetapi nyata telah mejadikan rakyat hanya semata-mata sebagai pihak yang
suaranya dapat dibeli, kondisi ini tentu saja merendahkan martabat rakyat yang mana
disini rakyat menjadi tidak lebih hanya sebagai obyek politik.
2. Menimbulkan ketergantungan dan ketidakmandirian masyarakat secara politik.
Dengan adanya rakyat yang suaranya sudah dibeli dalam politik uang tersebut
maka akan mempengaruhi kedaulatan rakyat untuk memberikan pilihan suaranya
secara bebas karena sudah diikat dengan jual beli suara sehingga secara substansi
rakyat bukan lagi pemegang kedaulatan penuh sebagai penentu siapa pemimpin yang
akan terpilih.
3. Mengubah kekuasaan politik menjadi masalah private/individu, bukan lagi
masalah publik yang harus dipertanggungjawabkan secara akuntabel.
Dengan adanya praktik jual beli suara maka akan memungkinkan timbulnya
kecenderungan perubahan sikap dan tanggung jawab moril seorang pemimpin yang
terpilih, yang mana seorang pemimpin yang seharusnya memikirkan kesejahteraan
rakyat yang merupakan tanggung jawab politik kepada publik akan bergeser menjadi
sebatas persoalan individu yang memungkinkan terjadi pengabaian akibat adanya
pemikiran bahwa dia telah membeli suara dari masing-masing individu rakyat.
4. Menghilangkan sikap kritis masyarakat terhadap kekuasaan.
Masyarakat secara individu yang mana suaranya telah dibeli melalui proses
praktik politik uang dalam pemilihan karena telah merasa menerima uang atau
barang dari peserta pemilihan dalam proses pemilihan sehingga kelak akan merasa
sungkan dan enggan untuk mengkritisi pemimpin yang sedang berkuasa terhadap
berbagai kebijakan yang diterapkan.
5. Manipulasi hubungan sosial dari hubungan yang mengandalkan trust
(kepercayaan) menjadi hubungan yang transaksional.
Dengan adanya politik uang akan terjadi pergeseran nilai atau pola hubungan
yang semestinya dalam memilih pemimpin atas dasar kepercayaan atau atas
pertimbangan bahwa pemimpin yang dipilih adalah orang yang benar dipercaya
mampu mensejahterakan rakyat berubah menjadi sekedar memilih karena faktor lain
yaitu karena imbalan berupa uang atau barang dan jasa yang memberikan keuntungan
sesaat.
6. Menimbulkan potensi terjadinya perilaku korupsi.
Dengan adanya praktik politik uang maka biaya politik yang harus dikeluarkan
oleh para kandidat calon pemimpin pada saat pemilihan akan membengkak sangat
tinggi, hal tersebut tentunya menjadikan beban politik yang berat bagi kandidat yang
mengikuti kontestasi pemilihan, sehingga pada saat terpilih dan duduk di kursi
kekuasaan akan terbebani oleh persoalan individu berkaitan dengan modal politik ini
yaitu persoalan bagaimana modal yang sudah dikeluarkan dapat kembali secepatnya
jauh sebelum akhir periode masa jabatannya.
BAB lll
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Politik uang selalu menjadi topik bahasan yang hangat bagi berbagai kalangan
dalam setiap momen diskusi oleh tokoh pengamat politik, akademisi, aktifis pegiat
pemilu, aktifis pegiat anti korupsi, di berbagai acara yang diselenggarakan oleh
lembaga penyelenggara pemilu, di berbagai kegiatan yang dilakukan oleh organisasi
baik itu ormas atau lembaga swadaya masyarakat, bahkan sampai dengan obrolan
masyarakat di warung kopi atau angkringan, terutama pada saat seputaran waktu
berlangsungnya penyelenggaraan pemilu atau pilkada.Masalah politik uang sudah
sering terdengar dalam masyarakat biasa (rakyat), yang dilakukan oleh pihak-pihak
yang hendak memenangkan pemilihan. Sering juga terdengar berbagai upaya yang
dilakukan oleh kandidat untuk memenangkan pertarungan. Semuanya dianggap
sebagai fenomena yang biasa terjadi dan berkembang dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Aspinall, Edward dan Sukmajati, Mada. 2015. Politik Uang di Indonesia.


Jogjakarta:Polgov.
Ismawan, Indra. 1999. Money politics Pengaruh Uang dalam Pemilu. Yogjakarta:
Media Presindo.
Juliansyah, Elvi. 2007. PILKADA : Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah. Bandung : Mandar Maju
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 182 Tahun 2017. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai